DI PERAIRAN SELAT MALAKA
ADITA DWI NUGRAHENI
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL,
MAKROZOOBENTHOS, DAN SUBSTRAT DI PERAIRAN
SELAT MALAKA
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2010
ADITA DWI NUGRAHENI. Hubungan antara Distribusi Ikan Demersal. Makrozoobentos, dan Substrat di Perairan Selat Malaka. Dibimbing oleh SRI PUJIYATI dan WIJOPRIONO.
Penelitian ini menggunakan data hasil survei Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pengambilan data dilakukan pada tanggal 12-22 Juni 2008 di perairan sekitar Pulau Bengkalis, Pulau Rupat menuju Selat Malaka. Sampel makrozoobenthos diambil menggunakan alat Van veen grab dengan ukuran (20x20) cm2. Pengambilan contohikan demersal menggunakan alat tangkap berupa trawl. Data akustik yang diperoleh
menggunakan SIMRAD EK 60 sudah dalam bentuk echogram. Pengolahan nilai SV dengan menggunakan perangkat lunak Echoview versi 4.0, sedangkan untuk mengintegrasi nilai TS data akustik terlebih dahulu direkam ulang dengan menggunakan perangkat lunakER 60. Pengolahan nilai densitas untuk ikan dilakukan pada Ms. Excel setelah proses integrasi SV dan TS. Penyajian data ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik, dan regresi linier sederhana, regresi berganda dan principal component analysis (PCA).
Berdasarkan data hidroakustik pada penelitian ini Perairan Selat Malaka memiliki kedalaman yang berkisar antara 13,98 m – 63,48 m, perairan ini
tergolong dangkal. Nilai SV untuk substrat berkisar antara -22,98 sampai -30,95 dB dengan tipe substrat pasir, pasir berlumpur, liat berpasir, dan liat. Nilai SV untuk ikan berkisar antara -41,03 dB hingga -43,60 dB yang cenderung menyebar secara merata pada setiap kedalaman, sedangkan nilai TS untuk ikan berkisar antara -25,29 dB hingga -57,75 dB. Nilai densitas untuk ikan berkisar antara 0,18 ind/m3 hingga 4,37 ind/m3. Persebaran densitas ikan berlawanan dengan nilai TS ikan. Makrozoobentos yang dominan berada di perairan Selat Malaka yaitu berasal dari Genus Chamalycaeus. Hasil tangkapan trawl menunjukkan bahwa spesies yang berada di perairan ini adalah Nibea mitsukurii (28,56%), Johnius grypotus (24,23%), Harpadon nehereus (14,41%), Lepturacanthus savala
(9,66%), Johnius distincus (7,13%) dan lain-lain (4,80%)
© Hak cipta milik Adita Dwi Nugraheni, tahun 2011
Hak cipta dilindungi
DI PERAIRAN SELAT MALAKA
ADITA DWI NUGRAHENI
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
SKRIPSI
Judul Penelitian : HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL, MAKROZOOBENTHOS, DAN SUBSTRAT DI
PERAIRAN SELAT MALAKA Nama Mahasiswa : Adita Dwi Nugraheni
Nomor Pokok : C54062990
Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui,
Dosen Pembimbing Utama Dosen Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si Dr. Wijopriono, M.Sc
NIP. 19671021 199203 2 002 NIP. 19600616 198603 1 006
Mengetahui,
Kepala Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M. Sc NIP. 19580909 198303 1 003
Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia yang telah diberikan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai. Skripsi yang berjudul
Hubungan antara Distribusi Ikan Demersal. Makrozoobentos, dan Substrat di Perairan Selat Malaka diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan.
Selama penyusunan skripsi penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan kasih sayang dan perhatian serta dukungan baik secara moril maupun materiil.
2. Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si dan Dr. Wijopriono, M.Sc selaku Pembimbing Skripsi atas arahan dan bimbingan selama proses penyelesaian skripsi.
3. Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T selaku penguji tamu pada ujian akhir penulis yang telah memberikan masukan dan saran.
4. Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc selaku Pembimbing Akademik selama penulis menuntut ilmu di Departemen ITK, FPIK, IPB.
5. M. Natsir, S.Pi, M.Si, Asep Priyatna, S.Pi, Rodo Manalu, S.Pi dan seluruh staf Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) serta Obed A.T. Allo, S.Pi atas bantuan dan bimbingannya selama pengolahan data hidroakustik.
6. Yulia, S.TP, Tina Maretina, S.Hut, Tri Handayani, Josephine Vivian, S.Ik, Rizka Rahma Dewi, S.Ik, Kristina Simamora, S.Ik, Daniel JPH Siahaan, S.Ik, Olivier Yonathan, S.Ik atas dukungan dan kebersamaannya.
7. Teman-teman ITK 43 yang selalu memberikan semangat dan motivasi. Penulis menyadari bahwa proposal ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menerima saran dan kritik yang membangun. Penulis berharap skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi diri sendiri maupun pembacanya.
Bogor, Oktober 2010
DAFTAR ISI
2.1. Kondisi Umum Selat Malaka ... 2.2. Metode Hidroakustik... 2.3. Ikan Demersal ... 2.4. Makrozoobentos... 2.5. Substrat Dasar Laut ... 2.6. Penelitian Menggunakan Hidroakustik ...3. METODOLOGI... 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 3.2. Alat dan Bahan... 3.3. Metode Penelitian ... 3.3.1. Perolehan Data... 3.3.2. Pengolahan Data ... 3.3.2.1. Pengolahan Volume Backscattering Strength (SV)... 3.3.2.2. Pengolahan Target Strength (TS) ... 3.3.2.3. Pengolahan Densitas ... 3.3.3. Visualisai Data ...
4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 4.1. Sebaran Substrat...
4.1.1. Sebaran Data Akustik untuk Substrat ... 4.1.2. Sebaran Data Grab untuk Substrat ... 4.1.3. Hubungan Data Akustik dan Grab untuk Substrat... 4.2. Sebaran Ikan Demersal ... 4.2.1. Sebaran Data Akustik untuk Ikan ... 4.2.2. Sebaran Data Tangkapan Trawl untuk Ikan... 4.2.3. Hubungan Data Akustik dan Hasil Tangkapan Trawl ... 4.3. Sebaran Makrozoobentos ... 4.4. Hubungan Tipe Substrat, Ikan Demersal, dan Makrozoobentos...
ix
x
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Ikan-ikan utama yang termasuk ikan demersal... 2. Kepadatan stok (kg/km2) jenis-jenis ikan demersal di perairan Selat
Malaka... 3. Ukuran butir untuk sedimen menurut Skala Wentworth... 4. Nilai SV substrat di beberapa penelitian... 5. Tipe Substrat setiap Stasiun ... 6. Data trawlikan demersal... 7. Hasil regresi berganda... 8. Korelasi antar parameter ...
7
xi
1. Cara kerja alat hidroakustik ... 2. Lokasi penelitian ... 3. Diagram alir pengolahan data ... 4. Diagram alir proses integrasi SV max... 5. Diagram alir proses integrasi TS max... 6. Sebaran vertikal SV substrat ... 7. Sebaran horisontal SV substrat ... 8. Grafik SV substrat dan tipe substrat ... 9. Sebaran vertikal SV, TS, dan densitas ikan ... 10. Sebaran horisontal SV, TS, dan densitas ikan ... 11. Persentase hasil tangkapan trawl... 12. Perbandingan antara densitas ikan dan hasil tangkapan trawl ... 13. Grafik jumlah total makrozoobentos dan tipe substrat ... 14. Grafik interaksi data contoh ... 15. Grafik kedekatan antar parameter ... 16. Grafik kedekatan antar stasiun ...
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Contoh data hasil integrasi SV... 2. Contoh data hasil integrasi TS ... 3. Contoh echogram SV substrat ... 4. Contoh echogram SV ikan ... 5. Contoh echogram TS ikan ... 6. Kepadatan makrozoobentos (ind/m2) setiap stasiun ... 7. Hasil tangkapan trawl setiap stasiun ... 8. Contoh genus Chamalycaeus... 9. Contoh ikan demersal...
xiii
Akustik (Acoustic) : Ilmu tentang suara, sifat, dan karakteristiknya di dalam suatu medium.
Echogram : Rekaman dari rangkaian gema.
Echosounder : Perangkat akustik yang digunakan untuk menampilkan data
echogram dari transducer.
E1 : Nilai hambur balik pertama dari dasar perairan (Energy of the first bottom echo).
Thershold : Ambang nilai yang berfungsi untuk membatasi/menapis pantulan yang ditampilkan pada echogram.
Transducer : Perangkat akustik yang digunakan sebagai transmitter
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia memiliki berbagai sumber daya alam yang sangat potensial.
Namun, kekayaan alam yang sangat potensial itu masih banyak yang belum
tereksplorasi dan terolah dengan baik dan bijaksana. Hal ini terjadi karena
letaknya yang jauh dari jangkauan, sehingga manusia sehingga sulit untuk
mempelajarinya, apalagi pada daerah dasar laut.
Metode hidroakustik merupakan suatu usaha untuk memperoleh informasi
tentang objek di bawah air dengan cara pemancaran gelombang suara dan
mempelajari echo yang dipantulkan. Dalam pendeteksian ikan digunakan sistem hidroakustik yang memancarkan sinyal akustik secara vertikal, biasa disebut echo sounder atau fish finder (Burczynski, 1986 dalam Yahya et al., 2001).
Ikan demersal merupakan ikan yang hidup pada dasar perairan, termasuk
ikan-ikan karang (Nelwan, 2004). Ikan-ikan yang hidup di terumbu karang pada
umumnya memiliki daging yang tebal/kenyal dan warna yang menarik (Ikawati
dan Parlan, 2009). Beberapa ikan karang memiliki rasa enak untuk dikonsumsi
dengan harga yang relatif mahal, berkisar antara Rp 30.000 – Rp 80.000 per
kilogram.
Substrat dasar laut merupakan habitat berbagai ikan demersal. Beberapa ikan
lebih menyukai terumbu karang sebagai tempat hidupnya, namun ada beberapa
ikan yang lebih menyukai substrat pasir atau lumpur sebagai tempat hidupnya.
Pada substrat pasir atau lumpur terdapat berbagai jenis bentos yang hidup di
dalamnya (Wibisono, 2005). Bentos merupakan makanan alami bagi
hewan-hewan dasar terutama ikan dan udang (Yusron et al., 1990).
Guna mengetahui hubungan ikan demersal dan substrat maka diperlukannya
penelitian lebih lanjut tentang hal tersebut. Penelitian yang menghubungkan
antara ikan dengan bentos atau ikan dengan metode akustik telah dilakukan.
Beberapa contoh yang dimaksud adalah klasifikasi habitat dasar perairan (Allo et al., 2009), hubungan nilai volume backscattering strength dasar perairan dengan kandungan makrozoobenthos (Riantoro, 2010), serta hubungan habitat dengan
volume backscattering strength ikan demersal (Ginting, 2010).
1.2. Tujuan
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk menggambarkan
hubungan antara makrozoobentos dan tipe substrat dengan hasil tangkapan ikan
2. TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Kondisi Umum Selat Malaka
Perairan Selat Malaka merupakan bagian dari Paparan Sunda yang relatif
dangkal (Atmaja et al., 2001 dalam Masrikat, 2003), yang berada satu bagian dengan dataran utama Asia, beberapa laut dan teluk seperti Laut Cina Selatan,
Teluk Thailand, dan Laut Jawa (Masrikat, 2003). Bagian paling sempit dari Selat
Malaka memiliki kedalaman sekitar 30 m dengan lebarnya 35 km, kemudian
kedalaman meningkat secara gradual hingga 100 m sebelum Continental Slope
Laut Andaman. Di dasar selat ini arus pasang surut sangat kuat terjadi dan
terbentuk riak-riakan pasir besar (sand ripples) yang bentuk puncak/ujungnya searah dengan arus pasut tersebut (Wyrtky, 1961 dalam Masrikat, 2003).
Selat Malaka merupakan jalur laut terpadat di dunia yang menjadi urat nadi
lalu-lintas transportasi minyak bumi sebesar 9,4 juta barel yang menghidupi
perekonomian dunia (IDSPS, 2008). Di samping itu, Selat Malaka juga
merupakan perairan yang sangat penting dalam menunjang perkembangan
perikanan laut di perairan teritorial maupun di perairan ZEE. Perairan ini sangat
subur mengingat banyaknya sungai besar dan kecil yang bermuara serta
banyaknya hutan mangrove di daerah pantainya. Di pandang dari sudut geografis
daerah ini sangat strategis bagi perkembangan komoditas perikanan karena
wilayah ini dibatasi oleh Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Singapura (Sumiono,
2002).
2.2. Metode Hidroakustik
Hidroakustik merupakan suatu teknik penggunaan gelombang suara (akustik)
untuk menduga kedalaman perairan serta dapat dipergunakan untuk mendeteksi
ikan. Teknik hidroakustik baru diketahui kegunaannya sekitar tahun 1930. Sejak
saat itu hidroakustik tidak saja mempunyai peranan yang besar dalam industri
penangkapan ikan, tetapi juga penting dalam di dalam bidang penelitian
perikanan, terutama untuk menduga kelimpahan suatu sediaan ikan (Widodo,
1992). Menurut Pujiyati (2008) metode hidroakustik adalah suatu metode
pendeteksian bawah air yang menggunakan perangkat akustik, antara lain:
echosounder, fish finder, sonar, dan Acoustic Doppler Current Profiler (ADCP). Cara kerja alat hidroakustik ditunjukkan pada Gambar 1. Pesawat
pengendali (control) mengirimkan pulsa listrik dengan frekuensi tertentu dan mengatur pesawat transmisi yang pada gilirannya akan memodulasi pulsa tersebut
dan meneruskannya ke transducer. Selanjutnya, transducer akan mengubah pulsa listrik tersebut ke dalam bentuk energi akustik berupa sinyal suara yang kemudian
dipancarkan ke dalam air. Gelombang akustik tersebut merambat di dalam air,
dan apabila membentur sebuah target, misalnya ikan atau dasar perairan, ia akan
dipantulkan sebagai gema (echo). Pada umumnya transducer yang sama akan menerima gema tersebut dan mengubahnya kembali menjadi tenaga listrik.
Setelah itu, pesawat receiver-amplifier akan menerima dan kemudian memperkuat pulsa listrik tersebut serta mengirimkannya ke pesawat peraga. Pesawat peraga
5
kemampuan sebuah CRT (cathode ray tube) untuk melakukan visualisasi terhadap osilasi arus atau tegangan listrik (Widodo, 1992).
Gambar 1. Cara Kerja Alat Hidroakustik (Sumber: Widodo, 1992)
Penggunaan metode hidroakustik mempunyai beberapa kelebihan (Arnaya,
1991 dalam Yahya et al., 2001), diantaranya: berkecepatan tinggi; estimasi stok ikan secara langsung dan wilayah yang luas dan dapat memonitor pergerakan
ikan; akurasi tinggi; tidak berbahaya dan merusak sumberdaya ikan dan
lingkungan, karena frekuensi suara yang digunakan tidak membahayakan bagi si
pemakai alat maupun obyek yang disurvei. Penggunaan teknologi ini sangat
membantu dalam pencarian sumberdaya ikan yang baru, sehingga akan
mempercepat pengambilan keputusan atau kebijakan, terutama untuk menetapkan
daerah penangkapan ikan agar potensi ikan dapat dipertahankan (Riani, 1998
Beberapa kendala yang mempengaruhi sinyal pantul menjadi berbeda dari
pulsa akustik yang datang atau dikirimkan (Siwabessy, 2001 dalam Pujiyati, 2008): ketidaksesuaian impedansi akustik dari air laut - dasar laut menyebabkan
pembauran permukaan dari pulsa utama; parameter akustik dari alat; penetrasi
sinyal akustik pada dasar laut menyebabkan besarnya pembauran pulsa utama;
arah pemantulan pada interface air laut – dasar laut akibat dari kekasaran dasar laut; keterlambatan waktu kembali; respon pembauran dari permukaan laut,
gelembung-gelembung permukaan, dan lambung kapal untuk gema dasar akustik
kedua; kemiringan dasar laut; penyerapan akustik air laut; dan derau (noise).
2.3. Ikan Demersal
Ikan demersal adalah kelompok ikan yang mendiami atau mempunyai habitat
berada antara kolom air hingga dekat dasar perairan. Ikan-ikan ini umumnya aktif
mencari makan pada malam hari, dan juga bersifat pasif dalam pergerakannya,
karena tidak ada mobilitas dalam jarak yang jauh. Kelompok ikan ini adalah
termasuk jenis-jenis ikan karang (Nelwan, 2004). Biasanya para nelayan
menangkap ikan demersal dengan menggunakan cantrang, trawl, trammel net, rawai dasar, dan jaring klitik (Ilo, 2009).
Ikan demersal dibedakan menjadi dua tipe, yaitu: round fish (misalnya ikan cod, haddock, dan hake) dan flat fish yang beradaptasi lebih luas dengan
kehidupannya di atas dasar laut (misalnya ikan plaice, dan halibut). Ikan yang
hidup berdekatan dengan dasar akan beradaptasi terhadap lingkungannya,
7
bergeser ke satu sisi dari kepalanya (misalnya ikan pari) (Pujiyati, 2008). Berikut
ini akan disajikan jenis-jenis ikan demersal yang ada di Indonesia (Tabel 1).7
Tabel 1. Ikan-Ikan Utama yang Termasuk Ikan Demersal Sub
Kelompok
Nama
Indonesia Nama Inggris Nama Ilmiah Barramundi Lutjanus malabaricus
L. sanguineus Kakap merah
Giant sea perch
L. johni
Kerapu Groupers Epinephelus spp.
Manyung Sea catfishes Arius spp.
Polynemus spp. Senangin Thread fins
Eleutheroneme tetradactylum
Pari Rays Trigonidae
Remang Murrays Muraenesex spp.
Bawal putih Silver pomfret Pampus argenteus
Bawal hitam Black pomfret Formio niger
Tiga waja Drums Scianidae
Ketang-ketang Spotted Sickelfish Drepane punctata
Gulamah Croackers Scianidae
Demersal Besar
Layur Hairtails, cutlass fishes Trichiurus spp.
Pepetek Pony fishes, slip mounts Leiognathidae
Kuniran Goatfish Upeneus sulphureus
Beloso Lizard fishes Saurida spp.
Kurisi Treadfin breams Nemipterus spp.
Gerot-gerot Grunters, sweetlips Pomadasys spp. Demersal
Kecil
Sebelah Indian halibuts Psettodidae
(Sumber: Boer, et al., 2001 dalam Pujiyati, 2008)
Tabel 2 menunjukkan kepadatan stok (kg/km2) dari jenis-jenis ikan demersal di Selat Malaka. Dilihat dari total ikan demersal yang terdapat dalam setiap
tahunnya nenunjukkan adanya perubahan. Perubahan ini terjadi karena dampak
penghapusan trawl terhadap kepadatan stok ikan demersal di Selat Malaka.
Penghapusan trawl ini tidak sepenuhnya buruk, karena beberapa jenis ikan
demersal (terutama yang tertangkap dengan trawl) cenderung mengalami
(modifikasi dari trawl) yang beroperasi di Selat Malaka, kepadatan stok dari
beberapa jenis ikan cenderung menurun. Di lain pihak terdapat juga beberapa
jenis ikan yang dulunya tidak tertangkap, pada tahun 1997 “muncul” kembali
(Sumiono, 2002).
Tabel 2. Kepadatan Stok (kg/km2) Jenis-Jenis Ikan Demersal di Perairan Selat Malaka
Tahun No Famili Nama Indonesia
19751) 19832) 19853) 19974) 6 Leiognathidae Pepetek/Petek 111 68 986 77 7 Lutjanidae Kakap Merah 153 127 145 64
8 Mullidae Kuniran 162 260 257 260
9 Nemipteridae Kurisi 103 114 78 137 10 Pomadasydae Gerot-Gerot 114 84 262 43
11 Priacanthidae Swanggi 21 124 65 154
Total Demersal 1403 1228 2977 1724 Keterangan:
1) Saeger, et al. (1976) 2) Barus et al. (1983) 3) Purnomo (1985) dalam (Rusmadji dan Badrudin, 1987) dalam 4) Sumiono (2002)
2.4. Makrozoobentos
Makrozoobentos adalah organisme yang melekat atau beristirahat pada dasar
atau hidup di dasar endapan. ahampir dari semua zoobentos yang ada di perairan
merupakan makrobentos.. Hewan ini merupakan organisme kunci dalam jaring
9
(1990) bentos merupakan makanan alami bagi hewan-hewan dasar terutama ikan
dan udang. Bentos terdiri dari berbagai jenis dan tipe, baik yang hidup tertancap
(lamun, spongae); merayap (bintang laut, kepiting); maupun yang membenamkan
diri di pasir atau lumpur (kerang-kerangan, cacing) (Setyobudiandi, 1999 dalam
Allo et al., 2009).
Berdasarkan ukuran maka bentos dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok
(Wibisono, 2005):
1. Makrobenthos: yakni organisme yang tertahan pada saringan berukuran antara 2,0-0,5 mm.
2. Meiobenthos: yakni organisme yang lolos pada saringan berukuran 1,0-0,5 mm, tapi tetahan pada saringan berukuran 0,04-1,0 mm.
3. Mikrobenthos: yakni organisme yang yang lolos pada saringan berukuran 0,04 mm.
Berdasarkan cara makan, maka organisme bentos dapat dibagi menjadi 2
(dua) kelompok (Wibisono, 2005):
1. Kelompok plankton feeder misalnya bivalvia, crustaceae (Wibisono, 2005), moluska, dan echinodermata yang umumnya terdapat dominan di subsrat
berpasir (Darojah, 2005).
2. Kelompok detritus feeder misalnya cacing polychaeta, hewan gastropoda, binatang mengular (Ophiuroidea), bulu babi (Diadema setosum), dan sand dollar (Wibisono, 2005) yang umumnya banyak terdapat di substar
berlumpur (Darojah, 2005).
Pembagian berdasarkan tempat hidup, organisme bentos dapat digolongkan
1. Epi-fauna, yakni organisme yang hidup dan mencari mangsa di atas dasar
perairan.
2. In-fauna, yakni organisme yang hidup dan mencari mangsa dengan
menggali lubang dalam sedimen dasar perairan.
Komunitas bentos dapat juga dibedakan berdasarkan pergerakannya, yaitu
kelompok hewan bentos yang hidupnya menetap (bentos sesile), dan hewan bentos yang hidupnya berpindah-pindah (motile). Hewan bentos yang hidup
sesile seringkali digunakan sebagai indikator kondisi perairan (Setyobudiandi, 1997 dalam Darojah, 2005).
2.5. Substrat Laut
Salah satu cara mengetahui karakteristik dari suatu lautan adalah dengan
mempelajari bentuk/karakteristik dari dasar perairan, berupa tipe substrat atau
sedimen beserta organisme yang hidupnya di dasar perairan. Pentingnya
mengetahui tipe substrat dasar dari suatu perairan adalah untuk mengetahui pola
sebaran dari berbagai jenis tipe substrat berdasarkan ukuran dan asal substrat
tersebut pada suatu perairan (Setyobudiandi, 1999 dalam Allo et al., 2009). Substrat dasar perairan dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran partikel,
sumber, lokasi, dan warna dari sedimen tersebut (Allo et al., 2009).
Menurut Wibisono (2005) secara geologis, bila sedimen berada dekat dengan
11
Berdasarkan asal usulnya, sedimen dasar laut dapat digolongkan menjadi 4
(empat) bagian (Wibisono, 2005):
1. Lithogenous merupakan jenis sedimen yang berasal dari pelapukan batuan dari daratan, lempeng kontinen termasuk yang berasal dari kegiatan
vulkanik. Sedimen ini memasuki kawasan laut melalui drainase air sungai.
2. Biogenous merupakan sedimen yang berasal dari organisme laut yang telah mati dan terdiri dari remah-remah tulang, gigi-geligi, dan
cangkang-cangkang tanaman maupun hewan mikro. Komponen kimia yang sering
ditemukan dalam sedimen ini adalah CaCo3 dan SiO2. Sedangkan
partikel-partikel yang sering ditemukan dalam sedimen calcareous terdiri dari
cangkang-cangkang Foraminifera, Coccolithophore, dan Pteropoda.
3. Hydrogenous merupakan sedimen yang berasal dari komponen kimia yang larut dalam air laut dengan konsentrasi yang kelewat jenuh sehingga terjadi
pengendapandi dasar laut.
4. Cosmogenous merupakan sedimen yang berasal dari luar angkasa dimana partikel dari benda-benda angkasa ditemukan di dasar laut dan mengandung
banyak unsur besi sehingga mempunyai respons magnetik dan berukuran
antara 10-640 m.
Berdasarkan ukuran butir, maka sedimen dapat diklasifikasikan seperti pada
Tabel 3. Ukuran Butir untuk Sedimen Munurut Skala Wentworth
Nama Partikel Ukuran (mm)
Bongkah (Boulder) >256
Krakal (Cable) 64-256
Pasir sangat halus (very fine sand) 1/16-1/8
Lumpur kasar (Coarse silt) 1/32-1/16
Lumpur sedang (medium silt) 1/64-1/32
Lumpur halus (fine silt) 1/128-1/64
Lumpur (Silt)
Lumpur sangat halus (v. Fine silt) 1/256-1/128
Lempung kasar (Coarse clay) 1/640-1/256
Lempung sedang (medium clay) 1/1024-1/640
Lempung halus (fine clay) 1/2360-1/1024 Lempung (Clay)
Lempung sangat halus (v. Fine clay) 1/4096-1/2360 (Sumber: Wibosono, 2005)
Jenis-jenis partikel tersebut sangat menentukan jenis hewan bentos yang
mendiami sedimen tersebut sebagai habitatnya, seperti untuk sedimen pebbles dan
granules setidaknya akan ditemui hewan-hewan Gastropoda. Pada jenis sedimen
sand akan mendapati hewan kerang-kerangan (Bivalvia) dan untuk sedimen silt
biasanya dapat ditemukan hewan cacing (Wibisono, 2005).
2.6. Penelitian Menggunakan Hidroakustik
Penelitian dengan menggunakan instrumen hidroakustik telah banyak
13
klasifikasi habitat dasar perairan, kelimpahan stok sumber daya hayati laut, dan
sebagainya.
Penelitian mengenai klasifikasi habitat dasar perairan (Allo et al., 2009) menyimpulkan bahwa tipe substrat perairan Sumur berdasarkan nilai volume backscattering strength pada lokasi penelitian ditemukan tipe substrat perairan berupa pasir, pasir berlumpur, lumpur berpasir, dan lumpur. Pada tipe substrat
lumpur berpasir kepadatan makrozoobenthos berada dalam keadaan tertinggi.
Selanjutnya, penelitian mengenai hubungan nilai volume backscattering strength dasar perairan dengan kandungan makrozoobenthos (Riantoro, 2010) mengatakan bahwa tipe substrat perairan Gugusan Pulau Pari terdiri dari pasir dan
pasir berlumpur, dengan substrat yang dominan pada lokasi penelitian adalah
pasir. Namun, pada substrat pasir berlumpurlah kepadatan makrozoobenthos
yang tertinggi. Di samping itu, pada penelitian juga dapat diketahui bahwa tipe
substrat perairan Selat Malaka terdiri dari pasir berlumpur, pasir, liat berpasir, dan
liat, dengan substrat yang dominan adalah pasir. Kepadatan makrozoobenthos
tertinggi di perairan Selat malaka terdapat pada substrat liat berpasir.
Selain dua penelitian di atas, terdapat juga penelitian mengenai hubungan
habitat dengan volume backscattering strength ikan demersal dilakukan oleh Ginting (2010) menghasilkan bahwa ikan demersal yang berukuran kecil lebih
dominan dari pada ikan demersal yang berukuran besar. Daerah distribusi ikan
demersal yaitu, ikan-ikan kecil berada di dekat pantai dan ikan-ikan besar berada
lebih ke arah menjauhi pantai.
Adapun nilai-nilai SV untuk substrat yang didapat dari penelitian-penelitian
Tabel 4. Nilai SV Substrat di Beberapa Penelitian
Nilai Volume Backscattering Strength (SV) (dB)
Peneliti Metode Lokasi
Pasir Pasir berlumpur
Lumpur
berpasir Lumpur Irfania,
2009 Matlab
Perairan
Arafura -19,532 -21,832 -22,283 -25,478
Purnawan,
2009 Matlab Pulau Pari -16,350 - - -
Allo,
2008 Echoview
Perairan
Pandeglang -18,050 -21,090 -27,040 -30,020
Pujiyati,
2008 EP 500
Perairan Babel
dan Jawa -20,000 - - -35,910
Manik,
2006 Matlab Samudra Hindia -18,000 - -23,000 -29,000
3. METODOLOGI
PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini menggunakan data hasil survei Badan Riset Perikanan Laut
(BRPL). Data yang diambil merupakan bagian dari penelitian BRPL yang
berjudul Riset Pengkajian Sumber Daya Ikan dan Lingkungan di Selat Malaka dan
Pantai Timur Sumatera (Gambar 2). Pengambilan data menggunakan Kapal Riset
Bawal Putih I yang dilakukan pada tanggal 12-22 Juni 2008. Data ini juga pernah
diolah oleh Riantoro (2010) dengan judul penelitian “Hubungan Nilai Volume Backscattering Strength (SV) Dasar Perairan dengan Kandungan
Makrozoobenthos di Selat Malaka dan Gusus Pulau Pari”.
Perekaman data akustik dan pengambilan contoh/contoh oseanografi
dilakukan pada sekitar Perairan Pulau Bengkalis, Pulau Rupat menuju Selat
Malaka. Pengambilan data trawl dilakukan di sekitar Perairan Pulau Bengkalis
dan Pulau Rupat.
3.2. Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan untuk pengolahan data pada penelitian ini
adalah: Personal Computer (PC), Echoview 4.0 beserta Dongle, ER 60, Minitab
14, Statistica 6, dan Microsoft Office. Bahan yang digunakan pada penelitian adalah data akustik, data grab untuk makrozoobentos dan tipe substrat, dan data
trawl untuk ikan demersal.
17
3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Perolehan Data
Data akustik yang digunakan diterima sudah dalam bentuk echogram. Data
akustik yang diolah sebanyak 20 stasiun, namun karena ada beberapa nilai TS
yang tidak sesuai maka perlu dihilangkan sehingga tersisa 14 stasiun. Perolehan
data akustik di Selat Malaka dilakukan sepanjang lintasan oleh tim BRPL.
Perekaman data menggunakan instrumen echosounder split beam EK 60.
Data makrozoobenthos yang digunakan merupakan hasil olahan Riantoro
(2010) berupa nilai kepadatan makrozoobentos. Data makrozoobenthos yang
diperoleh merupakan hasil pengambilan contoh makrozoobenthos pada beberapa
stasiun lapang. Data makrozoobentos yang diamati disesuaikan dengan data
akustik yaitu sebanyak 14 stasiun. Contoh makrozoobenthos diambil dengan
menggunakan alat Van veen grab dengan ukuran 20x20 cm2.
Data ikan demersal yang digunakan sudah dalam bentuk olahan, yaitu dalam
Miscrosoft Excel. Pengambilan contoh ikan demersal menggunakan alat tangkap
berupa trawl. Contoh ikan demersal yang diambil sebanyak 7 stasiun, namun ada
1 yang tidak sesuai dengan data akustik sehingga hanya 6 stasiun yang akan
diamati.
3.3.2. Pengolahan Data
Data yang diperoleh kemudian diolah di dalam Laboratorium BRPL. Tidak
semua data perlu diolah, hanya data akustik yang perlu dilakukan pengolahan.
Gambar 3 merupakan diagram alir pengolahan data sampai dihasilkannya suatu
Data Grab Data Akustik
Echoview
ER 60
Dongle
Hubungan antara Ikan Demersal, Makrozoobentos, dan Substrat
Gambar 3. Diagram Alir Pengolahan Data
Data akustik diolah dengan menggunakan perangkat lunak Echoview 4.0.
Cara tersebut dilakukan untuk mendapatkan nilai SV max dari ikan dan substrat.
Sebelum melakukan integrasi nilai TS max dari ikan, maka terlebih dahulu data
akustik direkam ulang dengan menggunakan perangkat lunak ER 60. Selanjutnya,
data TS max dan SV max tersebut diolah pada Microsoft Excel agar didapatkan
nilai densitas untuk ikan. Selain itu, agar dihasilkan informasi yang lebih akurat
maka perlu ditambahkan data klasifikasi untuk bentos dan data hasil trawl untuk
ikan, guna mendukung hasil integrasi SV max substrat maka perlu adanya data
grab yang telah diklasifikasi. Penggabungan dari ketiga informasi akan
19
Pemaparan lebih lanjut dalam proses integrasi untuk menghasilkan nilai SV max
dijelaskan pada Gambar 4, sedangkan untuk TS max pada Gambar 5.
3.3.2.1. Pengolahan Volume Backscattering Strength (SV)
Gambar 4 merupakan diagram alir pemaparan lebih lanjut dalam proses
integrasi SV.
Data Akustik. dalam *.raw
Dongle Echoview 4.0
Echogram
EV File Properties (F6) Variable Properties (F8)
Export dalam *.csv
Gambar 4. Diagram Alir Proses Integrasi SV max
Pada proses integrasi SV, data akustik yang akan diolah dan dianalisis
menggunakan software Echoview versi 4.0 beserta dongle tersimpan dalam format
*.raw. Dongle dibutuhkan agar proses integrasi melalui export dapat dilakukan.
Hal yang harus dilakukan agar data sesuai dengan informasi yang diinginkan
adalah pada menu Echoview 4 pilih echogram kemudian pilih variable properties
(F8) dan masukkan nilai-nilai yang akan diamati. Guna mengetahui nilai E1,
maka pada data ganti nilai minimun threshold dengan -50 dB dan maximum Posisi.
(Lintang & Bujur)
Sv max Depth mean
threshold dengan 0 dB. Pada display, color display minimum yang digunakan
sebesar -50 dB dan color display range sebesar 50. Pada grid, distance grid
menggunakan ping number 500 sesuai dengan data terkecil dengan range grid
sebesar 50 m, hal ini dimaksudkan agar tampilan pada echogram tidak
membingungkan pembacanya. Pada ikan, nilai minimun threshold diganti dengan
-60 dB dan maximum threshold dengan -20 dB sehingga color display minimum
yang digunakan sebesar -60 dB dan color display range sebesar 40. Pada menu
grid nilainya sama dengan nilai E1.
Penentuan daerah yang akan dianalisis pada E1 dengan cara, pada menu
Echoview 4 pilih view kemudian pilih EV file properties (F6). Pada lines, pilih
new yang kemudian ganti nilai multiply depth by dengan 1 dan then add dengan 0
m, untuk line 1; sedangkan untuk line 2, ganti nilai multiply depth by dengan 1
dan then add dengan 0,2 m yaitu sesuai dengan ketebalan contoh substrat yang
diambil. Pada analisis ikan untuk nilai line 1 sama dengan nilai pada E1, namun
untuk line 2, ganti nilai multiply depth by dengan 1 dan then add dengan -5 m.
Setelah line 1 dan 2 terbentuk maka untuk E1, pada variable properties (F8) pilih
analysis, exclude above line diganti dengan line 1 dan exclude below line diganti
dengan line 2; sedangkan untuk ikan, exclude above line diganti dengan line 2 dan
exclude below line diganti dengan line 1.
Jika data yang dibutuhkan sudah disesuaikan, maka proses selanjutnya
adalah export data. Export data dilakukan dengan cara pilih echogram, pilih
export, pilih analysis by cell, kemudian pilih integration. Data tersimpan dalam
21
3.3.2.2. Pengolahan Target Strength (TS)
Gambar 5 merupakan diagram alir pemaparan lebih lanjut dalam proses
integrasi TS.
Data Akustik dalam *.raw
ER 60
Replay Output File
Data Akustik. dalam *.dg
Dongle Echoview 4.0
Echogram
EV File Properties (F6) Variable Properties (F8)
Export dalam *.csv
Gambar 5. Diagram Alir Proses Integrasi TS max
Pengolahan data untuk menghasilkan nilai TS melalui dua tahap yaitu tahap
pertama menggunakan software ER 60 dan tahap kedua menggunakan software
Echoview versi 4.0 beserta dongle. Tahap pertama adalah pada ER 60, data
akustik dalam format *.raw dilakukan perekaman ulang dengan cara pilih start
using selected setting, pilih menu operating dan kemudian pilih replay. Posisi.
(Lintang & Bujur)
TS max
(dB)
Disamping itu, agar data yang dihasilkan dapat digunakan untuk integrasi TS,
maka perlu dilakukan pengaturan pada menu output. Pertama, tentukan terlebih
dahulu tempat penyimpanan hasil rekaman dengan cara pilih output, pilih file, dan
pilih directory. Kedua, atur variabel-variabel agar hasil rekaman sesuai dengan
informasi yang diinginkan, dengan cara pilih output, pilih prosessed data, ceklist
save EK500, dan klik EK500. Di dalam tampilan EK500 akan terdapat menu
datagram, range, dan echogram. Selanjutnya ceklist semua parameter yang ada
pada menu datagram dan klik menu echo trace setup yang kemudian letakkan
parameter pada kondisi minimum dan maksimum. Pada menu range, klik surface
range, kemudian masukkan nilai start relative surface dengan 0 (nol) dan nilai
bottom range dengan 100 (tergantung kedalaman maksimum perairan). Pada
menu echogram, pilih TVG type dengan data yang dibutuhkan, yaitu TS. Setelah
dilakukan pengaturan, maka proses terakhr adalah dijalankannya perekaman
ulang. Lakukan cara yang sama pada setiap data yang akan dilakukan proses
perekaman ulang. Data hasil perekaman ulang dengan ER 60 tersimpan dalam
format *.dg.
Tahap kedua, data akustik yang ada dalam format *.dg kemudian diolah
menggunakan software Echoview versi 4.0. Proses pengaturan TS pada Echoview
versi 4.0 sama dengan proses pengaturan pada SV. Namun, pada export data
terjadi perbedaan, yaitu dengan cara pilih export, pilih anaysis by cell, dan
selanjutnya pilih frequency distribution. Data hasil integrasi juga tersimpan
23
3.3.2.3. Pengolahan Densitas
Pengolahan nilai densitas untuk ikan dilakukan pada Ms. Excel. Pengolahan
dapat dilakukan setelah proses integrasi SV dan TS. Densitas dihasilkan dengan
menggunakan formula (Iida et al.,:1996):
SV (dB) = 10 log (N τbs)
= 10 log N + TS………...(1)
Dengan asumsi kepadatan numerik adalah sebanding dengan kepadatan individu,
maka persamaan (1) dapat ditulis kembali sebagai berikut:
SV (dB) = 10 log ρ + A……….(2)
Dimana: SV = volume strength (dB)
ρ = kelimpahan/densitas organisme (ind/m3)
A = target strength rata-rata (dB)
3.3.3. Visualisasi Data
Penyajian data ditampilkan dengan menggunakan Miscrosoft Excel, regresi
berganda, dan Principal Component Analysis (PCA). Penyajian data dengan
Miscrosoft Excel ditampilkan dalam bentuk grafik dan tabel. Regresi berganda
digunakan untuk melihat hubungan antara ikan demersal, makrozoobentos, dan
tipe substrat. PCA digunakan untuk menerangkan struktur ragam per ragam
melalui kombinasi linier variabel dengan konsep utama mereduksi data dan
menginterpretasikannya.
Regresi berganda adalah persamaan regresi dengan satu peubah tak bebas (Y)
peubah-peubah tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk persamaan (Mattjik dan
Sumertajaya, 2000):
Yi = β0 + β1X1 + β2X2 + ... + βpXp + εi...(3)
Keterandalan dari model yang diperoleh dapat dilihat dari kemampuan model
menerangkan keragaman nilai peubah Y. Ukuran ini sering disebut dengan
koefisien determinasi yang dilambangkan dengan R2. Semakin besar nilai R2 berarti model semakin mampu menerangkan peubah Y. Besarnya nilai koefisien
determinasi dapat dihitung sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya, 2000):
R2 = b2.Sx2.Sy-2...(4)
Dimana : Sx2 = Ragam dari variabel X
Sy2 = Ragam dari variabel Y
Koefisien korelasi merupakan ukuran keeratan linier antara Y dengan suatu
peubah bebas (X), yang dilambangkan dengan r. Semakin besar nilai r berarti
semakin erat hubungan antara peubah Y dan peubah X. Besarnya nilai koefisien
korelasi dapat dihitung sebagai berikut (Walpole, 1997):
r = (R2)1/2...(5)
PCA digunakan untuk menyusutkan dimensi dari sekumpulan variabel yang
tak bertata untuk keperluan analisis dan interpretasi sehingga variabel yang
jumlahnnya cukup banyak akan diganti dengan variabel yang jumlahnya lebih
sedikit tanpa diiringi hilangnya objektivitas analisis (Andi, 2002). Keuntungan
penggunaan PCA dibandingkan metode lain (Soemartini, 2008):
1. Dapat menghilangkan korelasi secara bersih (korelasi = 0).
25
3. Dapat dipergunakan tanpa mengurangi jumlah variabel asal.
4. Walaupun metode Regresi dengan PCA ini memiliki tingkat kesulitan
yang tinggi akan tetapi kesimpulan yang diberikan lebih akurat
dibandingkan dengan pengunaan metode lain.
Metode Pengganga Lagrange dirumuskan sebagai berikut (Andi, 2002):
Y = α’Σα-λ(α’α-1)...(6)
Dengan memaksimumkan persamaan di atas akan diperoleh komponen utamanya.
Komponen utama pertama mampu menerangkan variansi data terbesar sehingga
Var (Y1) = λ1dan kovarians antara masing-masing komponen utama = 0. Artinya,
komponen utama tidak saling berkorelasi. Kompoen utama pertama adalah
kombinasi linier terbobot variabel asal yang dapat menerangkan keragaman
terbesar, demikian seterusnnya untuk komponen utama lain. Total varian data
yang mampu diterangkan oleh setiap komponen utama adalah proporsi antara akar
ciri (λ) komponen tersebut terhadap jumlah akar ciri atau trace matriks varians
kovarians (TrΣ ) yang dirumuskan sebagai berikut (Andi, 2002):
TrΣ = λ1 + λ2 + ... + λp………...(7)
∑
=Dengan demikian persentase variansi yang akan diterangkan oleh komponen
utama ke-j adalah (Andi, 2002):
%
Matriks korelasi menjelaskan hubungan antar parameter yang ada. Suatu
korelasi dinyatakan berhubungan positif atau berbanding lurus jika nilainya
terbalik jika nilainya berada pada kisaran -0,50 sampai dengan -1,00 dan jika
nilainya berada diantara -0,50 hingga 0,50 dianggap tidak mempunyai pengaruh
yang nyata baik positif ataupun negatif (Legendre dan Legendre, 1983 dalam
4. HASIL
DAN
PEMBAHASAN
4.1. Sebaran Substrat
4.1.1. Sebaran Data Akustik untuk Substrat
Perairan Selat Malaka merupakan bagian dari Paparan Sunda yang relatif
dangkal (Atmaja et al., 2001 dalam Masrikat, 2003), kedalaman perairan ini meningkat secara gradual hingga 100 m sebelum Continental Slope Laut
Andaman (Wyrtky, 1961 dalam Masrikat, 2003). Berdasarkan data hidroakustik Perairan Selat Malaka memiliki kedalaman yang berkisar antara 13,98 – 63,48 m.
Posisi terdangkal terdapat pada koordinat 1o37’10,56” LU dan 102o18’42,48” BT, sedangkan posisi terdalam terdapat pada koordinat 3o43’20,28” LU dan
99o51’45,00” BT. Kedalaman perairan yang diperoleh menunjukkan adanya variasi kedalaman yang berbeda untuk setiap posisi lintang dan bujur. Data
hidroakustik yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari 14 stasiun
pengamatan.
Gambar 6 dan Gambar 7 merupakan sebaran vertikal dan horisontal dari SV
substrat berdasarkan kedalaman perairan dan stasiun pengamatan.
-70
Gambar 6. Sebaran Vertikal SV Substrat
Gambar 7. Sebaran Horisontal SV Substrat
Nilai SV untuk substrat berkisar antara -22,70 dB sampai -30,76 dB.
Berdasarkan Gambar 7 nilai SV rendah (-26,89 dB sampai -30,76 dB) berada pada
Stasiun 1, 4, 16, 19, 20 dan 21. Nilai SV tinggi (-22,70 dB sampai -25,59 dB)
berada pada Stasiun 2, 3, 6-9, 13, dan 18. Di lihat secara vertikal (Gambar 6)
persebaran nilai SV tinggi berada pada kedalaman perairan 23,55 m -45,88 m,
sedangkan SV rendah berada di kedalaman 13,98 m dan lebih besar dari 50,00 m,
meskipun ada juga nilai SV rendah pada kedalaman 27,72 m.
4.1.2. Sebaran Data Grab untuk Substrat
Data grab adalah data contoh yang diambil dengan menggunakan alat Van veen grab. Pada penelitian ini melalui van veen grab maka akan didapatkan tipe substrat yang ada di Perairan Sealat Malaka.Tabel 5 merupakan tipe substrat pada
29
Tabel 5. Tipe Substrat setiap Stasiun
Stasiun Tipe Substrat Kedalaman Perairan (m)
1 Pasir 27,72
Berdasarkan data grab Perairan Selat Malaka memiliki empat tipe substrat
yaitu pasir (4 stasiun), pasir berlumpur (5 stasiun), liat berpasir (4 stasiun), dan
liat (1 stasiun). Hasil analisis sedimen menunjukkan bahwa pada Stasiun 1, 13, 20
dan 21 memiliki tipe substrat pasir; Stasiun 8, 9, 16, 18, dan 19 memilki tipe
substrat pasir berlumpur; Stasiun 2,3, 6 dan 7 memilki tipe substrat liat berpasir;
dan Stasiun 4 memiliki tipe substrat liat. Tipe substrat pasir terdapat pada
kedalaman 27,72 m (Stasiun 1); 39,23 m (Stasiun 13); 61,17 m (Stasiun 20); dan
63,48 m (Stasiun 21). Substrat pasir berlumpur terdapat pada kedalaman 27,51 m
(Stasiun 8); 35,06 m (Stasiun 9); 51,67 m (Stasiun 16); 44,57 m (Stasiun 18); dan
62,04 m (Stasiun 19). Kedalaman 23,55 m (Stasiun 2); 43,86 m (Stasiun 3); 45,88
m (Stasiun 6); dan 33,80 m (Stasiun 7) memiliki tipe substrat liat berpasir. Tipe
substrat liat terdapat pada kedalaman terdangkal yaitu 13,98 m (Stasiun 4).
4.1.3. Hubungan Data Akustik dan Grab untuk Substrat
Guna melihat kaitan antara data akustik dengan data grab maka perlu
SV substrat yang dihasilkan secara akustik dan tipe substrat yang dihasilkan dari
data grab yang ada di Perairan Selat Malaka.
Gambar 8. Grafik SV Substrat dan Tipe Substrat
Berdasarkan Gambar 8 dapat diketahui bahwa substrat liat mempunyai nilai
SV sebesar -27,18 dB. Besarnya nilai SV substrat tersebut berada diantara nilai
SV pada Irfania (2009) dan Manik (2006) dalam Irfania (2009) yaitu masing-masing -25,48 dB dan -30,00 dB. Nilai SV untuk tipe substrat liat berpasir
berkisar antara -24,96 dB hingga -22,70 dB dengan rataan sebesar -23.77 dB.
Rataan nilai tipe substrat liat berpasir sebesar -23,77 dB mendekati nilai SV
Manik (2006) dalam Irfania (2009) yaitu sebesar -23,00 dB. Tipe substrat pasir berlumpur memiliki kisaran antara -27,04 dB hingga -23,79 dB dengan rataan
sebesar -25,55 dB. Pada tipe substrat pasir kisaran nilai SV antara30,76 dB
hingga -23,61 dB dengan rataan sebesar -26,84 dB.
Kisaran nilai SV pada tipe substrat pasir berlumpur cukup besar diperkirakan
31
masing-masing stasiun. Tipe substrat pasir berlumpur terdapat pada Stasiun 8, 9,
16, 18, dan Stasiun 19. Pada Stasiun 8 tekstur substratnya pasir 69,65%; debu
1,67%; dan liat 28,68%. Stasiun 9 memiliki tekstur substrat pasir 81,93%; debu
0,69%; dan liat 17,38%. Tekstur substrat pada Stasiun 16 adalah pasir 78,45%;
debu 2,09 %; dan liat 19,46%. Pada Stasiun 18 tekstur substratnya pasir 81,36%;
debu 1,53%; dan liat 17,11%. Stasiun 19 memiliki tekstur substrat pasir 76,04%;
debu 2,04%; dan liat 21,92%.
Pada tipe substrat pasir perbedaan nilai SV cenderung memiliki rentang yang
tinggi, hal ini disebabkan letak dari stasiun pengamatan yang relatif jauh sehingga
terdapat perbedaan ukuran fraksi yang mengakibatkan nilai SV substrat cenderung
beragam. Tipe substrat berpasir terdapat pada Stasiun 1, 13, 20 dan Stasiun 21.
Stasiun 1 terletak pada koordinat 1o23’52,85” LU dan 102o36’40,26” BT. Stasiun 13 terletak pada koordinat 3o46’25,75” LU dan 99o21’55,35” BT. Stasiun 20 terletak pada koordinat 3o38’9,42” LU dan 99o48’53,15” BT. Stasiun 21 terletak pada koordinat 3o43’20,29” LU dan 99o51’44,96” BT.
4.2. Sebaran Ikan Demersal
4.2.1. Sebaran Data Akustik untuk Ikan
Pengamatan sebaran ikan demersal melalui metode akustik menghasilkan
nilai SV dan TS. Gambar 9 dan Gambar 10 merupakan sebaran vertikal dan
horisontal dari SV, TS, dan densitas ikan berdasarkan kedalaman perairan dan
-70
Gambar 9. Sebaran Vertikal SV, TS, dan Densitas Ikan
-60
Gambar 10. Sebaran Horisontal SV, TS, dan Densitas Ikan
Gambar 9 dan Gambar 10 merupakan hasil pengolahan data hidroakustik
pada ikan. Data yang dihasilkan berupa nilai SV max dan TS max, sedangkan nilai densitasnya dihasilkan dengan menggunakan Formula 2.
Nilai SVuntuk ikan berkisar antara -40,76 dB hingga -43,20 dB yang
33
SV yang tidak terlalu jauh yaitu sekitar 2,50 dB, diperkirakan karena kepadatan
dari ikan demersal yang berada di perairan cenderung seragam.
Nilai TS untuk ikan berkisar antara -25,39 dB hingga -57,71 dB. Dilihat dari
Gambar 9, nilai TS yang rendah yaitu berkisar antara -57,71 dB hingga -38,85 dB
berada pada kedalaman perairan lebih dangkal dari 50,00 m, sedangkan nilai TS
tinggi yaitu berkisar antara -32,41 dB hingga -25,39 dB berada pada kedalaman
lebih dalam dari 50,00 m, meskipun ditemukan juga TS rendah di kedalaman
33,80 m. Menurut Trynor (1996) melalui formula TS = 20 log L – 66 dimana L
adalah dugaan panjang ikan dalam cm, maka dugaan panjang ikan dapat
diketahui. Mengacu pada Formula Trynor, Gambar 9 menjelaskan bahwa
ikan-ikan berukuran kecil berada pada kedalaman perairan kurang dari 50,00 m,
sedangkan ikan-ikan berukuran besar cenderung berada di perairan yang memiliki
kedalaman lebih dari 50,00 m.
Gambar 10 menunjukkan bahwa kenaikan nilai TS berada di Stasiun 7, 16,
19, 20 dan 21. Berdasarkan hasil tangkapan trawl (Lampiran 7) ikan demersal
yang dominan tertangkap pada Stasiun 7 merupakan spesies Johnius grypotus. Dipandang dari nilai TS yang hampir serupa antara Stasiun 7, 16, 19, 20 dan 21
maka diperkirakan spesies yang tertangkap memiliki ukuran yang sama pula.
Nilai densitas ikan berkisar antara 0,02 ind/m3 hingga 30,41 ind/m3. Dilihat secara vertikal (Gambar 9) maupun horizontal (Gambar 10) persebaran densitas
ikan berlawanan dengan nilai TS ikan, yakni saat nilai TS ikan rendah (-57,71 dB)
densitas ikan berlawanan merupakan akibat dari nilai SV yang cenderung seragam
sehingga tampak hanya nilai TS yang mempengaruhi nilai densitas ikan tersebut.
4.2.2. Sebaran Data Tangkapan Trawl untuk Ikan
Tabel 6 merupakan hasil tangkapan trawl di Perairan Selat Malaka dari jenis
ikan demersal.
Tabel 6. Data TrawlIkan Demersal
Ikan Demersal Dominan Stasiun Jumlah
Tangkapan (ind) Famili Spesies Nama Indonesia 1 167 Trichiuridae Lepturacanthus savala Layur golok
2 194 Scianidae Johnius distinctus Gulamah 3 710 Scianidae Nibea mitsukurii Gulamah 4 234 Scianidae Johnius grypotus Gulamah 6 512 Scianidae Nibea mitsukurii Gulamah 7 77 Scianidae Johnius grypotus Gulamah
Berdasarkan hasil tangkapan trawl (Tabel 6) yang diambil pada Stasiun 1-4
dan Stasiun 7 ikan yang dominan tertangkap berasal dasi Famili Scianidae. Pada
Famili Scianidae jenis ikan yang termasuk dalam kelompok demersal biasanya
merupakan spesies dari Ikan Gulamah atau Tiga Waja. Adapun spesies dominan
yang tertangkap pada Stasiun 1-4, 6 dan 7 akan disajikan secara berurut;
Lepturacanthus savala (Layur golok), Johnius distinctus (Gulamah), Nibea mitsukurii (Gulamah), Johnius grypotus (Gulamah), Nibea mitsukurii (Gulamah) dan Johnius grypotus (Gulamah). Lepturacanthus savala memiliki panjang maksimal 100,00 cm (Cuvier, 1829 dalam cmilitante, 2010), Johnius distinctus
35
Gambar 11. Persentase Hasil Tangkapan Trawl
Gambar 11 merupakan diagram pie persentase jumlah ikan yang tertangkap
melalui trawl di stasiun 1, 2, 3, 4, dan 7. Jumlah total ikan yang tertangkap dari
keenam stasiun yaitu 1.894 ind. Berdasarkan diagram pie diketahui dapat
diketahui bahwa spesies Nibea mitsukurii merupakan spesies yang paling banyak tertangkap yaitu sebesar 28,56%. Di samping itu juga ada spesies Johnius grypotus dan Harpadon nehereus yang persentasenya cukup dominan yaitu sebesar 24,23% dan 14,41%. Ada juga spesies Lepturacanthus savala dan
Johnius distincus yang jumlahnya tergolong tinggi yaitu sebesar 9,66% dan 7,13%. Lain-lain merupakan spesies yang jumlahnya lebih kecil dari 10 individu
dengan persentase sebesar 4,80%.
4.2.3. Hubungan Data Akustik dan Hasil Tangkapan Trawl
Guna melihat kaitannya antara data akustik dan hasil tangkapan trawlmaka
ikan yang dihasilkan secara akustik dan jumlah total ikan demersal setiap stasiun
Gambar 12. Perbandingan antara Densitas Ikan dan Hasil Tangkapan Trawl
Berdasarkan grafik dapat diketahui bahwa nilai densitas ikan secara akustik
cenderung mengikuti besarnya hasil tangkapan trawl. Namun ada juga nilai
densitas secara akustik yang tidak sesuai dengan hasil tangkapan trawl. Hal ini
diperkirakan terjadi karena perbedaannya daerah pengamatan ikan secara akustik
dengan besarnya bukaan trawl. Besarnya bukaan trawl maksimal yang digunakan
dalam pengambilan contoh ikan sebesar 4 m, sedangkan pengamatan secara
akustik 5 meter dari dasar laut.
4.3. Sebaran Makrozoobentos
Selain data tangkapan trawl dilakukan pula pengambilan data in situ
37
Gambar 13. Grafik Jumlah Total Makrozoobentos dan Tipe Substrat
Berdasarkan grafik diketahui bahwa jumlah total makrozoobentos tertinggi
terdapat pada substrat liat berpasir, sedangkan jumlah makrozoobentos terendah
terdapat pada substrat pasir berlumpur. Dilihat secara menyeluruh jumlah total
makrozoobentos tertinggi terdapat di substrat liat berpasir dan jumlah total
makrozoobentos terendah terdapat di substrat liat. Hal ini terjadi karena hanya
ada 1 stasiun yang memiliki substrat liat. Makrozoobentos cenderung lebih
menyukai substrat liat berpasir disebabkan umumnya bentos mampu mendapatkan
makanan yang cukup dan dapat membenamkan diri di substrat. Berdasarkan
analisis sedimen melalui alat Van veen grab makrozoobentos yang dominan berada di Perairan Selat Malaka yaitu berasal dari Genus Chamalycaeus.
4.4. Hubungan Tipe Substrat, Ikan Demersal, dan Makrozoobentos
Berdasarkan data Grab diketahui bahwa pada enam stasiun tempat contoh
ikan demersal diambil (melalui trawl) memiliki 3 tipe substrat yaitu pasir, liat
berpasir dan liat. Gambar 14 merupakan interaksi data contoh antara tipe substrat,
Gambar 14. Grafik Interaksi Data Contoh
Gambar 14 menunjukkna bahwa jumlah total ikan demersal cenderung
mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya jumlah makrozoobentos,
bahkan pada jumlah total makrozoobentos yang rendah, total ikan demersal yang
tertangkap cukup tinggi. Jumlah makrozoobentos tertinggi dan terendah berada
pada tipe substrat liat berpasir, begitu pula pada ikan. Jumlah total ikan terbanyak
terdapat pada jumlah total makrozoobentos yang teringgi, begitu pula sebaliknya.
Jika dilihat kaitannya antara tipe substrat dan jumlah total ikan demersal per trawl
maka tampak bahwa ikan lebih cenderung menyukai substrat liat berpasir.
Tabel 7 akan menunjukkan hubungan antara ke tiga variabel guna melihat
kaitannya antara tipe substrat dan jumlah total makrozoobentos setiap grab dengan
keberadaan ikan demersal melaui tangkapan trawl setiap stasiun pengamatan.
Tabel 7. Hasil Regresi Berganda
Variabel P-Value r R2 P-Value Regresi Makrozoobentos/M (ind) 0,14 0,67
39
Berdasarkan hasil analisis regresi berganda maka diperoleh persamaan
regresi:
Ikan (ind) = -89 + 1,71 M (ind) + 96,0 S
dengan koefisien determinasi sebesar 58,7%. Dari analisis ragam terlihat pula
bahwa model kurang sesuai dengan nilai p-value regresi sebesar 0,27, yang cukup
jauh dari nilai 5%. Berdasarkan nilai p-value masing-masing koefisien peubah,
terlihat bahwa jumlah total makrozoobentos merupakan peubah yang lebih
berpengaruh terhadap jumlah total ikan. Ini ditunjukkan dengan besarnya p-value
jumlah total makrozoobentos (0,14) yang lebih kecil dari p-value tipe substrat
(0,39). Dengan demikian melalui model dugaan regresinya dapat dijelaskan
bahwa jika terjadi perubahan jumlah total makrozoobentos (M) sebanyak satu satuan sedangkan tipe substrat (S) tetap, maka akan mengakibatkan kenaikan jumlah total ikan demersal sebesar 2 satuan. Sebaliknya perubahan pada tipe
substrat cenderung kurang mengakibatkan perubahan yang signifikan pada jumlah
total ikan demersal. Ini ditunjukkan dengan nilai p-value tipe substrat sebesar 0,39
yang cukup jauh dari nilai α=5%. Hal ini juga didukung dengan nilai koefisien
korelasi antara tipe substrat dan jumlah total ikan yang relatif rendah, yaitu 0,18.
Koefisien korelasi antara jumlah total makrozoobentos dan jumlah total ikan
relatif cukup tinggi yaitu 0,67, artinya jumlah total tangkapan ikan cenderung
berkaitan erat dengan keberadaan jumlah total makrozoobentos di perairan.
Hubungan antara data yang ada dapat diamati pula melalui Principal Component Analysis (PCA). Data yang akan diamati merupakan data yang diambil secara akustik maupun data contoh. Data akustiknya adalah kedalaman
contohnya adalah tipe sustrat, jumlah makrozoobentos, dan jumlah ikan. Tipe
substrat diibaratkan secara numerik, pasir diganti dengan angka 1, pasir berlumpur
dengan angka 2, liat berpasir dengan angka 3, dan liat dengan angka 4.
Gambar 15. Grafik Kedekatan antar Parameter Tabel 8. Korelasi antar Parameter
Variabel Depth E1 Tipe
Makrozoobentos Σ Ikan
Depth 1,00 0,73 -0,17 0,43 0,09 -0,27 0,39 0,68
Faktor 1 dan Faktor 2 merupakan hasil reduksi/penyusutan parameter yang
diamati, dimana faktor tersebut jumlahnya lebih sedikit tanpa diiringi hilangnya
objektivitas. Berdasarkan Gambar 15 dapat dijelaskan bahwa faktor 1 memiliki
41
)
n
esar
g oleh 5 parameter baik
t).
asi
g sebesar 2,46. Penjumlahan antara dua komponen utama (faktor 1 dan faktor 2
mampu menerangkan keragaman data sebesar 73,25%. Sehingga dapat dikataka
bahwa data mampu menjelaskan keadaan di Peraiaran Selat Malaka sebesar
73,25%. Sebenarnya ada juga faktor lain yang memiliki nilai akar ciri lebih b
dari 1 yaitu faktor 3 sebesar 1,45 dengan nilai keragaman sebesar 18,16%.
Penjumlahan antara faktor 1 dan faktor 3 atau faktor 2 dan faktor 3 tidak
digunakan karena menghasilkan nilai keragaman yang lebih rendah jika
dibandingkan dengan penjumlahan faktor 1 dan faktor 2.
Gambar 15 juga menjelaskan bahwa faktor 1 didukun
secara positif maupun negatif. Faktor 1 positif didukung oleh parameter TS ikan,
sedangkan faktor 1 negatif didukung oleh parameter densitas ikan, tipe substrat,
SV ikan, dan jumlah ikan. Faktor 2 didukung oleh 3 parameter secara positif
yaitu jumlah makrozoobentos, depth (kedalaman perairan), dan E1 (SV substra Berdasarkan nilai korelasinya (Tabel 8) dapat diketahui bahwa E1 hanya
berhubungan positif atau berbanding lurus dengan depth perairan dengan korel sebesar 0,73. Densitas ikan berbanding lurus dengan SV ikan dan tipe substrat
dengan nilai korelasi masing-masing sebesar 0,63 dan 0,70, sedangkan densitas
ikan berbanding terbalik atau berhubungan negatif dengan TS ikan dengan nilai
korelasi -0,94. SV ikan berbanding lurus dengan jumlah ikan sebesar 0,65 dan
berbanding terbalik dengan TS ikan yaitu sebesar -0,63. Jumlah ikan berbandin
lurus dengan depth perairan dan jumlah makrozoobentos dengan korelasi masing-masing 0,68 dan 0,67 serta berbanding terbalik dengan TS ikan dengan korelasi
sebesar -0,57. Melalui Gambar 15 juga terlihat jelas bahwa parameter densitas
n secara
a pembahasan sebelumnya (melalui grafik Ms. Excel). Melalui pengolaha
PCA juga dapat diketahui bahwa tipe substrat tidak berkaitan atau berkorelasi
linier dengan jumlah ikan, dimana hasil ini juga sama dengan pengolahan secar
regresi berganda.
Gambar 16. Grafik Kedekatan antar Stasiun
Berdasarkan g etahui bahwa
eter.
oleh rafik kedekatan antar stasiun (Gambar 16) dik
Stasiun 2 memiliki kedekatan dengan Stasiun 4; Stasiun 1 dengan Stasiun 7; dan
Stasiun 3 dengan Stasiun 6. Hal ini diperkirakan terjadi karena jarak antar
stasiunnya yang relatif sama sehingga memiliki kedekatan nilai-nilai param
Gambar 16 menjelaskan bahwa Stasiun 2 dan Stasiun 4 dicirikan oleh
parameter tipe substrat dan densitas ikan. Stasiun 1 dan Stasiun 7 dicirikan
parameter TS ikan. Stasiun 3 dan Stasiun 6 dicirikan oleh parameter SV ikan,
5. KESIMPULAN
DAN
SARAN
5.1. Kesimpulan
Perairan Selat Malaka merupakan perairan yang tergolong dangkal dengan
kedalaman yang berkisar antara 13,98 m – 63,48 m. Tipe substrat yang berada di
perairan ini terdiri dari pasir, pasir berlumpur, liat berpasir, dan liat dengan
kisaran nilai SV antara -22,98 dB sampai -30,95 dB. Makrozoobentos yang
dominan berada di perairan Selat Malaka yaitu berasal dari Genus Chamalycaeus, sedangkan dari tangkapan trawl ikan demersal yang dominan merupakan Famili
Scianidae. Ikan demersal berukuran kecil cenderung berada pada kedalaman
perairan lebih kecil dari 50,00 m, sedangkan ikan-ikan berukuran besar cenderung
berada di perairan yang memiliki kedalaman lebih besar dari 50,00 m. Jenis ikan
demersal yang tertangkap diperkirakan round fish sehingga mampu beradapatasi pada berbagai tipe substrat.
Dilihat melalui regresi berganda dan PCA dapat disimpulkan bahwa jumlah
total makrozoobentos merupakan peubah yang lebih berpengaruh terhadap jumlah
total ikan karena perubahan tipe substrat cenderung kurang mengakibatkan
perubahan yang signifikan pada jumlah total ikan demersal. Pada penelitian ini
membuktikan bahwa bentos merupakan faktor utama bagi keberadaan ikan
demersal bukan tipe substrat.
5.2. Saran
Diharapkan adanya penelitian lanjutan mengetahui hubungan antara biota
lain dengan ikan demersal. Di samping itu sebaiknya perlu menggunakan metode
dan pengujian statistik lain dalam pengolahan data.
Allo, O. A. T, S. Pujiyati, dan I. Jaya. 2009. Klasifikasi Habitat Dasar Perairan dengan Menggunakan Instrumen Hidroakustik SIMRAD EY-60 di Perairan Sumur, Pandeglang-Banten. Jurnal Kelautan Nasional. 1(Edisi Khusus Januari): 129-139.
Allo, O. A. T. 2008. Klasifikasi Habitat Dasar Perairan dengan Menggunakan Instrumen Hidroakustik SIMRAD EY-60 di Perairan Sumur, Pandeglang-Banten. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Tidak dipublikasikan).
Andi. 2002. 10 Model Penelitian dan Pengolahnnya dengan SPSS 14. Edisi IV. ANDI OFFSET. Yogyakarta. WAHANA KOMPUTER. Semarang.
Cmilitante. 2010. Catalog of Fishes.
http://www.fishbase.org/summary/speciessummary.php?id=15925. [2 November 2010]
Darojah, Y. 2005. Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos di Ekosistem Perairan Rawapening Kabupaten Semarang. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Semarang. (Tidak dipublikasikan).
Ginting, P. 2010. Hubungan Habitat dengan Volume Backscattering Strength Ikan Demersal di Perairan Sumur Banten Menggunakan Instrumen Hidroakustik SIMRAS EY 60. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Tidak
dipublikasikan).
Ikawati, Y. dan H. Parlan. 2009. Coral Reef in Indonesia. Coral reff Rehabilitation and Management Program Phase II. Ministry of Marine Affairs and Fisheries. COREMAP II-DKP. Jakarta.
Iida, K., Mukai, T., and Hwang, D. J. 1996. Relationship Between Acoustic Backscattering Strength and Density of Zooplankton in the Sound-Scattering Layer. ICES Journal of Marine Science. 53: 507–512.
45
Ilo. 2009. Penangkapan Ikan Demersal tetap Dibatasi. http://www.kompas.com. [19 Agustus 2010]
Irfania, R. 2009. Pengukuran Nilai Acoustic Backscattering Strength Berbagai Tipe Substrat Dasar Perairan Arafura Dengan Instrumen SIMRAD EK60.
Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Tidak dipublikasikan).
Institude for Defense Security and Peace Studies [IDSPS]. 2008. Kebijakan Umum Keamanan Nasional. Policy Paper. September. Jakarta.
Mattjik, A. A. dan I. M. Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan MINITAB. Jilid 1. IPB Press. Bogor.
Masrikat, J. A. N. 2003. Distribusi, Densitas Ikan dan Kondisi Fisik Oseanografi di Selat Malaka. Makalah Pribadi Falsafah Sains. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanioan Bogor. Bogor.
Murdiyanto, B. 2003. Ekosistem Terumbu Karang. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. COFISH Project. Jakarta.
Nelwan, A. 2004. Pengembangan Kawasan Perairan Menjadi Daerah
Penangkapan Ikan. Makalah Pribadi Falsafah Sains. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh T. Samingan. Edisi Ketiga. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Pramitasari, S. D., Asriyanto, dan N. Misuari. 2006. Studi Perikanan Demersal di Perairan Rembang Jawa Tengah. In Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap, 11 Agustus 2006, Bogor. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hal.: 342–351.
Pujiyati, S. 2008. Pendekatan Metode Hidroakustik untuk Analisis Keterkaitan antara Tipe Subsrat Dasar Perairan dengan Komunitas Ikan Demersal.
Riantoro, Y. 2010. Hubungan Nilai Volume Backscattering Strength (SV) Dasar Perairan dengan Kandungan Makrozoobenthos di Selat Malaka dan Gugus Pulau Pari. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Tidak dipublikasikan).
Soemartini. 2008. Principal Component Analysis (PCA) sebagai Salah Satu Metode untuk Mengatasi Masalah Multikolinieritas.Jurusan Statistika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Padjajaran. Bandung.
Sumiono, B. 2002. Laju Tangkap dan Kepadatan Stok Ikan Demersal di Perairan Selat Malaka. JPPI. Edisi Sumber Daya dan Penangkapan. 8(1): 51-56.
Trynor, J. J. 1996. Target-Strength Measurements of Walleye Pollock
(Theragrachalgramma) and Pacific Whiting (MerlucciusProductus). ICES Journal of Marine Science. 53: 253-258.
Walpole, R. E. 1997. Pengantar Statistika. Edisi 3. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Grasindo. Jakarta.
Widodo, J. 1992. Prinsip Dasar Hidroakustik Perikanan. Oseana. XVII (3): 83-95.
Yahya, M. A., Diniah, S. Pujiyati, S. Effendy, M. Sabri, A. Farhan, Parwinia, dan Rusyadi. 2001. Pemanfaatan Sumber Daya Tuna Cakalang secara Terpadu. Makalah Falsafah Sains. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lampiran 1. Contoh Data Hasil Integrasi SV (Stasiun 21)
Lat_M Lon_M Ping_S Ping_E Depth_mean Sv_max 3.7075646 99.853901 0 499 57.1116 -30.9703 3.7103131 99.855326 500 999 59.6557 -28.4095 3.7126525 99.856463 1000 1499 59.8441 -31.6292 3.7149251 99.85757 1500 1999 60.4490 -32.0454 3.7171496 99.858745 2000 2499 61.5994 -30.9006 3.719418 99.860002 2500 2999 61.2022 -28.9880 3.7217218 99.861281 3000 3499 63.2805 -30.9722 3.7238252 99.862667 3500 3999 63.9890 -32.2496 3.7257615 99.864305 4000 4499 65.0227 -30.9378 3.7277306 99.865917 4500 4999 66.6773 -32.2033 3.7296963 99.867493 5000 5499 66.8367 -32.1228 3.731764 99.869125 5500 5999 67.5612 -30.5413 3.7339135 99.870587 6000 6499 67.5980 -29.1380 3.7358119 99.871451 6500 6801 67.8777 -32.2559
Lampiran 2. Contoh Data Hasil Integrasi TS (Stasiun 21) Lat_M Lon_M Ping_S Ping_E TS_max 3.710313 99.85533 500 999 -25.3406 3.712653 99.85646 1000 1499 -26.8105 3.714925 99.85757 1500 1999 -26.0462 3.723825 99.86267 3500 3999 -33.2897 3.729696 99.86749 5000 5499 -30.397
49
Lampiran 4. Contoh Echogram SV Ikan (Stasiun 21)
Lampiran 6. Kepadatan Makrozoobentos (ind/m2)setiap Stasiun (Sumber BRPL)
Stasiun Kepadatan Makrozoobentos (ind.m-2)
Jumlah
Makrozoobentos (ind) Substrat
1 3150 126 Pasir
Lampiran 7. Hasil Tangkapan Trawl setiap Stasiun (Sumber BRPL)
Stasiun Famili Spesies W N
1 Scianidae Johnius distinctus 0.010 1 1 Trichiuridae Lepturacanthus savala 0.800 144 1 Leiognathidae Secutor ruchonius 0.005 4 1 Harpadontidae Harpadon nehereus 0.280 12
1 Kuriidae Kurtus indicus 0.030 6
2 Ephippidae Pterocanthus serissophorus 1.200 7 2 Ephippidae Drepane longimana 0.010 1 2 Polinemidae Polinemus indicus 0.040 1 2 Uranoscopidae Uranoscopis sp. 0.075 1 2 Trichiuridae Lepturacanthus savala 0.220 7 2 Scianidae Johnius distinctus 1.400 77 2 Scianidae Nibea mitsukurii 0.700 8 2 Kuriidae Kurtus indicus 0.070 11 2 Ariidae Osteogenesis militaris 0.350 3
2 Ariidae Arius caelatus 0.150 2