• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Aliran Permukaan Dan Erosi Das Bila, Sulawesi Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Aliran Permukaan Dan Erosi Das Bila, Sulawesi Selatan"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS ALIRAN PERMUKAAN DAN EROSI DAS BILA

SULAWESI SELATAN

IKRIMA STADDAL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Analisis Aliran Permukaan dan Erosi DAS Bila Sulawesi Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

(4)

Selatan. Dibimbing oleh OTENG HARIDJAJA dan YAYAT HIDAYAT

Masalah utama kerusakan sumber daya lahan di daerah aliran sungai disebabkan oleh erosi. Erosi menyebabkan kerusakan tanah yang meliputi sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Penggunaan lahan yang tidak menerapkan kaidah-kaidah konservasi membuat proses erosi semakin cepat terjadi dan diikuti hasil sedimentasi yang ikut meningkat. Erosi yang besar pada lahan pertanaian di suatu DAS akan terbawa oleh aliran permukaan ke sungai dan akan menimbulkan masalah yang sangat merugikan.

Dalam sistem analisis seperti DAS yang sangat rumit diperlukan suatu alat bantu berupa model yang dapat meyederhanakan sistem dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang terkait dalam masalah tersebut. Model yang digunakan adalah model AnnAGNPS dan model SWAT. Model AnnAGNPS (Annualized Agricultural Non Point Source Pollution) adalah model kontinyu yang dapat memprediksi erosi lahan dan erosi skala DAS. Model AnnAGNPS biasanya digunakan untuk membandingkan dampak dari berbagai penggunaan lahan. SWAT (Soil and Water Assessment Tool) merupakan model kejadian kontinyu skala DAS yang beroperasi secara harian dan dirancang untuk memprediksi dampak pengelolaan terhadap air, sedimen, dan bahan kimia dari pertanian.

Tujuan penelitian yaitu (1) memprediksi aliran permukaan dan erosi DAS Bila, dan (2) menentukan pengelolaan lahan optimal untuk mengurangi laju erosi DAS Bila dan jumlah sedimen yang masuk ke Danau Tempe. Metode penelitian yang dilakukan yaitu dengan mengumpulkan data primer dan sekunder, mengolah data input, penggunaan model, kalibrasi, validasi dan aplikasi model untuk menentukan pengelolaan lahan optimal.

Deliniasi batas DAS menggunakan model AnnAGNPS tidak terbentuk secara sempurna dikarenakan (1) Model AnnAGNPS kurang akurat dalam memprediksi jaringan sungai pada topografi yang relatif datar (2) Pengembangan interface model AnnAGNPS dengan ArcView belum dalam bentuk extention melainkan template, sehingga integrasi data spasial masih lemah. Deliniasi batas DAS menggunakan model SWAT tidak menggambarkan batasan DAS dilapang, sehingga model AnnAGNPS digantikan dengan model SWAT. Pengolahan data DEM menggunakan model SWAT menghasilkan 23 sub DAS dengan jumlah HRU 378.

Kalibrasi parameter input model yang digunakan di DAS Bila adalah kurva aliran permukaan (CN_2), faktor evaporasi tanah (ESCO), faktor tanaman (EPCO), faktor alpha aliran dasar (Alfa_BF), lama air bawah tanah (GW_Delay), ketinggian minimum aliran dasar (GWQMN), fraksi perkolasi perairan dalam (RCHRG_DP), nilai Manning pada saluran utama (CH_N2), nilai hantaran hidrolik pada saluran utama (CH_K2) dan koefisien lag aliran permukaan (SURLAG).

(5)

menghasilkan R2 sebesar 0.86 (very good) dan NSE sebesar 0.62 (satisfactory). Hal ini menunjukkan bahwa model SWAT dapat digunakan untuk memprediksi aliran permukaan dan erosi di DAS Bila.

Hasil analisis aliran permukaan dan erosi DAS Bila menunjukkan bahwa pemukiman, pertanian lahan kering, sawah sebagai faktor utama tingginya aliran permukaan, sedangkan hutan sekunder dan pertanian lahan kering menjadi faktor utama besarnya erosi. Kontribusi aliran permukaan dari pemukiman pada sub DAS 15 sebesar 535 atau sebesar 55% dari total aliran permukaan, pertanian lahan kering pada sub DAS 7 sebesar 328 mm atau sebesar 48% dari total aliran permukaan dan sawah pada sub DAS 9 sebesar 489 mm atau 47%. Kontribusi erosi pertanian lahan kering pada sub DAS 2 sebesar 456 ton/ha/tahun dengan erosi yang dapat ditoleransikan hanya 22.9 ton/ha/tahun, sedangkan hutan sekunder pada sub DAS 6 menghasilkan erosi sebesar 247 ton/ha/tahun dengan erosi yang dapat ditoleransikan hanya 24.2 ton/ha/tahun.

Skenario pengelolaan lahan optimal berupa pengadaan reboisasi pada lahan kritis, penerapan agroforestri pada lahan pertanian kering dengan kemiringan >40%, penerapan teras bangku dan agroforesti pada lahan pertanian kering dengan kemiringan 0-40%, kawasan hutan sekunder dijadikan hutan lindung dan penerapan teras bangku pada lahan sawah, dapat mengurangi aliran permukaan sebesar 68% dan erosi 70% .

(6)

Watershed, South Sulawesi. Under supervision of OTENG HARIDJAJA and YAYAT HIDAYAT

The main problem of land resources degradation in the watershed caused by soil erosion. Soil erosion cause degradation of soil properties such as physical, chemical and biological. Land utilization without application soil and water conservation make accelerate soil erosion and sedimentation. The highest soil erosion on agricultural land in a watershed will be carried away by surface runoff to the river and will pose a problem that is very detrimental.

In very complex analysis systems, such watershed needed a tool in the form of a model that can simplify the system by considering aspects related to the matter. The model used is a AnnAGNPS and SWAT models. AnnAGNPS (Annualized Agricultural Non-Point Source Pollution) is a continuous model that can predict land soil erosions on watershed land scale. AnnAGNPS models commonly can be used to compare the impact of various land uses. SWAT (Soil and Water Assessment Tool) is a continuous scale model that operate on a daily basis and is designed to predict the impact management of water, sediment and chemicals from agriculture land.

The objectives of this research are: (1) to analysis surface runoff and soil erosion of Bila watershed, (2) determine best management practices in Bila watershed in order to reduce surface runoff and soil erosion will be enter to Tempe lake. The research methods consist of input data collection, application of the SWAT model, calibration of model parameters, validation and simulation of land management and application of soil and water conservation.

Delineation of watershed boundary in AnnAGNPS model was not completely run due to (1) AnnAGNPS model is less accurate in predicting the river network in relatively flat topography, and (2) Development of AnnAGNPS interface with ArcView is not able to integrate of data spasial. Delineation of watershed boundary of AnnAGNPS model was not represent of watershed boundary in the field, therefore AnnAGNPS model was replaced by SWAT model. DEM processing of SWAT model produced 23 sub-basins with number of HRU is 378.

Parameter calibration used in Bila watershed were surface runoff curve number (CN_2), soil evaporation compensation factor (ESCO), plant uptake compensation factor (EPCO), the baseflow alpha factor (Alfa_BF), the delay time (GW_Delay), threshold depth of water in shallow aquifer required for return flow to accur (GWQMN), deep aquifer percolation fraction (RCHRG_DP), Manning n value for main channel (CH_N2), effective hydraulic conductivity in main channel (CH_K2) and surface runoff lag coefficient (SURLAG).

(7)

Results of runoff and erosion analysis indicates that urban, dry land agriculture and paddy field as the main contributes of surface runoff, secondary forest and dry land agriculture became the main contributes of soil erosion. Runoff contribution from urban in sub basin 15 is 535 or 55% of the total runoff, dry land agriculture in sub basin 7 is 328 mm or 48% of the total runoff and rice land in sub basin 9 is 489 mm or 47%. Erosion contribution from dry land agriculture in sub basin 2 is 456 tonnes / ha / year with erosion that can be tolerated only 22.9 tonnes / ha / year, secondary forest in sub basin 6 is 247 tons / ha / year with erosion that can be tolerated only 24.2 tonnes / ha / year.

Based on scenario, optimally best management practices for Bila watershed are reforestation on degraded land, agroforestry in dry land agriculture with a slope of> 40%, terracing and agroforestry in dry land agriculture with a slope of 0-40%, protect of secondary forest and terracing in paddy field. The scenario respectively significantly reduce surface runoff and soil erosion by 68% and 70%.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

ANALISIS ALIRAN PERMUKAAN DAN EROSI DAN BILA

SULAWESI SELATAN

IKRIMA STADDAL

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala Ridho-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Karya ilmiah ini disusun guna memenuhi syarat dalam menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, dengan judul Analisis Aliran Permukaan dan Erosi DAS Bila, Sulawesi Selatan.

Karya tulis ini mencakup beberapa tujuan penelitian, yakni memprediksi aliran permukaan dan erosi serta menganalisis skenario pengelolaan lahan yang dapat mengurangi aliran permukaan dan erosi DAS Bila. Dalam memprediksi aliran permukaan dan erosi dilakukan dengan bantuan model SWAT yang dapat memprediksi pada skala sub DAS. Keluaran yang dicapai dari penelitian ini adalah penggunaan lahan pemukiman, sawah dan pertanian lahan kering pada kemiringan 15-25% dan 25-40% memberikan kontribusi aliran permukaan paling tinggi, sedangkan penggunaan lahan hutan sekunder dan pertanian lahan kering pada kemiringan 0-8%, 15-25% dan 25-40% memberikan kontribusi erosi paling besar.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Dr. Ir. Oteng Haridjaja, MSc selaku ketua pembimbing dan Dr. Ir. Yayat Hidayat, MSc selaku anggota pembimbing atas arahan dan bimbingan yang sangat berharga kepada penulis, juga kepada Bapak Dr Ir Surya Darma Tarigan selaku ketua program studi, Bapak Dr. Ir. Latief Mahir Rachman MSc MBA selaku penguji luar komisi beserta staf dosen Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, IPB dan kepada semua pihak yang telah membantu.

Akhirnya semoga karya ilmiah ini menjadi sumbangsih penulis terhadap ilmu pengetahuan dan berguna bagi semua pihak yang membutuhkan. Terima kasih.

Bogor, Juli 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Kerangka Penelitian 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Aliran Permukaan 6

Erosi dan Tingkat Bahaya Erosi 6

Model AnnAGNPS 7

Model SWAT 7

3 METODE PENELITIAN 10

Waktu dan Lokasi 10

Alat dan Bahan 11

Tahapan Penelitian 11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 17

penggunaan Lahan 17

Topografi 18

Jenis Tanah 18

Iklim 19

Deliniasi DAS 21

Parameterisasi Model 23

Kalibrasi Debit Aliran Sungai 25

Validasi Debit Aliran Sungai 28

Kontribusi Aliran Permukaan 29

Kontribusi Erosi 32

Identifikasi Potensi Aliran Permukaan dan Erosi Sub DAS 34

Simulasi Pengelolaan Lahan 36

5 KESIMPULAN DAN SARAN 43

Kesimpulan 43

Saran 43

DAFTAR PUSTAKA 45

(14)

1 Kelas bahaya erosi 7

2 Perbedaan model AnnAGNPS dan model SWAT 9

3 Parameter iklim pada model SWAT 14

4 Nilai tingkatan kemampuan NSE 16

5 Penggunaan lahan DAS Bila 17

6 Kemiringan lereng DAS Bila 18

7 Jenis tanah DAS Bila 18

8 Temperatur maksimum dan minimum rataan bulanan (2002-2011) 20 9 Kecepatan angin dan penyinaran matahari (2002-2011) 20

10 Pembagian sub DAS berdasarkan model SWAT 23

11 Parameter input model SWAT 25

12 Parameter sensitif terhadap debit aliran model SWAT 27

13 Aliran permukaan hasil model SWAT 30

14 Tebal aliran permukaan untuk berbagai penggunaan lahan 31 15 Nilai erosi (ton/ha/tahun) pada penggunaan lahan 32 16 Simulasi skenario 1 berdasarkan RTK Jeneberang-Walanae 37 17 Simulasi skenario 2 berdasarkan kondisi aktual DAS Bila 38 18 Simulasi skenario 3 berdasarkan lahan kritis 38

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 4

2 Lokasi penelitian 10

3 Bagan alir penelitian 12

4 Penggunaan lahan tahun 2006 dan 2011 17

5 Jenis Tanah DAS Bila 19

6 Rataan curah hujan bulanan (2002-2011) dari stasiun Bila Riase dan

Lagading 19

7 Proses pengolahan data DEM 30 meter 21

8 Sub DAS hasil model AnnAGNPS 22

9 Jaringan sungai hasil observasi dan model 22

(15)

17 Hasil aliran permukaan pada simulasi skenario 1, 2 dan 3 39 18 Hasil erosi pada simulasi skenario lahan 1, 2 dan 3 40 19 Tingkat bahaya erosi pada kondisi aktual, skenario 1, 2 dan 3 41 20 Tinggi aliran permukaan pada kondisi aktual, skenario 1, 2 dan 3 42

DAFTAR LAMPIRAN

Tabel

1 Hasil aliran permukaan menggunakan model SWAT pada 23 Sub

DAS 47

2 Hasil erosi pada 23 Sub DAS yang terbentuk menggunakan model

SWAT 48

3 Tingkat bahaya aliran permukaan 48

4 Pendekatan nilai kapasitas menahan air (mm H2O/mm) berdasarkan

tekstur tanah 50

5 Pendekatan nilai konduktifitas hidrolik tanah (mm/jam) berdasarkan

tekstur tanah 50

6 Hasil aliran permukaan dan erosi pada simulasi skenario pengelolaan

lahan pada kondisi 1, 2 dan 3 51

Gambar

1 Penggunaan lahan DAS Bila: hutan primer, hutan sekunder, padang

rumput, sawah 52

2 DAS Bila, Danau Tempe, sub DAS Cendrana, pendangkalan di sub

DAS Bila 53

(16)
(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu ekosistem yang di dalamnya terjadi interaksi antara unsur-unsur biotik dan unsur-unsur abiotik. Interaksi ini dinyatakan dalam bentuk keseimbangan masukan dan keluaran berupa air dan sedimen. Di dalam DAS ada dua proses alami yang sangat penting yaitu aliran permukaan dan erosi. Erosi yang terjadi secara alami tanpa ada aktivitas manusia di dalamnya mempunyai dampak resiko yang lebih kecil dibandingkan erosi yang terjadi karena aktivitas manusia (Asdak 2007).

Masalah utama kerusakan sumber daya lahan di daerah aliran sungai disebabkan oleh erosi. Terjadinya erosi menyebabkankerusakan tanah yang meliputi sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Penggunaan lahan yang tidak menerapkan kaidah-kaidah konservasi membuat proses erosi semakin cepat terjadi dan diikuti hasil sedimentasi yang ikut meningkat. Erosi yang besar pada lahan pertanaian di suatu DAS akan terbawa oleh aliran permukaan ke sungai dan akan menimbulkan masalah yang sangat merugikan.

Dalam analisis sistem seperti DAS yang sangat rumit diperlukan suatu alat bantu berupa model yang dapat meyederhanakan sistem dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang terkait dalam masalah tersebut. Model-model hidrologi DAS menggambarkan interaksi antar variabel-variabel di dalam konteks DAS. Model simulasi telah banyak digunakan untuk memprediksi erosi skala DAS baik model terdistribusi maupun model lamp. Model-model yang dikenal antara lain HEC-1 (Flood Hydrograph Package), HYMO (Hydrologic Model Computer Languange), AnnAGNPS (Annualized Agricultural Non Point Source Pollution), SWM-IV (Standford Watershed Model IV), CREAM (Chemical, Runoff, and Erosion from Agricultural Management) dan SWAT (Soil Water Assessment Tools). Dalam penggunaannya, paket model tersebut harus dipilih sesuai dengan tujuan yang akan dicapai karena masing-masing paket model simulasi mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam keluarannya.

(18)

alternatif penggunaan lahan yang efisien di Amerika Serikat, Cekoslowakia, Nepal, Australia, Malaysia dan India. Yuan et al (2001) menggunakan model AnnAGNPS pada DAS Delta Mississippi dan mendapatkan korelasi determenistik yang baik antara aliran permukaan dan hasil sedimen yaitu 0.70. Shamshad et al (2008) menggunakan model AnnAGNPS di Malaysia untuk memprediksi aliran permukaan, koefisien deterministik yang didapatka sebesar 0.90 dan NSE sebesar 0.70. Model AnnAGNPS paling banyak diaplikasikan di negara India sebanyak 21 peneltian, disusul oleh Malaysia sebanyak 20 penelitian, Nepal 19 penelitian, Cekoslowakia 18 penelitian, Amerika Serikat 17 penelitian dan Australia 2 penelitian (Lizhong et al, 2012). Di Indonesia penggunaan model ini belum penulis temukan, karena itu salah satu tujuan dari penelitian ini yaitu mengaplikasikan model AnnAGNPS di Indonesia. Model ini dikembangkan di Amerika Serikat sehingga untuk mengaplikasikan dengan kondisi di Indonesia perlu dilakukan evaluasi model untuk melihat kemampuan dan kelemahan model berdasarkan data yang tersedia di Indonesia.

SWAT (Soil and Water Assessment Tool) merupakan model kejadian kontinyu skala DAS yang beroperasi secara harian dan dirancang untuk memprediksi dampak pengelolaan terhadap air, sedimen, dan bahan kimia dari pertanian. Model SWAT berbasis fisik, efisien secara komputerisasi, dan mampu membuat simulasi untuk jangka waktu yang panjang. Keluaran dari SWAT adalah berupa informasi-informasi mengenai respon hidrologi di DAS, sub-DAS, dan sungai utama. Aplikasi model SWAT telah banyak diterapkan pada DAS-DAS di Indonesia, diantaranya adalah Ifah Latifah pada tahun 2013 menggunakan model SWAT untuk analisis ketersediaan air, sedimentasi, dan karbon di hulu Das Jeneberang Sulawesi selatan, analisis respon hidrologi di Sub DAS Lengkong oleh Gunadi Firdaus pada tahun 2014. Edi Junaidi tahun 2009 menggunakan model SWAT untuk mengkaji alternatif dalam perencanaan pengelolaan DAS Cisadane dan Nana Mulyana tahun 2012 mengaplikasikan SWAT untuk menganalisis luas tutupan hutan terhadap ketersediaan green water dan blue water di sub DAS Gumbasa dan sub DAS Cisadane hulu.

DAS yang dipilih pada penelitian ini adalah DAS Bila yang terletak di Sulawesi Selatan. DAS Bila ditetapkan sebagai DAS prioritas, bahkan termasuk salah satu diantara 22 DAS super prioritas (Arsyad 2010). DAS Bila mempunyai luas mencapai 170.727 ha, yang meliputi tiga kabupaten yaitu Enrekang, Sidenrang Rappang dan Wajo. Bagian hulu DAS Bila terdapat di Kabupaten Enrekang sedangkan bagian hilir berada di Danau Tempe Kabupaten Wajo.

Sebagai DAS prioritas, hasil pendugaan erosi oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Jeneberang-Walanae tahun 2003, menunjukkan bahwa rata-rata erosi di DAS Bila mencapai 48,16 ton/ha/tahun sedangkan yang dapat ditoleransikan hanya 12 ton/ha/tahun. Hal ini merupakan salah satu permasalahan yang harus segera ditangani di DAS Bila

Perumusan Masalah

(19)

3

dibuka di bagian hulu menyebabkan kerusakan lahan dan erosi yang semakin meningkat. Berdasarkan data BP-DAS Jeneberang-Walanae (2003) hampir 60% penduduk DAS Bila bermatapencaharian sebagai petani sehingga ketergantungan akan lahan-lahan pertanian sangat tinggi. Perubahan penggunaan lahan di DAS Bila periode 2003-2006 meliputi hutan primer berkurang dari 38.5% menjadi 9.5%, hutan sekunder dari 11.9% meningkat menjadi 15.3% dan pemukiman dari 0.8% meningkat menjadi 1.7% (Nuddin 2007; BPDAS 2006). Perubahan penggunaan lahan tersebut dapat menyebabkan kondisi hidrologi DAS Bila semakin menurun dan semakin meningkatkan sedimentasi di Danau Tempe.

DAS Bila termasuk dalam DAS kritis prioritas 1 (DEPHUT 1998) dengan peningkatan luas lahan kritis yang terus bertambah. Erosi dapat dijadikan salah satu parameter kekritisan lahan, hasil pendugaan erosi oleh BPDAS Jeneberang-Walanae Tahun 2003, menunjukkan bahwa rata-rata erosi di DAS Bila mencapai 48,16 ton/ha/tahun sedangkan yang dapat ditoleransikan hanya 12 ton/ha/tahun. Bagian hilir DAS Bila terdapat Danau Tempe yang tiap tahunnya mengalami pendangkalan. Danau Tempe terbagi menjadi tiga danau alam yaitu Danau Tempe, Danau Sidenreng dan Danau Buaya. Terdapat akumulasi sedimentasi secara terus menerus sehingga danau-danau ini semakin dangkal dari tahun ke tahun. Pada musim hujan, luas danau mencapai 30.000 ha sedangkan musim kemarau areal danau menyempit menjadi 1000 ha. Tingkat sedimentasi di Danau Tempe diperkirakan mencapai 3–4 cm/tahun (Nurkin 1994).

Banjir yang terjadi tiap tahunnya di bagian hilir DAS Bila (Danau Tempe) memperlihatkan bahwa, nilai koefisien aliran permukaan (C) DAS Bila besar. Hasil analisis pada periode 2002-2011 memperlihatkan nilai koefisien aliran permukaan yang semakin tahun semakin besar. Rataan nilai C pada periode 2002-2006 sebesar 0.56 kemudian meningkat menjadi 0.72 pada periode 2007-2011. Hal ini menunjukkan bahwa dalam periode lima tahun (2007-2011) air hujan yang turun di DAS Bila, 72% menjadi aliran permukaan.

Perencanaan pengendalian erosi di DAS Bila sudah pernah dilakukan, pengendalian berupa pengelolaan lahan kritis dengan menyusun Rencana Teknik Lapang-Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RTL-RLKT) yang meliputi lahan seluas 31.449,50 ha yang selanjutnya dikembangkan menjadi 61.792 ha pada tahun 1988. Upaya ini tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan, luas lahan kritis semakin bertambah dari 61.729 ha Tahun 1988 menjadi 86.877 ha pada Tahun 2002 (BPDAS Jeneberang-Walanae 2004 dalam Nuddin 2007).

Kerangka Pemikiran

(20)

mengetahui sisstem pengelolaan tanah dan tanaman dan data DEM dianalisis untuk mendeliniasi DAS menjadi sub DAS. Deliniasi pada model AnnAGNPS mengalami kendala sehingga sub DAS tidak terbentuk secara sempurna. Kendala model AnnAGNPS ini selanjutnya digantikan dengan model SWAT. Rangkaian ilustrasi kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.

(21)

5

Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari latar belakang serta masalah yang ada, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Memprediksi aliran permukaan dan erosi DAS Bila.

2. Menentukan pengelolaan lahan optimal untuk mengurangi laju erosi DAS Bila dan jumlah sedimen yang masuk ke Danau Tempe.

Manfaat Penelitian

(22)

2 TINJAUAN PUSTAKA

DAS merupakan satu kesatuan wilayah berupa sistem lahan dengan tutupan vegetasi, dibatasi oleh batas-batas topografi alami seperti punggung-punggung bukit yang menerima curah hujan sebagai masukan, mengumpulkan dan menyimpan air, sedimen dan unsur hara lainnya serta mengalirkan melalui anak-anak sungai untuk akhirnya keluar melalui melalui suatu sungai utama ke laut atau danau. Secara makro, DAS terdiri dari unsur: biotik (flora dan fauna), abiotik (tanah, air, dan iklim) dan manusia, dimana ketiganya saling berinteraksi dan saling ketergantungan membentuk sistem hidrologi (Haridjaja 2000).

Aliran Permukaan

Aliran permukaan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju ke sungai, danau dan lautan. Aliran permukaan berlangsung ketika jumlah hujan melampaui laju infiltrasi air ke dalam tanah (Asdak 2007).

Haridjaja (2000) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah dan laju aliran permukaan pada dasarnya dibagi menjadi dua hal yaitu iklim yang meliputi tipe hujan, intensitas hujan, lama hujan, distribusi hujan, temperatur, angin, dan kelembaban. Serta kondisi atau sifat DAS yang meliputi: kadar air tanah awal, ukuran dan bentuk DAS, elevasi dan topografi, vegetasi yang tumbuh, geologi dan tanah.

Aliran permukaan merupakan faktor hidrologi terbesar yang dapat menyumbang debit pada saat terjadi banjir. Volume aliran permukaan dalam jumlah besar dan terus-menerus dapat mengakibatkan erosi yang mengangkut partikel-partikel tanah dan mendeposisikan pada badan-badan air seperti sungai, danau, waduk dan sebagainya. Makin besar jumlah sedimen yang terbawa oleh aliran menunjukkan kondisi DAS yang tidak sehat (Yustika 2013).

Erosi

Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lainnya oleh media alami. Secara alamiah permukaan bumi akan selalu mengalami proses erosi, dimana di suatu tempat terjadi proses pengikisan sedangkan di tempat yang lain terjadi penimbunan. Peristiwa alamiah ini dapat berlangsung sangat lambat dan tanpa adanya campur tangan manusia proses ini mampu membentuk suatu keseimbangan dinamis. Arsyad (2010) menjelaskan bahwa proses erosi yang disebabkan oleh air merupakan kombinasi dari dua sub proses yang berbeda, yaitu (1) penghancuran struktur tanah menjadi butir – butir primer oleh energi tumbuk butiran hujan yang menimpa tanah dan perendaman oleh air yang tergenang dan penggangkutan butir-butir tanah oleh percikan hujan, dan (2) penghancuran struktur tanah yang diikuti oleh pengangkutan butir- butir tanah oleh air yang mengalir di permukaan tanah.

(23)

7

pendekatan tingkat bahaya erosi, yaitu kehilangan tanah maksimum dibandingkan dengan tebal solum tanah pada setiap unit lahan, bila teknik pengelolaan tanaman dan konservasi tanah tidak mengalami perubahan.

Tabel 1 Kelas bahaya erosi Sumber : Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan (1998)

MODEL AnnAGNPS

Model AnnAGNPS dikembangkan oleh Theurer dan Cronshey 1998; Binger dan Theurer 2005 di Agriculture Research Service Departemen Pertanian Amerika ARS) dan Natural Resource Conservation Service (USDA-NRCA). AnnAGNPS adalah model simulasi kontinyu dengan skala DAS yang bertujuan untuk mengevaluasi pencemaran di lahan pertanian (non-point source pollution) dengan luas DAS hingga 300.000 ha. Model AnnAGNPS merupakan model revisi dari AGNPS (Agricultural Non-point Source Pollutan Model) (Young et al. 1990).

Model AGNPS merupakan model terdistribusi dengan simulasi hujan tunggal, sedangkan AnnAGNPS model dengan simulasi kontinyu. Berbeda dengan AGNPS yang hanya untuk DAS kecil 20.235 ha, AnnAGNPS bisa diaplikasikan pada DAS besar yang mencapai 300.000 ha. Model AnnAGNPS membagi DAS ke dalam satuan grid (sel) berupa jenis tanah, penggunaan lahan, dan pengelolaan lahan (Shamo 2008). Young et al (1989 dalam Mankin et al 2004), menyatakan bahwa pada model AGNPS ukuran sel 16 ha direkomendasikan untuk DAS dengan luasan diatas 800 ha. Setiap sel dibagi menjadi sel-sel yang berukuran lebih kecil untuk memperoleh resolusi yang lebih detil, ukuran 2.5 acre (1.01 ha) hingga 40 acre (16.19 ha).

Model AnnAGNPS memiliki program berisi editor masukan yang berbasis windows dan bertujuan untuk membantu menentukan semua parameter masukan dalam model. Editor masukan berisi data tabular yang mendefinisikan “shapefile” dari GIS untuk membangun beberapa variabel yang ditemukan dalam perhitungan erosi, hasil sedimen, aliran permukaan, dan transportasi dari berbagai bahan kimia dan sumber polusi (USDA 2003 dalam Shamo 2008 ).

MODEL SWAT

(24)

lahan dalam waktu yang lama sehingga SWAT tidak memprediksi hasil untuk suatu kejadian hujan atau suatu peristiwa hujan.

Model SWAT dikembangkan oleh Jeff Arnold pada awal tahun 1990-an. Pada tahun 2000. SWAT mengalami perkembangan mendasar, dimana SWAT dapat melakukan perhitungan untuk daerah tropis. SWAT merupakan gabungan dari beberapa model yang dikembangkan ARS dan merupakan pengembangan lebih lanjut dari model SWRRB (Simulator for Water Resources in Rural Basins). Model CREAMS memberikan banyak sumbangan yang penting bagi perumusan model SWAT (Arsyad 2010).

Model SWAT membagi suatu DAS menjadi beberapa Sub DAS. Sub DAS ini dikelompokkan berdasarkan kesamaan penggunaan lahan dan beberapa pengaruh sifat lainnya yang dapat berpengaruh terhadap hidrologi dalam DAS tersebut. Informasi masukan untuk setiap sub DAS dikelompokkan ke dalam katagori berikut: iklim, unit respon hidrologi (HRUs), daerah basah, air bawah tanah dan saluran utama yang mengalir di sub DAS. Simulasi hidrologi pada suatu DAS disimulasikan oleh model SWAT dalam dua fase, yaitu fase lahan dan fase air. Pada fase lahan mengendalikan jumlah air, sedimen, unsur hara dan pestisida yang masuk ke dalam saluran utama pada setiap sub DAS. Fase lahan siklus hidrologi yang disimulasi SWAT berdasarkan neraca air:

Yang menyatakan SWt adalah kandungan air tanah air (mm), SWo adalah kandungan air tanah permulaan pada hari 1 (mm), t adalah waktu (hari), Rday adalah jumlah curah hujan pada hari i (mm), Qsurf adalah jumlah aliran permukaan pada hari i (mm), Ea adalah jumlah evepotranspirasi pada hari i (mm), Wseep adalah jumlah air yang masuk ke dalam zone vadose dari profil tanah pada hari i (mm) dan Qgw adalah jumlah air yang merupakan aliran kembali (return flow) (mm).

(25)

9

Tabel 2. Perbedaan model AnnAGNPS dan model SWAT

Deskripsi AnnAGNPS SWAT sedimen, analiss bahan kimia pada tanah, analisis penelusuran pada saluran, analisis pertumbuhan tanaman dan kemampunnya untuk digunakan dengan Arc Hydro Tools

Skala DAS Memprediksi kejadian dalam jangka lama, harian, jam-jaman. Menganalisis melalui sel yang sama

Memprediksi kejadian dalam jangka lama, harian, jam-jaman. Menganalisis berdasarkan HRU

Simulasi Iklim Dengan bantuan GEM Dengan bantuan WGN Metode PET Metode Penman Metode Penman-Monteith,

Priestly-Taylor dan Hargreaves Prediksi aliran

permukaan dan infiltrasi

Modifikasi SCS CN2 Metode SCS CN2 dan persamaan dalam meprediksi infiltrasi Green-Ampt

Prediksi aliran puncak

Metode SCS TR-55 Metode rasional dan SCS TR-55

Simulasi aliran

Menggunakan persaman model storage kinematic

Analisis saluran

Persamaan Manning Persamaan Manning dan metode penulusuran dengan Muskingum dan variable storage

(26)

3 METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2013 sampai Agustus 2014 di DAS Bila. Secara adminstrasi DAS Bila terletak di tiga kabupaten yaitu, Kabupaten Enrekang (hulu), Kabupaten sidenrang Rappang (tengah) dan Kabupaten Wajo (hilir) di Propinsi Sulawesi Selatan (Gambar 2). DAS Bila mempunyai luas mencapai 172.124 ha dan berdasarkan pola aliran yang membentuknya, DAS Bila terdiri dari tiga sub DAS yaitu : 1) Sub DAS Cenranae, 2) Sub DAS Bila dan 3) Sub DAS Bungin.

Gambar 2 Lokasi penelitian

Bahan

Bahan yang digunakan meliputi : 1. Data DEM ASTER 30 m

2. Peta digital jenis tanah DAS Bila, skala 1:250.000 (Pusat Penelitian Tanah) 3. Peta digital penggunaan lahan DAS Bila, skala 1:100.000 (Badan Planologi) 4. Data iklim harian selama 10 tahun berupa suhu maksimum dan suhu

(27)

11

5. Data curah hujan harian selama 10 tahun (BBWS Pompengan-Jeberang Sulawesi Selatan)

6. Data debit stasiun pengukuran DAS Bila (BBWS Pompengan-Jeneberang Sulawesi Selatan)

7. Data jadwal penanamam dan pemupukan (Dinas Hortikultura dan Pertanian Sulawesi Selatan).

Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ring sampel, GPS, lebel, seperangkat komputer dengan beberapa perangkat lunak yaitu ArcMap 9.3, ArcSWAT versi 2009.937b dan Microsoft office 2003/2007, SWATplot, SWATCUP, sedangkan perangkat lunak pada model AnnAGNPS yaitu AnnAGNPS input editor versi 5.30, Stead Editor, ArcView versi 3.3 dan Microsoft Office 2007.

Tahapan Penelitian

Penelitian dimulai dengan pengumpulan data primer, kemudian pengambilan data sekunder dan pengamatan lapangan, pengolahan data primer dan sekunder, menjalankan model AnnAGNPS dan model SWAT, analisis keluaran dari model, analisis sensitivitas model dengan melihat nilai R2 dan NSE, analisis simulasi, dan analisis simulasi pengelolaan lahan. Pengamatan lapangan berupa identifikasi penggunaan lahan, tindakan konservasi, dan pengelolaan tanaman yang sebenarnya di lapang. Pengolahan data primer dan sekunder dilakukan sebagai input model.

(28)

Data DEM Peta penggunaan Peta tanah

(29)

13

Pengolahan Data Model

Pengolahan Data Topografi

Data DEM (Digital Elevasi Model) merupakan data yang dihasilkan dari ASTER. Pengolahan data ASTER menjadi DEM dilakukan dengan bantuan Global Mapper. Data ASTER dengan format file ASC diekspor menjadi format elevasi grid (eksport elevation grid format), selanjutnya menentukan unit dari DEM yang telah terbentuk dengan satuan unit meter. DEM yang telah terbentuk dengan DAS Bila digunakan sebagai input model. Penyeragaman semua proyeksi peta perlu dilakukan agar data bisa dioverlay dan dianalisis. Sistem UTM yang digunakan yaitu datum WGS 84 dengan zona wilayah Sulawesi Selatan 50S.

Deliniasi DAS Model AnnAGNPS

Deliniasi DAS merupakan tahap awal yang dilakukan. Deliniasi bertujuan untuk memisahkan atau memberi batasan daerah penelitian. DEM yang telah dipotong sesuai dengan batas DAS selanjutnya digunakan untuk mendefinisikan arah aliran (flow direction) dan akumulasi aliran (flow accumulation). Arah aliran merupakan arah dimana aliran akan mengalir keluar dari suatu sel (grid). Arah aliran yang dihitung berdasarkan beda tinggi dari setiap sel/grid data DEM tersebut. Akumulasi aliran dihitung sebagai akumulasi banyaknya sel yang mengalir menuju ke setiap sel yang memiliki ketinggian paling rendah.

Setelah arah dan akumulasi aliran didapatkan, tahapan selanjutnya menentukan jaringan sungai (stream) dan titik outlet DAS. Sistem jaringan sungai ditentukan dari hasil akumulasi aliran. Titik outlet yang dihasilkan oleh model selanjutnya dapat diedit sesuai dengan titik outlet di lapang.

Analisis Tanah dan Penggunaan Lahan Model AnnAGNPS

Data tanah yang dibutuhkan pada model AnAGNPS adalah kandungan bahan organik, bobot isi tanah, kedalaman efektif, kapasitas lapang, tekstur dan struktur tanah. Data tanah diinput dengan dua cara yaitu melalui data atribut pada peta tanah dan cara manual melalui editor masukan (input editor).

Informasi penggunaan lahan terdiri dari pengelolaan tanah (P) dan tanaman (C), jadwal penaman, penggunaan pupuk, dan persentasi tutupan vegetasi. Data penggunaan lahan di input melalui peta penggunaan lahan dan editor masukan.

Data Iklim Model AnnAGNPS

(30)

excel. Data iklim yang telah dibangun dalam preGEM (preGEM_xls) selanjutkan akan diolah di agGEM dan diinput ke dalam input editor.

Deliniasi DAS Model SWAT

Proses deliniasi DAS menggunakan model SWAT dilakukan secara otomatis. Setelah titik outlet ditentukan, model SWAT akan membatasi daerah penelitian dengan membaginya kedalam beberapa sub DAS atau subbasin. Terbentuknya subbasin berdasarkan jaringan sungai yang dibentuk pada proses akumulasi aliran. Semakin detil DEM yang digunakan, semakin banyak subbasin yang akan terbentuk.

Pengolahan Data Iklim

Data iklim yang dibutuhkan berupa data harian curah hujan, suhu maksimum dan minimum, radiasi matahari dan kecepatan angin. Data curah hujan dan debit selama 10 tahun (2002-2011) diperoleh dari Balai Besar Jeneberang-Pompengan Dinas Pekerjaan Umum Sulawesi Selatan. Basis data WGN membutuhkan 14 parameter.

Tabel 3. Parameter iklim pada model SWAT

No Parameter Keterangan

1 TMPMX Suhu rata-rata harian maksimum dalam sebulan (oC) 2 TMPMN Suhu rata-rata harian minimum dalam sebulan (oC)

3 TMPSTDMX Standar deviasi suhu maksimum harian dalam sebulan (oC) 4 TMPSTDMN Standar deviasi suhu minimum harian dalam sebulan (oC) 5 PCPMM Curah hujan rata-rata (mmH2O)

6 PCPSTD Standar deviasi curah hujan harian dalam sebulan 7 PCPSKW Koefisien Skew untuk curah hujan harian dalam sebulan 8 PR_W1 Perbandingan hari basah ke hari kering dalam sebulan 9 PR_W2 Perbandingan hari basah ke hari basah dalam sebulan 10 PCPD Curah hujan rata-rata harian selama n tahun (mm/H2O) 11 RAINHHMAX Curah hujan maksimum 0.5 jam (mmH2O)

12 SOLARAV Lama penyinaran matahari rata-rata dalam sebulan 13 DEWPT Titik embun rata-rata harian dalam sebulan (oC)

14 WNDAV Kecepatan angin rata-rata harian dalam sebulan (m/detik)

Analisis Hydrological Respon Unit (HRU)

HRU merupakan analisis hidrologi yang didapatkan dengan cara menggabungkan karakteristik tanah, penggunaan lahan dan kemiringan lereng. Hasil tumpang susun peta tanah dan penggunaan lahan akan memberikan informasi berupa data atribut yang terdapat pada tiap peta.

(31)

15

Run SWAT

Run SWAT merupakan tahapan terakhir, setelah tahapan HRU dan iklim didapatkan selanjutnya menjalankan model (Run SWAT). Pengaturan tanggal dan distribusi hujan perlu dipilih sebelum menjalankan model. Hasil keluaran model berupa file dengan format TXT dan Microsoft Access. Analisis model pada masing masing sub DAS, Reach dan HRU dapat dilihat menggunakan SWAT Plot dan Graphic.

Kalibrasi dan Validasi

Simulasi hidrologi dalam suatu DAS hanya dapat diterima apabila telah dilakukan validasi dan kalibrasi secara statistik. Data debit digunakan untuk melakukan kalibrasi model. validasi dan kalibrasi dinilai dengan regresi nilai determinasi (R2) dan Nash-Sutcliffe model Efficiency (NSE). Nilai R2 menggambarkan hubungan seberapa jauh antara hasil simulasi dan hasil pengamatan yang nilainya antara 0-1.

Metode Nash digunakan untuk melihat sebaran normal yang menentukan jarak perbedaan antara pengukuran dan simulasi. NSE mengindikasikan seberapa dekat hasil pengukuran terhadap data simulasi atau mendekati garis 1:1. Persamaan analisis koefisien deterministik (R2) dan NSE adalah

(1)

Yang mana x adalah data pengukuran bulanan, y data prediksi bulanan dan n adalah banyaknya data. Nilai >0.65 secara umum menunjukkan hasil perdiksi dapat diterima (satisfactory) dan nilai <0.65 secara umum menunjukkan hasil prediksi tidak dapat diterima (unsatisfactory)

(2)

Yang mana Yiob adalah hasil pengukuran yang dievaluasi, Yisim adalah nilai yang dievaluasi, Ymean adalah rata-rata hasil pengukuran yang dievaluasi, dan n adalah banyaknya data.

(32)

Tabel 4 Nilai tingkatan kemampuan NSE

Tingkat Kemampuan NSE

Sangat baik 0.75 < NSE ≤ 1.00

Baik 0.65 < NSE ≤ 0.75

Memuaskan 0.50 < NSE ≤ 0.65

Kurang memuaskan NSE ≤ 0.5

Sumber : Moriasi et al. 2007

Simulasi Pengelolaan Lahan

Simulasi lahan adalah simulasi yang dilakukan dengan berbagai skenario yang diterapkan berdasarkan teknik konservasi tanah dan air. Simulasi bertujuan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi DAS Bila. Skenario 1 berdasarkan RTK BPDAS Jeneberang-Walanae yaitu skenario kegiatan vegetatif dan skenario kegiatan sipil. Skenario kegiatan vegetatif berupa Agroforesty dan reboisasi, sedangkan kegiatan sipil berupa pengadaan gully plug dan bendungan pengendali. Skenario 2 dilakukan dengan pengelolaan tanaman berupa pola tanam tumpang gilir, pola tanam berurutan, hutan alam dan hutan produksi tebang pilih. Sedangkan, pengelolaan tanah berupa kegiatan kontur, penanaman strip dan teras. Skenario ini dilakukan sesuai dengan penggunaan lahan aktual di DAS Bila

(33)

17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Daerah Penelitian

Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan DAS Bila terdiri dari 1) hutan primer, 2) hutan sekunder dengan jenis tanaman tahunan, 3) pertanian lahan kering yang didominasi tanaman jagung, pisang, papaya dan kopi, 4) semak belukar yang didominasi taman perdu, 5) padang rumput yang terawat, 6) sawah 7) Pemukiman berupa rumah-rumah penduduk yang sederhana dengan jarak yang tidak rapat, 9) semak belukar rawa (Tabel 5 dan Gambar 4).

Tabel 5 Penggunaan lahan DAS Bila

Penggunaan Lahan Tahun 2006 Tahun 2011 Perubahan

Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %

Pertanian lahan kering 62 029 39.9 62 764 40.4 735 0.5

Sawah 24 397 15.7 25 171 16.2 774 0.5

Hutan primer 15 872 10.2 3 033 2.0 -12 839 -8.3

Hutan sekunder 24 513 15.1 37 159 23.8 12 646 8.1

Pemukiman 2 890 1.8 2890 1.8 0 0.0

Padang rumput 3 196 2.1 3 250 2.1 54 0.0

Belukar rawa 1 372 0.9 1 270 0.8 -102 -0.1

Semak belukar 21 662 13.9 20 374 13.1 -1 288 -0.8

Luas 155 288 100 155 288 100

(34)

Pertanian lahan kering merupakan penggunaan lahan terbesar di DAS Bila dengan luas lahan 62.972 ha atau 40.4% dari total luas DAS. Hutan sekunder menjadi penggunaan lahan kedua dengan persentasi 15.1% pada tahun 2006 dan bertambah menjadi 23.8% pada tahun 2011 (Tabel 5). Pertambahan hutan sekunder dikarenakan adanya konversi dari hutan primer menjadi hutan sekunder sebesar 8.1%, pertanian lahan kering dan sawah sebesar 0.5%. Perubahan penggunaan lahan secara spasial disajikan pada Gambar 4.

Topografi

Topografi terdiri dari 0-8%, 8-15%, 15-25%, 25-40% dan >40%. Lokasi penelitian memiliki topografi bergunung dan berbukit hingga bergunung curam pada bagian hulu, berombak hingga bergelombang pada bagian tengah dan datar pada bagian hilir.

Topografi DAS Bila didominasi oleh datar sebesar 26.25%, bergunungan curam sebesar 25.34% dan berombak sebesar 18.29% (Tabel 6).

Tabel 6 Kemiringan lereng DAS Bila

Lereng (%) Definisi Luasan (ha) %

0-8 Datar 40 809 26.25

8-15 Berombak 28 434 18.29

15-25 Bergelombang 21 331 13.72

25-40 Bergunung dan berbukit 25 499 16.40

>40 Bergunung curam 39 394 25.34

Jenis Tanah

Jenis tanah DAS Bila didapatkan berdasarkan peta tanah skala 1:250.000 Terdapat 6 jenis tanah yaitu Dystropepts, Eutropepts, Paleudults, Tropaquepts, Tropudalfs dan Tropudults. Tanah DAS Bila didominasi tanah Dystropepts sebesar 43.2%, diikuti Paleudults sebesar 20.9% dan Tropaquepts sebesar 20.4 (Tabel 7). Jenis tanah DAS Bila secara spasial disajikan pada gambar 5.

Tabel 7 Jenis tanah DAS Bila

No Jenis Luas (Ha) %

1 Dystropepts 67 141 43.2

2 Eutropepts 3 939 2.5

3 Paleudults 32 511 20.9

4 Tropaquepts 31 653 20.4

5 Tropudalfs 1 085 0.7

6 Tropudults 18 956 12.2

(35)

19

Gambar 5 Jenis tanah DAS Bila

Iklim

Rata-rata curah hujan dari 2 stasiun yaitu Bila Riase dan Lagading selama 10 tahun (2002-2011) menunjukkan bahwa curah hujan maksimum terjadi pada bulan Mei sebesar 489.3 mm dan curah hujan minimum terjadi pada bulan Februari sebesar 90.2 mm (Gambar 6). Tipe pola curah hujan DAS Bila adalah tipe lokal, disebabkan pengaruh biofisik dari DAS berupa pegunungan di bagian Barat dan bentuk topografi dengan lereng yang menghadap Teluk Bone. Iklim basah terjadi pada bulan April sampai September dan iklim kering terjadi pada bulan Oktober sampai Maret.

Gambar 6 Rataan curah hujan bulanan (2002-2011) dari stasiun Bila Riase dan Lagading

118.8 90.2

180.2 326.2

489.3 482.5

339.1

124.8 136.7 115.3 196.3

167.4

(36)

Data stasiun iklim selama 10 tahun berupa temperatur maksimum dan minimum, kecepatan angin dan penyinaran matahari. Data temperatur maksimum dan minimum memperlihatkan bahwa bulan Oktober memiliki suhu maksimum sebesar 32.7 oC dan temperatur minimum pada bulan Juli sebesar 16.9 oC. Data temperature DAS Bila disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Temperatur maksimum dan minimum rataan bulanan (2002-2011) Bulan Temperatur Maksimum (oC) Temperatur Minimum (oC)

Januari 30.8 17.5

Rata-rata penyinaran matahari lebih besar pada bulan Septermber sampai bulan Februari. Penyinaran matahari terbesar terjadi pada bulan September sebesar 4.88 MJ-2hari-1 dan penyinaran matahari terkecil terjadi pada bulan Mei dan Juni sebesar 3.84 MJ-2hari-1. Kecepatan angin DAS Bila berkisar 0.117-0.188 m det-1. Kecepatan angin terbesar pada bulan Februari dan terkecil pada bulan Mei dan Juli . Data penyinaran matahari dan kecepatan angin DAS Bila tersaji pada Tabel 9.

Tabel 9 Kecepatan angin dan penyinaran matahari (2002-2011)

(37)

21

Deliniasi DAS Menggunakan Model AnnAGNPS

Deliniasi DAS pada model AnnAGNPS menggunakan sub model TOPAZ (Topographic Analysis). Pada pengolahan data DEM di TOPAZ yaitu import TOPAGNPS (Gambar 7), sub DAS (subwa) yang terbentuk sangat kecil dan tidak mempresentasikan semua luasan dari DAS Bila. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain: 1) Model AnnAGNPS kurang akurat dalam memprediksi jaringan sungai pada topografi yang relatif datar. Hal ini terlihat dari hasil jaringan sungai (stream line) yang dihasilkan oleh model tidak sesuai dengan jaringan sungai yang ada di lapang. 2) Pengembangan interface model AnnAGNPS dengan ArcView belum dalam bentuk extention sehingga integrasi data spasial masih lemah.

Gambar 7. Proses pengolahan data DEM 30 meter

Gambar 8 memperlihatkan sub DAS yang terbentuk hanya Sub DAS yang memiliki jaringan sungai yang sama dengan jaringan sungai dari Model. Gambar 9 memperlihatkan jaringan sungai berwarna hijau (green line) adalah jaringan sungai dari lapang sedangkan jaringan sungai berwarna ungu (purple line) adalah jaringan sungai dari hasil model. Dari gambar terlihat bahwa jaringan sungai dari lapang dan dari model sangat berbeda. Letak titik outlet sungai (red point) yang berada tepat di jaringan sungai dari lapang bukan pada jaringan sungai dari model menjadi penyebab sub DAS tidak terbentuk secara keseluruhan.

(38)

Salah satu kelemahan model AnnAGNPS lainnya adalah ketidakmampuan model dalam menganalisis daerah cekungan. Daerah seperti danau, waduk dan reservoir tidak dapat dibaca oleh model dengan mengasumsikan daerah tersebut bernilai 0. Selain daerah cekungan, model AnnAGNPS kurang akurat dalam menganalisis daerah datar. Hal ini terlihat pada hasil analisis DAS Bila yang didominasi oleh daerah datar (26.25%), model tidak dapat menganalis secara sempurna.

Dari penjelasan diatas dan dari hasil trial dan eror yang dilakukan, sub DAS yang dapat dihasilkan hanya satu dan tidak dapat dianalisis lebih lanjut, sehingga model AnnAGNPS dilanjutkan dengan model SWAT.

Gambar 8. Sub DAS hasil model AnnAGNPS

(39)

23

Deliniasi DAS Menggunakan Model SWAT

Total luasan DAS Bila adalah 172.124 ha sedangkan total luasan yang dihasilkan model SWAT adalah 155.288 ha. Luasan DAS berkurang disebabkan batasan dari penelitian yang tidak mengambil Danau Tempe sebagai daerah penelitian. Dari hasil deliniasi DAS menggunakan model SWAT terbentuk 23 sub DAS dengan jumlah HRU 378. Sub DAS 1 merupakan sub DAS terbesar yaitu 19.3% dari total luas DAS Bila, sedangkan Sub DAS 22 adalah sub DAS terkecil sebesar 0.18% (Tabel 10).

Tabel 10 Pembagian sub DAS berdasarkan model SWAT

Sub DAS Luas (Ha) Luas (%) Sub DAS Luas (Ha) Luas (%)

Parameterisasi dilakukan untuk mengidentifikasi karakteristik dari parameter DAS Bila. Parameterisasi pada tiap DAS berbeda disebabkan karakteristik DAS yang bervariasi. Parameterisasi model didapatkan dengan 2 cara yaitu dengan bantuan SWAT CUP dan cara manual. SWAT CUP menampilkan parameter sensitif secara langsung pada proses kalibrasi, sedangkan cara manual didapatkan dari beberapa studi literatur. Tiga tahapan yang dilakukan dalam parameterisasi model yaitu mengelompokkan hidrologi tanah, mengelompokkan penggunaan lahan danmenginput database SWAT.

Kelompok Hidrologi Tanah

(40)

permebilitas tanah didapatkan klasifikasi hidrologi tanah (KHT) pada kelompok B dan C. Sifat-sifat tanah pada kelompok B dan C adalah :

Kelompok B : tanah lempung berpasir, loess dangkal

Kelompok C : tanah lempung berliat, lempung berpasir dangkal, tanah berkadar bahan organik rendah, dan tanah-tanah berkadar liat tinggi

Kandungan air tanah sebelumnya mempengaruhi volume dan laju aliran permukaan. Kandungan air tanah sebelumnya diolah dengan menjumlahkan data curah hujan 5 hari sebelumnya. Dari hasil pengolahan data curah hujan didapatkan kandungan air tanah sebelumnya berada pada kondisi II.

Kelompok Penggunaan Lahan

Kelompok penggunaan lahan dibedakan berdasarkan tiga faktor yaitu jenis penggunaan lahan, perlakuan atau tindakan yang diberikan dan keadaan hidrologi. Penggunaan lahan yang dikelompokkan oleh SCS terdiri dari 14 macam.

Pengelompokkan berdasarkan perlakuan atau tindakan yang diberikan berupa penanaman menurut kontur dan teras, menunjukkan pengaruh terhadap aliran permukaan. Keadaan hidrologi menunjukkan tingkat pengelolaan tanah yang digunakan dalam keadaan buruk, sedang dan baik.

Input Database Model SWAT

(41)

25

Tabel 11. Parameter input model SWAT

No Parameter Keterangan Min Max

1 RCHRG_DP.gw fraksi perkolasi perairan dalam 0 1 2 GWQMN.gw Ketinggian minimum aliran dasar 0 5 000 3 SLSUBBSN.hru Panjang kemiringan aliran permukaan 10 150 4 CN2.mgt Bilangan kurva aliran permukaan 35 98 5 GW_REVAP.gw Koefisien revap air tanah 0.02 0.2 6 GW_DELAY.gw Lama „delay‟ air bawah tanah 0 500

7 OV_N.hru Koefisien kekasaran Manning 0 30

8 ESCO.hru Faktor evaporasi tanah 0 1

9 CANMX.hru Nilai maksimum kanopi 0 100

10 GW_SPYLD.gw Hasil spesifikasi pada akuifer dangkal 0 0.4 11 CH_N2.rte Nilai Manning saluran utama -0.01 0.03 12 CH_K1.sub Konduktivitas hidrolik efektif pada

saluran utama

0 300

13 EPCO.hru Faktor uptake tanaman 0 1

14 CH_W1.sub Rata-taya lebar saluran tributari 1 1 000

15 TIMP.bsn Faktor temperatur lag 0 1

16 SLSOIL.hru Panjang kemiringan aliran lateral bawah permukaan

0 150

17 CH_K2.rte Hantaran hidrolik -0.01 500

18 SOL_BD.sol Kelembaban porositas tanah 0.9 2.9 19 CH_L1.sub Cabang saluran yang terpanjang dari

sub DAS

0.05 200

20 REVAPMN.gw Batas kedalaman air pada akuifer dangkal untuk mengalir ke akuifer dalam

0 500

21 CO2.sub Konsentrasi karbondioksida 0 800

22 SOL_K.sol Konduktivitas hidrolik jenuh 0 2 000

23 ALPHA_BF.gw Faktor alpha aliran dasar 0 1

24 CH_S1.sub Rata-rata kemiringan pada saluran 0.001 10 25 CH_N1.sub Nilai Manning pada saluran

percabangan sungai

0.01 30

26 SURLAG.bsn Koefisien lag aliran permukaan 0.05 24

Kalibrasi Model SWAT

(42)

0

Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan metode otomatis dan metode coba-coba (Indarto 2010). Metode otomatis dilakukan dengan bantuan software SWATCUP. SWATCUP memberikan nilai maksimum dan minimum pada tiap parameter. Kisaran nilai maksimum dan minimum selanjutnya digunakan pada metode coba-coba. Metode coba-coba dilakukan dengan memasukkan beberapa nilai parameter, selanjutnya hasil optimum parameter akan didapatkan secara trial dan error.

Sebanyak 26 parameter yang dicobakan dalam database SWAT, diperoleh 10 parameter yang paling sensitif terhadap keluaran model. 10 parameter adalah CN_2, ESCO, EPCO, Alfa_BF, GW_Delay, GWQMN, RCHRG_DP, CH_N2, CH_K2 dan SURLAG

Parameter CN_2, ESCO, EPCO digunakan sebagai parameter yang sensitif karena berpengaruh terhadap aliran permukaan. Besaran nilai CN_2 dapat memprediksi jumlah aliran permukaan atau infiltrasi akibat curah hujan. ESCO merupakan parameter yang menentukan jumlah air dalam tanah yang akan mempengaruhi bilangan kurva aliran permukaan dan proses infiltrasi yang terjadi. EPCO mempunyai pengaruh terhadap aliran permukaan karena kemampuan akar tanaman yang dapat menyerap air dan mempunyai pengaruh terhadap transpirasi sehingga memiliki dampak terhadap kelembaban tanah.

(43)

27

Tabel 12. Parameter sensitif terhadap debit aliran model SWAT

No Parameter Nilai 5 CH_N2 *rte (nilai Manning saluran utama) 0.014 0.025

6 CH_K2 *rte (hantaran hidrolik) 0 130

7 GWQMN *gw (ketinggian minimum aliran dasar) 0 1000 8 RCHRG_DP *gw (fraksi perkolasi perairan dalam) 0.05 0.35 9 SURLAG *bsn (koefisien lag aliran permukaan) 4 8 10 Alfa_BF *gw (faktor alpha aliran dasar) 0.048 0.5

Bilangan kurva (CN_2) adalah bilangan yang menyatakan pengaruh dari tanah, keadaan hidrologi dan kandungan air sebelumnya. Hasil pengolahan data menunjukkan tanah berada pada kelompk tanah B dan C dengan kondisi kandungan air tanah sebelumnya pada kondisi II. Nilai bilangan kurva yang digunakan berdasarkan penggunaan lahan.

EPCO adalah faktor pengganti penyerapan pada tanaman. Tanaman membutuhkan air sebagai proses transpirasi dan air ini diperoleh oleh tanaman dari ketersediaan air tanah. Jika lapisan tanah pada bagian atas tidak mencukupi untuk proses transpirasi, maka tanaman akan mengambil pada lapisan tanah berikutnya. Nilai 1 menandakan kebutuhan air diperoleh pada lapisan tanah dalam sedangkan 0 menandakan kebutuhan air diperoleh pada lapisan tanah atas. Nilai EPCO pada hutan primer dan hutan sekunder adalah 0.5 sedangkan penggunaan lahan lainnya adalah 0.2. ESCO adalah koefisien kebutuhan air yang diperoleh dari lapisan bawah tanah untuk proses evaporasi tanah karena efek dari kapilaritas dan rekahan. Pada hutan primer dan hutan sekunder nilai optimum ESCO adalah 0.95 sedangkan penggunaan lahan lainnya 0.5. Hutan primer dan hutan sekunder memiliki jenis tanah Dystropepts dengan tekstur lempung berliat. Hal ini membuat nilai hutan lebih besar karena kemampuan tanah liat melepaskan air lebih lambat dibandingkan penggunaan lahan lain.

Lama „delay‟ air bawah tanah (GW_DELAY) adalah waktu yang diperlukan air untuk mengalir ke aquifer dangkal. Lamanya air untuk mengalir ke aquifer dangkal dipengaruhi oleh kedalaman zona kedap air, keadaan hidrologi pada zona vadose dan zona air bawah tanah. Nilai GW_DELAY DAS Bila sebesar 80 hari. Nilai ini berlaku untuk semua penggunaan lahan karena memiliki geomorfologi yang sama. Sangrey et al. 1984 dalam Neitsch et al. 2010 menyatakan bahwa suatu daerah memiliki GW_DELAY yang sama apabila geomorfologi (landform) daerah itu sama. GWQMN merupakan ambang batas kedalaman air pada aquifer dangkal yang dibutuhkan untuk kembali mengalir. Air bawah tanah akan mengalir ke sungai apabila kedalaman air pada aquifer dangkal (SHALLST) sama atau lebih besar dari GWQMN. Nilai GWQMN yang didapatkan adalah 1000 mm pada hutan primer dan hutan sekunder, sedangkan penggunaan lahan lainnya sebesar 800 mm.

(44)

y = 0.728x - 0.027

alami (pernah terjadi pengerukan), memanjang dan seragam. CH_K2 adalah nilai konduktivitas hidrolik pada saluran. Nilai CH_K2 adalah 130 mm/hari dengan karakteristik pasir dan kerikil. Nilai ini menunjukkan kecepatan aliran pada saluran sangat cepat.

SURLAG merupakan waktu terjadinya hujan lebih sehingga terjadi puncak aliran permukaan. Time lag DAS Bila pada awal simulasi adalah 4 dan meningkat menjadi 8.

ALFA_BF merupakan parameter pada data groundwater (*gw). ALFA_BF adalah faktor aliran dasar yang dapat terlihat secara langsung melalui respon aliran bawah tanah (groundwater). Pada tanah dengan respon yang lambat nilai berkisar antara 0.1-0.3 sedangkan pada tanah dengan respon cepat berkisar antara 0.9-1.0. Dari hasil simulasi ALFA_BF di DAS Bila berbeda berdasarkan penggunaan lahan. Nilai ALFA_BF hutan primer dan sekunder adalah 0.5 hari, padang rumput dan semak belukar adalah 0.3 hari dan pertanian lahan kering, sawah, pemukiman serta belukar rawa adalah 0.1 hari. Hutan primer dan hutan sekunder memiliki nilai lebih besar disebabkan perakaran pohon di hutan yang lebih dalam sehingga kemampuan dalam menahan air lebih besar (Narayan et al.

2010). RCHRG_DP adalah fraksi perkolasi pada aquifer dalam (DEEPST). Parameter ini memperhitungkan perkolasi dari zona perakaran yang dapat menyuplai perairan dalam. Nilai RCHRG_DP berkisar antara 0.1-0.35.

Hasil kalibrasi dari 10 parameter yang diinput, diperoleh nilai koefisien deterministik sebesar 0.75 (good) dan NSE sebesar 0.70 (satisfactory) (Gambar 10). Berdasarkan nilai tersebut, maka model SWAT akurat untuk dipergunakan dalam prediksi aliran permukaan dan erosi.

Gambar 11 Kalibrasi debit harian observasi dan debit harian simulasi

Validasi Model SWAT

(45)

29 yang digunakan pada proses validasi sama dengan parameter kalibrasi

Gambar 12 Validasi hidrograf aliran debit observasi dan debit simulasi

Gambar 13 menunjukkan bahwa perbandingan debit observasi dan debit simulasi menghasilkan R2 sebesar 0.86 (very good) dan NSE sebesar 0.62 (satisfactory). Hal ini memperlihatkan bahwa NSE pada proses kalibrasi lebih besar dibandingkan pada proses validasi, disebabkan jangka waktu yang digunakan pada proses validasi. Jangka waktu ini menyebabkan terjadinya perubahan pada alam sehingga parameterisasi sudah berubah

Gambar 13 Validasi debit harian observasi dan debit harian simulasi

Kontribusi Aliran Permukaan

(46)

2011 menunjukkan bahwa, terdapat 9 sub DAS (2, 3, 4, 7, 9, 10, 13, 14 dan 15) sebagai penyumbang aliran permukaan terbesar pada tahun 2006 dan meningkat menjadi 12 sub DAS (1, 2, 3, 4, 5, 7, 9, 10, 13, 14, dan 15) pada tahun 2011. Sub DAS yang memiliki persentase curah hujan menjadi aliran permukan >30% adalah penghasil aliran permukaan tinggi dan sangat tinggi. Aliran permukaan pada semua sub DAS disajikan pada Lampiran Tabel 1.

Tabel 13 Aliran permukaan hasil model SWAT

Sub Catatan: SRO = aliran permukaan (surface runoff), WYLD = jumlah air (water yield)

Gambar 13 dan Tabel 15 menunjukkan analisis pada tingkat Sub DAS.

Sub DAS 1, 5 dan 6 mengalami peningkatan persentase aliran permukaan dikarenakan perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder. Pengurangan tutupan vegetasi di Sub DAS 1, 5 dan 6 mampu meningkatkan aliran permukaan sebesar 40.3%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Zhang et al (2009) di DAS Lao Shi-Khan menunjukkan bahwa aliran permukaan semakin meningkat dengan berkurangnya tutupan vegetasi di DAS Lao Shi-Khan dan ketika dilakukan penambahan tutupan vegetasi sebesar 20% aliran permukaan semakin menurun.

(47)

31

Analisis Aliran permukaan berdasarkan HRU (Tabel 15) bertujuan melihat penggunaan lahan yang menghasilkan aliran permukaan terbesar. Pemukiman menjadi penyumbang aliran permukaan terbesar yaitu 299 mm pada tahun 2006 kemudian meningkat menjadi 535 mm pada tahun 2011, disusul oleh sawah sebesar 221 mm dan meningkat menjadi 489 mm, pertanian lahan kering sebesar 213 mm meningkat menjadi 489 mm. Hal ini menunjukkan bahwa dalam rentang lima tahun aliran permukaan pada pemukiman, sawah dan pertanian lahan kering meningkat masing-masing sebesar 44.1%, 56.8% dan 35%.

Tabel 14 Tebal aliran permukaan untuk berbagai penggunaan lahan

Sub DAS

Luas (Ha)

Penggunaan Lahan

Kemiringan Lereng (%)

Aliran Permukaan (mm) Tahun 2006 Tahun 2011

6 18 159 HPLK >40 54.6 200

7 6 736 HSLK 15-25 66.4 222

15 25 576 BKRW 15-25 77.5 155

15 25 576 PDRT 15-25 78.8 128

7 6 736 SMBK 15-25 88.6 237

15 25 576 PMKN 0-8 299 535

9 10 415 SWH 15-25 221 489

7 6 736 PTLK 15-25 213 328

.

Gambar 14 Aliran permukaan sub DAS tahun 2006 dan tahun 2011

(48)

menurunkan laju aliran permukaan. Penggenangan pada lahan sawah dan pengolahan tanah yang intensif menjadi penyebab tingginya aliran permukaan. Menurut Kartasapoetra (2004), pengolahan tanah akan mengakibatkan agregat tanah pecah menjadi butiran-butiran tanah yang kecil-kecil dan ada pula yang halus. Butiran-butiran tanah yang kecil (partikel) dan yang halus akan terangkat dan terhanyutkan dengan berlangsungnya aliran permukaan (runoff) sedangkan sebagian akan terbawa infiltrasi dan bagian ini biasanya dapat menutupi pori-pori tanah sehingga infiltrasi air ke dalam lapisan lapisan tanah bagian dalam menjadi terhambat.

Daerah pemukiman merupakan daerah yang kedap air dikarenakan daerah pemukiman terdiri dari bangunan-bangunan yang terbuat dari bahan-bahan kedap air seperti semen, beton dan batu bata. Hasil penelitian Ali et al 2011 di Pakistan menunjukkan bahwa volume aliran permukaan dan debit puncak aliran semakin meningkat dengan pertambahnya daerah terbangun.

Kontribusi Erosi

Tingkat bahaya erosi menunjukkan sub DAS 1, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 10 dan 13 dalam tingkat sangat berat sedangkan DAS 7, 8, 11, 12, 14, 15, 16 dan 17 masuk dalam tingkat berat. Erosi terberat terdapat di sub DAS 2 sebesar 343.9 ton/ha/tahun pada tahun 2006 dan meningkat menjadi 456 ton/ha/tahun pada tahun 2011. Besarnya tanah yang tererosi dan erosi yang dapat ditoleransikan pada masing-masing sub DAS disajikan pada Lampiran Tabel 2.

Tabel 15 Nilai erosi (ton/ha/tahun) pada penggunaan lahan Sub

DAS

Pengunaan Lahan dominan Kemiringan lereng (%)

Erosi (ton/ha/tahun)

Tahun 2006 Tahun 2011 Tahun 2006 Tahun 2011

1 PTLK PTLK >40 263 325

(49)

33

tererosi. Faktor kedua adalah vegetasi pada pertanian lahan kering merupakan tanaman dengan vegetasi penutup bertajuk kecil sehinggga kurang mampu melindungi permukan tanah dari air hujan. Vegetasi penutup tanah berpengaruh untuk menurunkan kecepatan dan memperkecil diameter air hujan, menahan partikel-partikel tanah pada tempatnya melalui sistem perakaran dan serasah yang dihasilkan, dan mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam meyerapan air (Asdak 2007).

Faktor ketiga adalah kemiringan lahan >40%. Erosi semakin besar dengan semakin curamnya lereng (Arsyad 2010). Semakin curam lereng akan memperbesar kecepatan aliran permukaan sehingga memperbesar energi angkut tanah untuk tererosi. Kedudukan lereng juga mempengaruhi besarnya erosi. Sub DAS 13, 14 dan 15 dengan kemiringan 0-8% (landai) memberikan kontribusi erosi yang cukup besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Asdak (2007) bahwa lereng bagian bawah lebih mudah tererosi dari pada lereng bagian atas karena momentum aliran permukaan lebih besar dan kecepatan aliran permukaan lebih terkonsentrasi ketika mencapai lereng bagian bawah.

Pertanian lahan kering dan hutan sekunder sebagai penghasil erosi yang besar disebabkan tata guna lahan yang dilakukan belum mengikuti kaidah konservasi tanah dan air. Gambar 16 memperlihatkan penggunaa lahan DAS Bila. Tanaman kol ditanam pada kemiringan lahan 25-40% tanpa teknik konservasi (kiri) dan pembakaran lahan pada tanaman jagung setelah panen (kanan).

Gambar 15. Penggunaan lahan pada pertanian lahan kering DAS Bila

Tingkat bahaya erosi pada sub DAS mengalami peningkatan, tahun 2006 terdapat 2 sub DAS (1 dan 2) dengan tingkat bahaya erosi sangat berat, kemudian bertambah menjadi 9 sub DAS (1, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 10 dan 13) pada tahun 2011. Sub DAS 5 dan 6 adalah penggunaan lahan hutan primer pada tahun 2006 dan semak belukar, kemudian dikonversi menjadi hutan sekunder pada tahun 2011. Konversi hutan primer menjadi hutan sekunder meningkatkan erosi sebesar 30.6% pada sub DAS 5 dan 35% pada sub DAS 6

(50)

lainnya, tetapi memberikan kontribusi yang cukup besar erosi yaitu 65.8% pada tahun 2011. Penggunaan lahan sawah sebesar 66% menjadi faktor utama meningkatnya erosi, hal ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan sawah di sub DAS 13 telah tererosi berat.

Dari hasil erosi sub DAS secara keseluruhan memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan erosi pada DAS Bila. Rataan erosi yang dihasilkan pada tahun 2006 adalah 84.1 ton/ha/tahun kemudian meningkat menjadi 155 ton/ha/tahun pada tahun 2011 (Tabel lampiran 2) dengan erosi yang dapat ditoleransikan sebesar 16.6 ton/ha/tahun. Sebaran tingkat bahaya erosi secara spasial tersaji pada Gambar 16.

Gambar 16 Tingkat bahaya erosi pada tahun 2006 dan tahun 2011

Indentifikasi Potensi Aliran Permukaan dan Erosi Sub DAS

Identifikasi sub DAS yang menyebabkan permasalahan dilakukan pada sub DAS 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 13, 14, dan 15. Identifikasi sub DAS didapatkan dari hasil tumpangsusun (overlay) peta aliran permukaan dan erosi tahun 2011.

(51)

35

hara yang diperlukan oleh tanaman (Arsyad 2010). Nilai Etol harus sama atau lebih besar dari erosi yang terjadi pada lahan. Sub DAS 1 memperlihatkan bahwa erosi pada lahan lebih besar dibandingkan erosi yang dapat ditoleransikan.

Sub DAS 2 berada di Kabupaten Enrekang Kecamatan Maiwa. Penggunaan lahan dominan adalah pertanian lahan kering dengan kemiringan lahan >40%. Analisis aliran permukaan memperlihatkan bahwa curah hujan yang jatuh, 67.2% menjadi aliran permukan, sedangkan erosi lahan masih lebih besar dibandingkan nilai Etol sebesar 22.9 ton/ha/tahun.

Sub DAS 3 berada di Kabupaten Sidrap Kecamatan Pitu Riawa. Penggunaan lahan sub DAS 3 terdiri dari hutan primer sebesar 57%, pertanian lahan kering 25.3% dan hutan sekunder 8.81% dengan kemiringan lahan >40%. Analisis aliran permukaan memperlihatkan bahwa 68.8% curah hujan menjadi aliran permukaan dengan nilai Etol sebesar 16.6 ton/ha/tahun.

Sub DAS 4 berada di Kabupaten Enrekang Kecamatan Maiwa, dengan kemiringan lahan >40% . Penggunaan lahan dominan Sub DAS 4 adalah pertanian lahan kering sebesar 2.33 ha (56%) disusul semak belukar sebesar 1.575 ha (37.8%) dan hutan sekunder sebesar 777 ha (18.6%). Analisis aliran permukaan memperlihatkan bahwa 70.4% curah hujan menjadi aliran permukaan dengan nilai Etol sebesar 22.1 ton/ha/tahun.

Sub DAS 5 berada di Kabupaten Sidrap Kecamatan Pitu Riase. Sub DAS 5 berada pada kemiringan lahan >40% dengan luasan sebesar 10.051 ha. Penggunaan lahan dominan adalah hutan sekunder (40.7%) disusul hutan primer (33 %) dan pertanian lahan kering (16.8%). Analisis aliran permukaan memperlihatkan bahwa 84.9% curah hujan menjadi aliran permukaan dengan Etol sebesar 24.2 ton/ha/tahun.

Sub DAS 6 berada di Kabupaten Sidrap Kecamatan Pitu Riase. Sub DAS 6 terdiri dari penggunaan lahan hutan sekunder (53.3%), pertanian lahan kering (19.9%) dan hutan primer (16.5%). Sub DAS 6 berada pada kemiringan lahan >40%. Analisis aliran permukaan memperlihatkan bahwa 78% curah hujan menjadi aliran permukaan dengan Etol sebesar 24.2 ton/ha/tahun.

Sub DAS 7 berada di Kabupaten Sidrap Kecamatan Pitu Riawa. Sub DAS 7 terdiri dari penggunaan lahan pertanian kering sebesar 52.4% disusul hutan primer sebesar 25.5% dan hutan sekunder sebesar 21.8%. Sub DAS 7 berada pada kemiringan lereng 15-25%. Analisis aliran permukaan memperlihatkan bahwa curah hujan yang jatuh, 75.8% menjadi aliran permukaan. Erosi lahan sebesar 103.3 ton ha-1 y-1 sedangkan Etol sebesar 20.8 ton/ha/tahun.

Sub DAS 9 berada di Kabupaten Sidrap Kecamatan Pitu Riawa, dengan kemiringan lahan 15-25%. Penggunaan lahan dominan pertanian lahan kering sebesar 61.2%. Penggunaan lahan kedua adalah semak belukar sebesar 17.5% disusul sawah sebesar 13.4% dan hutan sekunder sebesar 7.4%. Analisis aliran permukaan memperlihatkan bahwa 61.6% curah hujan menjadi aliran permukaan dan Etol sebesar 16.6 ton/ha/tahun.

Gambar

Gambar
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Tabel 2. Perbedaan model AnnAGNPS dan model SWAT
Gambar 2 Lokasi penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis aspek seni berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber menjelaskan bahwa karya-karya yang dapat dipamerkan pada galeri terbuka lebih dikhususkan pada karya-karya

Selain panjang penampang kolom, penelitian ini juga dilakukan dengan memvariasikan model denah persegi dan persegi panjang dengan maksud untuk mengetahui simpangan

Dalam pelaksanaannya, gereja belum memiliki pelayanan pastoral yang terprogram untuk menolong jemaat yang bermasalah dengan hidup yang dijalani, dalam hal ini

Menurut penelitian Sarwoko (2011) hasil analisis menunjukkan bahwa dukungan teman, dukungan keluarga dan dukungan orang yang dianggap penting berpengaruh positif terhadap

Hasil belajar siswa yang diperoleh dari kegiatan pembelajaran di sekolah selalu sejalan dengan tujuan yang tercantum pada indikator yang sudah direncanakan oleh guru, dimana

sectional study yang bertujuan untuk mengetahui hubungan personal hygiene dengan keluhan kulit pada pemulung dan fasilitas sanitasi di TPA Terjun Kelurahan Terjun Kecamatan

Data sekunder adalah data yang yang memberi penjelasan terhadap data primer. Data tersebut sebagian besar merupakan.. literatur yang terkait dengan konsep hukum