• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendugaan Umur Simpan Keripik Salak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendugaan Umur Simpan Keripik Salak"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

ESTIMATING THE SHELF LIFE OF SALAK CHIPS

Fakhri Maulana, Indah Yuliasih and Sugiarto

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology and Engineering, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia

Phone 62 51 7533 431, e-mail: fakhrimaulana23@yahoo.com

ABSTRACT

Salak (Salacca Edulis Reinw) is one of the horticultural commodities that still have big potential to be explored and developed in Indonesia. Indonesia as a tropical country provides a good condition of land and weather to grow salak. This condition makes salak grow easily in Indonesia. In the oher hand, this mass production of salak become a new problem itself. The mass production of salak make an excess amount of salak distributed in the market although the market itself can’t afford this huge amount of salak. Therefore, salak become wasted and become priceless. Agroindustry as a concept of adding a value to agricultural commodities trough technology become te best solution when facing this salak problem. To prevent the decreasing value of salak, salak can be proceed to fruit chips known as salak chips.

Salak chips is categorized as dry food that have a small amount of water humidity. So even in shelf, salak chips have a longer shelf life than salak fruit. The purpose of this research is estimating the shelf life of salak’s derivative product which is salak chips. The process of making salak chips start from the frying stage. In order to pretend the composition and the taste of salak chips, vacuum frying is used in this process. After fried, salak must be packaged with the suitable packaging to provide a longer self life of salak chips. In this research, the estimating of salak chips shelf life will be divided in three threatment of packaging which are PP (polyprophylene), almunium foil, and laminated Plastic. Besides the threatment in different packaging, this research also estimating the shelf life of each packaging in three different temperature wich are 30°C, 35°C, and 40°C.

In estimating the shelf life of this salak cips, there are several parameters used wich are water humidity, hardness, crisp, organoleptic test, and FFA. The result of this experiment shows that alumunium foil is the best packaging for salak chips because alumunium foil has the lowest transmission rate of water and oxygen.

(2)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1 LATAR

BELAKANG

Salak (Salacca edulis reinw) merupakan tanaman yang termasuk suku Spadiflorae, famili Palmae, genus Salacca dan spesies Salacca edulis. Salak merupakan salah satu produk hortikultura yang berpotensi untuk ditanam dan dikembangkan. Di Indonesia banyak terdapat daerah potensial penghasil salak. Buah salak tersedia sepanjang tahun. Dalam keadaan segar, buah salak mempunyai umur simpan yang relatif pendek. Salah satu usaha untuk mengatasi persediaan buah salak yang berlimpah agar tidak busuk yaitu dengan cara mengolah buah salak menjadi produk olahannya seperti asinan, minuman, keripik, dan lain-lain.

Keripik salak merupakan salah satu produk olahan buah salak yang saat ini banyak di kembangkan di daerah-daerah potensial penghasil salak. Proses pengolahan keripik salak dilakukan dengan cara mengoreng buah salak tanpa biji dalam mesin penggorengan vakum (vacuum frying). Penisiran minyak setelah proses penggorengan keripik salak dilakukan dengan alat sentrifuse sehingga menghasilkan keripik salak yang renyah.

Untuk menjaga mutu produk keripik salak agar tetap dalam kondisi baik selama penyimpanan diperlukan pengemas yang berfungsi untuk mencegah atau menghambat kerusakan produk dari pengaruh lingkungan. Penggunaan kemasan harus disesuaikan dengan karakteristik produk yang dikemas sehingga dapat mempertahankan umur simpan produk tersebut.

Bahan kemasan yang umum digunakan untuk mengemas keripik buah adalah plastik, antara lain adalah kantong plastik PP (polypropylene), alumunium foil dan plastik laminasi (OPP/PP/CPP). Untuk itu dalam penelitian ini, pendugaan umur simpan keripik salak dalam kemasan seperti diatas dilakukan dengan metode Akselerasi.

Metode akselerasi atau Accelerated Storage Studies (ASS) adalah konsep studi peyimpanan untuk menentukan umur simpan produk yang menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi deteriorasi (penurunan mutu) produk. Keuntungan dari metode ini membutuhkan waktu yang relatif lebih singkat, namun tetap memilki ketepatan dan akurasi yang tinggi. Menurut National Food Processor Association (1978), suatu produk berada pada kisaran umur simpannya bilamana kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diingikan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan.

1.2

TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui karakteristik buah salak segar dan keripik salak yang digunakan dalam penelitian ini. 2. Mengetahui perubahan mutu keripik salak selama penyimpanan.

(3)

2

1.3 RUANG

LINGKUP

Ruang lingkup penelitian ini difokuskan pada :

1. Pendugaan umur simpan keripik salak dengan metode akselerasi. 2. Suhu penyimpanan yang digunakan adalah 30, 35dan 450C.

3. Kemasan yang diujikan dalam pendugaan umur simpan keripik salak adalah kemasan plastik PP (polypropylene), plastik laminasi (OPP/PP/CPP), dan alumunium foil.

(4)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SALAK

2.1.1 Buah

salak

Salak merupakan salah satu produk hortikultura yang berpotensi untuk ditanam dan dikembangkan. Di Indonesia banyak terdapat daerah potensial penghasil salak. Hal ini disebabkan karena lahan yang cocok untuk tanaman salak memang asalnya dari Indonesia. Ketinggian tanah yang sesuai untuk tanaman salak adalah 0-700 meter diatas permukaan laut. Dan ketinggian tanah yang terbaik berkisar antara 1-400 m diatas permukaan laut. Batas toleransi ketinggian yang masih memungkinkan adalah 900 m diatas permukaan laut. Bila sudah lebih dari 900 m pohon salak susah berbuah. Dalam satu tahun tanaman salak yang dikelola secar intensif dapat dipanen tiga kali. Jadi ada tiga musim panen dalam satu tahunnya, yaitu panen besar pada bulan November dan Februari, panen sedang pada bulan Mei dan Agustus, dan panen kecil pada bulan Maret dan Oktober (Nazarudiin dan Kristiawati, 1992).

Pada umumnya buah salak berbentuk bulat atau bulat telur terbalik dengan bagian ujung runcing dan terangkat rapat dalam tandan buah yang muncul dari ketiak pelepah daun. Kulit buah tersususun seperti sisik-sisik berwarna coklat kekuningan sampai coklat kehitaman. Daging buah tidak berserat berwarna putih kekuningan, kuning kecoklatan, atau merah tergantung varietasnya. Rasa buah manis,manis agak asam, manis agak sepet atau manis bercampur asam dan sepet. Dalam 1 buah salak mengandung 1-3 biji. Bijinya berwarna coklat berbentuk persegi dan berkeping satu (Nazarudiin dan Kristiawati, 1992).

Buah salak terdiri atas kulit buah, daging buah dan biji. Sisik kulit buah menjadi satu dengan kulit buahnya. Kulit buah sangat tipis, tebalnya sekitar 0,3 mm. Sedangkan kulit luar buah salak berfungsi sebagai pelindung alami terhadap daging buah yang dibungkusya terhadap pengaruh keadaan lingkungan. Jika kulit sudah terkupas maka terlihatlah bagian dalam buah (Sabari, 1983).

Umur buah salak yang baik untuk dipasarkan adalah antara 6-7 bulan sejak keluarnya bunga (Sumarto, 1976), tetapi jika musim hujan tiba pada saaat buah salak sudah membesar (4-5 bulan), maka petani memanen buahnya lebih awal dari biasanya. Hal ini disebabkan karena buah salak tersebut cepat membesar sehingga terjadi ketidak seimbangan dalam membesarkan kulit dan isi mengakibatkan kulit buah pecah sebelum mencapai umur 6-7 bulan (Sumarto, 1976).

Menurut Nazaruddin dan Kristiawati, (1992) buah salak yang sudah masak umumnya mempunyai ciri-ciri seperti di bawah ini :

a. Kulit buah bersih mengkilap dan susunan sisiknya tampak lebih renggang. b. Bila buah dipetik, mudah sekali terlepas dari tandan buah.

c. Biji salak berwarna coklat gelap kehitaman.

d. Bila dipijit dibagian ujungnya, telah terasa lembut dan empuk.

(5)

4

Nilai gizi dan komposisi kimia daging buah salak dapat dilihat pada Tabel 1 Menurut Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1979) :

Tabel 1. Nilai gizi daging buah salak per 100 gram

Komponen Unit Jumlah

Kalori cal 77,4

Protein g 0,4

Lemak g 0,0

Karbohidrat g 20,9

Kalsium mg 28,0

Fosfor mg 18,0

Besi mg 4,2

Vitamin A mg 0,0 Vitamin B1 mg 0,04 Vitamin C mg 2,0

Air g 78,0

Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1979).

Diantara bermacam-macam salak yang ada, salak pondoh merupakan salak yang paling disukai oleh konsumen. Bahkan sejak ini dinyatakan sebagai buah unggul karena mempunyai banyak kelebihan. Salak pondoh terkenal karena walaupun bentuknya kecil, akan tetapi rasanya manis. Rasa manis ini sudah ada waktu buah masih muda. Salak ini diberi nama pondoh karena dagingnya berwarna putih dan manis seperti pondoh atau pucuk kelapa yang masih terbungkus pelepah. Salak pondoh cara panennya biasanya dilakukan secara serempak, yaitu dengan memotong batang buah salak per tandan. Sekalipun kemasakan tiap buah dalam satu tandan tidak sama, hal ini tidak menjadi problem karena rasa enak khas salak pondoh telah ada sejak salak muda sampai menjelang buah masak di pohon. Umumnya panen dilakukan setelah diketahui biji salak berwarna merah atau merah kecoklatan (Nazaruddin dan Kristiawati, 1992).

2.1.2 Keripik

Salak.

Metode pembuatan keripik (snack food) dari buah-buahan atau sayuran adalah dengan metode penggorengan. Dalam proses ini, buah dicuci, dibelah dan dipotong-potong dalam ukuran yang dikehendaki. Jika diperlukan, dapat dilakukan inaktivasi oksidase yang dikandungnya dan kemudian digoreng pada tekanan atmosfer atau tekanan hampa. Menurut Lastriyanto (1997), penggorengan hampa dilakukan dalam ruangan tertutup dengan kondisi tekanan vakum, dimana kondisi yang baik untuk menggoreng buah secara vakum adalah suhu 90oC, tekanan 70 mmHg dan waktu penggorengan 1 jam. Disain fungsional mesin penggorengan hampa terdiri dari : (1) pompa vakum, (2) ruang penggorengan, (3) unit pengkondensasi uap air yang dilengkapi dengan pendingin, (4) unit pemanas dan (5) unit pengendali operasi.

(6)

5

permukaan bahan. Setelah proses penggorengan hampa dihentikan, tindakan pertama yang harus dilakukan adalah mengeluarkan bahan dari dalam minyak sebelum tekanan ruang penggoreng mencapai satu atmosfir. Tindakan ini dapat mencegah penyerapan lemak yang berlebih.

Keripik merupakan bahan pangan yang memiliki karakteristik berpori dan memiliki kadar air yang rendah. Kerusakan yang sering terjadi adalah terjadinya reaksi oksidasi lipid yang menyebabkan timbulnya rasa tengik dan penyerapan uap air oleh keripik sebagai reaksi kondisi lingkungan (Purnomo, 1995). Pembuatan keripik salak selain untuk memperpanjang umur simpan, juga dapat mempertahankan unsur-unsur utama dari buah salak seperti gula, protein, serat, vitamin dan kalori. Hal ini dapat dilihat dari nilai gizi keripik salak pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Nilai gizi keripik salak per 100 gram

Komponen Unit Jumlah

Gula g 31,7

Protein g 3,0

Lemak g 8,6

Serat g 4,1

Vitamin g 63,3

Kalori kkal 216,4

Air g 5,5

Sumber : www.Sleman.go.id (2007)

Menurut Ketaren (1989), tipe penyebab ketengikan dalam lemak dibagi atas 3 golongan yaitu 1) ketengikan oleh oksidasi, 2) ketengikan oleh enzim dan 3) ketengikan oleh proses hidrolisa. Berbagai jenis minyak atau lemak akan mengalami perubahan flavor dan bau sebelum terjadi proses ketengikan, hal ini dikenal sebagai reversion. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan dari reversion ini adalah : 1) suhu, 2) cahaya atau penyinaran, 3) tersedianya oksigen dan 4) adanya logam-logam yang bersifat sebagai katalisator pada proses oksidasi.

(7)

6

2.2 PENGEMASAN

Pengemasan membatasi bahan pangan dengan lingkungan sekitarnya, sehingga dapat mencegah atau menghambat kerusakan. Pemilihan bentuk dan jenis kemasan harus disesuaikan dengan produk yang akan dikemas, sehingga dapat memenuhi fungsi kemasan sebagai wadah produk, pelindung produk, alat komunikasi dan penambah daya tarik produk (Robertson, 1993). Pengemasan dapat memperlambat kerusakan produk, memperpanjang umur simpan, dan menjaga atau meningkatkan kualitas dan keamanan pangan. Pengemasan juga dapat melindungi produk dari tiga pengaruh luar, yaitu kimia, biologis, dan fisk. Perlindungan kimia mengurangi perubahan komposisi yang cepat oleh pengaruh lingkungan, seperti terpapar gas (oksigen), uap air dan cahaya (cahaya tampak, infra merah atau ultraviolet). Perlindungan biologis mempu menahan mikroorganisme (pathogen dan agen pembusuk), serangga, hewan pengerat dan hewan lainnya. Perlindungan fisik menjaga produk dari bahaya mekanik dan menghindari goncangan dan getaran selama pendistribusian (Marsh dan Bugusu, 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan bahan pangan sehubungan dengan kemasan yang digunakan dapat dibagi dalam dua golongan utama yaitu :

a. Kerusakan yang disebabkan oleh sifat alamiah dari produk sehingga tidak dapat dicegah dengan pengemasan saja (perubahan-perubahan fisik, biokimia dan kimia serta mikrobiologis).

b. Kerusakan yang tergantung pada lingkungan dan hampir seluruhnya dapat dikontrol dengan kemasan yang digunakan (kerusakan mekanis, perubahan kadar air bahan pangan, absorpsi dan interaksi dengan oksigen, kehilangan dan penambah cita rasa yang tidak diinginkan).

2.2.1 Fungsi

Pengemasan

Kemasan merupakan wadah yang berfungsi sebagai pelindung produk, yang telah dilengkapi dengan tulisan, label, dan keterangan-keterangan sebagai sarana komunikasi dan promosi, serta sebagai sarana yang memberikan kemudahan bagi konsumen dan produsen. Kemudahan bagi produsen seperti kemudahan dalam penanganan, penyimpanan dan pemasaran. Sedangkan untuk konsumen kemudahan dalam memperoleh produk, membawa dan menyimpan produk (Syarief dan Halid, 1991). Bahan kemas baik bahan logam, maupun bahan lain seperti bermacam-macam plastik, gelas, kertas dan karton seharusnya mempunyai 6 fungsi utama berikut ini :

a. Menjaga produk bahan pangan tetap bersih dan merupakan pelindung terhadap kotoran dan kontaminasi lain.

b. Melindungi makanan terhadap kerusakan fisik, perubahan kadar air dan penyinaran (cahaya). c. Mempunyai fungsi yang baik, efisiensi dan ekonomis khususnya selama proses penempatan

makanan ke dalam wadah kemasan.

d. Mempunyai kemudahan dalam membuka atau menutup dan juga memudahkan dalam tahap-tahap penanganan, pengangkutan dan distribusi.

e. Mempunyai ukuran, bentuk dan bobot yang sesuai dengan norma atau standar yang ada, mudah dibuang dan mudah dibentuk atau dicetak.

f. Menampakan identifikasi, informasi dan penampilan yang jelas agar dapat membantu promosi atau penjualan.

(8)

7

menekan kontaminasi dari udara dan tanah. Kontamiasi yang dimaksud adalah kontaminasi oleh mikroba pembusuk maupun mikroba yang dapat membahayakan kesehatan konsumen (Buerau, 1996). Selain itu menurut (Arpah, 2001) salah satu fungsi kemasan adalah memperlambat proses deteriosasi, yaitu dengan mempertahankan stabilitas, kesegaran dan penerimaan konsumen dari produk atau memperpanjang umur simpan. Stabilitas produk pangan dihubungkan dengan mudah tidaknya produk mengalami perubahan kimia. Kesegaran utamanya dihubungkan dengan rasa, bau dan aroma produk sedangkan penerimaan mencakup keseluruhan aspek dari mutu produk termasuk pula bentuk, tekstur dan harga.

2.2.2

Sifat Bahan Kemasan

Plastik merupakan bahan pengemas yang berkembang pesat pada saat ini. Plastik digunakan untuk mengemas berbagai macam jenis makanan. Jenis plastik bermacam-macam, jenis plastik tersebut dapat dibedakan berdasarkan senyawa-senyawa penyusunnya. Plastik memiliki berbagai macam keunggulan yakni fleksibel (dapat mengikuti bentuk produk), transparan (tembus pandang), tidak mudah pecah, bentuk laminasi (dapat dikombinasikan dengan bahan kemasan lain), tidak korosif dan harga relatif murah. Di samping memiliki beberapa kelebihan dari bahan kemasan lainnya, plastik juga memiliki kelemahan yakni, tidak tahan panas, dapat mencemari produk (migrasi komponen monomer), sehingga mengandung resiko keamanan dan kesehatan konsumen, dan plastik termasuk bahan yang tidak dapat dihancurkan dengan cepat dan alami (non-biodegradable) (Latief, 2000). Bahan kemasan plastik dibuat dan disusun melalui proses yang disebut polimerisasi dengan menggunakan bahan mentah monomer, yang tersusun sambung menyambung menjadi satu dalam bentuk polimer. Dalam plastik juga berisi beberapa aditif yang diperlukan untuk memperbaiki sifat-sifat fisiko kimia plastik itu sendiri. Kemasan plastik lemas memiliki kelemahan khususnya terhadap daya permeabilitas (barrier) terhadap beberapa jenis gas dan uap air sehingga memungkinkan terjadinya perpindahan molekul-molekul gas baik dari luar plastik (udara) maupun sebaliknya dari makanan ke luar melalui lapisan plastik. Adanya perpindahan senyawa-senyawa tersebut dapat menimbulkan berbagai penyimpangan organoleptik (Winarno, 1997). Menurut Syarief dan Halid (1993) penggunaan plastik untuk kemasan bahan pangan sangat menarik karena sifat-sifatnya yang menguntungkan seperti lunak, mudah dibentuk, mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap produk, tidak korosif seperti wadah dari logam dan mudah dalam penanganannya.

Menurut Robertson (1993) PP (polipropilene) memiliki sifat lebih kaku, kuat dan ringan daripada polietilen dengan daya tembus uap air yang rendah, ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil terhadap suhu tinggi dan cukup mengkilap. Plastik tipis yang tidak mengkilap mempunyai daya tahan yang cukup rendah terhadap suhu tetapi bukan penahan gas yang baik. PP polipropilene termasuk jenis plastik olefin dan merupakan polimer dari propilen. Sifat-sifat utama dari polipropilen yaitu :

a. Ringan (densitas 0,9 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk film. b. Mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari PE. Pada suhu rendah akan rapuh dan tidak dapat

digunakan untuk kemasan beku.

c. Lebih kaku dari PE dan tidak gampang sobek.

d. Permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang. e. Tahan terhadap suhu tinggi sampai dengan 150oC. f. Titik leburnya tinggi

g. Tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak.

(9)

8

Alumunium merupakan bahan kemasan yang juga banyak digunakan. Alumunium tidak memiliki ketahanan terhadap oksigen sehingga pada lapisan atas sering dilapisi dengan alumunium oksida, Al2O3. Namun, ada berbagai macam gas, uap dan cairan yang agresif yang dapat merusak

lapisan tersebut, misalnya air kontak dengan logam berat. Foil adalah bahan kemasan dari logam, berupa lembaran alumunium yang padat dan tipis dengan ketebalan kurang dari 0,15 mm. Foil mempunyai sifat hermotis, fleksibel dan tidak tembus cahaya. Ketebalan dari alumunium foil menentukan sifat protektifnya. Foil dengan ketebalan rendah masih dapat dilalui oleh gas dan uap. Sifat-sifat alufo yang tipis dapat diperbaiki dengan memberi lapisan plastik atau kertas menjadi foil-plastik, foil-kertas, atau kertas-foil-plastik (Robertson, 1993).

Alumunium foil didefinisikan sebagai alumunium primer, yaitu alumunium yang dihasilkan dari proses elektrolisis biji alumunium dari alam, dan alumunium sekunder yaitu alumunium yang dihasilan dari proses peleburan kembali alumunium bekas atau sisa proses. Sifat-sifat yang dimiliki alumunium foil adalah memiliki densitas 2.7 g/cm paling baik untuk bahan penghalang dari udara, cahaya, lemak, dan uap air, memiliki sifat mekanis yang baik, memiliki sisi kilap dan buram, rentan terlipat dan keriput, mudah dibentuk, konduktor yang baik, dapat diembos dan kaku, bebas dari bau, dan suhu tinggi (Interkemas Flexipack, 2003).

Laminasi adalah proses melekatkan satu material yang lain dengan menggunakan media laminasi. Ada dua jenis proses dasar laminasi, yaitu laminasi basah dan laminasi kering. Proses laminasi dilakukan oleh converter untuk menggabungkan dua atau lebih lapisan bersama-sama (Miller, 1994). Tujuan laminasi adalah untuk mengkombinasikan sifat-sifat terbaik dari seluruh metrial menjadi satu struktur kemasan. Bahan-bahan yang biasa digunakan dalam proses laminasi adalah bahan Oriented Polypropylene (OPP) , Polypropylene (PP) dan Cast Polypropylene (CPP).

2.3 UMUR

SIMPAN

2.3.1

Pendugaan Umur simpan

Umur simpan dapat diartikan sebagai rentang waktu antara produk mulai diproduksi sampai dengan produk tersebut dikonsumsi dan mutu produk masih memenuhi syarat untuk dikonsumsi. Menurut Floros (1993), umur simpan suatu produk pangan merupakan waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam kondisi penyimpanan untuk sampai pada level atau tingkatan degradasi mutu tertentu. Ketidaksesuaian umur simpan akan menimbulkan ketidakpuasan dan keluhan dari konsumen. Ketidakpuasan tersebut akan menimbulkan kesan buruk terhadap penerimaan produk tersebut di masyarakat atau bahkan lebih buruk lagi akan menimbulkan malnutrisi dan penyakit. Oleh karena itu, produsen makanan harus memberikan perhatian besar terhadap penentuan umur simpan ini.

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi daya awet bahan pangan antara lain : a. Karakteristik produk

b. Pengaruh lingkungan selama produk ini didistribusikan c. Karakteristik bahan pengemas

(10)

9

Adapun penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Selain itu juga dilakukan dengan mengamati perubahan yang terjadi pada produk selama selang waktu tertentu. Perubahan yang terjadi dapat mengindikasikan adanya penurunan mutu produk tersebut. Maka dari itu, pengujian atribut produk perlu dilakukan untuk menentukan daya simpannya. Hasil atau akibat berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk makanan bersifat akumulatif dan irreversible (tidak dapat dipulihkan kembali) selama penyimpanan sehingga pada waktu tertentu hasil reaksi mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima kembali. Pengaruh kadar air dan aktivitas air sangat penting sekali dalam menentukan daya awet dari bahan pangan karena keduanya mempengaruhi sifat-sifat fisik dan sifat fisika-kimia, perubahan-perubahan kimia, kebusukan oleh mikroorganisme dan perubahan enzimatis, terutama pada bahan pangan yang tidak diolah (Buckle et al. 1987).

Menurut Arpah (2001) Secara umum penentuan umur simpan dari produk pangan dilakukan dengan salah satu cara diantara tiga kategori yaitu :

a. Percobaan dirancang dengan cara menentukan umur simpan produk yang ada.

b. Percobaan dirancang dengan mempelajari pengaruh faktor-faktor spesifik dan kombinasi dari berbagai faktor seperti suhu penyimpanan, bahan pengemas atau bahan tambahan makanan. c. Percobaan dilakukan untuk menentukan umur simpan dari produk yang sedang dikembangkan.

Selain itu, pendugaan umur simpan makanan ini juga dapat diketahui melalui metode yang dilakukan. Terdapat 2 metode yang dapat dilakukan untuk mengetahui umur simpan suatu bahan atau produk pangan, antara lain :

1. Metode Konvensional

Sistem penentuan umur simpan secara konvensional membutuhkan waktu yang lama karena penetapan kadaluarsa pangan metode EES (Extended Storage Studies) dilakukan dengan cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya sehingga tercapai mutu kadaluarsa (Arpah, 2001).

2. Metode Akselerasi

Untuk mempercepat waktu penentuan umur simpan dapat digunakan metode ASLT (Accelerated shelf Life Testing) atau metode akselerasi. Pada metode ini kondisi penyimpanan diatur diluar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat ditentukan. Penggunaan metode akselerasi harus disesuaikan dengan keadaan dan faktor yang mempercepat kerusakan produk yang bersangkutan (Arpah, 2001).

Jenis parameter atau atribut mutu yang diuji tergantung pada jenis produknya. Produk berlemak biasanya menggunakan parameter ketengikan. Produk yang disimpan dingin atau beku menggunakan parameter pertumbuhan mikroba. Produk berwujud bubuk atau kering yang diukur adalah kadar airnya (Arpah, 2001).

Proses perkiraan umur simpan, sangat tergantung pada tersedianya data mengenai : a. Mekanisme penurunan mutu produk yang dikemas

b. Unsur-unsur yang terdapat di dalam produk yang langsung mempengaruhi laju penurunan mutu produk

c. Mutu produk dalam kemasan

d. Bentuk dan ukuran kemasan yang diinginkan e. Mutu produk pada saat dikemas

(11)

10

h. Resiko perlakuan mekanis selama distribusi dan penyimpanan yang mempengaruhi kebutuhan kemasan

i. Sifat barrier pada bahan kemasan untuk mencegah pengaruh unsur-unsur luar yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan mutu produk.

Syarief dan Halid (1993) menjelaskan bahwa suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan, maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan semakin cepat. Oleh karena itu dalam menduga kecepatan penurunan mutu selama penyimpanan perlu memperhitungkan faktor suhu. Dalam penyimpanan makanan, suhu ruangan penyimpanan berubah dari waktu ke waktu, keadaan suhu penyimpanan seperti ini dapat mempermudah pendugaan laju penurunan mutu makanan dengan persamaan Arrhenius. Asumsi yang digunakan untuk model Arrhenius ini adalah perubahan faktor mutu hanya ditentukan oleh satu macam pereaksi saja, tidak terjadi faktor lain yang mengakibatkan perunbahan mutu. Proses perubahan mutu tidak dianggap sebagai akibat dari proses-proses yang terjadi sebelumnya, suhu selama penyimpanan tetap atau dianggap konstan.

Umur simpan adalah selang waktu sejak barang diproduksi hingga produk tersebut tidak layak diterima atau telah kehilangan sifat khususnya. Umur simpan dapat didefinisikan juga sebagai waktu yang dibutuhkan oleh suatu produk pangan menjadi tidak layak dikonsumsi jika ditinjau dari segi keamanan, nutrisi, sifat fisik, dan organoleptik setelah disimpan dalam kondisi yang direkomendasikan (Anonim, 2009).

Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan adalah : a. Jenis dan karakteristik produk pangan

Produk yang mengalami pengolahan akan lebih tahan lama dibanding produk segar.

Produk yang mengandung lemak berpotensi mengalami rancidity, sedang produk yang mengandung protein dan gula berpotensi mengalami reaksi maillard (warna coklat).

b. Jenis dan karakteristik bahan kemasan

Permeabilitas bahan kemasan terhadap kondisi lingkungan (uap air, cahaya, aroma, oksigen) c. Kondisi Lingkungan

Suhu penyimpanan, lama penyimpanan dan kondisi lingkungan. Oksigen menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi (Anonim, 2009)

Menurut Syarief et al. (1989) umur simpan suatu produk pangan merupakan suatu parameter ketahan produk selama penyimpanan terutama jika kondisinya beragam. Umur simpan ini erat hubungannya dengan kadar air kritis produk dimana secara organoleptik masih dapat diterima konsumen. Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan makanan yang dikemas adalah sebagai berikut :

a. Keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan kimia internal dan fisik.

b. Ukuran kemasan dalam hubungannya dengan produk yang dikemas.

c. Kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan.

(12)

11

2.3.2 Dasar Penurunan Mutu

Penyimpangan suatu produk dari mutu awalnya disebut deteriorasi. Produk pangan mengalami deteriorasi segera setelah diproduksi. Reaksi deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya, atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini dapat pula diawali oleh hentakan mekanis seperti vibrasi, kompresi dan abrasi (Arpah, 2001).

Tingkat deteriorasi produk dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan laju deteriorasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan. Umur simpan adalah waktu hingga produk mengalami suatu tingkat deteriorasi tertentu. Reaksi deteriorasi pada produk pangan dapat disebabkan oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi di dalam produk berupa reaksi kimia, reaksi enzimatis atau lainnya seperti proses fisik dalam bentuk penyerapan uap air atau gas dari sekeliling. Ini akan menyebabkan perubahan-perubahan terhadap produk yang meliputi perubahan tekstur, flavor warna, penampakan fisik, nilai gizi, mikrobiologis maupun makrobiologis (Arpah, 2001).

Analisa Kuantitatif reaksi deteriorasi yang berlangsung pada produk selama proses pengemasan dan penyimpanan dapat dilakukan dengan cara pengukuran terhadap efek tingkat deteriorasi yang berlangsung. Analisa-analisa yang dilakukan meliputi analisa fisik, anlisa kimia serta analisa organoleptik. Perubahan tingkat efek deteriorasi kemudian dihubungkan dengan perubahan mutu produk atau lebih tepat dengan itilah usuable quality. Oleh karena itu usuable quality menurun selama penyimpanan maka pada saat nilainya akan mendekati titik tertentu dimana kualitas yang diharapkan tersebut tidak dimiliki lagi oleh produk pangan itu (Arpah, 2001).

Pada saat segera setelah selesai diproduksi, usuable quality dari suatu produk adalah 100%, kemudian segera setelah itu akan menurun selama penyimpanan, dimana laju penurunannya dapat dapat dihitung. Penurunan laju usuable quality disebabkan oleh reaksi deteriorasi yang berlangsung dalam produk. Penentuan waktu kadaluarsa tidak selalu diputuskan berdasarkan usuable quality 0%, tetapi dapat juga lebih besar dari pada itu. Beberapa jenis produk tertentu seperti produk-produk farmasi menggunakan kriteria kadaluarsa pada titik penurunan usuable quality sampai dengan 85 % (Arpah, 2001).

Persamaan Arrhenius menunjukkan ketergantungan laju reaksi deteriorasi terhadap suhu. Keadaan suhu ruang penyimpanan sebaiknya tetap dari waktu ke waktu, tetapi sering kali keadaan suhu penyimpanan berubah-ubah (Syarief dan Halid, 1993).

Menurut Arpah (2001), persamaan Arrhenius menunjukkan ketergantungan laju reaksi deteriorasi terhadap temperatur yang dirumuskan sebagai berikut :

k = ko e-Ea/RT

ln k = ln ko – (Ea/RT) ln k = ln ko – {(Ea/R) . (1/T)} Keterangan :

ko = konstanta pre-eksponensial atau konstanta lanjut absolut. k = konstanta laju reaksi pada temperatur T.

Ea = Energi aktivasi (kal/mol).

(13)

12

Tipe kerusakan yang mengikuti kinetika ordo nol meliputi reaksi kerusakan enzimatik, pengcokelatan enzimatik dan oksidasi. Penurunan mutu ordo reaksi nol adalah penurunan yang konstan. Kecepatan penurunan mutu tersebut berlangsung tetap pada suhu konstan dan digambarkan dengan persamaan :

-dA = k dt

At – A0 = kt

Keterangan : At = konsentrai A pada waktu t. A0 = konsentrasi awal analisis.

(14)

13

III.

METODOLOGI

3.1 BAHAN

DAN

ALAT

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah salak pondoh yang telah diolah menjadi keripik salak. Bahan kemasan yang digunakan adalah plastik dan paduannya, antara lain kantong aluminium foil, kantong plastik PP (Polypropylene), dan kantong plastik laminasi. Bahan kimia yang digunakan untuk analisa antara lain alkohol netral, larutan PP (Phenolpthalein), dan larutan KOH.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau stainless steel, oven pengering, neraca analitik, corong, buret, erlenmeyer, cawan alumunium, inkubator, desikator, peralatan gelas untuk analisa, dan perlengkapan uji organoleptik.

3.2 METODE

PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap. Diagram alir tahapan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1 :

(15)

14

1. Karakterisasi Buah Salak Segar dan Keripik Salak.

Karakterisasi buah salak segar dan keripik salak dilakukan untuk mengetahui perubahan karakteristik buah tersebut setelah mengalami proses pengolahan menjadi keripik salak. Parameter yang dianalisa antara lain kadar air, lemak, protein, abu, serat, karbohidrat (by difference) serta kadar asam lemak bebas (FFA) untuk keripik salak. Selain itu juga dilakukan uji organoleptik untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap produk keripik salak. Prosedur analisa parameter tersebut diatas dapat dilihat pada Lampiran 1.

2. Perubahan Mutu Keripik Salak Selama Penyimpanan.

Penyimpanan keripik salak disimpan dalam kemasan plastik dan paduannya dalam bentuk kantong plastik PP (polypropylene), alumunium foil, dan plastik laminasi OPP/PP/CPP. Suhu penyimpanan keripik salak ditetapkan pada suhu 30,35, dan 450C. Pengamatan dilakukan pada hari ke- 1, 7 ,14, 21 ,35, 46, 63 ,dan 77. Parameter mutu keripik salak yang diamati selama penyimpanan adalah kadar air dan kadar asam lemak bebas (FFA). Uji organoleptik dilakukan pada pengamatan hari ke-49 dan 77. Prosedur analisa parameter mutu keripik salak yang diamati selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 1.

3. Pendugaan Umur Simpan Keripik Salak.

Pendugaan umur simpan dilakukan untuk menentukan bahan kemasan yang terbaik bagi keripik salak. Pendugaan umur simpan dilakukan dengan menggunakan metode akselerasi. Pada metode akselerasi digunakan suatu kondisi lingkungan (suhu tinggi) sehingga dapat mempercepat terjadinya reaksi penurunan mutu produk pangan. Parameter kritis ditentukan berdasarkan parameter mutu yang lebih dahulu tidak diterima oleh panelis. Parameter mutu yang diuji untuk menentukan umur simpan keripik salak adalah kadar air, kadar asam lemak bebas, dan uji organoleptik. Analisa ini dilakukan untuk mengetahui perubahan fisik dan kimia yang terjadi pada keripik salak selama penyimpanan. Hasil pengamatan dibuat dalam bentuk grafik sehingga diperoleh persamaan regresi liniernya. Persamaan atau Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai pendugaan umur simpan keripik salak dengan menggunakan persamaan Arrhenius adalah sebagai berikut :

k = ko e-Ea/RT

ln k = ln ko – (Ea/RT) ln k = ln ko – {(Ea/R) . (1/T)} Keterangan :

ko = konstanta pre-eksponensial atau konstanta lanjut absolut. k = konstanta laju reaksi pada temperatur T.

Ea = Energi aktivasi (kal/mol).

(16)

15

Tipe kerusakan yang mengikuti kinetika ordo nol meliputi reaksi kerusakan enzimatik, pencokelatan enzimatik dan oksidasi. Penurunan mutu ordo reaksi nol adalah penurunan yang konstan. Kecepatan penurunan mutu tersebut berlangsung tetap pada suhu konstan dan digambarkan dengan persamaan :

-dA = k dt

At – A0 = kt

(17)

16

IV. HASIL

DAN

PEMBAHASAN

4.1

KARAKTERISTIK BUAH SALAK SEGAR DAN KERIPIK SALAK

Sebelum dilakukan penyimpanan, buah salak segar dan keripik salak dianalisa terlebih dahulu karakteristiknya yang meliputi komposisi kimia antara lain : kadar air, abu, lemak, protein, serat, karbohidrat, kadar asam lemak bebas (FFA), dan uji organoleptik : kekerasan, kerenyahan, uji rasa dan penampakan visual. Hasil karakterisasi buah salak segar dan keripik salak dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Karakterisasi buah salak pondoh segar dan keripik salak Komponen Nilai

(buah salak)

Nilai (keripik salak)

Air (% bb) 79.20 0.60

Abu (% bk) 2.88 2.31

Lemak (% bk) 2.88 8.65

Protein (% bk) 0.48 3.02

Serat (% bk) 14.42 4.12

Karbohidrat (by difference) (% bk) 79.34 81.3

FFA (% bk) 5.33

Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa buah salak segar memiliki kandungan air yang tinggi yaitu sekitar 79.20%. Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi tekstur, kenampakan, dan cita rasa makanan. Kandungan air di dalam bahan pangan akan menentukan kesegaran dari bahan tersebut. Kadar air menunjukkan jumlah air yang terdapat dalam suatu bahan, dan dinyatakan dalam persen dari berat bahan. Pada umunnya, kadar air suatu bahan pangan sering dihubungkan dengan daya simpan dan ketahanan dari suatu produk terhadap kerusakan. Kandungan air dalam bahan sangat berpengaruh terhadap masa simpan bahan. Kadar air buah salak segar yang tinggi menyebabkan umur simpan buah salak segar tersebut relatif pendek. Oleh karena itu, dibutuhkan proses pengolahan yang dapat memperpanjang umur simpan dan meningkatkan nilai jual buah salak segar tersebut. Salah satu alternatif yang memungkinkan adalah pembuatan produk keripik salak.

Kadar air keripik salak yang didapat dari uji karakterisasi awal menunjukkan nilai yang sangat rendah yaitu sekitar 0.6%. Hasil ini berbeda jauh dengan nilai kadar air buah salak segar. Hal ini disebabkan karena dalam proses penggorengan keripik salak, buah salak yang digoreng dalam mesin vacuum frying yang berisi minyak menerima panas, sehingga menyebabkan air dari bahan buah salak segar tersebut akan menguap. Akibat proses penggorengan keripik salak tersebut terjadi perubahan-perubahan fisik yang bersifat spesifik yaitu terevaporasinya air pada buah salak segar. Sehingga dihasilkan keripik salak yang renyah dan tidak banyak mengandung air.

(18)

17

dapat menyebabkan penurunan mutu suatu produk. Kadar lemak pada keripik salak lebih tinggi dibandingkan dengan kadar lemak pada buah salak segar yaitu sebesar 8.65%. Hal ini dikarenakan penggunaan minyak goreng pada saat proses penggorengan dalam mesin vacuum frying yang meningkatkan kadar lemak dan menimbulkan adanya kadar asam lemak bebas atau FFA pada produk hasil penggorengan keripik salak. Peningkatan kadar asam lemak bebas ini terjadi karena rantai ikatan gliserol terurai akibat suhu yang tinggi atau pemanasan pada saat penggorengan keripik salak yang terhidrolisis oleh air atau teroksidasi oleh udara.

Pengujian organoleptik dilakukan dengan tujuan mengenal beberapa sifat-sifat organoleptik produk yang berperan dalam analisis bahan dan melatih panca indera untuk mengenal jenis-jenis rangsangan (Rahayu, 1998). Penilaian sifat-sifat indrawi dari produk pangan menggunakan manusia sebagai instrument, karenanya sifat indrawi juga disebut subyektif. Subyektifitas sifat indrawi bertingkat-tingkat. Yang paling tinggi tingkat sbyektifitasnya ialah sifat hedonik yaitu sifat yang menyatakan disukai, disenangi, enak atau lawannya (Soekarto dan Hubeis, 1992). Uji organoleptik yang dilakukan meliputi uji kekerasan, kerenyahan, rasa dan penerimaan umum pada keripik salak. Parameter penilaian tingkat kesukaan yang dugunakan adalah nilai (5-7) yang berarti panelis menyukai keripik salak, sedangkan nilai (1-3) berarti panelis tidak menyukai keripik salak dan nilai 4 berarti bahwa panelis menilai netral pada keripik salak. Hasil uji organoleptik awal menunjukkan bahwa bahwa 90.60% panelis menyukai rasa keripik salak, sedangkan sebanyak 3.20% panelis tidak menyukai rasa keripik salak tersebut. Untuk nilai kekerasan produk keripik salak, sebanyak 81.20% panelis yang menyukai produk keripik salak ini sedangkan 3.60% panelis tidak menyukai kekerasan dari produk keripik ini. Pada kerenyahan produk keripik salak, sebanyak 96.80% panelis menyukai produk ini dan menilai bahwa produk keripik salak ini sangat renyah, namun sebanyak 3.20% panelis tidak menyukai kerenyahan dari produk keripik salak ini atau menilai bahwa keripik salak tidak begitu renyah. Selanjutnya dari penerimaan umum produk keripik salak, terdapat 93.75% yang menyukai dari produk keripik salak ini.

4.2 PERUBAHAN

MUTU

KERIPIK

SALAK SELAMA PENYIMPANAN

Penyimpangan mutu suatu produk dari mutu awalnya disebut deteriorasi. Produk pangan mengalami deteriorasi setelah produk tersebut diproduksi. Reaksi deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini juga dapat pula diawali oleh hentakan mekanis. Tingkat deteriorasi produk dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan laju deteriorasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan (Arpah, 2001). Suhu selama penyimpanan keripik salak akan menjadi kondisi lingkungan yang mempengaruhi laju deteriorasi tersebut. Sedangkan kemasan yang digunakan untuk mengemas keripik salak akan menghambat laju deteriorasi tersebut sehingga akan memperpanjang umur simpannya.

(19)

18

4.2.1 Kadar

Air

Pengaruh kadar air sangat penting dalam menentukan daya awet dari makanan. Faktor ini dikarenakan adanya kadar air dalam suatu produk pangan yang mempengaruhi sifat fisik produk (kekerasan dan kerenyahan), sifat kimia, perubahan (browning non enzimatis), kerusakan mikrobiologis dan perubahan enzimatis. Kadar air merupakan parameter mutu yang paling penting dalam penyimpanan produk kering. Kadar air akan mengalami perubahan selama penyimpanan. Suhu penyimpanan akan memberikan pengaruh terhadap laju peningkatan kadar air keripik salak. Peningkatan kadar air pada keripik salak menyebabkan hilangnya kerenyahan keripik salak tersebut.

Perubahan kadar air keripik salak yang disimpan dalam kemasan plastik PP (polypropylene), plastik laminasi dan alumunium foil pada suhu penyimpanan 30, 35 dan 45oC dapat dilihat pada Gambar berikut :

(a)

(b)

(c) Keterangan : : suhu penyimpanan 300

: suhu penyimpanan 350 : suhu penyimpanan 450

Gambar 2. Grafik hubungan lama penyimpanan (hari) terhadap kadar air (%) keripik salak yang disimpan dalam kemasan (a) plastik PP (Polyprophylene), (b) plastik laminasi, dan (c) alumunium foil.

y = 0.066x + 0.820 R² = 0.966

y = 0.048x + 1.521 R² = 0.918

y = 0.028x + 1.059 R² = 0.952 0

2 4 6 8

0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77

Kadar

 

Air

 

(%)

Lama Penyimpanan (Hari)

y = 0.055x + 0.985 R² = 0.923

y = 0.062x + 0.647 R² = 0.981

y = 0.030x + 0.598 R² = 0.978 0

2 4 6 8

0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77

Kadar

 

Air

 

(%)

Lama Penyimpanan (Hari)

y = 0.058x + 0.881 R² = 0.978

y = 0.053x + 1.165 R² = 0.958

y = 0.029x + 1.134 R² = 0.926 0

2 4 6 8

0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77

Kadar

 

Air

 

(%)

(20)

19

Pada Gambar 2 diketahui bahwa nilai kadar air mengalami peningkatan selama penyimpanan. Perubahan kadar air pada keripik salak disebabkan karena sifatnya yang higroskopis. Higroskopis adalah kemampuan suatu zat untuk menyerap molekul air dari lingkungannya. Jika kelembaban relatif lingkungan tinggi, bahan akan menyerap sejumlah air dari lingkungan untuk menyesuaikan dengan kelembaban relatif lingkungan. Hal ini menyebabkan nilai kadar air mengalami peningkatan. Dari laju peningkatan kadar air keripik salak berdasarkan persamaan regresi linear tersebut dapat diketahui bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan maka peningkatan kadar air nya semakin rendah. Hal ini diduga karena adanya peningkatan suhu mengakibatkan terjadinya penguapan laju nilai air keripik salak, sehingga kadar air nya akan menurun. Lama penyimpanan memiliki korelasi terhadap kadar air yang dikandung keripik salak. Korelasi yang dimaksud adalah bahwa semakin lama waktu penyimpanan pada setiap produk keripik salak akan meningkatan kadar air nya. Hal ini dikarenakan karena adanya penyerapan uap air dari lingkungan. Uap air yang terserap akan semakin meningkat seiring dengan lama waktu penyimpanan.

Selain itu jenis kemasan yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda pada kadar air keripik salak selama penyimpanan. Berdasarkan rata-rata dari laju perubahan kadar air selama penyimpanan menurut kemasan yang digunakan, keripik salak yang disimpan dalam kemasan PP (Polypropylene) memiliki nilai (0.245) lebih besar dibandingkan dengan keripik salak yang disimpan dalam kemasan plastik laminasi (0.049) dan kemasan alumunium foil (0.046). Berdasarkan Robertson (1993), nilai permeabilitas uap air (WVTR) pada alumunium foil adalah 0.076 – 0.129 g/m2/24 jam, sedangkan pada plastik laminasi nilai WVTR nya 0.250 – 0.400 g/m2/24 jam, dan pada plastik PP (Polypropylene) nilai adalah WVTR 1.114 – 1.771 g/m2/24 jam.

Perbedaan besarnya nilai permeabilitas atau nilai laju trasmisi uap air pada bahan kemasan akan menentukan jumlah uap air yang dapat melewati bahan kemasan tersebut. Pada kemasan PP (Polypropylene) memiliki nilai laju transmisi uap air yang lebih besar dibandingkan dengan kemasan alumunium foil dan plastik laminasi. Hal ini menyebabkan laju peningkatan kadar air pada plastik PP lebih tinggi dibandingkan plastik laminasi dan kemasan alumunium foil, karena kemasan alumunium foil dan laminasi memiliki dari ketebalan yang lebih besar untuk menahan jumlah air yang masuk ke dalam bahan kemasan. Rendahnya nilai WVTR dipengaruhi oleh ketebalan pada tiap kemasan, semakin tebal pada bahan kemasan maka akan semakin kecil nilai WVTR, smaka semakin sedikit jumlah uap air yang dapat menembus bahan kemasan, sehingga produk keripik salak di dalamnya menjadi lebih terlindungi dan lebih tahan lama. Selain itu struktur molekul bahan kemasan alumunium foil dan plastik laminasi lebih rapat dibandingkan dengan bahan kemasan PP. Hal ini disebabkan adanya logam pada bahan kemasan alumunium foil yang merupakan kemasan logam murni. Kerapatan struktur molekul bahan kemasan akan menyebabkan tingkat laju transmisi uap air bahan kemasan akan rendah.

4.2.2 Kadar Asam Lemak Bebas (FFA)

(21)

20

ketengikan dalam lemak dibagi atas tiga golongan yaitu : 1) ketengikan oleh oksidasi, 2) ketengikan oleh enzim dan 3) ketengikan oleh proses hidrolisa. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses ketengikan adalah suhu, cahaya atau penyinaran, tersedianya oksigen dan adanya logam-logam yang bersifat sebagai katalisator pada proses oksidasi.

Perubahan kadar asam lemak bebas keripik salak yang disimpan dalam kemasan plastik PP (Polypropylene), laminasi, dan alumunium foil pada suhu penyimpanan 30, 35 dan 45oC dapat dilihat pada Gambar 3.

(a)

(b)

(c) Keterangan : : suhu penyimpanan 300

: suhu penyimpanan 350 : suhu penyimpanan 450

Gambar 3. Grafik hubungan lama waktu penyimpanan (hari) terhadap kadar asam lemak bebas (%) keripik salak yang disimpan dalam kemasan (a) plastik PP (Polypropylene), (b) plastik laminasi dan (c) alumunium foil.

y = 0.014x + 6.148 R² = 0.950

y = 0.013x + 6.242 R² = 0.901

y = 0.012x + 6.122 R² = 0.928 5 6 7 8

0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77

FFA

 

(%)

Lama Penyimpanan (Hari)

y = 0.014x + 5.398 R² = 0.908

y = 0.013x + 5.350 R² = 0.930

y = 0.012x + 5.286 R² = 0.908 5 6 7 8

0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77

FFA

 

(%)

Lama Penyimpanan (Hari)

y = 0.013x + 5.979 R² = 0.974

y = 0.012x + 6.188 R² = 0.940

y = 0.011x + 6.080 R² = 0.970 5 6 7 8

0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77

KFFA

 

(%)

(22)

21

Pada Gambar 3 terlihat bahwa kadar asam lemak bebas keripik salak mengalami peningkatan selama penyimpanan. Peningkatan kadar asam lemak bebas ini disebabkan oleh reaksi oksidasi dan hidrolisis komponen trigliserida pada minyak yang terdapat dalam keripik salak. Dengan Meningkatnya kadar air keripik salak sehingga mempermudah atau memicu terjadinya proses hidrolisis pada minyak atau terjadinya proses oksidasi yang disebabkan pemutusan rantai panjang menjadi asam lemak atau asam organik rantai pendek yang menimbulkan ketengikan pada keripik salak. Sehingga peningkatan kadar air keripik salak selama penyimpanan memberikan pengaruh terhadap peningkatan kadar asam lemak bebas keripik salak. Adanya gas (oksigen) menyebabkan terjadinya proses oksidasi terhadap asam lemak tidak jenuh dalam lemak sehingga terbentuk peroksida dan hidroperoksida. Tingkat selanjutnya adalah terurainya asam-asam lemak disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehida dan keton serta asam-asam lemak bebas. Senyawa aldehida ini akan menyebabkan ketengikan pada keripik salak. Penyimpangan bau (ketengikan) merupakan salah satu kerusakan lemak yang menyebabkan bahan pangan berlemak, termasuk keripik salak mempunyai bau dan rasa yang tidak enak. Hal ini menyebabkan nilai kadar asam lemak bebas (FFA) pada keripik salak mengalami peningkatan selama penyimpanan.

Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh, laju peningkatan kadar asam lemak bebas keripik salak meningkat sesuai dengan lama penyimpanan keripik salak. Maka peningkatan lama waktu penyimpanan akan berpengaruh positif terhadap peningkatan kadar asam lemak bebas. Hal ini disebabkan karena semakin lama penyimpanan, maka proses oksidasi dan hidrolisa akan semakin meningkat intensitas aktivitasnya sehingga memberikan kenaikan pada nilai asam lemak bebasnya. Efek lain yang ditimbulkan dari peningkatan aktivitas proses hidrolisis dan oksidasi ini adalah ketengikan yang terdapat dalam keripik salak.

Selain itu jenis kemasan yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda pada kadar asam lemak bebas keripik salak selama penyimpanan. Berdasarkan rata-rata dari laju perubahan kadar air selama penyimpanan menurut kemasan yang digunakan, keripik salak yang disimpan dalam kemasan plastic PP (Polypropylene) dan plastik laminasi memiliki nilai (0.039) lebih besar dibandingkan dengan keripik salak yang disimpan dalam dan kemasan alumunium foil (0.036). Berdasarkan Robertson (1993), nilai permeabilitas uap air (WVTR) pada alumunium foil adalah 0.076–0.129 g/m2/24 jam, sedangkan pada plastik laminasi nilai WVTR nya 0.250 – 0.400 g/m2/24 jam, dan pada plastik PP (Polypropylene) nilai adalah WVTR 1.114 – 1.771 g/m2/24 jam. Pada laju nilai transmisi oksigen (O2TR) pada kemasan alumunium foil memiliki nilai O2TR sebesar 0.2933

cc/m2/24 jam, sedangkan pada plastik laminasi nilai O2TR adalah 0.499 cc/m2/24 jam dan kemasan

plastik PP (Polypropylene) nilai O2TR 0.714 cc/m2/24 jam.

(23)

22

nilai O2TR bahan kemasan. Berdasarkan literatur terlihat bahwa pada kemasan PP nilai O2TR lebih

tinggi dibandingkan dengan kemasan lain yang digunakan.

4.2.3 Uji

Organoleptik

Penentuan kerenyahan kritis sangat berkaitan dengan penentuan kadar air kritis. Renyah atau tidaknya suatu produk menandakan banyak atau sedikitnya kadar air yang terkandung pada produk tersebut. Penentuan kerenyahan kritis dapat dilakukan dengan menggunakan uji penerimaan panelis terhadap parameter kerenyahan, kekerasan dan kesukaan. Uji kesukaan merupakan salah satu jenis uji penerimaan. Dalam uji organoleptik diminta untuk mengemukakan tanggapan pribadinya mengenai tingkat kesukaan atu ketidaksukaan terhadap suatu produk.

4.2.3.1 Kekerasan

Keripik salak mengalami peningkatan kadar air selama penyimpanan. Hasil dari kemiringan (slope) masing-masing persamaan regresi linear tersebut diketahui bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan maka peningkatan kadar air juga akan semakin rendah. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan suhu yang mengakibatkan penguapan pada keripik salak, sehingga menyebabkan nilai kekerasan keripik salak tersebut akan meningkat. Selama penyimpanan penyimpanan keripik salak akan mengalami peningkatan kekerasan. Dengan meningkatnya kadar air pada keripik salak selama penyimpanan, maka keripik salak akan semakin alot atau keras. Lama penyimpanan keripik salak juga memberikan pengaruh pada kekerasan keripik salak yang dihasilkan. Semakin lama penyimpanan kerpik salak maka kekerasan keripik salak semakin meningkat atau keripik akan semakin keras. Selain dipengaruhi oleh suhu dan lama penyimpanan, nilai kekerasan dari keripik salak juga dipengaruhi oleh jenis kemasan yang digunakan.

Hasil uji organoleptik keripik salak pada hari ke-1 dapat dilihat pada Lampiran 4 bahwa penerimaan panelis terhadap keripik salak, panelis sangat menyukai keripik salak yaitu sebanyak 81.20% panelis yang menyukai produk keripik salak ini sedangkan 3.60% panelis tidak menyukai kekerasan dari produk keripik ini. Dengan Parameter penilaian tingkat kesukaan yang dugunakan adalah nilai (5-7) yang berarti panelis menyukai keripik salak, sedangkan nilai (1-3) berarti panelis tidak menyukai keripik salak dan nilai 4 berarti bahwa panelis menilai netral pada keripik salak.

Pada Lampiran 5 didapatkan bahwa pengamatan hari ke-49 dengan kondisi suhu penyimpanan sebesar 300C, kekerasan keripik salak yang disukai oleh panelis adalah keripik salak yang dikemas dengan menggunakan kemasan alumunium foil yaitu sebesar 73.33%, sedangkan tingkat kesukaan terendah pada produk keripik salak yang dikemas dengan kemasan PP (Polypropylene) yaitu sebesar 23.33%. Pada kondisi suhu penyimpanan 350C, kekerasan keripik salak yang paling disukai oleh panelis adalah keripik salak yang dikemas dengan menggunakan kemasan alumunium foil yaitu sebesar 53.33%, sedangkan tingkat kesukaan terendah pada produk keripik salak yang dikemas dengan jenis kemasan PP yaitu sebesar 23.33%. Dan pada kondisi suhu penyimpanan 450C, kekerasan keripik salak yang paling disukai oleh panelis adalah keripik salak yang dikemas dengan menggunakan kemasan alumunium foil yaitu sebesar 33.33%, sedangkan untuk tingkat kesukaan terendah pada produk keripik salak dikemas dengan jenis kemasan PP yaitu sebesar 23.33% panelis.

(24)

23

Untuk kondisi suhu penyimpanan sebesar 350C, keripik salak yang paling disukai oleh panelis adalah keripik salak yang dikemas oleh kemasan alumunium foil yaitu sebesar 16.66%, sedangkan tingkat ketidaksukaan pada keripik salak adalah produk yang dikemas dengan jenis kemasan PP yaitu sebesar 83.33%. Untuk kondisi suhu penyimpanan sebesar 450C, keripik salak yang paling disukai oleh panelis adalah keripik salak yang dikemas dengan menggunakan kemasan alumunium foil yaitu sebesar 10%, namun untuk tingkat ketidaksukaan panelis pada produk keripik salak adalah produk yang dikemas dengan jenis kemasan PP yaitu sebesar 76.66% panelis berdasarkan hasil pada Lampiran 9. Namun hasil ini berbanding terbalik dengan hasil penyimpanan pada hari ke-49 karena persentase ketidakkesukaan pada hari ke-77 lebih besar dibandingkan dengan persentase kesukaannya.

4.2.3.2 Kerenyahan

Kerenyahan merupakan suatu perubahan sifat fisik pada bahan pangan akibat dari reaksi deteriorasi selama penyimpanan yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban relatif. Tergantung pada tingkat deteriorasi yang berlangsung, perubahan tersebut dapat menyebabkan produk pangan tidak dapat digunakan untuk tujuan seperti yang seharusnya, atau bahkan tidak dapat dikonsumsi sehingga dikategorikan sebagai bahan kadaluwarsa (Arpah, 2001). Selama penyimpanan, keripik salak akan mengalami penurunan kerenyahan. Hal ini disebabkan karena selama penyimpanan kelembaban relatif yang tinggi dalam ruang penyimpanan menyebabkan produk menyerap sejumlah air dari lingkungan sehingga kadar air pada keripik salak meningkat dan mempengaruhi nilai kerenyahannya. Air akan melarutkan dan melunakan matriks pati atau protein yang ada pada sebagian besar bahan pangan yang mengakibatkan perubahan kekuatan mekanik termasuk kerenyahan, sehingga semakin meningkatnya kadar air keripik salak selama penyimpanan akan semakin berkurang kerenyahannya. Keripik salak yang semakin berkurang kerenyahannya akan semakin terasa alot, keras dan tidak layak untuk dikonsumsi sehingga uji kekerasan akan menjadi parameter pengukuran kerenyahan.

Berdasarkan uji kerenyahan keripik salak bahwa penerimaan panelis pada saat awal penyimpanan keripik salak pada Lampiran 4, panelis sangat menyukai kerenyahan pada keripik salak, yaitu sebanyak sebanyak 96.80% panelis menyukai keripik salak dan menilai bahwa produk keripik salak sangat renyah, namun sebanyak 3.20% panelis tidak menyukai keripik salak atau menilai bahwa keripik salak tidak begitu renyah. Dengan Parameter penilaian tingkat kesukaan yang dugunakan adalah nilai (5-7) yang berarti panelis menyukai keripik salak, sedangkan nilai (1-3) berarti panelis tidak menyukai keripik salak dan nilai 4 berarti bahwa panelis menilai netral pada keripik salak.

Pada pengamatan hari ke-49 dengan kondisi suhu penyimpanan sebesar 300C dapat dilihat pada Lampiran 6, keripik salak yang disukai oleh panelis adalah keripik salak yang dikemas dengan menggunakan kemasan alumunium foil yaitu sebesar 73.33%, sedangkan tingkat kesukaan terendah adalah produk keripik salak yang dikemas dengan jenis kemasan PP (Polypropylene) yaitu sebesar 20% panelis. Pada kondisi suhu penyimpanan sebesar 350C, keripik salak yang disukai oleh panelis adalah keripik salak yang dikemas dengan menggunakan kemasan alumunium foil yaitu sebesar 40%, sedangkan tingkat kesukaan terendah pada keripik salak adalah produk yang dikemas dengan jenis kemasan PP yaitu sebesar 20% panelis. Pada kondisi suhu penyimpanan sebesar 450C, keripik salak paling disukai oleh panelis adalah keripik salak yang dikemas dengan menggunakan kemasan alumunium foil yaitu sebesar 40%, sedangkan untuk tingkat kesukaan terendah terhadap kerenyahan produk keripik salak adalah jenis kemasan PP sebesar 13.33% panelis.

(25)

24

laminasi yaitu sebesar 10%, sedangkan tingkat ketidaksukaan panelis pada produk keripik salak adalah keripik salak yang dikemas dengan jenis kemasan PP (Polypropylene) yaitu sebesar 86.66%. Untuk kondisi suhu penyimpanan sebesar 350C, keripik salak yang disukai oleh panelis adalah keripik salak yang dikemas oleh kemasan alumunium foil yaitu sebesar 6.66%, sedangkan tingkat ketidaksukaan panelis pada produk keripik salak adalah produk yang dikemas dengan jenis kemasan PP sebesar 86.66% panelis. Untuk kondisi suhu penyimpanan sebesar 450C, keripik salak yang disukai oleh panelis adalah keripik salak yang dikemas dengan menggunakan kemasan alumunium foil yaitu sebesar 3.33%, sedangkan untuk tingkat ketidaksukaan panelis adalah keripik salak yang dikemas dengan jenis kemasan PP yaitu sebesar 93.33% panelis berdasarkan hasil pada Lampiran 10. Dengan meningkatnya kadar air selama penyimpanan, tingkat kerenyahan pada keripik salak semakin berkurang. Sehingga menyebabkan berkurangnya tingkat kesukaan panelis selama penyimpanan keripik salak tersebut. Seperti yag diketahui pada hari ke-1 panelis sangat menyukai produk keripik salak, namun setelah dilakukan pengamatan pada hari-49 panelis sudah berkurang tingkat kesukaannya, bahkan pada hari ke-77 panelis sudah tidak menyukai keripik salak, atau tingkat kesukaan panelis terhadap produk keripik salak sangatlah kecil presentasenya.

4.2.3.3 Rasa

Rasa merupakan komponen sifat sensori yang penting dalam penerimaan produk pangan. Rasa merupakan faktor yang paling penting dalam mengambil keputusan terakhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu bahan makanan. Walaupun warna, aroma, dan tekstur baik namun jika rasanya tidak enak maka konsumen akan menolak makanan tersebut. Rasa dinilai dengan adanya tanggapan rangsangan kimiawi oleh indera pencicip (lidah) dimana akhirnya kesatuan interaksi antara sifat-sifat dari keseluruhan rasa makanan yang dinilai.

Perubahan rasa pada keripik salak selama penyimpanan dipengaruhi dengan meningkatnya kadar asam lemak bebas dan kadar air keripik salak selama penyimpanan. Selain itu, meningkatnya tingkat kekerasan dan menurun kerenyahan pada keripik salak tersebut menyebabkan terjadinya penurunan rasa pada keripik salak yang disimpan.

Pada lampiran 4 dapat diketahui bahwa penerimaan panelis terhadap uji rasa keripik salak adalah panelis sangat menyukai keripik salak pada awal penyimpanan, yaitu sebanyak 90.60% panelis menyukai rasa keripik salak, sedangkan sebanyak 3.20% panelis tidak menyukai rasa keripik salak tersebut. Dengan Parameter penilaian tingkat kesukaan yang dugunakan adalah nilai (5-7) yang berarti panelis menyukai keripik salak, sedangkan nilai (1-3) berarti panelis tidak menyukai keripik salak dan nilai 4 berarti bahwa panelis menilai netral pada keripik salak.

(26)

25

Pada pengamatan hari ke-77 dengan kondisi suhu penyimpanan sebesar 300C keripik salak yang disukai oleh panelis adalah keripik salak yang dikemas dengan menggunakan kemasan alumunium foil yaitu sebesar 16.66%, sedangkan tingkat ketidaksukaan panelis pada produk keripik salak adalah keripik salak yang dikemas dengan menggunakan kemasan PP (Polypropylene) yaitu sebesar 83.33%. Untuk kondisi suhu penyimpanan sebesar 350C, keripik salak yang disukai oleh panelis adalah keripik salak yang dikemas oleh kemasan alumunium foil yaitu sebesar 10%, sedangkan tingkat ketidaksukaan panelis terhadap produk keripik salak adalah produk yang dikemas dengan jenis kemasan PP sebesar 96.66%. Untuk kondisi suhu penyimpanan sebesar 450C, keripik salak yang disukai oleh panelis adalah keripik salak yang dikemas dengan menggunakan kemasan alumunium foil yaitu sebesar 6.66%, namun untuk tingkat ketidaksukaan panelis pada produk keripik salak adalah produk yang dikemas dengan jenis kemasan PP yaitu sebesar 100% berdasarkan hasil pada Lampiran 11. Sama seperti pada uji kekerasan dan kerenyahan, pada penyimpanan hari ke-77 tingkat ketidaksukaan panelis sangat besar presentasenya dibandingkan dengan tingkat kesukaan panelis pada hari ke-49. Bahkan pada pengamatan hari ke-77 panelis sudah tidak menyukai rasa dari keripik salak yang disimpan dalam kemasan PP. Perubahan rasa pada keripik salak selama penyimpanan dipengaruhi dengan meningkatnya kadar asam lemak bebas dan kadar air keripik salak selama penyimpanan. Selain itu, meningkatnya tingkat kekerasan dan menurun kerenyahan pada keripik salak tersebut menyebabkan terjadinya penurunan rasa pada keripik salak yang disimpan. Sehingga dengan meningkatnya kadar air dan kadar asam lemak bebas pada keripik salak menyebabkan terjadinya perubahan rasa keripik salak.

4.2.3.4 Penerimaan Umum

Penerimaan umum adalah penerimaan panelis terhadap suatu produk secara keseluruhan. Keseluruhan terhadap keripik salak yang dilihat dari semua parameter yang ada yaitu kekerasan, kerenyahan, dan uji rasa pada keripik salak. Pada Lampiran 4 dapat dilihat bahwa hari ke-1 penerimaan panelis terhadap penerimaan umum atau keseluruhan keripik salak panelis sangat menyukai keripik salak, yaitu sebanyak 93.75% yang menyukai dari produk keripik salak ini. Dengan Parameter penilaian tingkat kesukaan yang dugunakan adalah nilai (5-7) yang berarti panelis menyukai keripik salak, sedangkan nilai (1-3) berarti panelis tidak menyukai keripik salak dan nilai 4 berarti bahwa panelis menilai netral pada keripik salak.

Untuk penilaian penerimaan umum keripik salak pada pengamatan hari ke-49 dapat dilihat pada Lampiran 8 bahwa dengan kondisi suhu penyimpanan sebesar 300C keripik salak yang disukai oleh panelis adalah keripik salak yang dikemas dengan menggunakan kemasan alumunium foil yaitu sebesar 66.66%, sedangkan tingkat kesukaan terendah pada produk keripik salak adalah produk yang dikemas dengan jenis kemasan PP (Polypropylene) yaitu sebesar 26.66%. Pada kondisi suhu penyimpanan sebesar 350C, keripik salak yang disukai oleh panelis adalah keripik salak yang dikemas dengan menggunakan kemasan alumunium foil yaitu sebesar 46.66%, sedangkan tingkat kesukaan terendah pada produk keripik salak adalah produk yang dikemas dengan jenis kemasan PP yaitu sebesar 26.66%. Pada kondisi suhu penyimpanan sebesar 450C, keripik salak yang disukai oleh panelis adalah keripik salak yang dikemas dengan menggunakan kemasan alumunium foil yaitu sebesar 40%, sedangkan untuk tingkat kesukaan terendah pada produk keripik salak adalah produk yang dikemas dengan jenis kemasan plastik laminasi yaitu sebesar 16.66%.

(27)

26

sedangkan tingkat ketidaksukaan panelis pada produk keripik salak adalah jenis kemasan PP (Polypropylene) yaitu sebesar 86.66% panelis. Untuk kondisi suhu penyimpanan sebesar 350C, keripik salak yang disukai oleh panelis adalah keripik salak yang dikemas oleh kemasan alumunium foil yaitu sebesar 6.66%, sedangkan tingkat ketidaksukaan panelis pada produk keripik salak adalah produk yang dikemas dengan jenis kemasan PP sebesar 96.66% panelis. Untuk kondisi suhu penyimpanan sebesar 450C produk keripik salak tersebut juga sudah tidak disukai lagi oleh panelis, karena berdasarkan hasil penilaian tidak ada panelis yang memberikan penilaian suka terhadap poduk keripik tersebut, sedangkan untuk tingkat ketidaksukaan panelis terhadap penerimaan umum produk keripik salak adalah produk yang dikemas dengan jenis kemasan PP yaitu sebesar 100% panelis. Dengan meningkatnya kadar air dan kadar asam lemak bebas menyebabkan menurunnya kerenyahan pada keripik salak dan keripik salak menjadi semakin terasa alot dank eras, dan timbul juga rasa dan bau tengik ada keripik salak. Sehingga pada pengamatan hari ke-77 dapat kita lihat bahwa panelis sudah tidak menyukai produk keripik salak.

4.3

PENDUGAAN UMUR SIMPAN KERIPIK SALAK

Pendugaan umur simpan keripik salak pada penelitian ini menggunakan persamaan Arrhenius. Persamaan Arrhenius menunjukkan ketergantungan laju reaksi deteriorasi terhadap suhu (Syarief dan Halid, 1993). Pada metode akselerasi digunakan suatu kondisi lingkungan (suhu tinggi) sehingga dapat mempercepat terjadinya reaksi penurunan mutu produk pangan. Parameter kritis ditentukan berdasarkan parameter mutu yang lebih dahulu tidak diterima oleh panelis. Parameter mutu yang digunakan sebagai parameter kritis untuk menentukan umur simpan keripik salak adalah kadar air dan kadar asam lemak bebas. Hasil pengamatan dibuat dalam bentuk grafik sehingga diperoleh persamaan regresi liniernya. Persamaan tersebut kemudian diterapkan ke dalam persamaan Arrhenius untuk menghitung nilai umur simpan. Nilai umur simpan yang diperoleh kemudian dikonversi pada keadaan suhu ruang (suhu 250C) untuk menunjukkan umur simpan keripik salak.

4.3.1 Kadar

Air

Kadar air kritis merupakan kadar air suatu produk dimana produk tersebut tidak dapat diterima oleh konsumen. Kadar air suatu produk akan mempengaruhi kekerasan atau kerenyahan produk tersebut. Penentuan kadar air kritis keripik salak dilakukan dengan menggunakan uji penerimaan panelis terhadap kerenyahan atau kekerasan keripik salak. Ketika sampel keripik salak sudah dirasakan telah rusak (seperti tidak renyah lagi) oleh panelis, kadar air keripik salak tersebut dianalisa dan nilainya digunakan sebagai kadar air kritis. Kadar air kritis keripik salak yang diperoleh adalah 7,84 %, dimana kadar air yang melebihi nilai tersebut sudah tidak dapat diterima oleh panelis.

(28)

27

Tabel 4. Persamaan regresi linier grafik hubungan lama waktu penyimpanan (hari) dengan kadar air

(%) keripik salak

Kemasan Suhu Regresi Linier R2 PP 300 y = 0.066x + 0.820 0.966 (Polypropylene) 350 y = 0.048x + 1.521 0.918 450 y = 0.028x + 1.059 0.952 300 y = 0.055x + 0.985 0.923 Laminasi 350 y = 0.062x + 0.647 0.981 450 y = 0.030x + 0.598 0.978 300 y = 0.058x + 0.881 0.978 Alumunium Foil 350 y = 0.053x + 1.165 0.958 450 y = 0.029x + 1.134 0.926

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai slope (kemiringan) yang menunjukkan laju peningkatan kadar air (% per hari) semakin kecil seiring dengan peningkatan suhu penyimpanan. Hal ini diduga karena peningkatan suhu penyimpanan mengakibatkan penguapan kadar air keripik salak. Berdasarkan jenis kemasan yang digunakan dapat dilihat bahwa nilai slope (kemiringan) yang didapat pada kemasan alumunium foil lebih kecil dibandingkan dengan kemasan plastik laminasi dan PP (Polypropylene). Hal ini disebabkan pada kemasan PP (Polypropylene) memiliki nilai laju transmisi uap air yang lebih besar dibandingkan dengan kemasan yang lain, sehingga laju peningkatan kadar air keripik salak yang dikemas dengan plastik PP relative lebih tinggi dibandingkan keripik salak yang dikemas oleh kemasan plastik laminasi dan kemasan alumunium foil.

Berdasarkan hasil regresi linier pada Tabel 4, nilai slope dari ketiga persamaan tersebut merupakan nilai k pada masing-masing suhu penyimpanan. Nilai tersebut kemudian diterapkan pada persamaan Arrhenius. Setiap nilai ln k terhadap 1/T (satuan suhu dalam derajat Kelvin) diplotkan sebagai ordinat dan absis dengan kemiringan kurva Ea/R sehingga diperoleh kurva. Kurva tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.

(a)

(b)

(c)

Gambar 4. Grafik hubungan 1/T dengan nilai ln k kadar air keripik salak terhadap kemasan (a) plastik PP (polypropylene), (b) plastik laminasi, dan (c) alumunium foil.

y = 5477.7x ‐20.806

R² = 0.9991

‐5.00 0.00

0.0031 0.0032 0.0032 0.0033 0.0033 0.0034

ln k

ln k

Linear (ln k)

y = 4318.2x ‐17.013

R² = 0.7701

‐5.000

0.000

0.00310 0.00315 0.00320 0.00325 0.00330 0.00335

ln k

ln k

Linear (ln k)

y = 4644.4x ‐18.112

R² = 0.9499

‐5.000

0.000

0.00310 0.00315 0.00320 0.00325 0.00330 0.00335

ln k

ln k

(29)

28

Analisis regresi linier pada Gambar 4 akan menghasilkan persamaan regresi linier terhadap grafik hubungan ln k dengan 1/T, sehingga didapatkan persamaan garis y = ax + b. Nilai a dari persamaan regresi linier tersebut merupakan nilai –Ea/R dan nilai b merupakan nilai ln ko dari persamaan Arrhenius. Hal ini berarti dengan diketahuinya nilai –Ea/R dan ln ko maka akan diperoleh nilai k (konstanta laju penurunan parameter mutu) pada persamaan Arrhenius. Nilai k yang diperoleh dari persamaan Arrhenius nantinya akan digunakan untuk perhitungan umur simpan keripik salak pada suhu ruang 250C. Setelah didapatkan persamaan Arrhenius untuk peningkatan kadar air maka dapat dihitung laju peningkatan kadar air keripik salak, hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Persamaan regresi linier dan persamaan arrhenius untuk grafik hubungan 1/T dengan nilai ln k kadar air keripik salak

Kemasan Regresi Linear R2 Persamaan Arhenius k = ko x e(-Ea/RT) PP (Polypropylene) y = 5477.x-20.80 0.999 k = 9.26136 x e18.37919

k = 9.26136 x 95936265.8 = 0.08885 % / Hari Laminiasi y = 4318.x +17.01 0.770 k = 4.09874 x e14.48993

k = 4.09874 x 1962899 = 0.080454 % / Hari Alumunium Foil y = 4644.x –18.11 0.949 k = 1.36435 x e15.58389

k = 1.36435 x 5861362 = 0.07997 % / Hari

Pada Tabel 5 menunjukkan persamaan regresi linier dan persamaan Arrhenius untuk grafik hubungan antara 1/T dengan nilai ln k kadar air keripik salak terhadap kemasan plastik PP (polypropylene), plastik laminasi, dan alumunium foil. Nilai k yang terbesar terdapat pada kemasan plastik PP kemudian diikuti oleh kemasan plastik laminasi dan nilai k yang terkecil terdapat pada kemasan alumunium foil. Hal ini menunjukkan bahwa kemasan yang paling berpengaruh terhadap peningkatan kadar air keripik salak dari yang tertinggi hingga terendah adalah kemasan plastik PP, plastik laminasi dan alumunium foil.

(30)

29

4.3.2 Kadar Asam Lemak Bebas (FFA)

Kadar asam lemak bebas keripik salak selama penyimpanan mengalami peningkatan. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembapan relatif. Kelembapan relatif yang tinggi dalam ruang penyimpanan menyebabkan produk menyerap sejumlah air dari lingkungan sehingga kadar air pada produk meningkat dan mempengaruhi kadar asam lemak bebas.

Kadar asam lemak bebas kritis pada keripik salak ditentukan berdasarkan hasil uji penerimaan panelis. Kadar asam lemak bebas kritis ditentukan ketika produk sudah mengalami kerusakan yang dicirikan berbau tidak enak (tengik), sehingga tidak dapat diterima lagi oleh panelis. Kadar asam lemak bebas yang diperoleh adalah 7.06%, dimana keripik salak dengan kadar asam lemak bebas yang melebihi nilai tersebut sudah tidak dapat diterima oleh panelis. Pada Gambar 3 dapat dilihat grafik hubungan lama waktu penyimpanan terhadap kadar asam lemak bebas keripik salak yang dikemas dalam kemasan plastik PP (Polypropylene), plastik laminasi dan alumunium foil. Grafik tersebut menunjukkan hubungan garis linier dengan nilai slope (kemiringan) yang menunjukkan laju peningkatan kadar asam lemak bebas keripik salak selama penyimpanan. Persamaan regresi linier setiap perlakuan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Persamaan regresi linier grafik hubungan lama waktu penyimpanan (hari) dengan kadar asam lemak bebas (%) keripik salak.

Kemasan Suhu Regresi Linier R2 300 y = 0.012x + 6.122 0.928 PP (Polypropylene) 350 y = 0.013x + 6.242 0.901

450 y = 0.014x + 6.148 0.950

300 y = 0.012x + 5.286 0.908 Laminasi 350 y = 0.013x + 5.350 0.930 450 y = 0.014x + 5.398 0.908 300 y = 0.011x + 6.080 0.970 Alumunium Foil 350 y = 0.012x + 6.188 0.940 450 y = 0.013x + 5.979 0.974

Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa nilai slope (kemiringan) yang menunjukkan laju peningkatan kadar asam lemak bebas (% per hari) semakin besar seiring dengan peningkatan suhu penyimpanan dan lama penyimpanan keripik salak. Hal ini diduga bahwa peningkatan suhu penyimpanan dan lama penyimpanan pada keripik salak mempengaruhi peningkatan kadar asam lemak bebas keripik salak pada setiap harinya.

Berdasarkan jenis kemasan yang digunakan dapat dilihat bahwa nilai slope (kemiringan) yang didapat pada kemasan alumunium foil lebih kecil dibandingkan dengan kemasan plastik laminasi dan PP (Polypropylene). Peningkatan kadar asam lemak bebas keripik salak yang dikemas oleh kemasan PP dan laminasi lebih tinggi dibandingkan dengan kemasan alumunium foil. Hal ini disebabkan kemasan alumunium foil lebih mampu menahan masuknya gas dan uap air sehingga ketengikan yang disebabkan oleh reaksi oksidasi dan hidrolisis dapat diminimalisir.

(31)

30

(a)

(b)

[image:31.595.103.517.50.820.2]

(c)

Gambar 5. <

Gambar

Tabel 1. Nilai gizi daging buah salak per 100 gram
Tabel 3. Karakterisasi buah salak pondoh segar dan keripik salak
Gambar  berikut :
Gambar 3. Grafik hubungan lama waktu penyimpanan (hari) terhadap kadar asam lemak bebas (%)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimana pendapat suami/isteri terhadap seorang suami yang tidak setuju apabila isterinya mengikuti program keluarga berencana.. Sangat

memperhatikan kegunaan ruang dan kebutuhan pengguna sesuai kriteria tertentu 7. Perancangan Interior Resort Hotel di Lokasi Wisata Rambut Monte kabupaten Blitar, mempunyai fungsi

Rekomendasi ini berlaku selama 5 (lima) tahun. J- pabila perusahaan tersebut akan melakukan perubahan, dan/atau penambahan ope'asional kegiatan Pengangkutan Limbah B3

Pada kegiatan pembelajaran menulis naskah drama dengan menggunakan media lagu dan pendekatan kooperatif model Numbered Heads Together siklus I terlihat bahwa keterampilan siswa

Penggunaan pupuk subsidi pada usahatani padi yaitu pupuk petroganik, SP36, phonska, urea dan ZA akan mempengaruhi harga dalam biaya yang dikeluarkan

Selain melihat lembaga-lembaga yang ada di Kelurahan Cigugur Tengah sebagai lembaga pemberi modal, pemasaran dan penyedia bahan baku juga bisa dilihat dari fungsi lainnya yang

4-. Pemeriksaan untuk menentukan ineksi hepatitis $irus &amp; akut adalah : a. 0e$ersibel bila penyakit dasar ditangani  b. Pen'egahan renal osteodysthrophy dilakukan pada