• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Kopi Indonesia ke Wilayah ASEAN dan China dalam Skema Early Harvest Programmer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Kopi Indonesia ke Wilayah ASEAN dan China dalam Skema Early Harvest Programmer"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

EKSPOR KOPI INDONESIA KE WILAYAH ASEAN DAN

CHINA DALAM SKEMA EARLY HARVEST PROGRAMME

ARIF AGUS NUGROHO

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Kopi Indonesia ke Wilayah ASEAN dan China dalam Skema Early Harvest Programme adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2013

Arif Agus Nugroho

NIM H14080032

(3)

Kopi Indonesia ke Wilayah ASEAN dan China dalam Skema Early Harvest Programme. Dibimbing oleh DR. IR. SRI HARTOYO.

Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor potensial di pasar dunia, termasuk di kawasan perdagangan bebas ASEAN-China. Indonesia sebagai negara pengekspor besar kopi memandang pemberlakuan kebijakan EHP sebagai peluang untuk dapat meningkatkan penawaran ekspornya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis faktor yang memengaruhi ekspor kopi Indonesia ke ASEAN (Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) dan China dalam skema Early Harvest Programme (EHP). Metode regresi data panel dengan Fixed Effect (Seemingly Uncorrelated Regression) digunakan untuk menganalisis model penawaran eskpor sebagai dampak dari EHP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua variabel (harga domestik kopi, harga internasional kopi, produksi domestik kopi, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, nilai tukar, dan dummy EHP) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap ekspor kopi Indonesia ke China, Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand.

Kata kunci: kopi, EHP, regresi data panel

ABSTRACT

ARIF AGUS NUGROHO. Analyze the factors that influence Indonesia coffee export to ASEAN and China in the Early Harvest Programme. Supervised by DR. IR. SRI HARTOYO.

Coffee is one of the potential export comodities in global market including in the ASEAN-China free trade area. Indonesia as a major exporter of coffee looking at the implementation of the EHP policy as an opportunity to increase Indonesia export offer. The objective of this research is to analyze the factors that influence Indonesia coffee export to ASEAN (Brunei Darussalam, Malaysia, Philippines, Singapore, and Thailand) and China in the Early Harvest Programme (EHP). Panel data regression method with fixed effect (Seemingly Uncorrelated Regression) was used to analyze export supply model as an impact of EHP. The results shows that all variables (price domestic of coffee, international price of coffee, domestic production of coffee, Gross Domestic Product (GDP) per capita, exchange rate, and dummy of EHP) have the significant influence on Indonesia coffee export to China, Brunei Darussalam, Malaysia, Philippines, Singapore, and Thailand.

(4)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

EKSPOR KOPI INDONESIA KE WILAYAH ASEAN DAN

CHINA DALAM SKEMA EARLY HARVEST PROGRAMME

ARIF AGUS NUGROHO

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

Nama : Arif Agus Nugroho NIM : H14080032

Disetujui oleh

Dr. Ir. Sri Hartoyo Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. Ketua Departemen

(7)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Shalawat serta salam tidak lupa tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW dan kita semua sebagai pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi yang berjudul Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Kopi Indonesia ke Wilayah ASEAN dan China dalam Skema Early Harvest Programme ini merupakan hasil karya penulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Bapak Paimin dan Ibu Wasinah yang telah memberikan segala doa, dukungan, dan dorongan bagi penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. Tidak lupa pula kepada kakak yang telah memberikan semangat dan dukungan moral tanpa henti.

2. Dr. Ir. Sri Hartoyo selaku dosen pembimbing yang telah sabar memberikan bimbingan, baik secara teknis maupun teoritis.

3. Dr. D. S. Priyarsono selaku dosen penguji utama atas kritik dan masukan yang positif dalam penyempurnaan penulisan.

4. Laily Dwi Arsyianti, M.Sc selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberikan banyak informasi mengenai tata cara penulisan skripsi yang baik.

5. Seluruh dosen pengajar Departemen Ilmu Ekonomi yang tanpa pamrih memberikan ilmu dan pengalamannya, serta semua staf Tata Usaha yang telah memberikan kelancaran berbagai urusan administrasi.

6. Seluruh rekan-rekan di Ilmu Ekonomi 45 dan keluarga besar HMI komisariat FEM IPB.

7. Gita dan Yuni yang telah memberikan motivasi dan bantuan teknis dalam pengembangan penulisan skripsi ini.

8. Teman-teman kontrakan Darmaga Regency blok D15: Agung, Aji, Bayu, Busrol, Fadhli, Pardi, dan Samsu atas semangat serta kebersamaannya selama merantau di Bogor.

9. Semua pihak yang telah membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Akhir kata, penulis mengharapkan masukan-masukan positif dari semua pihak untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga karya ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi semua pihak yang membutuhkan. Amin yaa robbal’ alamin.

Bogor, Januari 2013

(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 7

2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS 2.1 Pengertian Ekspor ... 8

2.2 Teori Penawaran Ekspor ... 8

2.3 Hubungan Kebijakan Early Harvest Programme (EHP) terhadap Kurva Perdagangan Internasional ... 11

2.4 Penelitian Terdahulu ... 12

2.4.1 Ekspor Kopi ... 12

2.4.2 Data Panel ... 13

2.4.3 Perdagangan Bebas ASEAN-China ... 14

2.4.4 Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu ... 15

2.5 Kerangka Pemikiran ... 15

2.6 Hipotesis Penelitian ... 18

3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data ... 19

3.2 Metode Analisis ... 19

3.3 Spesifikasi Model ... 20

3.3.1 Penjelasan Penggunaan Variabel dalam Model ... 20

3.4 Data Panel ... 22

3.4.1 Pooled Least Square (PLS) ... 24

(9)

3.5 Pemilihan Model Terbaik (Chow Test) ... 25

3.6 Evaluasi Model dan Uji Asumsi ... 26

4 GAMBARAN UMUM 4.1 Perdagangan Bebas ASEAN-China ... 27

4.1.1 Early Harvest Programme (EHP) ... 28

4.1.2 Normal Track ... 31

4.1.3 Sensitive Track ... 31

4.2 Gambaran Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Kopi Indonesia 32 4.2.1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ... 32

4.2.2 Perkembangan Produksi Kopi Indonesia ... 33

4.2.3 Perkembangan Harga Komoditas Kopi... 35

4.3 Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia ke Pasar ASEAN-China ... 36

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pendugaan Model ... 41

5.2 Pengujian Asumsi Model ... 42

5.3 Pengujian Kriteria Statistik ... 42

5.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penawaran Ekspor Kopi Indonesia ... 43

5.4.1 Harga Domestik (PDOM) ... 43

5.4.2 Harga Internasional (PINT) ... 44

5.4.3 Produksi Domestik (PROD) ... 45

5.4.4 PDB per Kapita (GDP) ... 46

5.4.5 Nilai Tukar (ER) ... 46

5.4.6 Kebijakan Early Harvest Programme (DEHP) ... 47

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 49

6.2 Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 51

LAMPIRAN ... 53

(10)

DAFTAR TABEL

1.1 Produksi dan Luas Areal Perkebunan Kopi Indonesia Periode

Tahun 1999-2011... 2 1.2 Total Ekspor Kopi Indonesia ke Wilayah ASEAN dan China

Periode Tahun 1999-2011 ... 4 4.1 Daftar Produk dalam Kebijakan Early Harvest Programme ... 29 4.2 Daftar Agenda Modalitas Penurunan Tarif Early Harvest

Programme ASEAN-6 dan China ... 29 4.3 Daftar Agenda Modalitas Penurunan Tarif Early Harvest

Programme Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam ... 30 4.4 Daftar Agenda Modalitas Penurunan Tarif Normal Track

ASEAN-6 dan China ... 31 4.5 Volume Ekspor Kopi Indonesia ke Kawasan Perdagangan

Bebas ASEAN-China ... 36 5.1 Hasil Estimasi Fungsi Penawaran Ekspor Menggunakan

Pendekatan FEM dengan Pembobotan SUR ... 41

DAFTAR GAMBAR

2.1 Analisis Keseimbangan Parsial atas Penghapusan Tarif pada Pemberlakuan Kebijakan Early Harvest Programme (EHP) ... 11 2.2 Kerangka Pemikiran ... 17 4.1 Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) per Kapita

Indonesia Periode Tahun 1999-2011 (US$) ... 32 4.2 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika

Periode Tahun 1999-2011 (Rp/US$) ... 33 4.3 Perkembangan Produksi Komoditas Kopi Indonesia Periode

Tahun 1999-2011 (Ribu Ton) ... 34 4.4 Perkembangan Harga Komoditas Kopi Periode Tahun 1999-2011

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil Uji Chow Model Penawaran Ekspor Kopi Indonesia ... 53 2 Hasil Estimasi Regresi Model Penawaran Ekspor Kopi Indonesia ... 54 3 Matriks Korelasi antar Variabel Model Penawaran Ekspor Kopi

Indonesia... 55 4 Uji Normalitas Hasil Estimasi Regresi Model Penawaran Ekspor

(12)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perdagangan internasional telah berkembang pesat dan memberikan peranan penting dalam perekonomian global. Semakin terbuka sebuah negara terhadap perdagangan internasional akan semakin meningkatkan jumlah ekspor yang berpengaruh terhadap pendapatan nasional negara. Pentingnya perdagangan internasional untuk meningkatkan pendapatan mendorong sejumlah negara yang berada dalam suatu wilayah membentuk suatu kerjasama ekonomi regional, salah satunya adalah ASEAN (Association of South East Asian Nations). Pembentukan ASEAN bertujuan untuk memajukan ekonomi masyarakat bangsa-bangsa agar tidak tertinggal dengan negara lain, khususnya di kawasan Asia Tenggara.

Memasuki era globalisasi, adanya liberalisasi telah memberikan banyak perubahan pada bentuk kerjasama ekonomi negara-negara di ASEAN dengan tercetusnya perjanjian pembentukan suatu kawasan perdagangan bebas dengan China. Karena hal tersebut membuat hambatan tarif dan non-tarif yang selama ini menjadi penghalang masuknya barang atau jasa ke suatu negara di ASEAN dan China menjadi semakin berkurang.

ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) merupakan suatu bentuk kawasan perdagangan bebas yang berlaku antara negara-negara di ASEAN dengan China. Perjanjian perdagangan ini diresmikan melalui penandatanganan

The Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation di Kamboja pada tahun 2002 yang telah dimulai pada tahun 2010 oleh Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Singapura; dan diharapkan pada tahun 2015 dapat dicapai oleh Kamboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam (CLMV). Tercatat saat diimplementasikan pada 1 Januari 2010, ACFTA merupakan kawasan perdagangan bebas terbesar di dunia dengan total luas wilayah 14 juta km2, konsumen mencapai 2 milyar, Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar US$7.7 triliun, dan total perdagangan lebih dari US$200 milyar (Sekretariat ASEAN dan World Bank 2011).

(13)

pertanian yang mulai diimplementasikan pada 1 Januari 2004, dengan cakupan produk-produk pertanian dan produk lain yang disepakati secara bilateral antara negara-negara ASEAN dan China. Salah satu komoditas pertanian (subsektor perkebunan) yang termasuk dalam program EHP yaitu kopi.

Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan Indonesia, khususnya untuk ekspor. Komoditas ini memiliki peranan penting khususnya sebagai sumber devisa, penyedia lapangan kerja, dan sebagai sumber pendapatan bagi petani ataupun pelaku ekonomi lainnya yang berhubungan dengan kopi. Sebagai penyedia lapangan kerja, perkebunan kopi mampu menyediakan lapangan kerja bagi 2 juta petani kopi di Indonesia atau sekitar 1.7 persen dari total angkatan kerja pada tahun 2011. Mayoritas petani kopi tersebut menggantungkan hidupnya pada kopi sebagai sumber pendapatan utama (Ditjenbun 2012).

Pada tahun 2011 sumbangan dari sektor perkebunan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar Rp154 triliun dengan neraca perdagangan dari komoditas kopi sebesar Rp8.02 triliun (BPS 2012). Begitu pentingnya komoditas ini dalam perekonomian Indonesia, maka tak heran bila pengembangan produksi terus dilakukan guna meningkatkan nilai kopi. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Produksi dan Luas Areal Perkebunan Kopi Indonesia Periode Tahun 1999-2011

Tahun Produksi (Ton) Luas Areal (Ha)

(14)

Berdasarkan Tabel 1.1 dapat dilihat perkembangan luas areal perkebunan kopi Indonesia mengalami fluktuasi dengan rata-rata per tahun sebesar 1.28 juta Ha selama periode tahun 1999 sampai 2011. Dari luas areal tersebut dihasilkan produksi kopi dengan trend meningkat dari 531.69 ribu ton pada tahun 1999 menjadi 709 ribu ton pada tahun 2011 dengan rata-rata produksi mencapai 648.37 ribu ton per tahunnya.

Trend positif produksi kopi Indonesia dikarenakan adanya dukungan sumberdaya alam melimpah dan iklim yang kondusif. Letak Indonesia di sekitar garis khatulistiwa memungkinkan tanaman kopi selalu mendapat sinar matahari sepanjang tahun dan curah hujan yang tinggi. Keadaan iklim tersebut sangat menunjang kesuburan lahan dan pertumbuhan tanaman. Dukungan produksi dan limpahan alam sebesar itu sangat memungkinkan untuk Indonesia terus menunjukkan eksistensinya sebagai salah satu negara pengekspor besar kopi di dunia. Terbukti saat ini Indonesia merupakan negara pengekspor kopi terbesar ke-4 dunia setelah Brazil, Vietnam, dan Kolombia (ICO 2012).

Tidak dapat dipungkiri, produksi kopi Indonesia sebagian besar untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri. Tercatat selama periode tahun 1999 sampai 2011 pasar kopi domestik hanya menyerap rata-rata 273.2 ribu ton per tahun atau sekitar 42 persennya saja dari rata-rata total produksi kopi Indonesia per tahun (Ditjenbun 2012). Dengan produksi yang melimpah tetapi daya serap pasar domestik rendah, kopi Indonesia sangat bergantung pada pasar internasional.

(15)

menjadi US$69.90 juta dengan volume ekspor yang cenderung meningkat dari 36.25 ribu ton menjadi 49.29 ribu ton akibat pengaruh krisis global yang melanda dunia seperti terlihat pada Tabel 1.2.

Tabel 1.2 Total Ekspor Kopi Indonesia ke Wilayah ASEAN dan China Periode Tahun 1999-2011

Tahun Ekspor

Nilai (1000 USD) Volume (Ton)

1999 38 430.36 27 754 866

2000 29 059.15 34 102 993

2001 14 248.76 20 434 779

2002 16 718.33 25 354 309

2003 14 928.54 18 715 274

2004 18 514.13 19 989 894

2005 34 897.02 28 232 684

2006 45 270.57 32 114 134

2007 63 738.49 35 944 902

2008 70 786.20 36 253 828

2009 69 897.97 49 288 965

2010 64 803.72 44 222 421

2011 92 296.52 41 691 223

Rata-rata per tahun 44 122.29 31 853 867

Sumber: World Integrated Trade Solution (2012).

(16)

1.2 Perumusan Masalah

Indonesia telah menandatangani perjanjian perdagangan bebas regional ASEAN-China. Untuk mengkonkretkan gagasan tersebut, maka disepakati Early Harvest Programme (EHP) yaitu program liberalisasi dini untuk produk-produk pertanian yang mulai berlaku pada 1 Januari 2004. Dimana komoditas didalamnya adalah Harmonized System (HS) Chapter 01 sampai Chapter 08 dan produk spesifik yang disepakati secara bilateral antara negara China dengan negara-negara ASEAN antara lain kopi, minyak kelapa sawit (CPO), coklat (kakao), barang dari karet, dan perabotan. Produk-produk yang tidak masuk dalam skema EHP dimasukkan ke skema jalur normal dan jalur sensitif.

Setelah diberlakukannya EHP volume penawaran ekspor kopi Indonesia secara keseluruhan ke China, Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand lebih besar dibandingkan dengan sebelum diberlakukannya EHP. Penawaran ekspor kopi Indonesia ke wilayah ASEAN dan China tersebut dalam perkembangannya mengalami berbagai kendala. Hal ini diduga akibat fluktuasi beberapa faktor seperti harga domestik, harga internasional, produksi domestik, pendapatan per kapita Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, dan pemberlakuan kebijakan EHP.

Produksi kopi Indonesia mengalami fluktuasi dengan trend meningkat selama 13 tahun terakhir, akibatnya harga domestik mengalami penurunan karena pasokan dalam negeri meningkat. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan penawaran ekspor kopi Indonesia. Sedangkan peningkatan harga internasional akan memberikan pengaruh yang berbanding lurus terhadap penawaran ekspor kopi Indonesia.

(17)

lebih mahal di luar negeri sehingga penawaran relatif meningkat. Sedangkan pendapatan per kapita pada negara pengekspor berhubungan terbalik dengan penawaran ekspornya.

Pemberlakuan kebijakan EHP terhadap komoditas kopi, membuat pola perdagangan kopi di Indonesia mengalami banyak perubahan. Semakin berkurangnya hambatan tarif dan non-tarif yang selama ini menjadi hambatan perdagangan, mengakibatkan kecenderungan ekspor kopi ke suatu negara meningkat. Oleh karena itu, pemberlakuan EHP memberi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan pendapatan dengan memperbanyak ekspor kopinya ke negara-negara di ASEAN dan China.

Namun peluang tersebut tidak hanya bisa dimanfaatkan oleh Indonesia, tentunya negara lain juga akan berpikir hal yang sama untuk memanfaatkan peluang besar dari kawasan ASEAN-China itu sendiri, seperti Vietnam yang juga merupakan negara pengekspor kopi terbesar ke-2 setelah Brazil. Hal ini memberikan kekhawatiran akan ancaman terhadap daya saing kopi Indonesia, kawasan perdagangan bebas kalau tidak pandai memanfaatkannya hanya akan memberikan keuntungan bagi negara pesaing saja. Sedangkan dari sisi pengadaan pasokan dalam negeri, dikhawatirkan terlalu terlena pada orientasi ekspor akan menyebabkan kurangnya pasokan kopi di Indonesia.

Berdasarkan beberapa uraian diatas, maka pertanyaan relevan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah :

1. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi ekspor kopi Indonesia ke pasar ASEAN dan China?

2. Bagaimana dampak pemberlakuan Early Harvest Programme terhadap ekspor kopi Indonesia ke pasar ASEAN dan China?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penelitian ini memiliki tujuan yang hendak dicapai sebagai berikut :

(18)

2. Mengidentifikasi dampak pemberlakuan Early Harvest Programme

terhadap ekspor kopi Indonesia ke pasar ASEAN dan China.

1.4 Manfaat Penelitian

Dalam menyusun penelitian ini, diharapkan dapat memperoleh suatu manfaat sebagai berikut :

1. Bagi penulis, penelitian ini digunakan untuk menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh selama di perguruan tinggi serta diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan. 2. Bagi pembaca, penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan bahan

referensi untuk menelaah topik tentang perdagangan bebas.

3. Bagi stakeholder, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan dan menetapkan strategi untuk menghadapi perdagangan bebas.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ekspor kopi Indonesia ke pasar China, Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand sebagai negara-negara di kawasan ASEAN-China. Pemilihan negara tersebut dipilih berdasarkan jadwal EHP yang sama, dimana untuk negara CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam) ada kompensasi tersendiri yang menyebabkan jadwal penurunan tarifnya berbeda dari 6 negara ASEAN lainnya. Periode waktu yang digunakan yaitu mulai tahun 1999 sampai 2011.

Komoditas kopi yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi dalam

Harmonized Commodity Description and Coding atau yang biasa dikenal dengan sebutan Harmonized System (HS). HS yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada kopi yang biasa digunakan untuk ekspor dengan level 4 digit yaitu HS 0901 (jenis kopi robusta, arabika, yang digongseng maupun tidak, dihilangkan kafeinnya maupun tidak).

(19)

2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS

2.1 Pengertian Ekspor

Ekspor adalah berbagai barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri dan dijual ke luar negeri. Ekspor dapat diartikan suatu total penjualan barang yang dapat dihasilkan oleh suatu negara, kemudian diperdagangkan ke negara lain dengan tujuan mendapat devisa. Suatu negara dapat mengekspor suatu barang yang dihasilkan ke negara lain yang tidak dapat menghasilkan barang-barang yang dihasilkan negara pengekspor (Lipsey 1995).

2.2 Teori Penawaran Ekspor

Penawaran suatu komoditas baik berupa barang maupun jasa adalah jumlah yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dalam suatu pasar pada tingkat harga dan waktu tertentu. Jumlah yang ditawarkan menunjuk pada arus penjualan yang terus menerus. Lebih lanjut menurut Salvatore (1997), volume ekspor suatu negara ditentukan oleh harga komoditas di pasar domestik, harga internasional, dan secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar, mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain.

Menurut Lipsey (1995), faktor- faktor yang memengaruhi penawaran ekspor suatu komoditas yaitu :

1. Harga komoditas tersebut

Harga sejumlah komoditas mempunyai hubungan yang positif dengan jumlah komoditas yang ditawarkan yaitu semakin tinggi harganya semakin besar pula jumlah komoditas yang ditawarkan, cateris paribus. Hal ini karena peningkatan harga komoditas menyebabkan peningkatan keuntungan yang akan memacu peningkatan produksi maupun penjualan hasil produksinya.

2. Harga komoditas lain: substitusi dan komplementer

(20)

peningkatan harga akan memengaruhi jumlah yang ditawarkan, yaitu meningkatnya jumlah penawaran komoditas yang bersangkutan.

3. Harga faktor produksi

Harga faktor produksi merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Perubahan harga faktor produksi akan memengaruhi keuntungan yang akan diperoleh perusahaan, jika harga faktor produksi naik, cateris paribus, maka keuntungan perusahaan berkurang sehingga perusahaan akan menurunkan produksinya dan jumlah yang ditawarkan.

4. Tingkat teknologi

Teknologi berkorelasi positif dengan jumlah yang ditawarkan. Penggunaan teknologi baru mengakibatkan efisiensi waktu, tenaga, dan modal meningkat dimana peningkatan tersebut berasal dari peningkatan penerimaan dan penurunan biaya pada penggunaan faktor produksi yang sama, akibatnya produksi akan meningkat dan jumlah yang ditawarkan juga akan meningkat, cateris paribus.

Tingkat teknologi dapat direpresentasikan dengan jumlah produksi yang dihasilkan, semakin meningkat jumlah yang diproduksi maka menggambarkan tingkat teknologi yang semakin meningkat.

Ada 2 faktor tambahan yang dapat memengaruhi penawaran ekspor suatu komoditas ke suatu negara, yaitu :

1. Nilai tukar

Nilai tukar berkorelasi positif terhadap penawaran ekspor suatu komoditas. Hal ini terjadi karena pada saat nilai tukar melemah (terdepresiasi), secara teori harga produk dalam negeri relatif lebih mahal di pasar internasional. Saat nilai tukar terdepresiasi akan menyebabkan nilai rupiah meningkat sehingga harga ekspor akan meningkat bila dihitung dengan dolar. Hal ini akan menyebabkan margin nilai rupiah terhadap dolar akan semakin besar. Dorongan dari margin nilai rupiah yang semakin besar tersebut menyebabkan peningkatan volume penawaran ekspor, cateris paribus.

2. Pendapatan

(21)

domestik negara pengekspor meningkat maka uang yang siap dibelanjakan masyarakat pun meningkat. Dengan asumsi kopi sebagai barang normal, peningkatan pendapatan menyebabkan masyarakat dapat meningkatkan konsumsinya. Peningkatan konsumsi masyarakat secara keseluruhan menyebabkan peningkatan permintaan terhadap suatu komoditas secara agregat. Hal ini menyebabkan penawaran terhadap ekspor menjadi berkurang, produsen akan mengalihkan penawaran ke dalam negeri karena dianggap lebih menguntungkan.

Sebagai sebuah penawaran, maka ekspor suatu negara akan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang memengaruhi penawaran negara pengekspor komoditas yang dihasilkan, yaitu tingkat teknologi yang direpresentasikan dengan produksi komoditas tersebut di negara pengekspor (PROD), harga domestik di negara pengekspor (PDOM), dan pendapatan negara pengekspor (GDP). Selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari negara pengekspor, ekspor suatu negara sebagai sebuah penawaran juga dipengaruhi oleh harga di pasar internasional (PINT) dan nilai tukar uang (ER). Variabel buatan juga dimasukkan ke dalam model regresi data panel untuk mengetahui sejauh mana pengaruh kondisi perekonomian internasional terhadap kegiatan ekspor, yaitu variabel

dummy (DEHP) berupa kondisi perekonomian dalam masa perjanjian Early Harvest Programme (EHP).

Jumlah volume ekspor merupakan selisih antara jumlah penawaran ekspor dikurangi dengan konsumsi atau permintaan domestik negara yang bersangkutan. Secara matematis model ekspor suatu negara dapat ditulis ke dalam persamaan sebagai berikut : EX = Qs - Qd

dimana : Qs = s (PINT, ER , PROD, DEHP) Qd = d (GDP, PDOM)

sehingga secara keseluruhan fungsi ekspor dari sisi penawaran menjadi : EX = f (PDOM, PINT, PROD, GDP, ER, DEHP) dimana :

(22)

PDOM = Harga domestik riil kopi Indonesia PINT = Harga internasional riil komoditas kopi PROD = Produksi kopi Indonesia

GDP = PDB per kapita Indonesia ER = Kurs Indonesia

DEHP = Dummy kebijakan EHP

2.3 Hubungan Kebijakan Early Harvest Programme (EHP) terhadap Kurva Perdagangan Internasional

Pemberlakuan kebijakan EHP yang menghapuskan tarif impor mempunyai hubungan berbanding lurus terhadap penawaran ekspor kopi Indonesia. Hubungan antara penghapusan tarif terhadap keseimbangan perdagangan internasional dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Px/Py

Sc

Se

P1 Tarif A

P0

B

P2

Dc0

Dc1

De

Qe1 Qe3 Qe4 Qe2 0 Qc2 Qc1

Pasar Indonesia Negara Tujuan Ekspor Sumber: Salvatore (1997).

Gambar 2.1 Analisis Keseimbangan Parsial atas Penghapusan Tarif pada Pemberlakuan Kebijakan Early Harvest Programme (EHP)

(23)

seharusnya. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya permintaan kopi Indonesia yang menggeser kurva Dc0 pada negara tujuan ekspor ke kiri bawah sebesar tarif impor, menjadi Dc1. Pergeseran kurva Dc mengakibatkan harga kopi dunia turun menjadi P2, sedangkan harga yang dibayar konsumen di negara tujuan ekspor menjadi P1. Pada kondisi ini, volume kopi yang dapat diekspor turun dari A (Qe1-Qe2) menjadi B (Qe3-Qe4).

Pada negara pengimpor pemberlakuan tarif impor menyebabkan peningkatan harga produk, penurunan jumlah konsumsi dan volume impor, dan peningkatan penerimaan pemerintah yang berasal dari tarif impor. Di sisi lain, bagi negara pengekspor pemberlakuan tarif impor menyebabkan volume ekspor menurun. Dengan kata lain, penghapusan tarif impor yang selama ini menjadi salah satu penghambat perdagangan mendorong penurunan harga di negara tujuan ekspor. Harga kopi Indonesia yang semakin murah menjadi insentif tersendiri, dimana permintaan konsumen di negara tujuan ekspor akan semakin bertambah seiring dengan semakin menurunnya tingkat keseimbangan harga.

2.4 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang digunakan penulis sebagai referensi penelitian terbagi menjadi 3 kategori. Kategori pertama adalah penelitian terdahulu mengenai ekspor kopi. Kategori kedua adalah penelitian terdahulu mengenai data panel, yaitu model yang digunakan dalam penelitian ini. Kategori yang terakhir adalah mengenai perdagangan bebas ASEAN-China.

2.4.1 Ekspor Kopi

(24)

signifikan terhadap penawaran ekspor kopi Indonesia dalam jangka panjang. Penawaran ekspor kopi Indonesia dalam jangka pendek secara signifikan dipengaruhi oleh produksi kopi dan harga domestik kopi setahun sebelumnya dan pengaruhnya positif. Sedangkan konsumsi domestik kopi, harga ekspor kopi tahun sebelumnya, dan dummy krisis ekonomi memengaruhi penawaran ekspor kopi Indonesia secara signifikan dan pengaruhnya negatif. Dummy kebijakan penghapusan kuota ekspor berpengaruh tidak signifikan.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Widayanti (2009) yang menganalisis ekspor kopi Indonesia periode tahun 1975 sampai 1997 menggunakan model persamaan simultan dalam bentuk double logaritma dengan metode two stage least square (2SLS). Hasil penelitian ini dibagi menjadi 3, yaitu pertama faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kuantitas ekspor kopi Indonesia. Faktor yang berhubungan positif adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dan penawaran kopi tahun sebelumnya. Harga ekspor kopi (FOB) berhubungan negatif dengan kuantitas ekspor, hal ini disebabkan mutu kopi Indonesia masih rendah sehingga tidak memenuhi kualitas yang diminta konsumen luar negeri. Harga kopi dalam negeri berhubungan positif terhadap kuantitas ekspor disebabkan permintaan kopi dalam negeri yang masih rendah. Kedua, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penawaran kopi dalam negeri. Faktor-faktor-faktornya semua berhubungan positif yaitu harga kopi dalam negeri, tingkat teknologi, dan penawaran kopi setahun sebelumnya. Ketiga, faktor yang berpengaruh terhadap permintaan kopi dalam negeri adalah tingkat pendapatan masyarakat.

2.4.2 Data Panel

(25)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan semua variabel yaitu harga ekspor, harga domestik, produksi domestik, konsumsi domestik, nilai tukar, lag ekspor, dan dummy krisis ekonomi berpengaruh nyata terhadap volume ekspor televisi Indonesia. Namun untuk pengujian setiap variabel (uji-t) hanya terdapat 3 variabel bebas yang berpengaruh secara signifikan yaitu harga ekspor, produksi domestik, dan lag ekspor. Sedangkan untuk variabel harga domestik, konsumsi domestik, dan nilai tukar tidak berpengaruh secara signifikan terhadap volume ekspor televisi Indonesia. Dari hasil analisis regresi data panel untuk dummy krisis ekonomi menunjukkan bahwa volume penawaran ekspor televisi Indonesia ke Malaysia, Singapura, dan Thailand sebelum dan sesudah terjadinya krisis ekonomi adalah berbeda secara signifikan. Sedangkan dari uji indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) menunjukkan bahwa komoditas televisi Indonesia cukup berdaya saing.

2.4.3 Perdagangan Bebas ASEAN-China

Penelitian oleh Veronika (2008) yang menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia di China, Singapura, dan Malaysia dalam skema ACFTA dengan menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh nyata terhadap model permintaan ekspor wood Indonesia di China yaitu harga ekspor riil, harga substitusi, dan nilai tukar riil rupiah terhadap yuan. Pada model permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura variabel yang berpengaruh nyata yaitu harga substitusi, GDP riil per kapita Singapura, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Singapura. Sedangkan pada model permintaan ekspor

wood Indonesia di Malaysia variabel yang berpengaruh nyata yaitu harga ekspor riil, GDP riil per kapita Malaysia, dan nilai tukar rupiah terhadap ringgit. Pemberlakuan program ACFTA yaitu normal track (I dan II) menyebabkan penurunan permintaan ekspor wood Indonesia di China dan Malaysia, serta peningkatan permintaan ekspor wood Indonesia di Singapura.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Ashiqin (2010) mengenai daya saing dan faktor-faktor yang memengaruhi ekspor CPO Indonesia dalam skema

(26)

data panel fixed effect. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan uji t-statistik dan uji-F pada taraf nyata 5 persen diketahui bahwa seluruh variabel bebasnya yaitu harga riil CPO internasional, harga riil CPO domestik, harga riil minyak kedelai internasional, harga riil minyak bumi internasional, produksi CPO domestik, nilai tukar rupiah terhadap dolar, serta lag ekspor berpengaruh signifikan terhadap volume ekspor Indonesia ke China Malaysia, dan Singapura. Untuk variabel dummy menunjukkan bahwa volume ekspor CPO Indonesia ke China, Malaysia, dan Singapura sebelum dan sesudah ACFTA berbeda secara signifikan. Dalam penelitian ini juga dilakukan analisis keunggulan komparatif dengan memperhitungkan nilai RCA yang menunjukkan bahwa secara umum komoditas CPO Indonesia di pasar China, Malaysia, dan Singapura memiliki daya saing tinggi selama periode tahun 1994 sampai 2008, hal ini terlihat dari nilai RCA yang lebih dari 1 (RCA>1).

2.4.4 Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya terletak pada variabel dependen dan independen yang digunakan, dummy kebijakan EHP, serta fokus penelitian. Penelitian ini membahas mengenai pengaruh pemberlakuan kebijakan EHP yang menghapuskan tarif impor dari komoditas kopi. Fokus penelitian ini terletak pada dampak pemberlakuan EHP terhadap ekspor kopi Indonesia, serta langkah yang dapat ditempuh untuk mengatasinya dengan mengamati faktor-faktor yang memengaruhi penawaran ekspor.

2.5 Kerangka Pemikiran

Perdagangan antar negara merupakan suatu hal yang telah dipraktikkan sejak berabad-abad yang lalu. Berdasarkan teori-teori ekonomi beberapa ahli ekonomi dapat disimpulkan bahwa perdagangan antar negara akan memberikan manfaat bagi kedua negara. Manfaat tersebut yang mendorong negara-negara di dunia untuk menerapkan ekonomi terbuka melalui perdagangan internasional.

(27)

Indonesia sendiri saat ini tengah terlibat dalam suatu kawasan perdagangan bebas antar negara-negara di ASEAN dan China atau biasa disebut ACFTA ( ASEAN-China Free Trade Agreement) dengan kebijakan liberalisasi dini Early Harvest Programme (EHP) yang mencakup komoditas kopi didalamnya.

Sejak diberlakukannya EHP, industri kopi Indonesia menghadapi peluang semakin besar untuk meningkatkan volume ekspornya, mengingat Indonesia merupakan pengekspor kopi terbesar ke-4 di dunia setelah Brazil, Vietnam, dan Kolombia. Selain itu kopi juga merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia dengan sumbangan devisa yang cukup tinggi. Namun, pemberlakuan liberalisasi perdagangan di kawasan ASEAN-China menimbulkan tantangan yang semakin besar karena Indonesia harus bersaing dengan negara eksportir kopi utama lainnya seperti Vietnam. Disisi lain, pemberlakuan EHP juga memberikan kekhawatiran kopi Indonesia akan mengalir deras keluar karena ekspor tak terkendali. Sehingga hal tersebut dapat mengancam ketahanan pangan karena jumlah pasokan dalam negeri akan semakin berkurang.

Munculnya EHP sebagai salah satu kebijakan di kawasan perdagangan bebas regional ASEAN-China, dalam rangka penghapusan hambatan tarif dan non-tarif diharapkan mampu mendorong peningkatan ekspor kopi Indonesia. Dalam penerapannya, jadwal penghapusan tarif EHP untuk setiap negara tidak sama. Khusus untuk negara anggota baru ASEAN yaitu Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam (CLMV) jadwal penghapusan hambatan tarif sampai 0 persen waktunya lebih lama, sehingga negara CLMV ini tidak dimasukkan ke dalam model penelitian.

Faktor-faktor yang diduga memengaruhi ekspor kopi Indonesia ke ASEAN-China yaitu produksi domestik, harga domestik, harga internasional, GDP per kapita (pendapatan), nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, dan

(28)

masukan bagi pemerintah maupun para produsen kopi Indonesia dalam mengambil kebijakan terkait dengan ekspor kopi ke negara importir, khususnya di kawasan perdagangan bebas ASEAN-China. Gambaran secara skematis kerangka operasional pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Keterangan :

skema Early Harvest Programme (EHP)

(29)

2.6 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan teori yang telah dibahas dalam Tinjauan Pustaka ini, maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut :

1. Harga domestik kopi Indonesia berhubungan negatif terhadap volume ekspor kopi Indonesia.

2. Harga internasional kopi berhubungan positif terhadap volume ekspor kopi Indonesia.

3. Produksi kopi berhubungan positif terhadap volume ekspor kopi Indonesia.

4. Pendapatan (PDB per kapita) negara pengekspor berhubungan negatif terhadap volume ekspor kopi Indonesia.

5. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika berhubungan positif terhadap volume ekspor kopi Indonesia.

(30)

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data deret waktu (time series) dan data antar individu (cross section). Periode data yang digunakan yaitu dari tahun 1999 sampai 2011. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai sumber seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun), International Coffee Organization (ICO), Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), World Bank, UN Comtrade menggunakan aplikasi World Integrated Trade Solution

(WITS) dan literatur-literatur terkait lainnya.

Penggunaan data panel dilakukan untuk mengestimasi persamaan regresi dan elastisitas penawaran ekspor kopi Indonesia ke China, Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand dalam skema Early Harvest Programme (EHP). Data yang diamati dalam penelitian ini adalah volume ekspor kopi Indonesia ke 6 negara ASEAN-China, harga domestik riil kopi Indonesia, harga riil kopi di pasar internasional, produksi kopi Indonesia, pendapatan per kapita Indonesia, dan nilai tukar rupiah Indonesia terhadap dolar Amerika. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak

Microsoft Excel dan Eviews 6.

3.2 Metode Analisis

Analisis dalam penelitian ini dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan untuk menganalisis perkembangan ekspor melalui penawaran ekspor kopi Indonesia ke wilayah ASEAN-China dengan menggunakan metode data panel untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ekspor kopi Indonesia.

(31)

3.3 Spesifikasi Model

Berdasarkan kerangka teori dan tujuan studi terdahulu serta berbagai alternatif spesifikasi model yang telah dicoba dan juga asumsi-asumsi yang diterapkan dalam membangun model, maka model ekonometrika dengan faktor-faktor yang diduga berpengaruh untuk volume penawaran ekspor dalam penelitian ini, maka bentuk fungsi linearnya adalah sebagai berikut :

LNEXit = β0 + β1 LNPDOMIDNt + β2 LNPINTit + β3 LNPRODIDNt + β4 LNGDPIDNt + β5 LNERIDNt + β6 DEHPit +

ε

it

Tanda koefisien yang diharapkan adalah :

β0 < 0 ; β1 < 0 ; β2 > 0 ; β3 > 0 ; β4 < 0 ; β5 > 0 ; β6 > 0 dimana :

i = Negara mitra dagang utama yang terdiri dari China, Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand

β0 = Intersep

βn = Koefisien variabel ke-n (1, 2, 3, …, 6)

EXit = Volume ekspor kopi Indonesia ke negara i tahun ke- t (persen). PDOMIDNt = Harga domestik riil kopi Indonesia tahun ke- t (persen).

PINTit = Harga internasional riil kopi tahun ke-t (persen). PRODIDNt = Produksi kopi Indonesia tahun ke-t (persen). GDPIDNt = PDB per kapita Indonesia tahun ke-t (persen). ERIDNt = Kurs Indonesia tahun ke-t (persen).

DEHPit = Dummy kebijakan EHP, variabel dummy yang menunjukkan 2 kondisi berbeda dimana D=0 (sebelum diberlakukannya Early Harvest Programme (EHP) yaitu sebelum tahun 2004) atau D=1 (setelah diberlakukannya EHP yaitu setelah tahun 2004).

ε

it = Error term

3.3.1 Penjelasan Penggunaan Variabel dalam Model

(32)

LN adalah Logaritma Natural, data pada penelitian ini ditransformasikan dengan cara dilogaritma naturalkan. Hal ini bertujuan agar dapat menghasilkan model terbaik dan memudahkan dalam menginterpretasikannya.

Adapun definisi variabel-variabel yang digunakan dalam model penawaran ekspor kopi adalah sebagai berikut :

1. Volume Ekspor Kopi (EX)

Volume ekspor kopi merupakan variabel terikat atau tidak bebas. Volume ekspor adalah jumlah kopi Indonesia yang akan diekspor ke negara tujuan ekspor di kawasan perdagangan bebas ASEAN-China, dalam hal ini adalah China, Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand yang dinyatakan dalam satuan kilogram (kg).

2. Harga Domestik Riil Kopi (PDOM)

Harga domestik riil kopi merupakan variabel bebas. Harga domestik merupakan harga yang diterima oleh masyarakat dimana harga ini menentukan tingkat daya beli masyarakat dalam negeri dan permintaan produk kopi yang dinyatakan dalam Rp/kg. Untuk menghasilkan harga riil maka harga nominal tersebut dideflasi oleh Indeks Harga Konsumen (IHK) umum, dengan periode tahun 1999 sampai 2011.

3. Harga Internasional Riil Kopi (PINT)

Harga internasional riil kopi merupakan variabel bebas. Harga internasional merupakan harga yang diterima oleh penduduk dunia dan dijadikan acuan harga komoditas kopi di setiap negara dengan satuan US$/kg. Untuk menghasilkan harga riil maka harga internasional tersebut dideflasi oleh Indeks Harga Konsumen (IHK) umum, dengan periode tahun 1999 sampai 2011.

4. Produksi Kopi Indonesia (PROD)

(33)

tingkat teknologi maka jumlah yang diproduksinya akan semakin meningkat.

5. Produk Domestik Bruto per Kapita (GDP)

PDB per kapita adalah variabel bebas. PDB per kapita merupakan proyeksi jumlah pendapatan masyarakat Indonesia dalam periode tahun 1999 sampai 2011 dan dinyatakan dalam satuan US$.

6. Nilai Tukar (ER)

Nilai tukar adalah variabel bebas. Nilai tukar digunakan sebagai proyeksi perbandingan nilai mata uang yang berlaku. Dalam perdagangan internasional, nilai tukar yang umum digunakan sebagai acuan untuk pembayaran transaksi internasional adalah dalam satuan rupiah terhadap dolar Amerika (Rp/US$).

7. Dummy EHP(DEHP)

Dummy EHP adalah variabel bebas. Variabel boneka ini dimasukkan ke dalam model karena diduga memberikan pengaruh berbeda terhadap volume penawaran ekspor kopi. Dummy yang digunakan di dalam model adalah dummy kebijakan EHP. Nilai 0 untuk waktu sebelum diberlakukannya EHP (tahun 1999 sampai 2003) dan nilai 1 untuk waktu setelah diberlakukannya EHP (tahun 2004 sampai 2011).

3.4 Data Panel

(34)

Terdapat beberapa kelebihan penggunaan data panel (Baltagi 2008), diantaranya yaitu :

a. Mampu mengontrol heterogenitas antar individu. b. Meningkatkan derajat bebas.

c. Menjadi semakin efisien, mengurangi kolinearitas, meningkatkan akurasi estimasi, serta memberikan informasi yang lebih banyak dan beragam. d. Cocok untuk studi dynamic of adjustment, data panel merupakan cross

section berulang sehingga dapat digunakan untuk menganalisis perubahan yang dinamis.

e. Mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section atau time series murni.

Analisis panel yang digunakan dalam penelitian ini bersifat statis karena peubah lag dependen tidak dimasukkan dalam komponen peubah independen, serta bersifat searah sehingga dalam hasil pengolahan regresi pada nilai probabilitas masing-masing variabel dibagi 2. Analisis panel statis dibedakan menjadi pendekatan gabungan kuadrat terkecil (pooled least square) dan 2 pendekatan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara individual effects

dengan peubah independennya, yaitu fixed effects model (FEM) dan random effects model (REM). Namun dalam penelitian ini pendekatan REM tidak dapat dilakukan. Hal ini dikarenakan untuk pemilihan model REM hanya dapat dilakukan apabila variabel yang digunakan jumlahnya lebih besar daripada jumlah

cross section (negara) yang diteliti, sedangkan variabel dan cross section yang digunakan dalam penelitian ini jumlahnya sama-sama 6 sehingga pendekatan REM tidak dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini.

Selain itu, dalam melakukan pengolahan data panel terdapat juga kriteria pembobotan yang berbeda-beda yaitu NoWeighting (semua observasi diberi bobot sama), Cross Section Weight (GLS dengan menggunakan estimasi varians residual

(35)

dilakukannya pembobotan ini adalah untuk mengurangi heterogenitas antar unit

cross section.

3.4.1 Pooled Least Square (PLS)

Pendekatan yang paling sederhana dalam pengolahan data panel adalah dengan menggunakan metode gabungan kuadrat terkecil, ditetapkan dalam data yang berbentuk pool. Misalkan terdapat persamaan berikut ini :

Yit = α + x jit βj + εi untuk i = 1, 2, ...., N dan t = 1, 2, ..., T

Dimana N adalah jumlah unit cross section (individu) dan T adalah jumlah periode waktunya. Dengan mengasumsi komponen error dalam pengolahan metode gabungan kuadrat terkecil, dapat dilakukan proses estimasi secara terpisah untuk setiap unit cross section. Untuk periode t = 1, akan diperoleh persamaan regresi cross section sebagai berikut :

Yit = α + xjitβj + εit untuk i = 1, 2, ...., N

Pada akhirnya akan berimplikasi diperolehnya persamaan sebanyak T persamaan yang sama. Begitu juga sebaliknya, persamaan deret waktu (time series) dapat diperolehsebanyak N persamaan untuk setiap T observasi. Namun, untuk mendapatkan parameter α dan β yang konstan dan efisien dapat diperoleh dalam bentuk regresi yang lebih besar dengan melibatkan sebanyak NT observasi.

3.4.2 Fixed Effects Model (FEM)

Kesulitan terbesar dalam pendekatan metode gabungan kuadrat terkecil adalah asumsi intersep (konstanta) dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan baik antar daerah maupun antar waktu yang mungkin tidak beralasan. Generalisasi secara umum sering dilakukan dengan memasukan variabel dummy untuk mengizinkan terjadinya perbedaan nilai parameter yang berbeda-beda baik lintas cross section maupun time series.

Pendekatan dengan memasukkan variabel dummy dikenal dengan sebutan model efek tetap (fixed effect) atau Least Square Dummy Variable (LSDV) atau disebut juga Covariance Model. Pendekatan tersebut dapat ditulis dalam persamaan berikut ini :

(36)

dimana :

Yit = variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i αit = intercept yang berubah-ubah antar cross section unit

xjitβj = variabel bebas j di waktu t untuk unit cross section i βj = parameter untuk variabel ke j

εit = komponen error di waktu t untuk unit cross section i

Setelah menambahkan sebanyak (N-1) variabel dummy (Di) ke dalam model dan menghilangkan sisanya untuk menghindari kolinearitas sempurna antar variabel penjelas, pendekatan ini akan terjadi degree of freedom sebesar NT-N-K. Keputusan memasukkan variabel buatan ini harus didasarkan pada pertimbangan statistik. Tidak dapat dipungkiri penambahan variabel dummy ini akan mengurangi banyaknya degree of freedom yang pada akhirnya akan memengaruhi koefisien dari parameter yang diestimasi.

3.5 Pemilihan Model Terbaik (Chow Test)

Chow Test adalah pengujian F-statistik untuk memilih apakah model terbaik yang digunakan adalah Pooled Least Square (PLS) atau Fixed Effect Model (FEM). Uji chow dilakukan sebab adanya asumsi bahwa setiap unit cross section memiliki individual effect yang sama (αi = α).

Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut : H0 : PLS (Restricted)

H1 : FEM(Unrestricted)

Pengujian dilakukan dengan membandingkan nilai kritis F (Fα) dengan

nilai F-statistik yang terdapat pada hasil analisis. Penghitungan F-statistik adalah sebagai berikut :

F-statistik = ( RRSS - URSS ) ( N – 1 ) ( URSS ) ( NT – N – K ) dimana :

RSSS = Restricted Residual Sum Square (Sum Square Residual Pooled OLS) URSS = Unrestricted Residual Sum Square (Sum Square Residual Fixed Effect) N = Jumlah data cross section

(37)

K = Jumlah variabel penjelas

Apabila nilai F-statistik < Fα maka terdapat cukup bukti untuk menolak

H0, sehingga model terbaik yang digunakan adalah FEM. Sedangkan jika nilai F-statistik > Fα maka tidak cukup bukti untuk menolak H0, sehingga model terbaik

yang digunakan adalah PLS.

3.6 Evaluasi Model dan Uji Asumsi

(38)

4 GAMBARAN UMUM

4.1 Perdagangan Bebas ASEAN-China

Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Kamboja, dan Myanmar telah memasuki babak baru dalam kemajuan kerjasama ekonomi dan perdagangan sejak masuknya China sebagai mitra dialog penuh pada bulan Juli 1996. Ide pembentukan kawasan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) muncul pertama kali sebagai tanggapan terhadap usulan perdana menteri China Zhu Rongji pada pertemuan ASEAN Summit ke-6 di Singapura, November 2000.

Gagasan pembentukan ACFTA tersebut disepakati dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-7 di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam, pada November 2001. Pada bulan November 2002 ASEAN-China Summit ke-8 di Phnom Penh, Kamboja, para pemimpin ASEAN dan perdana menteri China menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic

Cooperation between ASEAN and The People’s Republic of China yang meresmikan komitmen ASEAN dan China untuk memperkuat kerjasama ekonomi serta perdagangan dalam sebuah kawasan perdagangan bebas. Secara keseluruhan kerangka kerjasama ini mengikat komitmen dari ASEAN dan China untuk memperkuat kerjasama ekonomi di antara kedua belah pihak yang telah dimulai pada tahun 2010 oleh ASEAN-6 yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam; dan direncanakan dapat dicapai pada tahun 2015 oleh Vietnam, Laos, Kamboja, dan Myanmar (CLMV). Tujuan dari persetujuan ACFTA ini adalah untuk :

1. Memperkuat dan meningkatkan kerja sama ekonomi, perdagangan, dan investasi di antara para pihak,

2. Meliberalisasikan secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta menciptakan suatu rezim investasi yang transparan, liberal, dan mudah,

(39)

4. Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dari negara-negara anggota ASEAN yang baru (CLMV) dan menjembatani perbedaan pembangunan di antara para pihak (Sekretariat ASEAN 2009).

Dalam kerangka ACFTA, penurunan dan penghapusan tarif perdagangan barang dilaksanakan dalam 3 tahap, yaitu :

Tahap 1 : Early Harvest Programme (EHP) Tahap 2 : Normal Track I and II

Tahap 3 : Sensitive and Highly Sensitive List

Program penurunan tarif bea masuk dilakukan secara bertahap mulai tanggal 1 Januari 2004 untuk EHP dan menjadi 0 persen pada 1 Januari 2006. Kemudian dimulai tanggal 20 Juli 2005 untuk Normal Track dan menjadi 0 persen pada tahun 2010, dengan fleksibilitas pada produk-produk yang akan menjadi 0 persen pada tahun 2012.

Produk-produk dalam kelompok Sensitive akan dilakukan penurunan tarif mulai tahun 2012, dengan penjadwalan bahwa maksimum tarif bea masuk pada tahun 2012 adalah 20 persen dan akan menjadi 0 sampai 5 persen mulai tahun 2018. Produk-produk Highly Sensitive akan dilakukan penurunan tarif bea masuk pada tahun 2015 sebesar 50 persen. Jadi tidak benar kalau ada pemahaman bahwa penurunan dan penghapusan tarif bea masuk dalam perdagangan bebas ASEAN-China dilakukan secara serentak atas seluruh produk mulai tanggal 20 Juli 2005 (Bustami 2010).

4.1.1 Early Harvest Programme (EHP)

Program ini dimaksudkan untuk mempercepat pelaksanaan persetujuan ACFTA, khususnya dalam perdagangan barang-barang pertanian. Jenis komoditas dalam EHP adalah semua produk yang terdaftar di Harmonized System (HS)

(40)

Tabel 4.1 Daftar Produk dalam Kebijakan Early Harvest Programme

Adapun semua produk yang masuk dalam skema EHP tersebut selanjutnya dibagi menjadi 3 kategori modalitas berdasarkan tingkat tarif MFN yang berlaku saat ini di masing-masing kelompok negara, yaitu :

1. Kategori 1, adalah produk dengan tarif MFN 15 persen untuk China dan ASEAN-6, sedangkan ≥30 persen untuk negara-negara CLMV.

2. Kategori 2, adalah produk dengan tarif MFN antara 5-15 persen untuk China dan ASEAN-6, sedangkan 15-30 persen untuk CLMV.

3. Kategori 3, adalah produk dengan tarif MFN 5 persen untuk China dan ASEAN-6, sedangkan 15 persen untuk CLMV.

Penurunan dan penghapusan tarif dalam skema EHP ini dilaksanakan secara bertahap mulai 1 Januari 2004 dengan agenda waktu seperti yang disajikan pada Tabel 4.2 dan Tabel 4.3. Berdasarkan agenda waktu penurunan tarif yang telah ditentukan tersebut, diharapkan liberalisasi perdagangan barang yang telah diawali oleh China dan ASEAN-6 dapat segera terwujud dengan 10 negara di ASEAN.

Tabel 4.2 Daftar Agenda Modalitas Penurunan Tarif Early Harvest Programme

ASEAN-6 dan China Kategori

Produk

Tingkat Tarif (persen)

1 Januari 2004 1 Januari 2005 1 Januari 2006

1 10 5 0

2 5 0 0

3 0 0 0

(41)

Tabel 4.3 Daftar Agenda Modalitas Penurunan Tarif Early Harvest Programme

Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam Kategori /

(42)

3. Produk Stearic Acid telah masuk dalam EHP dan mulai berlaku penurunan tarifnya pada tanggal 1 Januari 2005 dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 09/PMK.010/2005 tanggal 31 Januari 2005 (Bustami 2010).

4.1.2 Normal Track

Hampir seluruh komoditas masuk dalam program ini, kecuali dimintakan pengecualian oleh negara yang bersangkutan (dengan demikian masuk ke dalam

Sensitive Track). Program penurunan dan penghapusan tingkat tarif bea masuk

Normal Track untuk ASEAN-6 dan China berlaku efektif mulai tanggal 20 Juli 2005 dengan jadwal penurunan tarif seperti disajikan pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Daftar Agenda Modalitas Penurunan Tarif Normal Track ASEAN-6 dan China

Tingkat Tarif Bea Masuk 2005 2007 2009 2010

X > 20 20 12 5 0

15 < X < 20 15 8 5 0

10 < X < 15 10 8 5 0

5 < X < 10 5 5 0 0

X < 5 5 5 0 0

Sumber: Sekretariat ASEAN (2009).

Sedangkan untuk negara-negara CLMV, agenda penurunan dan penghapusan tingkat tarif bea masuknya berbeda-beda dan ditargetkan pada tahun 2015 tingkat tarifnya sudah 0 persen. Program Normal Track ini terdiri dari

Normal Track I dan Normal Track II. Sedangkan landasan hukum penurunan dan penghapusan tarif untuk Normal Track telah dilakukan melalui :

 Keputusan MENKEU Nomor: 56/PMK.010/2005 tanggal 7 Juli 2005 tentang Jadwal Penurunan Tarif dalam Kerangka ACFTA.

 Keputusan MENKEU Nomor: 57/PMK.010/2005 tanggal 7 Juli 2005 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam ACFTA (Bustami 2010).

4.1.3 Sensitive Track

Program ini dibagi menjadi 2, yaitu Sensitive List dan Highly Sensitive List

dengan penurunan tarif bea masuk dimulai tahun 2012. Untuk produk-produk

(43)

Selanjutnya dilakukan penghapusan bertahap atas bea masuk produk-produk yang dimaksud, sehingga mulai tahun 2018 ditargetkan tarif bea masuknya menjadi 0 persen sampai dengan 5 persen. Program penurunan tarif bea masuk untuk produk-produk Highly Sensitive dimulai pada tahun 2015, dengan penjadwalan bahwa pada tahun 2015 tarif bea masuk maksimum 50 persen.

Cakupan produk-produk dalam Sensitive List adalah sebesar 304 Pos Tarif (HS 6 digit), antara lain terdiri dari barang jadi kulit, alas kaki, kacamata, alat musik, mainan, alat olah raga, alat tulis, besi dan baja, spare part, alat angkut, glokasida dan alkaloid nabati, senyawa organik, antibiotik, kaca, dan barang-barang plastik. Sedangkan cakupan yang termasuk produk-produk dalam Highly Sensitive List adalah sebesar 47 Pos Tarif (HS 6 digit), antara lain terdiri dari produk pertanian, produk industri tekstil dan produk tekstil (ITPT), produk otomotif, dan produk ceramic tableware (Bustami 2010).

4.2 Gambaran Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Kopi Indonesia 4.2.1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Pertumbuhan ekonomi suatu negara secara tidak langsung dapat memengaruhi kegiatan ekspor suatu komoditas. Pertumbuhan ekonomi dapat digambarkan dari perkembangan pendapatan per kapita dan keadaan nilai tukar mata uang suatu negara yang dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan Tabel 4.2.

Sumber: World Bank (2012).

Gambar 4.1 Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) per Kapita Indonesia Periode Tahun 1999-2011 (US$)

0 200 400 600 800 1000 1200 1400

(44)

Pada Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 3.73 persen per tahunnya pada periode tahun 1999 sampai 2011. Pada tahun 1999 PDB per kapita Indonesia yaitu sebesar US$746.79 dan terus meningkat sampai pada tahun 2011 mencapai US$1 206.99.

Sumber: World Bank (2012).

Gambar 4.2 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar Amerika Periode Tahun 1999-2011 (Rp/US$)

Sedangkan perkembangan nilai tukar (kurs) Indonesia cenderung mengalami fluktuasi dengan rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang menguat sebesar 0.42 persen per tahunnya seperti terlihat pada Gambar 4.2. Selama periode tahun 1999 sampai 2011 nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika berada pada titik terendah tahun 1999 sebesar Rp7 855.15 per dolar. Titik tertinggi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika berada pada tahun 2009 yaitu nilainya sebesar Rp10 389.94 per dolar, peningkatan drastis ini disebabkan karena tingginya inflasi akibat krisis global yang melanda dunia.

4.2.2 Perkembangan Produksi Kopi Indonesia

Indonesia memproduksi 2 jenis kopi yang diperdagangkan yaitu Kopi Robusta dan Kopi Arabika. Berdasarkan kepemilikannya produksi kopi dibagi menjadi 3 yaitu perkebunan negara, perkebunan swasta, dan perkebunan rakyat.

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000

(45)

Produksi kopi Indonesia secara keseluruhan (Arabika dan Robusta) mengalami fluktuasi dengan trend yang positif seperti terlihat pada Gambar 4.3.

Sumber: Ditjenbun (2012).

Gambar 4.3 Perkembangan Produksi Komoditas Kopi Indonesia Periode Tahun 1999-2011 (Ribu Ton)

Produksi total kopi Indonesia dalam periode tahun 1999 sampai 2011 memiliki perkembangan rata-rata sebesar 2.39 persen. Pada tahun 1999 produksi kopi Indonesia tercatat sebesar 531.69 ribu ton, kemudian meningkat sampai pada tahun 2011 total produksinya menjadi sebesar 709 ribu ton. Perkembangan tertinggi produksi kopi Indonesia terjadi pada periode tahun 2001 sampai 2002 sebesar 19.81 persen, sekaligus menempatkan Indonesia sebagai negara pengekspor ke-4 terbesar dunia mulai tahun 2002 ini. Perkembangan terendah terjadi pada periode tahun 2003 sampai 2004 yaitu berupa penurunan produksi sebesar 3.56 persen. Pada saat terjadi krisis kopi dunia tahun 1999 sampai 2001, produksi kopi Indonesia tetap menunjukkan nilai yang positif. Produksinya berturut-turut sebesar 531.69 ribu ton, 554.57 ribu ton, dan 569.23 ribu ton.

Jika dilihat produksi sebelum diberlakukannya EHP pada periode tahun 1999 sampai 2003 rata-rata menghasilkan sebesar 601.75 ribu ton per tahun, sedangkan setelah EHP pada periode tahun 2004 sampai 2011 rata-rata produksi kopi Indonesia meningkat sebesar 677.51 ribu ton per tahun.

0 100 200 300 400 500 600 700 800

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

EHP

(46)

4.2.3 Perkembangan Harga Komoditas Kopi

Harga komoditas kopi terbagi menjadi 2, yaitu harga internasional dan harga domestik. Harga kopi internasional pada perkembangannya berfluktuasi mengikuti kondisi global seperti supply kopi dunia, krisis ekonomi, dan perubahan alam. Sedangkan perkembangan harga kopi domestik setiap tahunnya mengalami perubahan, hal ini dipengaruhi oleh ketidakstabilan permintaan dan penawaran terhadap komoditas tersebut serta adanya pengaruh dari harga kopi dunia. Apabila penawaran lebih besar daripada permintaannya, maka akan terjadi penurunan harga. Sedangkan jika permintaan kopi sedang tinggi maka harga akan meningkat dan memberikan insentif petani kopi untuk meningkatkan produksi.

Sumber: ICO (2012).

Gambar 4.4 Perkembangan Harga Komoditas Kopi Periode Tahun 1999-2011 (US$)

Perkembangan harga kopi dapat dijelaskan dalam 2 periode yaitu sebelum dan sesudah diberlakukannya EHP, seperti terlihat pada Gambar 4.4. Pada periode krisis over supply kopi dunia periode tahun 1999 sampai 2001, harga dunia terus mengalami penurunan yang cukup signifikan hingga mencapai titik terendah yaitu US$0.91 per kilogram pada tahun 2001. Hal ini dikarenakan jumlah pasokan kopi yang berlebih mengakibatkan harga menjadi semakin rendah. Harga mulai mengalami peningkatan setelah tahun 2002 dan pada tahun 2003 angkanya sebesar US$1.04 per kilogram. Seperti pada harga internasional, krisis over supply

kopi dunia juga berpengaruh terhadap harga kopi domestik Indonesia sebelum 0

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

EHP

(47)

diberlakukannya EHP. Akibat krisis tersebut harga domestik kopi Indonesia mencapai titik terendah pada tahun 2001 sebesar US$0.81 per kilogram.

Sejak diberlakukannya EHP setelah tahun 2004, harga kopi di dunia dan domestik mulai mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2008 ke tahun 2009 harga kopi dunia mengalami penurunan yaitu dari US$2.48 per kilogram menjadi US$2.31 per kilogram akibat inflasi yang tinggi dari krisis global, namun kemudian terus mengalami peningkatan sampai menyentuh harga tertinggi dengan nilai sebesar US$4.21 per kilogram pada tahun 2011. Sedangkan pada tahun 2004 harga domestik sebesar US$1.04 per kilogram terus meningkat mencapai titik tertinggi di tahun 2011 yaitu sebesar US$2.78 per kilogram.

4.3 Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia ke Pasar ASEAN-China

Selama periode tahun 1999 sampai 2011 pertumbuhan ekspor kopi Indonesia ke wilayah ASEAN dan China memiliki pola yang berbeda masing-masing negara, seperti terlihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Volume Ekspor Kopi Indonesia ke Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China

Tahun

Ekspor Kopi Indonesi ke- (kg)

Brunei

(48)

Perkembangan ekspor kopi Indonesia ke China selama periode tahun 1999 sampai 2003 (sebelum EHP) mengalami fluktuasi, namun volume ekspornya tidak terlalu besar dengan rata-rata sebesar 565.22 ton per tahun. Ekspor yang masih rendah ini disebabkan oleh tingkat kebutuhan China atas kopi baik untuk konsumsi maupun industri masih rendah, selain itu diberlakukannya tarif masuk impor untuk komoditas kopi Indonesia masih sangat tinggi sehingga menghambat pertumbuhan ekspor kopi Indonesia ke China.

Setelah diberlakukannya program EHP, fluktuasi volume ekspor ke China terjadi peningkatan yang cukup besar dengan rata-rata ekspor 2.03 ribu ton per tahun pada periode 2004 sampai 2011. Lonjakan tersebut selain disebabkan terjadinya penurunan tarif impor hingga mencapai 0 persen dalam EHP, juga dikarenakan jumlah permintaan kopi Indonesia dari masyarakat di China yang meningkat. Pola trend positif dari jumlah ekspor kopi Indonesia ke China menggambarkan dampak positif setelah diberlakukannya kebijakan EHP bagi ekspor kopi Indonesia terutama ke China. Indonesia memang masih kalah bersaing dengan kopi Brazil dimana Brazil merupakan pemasok kopi terbesar di China sampai saat ini, namun dengan diberlakukannya EHP memberikan peluang untuk kopi Indonesia agar lebih kompetitif di pasar China.

Ekspor kopi Indonesia ke Malaysia selama periode tahun 1999 sampai 2011 cenderung mengalami fluktuasi, namun mulai tahun 2003 volume ekspornya memberikan perubahan signifikan yang terus meningkat dengan rata-rata sebesar 13.03 ribu ton per tahun. Peningkatan tersebut menjadikan ekspor kopi Indonesia ke Malaysia sebagai yang tertinggi di ASEAN selama 2 tahun terakhir. Kondisi ekspor ke Malaysia sebelum diberlakukannya EHP mengalami fluktuasi, namun volume ekspornya masih tergolong tidak terlalu besar dengan rata-rata sebesar 8.59 ribu ton per tahun pada periode tahun 1999 sampai 2003. Pada tahun 2002 volume ekspor ke Malaysia melonjak sebesar 10.06 ribu ton, namun kemudian langsung turun sampai titik terendah selama 1 dekade terakhir pada tahun 2003 sebesar 6.47 ribu ton. Hal ini karena permintaan kopi dari masyarakat negara tersebut menurun drastis akibat isu akan diterapkannya program EHP.

Gambar

Tabel 1.1   Produksi dan Luas Areal Perkebunan Kopi Indonesia Periode Tahun
Tabel 1.2   Total Ekspor Kopi Indonesia ke Wilayah ASEAN dan China Periode Tahun 1999-2011
Gambar 2.1  Analisis Keseimbangan Parsial atas Penghapusan Tarif pada
Gambar 2.2  Kerangka Pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variabel yang digunakan dalam analisis metode panel adalah data volume ekspor biji pala ke negara tujuan (kg), data Produk Domestik Bruto perkapita riil negara tujuan ekspor

Dengan analisis data panel statis diketahui bahwa faktor-faktor yang signifikan memengaruhi nilai ekspor kopi Indonesia pada taraf nyata lima persen ialah populasi negara

Untuk lebih memperjelas hasil analisis uji statistik volume dan harga ekspor karet alam bentuk smoked sheet Indonesia sebelum dan sesudah ACFTA (ASEAN- China Free Trade Area) ke

(ASEAN China Free Trade Area) terhadap volume dan harga karet alam bentuk. smoked sheet ekspor Indonesia dengan menganalisis data sebelum

(1) Peningkatan kualitas produksi kopi, (2) Penambahan volume penawaran ekspor kopi saat harga ekspor kopi Indonesia tinggi untuk meningkatkan pendapatan dari

Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor wood Indonesia di negara Cina, Singapura, dan Malaysia terdiri dari faktor harga ekspor riil, harga substitusi (harga ekspor

H0 : Terdapat perbedaan nyata neraca perdagangan jeruk, volume impor jeruk, harga jeruk impor, volume ekspor jeruk, harga jeruk ekspor dan harga jeruk domestik

Harga domestik kopi dan harga ekspor kopi digunakan dalam model persamaan penawaran ekspor untuk mengetahui bagaimana pengaruh perubahan harga dalam negeri dan luar negeri