Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S .Sy)
Oleh :
PUTRI RAHMAWATI NIM : 1111044100018
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ( A H W A L S Y A K H S I Y Y A H ) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana stara 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 08 Oktober 2015
DALAM PERMOHONAN ITSBAT NIKAH ( Studi Analisis Penetapan Nomor 094/Ptp.P/2013/PA.JS). Program Studi Hukum Keluarga, Konsentrasi Peradilan Agama, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015, x + 60 halaman + 16 Lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan hakim dalam memutuskan perkara permohonan itsbat nikah. Karena masih sangat minim pengetahuan masyarakat akan dampak dari tidak dicatatkan pernikahanya di KUA (Kantor Urusan Agama).
Metode penelitian yang di gunakan adalah penelitian pustaka berupa studi dokumentasi terhadap putusan nomor 094/Pdt.p/2013/Pa.JS dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data diperoleh dari dokumen dan wawancara, kemudian diolah dan dianalisis menggunakan analisis isi (konten analisis).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa persaksian di persidangan menjadi hal penting dalam membuktikan dalil permohonan para pemohon agar terkabulkannya itsbat nikah di Pengadilan Agama. guna untuk mendapatkan akta nikah yang di buat oleh Pegawai Pencatat Nikah di KUA (kantor Urusan Agama).
Dampak dari penolakan hakim ini terhadap perkara itsbat nikah akan menimbulkan mudharat kepada para pihak yang mengajukan itsbat nikah. Diantaranya: 1. Terhadap suami istri, mereka tidak mempunyai salinan buku akta nikah sebagai akta otentik dari perkawinan, dan 2. Anak yang dihasilkan dari perkawinan itu tidak dapat dilindungi hukum apabila terjadi perpisahan antara kedua orang tua.
Kata Kunci : Penolakan Hakim, Itsbat Nikah
Pembimbing : Dra. Maskufa, M.A
vi
KATA PENGANTAR
Al-hamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan inayah-Nya sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan. Selanjutnya shalawat dan salam senantiasa kami persembahkan
kepada baginda Nabi Muhammad Saw, yang telah membimbing umatnya ke jalan
yang benar sekaligus menyempurnakan akhlak manusia melalui petunjuk illahi.
Dalam penyusunan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
penulis temukan, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-Nya,
kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung
maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya
sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah
sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Phd., selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M. Ag., dan Bapak Arip Purkon, MA., selaku
Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Dra. Hj. Maskufa, M.A, dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu,
tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.
4. Dr. KH. A. Juani Syukri, Lc.,MA, dosen pembimbing akademik yang
vii
6. Segenap bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Prodi
Al-Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya
kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.
7. Seluruh staf Pengadilan Agama Jakarta Selatan, khususnya Bapak Drs.
Sunardi M, S.H., M.H.I.
8. Ibu Hakim Dra. Hj. Lelita Dewi, SH, M.Hum yang telah meluangkan
waktunya untuk penulis.
9. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam
pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
10. Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda H. Sobur dan Ibunda Hj.
Fatmawati yang selalu memberikan dorokan, bimbingan, kasih sayang, dan
do’a tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan
rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka.
11. Doa dan harapan penulis panjatkan kepada kakanda Aan Supratman, S.Pdi,
dan adinda Ahmad Fiqih Qurtubi yang senantiasa memberikan semangat dan
doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
12. Keluarga Besar Bapak H. Abdul Khoir dan Keluarga Besar Bapak H. laman
yang selalu memberikan dorongan semangat yang tak terhingga, dari materi
viii
13. Chaerul Rizka Aulia, terima kasih atas support dan doanya.
14. Terima kasih untuk para sahabat Nabila Al- halabi, Ayu Cyntia Dewi, Nurseha
Satyarini, Aisyaturridho, Farda Chalida, Atas support dan doanya.
15. Seluruh keluarga Besar Alumni Pondok Pesantren Attqwa Pusat Putri dan
Putra yang selalu memberikan support dan motivasi yang penulis tidak
sebutkan namanya satu persatu.
16. Terima kasih untuk teman-teman KKN Berlian tahun 2014 atas support dan
doanya.
17. Teman-teman Keluarga Besar Peradilan Agama angkatan 2011 kelas A dan B
yang menjadi teman seperjuangan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang
berlipat ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan
mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda.
Penulis berharap skripsi ini dpaat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi
ini.
Ciputat, 08 Oktober 2015
ix
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah ... 1
B. PembatasandanPerumusanMasalah ... 4
C. TujuandanManfaatPenelitian ... 5
D. KajianTerdahulu ... 6
E. kerangkaTeoritik ... 7
F. MetodePenelitian... 10
G. SistematikaPenulisan ... 13
BAB II KAJIAN TEORI ITSBAT NIKAH A. PengertianNikahdanItsbatnikah... 14
B. DasarHukumItsbatNikah... 17
C. AkibatHukumItsbatNikah ... 18
D. HubunganItsbatNikahdenganPencatatanPerkawinan ... 21
BAB III DESKRIPSI PENETAPAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN A. PeristiwaHukum ... 33
B. Pertimbangan Hakim ... 35
x
BAB IV ANALISIS PENETAPAN HAKIM TENTANG TIDAK DIKABULKANNYA ITSBAT NIKAH
A. Pandangan Hakim TentangPenolakanItsbatNikah ... 43
B. AnalisisPenulis... 46
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 54
B. Saran-saran... 55
DAFTAR PUSTAKA ... 57
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan momentum yang sangat penting bagi
perjalanan hidup manusia. Perkawinan secara otomatis akan mengubah status
laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Setelah perkawinaan kedua belah
pihak akan menerima beban dan tanggung jawab masing-masing. 1 Tanggung
jawab dan beban itu bukanlah sesuatu yang mudah dilaksanakan, sehingga
mereka harus sanggup memikul dan melaksanakannya. Perkawinan
merupakan pintu awal antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
untuk melangsungkan kehidupan bermasyarakat, karena pada hakikatnya
seorang manusia hidupnya saling membutuhkan antara yang satu dengan yang
lainnya.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 1
ayat (1) menyebutkan dalam perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai pasangan suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, pengertian
perkawinan dalam ajaran agama Islam mempunyai nilai ibadah, sebagaimana
ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang
sangat kuat atau “mitsâqan ghalîdzan” untuk mentaati perintah Allah dan
1
2
melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yangsakinah, mawaddah, warohmah.
Perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (1)
disebutkan, “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Jadi perkawinan yang sah
menurut hukum perkawinan nasional adalah perkawinan yang dilaksanakan
menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam,
Kristen/Katholik, Hindu/Budha. Kata “hukum masing-masing agamanya”
berarti hukum dari salah satu agamanya itu masing-masing bukan berarti
“hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agamanya yang dianut oleh
kedua mempelai atau keluarganya.2
Untuk mencapai perkawinan yang mempunyai kekuatan hukum maka
perkawinan harus dicatat, karena pencatatatan perkawinan memberikan
kepastian hukum dalam suatu ikatan lahir batin. Undang-undang tentang
Perkawinan pasal 2 ayat (2) sudah mengatur jelas untuk warga Negara
Indonesia akan pentingnya pencatatan perkawinan. Pasal tersebut berbunyi
“tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Bagi pasangan suami istri karena satu dua hal yang menyebabkan akta
nikahnya tidak ada seperti hilang, kebakaran atau di ambil orang, maka ada
satu institusi yang dalam KHI pasal 7 ayat 3 disebutkan dengan itsbat nikah.
Itsbat nikah atau penetapan nikah ini membuka kesempatan kepada mereka
2
untuk mengajukan permohonan itsbat kepada Pengadilan Agama. Inilah
manfaat yang bersifat represif dari pencatatan nikah. Hal ini dimaksudkan
untuk membantu masyarakat agar di dalam melangsungkan perkawinan tidak
hanya mementingkan aspek-aspek hukum fikih saja, akan tetapi aspek-aspek
keperdataan juga perlu diperhatikan secara seimbang. Jadi sekali lagi
pencatatan perkawinan merupakan usaha pemerintah untuk mengayomi
masyarakat demi terwujudnya ketertiban dan keadilan. 3
Pernikahan seperti ini seringkali menimbulkan mudarat terhadap istri dan/anak yang dilahirkan terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah, hak
waris dan lain sebagainya. Di dalam ketentuan umum pernikahan dibawah
tangan itu hukumnya adalah sah karena telah terpenuhi syarat dan rukun
nikah, tetapi haram jika terdapatmudaratnya.4
Kebanyakan dari para pelaku pernikahan di bawah tangan hanya
memikirkan yang terpenting pernikahan mereka sah di mata agama,
sedangkan pernikahan seperti itu tidak bisa di lindungi oleh hukum. Mereka
baru menyadari akan pentingnya pencatatan pernikahan ketika terjadi
problematika hukum misalnya, ketika ingin mengurus pensiun untuk
tunjangan anak, dan ketika terjadi perceraian, hak-hak istri tidak dapat di
selamatkan oleh hukum. Agar pernikahan mereka dapat di lindungi oleh
hukum maka pernikahan dibawah tangan harus dicatatkan dan dapat
mengajukan itsbat nikah kepengadilan agama.
3
Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional(Jakarta : PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012), Cet. Ke-2, h. 13.
4Ma’ruf Amin,
4
Dengan demikian adanya mudarat dari pernikahan di bawah tangan, termasuk diantaranya tentang penolakan permohonan itsbat nikah yang
diajukan di Pengadilan Agama. Maka berdasarkan kenyataan itulah,
mendorong penulis untuk membashas dan mencari kejelasan mengenali
“PENOLAKAN HAKIM DALAM PERMOHONAN ITSBAT NIKAH
(Studi Analisis Penetapan Nomor 094/ Pdt.P/ 2013/ PA JS)”.
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis sangat perlu untuk
membatasi penelitian ini, agar permasalahan dalam penelitian ini tidak
meluas serta menjaga kemungkinan penyimpangan dalam penelitian ini,
maka penelitian ini akan dibatasi pada penetapan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan tentang itsbat nikah yang tidak di kabulkan oleh hakim.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan diatas maka masalahnya dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep Itsbat Nikah dalam hukum perkawinan Islam ?
2. Bagaimana pandangan atau pertimbangan hakim dalam menolak
Itsbat Nikah pada penetapan Nomor 094/Pdt.P/2013/PA. JS di
Pengadilan agama Jakarta Selatan?
3. Bagaimana dampak penolakan itsbat nikah dalam penetapan Nomor
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui konsep itsbat nikah dalam hukum perkawinan
Islam.
2. Untuk mengetahui pandangan atau pertimbangan hakim dalam
penolakan itsbat nikah pada penetapan Nomor 094/Pdt.P/2013/PA.JS
di pengadilan agama Jakarta Selatan.
3. Untuk mengetahui dampak dari penolakan itsbat nikah dalam
penetapan Nomor 094/Pdt.P/2013/PA.JS terhadap status perkawinan
pemohon.
2. Manfaat Penelitian
1. Dalam bidang akademik memperkaya wawasan khususnya bagi
penulis serta pengembangan ilmu dibidang syariah khususnya dalam
hukum perkawinan di Indonesia.
2. Untuk memberikan masukan tambahan bagi mahasiswa atau kaum
akademisi yang akan bergerak sebagai praktisi hukum kelak.
3. Untuk memberi wawasan dan pemahaman terhadap masyarakat luas
mengenai perkawinan yang tidak dicatatakan oleh PPN (Pegawai
Pencatat Nikah) dan kaitannya dengan konsep itsbat nikah.
4. Untuk memberi masukan tambahan terhadap calon pengantin bahwa
6
D. Kajian Terdahulu
Banyak karya ilmiah yang mengulas tentang Hukum Keluarga dalam
khazanah hukum Islam di Indonesia. Begitu pula secara khusus karya ilmiah
yang membahas itsbat nikah dapat dikatakan sudah mulai beredar dan
muncul. Karya ilmiah terdahulu tersebut adalah:
1. Judul skripsi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Itsbat Nikah di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Oleh: saiful Hadi (Nim:
204044102982) Peradilan Agama, Syariah dan Hukum, Tahun 2010.
Pada skripsi ini membahas tentang faktor apa saja yang mempengaruhi
adanya itsbat nikah, dan bagaimana para hakim mengabulkan
permohonan itsbat nikah, sedangkan penulis membahas itsbat nikah yang
tidak diterima oleh hakim (Studi Analisis Penetapan Nomor
094/Pdt.P/2013/PA.JS).
2. Judul skripsi Itsbat Nikah Dalam Perkawinan (Analisis Yuridis Penetapan
Nomor 083/Pdt.P/PA.JS). Oleh: Indro Wibowo (Nim: 207044100425)
Peradilan Agama, Syariah dan Hukum, Tahun 2011. Pada skripsi ini
membahas tentang kebijakan hakim memberikan penetapan itsbat nikah
dan alasan yang menyebabkan itsbat nikah yang dilakukan oleh M. Nasir
bin Mamin dan Dahliana binti Matsanih mengajukan itsbat nikah, dan
pertimbangan hakim, sedangkan penulis membahas itsbat nikah yang
tidak diterima oleh hakim (Studi Analisis Penetapan Nomor
094/Pdt.P/2013/PA.JS).
3. Judul skripsi Legalitas Hukum Pernikahan Sirri dengan Itsbat Nikah di
Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Oleh: Ayuha (Nim: 106044101391,
Peradilan Agama, Syariah dan Hukum, Tahun 2011. Skripsi ini
nikah, sedangkan penulis membahas itsbat nikah yang tidak diterima oleh
hakim (Studi Analisis Penetapan Nomor 094/Pdt.P/2013/PA.JS).
E. Kerangka Teoritik
Perkawinan dalam Islam sangatlah dianjurkan, karena perkawinan
mempunyai nilai-nilai keagamaan, sebagai wujud ibadah kepada Allah SWT
dan Sunnah Nabi. Di samping mempunyai nilai-nilai kemanusiaan untuk
memenuhi naluri hidup sebagai manusia guna melestarikan keturunan hidup
menumbuhkan rasa kasih sayang dalam hidup bermasyarakat.5
Pencatatan perkawinan sama halnya dengan pencatatan suatu peristiwa
hukum dalam kehidupan misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam
daftar pencatatan yang disediakan khusus untuk itu. Hal tersebut perlu untuk
kepastian hukum, maka perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan itu yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
berlaku dan dijalankan menurut peraturan perundangan yang lama adalah sah.6
Tujuan dicatatkannya perkawinan diantaranya adalah agar perkawinan
tersebut memiliki kekuatan hukum. Serta bisa menjadi alat bukti jika
dikemudian hari ada pihak-pihak yang menggugatnya, seperti telah diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 5.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bukanlah undang-undang
pertama yang mengatur tentang pencatatan perkawinan bagi muslim
5
Ahmad Azhar Basyir,Hukum Perkawinan Islam(Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 13.
6
8
Indonesia. Sebelumnya sudah ada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946,
yang mengatur tentang pencatatan nikah, Nikah, Talak dan Rujuk. Semula
Undang-undang ini hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, tetapi
dengan lahirnya Undang-undang Nomor 32 tahun 1954, yang disahkan
tanggal 26 Oktober 1954, Undang-undang Nomor 32 Tahun 1946,
diberlakukan untuk seluruh daerah luar Jawa dan Madura. Dengan ungkapan
lain, dengan lahirnya undang Nomor 32 Tahun 1954 berarti
Undang-undang Nomor 32 Tahun 1946 berlaku diseluruh Indonesia. Bahkan
sebelumnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 sudah ada peraturan yang
mengatur hal yang sama.7
Pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia juga
menegaskan : agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam,
setiap perkawinan harus dicatat. Selanjutnya dikatakan, untuk memenuhi
ketentuan dalam pasal 5 : setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan
dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (Pasal 6 ayat 1 ).
Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 6 ayat 2)8
7
Khoiruddun Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim (Yogyakarta : Academia + Tazzafa, 2009), h. 333.
8
Dengan adanya pencatatan perkawinan maka eksistensi perkawinan
secara yuridis formil diakui. Dengan demikian maka suatu perkawinan
dianggap sah apabila telah memenuhi dua syarat yaitu :
1. Telah memenuhi ketentuan hukum materil yaitu telah dilakukan dengan
memenuhi syarat dan rukun yang ada dalam hukum perkawinan Islam.
2. Telah memenuhi ketentuan hukum formil yaitu telah dicatatkan pada
pegawai pencatat nikah yang berwenang.9
Pencatatan perkawian merupakan produk baru dari diundangkannya
undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Karena ketentuan
tersebut tidak ada dalam hukum Islam (fiqih), akan tetapi telah menjadi
ketetapan pemerintah sebagai sistem hukum di Indonesia yang wajib untuk
dipatuhi karena hal itu mendatangkan keharmonisan, kedamaian dan
ketentraman dalam keluarga dan untuk kemaslahatan bagi warga Negara
Indonesia.
Pertimbangan kemaslahatan untuk pasangan suami istri tersebut dan
terlebih jika dalam pernikahan tersebut telah memiliki anak. Maka anak
tersebut tidak akan diakui oleh Negara. Karena itulah itsbat nikah sangat
diperlukan agar pasangan suami istri tersebut bisa diakui pernikahannya oleh
Negara dan bisa dibuktikan dengan adanya akta nikah yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Agama.
9
10
F. Metode Penelitian
Kegiatan ilmiah agar lebih terarah dan rasional diperlukan metode
yang sesuai dengan obyek penelitian. Metode ini berfungsi sebagai panduan
serta cara mengerjakan sesuatu dalam upaya untuk mengarahkan sebuah
penelitian supaya mendapatkan hasil yang maksimal. Pada penelitian ini,
penyusun menggunakan metode-metode sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian dan pendekatan
Metode penelitian yang di gunakan adalah penelitian pustaka berupa
studi dokumentasi terhadap putusan nomor 094/Pdt.p/2013/Pa.JS dengan
menggunakan pendekatan kualitatif. Data diperoleh dari dokumentasi dan
wawancara, kemudian diolah dan dianalisis menggunakan analisis isi (konten
analisis).
Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penelitian skripsi ini
adalah :
Pendekatan kualitatif, kualitatif yaitu menguraikan data melalui
katagorisasi, perbandingan serta pencarian sebab-akibat (asimetris) dengan
menggunakan teknis analisis induktif (usaha penemuan jawaban dengan
menganalisa berbagai data untuk diambil sebuah kesimpulan).10
Pendekatan normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.11
10
Burhan Bungil,Metode Penelitian Hukum(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), cet. Ke-3, h. 172-173.
11
2. Sumber data
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan dua jenis sumber
data yaitu :
a) Data primer
Data primer terdiri dari Penetapan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan Nomor 094/Pdt.p/2013/PA.JS. Dan Undang-undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
b) Data sekunder
Data sekunder diantaranya adalah bahan kepustakaan berupa
kitab-kitab, buku-buku, dan literature-literatur yang ada kaitanya
dengan permasalahan yang berkaitan tentang perkawinan dan itsbat
nikah.
3. Pengumpulan Data
Untuk mendukung terlaksananya penelitian ini penyusun
mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan berkenaan dengan
penolakan itsbat nikah, dengan menggunakan beberapa cara, diantaranya
sebagai berikut :
a. Wawancara
Wawancara (interview) ialah sebuah dialog yang dilakukan pewancara dan terwawancara untuk memperoleh informasi yang
detail.12 Pewancara disebut intervieuwer, sedangkan orang yang
12
12
diwawancara disebut interviewee.13 Wawancara dilakukan penulis kepada Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan penetapan
Nomor perkara 094/Pdt.p/2013/PA.JS.
b. Dokumentasi
Penyusun juga memerlukan bukti tertulis atau dokumentasi.
Dokumentasi yaitu pengumpulan data dengan melihat
dokumen-dokumen, seperti arsip yang ada di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
4. Teknik Analisis Data
Teknik Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Content Analysis yaitu melakukan analisis isi dokumen secara terperinci dengan mengambil inti dari dokumen yang menjadi sumber data baik dari
buku-buku atau dokumen yang berisi tentang hukum positif atau hukum
Islam yang sesuai dengan kajian skripsi ini.14
5. Teknik Penulisan Skripsi
Penulisan yang digunakan adalah deskriptif analisis yaitu dengan cara
penulisan yang menggambarkan permasalahan yang didasari pada data-data
yang ada, lalu dianalisis lebih lanjut untuk kemudian diambil kesimpulan.
Dan dalam penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada prinsip-prinsip
yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2012
13
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar.Metodelogi Penelitian Sosial (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1996), Cet. Pertama, h. 57-58.
14
G. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh hasil penelitian yang sistematis dan baik, maka
pembahasan dalam penelitian dibagi menjadi lima bab, yaitu :
BAB I Membahas tentang pendahuluan yang berisi tentang latar belakang
masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, kajian terdahulu, kerangka teoritik, metode
penelitian dan sistematika pembahasan.
BAB II Kajian teori itsbat nikah Terdiri dari pengertian nikah dan itsbat
nikah, dasar hukum itsbat nikah, akibat hukum itsbat nikah, dan
hubungan itsbat nikah dengan pencatatan perkawinan.
BAB III Mengenai deskripsi penetapan perkara Nomor 094/Pdt.P/PA.
Jakarta Selatan yaitu peristiwa hukum, pertimbangan hakim,
penetapan hakim.
BAB IV Mengenai analisis penetapan hakim tentang tidak dikabulkannya
itsbat nikah yaitu pandangan hakim tentang penolakan itsbat nikah,
pandangan hukum Islam tentang penolakan itsbat nikah dan
analisis penulis.
BAB V Yaitu bab penutup yang berisi kesimpulan hasil penelitian dan
saran-saran sebagai tindak lanjut dan peneltian.
Di akhir skripsi ini juga dicantumkan daftar pustaka sebagai rujukan
14 BAB II
KAJIAN TEORI ITSBAT NIKAH
A. Pengertian Nikah dan Itsbat Nikah
Arti nikah menurut bahasa Arab ialah Berhimpun atauwatha’ (Ǘ Ɠ ǚ ǃ ).1
Nikah menurut istilah bahasa artinya mengumpulkan. Menurut syara’ artinya
akad yang telah terkenal dan memenuhi rukun-rukun serta syarat (yang telah
tertentu) untuk berkumpul.2
Kompilasi Hukum Islam (KHI) BAB II Pasal (2) merumuskan bahwa
“perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsâqan ghalîdzan untuk mentaati perintah Allah dan
melakukannya merupakan ibadah”. Perkawinan merupakan perbuatan ibadah
dalam kategori ibadah umum, dengan demikian dalam melaksanakan
perkawinan harus diketahui dan dilaksanakan aturan-aturan perkawinan dalam
hukum Islam.3
Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dalam kaitan
ini Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang
Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam yang merumuskan demikian: Perkawinan ialah ikatan lahir batin
1
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam(Jakarta : Bulan Bintang, 2005), cet. 2, h. 73.
2
Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmad, Fikih Islam Lengkap (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2004), cet. 3, h. 224.
3
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan yang maha Esa.4
Pernikahan pada dasarnya itu merupakan suatu perjanjian perikatan
antara seorang pria dan seorang wanita. Walaupun nikah ini merupakan salah
satu bentuk perjanjian perikatan, namun perjanjian ini berbeda dengan
perjanjian-perjanjian perdata yang lainnya. Perjanjian perkawinan adalah
merupakan perjanjian suci membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
untuk selama-lamanya.5
Perkawinan pada umumnya harus dicatatkan pada pejabat yang
berwewenang. Apabila perkawinan belum dicatatkan maka pasangan suami
istri bisa mengajukan permohonan itsbat nikah kepada Pengadilan Agama
sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Itsbat Nikah terdiri dari dua kata yaitu “itsbat” dan “nikah”. Kedua
istilah tersebut berasal dari kamus besar bahasa Indonesia. Itsbat berarti
penyungguhan, penetapan, penentuan.6Sedangkan nikah adalah ikatan (akad)
perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama
: hidup sebagai suami istri.7
4
Muhammad Amin Suma,Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005), Ed. Revisi 2, h. 46.
5
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fikih Dan Hukum Positif(Yogyakarta : 2011), Cet. Pertama, h. 174.
6
Departemen pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), ed. ke-4, h. 549.
7
16
Itsbat Nikah merupakan gabungan dari kalimat yakni itsbat dan nikah.
Gabungan kata masdar terambil dari asal kata ﺎ ﺗ ﺎ ﺒ ﺛ ا – – ﺖ ﺒ ﺛ ا yang
mempunyai makna penetapan atau pembuktian.8 Itsbat nikah adalah upaya
penetapan pernikahan yang tidak tercatat atau tidak dilakukan di depan
pegawai pencatat nikah di Kantor Urusan Agama (KUA). Berdasarkan
undang-undang, itsbat nikah merupakan kewenangan Pengadilan Agama.
ketentuan ini jelas dituangkan pada Kompilasi Hukum Islam (KHI).9
Pelaksanaan itsbat nikah di Pengadilan Agama karena pertimbangan
maslahah bagi umat Islam. Itsbat Nikah sangat bermanfaat bagi umat Islam
untuk mengurus dan mendapatkan hak-haknya yang berupa surat-surat atau
dokumen pribadi yang dibutuhkan dari instansi yang berwenang serta
memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum terhadap masing-masing
pasangan suami istri.10
Itsbat nikah merupakan cara yang dapat ditempuh oleh pasangan
suami istri yang telah menikah secara sah menurut hukum agama untuk
mendapatkan pengakuan dari Negara atas pernikahan yang telah
8
A.W. Munawwir dan Muhammad Fairuz, kamus Al Munawwir Indonesia Arab terlengkap, h. 343.
9
Alimin, Euis Nurlaelawati, Potret Administrasi Keperdataan Islam Di Indonesia (Ciputat : Tangerang Selatan, 2013), h. 86-87.
10Asasriwarni, “kepastian hukum Itsbat Nikah terhadap status perkawinan, anak dan
harta perkawinan. Artikel diakses pada 15 April 2015 dari http://www.nu.or.id/a,public-
dilangsungkan oleh keduanya beserta anak-anak yang lahir selama
pernikahan, sehingga pernikahannya tersebut berkekuatan hukum.11
Bila pernikahannya secara hukum agama adalah sah, tentunya
anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut adalah anak-anak-anak-anak yang sah juga.
B. Dasar Hukum Itsbat Nikah
Dasar hukum dari Itsbat Nikah adalah BAB XIII Pasal 64 Ketentuan
Peralihan untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan
menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.12
Undang-undang nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama hanya menggariskan bahwa peradilan, dalam hal ini peradilan agama
bagi yang beragama Islam berwenang melakukan itsbat/pengesahan nikah.
Keduanya belum mengatur siapa yang berhak mengajukan itsbat nikah dan
bagaimana prosedurnya. Aturan yang detail kita jumpai dalam aturan
pelaksanaanya, yaitu pada Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI).13
Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menyatakan dan menetapkan sebagai berikut :
11
Liza Elfitri, Dasar Hukum Pengajuan Itsbat Nikah Bagi Pasangan Kawin Siri, dikutip dari www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50a1e91040231/dasar-hukum-pengajuan-itsbat-nikah-bagi-pasangan-kawin-siri, diakses 1 agustustus 2015.
12
R. Subekti dan Tjitrosudibio,Kitab Undang-undang Hukum Perdata,h. 557.
13
18
1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yag dibuat oleh
pegawai pencatat Nikah.
2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat
diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
3. Itsbat Nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan terbatas mengenai
hal-hal yang berkenaan dengan :
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian
b. Hilangnya Akta Nikah
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang
No. 1 Tahun 1974, dan
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiiki
halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974.
4. Yang berhak mengajukan permohonan Itsbat Nikah ialah pihak suami
istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan
dengan perkawinan itu.
C. Akibat Hukum Itsbat Nikah
Setelah dikabulkannya itsbat nikah sebagai kepastian hukum, maka
melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang
masing-masing suami istri mendapatkan salinannya, apabila menjadi
perselisihan atau percekcokan diantara mereka, atau salah satu pihak tidak
mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta
tersebut, baik suami mapun istri memiliki bukti otentik atas perubahan hukum
yang telah mereka lakukan.14
Pencatatan pernikahan merupakan aspek yang fundamental bagi
warga Negara Indonesia. Melalui pencatatan itu seseorang akan memperoleh
status hukum pasti. Pencatatan perkawinan karenanya sangat penting bagi
perempuan karena dapat memberikan kepastian hukum baik bagi dirinya
maupun anak yang dilahirkannya. Dengan menggunakan analisis jender,
seorang hakim dapat melihat apa akibatnya bagi seorang perempuan jika tak
memiliki surat nikah. Antara lain secara sosial perempuan tersebut rentan
terhadap tindakan diskriminasi. Demikian pula dengan anaknya. Lebih dari
itu, posisi mereka sebagai istri pun rentan terhadap kekerasan. Tanpa surat
nikah, seorang perempuan akan sangat tergantung pada suaminya. Dan
ketergantungan serupa itu sangat tidak sehat, karena bila terjadi tindakan
kekerasan oleh suaminya sangat sulit bagi perempuan untuk keluar dari ikatan
perkawinan.15
Akibat hukum yang timbul dari perkawinan di bawah tangan dan tidak
dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah antara lain : Pertama, meskipun
perkawinan tersebut dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di
mata Negara perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh
Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil. Kedua, anak hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Anak-anak yang
14
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transpormasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasiona(Jakarta : PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012), Cet. Pertama, h. 131-132.
15
20
dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain
dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibu atau keluarga ibu (pasal 42 dan 43 Undang-undang Perkawinan).
Sedangkan hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada (perkembangan
terkini setelah terbitnya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 Tanggal 27 Februari 2012, anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya. (pasal 43 ayat (1) UUP baru hasil revisi Mahkamah Konstitusi).
Ketiga, baik anak maupun ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan.
Akibatnya, baik istri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan
tersebut, tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Harta
yang didapat dalam perkawinan di bawah tangan hanya dimiliki oleh
masing-masing yang menghasilkannya, karena tidak adanya harta bersama.16
Perkawinan yang tidak mempunyai akta nikah, terlepas dari apa
penyebabnya, harus ada jalan keluarnya yang terbaik antara lain melalui itsbat
nikah, Namun jika itsbat nikah tidak diterima sangat banyak umat Islam yang
kehilangan hak-hak keperdataannya seperti untuk mendapat tunjangan gaji
bagi istri dan anaknya, atau suami dan anaknya dalam hal salah satunya
16Endang Ali Ma’sum,
Kepastian Hukum Itsbat Nikah Terhadap Status Perkawinan Status Anak dan Status Harta Perkawinan, artikel diakses pada 6 Agustus 2015 dari
pegawai negeri atau anggota TNI/ Polri dan BUMN, tidak bisa mengambil
tabungan atas nama istri atau suami yang meninggal lebih dahulu.
D. Hubungan Itsbat Nikah Dengan Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan adalah suatu pencatatan yang dilakukan oleh
pejabat Negara terhadap perkawinan. Dalam hal ini pegawai Pencatat Nikah
yang melakukan pencatatan, ketika akan melangsungkan suatu akad
perkawinan antara calon suami dan calon istri.17
Pencatatan merupakan hukum keluarga baru yang berlaku di
Negara-negara muslim. Semua mewajibkan pencatatan perkawinan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara masing-masing.
Pencatatan ini, kendatipun bukan merupakan rukun nikah, tetapi dianggap
sangat penting untuk pembuktian pernikahan yang sah yang dilakukan oleh
seseorang. Selain dari perkawinan itu sendiri harus dicatat, surat-surat
(keterangan, formulir yang telah diisi dan ditandatangani para pihak) harus
disimpan, didokumentasikan untuk kepentingan pembuktian kalau timbul
keraguan atau masalah kemudian hari.18
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang dilaksanakan oleh
masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam maupun perkawianan yang
dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam.
17
Siti Musdah Mulia, Membangun Keluarga Humanis Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu( Jakarta : Graha Cipta, 2005), Cet. Pertama, h. 38.
18
22
Pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk menjaga kesucian mitsâqan gholîdzanaspek hukum yang timbul dari ikatan perkawinan.19
Pentingnya pencatatan nikah ini dikemukakan oleh Fatwa mantan
Syekh Azhar (Guru Besar) Dr. Jaad al- Haq ‘Ali Jaad al-Haq tentang al-zawajal-‘urfy adalah sebuah pernikahan yang tidak tercatat sebagaimana mestinya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syekh Jaad
al-had mengklasifikasikan ketentuan yang mengatur pernikahan kepada dua
katagori, yaitu peraturan syara’ dan peraturan yang bersifatal-tawtsiqiy.20
a. Peraturan syara’ yaitu peraturan yang menentukan sah atau tidak sahnya
sebuah pernikahan. Peraturan ini adalah peraturan yang ditetapkan oleh
syari’at Islam seperti yang telah dirumuskan oleh para fukaha dari
berbagai mazhab yang pada intinya adalah kemestian adanya ijab dan
Kabul dari masing-masing dua orang yang berakad (wali dan calon
suami) yang diucapkan pada majelis yang sama, dengan menggunakan
lafal yang menunjukan telah terjadinya ijab dan kabul yang diucapkan
oleh masing-masing dari dua orang yang mempunyai kecakapan untuk
melakukan akad menurut hukum syara’ serta dihadiri oleh dua orang
saksi yang telah baligh berakal lagi beragama Islam. Dua orang saksi itu
disyaratkan mendengarkan sendiri secara langsung lafal ijab dan Kabul
tersebut. Dan mengerti tentang isi ijab dan kabul itu serta syarat-syarat
yang lainnya seperti yang telah dibentangkan dalam kajian fiqih.21
19
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), Cet, Pertama, h. 26.
20
Alimudin, “Kepastian Hukum Itsbat Nikah dan fenomena social”. artikel diakses
pada tanggal 26 april 2015 dari http://www.badilag.net/artikel/publikasi/artikel/kepastian-hukum-itsbat-nikah-dan-fenomena-sosial
21
b. Peraturan yang bersifat tawtsiqiy adalah peraturan tambahan dengan tujuan agar pernikahan dikalangan umat Islam tidak liar, tetapi tercatat
pada buku register Akta Nikah yang dibuat oleh pihak yang berwenang
untuk itu yang diatur dalam peraturan perundangan administrasi Negara.
Kegunaanya agar sebuah lembaga perkawinan yang merupakan tempat
yang sangat penting dan strategis dalam masyarakat Islam dapat
dilindungi dari adanya upaya-upaya negatif dari pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab.22
Namun demikian menurut fatwa Jad al-Haq Ali Jaad al-Haq, tanpa
memenuhi peraturan perundang-undangan itu, secara syar’î nikahnya sudah dianggap sah, apabila telah melengkapi segala syarat dan rukun seperti diatur
dalam Syari’at Islam.
Fatwa Syekh Al-Azhar tersebut, tidak bermaksud agar seseorang
boleh dengan seenaknya saja melanggar undang-undang di suatu Negara,
sebab dalam fatwa itu beliau tetap mengingatkan pentingnya pencatatan
nikah, beliau mengingatkan agar pernikahan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Beliau juga menegaskan bahwa peraturan
perundang-undangan yang mengatur pernikahan adalah hal yang mestinya
dilaksanakan setiap muslim yang mengadakan perkawinan, sebagai antisipasi
bilamana diperlukan berurusan dengan lembaga peradilan. Misalnya jika
dikemudian hari salah satu dari suami istri mengingkari perkawinan atau
pengingkaran itu muncul ketika akan membagi harta warisan di antara ahli
waris.
Menurut Wahbah Al-Zulaily dalam karyanya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, dengan tegas membagi syarat nikah kepada syarat syar’î dan
22
24
syarat tautsiqiy. Syarat syar’î adalah suatu syarat tentang keabsahan suatu peristiwa hukum tergantung kepadanya, yang dalam hal ini adalah
rukun-rukun pernikahan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Sedangkan syarat tawtsiqiymerupakan suatu syarat yang dirumuskan untuk dijadikan sebagai bukti kebenaran terjadinya suatu tindakan sebagai
upaya antisipasi adanya ketidak jelasan dikemudian hari. Syarat tawtsiqiy
tidak berhubungan dengan syarat sahnya suatu perbuatan, tetapi sebagai bukti
adanya perbuatan itu. Misalnya hadirnya dua orang saksi dalam setiap bentuk
transaksi adalah merupakan syarat tawtsiqiy, kecuali kehadirannya dua orang saksi itu dalam perikatan pernikahan adalah merupakan syarat syar’î, karena merupakan unsur pembentuk prosesi pernikahan itu dan yang menentukan
pula sah atau tidak sahnya suatu peristiwa pernikahan, disamping sebagai
syarattawtsiqiy.23
Pengaturan tentang pencatatan perkawinan didasarkan atas asas
kemaslahatan melalui metode al-maslahah al-mursalah Pengaturan pencatat perkawinan dinilai bisa mendatangkan maslahat, khususnya bagi perempuan
dan anak-anak. Jika suatu saat mereka menghadapi kenyataan ditelantarkan
oleh suami atau ayahnya, jika tidak ada salinan akta nikah, istri dan
anak-anaknya tersebut tidak dapat mengajukan tuntutan haknya kepada suaminya
atau ayahnya karena tidak memiliki sarana untuk mengajukan ke Pengadilan.
Lain halnya apabila ada salinan akta nikah, upaya hukum dapat segera
23Alimudin, “Kepastian Hukum Itsbat Nikah dan fenomena social”. artikel diakses
dilakukan manakala hak-haknya ditelantarkan. Maka sangat jelas nilai
maslahat dari pencatatan perkawinan tersebut.24
Pencatatan nikah asalnya hanya sebuah kebutuhan administrasi Negara
saja. Namun, fungsi dari pencatatan nikah itu sangat penting khususnya bagi
perempuan.25
Kompilasi Hukum Islam, masalah pencatatan perkawinan ini diatur
dalam pasal 5, yakni :
1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.
2. Pecatatan perkawinan pada ayat (1), dilakukan oleh pegawai Pencatat
Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 194
jo. Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Adapun selanjutnya dalam pasal 6 dijelaskan yang berbunyi sebagai
berikut :26
1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsukan dihadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah.
2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
tidak mempunyai kekuatan hukum.
24
Asni,Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia Telaah Epistemologis Kedudukan Perempuan Dalam Hukum Keluarga (kementrian Agama Republik Indonesia Direktorat Jendral Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012), Cet. Pertama, h. 211.
25
Sri Mulyani,Relasi Suami Istri Dalam Islam(Jakarta : Pusat Studi Wanita, 2004), h. 9.
26
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan,Hukum Perdata Islam di Indonesia
“Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No. 1 tahun 1974 sampai KHI”
26
Pencatatan perkawinan yang disyaratkan oleh Pasal 5 KHI adalah
sejalan dengan yang diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974
yakni : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.”27
Pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah
sangat jelas mendatangkan masalah bagi tegaknya rumah tangga dan hal ini
sejalan dengan prinsip/kaidah hukum Islam menolak kemudaratanlah
didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan. Adapaun dampak
perkawinan yang tidak dicatat itu antara lain suami istri tersebut tidak
mempunyai akta nikah sebagai bukti mereka telah menikah secara sah
menurut agama dan Negara.28
Secara administratif, perkawinan dikatakan sah jika dilakukan dengan
mengikuti prosedur yang sesuai dengan Undang-undang. Sebagaimana
terdapat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
1974 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan. Dalam BAB II Pencatatan Perkawinan, pasal 2 dikatakan:29
1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan
menurut agama islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang
pencatatan nikah, talak dan rujuk.
27
R Subekti dan R Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 2 ayat (2), h. 538.
28
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta : Kencana, 2006), cet. Pertama, h. 51.
29
2. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agamanya dan kepercayaanya itu selain agama Islam, dilakukan
oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana
dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan
perkawinan.
3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi
tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagi peraturan yang
berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan pasal 9 peraturan pemerintah ini.
Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9
tahun 1974 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan Presiden Republik Indonesia berbunyi :
1. Setiap orang yang akan melangsukan perkawinan memberitahukan
kehendak itu kepada pegawai pencatat ditempat perkawinan akan
dilangsungkan.
2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilansungkan.
3. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan
sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama bupati
kepala daerah.
Pencatatan perkawinan ini walaupun di dalam Undang-undang
Perkawinan (UUP) hanya diatur oleh satu ayat, namun sebenarnya dalam
masalah pencatatan ini sangat dominan. Ini akan tampak dengan jelas
menyangkut tata cara perkawinan itu sendiri yang kesemuanya berhubungan
28
yang menempatkannya sebagai syarat administratif yang juga menentukan
sah tidaknya suatu perkawinan.30
Tata cara pemberitahuan rencana perkawinan dapat dilakukan secara
lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya
(Pasal 4). Hal-hal yang diberitahu kepada petugas meliputi: nama, umur,
agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai, dan
apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri
atau suaminya terdahulu (Pasal 5). Dengan pemberitahuan ini, untuk
menghindari kemungkian terjadinya penyimpangan atau pemalsuan identitas,
atau mengantisipasi kalau diantara calon mempelai terdapat halangan
perkawinan.31
Pasal 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun
1974 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan. Menjelaskan:32
1. Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan
telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut
Undang-undang.
2. Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1), pegawai
pencatat meneliti pula :
30
Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI( Jakarta : Kencana, 2004), Cet. Ke-3, h. 123.
31
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2013), Cet. Pertama, h. 95.
32
a. Kutipan akta kelahiran atau surat lahir calon mempelai. Dalam hal
tidak ada akta kelahiran atau surat surat kenal lahir, dapat
dipergunakan keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon
mempelai yang diberikan oleh kepala desa atau yang singkat dengan
itu :
b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan
tempat tinggal orang tua calon mempelai :
c. Izin tertulis/izin pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat(2),
(3), (4) dan (5) undang-undang apabila salah seorang calon mempelai
atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun :
d. Izin pengadilan sebagai dimaksud pasal 4 Undang-undang : dalam hal
calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri :
e. Dispenasi pengadilan/pejabat sebagai dimaksud pasal 7 ayat (2)
Undang-undang ;
f. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal
perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua
kalinya atau lebih ;
g. Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Mentri HANKAM
PANGAB apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya
anggota angkatan bersenjata ;
h. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh pegawai
30
dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga
mewakilkan kepada orang lain.
Adapun manfaat represif akta nikah adalah sebagai berikut. Bagi suami
istri yang karena sesuatu hal perkawinannya tidak dibuktikan dengan akta
nikah, Kompilasi Hukum Islam memberi solusi kepada mereka untuk
mengajukan permohonan Itsbat (penetapan) nikah kepada Pengadilan Agama.
hal ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat, agar di dalamnya
melangsungkan perkawinan tidak hanya mementingkan aspek-aspek hukum
fikih saja, tetapi aspek-aspek keperdataanya juga diperhatikan secara
seimbang. Jadi, pencatatan adalah merupakan bentuk usaha pemerintah untuk
mengayomi warga masyarakat demi terwujudnya ketertiban dan keadilan. 33
Apabila diperhatikan ayat Mudayanah (QS Al- Baqarah (2) :282) mengisyaratkan bahwa adanya bukti otentik sangat diperlukan untuk menjaga
kepastian hukum. Bahkan redaksinya dengan tegas menggambarkan bahwa
pencatatan didahulukan daripada kesaksian, yang dalam perkawinan menjadi
salah satu rukun.34Ayat tersebut adalah:
…
33Ahmad Rofiq,Hukum Perdata Islam Di Indonesia(edisi baru), h. 99.
34
Artinya : “hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya.
Pada ayat di atas, pencatatan kontrak utang piutang saja sudah
disyariatkan. Dengan demikian, di sini sangat tepat digunakan qiyas aulawi.
Bahwasanya jika ditinjau dari berbagai segi, perkawinan yang oleh Al-Qur’an
disebut sebagai perjanjian suci (mitsâqan gholîdzan) jauh lebih penting untuk diutamakan pencatatannya.35
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus
dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih
utama lagi untuk dicatatkan. Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi
perjanjian yang sangat kuat.36
Pengamatan ayat diatas nampaklah adanya kemaslahatan yang dicapai,
dimana kemaslahatan tersebut merupakan buah pemikiran yang sudah
selayaknya diterapkan demi kepentingan umat. Begitu pentingnya menjaga
kemaslahatan perkawinan, karena perkawinan bertujuan membentuk keluarga
sakinah, mawadah wa rahma.37
Pencatatan perkawinan bertujuan agar adanya kepastian hukum,
ketertiban hukum atas perkawinan itu sendiri. Namun demi kemaslahatan dan
35
Ahmad Rofik,Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta : Gama Media, 2001), h. 110-111.
36
Asasriwarni, “kepastian hukum Itsbat Nikah terhadap status perkawinan, anak dan
harta perkawinan. Artikel diakses pada 15 April 2015 dari http://www.nu.or.id/a,public-
m,dinamic-s,detail-ids,4-id,38146-lang,id-c,kolom-t,Kepastian+Hukum++Itsbat+Nikah++Terhadap+Status+Perkawinan++Anak+dan+Harta+Pe rkawinan.
37
32
menghindari masalah yang kemungkinan akan datang di kemudian hari, orang
yang sudah terlanjur melakukan pernikahan namun pernikahannya tidak
dicatatkan di kantor urusan agama (KUA) dapat mengajukan itsbat nikah ke
33
JAKARTA SELATAN
A. Peristiwa Hukum
1. Bahwa pemohon I dengan pemohon II telah menikah pada hari Senin,
tanggal 7 Juli 1986 yang dilaksanakan di Bintaro, Kecamatan
Pesanggrahan, Jakarta Selatan, di hadapan petugas pencatat Nikah (PPN)
dengan wali hakim dan disaksikan oleh dua orang saksi yang bernama P.
Buang Hartanto dan Haji Muadi serta mahar berupa seperangkat alat
sholat dan cincin kawin.
2. Bahwa sebelum menikah Pemohon I dan Pemohon II berstatus adalah
perjaka dan perawan.
3. Bahwa setelah menikah Pemohon I dan Pemohon II membina rumah
tangga di Jl. Melati no. 5 Rt. 007 Rw 003 Kelurahan Bintaro Kecamatan
Pesanggrahan, Jakarta Selatan sampai sekarang dan telah dikaruniai 4
(empat) orang anak yang masing-masing bernama :
1) Jefta Rangga Prasetya umur 25 tahun.
2) Anggi Chandra Priandini umur 24 tahun.
3) Abigail Ivana Kalinda umur 11 tahun.
34
4. Bahwa perkawinan pemohon I dan Pemohon II telah dilaksanakan sesuai
dengan syariat islam1.
5. Bahwa semenjak pemohon I dengan Pemohon II menikah belum pernah
bercerai dan tidak pernah mendapat gugatan dari pihak manapun
masyarakat tentang keabsahan pernikahan tersebut.
6. Bahwa pemohon I dengan Pemohon II belum pernah mendapatkan bukti
pernikahan buku kutipan akta nikah karena tidak ada diberikan oleh PPN
kepada pemohon I dan Pemohon II, walaupun pemohon I dan Pemohon II
telah menelusuri ke KUA Kecamatan Pesanggrahan, ternyata pernikahan
pemohon tidak didaftarkan.
7. Bahwa pada saat ini pemohon I dan pemohon II sangat membutuhkan
penetapan pengesahan nikah (Itsbat Nikah) sebagai bukti nikah pemohon I
dengan Pemohon II dan juga untuk keperluan mengurus tunjangan anak
dan keluarga dalam pemenuhan persyaratan pensiun.
8. Bahwa untuk menguatkan permohonannya para Pemohon telah
mengajukan bukti-bukti berupa surat yang diberi tanda P.1 sampai P.7
sebagai berikut :
1. Fotokopi KTP Pemohon I dan Pemohon II (P.1) ;
2. Fotokopi Kartu Keluarga yang dikeluarkan oleh kelurahan Bintaro
Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan Nomor 3174101601094428
(P.2) ;
1
3. Fotokopi kutipan akta kelahiran No 02026/1999 dari Kepala Kantor
Catatan Sipil Kota madya Dati II Bekasi atas nama Jefta Rangga
Prasetya (P.3)
4. Fotokopi kutipan akta kelahiran No 02027/1999 dari Kepala Kantor
Catatan Sipil Kota Madya Dati II Bekasi atas nama Anggi Chandra
Priandini (bukti P.4);
5. Fotokopi Kutipan akta kelahiran No 474.1/6192-DKCS/2002 Dari
Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tangerang
atas nama Abigail Ivana Kalinda (bukti P.5) ;
6. Fotokopi Kutipan akta kelahiran No 6863/U/JS/2004 dari Kepala Suku
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Madya Jakarta Selatan
atas nama Daniel Nathan Axel (bukti P.6) ;
7. Fotokopi surat keterangan dari Kepala Kementrian Agama KUA Kec.
Pesanggrahan Jakarta Selatan (bukti P.7). Foto kopi tersebut telah
dicocokan dan ternyata sesuai dengan aslinya dan telah bermaterai
cukup.2
B. Pertimbangan Hakim
Tentang hukumnya : bahwa pemohon I dan pemohon II mengajukan
permohonan Itsbat Nikah/pengesahan nikah dengan alasan-alasan
sebagaimana tersebut pada permohonannya ;
2
36
Adapun bahwa untuk meneguhkan dalil-dalil permohonannya
pemohon I dan pemohon II telah mengajukan bukti surat P.1 dan P.7 maupun
saksi-saksi, bukti mana dinilai sebagaimana pertimbangan berikut ini ;
Bahwa berdasarkan bukti P.1 dan P.2 terbukti bahwa Pemohon I dan
Pemohon II adalah pihak yang berkepentingan dalam perkara ini, juga patut
dinyatakan terbukti bahwa Pemohon I dengan Pemohon II secara administrasi
kependudukan telah tinggal bersama sebagai keluarga dimana Pemohon I
berstatus sebagai Kepala Keluarga dan Pemohon II sebagai isteri;
Bahwa berdasarkan bukti-bukti P.3s.d Bukti P.6 maka harus
dinyatakan terbukti bahwa Pemohon I dengan Pemohon II telah dikaruniai 4
orang anak;
Bahwa berdasarkan bukti P.7 maka harus dinyatakan terbukti bahwa
perkawinan Pemohon I dengan Pemohon II tidak tercatat di KUA Kec.
Pesanggrahan Jakarta Selatan;
Bahwa disamping itu alasan-alasan pemohon I dan Pemohon II telah
dikuatkan dengan 2 (dua) orang saksi yang telah memberi keterangan
dibawah sumpah, ternyata keterangannya satu dengan lainnya saling
bersesuaian dimana kedua saksi menerangkan tidak mengetahui secara jelas
tentang proses pernikahan, saksi 1 (P. Buang Hartanto bin Sadar)
kehadirannya hanya menyaksikan karena saat itu sibuk dengan pekerjaannya
memasak juga saksi 2 (Edi Djohan bin Rustam) mengetahui Pemohon I dan
Pemohon II sebagai suami istri saja dan lagi pula saksi mengenal para
Bahwa dari keterangan saksi-saksi tersebut telah ditemukan fakta
yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa Pemohon I dengan Pemohon II telah menikah sebagai suami istri
2. Bahwa kedua saksi tidak tahu siapa yang menjadi wali nikah, berapa
maharnya dan saksi nikah serta apakah pernikahan tersebut dilaksanakan
sesuai dengan syarat dan rukun nikah sebagaimana diatur dalam syariat
Islam3;
Bahwa Pernikahan hanya sah menurut hukum apabila dilangsugkan
dengan memenuhi syarat dan rukun nikah sebagaimana diatur dalam pasal 14
Kompilasi Hukum Islam ; untuk melaksanakan perkawinan harus ada :4
1. Calon suami,
2. Calon istri,
3. Wali nikah;
4. Dua orang saksi dan
5. Ijab dan kabul.
Bahwa kedua orang saksi yang diajukan para Pemohon keterangan
yang diberikan tidak memiliki sumber pengetahuan yang jelas sehingga
keterangan saksi tidak sah sebagai alat bukti karena tidak memenuhi syarat
materil sebagaimana ketentuan pasal 171 ayat (1) HIR, Pasal 1907 ayat (1)
3
Lihat Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 094/Pdt.P/2013/PA. JS, h.73-74.
4
38
KUHPerdata. Oleh karena nya keterangan saksi tidak dapat mendukung bukti
lainnya untuk mendukung kebenaran dalil permohonan pemohon ;
Saksi ialah orang yang memberikan keterangan di muka sidang,
dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan
yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri sebagai bukti terjadinya peristiwa
atau keadaan tersebut. Bukti saksi diatur dalam Pasal 168-172 HIR.5
Keterangan-keterangan yang dikemukakan seseorang sebagai saksi
(merupakan kesaksian) itu harus benar-benar keterangan tentang hal-hal atau
peristiwa-peristiwa yang dilihat dan atau dialami sendiri dan harus pula
beralasan. Apabila seseorang saksi mengemukakan keterangan tentang
pendapat atau perkiraan, apalagi dengan tidak beralasan dan kesimpulannya
sendiri adalah tidak dibolehkan. Demikian dapat disimpulkan dari keterangan
pasal 171 HIR (1) pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi;6
A. Pasal 171 ayat (1) HIR, yang berbunyi : dalam tiap-tiap penyaksian harus
disebut segala sebab pengetahuan saksi.
B. Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata, berbunyi: Tiap kesaksian harus disertai
keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya itu.
Akan tetapi, meskipun rumusannya agak berbeda, namun maksudnya
adalah sama, yaitu :
5
Kamarusdiana,Hukum Acara Peradilan Agama,Fakultas Syariah dan Hukum Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, h. 179.
6
a. Keterangan yang diberikan saksi harus memiliki landasan
pengetahuan,
b. Landasan pengetahuan merupakan sebab atau alasan pengetahuan yang
diterangkannya,
c. Keteranganya yang tidak memiliki sebab alasan yang jelas, tidak
memenuhi syarat materil sebagai alat bukti saksi.7
Setiap kesaksian harus juga berisi segala sebab pengetahuan.
Pendapat-pendapat atau persangkaan yang disusun dengan kata akal bukan
kesaksian.8 Tidaklah cukup kalau saksi hanya menerangkan bahwa ia
mengetahui peristiwanya. Ia harus menerangkan bagaimana ia sampai dapat
mengetahuinya.9
Adapun yang dapat diterangkan oleh saksi hanyalah apa yang ia lihat,
dengar atau rasakan sendiri, lagi pula tiap-tiap kesaksian harus disertai
alasan-alasan apa sebabnya, dan bagaimana sampai ia mengetahui hal-hal yang
diterangkan olehnya. Perasaan atau sangka yang istimewa, yang terjadi
karena akal, tidak dipandang sebagai penyaksian (pasal 171 ayat 2 H.I.R.).10
Bahwa sesuai ketentuan Pasal 163 HIR maka majelis berpendapat
Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat membuktikan dalil permohonannya
7
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), Cet. Pertama, h. 651.
8
Aris Bintania,Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), ed 1, Cet. Pertama, h.60.
9
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia ( Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2006), Cet. Pertama, h. 169.
10
40
karena patut ditolak; ketentuan ini didasarkan kepada Pasal 163 HIR, Pasal
263 R.Bg, dan pasal 1685 KUH Perdata yang dapat disimpulkan bahwa siapa
yang mendalilkan atau mengemukakan suatu peristiwa atau kejadian, atau
juga hak, maka kepadanya dibebankan kewajiban untuk membuktikannya.
Asas ini merupakan asas umum dalam hal pembuktian, karena logis dulu
dibebankan beban pembuktian dan juga karena penggugat lebih tahu dan
lebih berkepentingan mengenai apa yang disengketakan.11
Bahwa berdasarkan pasal 89 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989
yang dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 3 tahun 2006 yang
dirubah lagi (perubahan kedua) dengan Undang-undang Nomor 50 tahun
2009, penggugat dibebani untuk membayar biaya yang timbul akibat perkara
ini.
C. Penetapan Hakim
1. Pengertian penetapan
Penetapan disebut al-isbat (Arab) atau beschiking (Belanda), yaitu produk Pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya,
yang diistilahkan jurisdiction voluntaria. Dikatakan bukan peradilan yang sesungguhnya karena di sana hanya ada pemohon, yang memohon untuk
ditetapkan tentang sesuatu, sedangkan ia tidak perkara dengan lawan. Karena
penetapan itu muncul sebagai produk Pengadilan atas permohonan pemohon
yang tidak berlawan maka diktum penetapan tidak akan pernah berbunyi
11
menghukum melainkan hanya bersifat menyatakan (declaratoire) atau menciptakan (constitutoire).12
Menurut Gemala Dewi seperti yang di kutib oleh bukunya Erfaniah
Zuhriah, ia mengataan bahwa penetapan ialah pernyatan Hakim yang
dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang
terbuka bentuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara
permohonan/voluntair.13
2. Bentuk dan Isi Penetapan
Bentuk dan isi penetapan hampir sama dengan putusan, yang
membedakannya adalah sebagai berikut :
a. Hanya mengandung satu pihak yang berperkara.
b. Tidak ada kata “berlawan dengan” seperti pada putusan.
c. Tidak ada kata “tentang duduk perkara” seperti pada putusan, melainkan
langsung diuraikan apa permohonan pemohon.
d. Amarnya hanya berbentukdeclaratoir atau konstitutif. e. Menggunakan kata “menetapkan”.
f. Biaya perkara selalu dibebanan kepada pemohon.
g. Tidak adareconventivedan intervensi.
h. Tidak mempunyai kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekusi.
12
Roihan A. Rasyid,Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Cet. 10, h. 203.
13
42
3. Kekuatan Hukum Penetapan
Putusan volunter hanya mempunyai kekuatan hukum sepihak, pihak
lain tidak dapat dipaksakan untuk mengikuti kebenaran hal-hal yang
dideklarasikan dalam putusan volunter, karena itu pula maka putusan
volunter tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai pembuktian.14
Sesuai dengan Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuas