• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TEORI ITSBAT NIKAH

D. Hubungan Itsbat Nikah Dengan Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan adalah suatu pencatatan yang dilakukan oleh pejabat Negara terhadap perkawinan. Dalam hal ini pegawai Pencatat Nikah yang melakukan pencatatan, ketika akan melangsungkan suatu akad perkawinan antara calon suami dan calon istri.17

Pencatatan merupakan hukum keluarga baru yang berlaku di Negara-negara muslim. Semua mewajibkan pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara masing-masing. Pencatatan ini, kendatipun bukan merupakan rukun nikah, tetapi dianggap sangat penting untuk pembuktian pernikahan yang sah yang dilakukan oleh seseorang. Selain dari perkawinan itu sendiri harus dicatat, surat-surat (keterangan, formulir yang telah diisi dan ditandatangani para pihak) harus disimpan, didokumentasikan untuk kepentingan pembuktian kalau timbul keraguan atau masalah kemudian hari.18

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam maupun perkawianan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam.

17

Siti Musdah Mulia, Membangun Keluarga Humanis Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu( Jakarta : Graha Cipta, 2005), Cet. Pertama, h. 38.

18

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1997), Cet. Pertama, h. 98.

22

Pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk menjaga kesucian mitsâqan gholîdzanaspek hukum yang timbul dari ikatan perkawinan.19

Pentingnya pencatatan nikah ini dikemukakan oleh Fatwa mantan Syekh Azhar (Guru Besar) Dr. Jaad al- Haq ‘Ali Jaad al-Haq tentang al-zawajal-‘urfy adalah sebuah pernikahan yang tidak tercatat sebagaimana mestinya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syekh Jaad al-had mengklasifikasikan ketentuan yang mengatur pernikahan kepada dua

katagori, yaitu peraturan syara’ dan peraturan yang bersifatal-tawtsiqiy.20

a. Peraturan syara’ yaitu peraturan yang menentukan sah atau tidak sahnya sebuah pernikahan. Peraturan ini adalah peraturan yang ditetapkan oleh

syari’at Islam seperti yang telah dirumuskan oleh para fukaha dari

berbagai mazhab yang pada intinya adalah kemestian adanya ijab dan Kabul dari masing-masing dua orang yang berakad (wali dan calon suami) yang diucapkan pada majelis yang sama, dengan menggunakan lafal yang menunjukan telah terjadinya ijab dan kabul yang diucapkan oleh masing-masing dari dua orang yang mempunyai kecakapan untuk

melakukan akad menurut hukum syara’ serta dihadiri oleh dua orang

saksi yang telah baligh berakal lagi beragama Islam. Dua orang saksi itu disyaratkan mendengarkan sendiri secara langsung lafal ijab dan Kabul tersebut. Dan mengerti tentang isi ijab dan kabul itu serta syarat-syarat yang lainnya seperti yang telah dibentangkan dalam kajian fiqih.21

19

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), Cet, Pertama, h. 26.

20

Alimudin, “Kepastian Hukum Itsbat Nikah dan fenomena social”. artikel diakses

pada tanggal 26 april 2015 dari http://www.badilag.net/artikel/publikasi/artikel/kepastian-hukum-itsbat-nikah-dan-fenomena-sosial

21

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontenporer (Jakarta : Kencana, 2014), cet. Ke-2, h. 33.

b. Peraturan yang bersifat tawtsiqiy adalah peraturan tambahan dengan tujuan agar pernikahan dikalangan umat Islam tidak liar, tetapi tercatat pada buku register Akta Nikah yang dibuat oleh pihak yang berwenang untuk itu yang diatur dalam peraturan perundangan administrasi Negara. Kegunaanya agar sebuah lembaga perkawinan yang merupakan tempat yang sangat penting dan strategis dalam masyarakat Islam dapat dilindungi dari adanya upaya-upaya negatif dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.22

Namun demikian menurut fatwa Jad al-Haq Ali Jaad al-Haq, tanpa memenuhi peraturan perundang-undangan itu, secara syar’î nikahnya sudah dianggap sah, apabila telah melengkapi segala syarat dan rukun seperti diatur

dalam Syari’at Islam.

Fatwa Syekh Al-Azhar tersebut, tidak bermaksud agar seseorang boleh dengan seenaknya saja melanggar undang-undang di suatu Negara, sebab dalam fatwa itu beliau tetap mengingatkan pentingnya pencatatan nikah, beliau mengingatkan agar pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Beliau juga menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur pernikahan adalah hal yang mestinya dilaksanakan setiap muslim yang mengadakan perkawinan, sebagai antisipasi bilamana diperlukan berurusan dengan lembaga peradilan. Misalnya jika dikemudian hari salah satu dari suami istri mengingkari perkawinan atau pengingkaran itu muncul ketika akan membagi harta warisan di antara ahli waris.

Menurut Wahbah Al-Zulaily dalam karyanya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, dengan tegas membagi syarat nikah kepada syarat syar’î dan

22

24

syarat tautsiqiy. Syarat syar’î adalah suatu syarat tentang keabsahan suatu peristiwa hukum tergantung kepadanya, yang dalam hal ini adalah rukun-rukun pernikahan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.

Sedangkan syarat tawtsiqiymerupakan suatu syarat yang dirumuskan untuk dijadikan sebagai bukti kebenaran terjadinya suatu tindakan sebagai upaya antisipasi adanya ketidak jelasan dikemudian hari. Syarat tawtsiqiy

tidak berhubungan dengan syarat sahnya suatu perbuatan, tetapi sebagai bukti adanya perbuatan itu. Misalnya hadirnya dua orang saksi dalam setiap bentuk transaksi adalah merupakan syarat tawtsiqiy, kecuali kehadirannya dua orang saksi itu dalam perikatan pernikahan adalah merupakan syarat syar’î, karena merupakan unsur pembentuk prosesi pernikahan itu dan yang menentukan pula sah atau tidak sahnya suatu peristiwa pernikahan, disamping sebagai syarattawtsiqiy.23

Pengaturan tentang pencatatan perkawinan didasarkan atas asas kemaslahatan melalui metode al-maslahah al-mursalah Pengaturan pencatat perkawinan dinilai bisa mendatangkan maslahat, khususnya bagi perempuan dan anak-anak. Jika suatu saat mereka menghadapi kenyataan ditelantarkan oleh suami atau ayahnya, jika tidak ada salinan akta nikah, istri dan anak-anaknya tersebut tidak dapat mengajukan tuntutan haknya kepada suaminya atau ayahnya karena tidak memiliki sarana untuk mengajukan ke Pengadilan. Lain halnya apabila ada salinan akta nikah, upaya hukum dapat segera

23Alimudin, “Kepastian Hukum Itsbat Nikah dan fenomena social”. artikel diakses

pada tanggal 26 april 2015 dari http://www.badilag.net/artikel/publikasi/artikel/kepastian-hukum-itsbat-nikah-dan-fenomena-sosial

dilakukan manakala hak-haknya ditelantarkan. Maka sangat jelas nilai maslahat dari pencatatan perkawinan tersebut.24

Pencatatan nikah asalnya hanya sebuah kebutuhan administrasi Negara saja. Namun, fungsi dari pencatatan nikah itu sangat penting khususnya bagi perempuan.25

Kompilasi Hukum Islam, masalah pencatatan perkawinan ini diatur dalam pasal 5, yakni :

1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.

2. Pecatatan perkawinan pada ayat (1), dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 194 jo. Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

Adapun selanjutnya dalam pasal 6 dijelaskan yang berbunyi sebagai berikut :26

1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsukan dihadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah. 2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah

tidak mempunyai kekuatan hukum.

24

Asni,Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia Telaah Epistemologis Kedudukan Perempuan Dalam Hukum Keluarga (kementrian Agama Republik Indonesia Direktorat Jendral Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012), Cet. Pertama, h. 211.

25

Sri Mulyani,Relasi Suami Istri Dalam Islam(Jakarta : Pusat Studi Wanita, 2004), h. 9.

26

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan,Hukum Perdata Islam di Indonesia

“Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No. 1 tahun 1974 sampai KHI”

26

Pencatatan perkawinan yang disyaratkan oleh Pasal 5 KHI adalah sejalan dengan yang diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974

yakni : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.”27

Pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah sangat jelas mendatangkan masalah bagi tegaknya rumah tangga dan hal ini sejalan dengan prinsip/kaidah hukum Islam menolak kemudaratanlah didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan. Adapaun dampak perkawinan yang tidak dicatat itu antara lain suami istri tersebut tidak mempunyai akta nikah sebagai bukti mereka telah menikah secara sah menurut agama dan Negara.28

Secara administratif, perkawinan dikatakan sah jika dilakukan dengan mengikuti prosedur yang sesuai dengan Undang-undang. Sebagaimana terdapat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1974 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam BAB II Pencatatan Perkawinan, pasal 2 dikatakan:29

1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.

27

R Subekti dan R Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 2 ayat (2), h. 538.

28

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta : Kencana, 2006), cet. Pertama, h. 51.

29

Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Bandung : Pustaka Setia, 2011), Cet. Pertama, h. 107.

2. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaanya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagi peraturan yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan pasal 9 peraturan pemerintah ini. Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1974 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Presiden Republik Indonesia berbunyi :

1. Setiap orang yang akan melangsukan perkawinan memberitahukan kehendak itu kepada pegawai pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.

2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilansungkan.

3. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama bupati kepala daerah.

Pencatatan perkawinan ini walaupun di dalam Undang-undang Perkawinan (UUP) hanya diatur oleh satu ayat, namun sebenarnya dalam masalah pencatatan ini sangat dominan. Ini akan tampak dengan jelas menyangkut tata cara perkawinan itu sendiri yang kesemuanya berhubungan dengan pencatatan. Tidaklah berlebihan jika ada sementara pakar hukum

28

yang menempatkannya sebagai syarat administratif yang juga menentukan sah tidaknya suatu perkawinan.30

Tata cara pemberitahuan rencana perkawinan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya (Pasal 4). Hal-hal yang diberitahu kepada petugas meliputi: nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai, dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu (Pasal 5). Dengan pemberitahuan ini, untuk menghindari kemungkian terjadinya penyimpangan atau pemalsuan identitas, atau mengantisipasi kalau diantara calon mempelai terdapat halangan perkawinan.31

Pasal 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1974 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Menjelaskan:32

1. Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.

2. Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1), pegawai pencatat meneliti pula :

30

Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI( Jakarta : Kencana, 2004), Cet. Ke-3, h. 123.

31

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2013), Cet. Pertama, h. 95.

32

Muhammad Amin Suma,Himpunan Undang-undang Perdata Islam & Peraturan pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 2008) ed. Revisi-2, PP No 9 tahun 1974, h. 548.

a. Kutipan akta kelahiran atau surat lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat surat kenal lahir, dapat dipergunakan keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa atau yang singkat dengan itu :

b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai :

c. Izin tertulis/izin pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat(2), (3), (4) dan (5) undang-undang apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun : d. Izin pengadilan sebagai dimaksud pasal 4 Undang-undang : dalam hal

calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri : e. Dispenasi pengadilan/pejabat sebagai dimaksud pasal 7 ayat (2)

Undang-undang ;

f. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih ;

g. Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Mentri HANKAM PANGAB apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota angkatan bersenjata ;

h. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak

30

dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.

Adapun manfaat represif akta nikah adalah sebagai berikut. Bagi suami istri yang karena sesuatu hal perkawinannya tidak dibuktikan dengan akta nikah, Kompilasi Hukum Islam memberi solusi kepada mereka untuk mengajukan permohonan Itsbat (penetapan) nikah kepada Pengadilan Agama. hal ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat, agar di dalamnya melangsungkan perkawinan tidak hanya mementingkan aspek-aspek hukum fikih saja, tetapi aspek-aspek keperdataanya juga diperhatikan secara seimbang. Jadi, pencatatan adalah merupakan bentuk usaha pemerintah untuk mengayomi warga masyarakat demi terwujudnya ketertiban dan keadilan. 33

Apabila diperhatikan ayat Mudayanah (QS Al- Baqarah (2) :282) mengisyaratkan bahwa adanya bukti otentik sangat diperlukan untuk menjaga kepastian hukum. Bahkan redaksinya dengan tegas menggambarkan bahwa pencatatan didahulukan daripada kesaksian, yang dalam perkawinan menjadi salah satu rukun.34Ayat tersebut adalah:





















33

Ahmad Rofiq,Hukum Perdata Islam Di Indonesia(edisi baru), h. 99.

34

Artinya : “hai orang-orang yang beriman, apabila kamu

bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.

Pada ayat di atas, pencatatan kontrak utang piutang saja sudah disyariatkan. Dengan demikian, di sini sangat tepat digunakan qiyas aulawi.

Bahwasanya jika ditinjau dari berbagai segi, perkawinan yang oleh Al-Qur’an

disebut sebagai perjanjian suci (mitsâqan gholîdzan) jauh lebih penting untuk diutamakan pencatatannya.35

Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan. Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat.36

Pengamatan ayat diatas nampaklah adanya kemaslahatan yang dicapai, dimana kemaslahatan tersebut merupakan buah pemikiran yang sudah selayaknya diterapkan demi kepentingan umat. Begitu pentingnya menjaga kemaslahatan perkawinan, karena perkawinan bertujuan membentuk keluarga

sakinah, mawadah wa rahma.37

Pencatatan perkawinan bertujuan agar adanya kepastian hukum, ketertiban hukum atas perkawinan itu sendiri. Namun demi kemaslahatan dan

35

Ahmad Rofik,Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta : Gama Media, 2001), h. 110-111.

36

Asasriwarni, “kepastian hukum Itsbat Nikah terhadap status perkawinan, anak dan

harta perkawinan. Artikel diakses pada 15 April 2015 dari http://www.nu.or.id/a,public-

m,dinamic-s,detail-ids,4-id,38146-lang,id-c,kolom-t,Kepastian+Hukum++Itsbat+Nikah++Terhadap+Status+Perkawinan++Anak+dan+Harta+Pe rkawinan.

37

Ahmad Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialektika Pemikiran Hukum Islam (Bogor : Pustaka Pena Ilahi, 2011), Cet. Pertama, h. 192.

32

menghindari masalah yang kemungkinan akan datang di kemudian hari, orang yang sudah terlanjur melakukan pernikahan namun pernikahannya tidak dicatatkan di kantor urusan agama (KUA) dapat mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama.

33

Dokumen terkait