• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relasi Politik Dalam Pandangan Elite (Studi Deskriptif Persepi Elite Muhammadiyah Sumatera Utara terhadap Fenomena Relasi Partai Amanat Nasional Dan Partai Damai Sejahtera Dalam Bingkai Komunikasi Politik)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Relasi Politik Dalam Pandangan Elite (Studi Deskriptif Persepi Elite Muhammadiyah Sumatera Utara terhadap Fenomena Relasi Partai Amanat Nasional Dan Partai Damai Sejahtera Dalam Bingkai Komunikasi Politik)"

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)

RELASI POLITIK DALAM PANDANGAN ELITE

(Studi Deskriptif Persepi Elite Muhammadiyah Sumatera Utara

terhadap Fenomena Relasi Partai Amanat Nasional dan Partai

Damai Sejahtera dalam Bingkai Komunikasi Politik)

Diajukan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana (S-1)

di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik

Oleh :

AMIR FADLI NASUTION

090904094

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

i ABSTRAK

Penelitian ini berjudulRelasi Politik Dalam Pandangan Elite(Studi Deskriptif

Persepi Elite Muhammadiyah Sumatera Utaraterhadap Fenomena Relasi Partai Amanat Nasional dan Partai Damai Sejahtera dalam Bingkai Komunikasi Politik).Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana elite Muhammadiyah Sumatera Utaradalam menerima dan memandang fenomena relasi politik yang terjalin antara Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Damai Sejahtera (PDS).Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif Miles dan Huberman dengan menganalisis persepsi yang disampaikan para elite tersebut untuk menanggapi fenomena ini.

Fenomena dijalinnya relasi politik antara PAN dan PDS merupakan suatu dinamika politik yang unik, menarik, sekaligus cukup kontroversial yang pernah terjadi di sepanjang usia Indonesia.Bagaimana tidak, PAN selama ini dikenal sebagai partai yang berbasis massa Islam dengan konstituen utama dari kalangan warga Muhammadiyah. SementaraPDS merupakan partai yang kental dengan nuansa Kristen.PDS secara resmi dinyatakan tidak lolos seleksi verifikasi Pemilu 2014 pada hari kamis tanggal 2 Mei yang lalu, yang ditandai dengan ditolaknya gugatan PDS oleh Mahkamah Agung.Karena itu, agar bisa tetap memenuhi ambisi politiknya, PDS kemudian menjalin relasi politik dengan bergabung ke dalam barisan PAN.Penggabungan ini sendiri secara resmi dilakukan pada hari Jum’at tanggal 3 Mei 2013 yang lalu.Tentu saja bergabungnya kedua partai ini menjadi satu fenomena yang menarik untuk dikaji. Sebab fenomena ini akan berdampak pada konstituen masing-masing partai, termasuk kepada warga Muhammadiyah yang dalam sejarahnya selalu diidentikkan dengan partai berlambang matahari ini. Persepsi para elite sebagai proses pemberian makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli)yang berdasarkan pada pengalaman mereka dalam berhubungan dengan PAN sebagai suatu partai politik yang kelahirannya ‘dibidani’ oleh Muhammadiyah tentu penting untuk dikaji dalam mendalami studi komunikasi politik. Sebab wibawa dan peran elite Muhammadiyah disini amat besar dan berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi politik PAN dalam meraih dukungan masyarakat yang sebesar-besarnya.Yakni dalam membangun citra dan elektabilitas yang baik di kalangan warga Muhammadiyah sebagai konstituen utama PAN. Terutama pasca terjalinnya relasi politik antara PAN dan PDS ini.Dengan demikian peneliti akan menganalisis pendapat dan sikap para elite tersebutberdasarkan aspek-aspek yang terkait dengan fenomenatersebut.Yang antara lain yakni pro kontra, akseptabilitas, elektabilitas, citra, loyalitas, komunikasi politik, dan dakwah Muhammadiyah.

(3)

ii ABSTRACT

This research entitled The Relation in Elite’s View (Descriptive study in

Perception of Muhammadiyah Elite in North Sumatera for Relation phenomenon of Partai Amanat Nasional and Partai Damai Sejahtera in the frame of Politics Communication). The purpose of this research is to see how Muhammadiyah Elite in North Sumatera accept and view about the politics relation phenomenon that involved between Partai Amanat Nasional (PAN) and Partai Damai Sejahtera (PDS). This approach is using Miles and Huberman qualitative descriptive approach by analyzing the perception that extended by the elite to receive this phenomenon.

The phenomenon of the involve in politics relation between PAN and PDS is a unique, attractive and much controversial politics dynamics that happened along the age of Indonesia. PAN is familiar with a party that based on Islamic people with the main constituent from Muhammadiyah people. While PDS is a party that have a strong nuance with Christian. PDS officially declared not pass the verification selection in 2014 election last 2nd of May, marked with the rejection of PDS accusation by the supreme of court. Because of it, to fulfill their politics ambition, then PDS involves their politics relation by joining to the PAN line. This combination officially did on Friday, 3rd of May. Of course this combination of two parties becomes the unique phenomenon to examine. Because of this phenomenon will affect the each party, include the Muhammadiyah people that along their history always identic with the party that symbolized with the sun. The elite perception as the process in giving the meaning for sensory stimuli that based by their experience in communicate with PAN as a politics party that the birth is help by Muhammadiyah, of course it is important to examine in understanding politics communication study. Because the power and the role of the Muhammadiyah elite is very big and influential to the affectivity of the PAN politics communication in reaching the support of people as many as they can. In building the good image and electability in Muhammadiyah people as the main constituent of PAN. Especially after the involve of the politic relation between PAN and PDS. Then, the researcher will analyze the argument and the attitude of the elite based on the aspects that related to the phenomenon. Such as, the pros and contras, acceptability, electability, image, loyality, politics communicate, and dakwah Muhammadiyah.

(4)

iii

KATA PENGANTAR

Dalam perjalanan hidup yang telah saya lalui, tak terhingga banyaknya rahmat dan pertolongan yang diberikan Allah SWT.Begitu pula halnya dalam perjuangan saya menyelesaikan skripsi ini.Tiada daya dan upaya saya dalam mengusahakannya selain daripada kuasa Allah SWT.Untuk semua itu, hanya puji dan syukur yang dapat saya haturkan pada-NYA yang Maha Kuasa. Serta shalawat beriring salam kepada teladan utama bagi hidup saya dan semua manusia, Rasulullah SAW.

Didasari atas rasa haus penulis yang besar untuk memperdalam ilmu

pengetahuan di ranah komunikasi politik sekaligus mengenal Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, maka ditulislah skripsi yang berjudul: “Relasi Politik Dalam Pandangan Elite(Studi Deskriptif Persepi Elite Muhammadiyah Sumatera Utaraterhadap Fenomena Relasi Partai Amanat Nasional dan Partai Damai Sejahtera dalam Bingkai Komunikasi Politik).” Tentu saja penulisan skripsi ini harus melewati tahap demi tahap proses penelitian sesuai metode yang digunakan. Sehingga skripsi ini akan dapat selesai dengan hasil yang terbaik dan memberi manfaat sesuai harapan penulis. Termasuk demi memenuhi syarat untuk meraih gelar sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam perjalanan melewati proses panjang penelitian ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang tiada terhingga pada orang-orang luar biasa di sekeliling peneliti. Sebab mereka telah memberi begitu banyak cinta, kasih sayang, nilai persahabatan, inspirasi, semangat, bahkan arti kehidupan itu sendiri bagi peneliti.Dan skripsi ini, hanyalah satu titik kecil yang mampu diwujudkan penulis dalam membalas samudera jasa mereka.

Di antara begitu banyak sosok manusia istimewa yang hendak dipersembahkan rasa terima kasihnya, yang pertama dan paling terutama di antara mereka adalah kedua orang tua penulis.Ayahanda Murad Nasution dan Dahrani Rangkuti. Ayah adalah sumber inspirasi utama. Perjuangan dan tetesan keringatnya layaknya cambuk semangat bagi penulis untuk berjuang menjadi

(5)

iv

padang kehidupan. Dan ibunda tercinta merupakan sumber motivasi dan kekuatan jiwa penulis dalam menghadapi deretan tantangan kehidupan yang mendera.Doa-doanya sebagai ‘jimat sakti’ pemberi rezeki dan penangkal marabahaya bagi penulis.Juga cinta dan kasih sayangnya layaknya darah yang mengalir tanpa jeda ke seluruh tubuh penulis.Selain kedua orang tua, tentu juga kepada saudara-saudara penulis, Eva Rahmayani Nasution dan Vina Mawaddah Nasution.Mereka adalah keluarga, dimana mimpi dan cita penulis dibangun atas jasa tak terkira mereka.

Terima kasih juga saya ucapkan kepada Bapak Drs. Amir Purba, Ph. D, selaku dosen pembimbing sekaligus menjadi dosen wali peneliti.Penghormatan yang setinggi-tingginya penulis berikan atas peran dan jasa beliau yang dengan keikhlasan membagi ilmu dan pengalaman pada penulis demi kesempurnaan skripsi ini.Juga kepada Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A selaku ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU dan seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, peneliti ucapkan terima kasih untuk ilmu, pengalaman, pelajaran, dan penganyoman yang telah diberikan selama empat tahun peneliti menjalani perkuliahan. Penulis semakin menjadi manusia seutuhnya

dan semakin dekat dalam perjalanannnya menuju kesempurnaan karena peran dan jasa mereka.

Rasa syukur yang sebesar-besarnya juga penulis haturkan pada Allah SWT, karena beliau telah mempertemukan penulis dengan sosok-sosok istimewa lain yang mana peran yang mereka berikan telah menyadarkan penulis akan peran dirinya dalam kehidupan ini. Dan lebih dari sekedar skripsi, arti keberadaan mereka layaknya organ tubuh yang diciptakan untuk kesempurnaan penulis mengarungi hidupnya. Mereka itu antara lain :

1. Harry Yassir Elhadidy Siregar, Andika Bakti, dan Febrian Fachri. Kita bersama dalam kegilaan, kegalauan, dan tentu saja dalam menggantung mimpi-mimpi kita di altar langit. Altar langit pun tersenyum menyaksikan kita mengejar mimpi yang dipeluknya.

2. Viki Aprilita, dialah sumber inspirasi penulis melakukan penelitian

(6)

v

3. Indra Gunawan, Fauzi Al Amin, dan Hasrul Yusuf Hasibuan. Kalian

adalah sahabat sekaligus guru bagi penulis. Pengalaman, nasehat, dan ilmu yang kalian bagi telah menempa pribadi penulis menuju jati dirinya.

4. Siti Nur’aini, Suryadi, Handian Hutabarat, Hadist Saleh Matondang,

Frydo Faisal Monardi Tanjung, Dedy Panggabean, dan Maulana Andinata. Keikhlasan dan kesetiaan pertemanan kalian merupakan anugerah besar dari Tuhan. Semoga langkah kita senantiasa bersama dalam meraih cita.

5. Dan kepada Pers Mahasiswa PIJAR beserta seluruh ‘keluarga’ penulis

di dalamnya. Kita telah melewati masa-masa penuh suka duka dalam gandengan tangan satu sama lain, yang darinya penulis menarik banyak hikmah dan makna hidup. Terima kasih untuk kalian keluargaku.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih belum sempurna karena masih banyak terdapat kekurangan, kesempurnaan hanya milik Allah SWT sebagai pencipta.Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua

pihak demi perbaikan dan kesempurnaan penelitian ini.Semoga memiliki manfaat.Amin.

Medan, 13 Oktober 2013 Penulis

(7)

vi

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR ORISINALITAS

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

ABSTRAK ... i

I.4 Manfaat Penelitian... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Komunikasi Politik ... 11

II.1.1Komunikator Politik ... 13

II.1.2Pesan Dalam Komunikasi Politik ... 17

II.2 Persepsi ... 21

II.2.1Faktor Fungsional yang Menentukan Persepsi ... 22

II.2.2Faktor Struktural yang Menentukan Persepsi ... 22

II.2.3 Dalil-Dalil Persepsi ... 23

II.3 Fenomenologi ... 24

II.3.1Filsafat Fenomenologi ... 25

II.3.2Metode Fenomenologi ... 25

II.4 Interaksional Simbolik ... 28

II.4.1 Interaksionisme Simbolik Menurut George Herbert Mead . 29 II.4.2Interaksionisme Simbolik Menurut George Herbert Blumer 30 II.5Elite ... 32

II.5.1Konsep Elite Politik Dalam Masyarakat ... 34

II.5.2Aspek Perilaku Politik Elite ... 35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Metode Penelitian ... 36

III.2 Objek Penelitian ... 36

III.2.1Partai Amanat Nasional ... 37

III.2.2Partai Damai Sejahtera ... 39

III.3 Subjek Penelitian ... 42

(8)

vii

III.5 Teknik Pengumpulan Data ... 49 III.5 Teknik Analisis Data ... 50

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Pelaksanaan Penelitian ... 53 IV.2Analisis Hasil dan Pembahasan... 54

IV.2Persepsi Elite Muhammadiyah Sumatera Utara Terhadap

Komunikasi Politik Muhammadiyah dan Partai Amanat Nasional 54

IV.2Persepsi Elite Muhammadiyah Sumatera Utara Terhadap Fenomena Relasi Partai Amanat Nasional dan Partai Damai

Sejahtera Dalam Bingkai Komunikasi Politik ... 67 IV.3Intisari Pembahasan ... 86

BAB V PENUTUP

V.1Kesimpulan ... 91 V.2Saran ... 93

(9)

viii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Gambar Halaman

1. Hubungan Antara Lambang, Interpretasi, dan Makna ... 20

2. Lambang Partai Amanat Nasional ... 38

3. Lambang Partai Damai Sejahtera ... 41

4. Silogisme Piramida Duduk Induktif ... 44

5. Model Langkah Analisis Induktif ... 45

6. Alur Analisis Induktif ... 47

(10)

i ABSTRAK

Penelitian ini berjudulRelasi Politik Dalam Pandangan Elite(Studi Deskriptif

Persepi Elite Muhammadiyah Sumatera Utaraterhadap Fenomena Relasi Partai Amanat Nasional dan Partai Damai Sejahtera dalam Bingkai Komunikasi Politik).Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana elite Muhammadiyah Sumatera Utaradalam menerima dan memandang fenomena relasi politik yang terjalin antara Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Damai Sejahtera (PDS).Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif Miles dan Huberman dengan menganalisis persepsi yang disampaikan para elite tersebut untuk menanggapi fenomena ini.

Fenomena dijalinnya relasi politik antara PAN dan PDS merupakan suatu dinamika politik yang unik, menarik, sekaligus cukup kontroversial yang pernah terjadi di sepanjang usia Indonesia.Bagaimana tidak, PAN selama ini dikenal sebagai partai yang berbasis massa Islam dengan konstituen utama dari kalangan warga Muhammadiyah. SementaraPDS merupakan partai yang kental dengan nuansa Kristen.PDS secara resmi dinyatakan tidak lolos seleksi verifikasi Pemilu 2014 pada hari kamis tanggal 2 Mei yang lalu, yang ditandai dengan ditolaknya gugatan PDS oleh Mahkamah Agung.Karena itu, agar bisa tetap memenuhi ambisi politiknya, PDS kemudian menjalin relasi politik dengan bergabung ke dalam barisan PAN.Penggabungan ini sendiri secara resmi dilakukan pada hari Jum’at tanggal 3 Mei 2013 yang lalu.Tentu saja bergabungnya kedua partai ini menjadi satu fenomena yang menarik untuk dikaji. Sebab fenomena ini akan berdampak pada konstituen masing-masing partai, termasuk kepada warga Muhammadiyah yang dalam sejarahnya selalu diidentikkan dengan partai berlambang matahari ini. Persepsi para elite sebagai proses pemberian makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli)yang berdasarkan pada pengalaman mereka dalam berhubungan dengan PAN sebagai suatu partai politik yang kelahirannya ‘dibidani’ oleh Muhammadiyah tentu penting untuk dikaji dalam mendalami studi komunikasi politik. Sebab wibawa dan peran elite Muhammadiyah disini amat besar dan berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi politik PAN dalam meraih dukungan masyarakat yang sebesar-besarnya.Yakni dalam membangun citra dan elektabilitas yang baik di kalangan warga Muhammadiyah sebagai konstituen utama PAN. Terutama pasca terjalinnya relasi politik antara PAN dan PDS ini.Dengan demikian peneliti akan menganalisis pendapat dan sikap para elite tersebutberdasarkan aspek-aspek yang terkait dengan fenomenatersebut.Yang antara lain yakni pro kontra, akseptabilitas, elektabilitas, citra, loyalitas, komunikasi politik, dan dakwah Muhammadiyah.

(11)

ii ABSTRACT

This research entitled The Relation in Elite’s View (Descriptive study in

Perception of Muhammadiyah Elite in North Sumatera for Relation phenomenon of Partai Amanat Nasional and Partai Damai Sejahtera in the frame of Politics Communication). The purpose of this research is to see how Muhammadiyah Elite in North Sumatera accept and view about the politics relation phenomenon that involved between Partai Amanat Nasional (PAN) and Partai Damai Sejahtera (PDS). This approach is using Miles and Huberman qualitative descriptive approach by analyzing the perception that extended by the elite to receive this phenomenon.

The phenomenon of the involve in politics relation between PAN and PDS is a unique, attractive and much controversial politics dynamics that happened along the age of Indonesia. PAN is familiar with a party that based on Islamic people with the main constituent from Muhammadiyah people. While PDS is a party that have a strong nuance with Christian. PDS officially declared not pass the verification selection in 2014 election last 2nd of May, marked with the rejection of PDS accusation by the supreme of court. Because of it, to fulfill their politics ambition, then PDS involves their politics relation by joining to the PAN line. This combination officially did on Friday, 3rd of May. Of course this combination of two parties becomes the unique phenomenon to examine. Because of this phenomenon will affect the each party, include the Muhammadiyah people that along their history always identic with the party that symbolized with the sun. The elite perception as the process in giving the meaning for sensory stimuli that based by their experience in communicate with PAN as a politics party that the birth is help by Muhammadiyah, of course it is important to examine in understanding politics communication study. Because the power and the role of the Muhammadiyah elite is very big and influential to the affectivity of the PAN politics communication in reaching the support of people as many as they can. In building the good image and electability in Muhammadiyah people as the main constituent of PAN. Especially after the involve of the politic relation between PAN and PDS. Then, the researcher will analyze the argument and the attitude of the elite based on the aspects that related to the phenomenon. Such as, the pros and contras, acceptability, electability, image, loyality, politics communicate, and dakwah Muhammadiyah.

(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah resmi menetapkan 12 partai nasional untuk mengikuti pemilihan umum 2014. Ketetapan ini secara langsung membawa dampak pada sejumlah partai politik (parpol) dalam rangka berbenah mempersiapkan strategi mempromosikan diri pada masyarakat agar dapat memenangkan pesta politik tahun depan. Hal ini memang satu keniscayaan politik jika kita merujuk pada pengertian partai politik itu sendiri. Bahwa partai politik

adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelakupolitik yang aktif dalam masyarakat yaitu mereka yang memusatkanperhatiannya pada menguasai kekuasaan pemerintahan dan yang beraksi untukmemperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain lain yangmempunyai pandangan berbeda. Namun tentu, dalam rangka menguasai kekuasaan itu tidaklah mudah bagi partai politik manapun. Termasuk Partai Amanat Nasional (PAN) yang telah menargetkan perolehan suara pada Pemilihan Umum 2014 di angka 10 persen.

Strategi dan langkah politik pun mulai disusun dan dijalankan PAN untuk mencapai target tersebut. Antara lain dengan menerima bergabungnya beberapa partai politik yang dinyatakan tidak lolos verifikasi pemilu 2014 oleh KPU. Salah satu dari partai politik tersebut ialah Partai Damai Sejahtera (PDS). Partai Damai Sejahtera secara resmi dinyatakan tidak lolos seleksi verifikasi Pemilu 2014 pada hari kamis tanggal 2 Mei yang lalu, yang ditandai dengan ditolaknya gugatan PDS oleh Mahkamah Agung.

Meskipun telah gagal mengikuti ajang kontestasi pemilu 2014 tahun depan, sebagai partai politik yang masih memiliki basis konstituen yang cukup besar, PDS tetap berkomitmen ingin memberikan kontribusi pada pemilu legislatif yang akan digelar 9 April 2014. Maka dari itu, untuk tetap bisa menyalurkan aspirasi politiknya, partai ini kemudian bergabung dengan PAN. Penggabungan ini sendiri secara resmi dilakukan pada hari Jum’at tanggal 3 Mei 2013 yang lalu.

Langkah politik yang diambil PAN dan PDS ini rupanya telah menarik

(13)

besar Indonesia seperti seperti Republika, Tempo, Okezone, Tribun, dan lain-lain ramai memberitakannya kepada publik. Sebagai suatu bentuk berita politik yang memiliki arti penting bagi masyarakat, khususnya konstituen masing-masing partai.

Jajaran pimpinan dari kedua partai juga tak kalah gencar memberikan statement

kepada masyarakat melalui media-media tersebut. Sebagai bentuk komunikasi politik untuk mempromosikan sekaligus meningkatkan citra kedua partai ini secara bersamaan di mata masyarakat. Hal ini sejalan dengan pengertian komunikasi politik itu sendiri yang dapat

dirumuskan sebagai suatu proses pengoperan lambang-lambang atau simbol-simbol komunikasi yang berisi pesan-pesan politik dari seseorang atau kelompok kepada orang lain, dengan tujuan untuk membuka wawasan atau cara berpikir, serta mempengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak yang menjadi target politik. Yang mana isi pesan dalam proses

komunikasi, yang sarat dengan muatan nilai-nilai politik ini memberi andil besar dalam menentukan arah dari beragam tujuan komunikasi politik itu sendiri. Mulai dari sekadar penyampaian informasi politik, pembentukan citra politik, hingga pembentukan opini publik.

Hatta Rajasa misalnya, dalam satu sesi ia memberikan pernyataan politik bahwa sejak didirikan di masa-masa reformasi, PAN sesungguhnya telah menyatakan diri sebagai partai yang terbuka (inklusif) dan bukan milik golongan, kelompok, atau agama tertentu.Itulah mengapa saat ini banyak tokoh PAN yang duduk di kursi legislatif yang berasal dari berbagai latar belakang dan profesi. Mulai dari pegiat LSM, akademisi, ekonom, ulama, dan lain-lain. Selain itu ia juga kerap menyatakan bahwa PAN dan PDS memiliki pandangan yang sama terkait garis perjuangan, yakni menjadikan partai untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sementara di lain pihak kubu PDS melalui Ketua Umumnya Denny Tewu juga turut berkomentar mengenai bergabungnya partai yang dipimpinnya ini ke dalam barisan PAN. Ia berpendapat bahwa sikap resmi partainya menyalurkan aspirasi politik ke PAN dan mendukung Hatta Rajasa sebagai capres dipastikan setelah keluarnya putusan bahwa PDS tidak dapat menjadi peserta Pemilu 2014. Dan PDS juga melihat Hatta Rajasa adalah sosok pemimpin yang memiliki kapabilitas dan mampu membawa Indonesia lebih baik ke depan.

Namun, saling lempar pujian bukanlah hal utama yang diharapkan kedua belah pihak yang menjalin relasi ini.Seperti halnya setiap partai politik dukungan suara dalam pemilu dari masyrakat adalah tujuan yang ingin dicapai PAN dan PDS ini.yang semuanya itu demi meraih sebanyak-banyaknya kursi di pemerintahan baik legislatif maupun eksekutif. Dan

(14)

Bergabungnya PDS kedalam PAN ini, tentu mengundang perhatian berbagai kalangan masyarakat. Termasuk kalangan umat Kristen dan Islam di Indonesia, khususnya warga Muhammadiyah. Hal ini didasari perbedaan identitas yang dimiliki kedua partai tersebut. PAN selama ini merupakan sebuah partai nasionalis moral yang cukup besar di Indonesia, dengan basis konstituen pemilih mayoritas dari kalangan muslim Muhammadyah. Bahkan PAN kerapkali dianggap masyarakat sebagai Partai Islam. Sementara di sisi lain, PDS adalah partai dengan mayoritas pemilih kalangan krisitiani yang meski berideologi Pancasila, namun

selama ini identik sebagai Partai Kristen di mata masyarakat.

Pernyataan-pernyataan klarifikasi pun ramai meluncur dari kubu PAN dalam menanggapi hal ini. Melalui kader-kadernya, seperti Viva Yoga Mauladi juga Bima Arya kerapkali menyatakan pada media bahwa PAN merupakan partai inklusif yang menghargai

pluralitas dengan tidak membedakan agama, suku, etnis, budaya, maupun jenis kelamin sebagaimana tercantum dalam platform PAN. Namun, jika menilik kembali sejarah pembentukan dan perjalanan PAN hingga saat ini, sulit untuk melepaskan keberadaan partai ini dengan Islam khususnya Organisasi Muhammadiyah.

Sejak pertama kali dideklarasikan pada tanggal 23 Agustus 1998 di Jakarta, Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipimpin oleh Prof. Dr. H. Amien Rais ini segera mendapat banyak sambutan dan dukungan dari berbagai pihak, terutama dari kalangan warga Muhammadiyah. Bahkan lebih dari sekedar dukungan moral, berdirinya PAN dalam pentas perpolitikan nasional seketika menarik banyak anggota Muhammadiyah untuk turut serta bergabung. Pada umumnya, warga dan elit Muhammadiyah di seluruh tingkatan mendukung dan terlibat dalam kepengurusan PAN. Hingga sulit untuk menghindari penilaian akan adanya penghimpitan atau malah pengindetikan yang kelewat jauh antara Muhammadiyah dan PAN. Seolah PAN menjadi semacam “Partai (-nya warga) Muhammadiyah”.

Partai ini memang bisa dikatakan telah didirikan dan dipimpin oleh mantan ketua PP Muhammadiyah periode 1995-2000 hasil Muktamar ke-43 tahun 1995 di Banda Aceh. Yang

diakui beliau sebagai ijtihad politik untuk mengawal jalannya reformasi dan membangun

demokrasi pasca jatuhnya kekuasaan otoriter orde baru. Namun bagaimanapun, PAN

bukanlah bagian dari Muhammadiyah, walau Amien Rais dalam melakukan ijtihad politiknya

mendapat restu dari warga Muhammadiyah melalui Sidang Tanwir 5-7 Juli di Semarang dan juga Sidang Pleno 22 Agustus di Jakarta yang diperluas dengan mengundang ketua-ketua

(15)

Partisipasi politik warga dan elit Muhammadiyah yang demikian tinggi itu diakui memang merupakan hal penting dalam dinamika politik saat itu, karena reformasi menuntut konsolidasi demokrasi yang konkret melalui perlibatan diri dalam kegiatan politik ketimbang melakukan uzlah politik. Tetapi disadari pula, bahwa fenomena PAN menjadi batu ujian bagi Muhammadiyah, yakni antara tuntutan untuk tetap menjaga netralitas dengan kehendak memberi dukungan kepada partai pimpinan Amien Rais itu.

Dalam sejarahnya, sejak didirikan pada tanggal 18 November 1912 oleh K.H Ahmad

Dahlan, Muhammadiyah memang secara tegas telah mengikrarkan dirinya sebagai organisasi kemasyarakatan dengan orientasi pergerakan pada bidang sosial keagamaan, dan bukan didesain untuk berpolitik (praktis) ria. Dan K.H Ahmad Dahlan sendiri memang dikenal tidak memiliki ketertarikan untuk menjadi aktivis politik. Meski sangat akrab dengan tokoh-tokoh

politik pada zamannya, seperti pemimpin Syarikat Islam H.O.S Cokroaminoto dan para pimpinan tinggi Boedi Oetomo, ia tidak pernah merumuskan “ideologi politik” Muhammadiyah.

Adalah K.H Mas Mansur yang dapat dikatakan pertama kali memperkenalkan semacam “ideologi politik” Muhammadiyah yang sebelumnya tidak pernah terumuskan secara tegas dan eksplisit. Melalui kongres ke-18 tahun 1930-an di Solo, Mas Mansur, Ketua PP Muhammadiyah waktu itu, merumuskan suatu pandangan yang kemudian dapat disebut sebagai “ideologi politik” Muhammadiyah. Yakni bahwa Muhammadiyah berpendirian tidak mengutamakan salah satu partai politik di atas partai politik yang lain. Muhammadiyah memberi hormat terhadap partai-partai yang ada, utamanya partai-partai Islam dengan kehormatan yang sepadan.

Dalam Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang disahkan Sidang Tanwir 1950 rumusan tersebut lebih diperjelas lagi secara tegas bahwa Muhammadiyah memilih dan menempatkan dirinya berjuang dalam bidang kemasyarakatan dengan tiga fungsi utama, yakni dakwah ila’l khair (mengajak kepada kebaikan), amar ma’ruf (menjalankan kebaikan), dan nahi munkar (mencegah dan menjauhi keburukan). Strategi politik (kenegaraan) penting,

dan karena itu harus dipentingkan, tetapi tidak dilakukan dan atau melalui Muhammadiyah. Perjuangan politik harus dilakukan dengan alat perjuangan yang lain dan yang sama sekali berada “di luar” Muhammadiyah. Dan perjuangan ini-meski tidak berhubungan secara organisasional dengan Muhammadiyah- tetap harus berjalan berdampingan dengan sikap

saling pengertian (Thohari, 2005:190-191).

Dalam rangka khittah semacam itulah maka Muhammadiyah tidak akan terjun dalam

(16)

kekaryaan politik. Sikap ini bukan disebabkan oleh pandangan dan negatif dan atau pesimis terhadap perjuangan politik, apalagi anti-politik atau apolitik, melainkan semata-mata karena teori dan strategi perjuangan yang dipilih Muhammadiyah adalah gerakan dakwah dan sosial kemasyarakatan yang tidak kalah mulianya dibanding dengan perjuangan dalam bidang politik.

Lepas dari peredabatan internal itu, satu hal yang tampaknya tidak dapat dihapuskan dari kenyataan sosiologis bahwa kendati PAN tidak lahir langsung dari rahim organisasi

Muhammadiyah, namun keduanya memiliki keterikatan moral-politik dan historis satu sama lain. Yang mana hal itu terkait langsung dengan hasil keputusan Sidang Tanwir Muhammadiyah yang memberikan amanat kepada pimpinan pusat Muhammadiyah untuk melakukan dua hal; pertama, melakukan ijtihad politik guna mencapai kemaslahatan umat

dan bangsa secara maksimal, yang senantiasa dilandasi semangat Islam amar ma’ruf nahi

munkar. Kedua, menyusun agenda reformasi (konsep dan strategi reformasi Muhammadiyah) di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara menuju makin cepat terwujudnya masyarakat utama yang sejahtera.

Muhammadiyah sendiri cukup taktis dengan tetap berpijak pada Khittah Ujung

Pandang 1971 yang menjaga jarak yang sama dengan organisasi politik manapun, sehingga tidak mensubordinasikan diri dengan PAN dan relatif bebas dari kontaminasi politik yang keras dalam proses politik nasional. Secara de jure, tidak adanya hubungan organisasional antara Muhammadiyah dan PAN memang telah diperkuat melalui Sidang Pleno PP Muhammadiyah tanggal 22 Agustus dan 27 September 1998 yang memutuskan bahwa;pertama, antara keduanya tidak ada hubungan organisasional. Kedua, sesuai dengan ART Pasal 15, pimpinan Muhammadiyah di semua tingkatan yang akan merangkap jabatan sebagai pimpinan partai politik, diharuskan mengajukan izin kepada pimpinan pusat. Dan

ketiga, dilarang menggunkan gedung dan fasilitas persyarikatan untuk kegiatan partai politik mana pun. Akan tetapi, secara de facto, sulit untuk menyembunyikan fakta bahwa mayoritas elit pimpinan Muhammadiyah baik di tingkat pusat maupun di berbagai wilayah, daerah,

cabang, organisasi-organisasi otonom, dan pimpinan amal-amal usaha, ikut terjun menjadi pengurus PAN.

Bertolak dari anatomi kepengurusan tersebut, tentu dapat diperkirakan telah terjalin komunikasi politik di antara keduanya. Komunikasi yang berisi pesan-pesan politik antar dua

(17)

reformasi ini. Seluruh proses komunikasi politik yang dilakukan melibatkan berbagai aspek elemen penting yang menjadi ruang lingkupnya. Mulai dari relasi sosok elite kedua lembaga yang berperan sebagai komunikator politik, lambang dan bahasa sebagai pesan politik untuk membentuk opini publik, persuasi dan propaganda politik untuk menarik simpati, pemanfaatan media secara luas, hingga khalayak luas yang diharapkan akan menjadi simpatisan dan konstituen politik.

Sebagai partai yang memiliki keterikatan moral-politik dan historis dengan

Muhammadiyah, tentu PAN berharap agar warga Muhammadiyah menjadi basis konstituen utamanya. Demi mencapai hal itu, PAN perlu mendesain konsep janji politik mereka, agar sesuai dengan harapan mayoritas warga Muhammadiyah. Konsep yang sejalan dengan ajaran

dan gerakan tajdid Muhammadiyah di berbagai bidang sosial kemasyarakatan seperti

pendidikan, ekonomi, dan juga politik.

Untuk mendukung hal tersebut, keberadaan, posisi, dan sikap elite Muhammadiyah terhadap janji politik menjadi penting dalam hal ini untuk membentuk opini publik (warga Muhammadiyah) dan citra yang positif bagi PAN. Bahkan elite Muhammadiyah sebagai tokoh sentral dan panutan dapat menggiring warga Muhammadiyah agar mendukung PAN sebagai konstituennya. Sebab elite sebagaimana yang diungkapkan Keller, adalah sekelompok kecil orang dalam masyarakat yang memegang posisi dan peranan penting. Mereka menempati posisi di dalam masyarakat yang berada di puncak kekuasaan, untuk mempengaruhi proses politik dan memformulasikan kepentingannya. Bahkan menurut Robert Michels yang sering juga menyebut elite sebagai pemimpin, bahwa terdapat kecenderungan kuat pemimpin (elite) memiliki banyak sumber daya (seperti pengetahuan, pengalaman, financial,dll) yang sangat bermanfaat sehingga sulit tertandingi oleh anggota yang berusaha ikut ambil bagian mengambil kebijaksanaan. Hal ini didukung pula oleh realitas bahwa dalam setiap kelompok kehadiran elite (pemimpin) merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak kelompoknya karena setiap warga masyarakat membutuhkan pemimpin yang menjadi panutan bagi mereka dalam proses penciptaan keteraturan dan pola interaksi dalam

kelompoknya. Karena itu, tentu saja dukungan para elite ini sangat diharapkan oleh PAN sebagai partai yang ingin masuk dalam jajaran partai besar di Indonesia.

Tapi jika melihat fenomena yang terjadi, dimana PDS telah merapat dengan PAN, tentu hal ini akan membangun persepsi pribadi di kalangan elite Muhammadiyah dalam

(18)

memberi pengaruh yang besar terhadap PAN. Yakni dalam proses membangun dukungan warga Muhammadiyah terhadap partai berlogo matahari ini. Sebab jika persepsi elite cenderung positif yang mendukung, maka opini publik yang dibentuknya kepada warga Muhammadiyah juga akan cenderung positif dalam meningkatkan elektabilitas PAN. Dan sebaliknya, kemungkinan opini publik warga Muhammadiyah justru akan dibangun untuk cenderung menjatuhkan elektabilitas PAN jika persepsi elitenya menolak fenomena ini.

Jika melihat hasil dari tiga kali pemilu yang telah diikutinya, pencapaian elektabilitas

PAN belum dapat dikatakan memuaskan. Dimana pada pemilu 1999 hanya meraih posisi 5 dengan 7,12% (7.528.956) suara dengan jatah 34 kursi di DPR. Kemudian pada pemilu 2004 bertengger di peringkat 7 dengan 6,4% (7.303.324) suara dengan 53 kursi DPR. Hingga di pemilu 2009 lalu PAN kembali ke posisi 5 dengan 6,01% (6.254.580) suara dengan jatah 46

kursi di DPR. Data ini membuktikan pada kita bahwa meski peringkat yang dicapainya fluktuatif (naik-turun), namun kenyataannya perolehan suara yang diraihnya cenderung turun dalam tiap pemilunya. Bertolak dari hal ini, menarik untuk mempertanyakan apakah strategi politik PAN yang menjalin koalisi dengan PDS akan meningkatkan jumlah perolehan suaranya di pemilu 2014 mendatang? Termasuk bagaimana pula perolehan suaranya di Sumatera Utara?

Partai Amanat Nasional juga tentu mengharapkan warga Muhammadiyah Sumatera Utara akan menjadi konstituennya, seperti halnya di daerah lain. Muhammadiyah Sumatera Utara dengan jumlah anggota resmi (yang mendapat kartu anggota) mencapai 17.910 orang, merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat Sumatera Utara yang sangat majemuk. Jumlah ini belum lagi termasuk warga Muhammadiyah Sumatera Utara seluruhnya yang tidak menjadi pengurus organisasi secara resmi. Dan dengan jumlah cabang yang mencapai 129 dan 604 ranting kepengurusan, Muhammadiyah Sumatera Utara menjadi sebuah kekuatan sosial yang harus diperhitungkan turut andilnya dalam gerak kehidupan masyarakat. Jumlah ini tentu diperhitungkan pula oleh elit PAN Sumatera Utara dalam proses meraih suara mereka dalam pemilu.

Persoalan ini menarik untuk diteliti lebih jauh secara akademis, khususnya pada konteks relasi dalam komunikasi politik. Ketertarikan ini setidaknya, dibangun oleh beberapa

faktor: pertama, dari seluruh sub studi komunikasi yang telah peneliti pelajari selama

menjalani masa akademis, peneliti memiliki minat yang cukup besar pada komunikasi politik

(19)

relasi politik yang dijalin PAN dan PDS. Kedua, terjadinya fenomena relasi politik yang dijalin PAN dan PDS menarik perhatian peneliti secara pribadi. Peneliti melihat fenomena ini sebagai suatu dinamika politik Indonesia yang unik sekaligus menantang untuk digali lebih dalam. Karena secara tidak langsung melibatkan pemeluk dari dua agama besar di Indonesia. Terlebih apabila fenomena ini ditelusuri dari perspektif para elite Muhammadiyah yang memiliki hubungan historis dengan PAN itu sendiri.

Sementara pemilihan daerah dan masalah penelitian yang ditetapkan peneliti, juga

dilakukan berdasarkan faktor pertimbangan kedekatan geografis peneliti dengan objek dan narasumber yang terkait, sehingga materi penelitian dapat digali lebih mendalam selain juga membantu memudahkan peneliti. Di sisi lain penetapan masalah penelitian, yakni deskripsi persepsi elite ini Muhammadiyah terhadap fenomena relasi PAN dan PDS yang dijalin pada

tahun 2013 ini, dirasa tepat oleh peneliti untuk melihat dan mengetahui pandangan serta citra PAN dimata para elite ini menanggapi fenomena unik tersebut. Terutama menjelang pesta politik 2014 mendatang, persepsi para elite ini kemungkinan besar akan memberi pengaruh

pada perolehan suara PAN. Strategi ini akan membentuk image apakah PAN merupakan

partai politik yang sesuai dengan kepribadian warga Muhammadiyah.

Peneliti menyadarai bahwa telah ada beberapa penelitian yang dilakukan terhadap Muhammadiyah dalam konteks gerakan politiknya. Antara lain oleh Alfian Muhammadiyah (The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism, 1989) yang menekankan studinya pada aktivitas politik dan respons Muhammadiyah pada zaman penjajahan Belanda. Syaifullah (Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, 1997) yang membahas perilaku politik Muhammadiyah dalam Masyumi. Haedar Nashir (Perilaku Politik Elite Muhammadiyah di Pekajangan, 1998) yang memfokuskan analisanya pada perkembangan Muhammadiyah di Pekajangan. Serta Syarifuddin Jurdi (Elite Muhammadiyah dan Kekuasaan Politik) yang memaparkan tingkah laku politik elite Muhammadiyah pasca orde baru di Bima (Jurdi, 2004:6).

Kajian-kajian mengenai Muhammadiyah tersebut lebih banyak menggambarkan

persoalan politik yang dihadapi oleh Muhammadiyah secara pribadi pada saat tertentu. Namun, untuk penelitian dalam konteks politik Muhammadiyah yang langsung dan khusus dikaitkan dengan satu partai politik tertentu- dalam hal ini PAN- belum ada, setidaknya dalam lingkup Sumatera Utara. Karena itulah studi ini penting diteliti agar fenomena relasi

elit yang terjalin antara Muhammadiyah dan PAN dapat dijelaskan melalui persepsi poitik

(20)

pergerakan organisasi tempat bernaungnya secara utuh demi pembentukan dan peneguhan sikap, pandangan, dan perilaku politik yang sesuai idealisme pikiran dan hati nurani.

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan di atas, yang dijadikan titik tolak sekaligus pokok awal kajian dalam penelitian ini, ditarik fokus masalah yang akan berusaha dijawab seiring berjalannya proses penelitian ini. Fokus masalah tersebut dirumuskan dalam

pertanyaan pokok berikut :

 Bagaimana persepsi elite MuhammadiyahSumatera Utara terhadap fenomena relasi

politik yang dijalin Partai Amanat Nasional dan Partai Damai Sejahtera pada tahun 2013 ini dalam konteks komunikasi politik?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulis dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk menjelaskan pandangan dan sikap elite Muhammadiyah Sumatera Utara

terhadap fenomena relasi yang terjalin antara Partai Amanat Nasional dan Partai Damai Sejahtera di tahun 2013 ini dalam konteks komunikasi politik.

2. Untuk mengetahui akseptabilitas elite Muhammadiyah Sumatera Utara terhadap

Partai Damai Sejahtera yang menjalin relasi politik dengan Partai Amanat Nasional di tahun 2013 ini.

3. Untuk memaparkanpandangan dan sikap elite MuhammadiyahSumatera Utara

terhadap konsep inklusifitas Partai Amanat Nasional.

4. Untuk mengetahui relasi historis dan emosional antara Muhammadiyah dan Partai Amanat Nasional.

1.4 Manfaat Penelitian

Sementara manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi sebagai berikut :

(21)

2. Secara praktis, hasil studi ini diharapkan dapat memperluas wawasan dan pengetahuan masyarakat pembaca secara umum, khususnya jama’ah atau warga Muhammadiyah juga kader, simpatisan, serta konstituen Partai Amanat Nasional dan Partai Damai Sejahtera, demi pembentukan dan peneguhan sikap, pandangan, dan perilaku politik yang sesuai idealisme pikiran dan hati nurani.

3. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada DepartemenIlmu

Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan sebagai sumber bacaan, khususnya dalam bidang kajian komunikasi politik.

4. Secara sosial, penelitian akan menjadi bahan masukan sekaligus pertimbangan bagi

(22)

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1Komunikasi Politik

Kajian komunikasi politik pada awalnya berakar pada ilmu politik, meskipun penamaan lebih banyak dikenal dengan istilah propaganda. Ini dimulai pada tahun 1922 dengan penelitian dari Ferdinand Tonnies dan Walter Lippmann yang menliti tentang opini publik pada masyarakat, kemudian dilanjutkan oleh Bagehot, Maine, Byrce, dan Graha

Wallas di Inggris yang menelaah peranan pers dan pembentukan opini publik. Bahkan ketika

Harold D. Lasswell menulis disertasi doctor tentang Propaganda Technique in the World

War.

Komunikasi Politik menurut Dahlan(dalam Cangara, 2009:32-35) ialah satu bidang

atau disiplin yang menelaah perilaku dan kegiatan komunikasi yang bersifat politik mempunyai akibat politik, atau berpengaruh terhadap perilaku politik. Maka jika bertolak dari konsep komunikasi dan konsep politik, pengertian komunikasi politik dapat dirumuskan sebagai suatu proses pengoperan lambang-lambang atau simbol-simbol komunikasi yang berisi pesan-pesan politik dari seseorang atau kelompok kepada orang lain, dengan tujuan untuk membuka wawasan atau cara berpikir, serta mempengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak yang menjadi target politik.

Faktor paling penting dalam komunikasi politik terletak pada isi pesan yang bermuatan politik. Dan hal ini juga yang membedakannya dengan disiplin komunikasi lainnya dalam studi ilmu komunikasi. Sebab politik, seperti halnya komunikasi, adalah proses. Dan komunikasi politik melibatkan pembicaraan. Pembicaraan yang dimaksud disini bukanlah dalam arti sempit seperti kata yang diucapkan, melainkan pembicaraan dalam arti yang lebih inklusif, yang berarti segala cara orang bertukar simbol, seperti kata-kata yang dituliskan dan diucapkan, gambar, gerakan, sikap tubuh, perangai, dan pakaian. Ilmuwan politik Mark Roelofs (dalam Nimmo, 2005:8) mengatakan dengan cara sederhana, “politik adalah pembicaraan, atau lebih tepat, kegiatan politik adalah berbicara.” Ia menekankan

bahwa politik tidak hanya pembicaraan, juga tidak semua pembicaraan adalah politik. Akan tetapi, “hakikat pengalaman politik, dan bukan hanya kondisi dasarnya, ialah bahwa ia adalah kegiatan berkomunikasi antara orang-orang.”

Isi pesan yang sarat dengan muatan nilai-nilai politik ini kemudian juga turut memberi

(23)

dari sekadar penyampaian informasi politik, pembentukan citra politik, pembentukan opini publik, dan bisa pula untuk mengendalikan pendapat atau tuduhan lawan politik. Dan senada dengan tujuan itu, sekaligus sebagai tahap pendukung dalam proses pencapaiannya , terdapat beberapa fungsi yang terkait dengan pembuatan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah yang tak lain merupakan fungsi komunikasi politik itu sendiri, yang antara lain :

1. Fungsi Artikulasi Kepentingan

Proses mengolah aspirasi masyarakat yang bercorak ragam untuk disaring dan dirumuskan dalam bentuk rumusan yang teratur.

2. Fungsi Agregasi Kepentingan

Penggabungan berbagai kepentingan yang sama atau hampir sama untuk disatukan

dalam rumusan kebijakan lebih lanjut.

3. Fungsi Pembuat Kebijakan

Dijalankan oleh lembaga legislatif melalui berbagai hak yang dimiliki lembaga ini (inisiatif, angket, budget, interplasi, dan amandemen) lewat kerjasama dengan lembaga eksekutif.

4. Fungsi Penerapan Kebijakan

Dijalankan lembaga eksekutif beserta jajaran birokrasinya, yang tidak hanya sekedar pembuatan rincian dan pedoman pelaksanaan peraturan, tapi juga perlu membeberkan penafsiran atas aturan tersebut agar mudah dipahami dan dilaksanakan warga negara.

5. Fungsi Penghakiman Kebijakan

Membuat keputusan dan menetapkan solusi terhadap pertikaian atau persengketaan yang menyangkut persoalan peraturan, pelanggaran peraturan, dan penegasan fakta-fakta yang perlu mendapatkan keadilan (Ardial, 2009:40-44).

Terkait dengan kajian dan penelitian komunikasi politik, ilmuwan politik Harold Lasswell(dalam Nimmo, 2005:13). melahirkan model penelitian yang menunjukkan pada model analisis, yakni “siapa, berkata apa, kepada siapa, melalui saluran apa, dan bagaimana

efeknya.” Dengan rumusan itu, Dan Nimmo melakukan analisis tentang komunikasi politik yang menjadi ruang lingkup dalam rangka paradigma atau perspektif mekanistis. Ruang lingkup analisis tersebut mencakup :

 Analisis sumber / komunikator politik (siapa)  Analisis isi/pesan (berkata apa)

 Analisis khalayak (kepada siapa)

(24)

 Khalayak politik (kepada siapa)

 Dan efek politik (bagaimana efeknya)

Namun sesuai dengan fokus permasalahan yang ingin diteliti, maka dalam hal ini hanya dua lingkup poin komunikasi politik yang akan dibahas lebih lanjut, sebagai dasar teori dari penelitian ini, yakni komunikator politik sebagai sumber dan pembicaraan politik sebagai pesan.

2.1.1 Komunikator Politik

Dalam setting politik, siapa pun dapat menjadi komunikator politik. Proses opini-komunikasi begitu serba mencakup sehingga setiap orang di antara kita sekurang-kurangnya berpotensi untuk menjadi komunikator politik. Namun, fokus kita pada pembahasan teori ini

tidak begitu luas. Sebab kenyataannya relatif sedikit orang yang melakukan komunikasi politik secara tetap berkesinambungan. Mereka yang sedikit ini tidak hanya bertukar pesan politik, mereka adalah pemimpin dalam proses opini. Para komunikator politik ini, dibandingkan dengan warga Negara pada umumnya, ditanggapi dengan lebih bersungguh-sungguh bila mereka berbicara dan berbuat. Komunikator politik ini memainkan peran sosial yang utama, terutama dalam proses opini publik.

Untuk memahami sifat dan karakter komunikator politik ini, kita dapat melakukannya sesuai anjuran Leonard W. Doob (dalam Nimmo, 2005:30)., bahwa “jelas komunikator atau para komunikator harus diidentifikasi dan kedudukan mereka dalam masyarakat harus ditetapkan.” Berdasarkan hal itu, kita dapat mengidentifikasinya dengan tiga kategori, yakni politikus yang bertindak sebagai komunikator politik, komunikator professional dalam politik, dan aktivis atau komunikator paruh waktu (part-time).

a. Politikus Sebagai Komunikator Politik

Orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah harus dan memang berkomunikasi tentang politik. kita menamakan calon atau pemegang jabatan ini politikus. Aspek utama pekerjaan mereka adalah melayani beragam tujuan dengan

berkomunikasi. Meskipun begitu, menurut Daniel Katz pemimpin politik mengerahkan pengaruhnya ke dua arah, yakni mempengaruhi alokasi ganjaran dan mengubah struktur sosial yang ada atau mencegah perubahan demikian. Dalam kewenangannya yang pertama politikus itu berkomunikasi sebagai wakil suatu kelompok atau langganan. Pesan-pesan

(25)

Sebaliknya, politikus yang bertindak sebagai ideolog tidak begitu terpusat perhatiannya kepada mendesakkan tuntutan seorang langganan. Ia lebih menyibukkan dirinya untuk menetapkan tujuan kebijakan yang lebih luas, mengusahakan reformasi, dan bahkan mendukung perubahan revolusioner. Ideolog itu terutama berkomunikasi untuk membelokkan mereka kepada suatu tujuan, bukan mewakili kepentingan mereka dalam gelanggang tawar-menawar dan mencari kompromi.

Katz membedakan wakil partisan dan ideolog, tetapi bila dipandang sebagai

komunikator politik, perbedaan itu hanya dalam derajatnya, bukan dalam jenisnya. Kedua tipe politikus itu mempengaruhi orang lain, yakni mereka bertindak dengan tujuan mempengaruhi opini orang lain. Wakil partisan itu mengejar perubahan atau mencegah perubahan opini dengan tawar-menawar agar keadaannya menguntungkan bagi semua pihak.

Ideolog mempengaruhi bukan dengan mengendalikan situasi agar menguntungkan semua kepentingan, melainkan dengan menetapkan kepentingan yang bertentangan dan atau netral dan dengan meyakinkan orang kepada satu cara berpikir. Wakil adalah makelar yang membujuk orang lain agar “ikut dan setuju”, sedangkan ideolog adalah pesilat lidah yang menawarkan “gagasan yang lebih baik”.

b. Profesional Sebagai Komunikator Politik

Komunikator profesional adalah peranan sosial yang relatif baru, suatu hasil sampingan dari revolusi komunikasi yang sedikitnya mempunyai dua dimensi utama. Yakni munculnya media massa yang melintasi batas-batas rasial, etnis, pekerjaan, wilayah, dan kelas untuk meningkatkan kesadaran identitas nasional. Dan juga perkembangan serta-merta media khusus (seperti majalah untuk khalayak khusus, radio komunitas, dll) yang menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan. Baik media massa maupun media khusus mengandalkan pembentukan dan pengelolaan lambang-lambang dan khalayak khusus. Di sini masuklah komunikator profesional, yang mengendalikan keterampilan yang khas dalam mengolah symbol-simbol dan yang memanfaatkan keterampilan ini untuk menempa mata rantai yang menghubungkan orang-orang yang jelas

perbedaannya atau kelompok-kelompok yang diibedakan. Menurut James Carey, seorang komunikator profesional adalah seorang makelar simbol, orang yang menterjemahkan sikap, pengetahuan, dan minat suatu komunitas bahasa ke dalam istilah-istilah komunitas bahasa yang lain yang berbeda tetapi menarik dan dapat dimengerti. Komunikator profesional

(26)

Maka komunikator profesional adalah manipulator dan makelar simbol yang menghubungkan para pemimpin satu sama lain dan dengan para pengikut. Akan tetapi menurut Carey, yang sangat membedakan karakteristik komunikator professional adalah bahwa pesan yang dihasilkannya tidak memiliki hubungan yang pasti dengan pikiran dan tanggapannya sendiri. Komunikator profesional di bawah desakan atau tuntutan yang dibebankan oleh khalayak lain dan sumber asal. Seperti dalam politikus yang terbagi atas wakil partisan dan ideolog, komunikator profesional juga dibagi berdasarkan tekanan, yang

mencakup jurnalis dan promotor.

Kita mengenal jurnalis sebagai orang yang berkaitan dengan media berita dalam hal pengumpulan, persiapan, penyajian, dan penyebaran laporan mengenai peristiwa-peristiwa. Yang diantaranya meliputi, reporter, redaktur, koordinator berita, pengarah berita. Hingga

pemimpin redaksi yang bekerja pada koran, radio, televisi, dll.

Sebagai komunikator profesional, jurnalis secara khas adalah karyawan organisasi berita yang menghubungkan sumber berita dengan khalayak. Mereka bisa mengatur para pemimpin pemerintah untuk berbicara satu sama lain, menghubungkan para pemimpin dengan publik umum, menghubungkan publik umum dengan para pemimpin, dan membantu menempatkan masalah dan peristiwa pada agenda diskusi publik.

Promotor adalah orang yang dibayar untuk mengajukan kepentingan langganan tertentu. Yang termasuk ke dalam promoter adalah agen publisitas tokoh masyarakat yang penting, personel hubungan masyarakat pada organisasi swasta atau pemerintah, pejabat informasi publik pada jawatan pemerintah, sekretaris pers kepresidenan, personel periklanan perusahaan, manajer kampanye, dan pengarah publisitas kandidat politik, yang bekerja untuk kepentingan kandidat politik dan tokoh masyarakat lainnya, asisten administratif anggota legislatif, dan semua jenis makelar simbol lainnya.

Jurnalis dan promoter berbeda satu sama lain dalam tingkat hal-hal tertentu. Sejauh mana masing-masing mempunyai kewajiban utama untuk mendukung kepentingan sumber berita ketimbang menyingkap informasi yang dibutuhkan publik. Dan sejauh mana jurnalis

atau promotor lebih bergantung pada sumber atau khalayak bagi kehidupan profesional. c. Aktivis Sebagai Komunikator Politik

Tipe komunikator yang ketiga menurut Leonard W. Doob adalah aktivis. Apa yang disebut aktivis adalah mereka yang terlibat baik dalam politik maupun komunikasi dan

(27)

menemukan bahwa para pemuka pendapat mempunyai peran yang sangat penting dalam perubahan sikap. Mereka ini terbagi atas juru bicara kelompok kepentingan dan pemuka pendapat (opinion leader).

Pertama, juru bicara bagi kelompok kepentingan atau organisasi. Pada umumnya, orang ini tidak memegang ataupun mencita-citakan jabatan pada pemerintah, dalam hal ini komunikator tersebut tidak seperti politikus yang membuat politik menjadi lapangan kerjanya. Juru bicara ini biasanya juga bukan professional dalam komunikasi. Namun, ia

cukup terlibat baik dalam politik maupun dalam komunikasi sehingga dapat disebut aktivis politik dan semiprofesional dalam komunikasi politik. Ia berbicara untuk kepentingan yang terorganisasi merupakan peran yang serupa dengan peran politikus yang menjadi wakil partisan, yang mewakili tuntutan keanggotaan suatu organisasi dan tawar-menawar untuk

pemeriksaan yang menguntungkan. Dalam hal lain juru bicara ini sama dengan jurnalis, yaitu melaporkan keputusan dan kebijakan pemerintah kepada anggota suatu organisasi.

Kedua, jaringan interpersonal mencakup komunikator politik utama, yakni pemuka pendapat. Banyak warga negara yang dihadapkan pada pembuatan keputusan yang bersifat politis (seperti memilih calon), meminta petunjuk dari orang-orang yang dihormati mereka, apakah untuk mengetahui apa yang harus dilakukannya atau untuk memperkuat putusan yang telah dibuatnya. Orang yang dimintai petunjuk dan informasinya itu adalah pemuka pendapat. Mereka sangat mempengaruhi keputusan orang lain, seperti politikus ideologis dan promotor professional, mereka meyakinkan orang lain kepada cara berpikir mereka. Selain memberikan petunjuk, pemuka pendapat meneruskan informasi politik dari media berita kepada masyarakat umum. Dalam arus komunikasi dua tahap ini, gagasan sering mengalir dari media massa kepada pemuka pendapat, lalu menuju kepada bagian penduduk yang kurang aktif. Banyak studi yang membenarkan pentingnya kepemimpinan pendapat melalui komunikasi interpersonal sebagai alat untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang penting (Nimmo, 2005:30-38).

2.1.2 Pesan Dalam Komunikasi Politik

Pesan dalam kegiatan komunikasi membawa informasi yang disampaikan oleh komunikator. Pesan selain membawa informasi juga memberikan makna kepada siapa saja yang menginterpretasikannya. Pesan merupakan konten atau isi dari kegiatan komunikasi

secara umum, termasuk komunikasi politik.

(28)

dalam kegiatan komunikasi politik. komunikasi persuasi bahkan tidak hanya tergantung pada kekuatan komunikator yang menyampaikan, tetapi pada kedahsyatan isi atau konten pesan disampaikan untuk mempengaruhi khalayaknya.

Aristoteles (dalam Subiakto & Ida, 2012:40), yang melahirkan teori tentang retorika

politik, menjelaskan ada tiga elemen dasar dalam komunikasi sebenarnya. Pertama, yang

disebut dengan communication ideology atau penyampaian nilai-nilai atau ideologi yang

disampaikan oleh komunikator. Kedua, disebut dengan emotional quality atau perasaan

emosional yang dimiliki oleh khalayak pada saat komunikasi terjadi. Ketiga, yang membawa pesan komunikasi bermakna adalah core argument atau argumentasi intinya. Maka, jelas dari

yang dijelaskan oleh Aristoteles di atas bahwa pesan komunikasi mempunyai power atau

kekuatan untuk menyampaikan keinginan, nilai, ideologi, pemikiran, opini, dan sebagainya

dari para peserta komunikasi, terutama dalam komunikasi persuasi untuk membujuk atau mempengaruhi orang lain untuk berperilaku sesuai dengan keinginan komunikator.

Pesan merupakan inti dari komunikasi politik. Pesan bisa negatif atau positif tergantung dari persepsi dan pemaknaan yang muncul dari khalayak yang menerima dan memaknai pesan komunikasi yang disampaikan.

a. Pembicaraan Sebagai Pesan Politik

Dalam politik terdapat begitu banyak pembicaraan, sehingga seolah-olah pembicaraan itu adalah politik. Perhatikan saja betapa pentingnya pembicaraan dalam kehidupan sehari-hari para politikus, baik pejabat maupun calon pejabat. Kebanyakan di antara kita mengenal presiden atau pejabat lainnya lewat pembicaraannya (dalam konferensi pers, pidato, pernyataan tertulis, dsb) atau karena orang lain membicarakan tentang dia. Para jurnalis menelaah setiap katanya untuk mencari nuansa, sindiran, atau petunjuk tentang apa yang akan terjadi.

Melimpahnya wacana politik bukanlah satu-satunya penyebab politik dikira sama dengan pembicaraan. Pembicaraan mencakup jauh lebih banyak daripada kegiatan verbal lisan atau tertulis. Orang berbicara satu sama lain bahkan jika tak sepatah kata pun yang

diucapkan. Dalam pembicaraan politik tersebut, poin intinya terletak pada proses negosiasi politik.

Negosiasi politik ini bertujuan mencapai pengertian bersama di antara pihak-pihak tentang apa makna syarat-syarat persetujuan yang diterima. Mereka berharap menciptakan

(29)

tiga jenis pembicaraan yang mempunyai kepentingan politik yang pasti dan jelas sekali politis.

Pertama, pembicaraan kekuasaan yang mempengaruhi orang lain dengan ancaman

atau janji. Bentuknya yang khas adalah, “jika anda melakukan X, saya akan melakukan Y.” di sini “X” adalah sikap orang lain yang diinginkan oleh pembicara, “Y” adalah maksud yang dinyatakan untuk memberikan lebih banyak (janji) atau lebih sedikit (ancaman) kenikmatan atas sesuatu bila sikap itu dilakukan. Kunci

pembicaraan kekuasaan ialah bahwa “saya” mempunyai cukup kemampuan untuk mendukung janji maupun ancaman, dan bahwa yang lain mengira bahwa pemilik kekuasaan itu akan melakukannya.

Kedua, pembicaraan pengaruh terjadi tanpa saksi-saksi seperti itu, “jika anda

melakukan X. anda akan melakukan (merasa, mengalami, dsb) Y.” Janji, ancaman, penyuapan, dan pemerasan adalah alat tukar pada komunikasi kekuatan. Sedangkan pada komunikasi pengaruh alat-alat itu diganti dengan nasihat, dorongan, permintaan, dan peringatan. Seperti ditunjukkan oleh Bell, hubungan kekuasaan berdasar pada kemampuan memanipulasi sanksi positif atau negatif, namun pada pemberi pengaruh (karena prestise dan reputasinya) dengan berhasil memanipulasikan persepsi atau pengaharapan orang lain terhadap kemungkinan mendapat untung atau rugi.

Ketiga, pembicaraan autoritas yakni pemberian perintah. Syarat-syarat tidak ada, dan

pernyataan autoritas adalah, “lakukan X” atau “dilarang melakukan X.” Yang dianggap sebagai penguasa sah adalah suara autoritas dan memiliki hak untuk dipatuhi. Sumber-sumber pengesahan itu, dengan demikian sumber-sumber autoritas sangat berbeda-beda. Misalnya seperti keyakinan religius atas sifat-sifat penguasa, penguasa adat, kedudukan resmi, dll. Apa pun sumbernya, pembicaraan autoritas

lebih merupakan bentuk perintah daripada bentuk bersyarat (contingent) yang

merupakan ciri khas kekuasaan dan pengaruh.

Jadi, pembicaraan itu penting bagi politik, dan jika dipandang secara luas, politik

adalah pembicaraan. Yakni pembicaraan yang berkembang tentang kekuasaan, pengaruh, dan autoritas. Pembicaraan dengan perbendaharaan kata yang terus-menerus berkembang dan yang kita ingin menelaahnya secara lebih rinci.

b. Simbol dan Bahasa Dalam Pembicaraan Politik

(30)

menggunakannya. Bahwa berbagai komunikator politik turut berdiskusi dengan menggunakan kata-kata yang sama untuk menunjukkan hal-hal yang sama merupakan masalah. Agar hal itu terjadi, pembicaraan politik harus menjadi pertukaran apa yang oleh George Herbert Mead disebut lambang-lambang berarti (signifikan).

Bagi Mead (Nimmo, 2005:80), berpikir selalu melibatkan lambang. Lambang mana pun adalah lambang signifikan jika ia mengakibatkan tanggapan yang sama pada orang lain yang dikumpulkannya di dalam diri pemikir. Maka lambang signifikan adalah lambang

dengan makna atau pengertian bersama bagi semua pihak dalam percakapan. Makna bersama, seperti telah kita katakan, tidak ditentukan. Sebab makna dan tanggapan terhadap suatu lambang tidak sama bagi setiap orang. Lambang signifikan tidak ada sebelum percakapan, tetapi muncul melalui pengambilan peran bersama, suatu proses interaksi sosial.

Jadi, lambang signifikan yang menghasilkan perbendaharaan kata politik bersama tumbuh dari negosiasi dan renegosiasi para komunikator politik yang berkesinambungan. Melalui penyusunan sosial lambang-lambang signifikan, pembicaraan politik menyajikan seluruh bidang diskusi bersama yang memelihara dan memperbesar peluang bagi orang-orang untuk melakukan pembicaraan di massa depan yang ditujukan untuk menyesuaikan kepentingan mereka yang berbeda-beda.

Gambar 1

Hubungan antara lambang, interpretasi, dan makna

Interpretasi

Melambangkan Mengacu Kepada

(hubungan langsung) (hubungan langsung yang lain)

Lambang Rujukan

Mewakili

(31)

Dengan demikian maka kegiatan simbolik terdiri atas orang-orang yang menyusun makna dan tanggapan bersama terhadap perwujudan lambang-lambang referensial dan kondensasi dalam bentuk kata-kata, gambar, dan perilaku. Dengan mengatakan bahwa makna dan tanggapan itu berasal dari pengambilan peran bersama, kita meminta perhatian kepada suatu fungsi lambang yang penting, yaitu bahwa lambang merangsang orang untuk memainkan peran dalam proses komunikasi politik.

Sementara di sisi lain, jika lambang adalah kata-kata dari pembicaraan politik, maka

bahasa adalah permainan kata dari wacana itu. Meski para sarjana memilik pendapat yang berbeda dalam hal definisi, tetapi ada konsensus bahwa bahasa adalah suatu sistem komunikasi yang :

 Tersusun dari kombinasi lambang-lambang signifikan (tanda dengan makna dan

tanggapan bersama bagi orang-orang) di dalamnya,

 Signifikansi lambang-lambang itu lebih penting daripada situasi langsung tempat

bahasa itu digunakan, dan

 Lambang-lambang itu digabungkan menurut peraturan tertentu.

Bahasa sebagai lambang menjadi katalisator dunia subjektif yang di dalamnya ketidakpastian diterangkan dan penyebab tindakan yang tepat menjadi jelas karena setiap lambang memadatkan dan mengatur ulang perasaan, ingatan, persepsi, dan emosi, suatu penstrukturan yang berbeda-beda menurut situasi sosial orang. Kata-kata dan permainan kata tidak hanya memberi nama kepada objek, kata juga menempatkan objek tertentu ke dalam kelas objek, dengan demikian memberikan bimbingan untuk memandang, membandingkan, mempertimbangkan, dan menilai.

Terdapat dua jenis bahasa, yakni bahasa verbal dan nonverbal. Apa yang telah kita bicarakan terkait bahasa verbal berlaku juga bagi bahasa nonverbal. Bahasa verbal adalah diskursif, yaitu lambing-lambang yang menyusunnya (kata, frasa, notasi matematis, sandi, titik-titik pada peta, dan hal-hal serupa) yang membantu kita berpikir cermat, membuat pernyataan harfiah, dan merekam informasi. Ada sifat kognitif yang kuat tentang

bahasa-bahasa diskursif (verbal) tersebut. bahasa-bahasa nonverbal adalah nondiskursif, ia membantu mengungkapkan hal-hal yang sukar dipikirkan secara cermat (fantasi, kasih sayang, emosi, nuansa halus, misteri, perasaan) yang sukar dinyatakan dengan cara yang lugas.

Dalam memikirkan bahasa verbal dan nonverbal ada dua hal yang harus diingat.

Pertama, komunikasi baik verbal maupun nonverbal adalah kegiatan, apakah itu kata yang diucapkan, jeda, anggukan kepala, atau ekspresi lain. Dia adalah tindakan yang apabila terjadi

(32)

modus wacana nonverbal, bahwa kedudukan, ekspresi, atau gerakan tidak pernah membawakan makna dengan sendirinya atau tentang dirinya sendiri. Tetapi, sebagai kegiatan simbolik masing-masing memperoleh makna dari konteks tempat ia terjadi dan tanggapan orang terhadapnya, tepat seperti pesan-pesan yang disampaikan secara verbal, baik lisan maupun tulisan (Nimmo, 2005:82-84).

2.2Persepsi

Persepsi menurut Desiderato adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau

hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Hubungan

persepsi dengan stimuli sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi dan memori (Dalam Rakhmat, 2005:51). Sedangkan menurut Dedy Mulyana, Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku (Mulyana, 2005:167).

Salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi ialah perhatian. Menurut Kenneth E. Andersen perhatian adalah proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah. Perhatian terjadi bila kita mengkonsentrasikan diri pada salah satu alat indera kita, dan mengesampingkan masukan-masukan melalui alat indera yang lain.

Selain perhatian, persepsi juga ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional. David Krech dan Richard S. Crutchfield menyebut kedua faktor tersebut faktor fungsional dan faktor struktural.

2.2.1 Faktor Fungsional yang Menentukan Persepsi

Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, dan hal-hal lain yang termasuk apa yang kita sebut sebagi faktor-faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik pihak yang memberikan respons pada stimuli itu. Faktor-faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi lazim disebut sebagi

(33)

bahwa penilaian terhadap objek dalam hal beratnya bergantung pada rangakaian objek yang dinilainya.

Dalam kegiatan komunikasi, kerangka rujukan mempengaruhi bagaimana orang memberi makna pada pesan yang diterimanya. Menurut McDavid dan Harari, para psikolog menganggap konsep rujukan ini amat berguna untuk menganalisa interpretasi perceptual dari peristiwa yang dialami (Rakhmat, 2005:55-58).

2.2.2 Faktor Struktural yang Menentukan Persepsi

Faktor-faktor struktural berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Para psikolog Gestalt, seperti Kohler, Wartheimer, dan Koffka, merumuskan prinsip-prinsip persepsi yang bersifat struktural. Prinsip-prinsip ini kemudian terkenal dengan teori Gestalt. Menurut teori Gestalt, bila kita mempersepsi sesuatu, kita mempersepsinya sebagai suatu keseluruhan. Kita tidak melihat bagian-bagiannya lalu menghimpunnya. Dengan kata lain, bagian-bagian medan yang terpisah (dari medan persepsi) berada dalam interdependensi yang dinamis (yakni dalam interaksi), dan itu karena dinamika khusus dalam interaksi ini menentukan distribusi fakta dan kualitas lokalnya. Maksudnya, jika kita ingin memahami suatu peristiwa, kita tidak dapat meneliti fakta-fakta yang terpisah, kita harus memandangnya dalam hubungan keseluruhan.

Karena manusia selalu memandang stimuli dalam konteksnya, dalam strukturnya, maka ia pun mencoba mencari struktur pada rangkaian stimuli. Struktur ini diperoleh dengan jalan mengelompokkan berdasarkan kedekatan atau persamaan. Prinsip kedekatan menyatakan bahwa stimuli yang berdekatan satu sama lain akan dianggap satu kelompok. Jadi, kedekatan dalam ruang dan waktu menyebabkan stimuli ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama (Rakhmat, 2005:58-62).

2.2.3 Dalil-Dalil Persepsi

Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk dalam faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakter orang yang memberikan respons pada stimuli tersebut. Terhadap satu informasi yang sama, beberapa orang dapat menarik kesimpulan yang berbeda, dikarenakan

(34)

Pertama, persepsi bersifat selektif secara fungsional. Dalil ini berarti bahwa objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya objek-objek-objek-objek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepi. Mereka memberikan contoh pengaruh kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional, dan latar belakang budaya terhadap persepsi.

Kedua, medan perseptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. Kita mengorganisasikan stimuli dengan melihat konteksnya. Walaupun stimuli yang kita terima itu tidak lengkap, kita akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian

stimuli yang kita persepsi.

Ketiga, sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur ditentukan pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Menurut dalil ini, jika individu dianggap sebagai anggota kelompok, semua sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan

dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknya, dengan efek yang berupa asimilasi atau kontras. Keempat, objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu atau menyerupai satu sama lain, cenderung ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama. Pada persepsi sosial, pengelompokan tidak murni struktural, sebab apa yang dianggap sama atau berdekatan oleh seorang individu, tidaklah dianggap sama atau berdekatan oleh individu yang lain (Rakhmat, 2005:56-61).

2.3Fenomenologi

Filsafat fenomenologi merupakan suatu pemikiran filosofis yang dipakai terutama berhubungan dengan usaha mencari penyelesaian hubungan lahiriah, alamiah dengan ciptaan alam di dalam dunia kehidupan. Fenomenologi dimaksudkan untuk menjadi suatu ilmu

deskriptif dan secara sistematika yang ketat (rigorous) dapat menjelaskan mengenai

fenomena yang dikenal oleh kesadaran secara langsung. Fenomenologi bergerak di bidang yang pasti.

Fenomenologi berasal dari kata fenomenon, suatu padanan dari bahasa Inggris

phenomenon yang berasal dari kata Yunani phainein yang berarti memperlihatkan dengan bentuk pasifnya terlihat, atau yang tampil terlihat jelas di hadapan kita. Kata itu juga

memiliki akar yang sama dengan kata fancy dan fantacy yang berarti imajinasi. Jadi

fenomenon dapat saja tampil di dalam pikiran kita sejauh dia itu jelas. Fenomenologi adalah teori tentang fenomenon (Praja, 2003:179).

(35)

Sehingga dalam berbagai hal kita dapat mempelajari atau memahami sesuatu dari gejala atau penampakan. Yakni hal-hal yang menyangkut kenyataan sebagaimana tampaknya. Fenomenologi, dikemukakan oleh Edmund Husserl (1895-1938) sebagai tokoh terpentingnya. Husserl(L. Siregar, 2005 : 7-8) mengatakan :

“This phenomenology, like the more inclusive pure phenomenology of experiences in general, has, as its exclusive concern, experiences intuively seizable and analyzable in the pure generality of their essence, not experiences empirically perceived and treated as real facts, as experiences of human or animal experients in the phenomenal world that we posit as an empirical fact. This phenomenology must bring to pure expression, must describe in terms of their essential concepts and their governing formulae of essence, the essence which directly make themselves known in intuition, and the connections which have their roots purely in such essences. Each such statement of essence is an apriori statement in the highest sense of the world.”

Fenomenologi ini sebagaimana halnya fenomenologi murni yang lebih inklusif tentang pengalaman secara umum kepedulian khusus, pengalaman yang dapat dideskripsikan dan dianalisis secara intuitif dalam hal umum yang murni, mengenai esensi bukan pengalaman yang diterima dan diperlakukan secara empiris sebagai fakta riil, seperti halnya pengalaman manusia atau hewan dalam dunia fenomenal yang kita asumsikan sebagai suatu fakta empiris. Fenomenologi ini harus dibawa kepada ekspresi murni, harus dapat menggambarkan arti konsep esensinya dan formula yang mengatur esensinya, esensi yang secara langsung membuat hal itu dapat dikenal dalam intuisi dan hubungan dengan di mana mereka berakar secara murni. Setiap pernyataan esensi merupakan pernyataan apriori dalam arti yang paling tinggi.

2.3.1 Filsafat Fenomenologi

Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang

sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”.

Gambar

Gambar 1
Gambar 2 Lambang Partai Amanat Nasional
Gambar 3 Lambang Partai Damai Sejahtera
Gambar 5
+7

Referensi

Dokumen terkait

Karakteristik sosial pedagang cenderung tidak mengalami perubahan sejak awal dibangunnya pasar sampai saat ini karena sudah dalam kondisi baik.Karakteristik ekonomi

Regional teams of the Anti Malaria Campaign already carry out control activities for dengue, another mosquito-borne disease, which is now a leading public health problem in

Pengujian hipotesis untuk membuktikan bahwa persepsi tentang penyakit berpengaruh tidak langsung terhadap perilaku pencegahan kanker serviks melalui motivasi sehat dengan

Selain menggunakan sistem yang digunakan diatas , phak perbankan syari’ah berpedoman pada undang-undang no 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang no 7 tahun 1992

sebagai pencengkaman atau dominasi sesuatu pihak ke atas pihak lain yang secara relatif lebih lemah, dari segi ekonomi, politik, dan sosial..  Merujuk kepada

1. Perilaku kenakalan remaja di Dusun Mejing, peneliti menemukan berbagai jawaban yang didapatkan dari pengamatan, perbincangan dan wawacara yaitu berbicara kotor,

Hasil analisis sensitivitas ini selaras dengan Ariningsih (2012) yang menyatakan bahwa usahatani salak pondoh di Desa Sukodono Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang,

Puji Syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat, rahmat, kesehatan, akal budi serta bimbingan-Nya sehingga Landasan Teori dan Program (LTP) Projek Akhir