• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIKABULKANNYA ITSBAT NIKAH

B. Analisis Penulis

Setelah membaca duduk perkara permohonan itsbat nikah nomor perkara 094/Pdt.P/2013/PA.JS tersebut diatas dan mempelajari berkas perkaranya, serta mencermati argumentasi-argumentasi yang diajukan oleh para pemohon I dan pemohon II. Dan pertimbangan Hakim dalam menetapkan perkara tersebut di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Bahwasanya memang benar dalam pasal 14 Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang pernikahan hanya sah menurut hukum apabila dilangsungkan dengan memenuhi syarat dan rukun nikah. Yang berbunyi: 1. Calon suami 2. Calon isteri 3. Wali Nikah 4. Dua orang saksi dan 5. Ijab dan Kabul.

Para pemohon mengajukan itsbat nikah karena memang mereka ingin pernikahanya di catatkan di depan Pegawai Pencatat Nikah di Kantor Urusan Agama (KUA). Pemohon I bernama Wardana bin Warsa Karsidi, umur 53 tahun, Agama Islam, pendidikan SLTA, Perkerjaan Purnawirawan TNI AD, tempat Tinggal jalan melati No.5 RT. 007 RW. 03 Kelurahan Bintaro Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan. Dan pemohon II bernama Retno Widyastuti binti Bambang Wiradi, umur 46 tahun, Agama Islam, Pendidikan SLTA, Pekerjaan Purnawirawan TNI AD, Tempat tinggi jalan Melati No.5

3

Wawancara pribadi dengan hakim Pengadilan Agama Semarang lewat telepon bernama Dra. Hj. Lelita Dewi, SH, M. Hum pada tanggal 20 Agustus 2015.

RT.007 RW.03 Kelurahan Bintaro Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan. Mereka telah dikaruniai 4 (empat) orang anak yang masing-masing bernama : 1) Jefta Rangga Prasetya

2) Anggi Chandra Priandini 3) Abigail Ivana Kalinda 4) Daniel Nathan Axel

Bahwa pemohon I dan pemohon II mengajukan itsbat nikah sebagai bukti pernikahan mereka dan untuk mengurus tunjangan anak dan keluarga dalam pemenuhan persyaratan pensiun.

Adapun yang menjadi titik tolak yang menyebabkan tidak diterimanya itsbat nikah para pemohon menurut majelis Hakim yakni karena persaksian di persidangan dianggap tidak memenuhi syarat materil dalam hukum perdata.

Majelis hakim menetapkan itsbat nikah tidak dapat diterima dengan alasan saksi di persidangan yang menjadi alat bukti tidak memenuhi syarat materil sebagaimana ketentuan pasal 171 ayat (1) HIR, pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi diketahui sebab-sebab ia mengetahui peristiwanya, dan tiap kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya itu. Oleh karenanya menurut Hakim keterangan tidak dapat mendukung bukti lainnya untuk mendukung kebenaran dalil permohonan para pemohon.

48

Membuktikan sesuatu dengan alat bukti yang sah, dan tidak boleh dengan setiap alat. Menurut pasal 164 HIR dan Pasal 1866 B.W. ada lima macam alat bukti berupa:4

1. Bukti dengan tulisan/surat; 2. Bukti dengan saksi;

3. Bukti persangkaan; 4. Bukti Pengakuan; 5. Bukti sumpah;

Bahwa alat bukti surat memiliki kedudukan yang paling tinggi di bandingkan dengan alat bukti saksi dalam hal pembuktian di persidangan. Bukti dengan surat dianggap paling utama dalam perkara perdata, karena peranan surat atau tulisan amat penting, surat-surat sengaja dibuat dengan maksud untuk membuktikan peristiwa apabila dikemudian hari terjadi.5

Hakimpun seharusnya lebih analisis dan cermat dalam mempertimbangkan dalil-dalil untuk memutuskan suatu perkara, dalam perkara ini hakim bisa melihat dan mengutamakan alat bukti surat terlebih dahulu dari pada alat bukti saksi. Dan setelah mengkaji putusan tersebut penulis melihat alat bukti surat yang diajukan di persidangan yang diberi tanda P.1 sampai P.7 sebagai berikut :

1. Fotokopi KTP Pemohon I dan Pemohon II (P.1) ;

4

Bambang Sugeng dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata( Jakarta : Kencana, 2011), Cet. Pertama, h. 65.

5

Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama (Bandung : Penerbit alumni, 1993), Ed. Pertama, cet. Pertama, h. 22.

2. Fotokopi Kartu Keluarga yang dikeluarkan oleh kelurahan Bintaro Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan Nomor 3174101601094428 (P.2) ;

3. Fotokopi kutipan akta kelahiran No 02026/1999 dari Kepala Kantor Catatan Sipil Kota madya Dati II Bekasi atas nama Jefta Rangga Prasetya (P.3)

4. Fotokopi kutipan akta kelahiran No 02027/1999 dari Kepala Kantor Catatan Sipil Kota Madya Dati II Bekasi atas nama Anggi Chandra Priandini (bukti P.4);

5. Fotokopi Kutipan akta kelahiran No 474.1/6192-DKCS/2002 Dari Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tangerang atas nama Abigail Ivana Kalinda (bukti P.5) ;

6. Fotokopi Kutipan akta kelahiran No 6863/U/JS/2004 dari Kepala Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Madya Jakarta Selatan atas nama Daniel Nathan Axel (bukti P.6) ;

7. Fotokopi surat keterangan dari Kepala Kementrian Agama KUA Kec. Pesanggrahan Jakarta Selatan (bukti P.7)

Fotokopi tersebut telah dicocokan dan ternyata sesuai dengan aslinya dan telah bermaterai cukup.

Dalam kutipan surat Nomor 7 sudah jelas terdapat fotokopi surat keterangan Kepala Kementrian Agama KUA, kec. Pesanggrahan Jakarta Selatan. Yang menyatakan bahwa sudah terbukti bahwa pemohon I dan pemohon II sudah menikah.

50

Majelis hakim seharusnya tidak hanya melihat saksi di persidangan sebagai acuan titik tolak penolakan itsbat nikah, tetapi lihat juga alat bukti surat lainnya sebagai alat bukti utama dalam persidangan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 7 menyatakan dan menetapkan sebagai berikut:

1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

3. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian b) Hilangnya akta nikah

c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan

d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang No. 1 Tahun 1974, dan

e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974.

4. Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah pihak suami istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

Majelis Hakim bisa melihat KHI pasal 7 yang mana itsbat nikah dapat diterima dengan ketentuan-ketentuan berikut. Pada KHI Pasal 7 ayat (3) huruf c, yang berbunyi: Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan. Dengan mencermati putusan Nomor 094/Pdt.p/2013/PA.JS para pemohon mendalilkan bahwa P. Buang Hartanto sebagai saksi di pernikahan mereka, dan juga menjadi saksi di persidangan. P. Buang Hartanto mendalilkan bahwa kehadirannya hanya sekedar menyaksikan karna ada kegiatan memasak pada saat itu. Jadi menurut penulis didalam ini adanya keraguan tentang sah atau tidaknya suatu syarat perkawinan. Sehingga seharusnya permohonan itsbat nikah bisa dikabulkan.

Demikian juga pada KHI Pasal 7 ayat (3) huruf e, perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974, pada perkawinan pemohon I dan pemohon II tidak adanya larangan kawin seperti keturunan nasab, sehingga seharusnya menurut penulis bisa diterima itsbat nikah dengan melihat KHI Pasal 7 ayat (3) huruf e.

Menurut penulis rukun dan syarat perkawinan para pemohon sudah terpenuhi sesuai dengan KHI Pasal 14. Serta dikuatkan dengan bukti surat yang dikeluarkan Kepala Kementrian Agama KUA, kec. Pesanggrahan Jakarta Selatan. Yang menyatakan bahwa sudah terbukti bahwa pemohon I dan pemohon II sudah menikah. Pernikahan di laksanakan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN), dengan wali hakim, dua orang saksi bernama P. buang Hartanto dan Haji Muadi. Dengan ini maka sudah sesuai rukun dan

52

syarat dalam perkawinan. Hanya saja para pemohon salah mengambil saksi dalam persidangan untuk membuktikan dalil permohonannya.

Pernikahan di bawah tangan tidak dikabulkan itsbat nikah di Pengadilan Agama akan menimbulkan dampak negatif. jika pernikahan di catatkan maka akan mempunyai kekuatan hukum tetap di kemudian hari. Para pasangan suami istri mempunyai bukti otentik untuk dalam melakukan proses administrasi dalam hal apapun.

Ketika dalam permohonan itsbat nikah terdapat penolakan dan penerimaan, maka dilihat dari segi mudaratnya, sesuai dengan qawaid fiqhiyah 6 ( diambil mudharat yang lebih ringan di antara dua mudarat) antara dua mudarat menolak dan mengabulkan permohonan itsbat nikah menurut penulis lebih banyakmudarat ketika itsbat nikah ditolak karna pasangan suami isteri tidak mepunyai kepastian hukum tetap di masyarakat, dan tidak dapat dilindungi oleh hukum khususnya pada perempuan dan anak. Dikuatirkan juga dia akan melakukan perzinahan dan akan melakukan perbuatan diluar hukum Islam, sedangkan mudarat ketika diterima itsbat nikah itu tidak adamudaratmelainkan terdapat maslahat yg di ambil untuk pasangan suami isteri karena memiliki salinan akta nikah. Kenapa penulis membolehkan (menerima) karena melihat dari kaidah

fiqhiyah د (menolak kerusakan lebih diutamakan

daripada menarik kemaslahatan). Melihat kemaslahatanya lebih baik mengambil kemudharatan, lebih menghindari kemudharatan daripada

6

Nashir farid Muhammad washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam,Qawaid Fiqhiyyah(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 20.

mengambil kemaslahatan, menolak adalah perbuatan yang baik tapi kita harus menghindari kerusakan ketika ditolak itu, karena akan ada kerusakan-kerusakan ketika ditolak, maka lebih baik menurut penulis itsbat nikah itu diterima dengan alasan untuk kemaslahatan masyarakat.

Demi kemaslahatan masyarakat, guna mempunyai kepastian hukum para pasangan suami-isteri terutama bagi masa depan keempat anak-anak para pihak untuk mengurus tunjangan pensiun dan masa depan anak. Dan untuk masalah asal usul anak, bisa mengajukan permohonan penetapan asal usul anak ke Pengadilan Agama. penetapan atau putusan Pengadilan Agama menjadi dasar bagi kantor Catatan Sipil.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Dari permasalahan yang diambil dari skripsi ini maka penulis menyimpulkan sebagai berikut :

1. Itsbat nikah adalah suatu upaya penetapan pernikahan yang tidak tercatat atau tidak di catatkan di depan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama (KUA), yang di laksanakan atas kewenangan Pengadilan Agama. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. Hilangnya Akta Nikah;

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974. 2. Adapun alasan hakim tidak menerima itsbat nikah adalah karena

persaksian di persidangan tidak memenuhi syarat di mata hakim. Majelis Hakim mengacu pada hukum acara perdata bahwa persaksian dipersidangan harus memenuhi syarat materil sebagaimana ketentuan pasal 171 ayat (1) HIR, pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata. Pasal 171

ayat (1) HIR : Dalam tiap-tiap penyaksian harus disebut segala sebab pengetahuan saksi. Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata : Tiap kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya itu.

3. Apabila Majelis Hakim tidak menerima permohonan itsbat nikah maka akan menimbulkan Mudharat bagi para pasangan suami isteri, dan tidak memiliki kepastian hukum serta tidak dapat dilindungi oleh hukum jika terjadi suatu problematika kehidupan. Dengan tidak mendapatkan salinan akta nikah maka suami isteri sulit untuk membuktikan pernikahanya. Dan terlebih lagi kepada para isteri dan atau anak yang dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah, hak waris dan lain sebagainya. Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut ketika terjadi problematika akan sulit dipenuhi akibat tidak adanya bukti otentik dalam perkawinan yang sah.

B. Saran

Dari apa yang telah penulis uraikan di atas maka dapat diberikan suatu saran-saran sebagai berikut :

1. Kepada penegak keadilan atau Hakim, dan pelaksana petugas pencatatan nikah atau Kantor Urusan Agama (KUA) disarankan untuk perlu mensosialisasikan Undang-undang tentang Perkawinan bahwa pentingnya salinan akta nikah bagi masyarakat yang ingin melangsungkan pernikahan melalui seminar atau penyuluhan, agar tidak terjadi perkawinan di bawah tangan.

6

2. Masyarakat seharusnya jangan menikah di bawah tangan karena mudharatnya sangat besar bagi para pelakunya. Serta tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga tidak dapat dilindungi oleh hukum. 3. Dan perlu adanya aturan ke depan, bagi yang menikah di bawah tangan

harus dikenakan sanksi untuk memberikan efek jera bagi para pelaku, agar tidak menimbulkan kemudharatan di kemudian hari.

A Rasyid Roihan. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013.

Ahmad Saebani, Beni dan Falah Syamsul. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia, 2011.

Alimin, Nurlaelawati, Euis. Potrer Administrasi Keperdataan Islam di Indonesia. Ciputat: Tanggerang Selatan, 2013.

Ali, Zainuddin.Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2000. Amin Suma, Muhammad. Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan

Pelaksanaan lainnya di Negara Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali, 2008. Amin Suma, Muhammad, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2005.

Amin, Ma’ruf. Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.

Arto, Mukti. Masalah Pencatatan Perkawinan dan Syahnya Perkawinan. Misbar Hukum No. 26 Tahun VII, 1996.

Asni. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia Telaah Epistimologi Kedudukan Perempuan dalam Hukum Keluarga. Kementrian Agama RI Indonesia Direktorat Jendral Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012.

Azhar Basyir, Ahmad.Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press, 2000. Bintania, Aris. Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha.

Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

Bungil, Burhan.Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Daly, Peunoh.Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 2005.

Daud Ali, Mohammad. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.

8

Fatah Idris, Abdul dan Ahmad, Abu.Fikih Islam Lengkap. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004.

Ghofur Anshori, Abdul. Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum Positif.Yogyakarta: 2011.

Hadi Kusuma, Hilma. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama.Bandung: Mandar Maju, 2003.

Harahap, Yahya.Hukum Acara Perdata.Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Idris Lamulyo, Moh.Hukum Perkawinan Islam.Jakarta: Bumi Aksara, 1999.

Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia, 2011.

Manan, Abdul.Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama. Jakarta: Kencana, 2005.

Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty Yogya, 2006.

Mukri Aji, Ahmad. Urgensi Maslahat Mursalah dalam Dialeklika Pemikiran Hukum Islam.Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2011.

Mulyani, sri.Relasi Suami Isteri dalam Islam. Jakarta: Pusat Studi Wanita, 2004. Musdah Mulia, Siti. Membangun Keluarga Humanis Counter Legal Draft KHI yang

Kontroversial.Jakarta: Graha Cipta, 2005.

M. Zein, Satria Effendi. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontenporer. Jakarta: Kencana, 2014.

Nurruddin, Amir dan Akmal Taringan, Azhari. Hukum Perdata Islam di Indonesia.

Jakarta: Kencana, 2004.

Nasution, Khoiruddin. Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan perbandingan hukum Perkawinan di Dunia Muslim. Yogyakarta: Academia Tazzafa, 2009.

Rahmat, Jalaludin.Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1996.

Rusdiana, Kama. Hukum Acara Peradilan Agama. Fakultas Syariah dan Hukum Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.

Rofik, Ahmad. Pembaharuan Hukum Islam diIndonesia. Yogyakarta: Gama Media, 2001.

Rofik, Ahmad. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013.

Retnowulan Sutanto, Ny dan Oeripkartawinta, Iskandar. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju.

Salim, Arskal dan Nurlaelawati, Euis. Demi Keadilan dan Kesetaraan Dokumentasi Program Sentivitas Jendral Hakim Agama di Indonesia. 2009.

Samudera, Teguh.Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata. Bandung: PT. Alumni, 2004.

Shomad, Add. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Islam. Jakarta: Kencana, 2010.

Sopyan, Yayan. Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional.Jakarta: PT Wahana Semesta Intermedia.

Suharsini, Arikunto.Prosedur Penelitian Suatu Praktek.Jakarta: Rineka Cipta, 1998.

Sugeng, Bambang dan Sujayadi. Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigas Perkara Perdata. Jakarta: Kencana, 2011.

Supramono, Gatot. Hukum Pembuktian di Peradilan Agama. Bandung: Penerbit Alumni, 1993.

Taufik Makarao, Moh. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004.

Usman, Husaini dan Setiady Akbar, Purnomo. Metodelogi Penelitian Sosial (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1996.

Warson Munawir, Ahmad dan Fairuz, Muhammad. Kamus Al Munawwir Indonesia Arab Terlengkap.

Zuhriah, Erfaniah. Pengadilan Agama di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut.Uin Malang, 2008.

Zuhri Mudlor, A. memahami Hukum Perkawinan Nikah Talak Cerai dan Rujuk Menurut Hukum Islam Undang-undang No 1 Tahun 1974 Undang-undang No 7 Tahun 1979 (undang-undang Peradilan Agama) dan KHI di Indonesia.

60

Undang-undang Republik Indonesia No 1 Tahun 1974 Kompilasi Hukum Islam

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,38146-lang,id-c,kolom-t,Kepastian+Hukum++Itsbat+Nikah++Terhadap+Status+Perkawinan++Anak +dan+Harta+Perkawinan, artikel diakses pada 15 April 2015.

www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50a1e91040231/dasar-hukum-pengajuan-itsbat-nikah-bagi-pasangan-kawin-siri, artikel diakses pada 1 Agustus 2015.

http://www.badilag.net/artikel/publikasi/artikel/kepastian-hukum-itsbat-nikah-dan-fenomena-sosial, artikel diakses pada tanggal 26 April 2015.

http://badilag.net/artikel/publikasi/artikel/problematik-hukum-sekitar-isbat-nikah, artikel diakses pada 28 April 2015.

www.litbangdiklatkumdil.net/component/jdownload/12-2012/107-kepastian-hukum-

64

A. Hasil Wawancara

Pandangan hakim dalam itsbat nikah secara normatif yang dapat di itsbat nikahkan di pengadilan itu, adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, hilangnya akta nikah, adanya keraguan tetang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pada zaman sekarang banyak yang melakukan dispensasi nikah dan minta untuk di itsbatkan pernikahannya, agar dapat di kabulkan harus sesuai dengan rukun dan syarat perkawinan. Dengan demikian itsbat nikah itu macam-macam ada yang di kabulkan, ditolak, dan ada pula yang di sarankan untuk dicabut perkaranya. Solusinya yang di tolak itu nikah baru dan nanti bagaimana status terhadap anaknya itu diajukan saja asal-usul anak. Dari masyarakat kurang mengetahui dari pentingnya akan akta nikah. Padahal dari akta nikah fungsinya banyak sekali untuk pembuatan akta kelahiran anak, sebagai identitas kita jika ingin berpergian.

Kalau syarat dan rukun nikah tidak terpenuhi maka itsbat nikah di tolak sesuai dengan Undang-undang No 1 Tahun 1974, jika tidak terpenuhi bagaimana ingin di itsbatkan nikahnya. Atau yang melanggar Undang-undang No 1 Tahun 1974 ya di tolaklah itsbat nikahnya.

Demikian sebaliknya jika rukun dan syaratnya terpenuhi sesuai dengan undang-undang No 1 Tahun 1974 maka bisa diterima.1

Dalam perkara Nomor 0094/Pdt.P/2013/PA.JS alasan Hakim dari di tolaknya itsbat nikah itu saksi yang dihadirkan oleh pemohon tidak mengetahui siapa yang menjadi wali nikah pada saat pernikahan berlangsung, berapa maharnya juga tidak mengetahui, kemudian pada saat nikah tidak di laksanakan rukun dan syarat sesuai dengan hukum Islam. Jadi, saksi yang menjadi alat bukti dalam kasus itsbat nikah ini tidak mengetahui akan adanya saksi, mas kawin, ijab Kabul, dalam perkawinan, hakim mengetahui semua keterangan untuk menguatkan dalil permohonan dari saksi. Jadi, saksi yang di hadirkan di persidangan tidak tau, Hakim memerintahkan kepada para pemohon agar menghadirkan saksi lain di persidangan, tidak bisa (tidak ada lagi saksi lain) maka di tolaklah itsbat nikah para pemohon I dan pemohon II.

Adapun menurut Hakim kriteria dari sumber pengetahuan saksi yang jelas itu, terdapat persyaratan menurut hukum acara perdata. Saksi itu melihat, mendengar, mengalami sendiri. Jadi kalo cuma mendengar kata orang saja itu tidak bisa. Melihat, kejadian/peristiwa itu kapan. Atau mendengar langsung. Mengalami ikut serta pada saat proses akad nikah sehingga mengetahui secara pasti.

Pada Nomor Perkara 0094/Pdt.P/2013/PA.JS ini, saksi tidak memenuhi syarat materil sebagaimana ketentuan pasal 171 ayat (1) HIR,

1

Wawancara pribadi dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan bernama DRS. Sunardi M., S.H., M.H.I pada tanggal 18 Mei 2015.

66

pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata. Pasal 171 ayat (1) HIR : Dalam tiap-tiap penyaksian harus disebut segala sebab pengetahuan saksi.

Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata : Tiap kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya itu.

Dalam perkara 0094/Pdt.P/2013/PA.JS para pemohon mendalilkan bahwa dia sudah melaksanakan ijab qabul dengan wali hakim, dua orang saksi bernama P. buang Hartanto dan Haji Muadi. Dalil permohonan harus dikuatkan dengan alat bukti, alat bukti yang memungkinkan menurut Hakim yaitu saksi yang melihat langsung proses pernikahan, kalau pemohon tidak bisa menyaksikan saksi yang melihat dan mendengar langsung, bagaimana majelis Hakim ingin mengabulkan dalil permohonan itsbat nikah para pemohon sudah pastilah di tolak. karna saksi tidak meyakinkan majelis Hakim karena itulah perkaranya di tolak.2

Kemudian menurut hakim bagi masyarakat yang itsbat nikahnya ditolak oleh hakim, maka sisi mudharatdan manfaat itu harus dinilai dari tujuan di syariatkannya agama Islam, hukum itu tegak agar sesuai dengan ajaran agama Islam. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral karna nilai sakral itulah maka syahnya suatu pernikahan harus terpenuhi syarat dan rukunnya. Kasus tersebut yang diketahui adalah para pemohon tidak melaksanakan pernikahan sesuai dengan hukum Islam.3

2

Wawancara pribadi dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan bernama DRS. Sunardi M., S.H., M.H.I pada tanggal 18 Mei 2015.

3

Wawancara pribadi dengan hakim Pengadilan Agama Semarang lewat telepon bernama Dra. Hj. Lelita Dewi, SH, M.Hum pada tanggal 20 Agustus 2015.

Dokumen terkait