• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kekerasan anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kekerasan anak"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

kekerasan terhadap Anak

Diana Mutiah

diana.mutiah@uinjkt.ac.id

Fakultas Psikologi UIN Jakarta

A. Latar Belakang Masalah

Kekerasan terhadap anak senantiasa berulang terus terjadi sepanjang kehidupan manusia. Dari tahun ketahun angka kekerasan terhadap anak semakin lama semakin meningkat. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan terjadi peningkatan kekerasan terhadap anak. Baik secara seksual, fisik maupun eksploitasi seksual komersil. Sejak Januari hingga Oktober 2013, jumlah kasus tersebut mencapai 525 kasus atau 15,85 persen dari kasus yang terjadi.

Data KPAI menyebutkan tahun 2012 terdapat 746 kasus. Jumlah ini meningkat 226 persen dari tahun sebelumnya, dengan jumlah kasus sebanyak 329 kasus. Data ini dihimpun dari pengaduan yang masuk, baik melalui pengaduan langsung, surat, telepon, email dan berita. Menurut dia, berdasarkan hasil pantauan KPAI selama tiga tahun, rata-rata 45 anak mengalami kekerasan seksual setiap bulan.Komnas Perlindungan Anak mencatat dalam semester I di tahun 2013 atau mulai Januari sampai akhir Juni 2013 ada 1032 kasus kekerasan anak yang terjadi di Indonesia. Dari jumlah itu kekerasan fisik tercatat ada 294 kasus atau 28 persen, kekerasan psikis 203 kasus atau 20 persen dan kekerasan seksual

535 kasus atau 52

perse

Anak sebagai korban kekerasan merupakan fenomena sosial yang memerlukan perhatian dari semua pihak. Hampir setiap hari pemberitaan mengenai anak-anak pada kekerasan fisik dan psikologis dapat dilihat pada media masa. Banyaknya kasus yang terjadi tentu menimbulkan pertanyaan

mendasar tentang bagaimana melindungi anak-anak dari berbagai kejahatan.

Kekerasan didefinisikan sebagai “perilaku seseorang terhadap orang lain yang dapat menyebabkan kerusakan fisik atau

psikis”(Children and Violence, 1995).

Kekerasan pada anak dengan perilaku kekerasan lain dan kriminal pada orang tua memiliki keterkaitan yang akurat. Data Statistik NSPCC menunjukkan bahwa dari tahun 1983 sampai 1987 (Creighton & Noyes, 1989), 15% ibu dan 41 % ayah memiliki catatan kriminal kekerasan pada anak. Berbagai faktor menyebabkan orang tua melakukan kekerasan. Mengajarkan disiplin dengan sikap negatif, kasar dan hinaan. Beberapa studi di Amerika yang menemukan bahwa 80 % lebih anak-anak pelaku kekerasan telah mengalami kekerasan dan penelantaran saat usia prasekolah. Studi lain (Welsh 1976 dan Feshback 1979) menemukan hubungan parahnya hukuman yang diterima saat usia kanak-kanak dengan tingkat keagresifannya saat menjadi penjahat. Penemuan yang sama ditemukan oleh tim kerja Newsons (Newson & newson 1968) di Nottingham yang menemukan hubungan yang sangat jelas antara hukuman fisik saat usia 11 tahun dengan kenakalan anak-anak. Hubungan yang sama juga terjadi pada pelaku kejahatan dewasa.

(2)

2

dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam ling¬kup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Dengan meminjam definisi kekerasan dan bentuk kekerasan dalam undang-undang PKDRT tersebut maka kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan terhadap seorang anak, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran anak termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup keluarga, sekolah dan lingkungan sosial lainnya. Berdasarkan pengertian tersebut maka bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dapat berupa fisik, seksual, psikologis/verbal.

Hasil penelitian Putri (2008) menemukan dua bentuk kekerasan terhadap anak dengan dalih memberi hukuman yang mendidik yaitu hukuman fisik, seperti: dicubit/dijewer, push up, lari keliling lapangan, dilempar menggunakan alat tulis, dijemur, ditampar/dipukul, ditendang dan hukuman

non-fisik, seperti: mencemooh /diejek dan

mengancam (http ;//freewebs.com / childabuse / sebuah tinjauan)

Kekerasan terhadap anak akan berdampak secara fisik, psikologis, dan sosial. Kekerasan secara fisik mengakibatkan organ-organ tubuh siswa mengalami kerusakan seperti memar, luka-luka.Anak yang mengalami hukuman fisik akan memakai kekerasan di keluarganya nanti, sehingga siklus kekerasan makin kuat. Biasanya, kekerasan fisik yang seperti ini langsung terlihat nyata oleh panca indra

Gelles Richard.J (1982) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak (child abuse) terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor, pewarisan kekerasan antar Generasi

(intergenerational transmission of violence), stres sosial (social stress) .Sementara itu tindakan kekerasan terhadap anak juga bukan hanya terjadi dari keluarga miskin tetapi juga dalam keluarga kelas menengah keatas dan kaya yang disebabkan beberapa hal seperti isolasi Sosial dan keterlibatan masyarakat bawah, serta struktur keluarga.

Pengukuran kekerasan anak menggunakan alat ukur Children Abuse Potential Inventory( CAPI). Inventarisasi Potensi Kekerasan pada Anak merupakan alat yang dirancang untuk mendeteksi kekerasan fisik pada anak di lingkungan tempat mereka diduga mengalami Kekerasan fisik( dalam Milner, 1986). Inventarisasi Potensi Kekerasan pada Anak dapat digunakan dalam berbagai

aplikasi penelitian. Penelitian Milner

menunjukan bahwa anak dengan skala kekerasan yang tinggi memiliki karakteristik, sifat, dan pola asuh yang mirip dengan gambaran anak yang mengalami kekerasan fisik.

Faktor Resiko dalam Keluarga

Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orang tua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orang tua utuh. Selain itu, keluarga keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan penting, seperti : di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil, bilamana mempunyai anak, dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga keluarga yang suami istri sama sama bertanggung jawab atas keputusan keputusan tersebut.

(3)

3

disangkal, diabaikan, dan tidak diperhatikan. Pandangan tersebut juga mengaggap bahwa kekerasan di rumah berada di luar wilayah hukum , tetapi sekarang pandangan itu telah berubah

Faktor risiko dapat mengidentifikasi populasi yang berisiko yang menjadi sumber kekerasan, tapi faktor risiko juga memiliki batasan.Faktor risiko yang tidak dapat diubah, misal menghilangkan kemiskinan.Faktor situasional seperti penindasan, dapat mempercepat munculnya kekerasan. Faktor risiko yang kerap muncul pada anak usia 6-11 tahun adalah pelanggaran umum, penyalahgunaan zat, kemiskinan, orang tua yang antisosial, sikap orang tua yang cenderung kasar, prestasi akademik yang rendah, perilaku antisosial, agresi dan kenakalan teman sebaya (Herrenkohl et al., 2000; USDHHS, 2001). Sedangkan untuk anak usia 12-14 tahun faktor risikonya antara lain prestasi akademis yang buruk, pendidikan yang rendah, kekerasan orangtua, ikatan sosial yang lemah, teman-teman yang antisosial, anggota geng, kepemilikan senjata api, narkoba dan alkohol, serta pelanggaran umum. Sebagai tambahan, komunitas dengan tingkat kriminalitas, kekerasan, dan penyalahgunaan obat yang tinggi membawa dampak tidak langsung pada munculnya kekerasan pada anak, terlebih jika anak mendapat pola asuh yang buruk serta kekurangan sumber daya keluarga.

Berdasarkan fenomena dan fakta-fakta tersebut diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Faktor-faktor Psikologis yang memepengaruhi kekerasan terhadap anak.

B. Permasalahan Penelitian

1. Seperti apakah bentuk-bentuk tindakan

kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anak ?

2. Faktor-faktor psikologis apakah dari

orang tua yang mempengaruhi potensi kekerasan terhadap anak ?

3. Manakah diantara faktor-faktor

psikologis dari orang tua yang mempengaruhi kekerasan terhadap anak lebih dominan ?

4. Apakah terdapat pengaruh yang

signifikan pengasuhan orang tua

terhadap kekerasan anak ?

5. Apakah ada pengaruh faktor demografi

terhadap potensi kekerasan terhadap anak ?

C. Kajian Teori

1. Definisi Kekerasan Anak

Patricia ( 2001) mendefinisikan Child

Abuse sebagai suatu kelalaian

tindakan/perbuatan oleh orang tua atau yang merawat anak yang mengakibatkan terganggu kesehatan fisik, emosional, serta perkembangan anak. Ini mencakup penganiayaan fisik dan emosi, kelalaian dan eksploitasi seksual.

KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) (2006) mendefinisikan tindak kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk ucapan, sikap dan tindakan yang dapat menimbulkan kesakitan, gangguan psikis, penelantaran ekonomi dan sosial terhadap anak oleh orang tua atau orang dewasa lainnya (2006).

Cicchetti, D & Carlson (1987) mengemukakan beberapa istilah yang mengacu pada kekerasan terhadap anak, yaitu : Unrecognized trauma, yaitu gejala-gejala klinis seperti penemuan radiologi berupa patah tulang panjang yang majemuk pada bayi atau anak-anak dengan disertai perdarahan tanpa diketahui penyebabnya.

Battered child syndrome, yaitu setiap keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh orang tua atau pengasuh lainnya.

(4)

4

emosi anak dan akibat lainnya dari asuhan yang tak memadai.

Child abuse, yaitu istilah untuk anak-anak berusia dibawah 16 tahun yang mendapat gangguan dari orang tua atau pengasuhnya yang merugikan anak secara fisik dan mental serta perkembangannya.

Definisi “kekerasan terhadap anak” masih sangat luas dan juga bersifat kultural. Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa apa yang dianggap sebagai tindak kekerasan oleh orang Amerika belum tentu dianggap sebagai tindak kekerasan juga oleh orang Indonesia. Hal ini didukung oleh hasil penelitian UNICEF dan Universitas Gadjah Mada di enam propinsi di Indonesia pada Tahun 1999 yang menyatakan bahwa terdapat nilai-nilai budaya yang mendukung “kekerasan” dalam sosialisasi atau pendewasaan anak, dan lemahnya pendidikan yang menghargai hak-hak anak di berbagai daerah (Kompas.Com, 1999). Seperti tradisi menjodohkan dan mengawinkan anak perempuan sejak usia dini yang biasa disebut pemaksaan perjodohan masih terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Kemudian tradisi yang masih dipraktekkan sampai saat ini di sebagian di daerah papua adalah pemotongan ruas jari pada saat orang tua meninggal dunia

Kekerasan pada anak yang dilakukan didefinisikan sebagai kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan seksual yang dialami anak dengan pelaku orangtua. Pengertian kekerasan dikutip dari Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.Kekerasan fisik didefinisikan sebagai perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan dalam bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan seksual meliputi (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup

rumah tangga tersebut (b)pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan oranglain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu.

Child Abuse Potential Inventory (CAPI) dikembangkan oleh Milner (1986) yang bertujuan untuk menilai sikap dan perilaku pola asuh orangtua yang terkait dengan pendisiplinan dan kekerasan terhadap anak. Latar belakang dikembangkan CAPI adalah adanya kebutuhan di lapangan bagi para pekerja social sebuah instrumen yang mudah dikerjakan dan diadmistrasikan untuk menjaring orangtua yang melakukan kekerasan terhadap anak. Studi pustaka yang cukup intesif dilakukan oleh Milner menemukan

beberapa hal yang berkaitan yaitu: harapan

yang tidak realistis terhadap anak, kecemasan terhadap perilaku anak, masalah dalam hubungan interpersonal, perasaan tidak mampua, merasa terisolasi dan kesepian, depresi, tidak mampu menghadapi stres, sikap yang kaku, impusif, pribadi yang kekanak-kanak-an, pengalaman masa kecil yang negatif, dan masalah dalam hubungan orangtua dan anak.

Berdasarkan teori yang ada maka Milner (1986) menyusun CAPI yang terdiri dari 77 item skala Abuse dan 56 item skala Validitas. Skala Abuse terdiri dari enam sub skala yaitu distres, kekakuan, ketidakbahagiaan, masalah dengan anak dan diri, masalah dengan keluarga, dan masalah dari orang lain. Skala validitas terdiri dari lie scale, random response, dan inconsistency.

(5)

5 Milner (dalam Walker & Davies, 2010)

melaporkan adanya kaitan antara meningkatnya skor skala Abuse CAPI dengan faktor-faktor resiko seperti masa kecil orangtua yang disiksa, kurangnya dukungan social, negative afek, strategi pendisiplinan dengan kekerasan

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan sampel N=1470 untuk pengembangan alat dan N= 713 untuk penelitian validasi instrument.

BCAPI terdiri dari 24 item skala Abuse dan dan 10 item skala Validitas. Item-item yang digunakan adalah item yang memiliki muatan factor yang terbesar. Komunikasi pribadi antara peneliti dan Ondersma (2013), menyarankan agar menambahkan satu item skala Abuse untuk melengkapi faktor feeling of persecution. Penelitian oleh Ondersma dkk (2005) menunjukkan BCAPI memiliki internal konsistensi sebesar 0,89 dan berkorelasi dengan skor skala Abuse CAPI (r=0,96). Validasi lintas budaya yang dilakukan oleh Walker dan Davies (2012) pada pada masyarakat Inggris menunjukkan bahwa skala Abuse BCAPI juga memiliki tingkat internal konsistensi yang cukup baik sebesar 0, 816.

Faktor-faktor Penyebab Terjadi Kekerasan kepada Anak oleh Orang Tua

Zigler dan Hall (1989) mengemukakan beberapa perspektif teori yangmenjelaskan penyebab terjadinya fenomena kekerasan yang dilakukan orangtua terhadap anak.

a. Pendekatan psikiatri

Pendekatan ini merupakan teori yang paling awal dikemukakan untuk menjelaskan orangtua yang melakukan kekerasan terhadap anak.Menurut teori ini, orangtua yang melakukan kekerasan terhadap anak dianggap menderita gangguan jiwa seperti psikopat atau sosiopat.Konsekuensi dari teori ini adalah intervensi yang dapat dilakukan bersifat kuratif dengan menggunakan terapi farmakologi dan psikoterapi.

Kelemahan dari pendekatan ini adalah dengan memberi label bahwa orangtua yang melakukan kekerasan terhadap anak sebagai penderita gangguan jiwa maka akan membuat pelaku semakin terpisahkan dari masyarakat. Kondisi ini justru akan semakin memperburuk keadaan. Selain itu, terapi farmakologi dan psikoterapi akan memakan waktu cukup lama dan menghabiskan banyak biaya. Hal ini tentu tidak efektif menyelesaikan persoalan kekerasan terhadap anak.

b. Pendekatan sosial

Berbeda dengan pendekatan psikiatri

yang sifatnya tunggal, maka pendekatan social bersifat interaksi antar beberapa faktor. Dasar pendekatan ini adalah adanya stress social yang berinteraksi dengan cultural milieu dan dinamika keluarga menghasilkan agresi, kekerasan terhadap anak. Model ini lebih menekankan akumulasi stres yang dihadapi orangtua dibandingkan faktor yang sifatnya inheren pada orangtua.

c. Pendekatan perkembangan

C. Newberger dan Cook (dalam Zigler dan Hall, 1989) yang pertama kali mengemukakan teori perkembangan kognitif untuk menjelaskan terjadinya pola asuh dengan kekerasan. Teori ini menjelaskan bahwa perkembangan sikap dan perilaku pola asuh orangtua mengikuti pola yang sama dengan perkembangan kognitif Piaget. Berfokus pada isu mengenai “anak sebgai orang”, aturan pengasuhan anak, dan penghayatan peran sebagai orangtua. C. Newberger dan Cook menawarkan empat tahap kesadaran sebagai orangtua (parental awareness).

Menurut teori ini, orangtua yang melakukan kekerasan terhadap anak berada pada level yang rendah pada tahapan perkembangan kognitif. Hal ini ditandai dengan ketika menghadapi stimulus, misalnya stressor, mereka bereaksi secara impusif dan mengambil tindakan langsung.

(6)

6

Pendekatan yang paling berhasil mengintegrasikan berbagai komponen yang berkontribusi terhadap kekerasan terhadap anak adalah model ekologi yang dikembangkan oleh Belsky (1980 ). Pendekatan ini menggunakan pendekatan ekologi Bronfenbrenner (1979) dalam studinya mengenai perkembangan anak.Model ini menjelaskan adanya lapisan-lapisan sistem ekologi yang mempengaruhi perkembangan anak.Belsky (1980) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan pada anak disusun menurut lapisan tertentu. Bagaimana lapisan-lapisan tersebut saling mempengaruhi dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 1. Teori Ekologi

Pada lapisan ontogenics menjelaskan

tentang bagaimana faktor individu berkaitan dengan kekerasan pada anak. Faktor-faktor tersebut antara lain masa lalu orangtua, tahap perkembangan orangtua, perasaan terhadap anak, pemahaman terhadap perkembangan anak, dan kesehatan mental orangtua( Zigler dan Hall, 1989). Salah satu isu yang cukup berkembang adalah mengenai sejarah masa kecil orangtua. Orangtua yang mengalami pola asuh dengan kekerasan apakah ketika dewasa akan menjadi pelaku kekerasan. Cicchetti dan Barnett (dalam Scannapieco dan Connell-Carrick, 2005) menyatakan salah satu konstruk yang dapat menjelaskan adalah kelekatan (attachment).Penelitian menunjukkan anak yang mengalami kekerasan mengalami kelekatan yang tidak aman atau tipe D

(disorganized-disoriented).Bowlby (1982) menjelaskan bahwa representasi mental dari bagaimana seseorang menjalin hubungan interpersonal berakar dari kelekatan dengan primary caregiver di masa kecil.Representasi mental meliputi sistem afek, kognitif, dan harapan mengenai bagaimana interaksi social yang ingin dibentuk.

Pada lapisan microsystem adalah

mengenai faktor yang berpengaruh secara langsung terhadap anak. Contohnya adalah kondisi keluarga, banyaknya anggota keluarga, hubungan suami-istri, kondisi kesehatan anak( Zigler dan Hall, 1989). Anak-anak dengan karakteristik tertentu seperti lahir dengan kondisi premature, berpenampilan kurang menarik, atau memiliki kekurangan fisik atau mental lebih beresiko untuk menjadi korban kekerasan orangtua. Anak yang mengalami kekerasan adalah anak yang lebih sering menampilkan perilaku negatif dibandingkan kelompok kontrol, anak yang tidak mengalami kekerasan orantua (Burgess dan Conger dalam Scannapieco dan Connell-Carrick, 2005). Kemudian, dalam sistem keluarga, faktor anak dan keluarga saling berinteraksi.Anak dapat menjadi penyebab utama orangtua melakukan kekerasan, namun faktor ini tidak berdiri sendiri.Anak dapat mempengaruhi orangtua tetapi kondisi orangtua juga dapat berpengaruh.

Lapisan exosystem mengaitkan anak

dan keluarga pada sistem yang lebih luas. Faktor-faktornya antara lain keluarga besar, status social ekonomi, komunitas, dan sistem pendukung lainnya. Sistem pendukung menjadi sumber stress bagi orangtua yang dapat mempengaruhi pola asuh orang tua( Zigler dan Hall, 1989). Hubungan dengan tetangga juga dapat mempengaruhi perilaku kekerasan

terhadap anak.Lapisan macrosystemadalah

lapisan terluar yang terus-menerus saling berinteraksi dengan lapisan ontogenics, microsystem, dan exosystem. Faktor-faktor yang masuk kategori ini adalah sikap masyarakat terhadap kekerasan,harapan masyarakat terhadap pola pendisiplinan di

Macros

Exosys

Micros

(7)

7

rumah dan sekolah, dan kekerasan yang terjadi di masyarakat(Zigler dan Hall, 1989).

Dinamika Interaksi Antar Berbagai Faktor

Berdasarkan pendekatan ekologi, peran orang tua dalam pengasuhan anak secara umum dipengaruhi dari berbagai lapisan ;ontogenic,

microsystem, exosystem, dan macrosystem.

Belsky dan Vondra (1987) menggambarkan diagram yang memperlihatkan bagaimana faktor-faktor mempengaruhi pola asuh. Gambar 2. 2 menunjukkan tiga kesimpulan yaitu ; (1) Pengasuhan adalah multi determinan. (2) Karakteristik orangtua, anak, dan konteks social menpengaruhi pengasuhan anak dengan cara dan bobot yang berbeda, dan (3) Masa lalu dan kepribadian orangtua mempengaruhi pola asuh secara tidak langsung.

Berdasarkan model ini dapat dikatakan bahwa pengasuhan yang dilakukan orang tua

merupakan hasil dari proses mencari

keseimbangan antara faktor resiko dan

kompensasi yang dialami keluarga tersebut. Penelantaran dan kekerasan terhadap anak terjadi karena faktor resiko melebihi dari kompensasi yang dimiliki keluarga tersebut, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pola asuh disfungsi merupakan interaksi antara parental stresses dan dukungan sosial.

2. Parenting Practices

Griffin, Botvin, dan kawan-kawan

dalam Jurnal Psychology of Addictive

Behaviors (2000), Vol. 14, No. 2, 174-184

yang berjudul Parenting Practices as Predictors of Substance Use, Delinquency, and Aggression Among Urban Minority Youth: Moderating Effects of Family Structure and Gender melakukan penelitian faktor pola asuh orang tua terhadap perilaku anak.

[image:7.612.42.543.515.726.2]

Penelitian ini meneliti hubungan faktor pola asuh dengan masalah perilaku di kalangan remaja minoritas perkotaan.Faktor pola asuh tersebut meliputi struktur keluarga dan jenis kelamin. Dalam penelitian ini, 228 Siswa kelas enam melaporkan seberapa sering mereka mabuk, merokok, serta berkelahi atau terlibat kenakalan remaja. Sedangkan, orang tua atau wali melaporkan bentuk-bentuk pola asuh serta pemantauan yang mereka lakukan.Penelitian menunjukkan bahwa masalah keluarga paling banyak dialami remaja laki-laki dan remaja yang memiliki orang tua tunggal.

Gambar 2.

Determinan dari pengasuhan anak: model proses (Belsky dan Vondra,1987)

Child

Development Sosial Network Marital

Relations

Child

Characteristics Parenting

Personality

Work Developmental

(8)

8

Penelitian dan teori mengenai etiologi masalah perilaku anak dan remaja kerap membahas peran keluarga dalam mengembangkan perilaku antisosial.Salah satu faktor penting yang kerap diteliti adalah struktur keluarga.Penelitian tersebut menunjukkan bahwa masalah perilaku cenderung dialami anak yang memiliki orang tua tunggal. Masalah perilaku tersebut meliputi peyalahgunaan narkoba, agresi, putus sekolah dan kehamilan remaja. Meskipun alasan mengenai kecenderungan tersebut belum jelas, sejumlah faktor dianggap sebagai pemicunya.Misalnya, beberapa orang tua tunggal memiliki pendapatan yang lebih kecil, isolasi sosial yang lebih besar, serta sumber daya untuk mengatasi masalah (coping) yang lebih sedikit dibandingkan dengan keluarga utuh (Elder, Eccles, Ardelt, & Tuhan, 1995; Gabel, 1992; Norton & Glick, 1986).Selain itu, remaja dengan orang tua tunggal tampaknya lebih rentan mengalami tekanan dari teman sebaya (Steinberg, 1987b) dan mereka cenderung membuat keputusan tanpa berkonsultasi dengan orang tua terlebih dahulu.

Penelitian lain telah menunjukkan bahwa pola asuh yang buruk menyebabkan perilaku negatif pada anak/remaja. Pemantauan orang tua yang kurang menjadi pemicu awal penyalahgunaan obat terlarang pada remaja, serta menyebabkan agresi dan kenakalan remaja. Demikian pula, kurangnya komunikasi serta peran serta orang tua terhadap kegiatan remaja menyebabkan penyalahgunaan obat terlarang dan kenakalan remaja. Misalnya, kurangnya waktu bersama antara anak dan orang tua telah menyebabkan peningkatan penyalahgunaan obat terlarang dan kebiasaan merokok pada siswa kelas tujuh.

Selain faktor keluarga, struktur keluarga dan pola asuh telah dianggap sebagai dua faktor penyebab masalah perilaku pada remaja.Peran dua faktor ini semakin terasa mengingat jumlah orang tua tunggal di Amerika Serikat telah meningkat sejak tahun

1970-an, terutama di kalangan keluarga minoritas. Data Sensus menunjukkan bahwa pada tahun 1993, sekitar 21% anak kulit putih hidup tinggal bersama orang tua tunggal, sedangkan pada anak kulit hitam mencapai 57%. Pada tahun 1970-an, jumlah anak kulit putih yang tinggal bersama orang tua tunggal mencapai 9% sedang anak kulit hitam mencapai 32% (Saluter, 1994).Selain itu, banyak orang tua tunggal dari keluarga kulit hitam perkotaan yang kurang beruntung secara ekonomi terdata melakukan kejahatan, kenakalan remaja, dan saling berdesak-desakan (National Research Council, 1993).Kombinasi faktor-faktor tersebut dapat membuat transisi masa remaja menjadi lebih menantang bagi remaja minoritas yang memiliki dengan orang tua tunggal, mengingat mereka juga cenderung menghadapi masalah sosial ekonomi. Di sisi lain, karena pengaruh pergaulan, remaja laki-laki cenderung melakukan penyalahgunaan narkoba (Rienzi et al., 1996) dan perilaku antisosial lainnya.

Penelitian ini menggunakan alat ukur pola asuh atau praktek pengasuhan (parenting practices) dari Frick. Praktek pengasuhan adalah pola interaksi antara orang tua dan anak, sejauh mana orangtua memperlakukan anak dalam kehidupan keluarganya, seperti kehangatan, kedekatan, dll. Menurut Frick ( dalam Molineuvo dkk, 2011) membagi dimensi parenting practices dalam lima dimensi, yaitu ;

Involment with children ; sejauhmana orang tua terlibat bersama aktivitas bersama anak-anaknya. Orang tua akan melakukan banyak hal bagi anak-anak mereka dan dalam sepanjang kehidupannya. Mereka akan mengupayakan untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya baik kebutuhan secara fisik, emosi maupun sosial.

(9)

9

Corporal punishment ; pemberian hukuman, lebih mengarah kepada hukuman fisik. Orang tua memberikan hukuman kepada anak ketika mereka tidak mau mematuhi ataupun tidak mentaati apa yang di inginkan / yang diharapkan oleh orang tuanya.

Monitoring ; adalah suatu kegiatan dari orang tua terhadap anak-anak dalam memantau aktivitas anak, mencatat kegiatan anak serta memastikan bahwa mereka tetap dalam batas-batas yang wajar dan tidak menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan.

Consistency in the use of such discipline ; adalah menerapkan apa yang telah dibuat sesuai kesepakatan atau memberikan sanksi yang sesuai bila anak-anak melanggar aturan yang telah ditetapkan bersama.

Tipe Kepribadian Big Five

Kepribadian Big Five adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait dalam limabentuk kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor.Lima Model Faktor Kepribadian yang juga dikenal sebagai the Big Five Personality (Rossi et.al, 2012) terdiri atas lima dimensi

kepribadian: Extraversion, Agreeableness,

Conscientiousness, Neuroticism (Emotional Instability) dan Intellect/Imagination (Openness to Experience).

Tipe Extraversion adalah sosial, aktif dan memiliki kecenderungan untuk mengalami

emosi positif.Tipe Agreeableness adalah

simpatik, saling percaya dan kooperatif.Tipe Conscientiousness adalah terorganisasi dengan baik dan teliti.Tipe Intellect/Imagination (Openness to Experience) adalah terbuka untuk pengalaman baru, ingin tahu secara intelektual

dan imajinatif.Tipe Neuroticism merupakan

representasi dari kecenderungan untuk mengalami tekanan psikologis dan ketidakstabilan emosional(Rossi et.al, 2012).

Ciri-ciri Trait Kepribadian Big Five

Model lima faktor atau Big Five Personality merupakan model teoritis yang dikembangkan dan diuji oleh Costa & McCrae, didasarkan kepada faktor “Lima Besar” yang mendasari sekumpulan sifat kepribadian

terkait: Neuroticism, Extraversion,

Agreeableness, Openness to Experience, dan Conscientoiusness.

a. Neuroticism (N)

Trait ini meilai kestabilan dan

ketidakstabilan emosi.Mengidentifikasi kecenderungan individu apakah mudah mengalami stress, mempunyai ide-ide yang tidak realistis, mempunyai coping response yang maladaptif (Costa & McCrae 1985; 1990; 1992 dalam Pervin & John, 2001).

Neuroticism (neurosisme) adalah

kumpulan enam sifat negatif yang mengindikasikan ketidakstabilan emosional: kecemasan, rasa permusuhan, depresi, kesadaran diri, impulsivitas, dan kerapuhan. Orang dengan neuritic yang tinggi bersifat gugup, penakut, lekas marah, mudah tersulut, dan sensitif terhadap kritik.Mereka dapat merasa sedih, tidak berdaya, kesepian, bersalah dan merasa tidak berharga (Papalia, Olds, Feldman, 2003).

b. Extraversion(E)

“Assesses quantity and intensity of interpersonal interaction; activity level; need for stimulation; and capacity for joy.”Trait ini menilai kuantitas dan interaksi interpersonal, level aktivitasnya, kebutuhan untuk didukung, kemampuan untuk berbahagia (Costa & McCrae 1985; 1990; 1992 dalam Pervin & John, 2001).

Trait ini memiliki lima aspek: kehangatan, mudah bergaul, asertivitas, pencari kegembiraan, dan emosi positif. Orang

extravert bersifat sosial dan menyukai

perhatian. Mereka terus sibuk dan aktif, mereka secara konstan mencari kehebohan, dan mereka menikmati kehidupan. Faktor ini merupakan dimensi penting dalam kepribadian,

(10)

10

interaksi sosial dan sosiabilitas. Individu dengan kepribadian extravert digambarkan sebagai individu periang atau penggembira. Pada saat berhubungan dengan orang lain akan mudah membangun hubungan sosial, aktif dalam memanfaatkan kesempatan ketika berjumpa dengan orang lain, easy going, dan optimis (Papalia, Olds, Feldman, 2003).

Menurut penelitian, seseorang yang memiliki faktor extraversion yang tinggi, akan mengingat semua interaksi sosial, berinteraksi dengan lebih banyak orang dibandingkan dengan seseorang dengan tingkat extraversion yang rendah. Dalam berinteraksi, mereka juga akan lebih banyak memegang kontrol dan

keintiman. Peer-group mereka juga dianggap

sebagai orang-orang yang ramah, fun-loving,

affectionate dan talkative (Ivancevich,

Konopaske, Matteson, 2006). c. Agreeableness (A)

“Assesses the quality of one’s interpersonal orientation along a continuum from compassion to antagonism in thoughs,

feelings, and actions.” Trait ini menilai

kualitas orientasi individu dengan kontinum mulai dari lemah lembut sampai antagonis didalam berpikir, perasaan dan perilaku (Costa & McCrae 1985; 1990; 1992 dalam Pervin &

John, 2001). Agreeableness adalah mereka

yang dapat dipercaya, terus terang, mengalah, rendah hati, dan mudah dipengaruhi.

d. Openness to Experience (O)

“Assesses proactive seeking and apprectiation of experience for its own sake; toleration for and exploration of the unfamiliar.”Trait ini menilai usahanya secara proaktif dan penghargaannya terhadap pengalaman demi kepentingannya sendiri. Menilai bagaimana ia menggali sesuatu yang baru dan tidak biasa (Costa & McCrae, dalam Pervin & John, 2001).

Faktor Openness terbuka terhadap

pengalaman, merupakan faktor yang paling sulit untuk dideskripsikan, karena faktor ini tidak sejalan dengan bahasa yang digunakan tidak seperti halnya faktor-faktor yang lain.

Tipe kepribadian ini mengidentifikasikan seberapa besar individu memiliki ketertarikan terhadap bidang-biadang tertentu secara luas dan mendalam. Individu yang memiliki memiliki minat lebih terhadap sesuatu hal tertentu melebihi individu lainnya yang merupakan identifikasi bahwa individu tersebut memiliki level yang tinggu pada tipe ini (Ivancevich, Konopaske, Matteson, 2006). Openness mengacu pada bagaimana seseorang bersedia melakukan penyesuaian pada suatu idea tau situasi yang baru.Openness to Experience mempunyai ciri mudah bertoleransi, kapasitas untuk menyerap informasi, menjadi sangat fokus dan mampu untuk waspada pada berbagai

perasaan, pemikiran dan impulsivitas.Seseorang dengan tingkat

openness yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki nilai imajinasi, broadmindedness, dan a world of beauty.Sedangkan seseorang yang memiliki tingkat openness yang rendah memiliki nilai kebersihan, kepatuhan, dan keamanan bersama, kemudian skor openness yang rendah juga menggambarkan pribadi yang mempunyai pemikiran yang sempit, konservatif dan tidak menyukai adanya perubahan (Papalia, Olds, Feldman, 2003).

5.Conscientiousness (C)

“Assesses the individual’s degree of organization, persistence, and motivation in

goal-directed behavior.Contrasts dependable, fastidious people with those who

are lackadaisical and sloppy.”Trait ini menilai kemampuan individu di dalam organisasi, baik mengenai ketekunan dan motivasi dalam mencapai tujuan sebagai perilaku langsungnya.Sebagai lawannya, menilai apakah indivdu tersebut tergantung, malas dan tidak rapi (Costa & McCrae, dalam Pervin & John, 2001).

Conscientiousness adalah mereka

(11)

11

dan will to achieve, yang menggambarkan

perbedaan keteraturan dan self-dicipline seseorang. Seseorang yang conscientiousness memiliki nilai kebersihan dan ambisi, orang-orang tersebut biasanya digambarkan oleh teman-teman mereka sebagai seseorang yang well-organize, tepat waktu, dan ambisius (Papalia, Olds, Feldman, 2003).

B. Hasil dan Pembahasan

Pembahasan meliputi empat bagian ; deskripsi subjek penelitian, deskripsi data penelitian, kategorisasi variable penelitian dan uji hipotesis.

1. Gambaran Umum subjek Penelitian

1.1. Responden Orang tua

a. Usia Orang tua

Gambar 1. Usia orang tua

b. Status Pernikahan

Gambar 2. Status Pernikahan Orang tua

c. Usia anak

Gambar 3. Usia Anak

d. Pekerjaan orang tua

Gambar 5. Pekerjaan orang tua

2. Hasil path analysis uji regresi

Hasil analisis nilai R-Square untuk persamaan struktural sebesar 0.21 atau 21% dari bervariasinya potensi kekerasan pada anak dijelaskan oleh variasi dari 10 independent variable (IV) dalam penelitian ini, sedangkan sisanya sebesar 79% disebabkan oleh faktor-faktor lain di luar penelitian ini.

Pengujian selanjutnya adalah koefisien regresi, untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari setiap independent variable. Kemudian untuk mengetahui signifikansi tiap variabel dilihat dari t-value jika t>1.96 maka koefisien regresi yang dihasilkan signifikan pengaruhnya terhadap potensi kekerasan pada anak, begitupun sebaliknya.

Tabel.1 .

Koefisien Regresi

No. Independent Variable Koefisien

Regresi

Standar Error

t-value Ke t. 1 Involvement with children 0.05 0.06 0.94 X 2 Positive parenting -0.27 0.06 -4.26 X 3 Monitoring parenting -0.04 0.06 -0.64 X 4 Consistency in the use of

such discipline

(12)

12

5 Corporal punishment 0.19 0.07 2.96 V

6 Extraversion 0.06 0.18 0.33 X

7 Neuroticism 0.10 0.60 1.63 X

8 Usia Orang tua 0.07 0.07 0.97 X 9 Jumlah Anak 0.17 0.07 2.41 V 10 Pendidikan Orang tua -0.03 0.06 -0.46 X

Keterangan: tanda V=signifikan (t>1.96); X=tidak signifikan (t<1.96)

Berdasarkan tabel tersebut, dari 10 IV yang diteliti ternyata hanya terdapat dua IV yang secara statistik berpengaruh signifikan terhadap potensi kekerasan pada anak, yaitu corporal punishment dan jumlah anak (dengan nilai t>1.96, menggunakan taraf signifikansi 5%).

Berikut ini penjelasan dari dua IV yang memiliki nilai signifikan secara statistik terhadap potensi kekerasan pada anak, yaitu:

a. Corporal punishment

Pada tabel di atas diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.19 dengan t-value 2.96 maka dapat disimpulkan bahwa aspek corporal punishment dalam penelitian ini memiliki pengaruh yang signifikan dan berkorelasi positif terhadap potensi kekerasan terhadap anak. Ini berarti semakin tinggi pemberian hukuman secara fisik kepada anak, maka akan semakin tinggi potensi kekerasan terhadap anak.

b. Jumlah anak

Pada tabel di atas diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.17 dengan t-value 2.41 maka dapat disimpulkan bahwa aspek jumlah anak dalam penelitian ini memiliki pengaruh yang signifikan dan berkorelasi positif terhadap potensi kekerasan terhadap anak. Jadi semakin jumlah anak makin tinggi maka akan semakin tinggi potensi kekerasan terhadap anak muncul. Pengujian berikutnya adalah pengujian proporsi varian dari praktek-praktek pengasuhan orang tua. Pada tahapan ini bertujuan untuk melihat apakah signifikan tidaknya penambahan proporsi varians dari masing-masing IV, yang mana IV tersebut dianalisis secara satu persatu.

Tabel 2 .

Proporsi Varians

No Variabel Square Multiple

R Change

1 X1 0.00 0.00

2 X12 0.12 0.12

3 X123 0.13 0.01

4 X1234 0.13 0.00

5 X12345 0.17 0.04

6 X123456 0.17 0.00

7 X1234567 0.17 0.00

8 X12345678 0.19 0.02

9 X123456789 0.21 0.02

10 X12345678910 0.21 0.00

Keterangan:

X1 : Involvement with children

X2 : Positive parenting

X3 : Monitoring parenting

X4 : Consistency in the use of such

discipline

X5 : Corporal punishment

X6 : Extraversion

X7 : Neuroticism

X8 : Usia orang tua

X9 : Jumlah anak

X10 : Pendidikan orang tua

Dari tabel di atas dapat dilihat sumbangan proporsi varians dari setiap IV terhadap DV itu bervariasi. Variabel positive parenting memberikan sumbangan yang paling besar terhadap potensi kekerasan pada anak yaitu sebesar 12% dibanding variabel lainnya.

[image:12.612.332.560.127.330.2]
(13)

13

Keterangan: tanda V=signifikan (t>1.96); X=tidak signifikan (t<1.96)

Berdasarkan tabel tersebut, ternyata tidak terdapat variabel dari variasi history yang secara statistik berpengaruh signifikan namun terdapat variabel yang berkorelasi negatif terhadap agresi verbal dalam penelitian ini yaitu variabel history seksual. Hal ini berarti bahwa semakin sedikit anak memperoleh pengalaman kekerasan secara fisik maka semakin tinggi kebencian seseorang. Semakin sedikit anak memperoleh pengalaman kekerasan secara sexual maka semakin tinggi kebencian seseorang. Semakin tinggi anak mendapatkan pengalaman emosional maka semakin tinggi kemarahan seseorang dan memberikan pengaruh yang signifikan.

Kesimpulan

Berdasarkan temuan didalam penelitian ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat bberapa factor yang mempengaruhi kekerasan terhadap anak, yaitu kepribadian

neurotiscme dan praktek pengasuhan (parenting practices) sebesar 21%. Praktek

pengasuhan yang memberikan kontribusi yang signifikan dalam timbulnya kekerasan

terhadap anak adalah pemberian hukuman

(corporal punishment) yang menyumbang sebesar 19% serta sisanya dipengaruhi oleh kepribadian dan factor demografi yaitu jumlah anak. Jadi semakin banyak jumlah anak akan memunculkan adanya potensi kekerasan terhadap anak.

Saran –saran

Berdasarkan hasil temuan penelitian ini dilakukan beberapa saran sebagai berikut ; 1). Orang tua diharapkan menerapkan pola

asuh dengan tepat, khususnya dalam

pemberikan hukuman kepada anak,

hendaknya dilakukan tidak secara fisik, namun lebih kepada memberikan pemahaman kepada anak sesuai dengan taraf perkembangan anak.

2) Orang tua diharapkan memberikan reward kepada anak sekecil apapun kinerja yang telah dilaporkan kepada orang tuanya dari anak, maka tentu saja perlu diberikan apresiasi atas hasil usaha yang telah dilakukan oleh anak. Berikan pujian, pelukan, aktivitas yang disukai ataupun reward dalam bentuk lainnya.Lakukan komunikasi secara terbuka dan hangat yang dapat dilakukan saat makan malam bersama di meja makan.

3). Orang tua hendaknya dapat memahami bahwa pengalaman masa kecil anak terhadap kekerasan akan menimbulkan persoalan dikemudian hari apabila tidak terselesaikan dengan baik. Artinya orang tua perlu berfikir tindakan yang melukai anak dapat berakibat fatal dikemudian hari karena akan mempengaruhi self esteem dan tingkat agresivitas anak.

Daftar Pustaka

Anna Georgsson , Kjerstin Almqvist , Anders G. Broberg ; Jurnal Child Psychiatry Hum Dev (2011) 42:539–556 ; Dissimilarity in Vulnerability: Self Reported Symptoms Among Children with Experiences of Intimate Partner Violence , Published online: 3 May 2011 ; Springer Science+Business Media, LLC 2011

Andreson, C., & Bushman, B. J. (2002). Human aggression. Annual Reviews Psychology. 53, 27-51.

Anderson, C., & Carnaegy, N. (2004). Violent evil and the general aggression model. Chapter in A. Miller (Ed). The Social Psychology of Good and Evil, 162-192. New York: Guilford Publications.

(14)

14

Baumister, R.F., Bushman, B.J., & Campbell, W. K. (2000). Self-esteem, narcissism, and agression: Does violence result from low self-esteem or from threatened egotism?. American Psychology Society, 9,1.

Baumister, R. F., Smart, L., & Boden, J. M. (1996). Relation of threatened egotism to violence and aggression : the dark side of high self-esteem. Psychological Review, 103, 1, 5-33.

Bednar, K. L. Loneliness and self-esteem at different level of the self. Illinois Wesleyan University

Berkowitz, L. (1993). Aggression; its causes, consequences and control. USA:McGraw-Hill, Inc.

Belsky, J & Vondra, J. 1989. Lessons from child abuse: the determinants of parenting. In

Cicchetti, Dc& Carlson, V. Child

Maltreatment: Theory and Research on The Causes and Consequence of Child Abuse and Neglect. Cambrige University Press: Cambridge.

Bushman, B. J., & Baumister, R. F. (1998). Threatened egotism, narcisissm, self-esteem, and direct and displaced aggression: Does self-love or self-hate lead to violence. Journal of Personality and Social Psychology, 75, 1, 219-229.

Buss, A, H., & Perry, M. (1992). The aggression questionnaire. Journal of Personality and Social Psychology, 63, 452-459.

Carla A. Mazefsky, M.S.1 and Albert D. Farrell, Ph.D, The Role ofWitnessing Violence, Peer Provocation,Family Support, and Parenting Practices in theAggressive Behavior of Rural

Adolescents, Journal of Child and

Family Studies, Vol. 14, No. 1, March

2005 ( C _ 2005), pp. 71–85DOI:

10.1007/s10826-005-1115-y

Christine A.Walsha,∗, et all , Measurement of victimization in adolescence:

Development andvalidation of the Childhood Experiencesof Violence Questionnaire, Child Abuse & Neglect 32 (2008) 1037–1057

Cecilia Martinez-Torteya, G. Anne Bogat, Alexander von Eye, and Alytia A. Levendosky, Jurnal Child

Development, March/April 2009, Volume 80, Number 2, Pages 562– 577: Resilience Among Children Exposed to Domestic Violence: The Role of Risk and Protective Factors, Michigan State University

Canning. (2011). An investigation of the relationship between self-esteem and aggression in care leavers. South Wales : Cardiff University.

Chaplin, J, P. (2008). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Cohen, Goeoffrey L., & Prinstein, Mitchell J. (2006). Peer contagion of aggression and health risk behavior among adolescent males: an experimental investigation of effects on public conduct and private attitude, Journal of Child Development, 77, 4, 967-983.

Dewall, C. N., Anderson, C. A., & Bushman, B. J. (2011). The aggression model: theoritical extensions to violence. Psychology of Violence, 1(3), 245-258.

(15)

15

delinquency. American Psychology

Society, 16, 4.

Durkin, K. (1995). Developmental social psychology. British : Blackwell.

Elarousy, W. & Al-Jadaani, M. 2013. Emotional abuse among children: a study in Jeddah, Saudi Arabia.Eastern Mediterranean Health JournalVol 19, No. 10

Fujiwara T, M. Okuyama and M. Izumi ; Jurnal Blackwell Publishing Ltd, Child: care, health and development ; The impact of childhood abuse

history, domestic violence and mental health symptoms on parenting

behaviour among mothers in Japan Fajri, N. (2013). Pengaruh self-esteem,

kecerdasan emosi, dan konformitas teman sebaya terhadap agresivitas remaja. Jakarta: Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Franzoi, S. L. (2003). Social psychology. 3rded. New York: The McGraw-Hill Companies.

Freedman, J. L., Sears, D. O., & Carismith. J. M. (1978). Psikologi sosial. 3th ed. USA : Prentice-Hall, Inc.

Garandeau, C. F., & Cillessen, A. H. N. (2006). From indirect aggression to invisible aggression: A conceptual view on bullying and peer group manipulation. Aggression and Violent Behavior, 11, 612-625.

Hess, N. A., & Hagen, E. H. (2006). Sex

differences indirect aggression

psychological evidence from young

adults. Evolition and Human

Behavior, 27, 231-245.

John Briere and MarshaRuntz, ChildAbused Neglect. Vol. 14. pp. 357-364. 1990

014s2134 /9053.00, Hospital Place, Los Angeles, CA 90033.357Rintcdin the U.S.A. All rights reserwd.

copyright 0 1990 Pergamon press plc King, L.A. (2010). Psikologi Umum: Sebuah

Pandangan Apresiatif. Jakarta: Salemba Humanika

Kenneth W. Griffin, Gilbert J. Botvin, Lawrence M. Scheier, Tracy Diaz,and Nicole L. Miller, Parenting practices as predictors of substance use, delinquency, and aggression among urban minority youth: moderating effects of family structure and gender, Psychology of Addictive Behaviors2000, Vol. 14, No. 2,

174-184

Leon, A. G., Reyes, G. A., Villa, J., Perez, N., Robles, H., & Ramos, M. M. (2002). The aggression questionner: a validation study in student samples. The Spanish journal of Psychology, 5 (1), 45-53.

Lestari, Murchani Fuji. (2013). Pengaruh Forgiveness dan Self-Esteem terhadap Agresivitas Remaja Siswa SMA di Serpong. Jakarta: Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

New Direction in Child Abuse and Neglect Research. 2013. Committe on Child altreatment, Research, Policy, and Practice for The Next Decade: Phase II, Board on Child, Youth, and Family. Institute of Medical and National Research . The National Academic Press: Washington DC.

Milner, J. S. ( 1986). The Child Abuse Potential Inventory: Manual , 2ed. Psytec Inc: Illnois.

(16)

16

offenders. Family relations 44, 4 478 -488

Martin-Albo, J., Nunez, J., Navarro, J., & Grijalvo, F. (2007). The rosenberg self-esteem scale: translation and validationin university students. The Spanish Journal of Psychology, 10, 2, 458-467.

Minchinton, J. (1995). Maximum self-esteem. Kuala Lumpur: Golden Books Centre SDN BHD.

Myers, D. G. (2009). Exploring social

psychology. 5thed. New York:

McGraw-Hill.

Margolin, G. (2005). Children’s exposure to violence: Exploring developmental pathways to diverse outcomes.Journal of Interpersonal Violence, 20(1),72– 81.

Nicola A. Conners-Burrow et all ;Journal Clinical Pediatrics 52(2) 171– 177 © The Author(s) 2012 Reprints and permission: sagepub.com / journalsPermissions.nav ; Maternal Low- and High-Depressive Symptoms and Safety Concerns for Low-Income Preschool Children,

Nietzel, M. T., Bernstein, D. A., &Milich, R.

1998. Introduction to Clinical

Psychology.New Jersey: Prentice Hall.

Okada, R. (2012). Friendship motivation, aggression, and self-esteem in japanese undergraduate students. Scientific Research, 3, 1, 7-11.

Ondersma, S. J., Chaffin, M. J., Mullins, S. M., & Le Breton, J. M. A Brief. 2005. Form of the Child Abuse Potential Inventory:

Development and Validation.Journal of Clinical Child and Adolescent

Psychology, Vol. 34, No. 2, 301–311

Perez, M., Vohs, K., & Joiner, Jr. T. E. (2005). Discrepancies between self-and other-esteem as correlates of aggression. Journal of Social and Clinical Psychology, 24 (5), 607-620.

Priantoro, Agung. (2002). Hubungan antara konformitas kelompok dengan perilaku agresif pada siswa siwsi kelas 1 regulerSMU Islam PB Sudirman Jakarta. Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.

Rahmatillah, Al-Jum’Atun. (2012). Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five Dan Self Control Terhdapa Agresivitas Satuan Polisi Pamong Praja Kota Tangerang. Jakarta : Fakultas Psikologi Uin Syarif Hidayatullah.

Ridyawanti. (2010). Hubungan identitas sosial dan konformitas kelompok dengan agresivitas suporter sepakbola Persija. Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.

Raven, B. H., & Rubin, J. Z. (1976) Social psychology. 2nd ed. USA: John wileyb & Sons Inc.

Sandra A. Graham-Bermann,1 Lana E. Castor,1 Laura E. Miller,1 and Kathryn H. Howell ; Journal of Traumatic Stress, August 2012, CE Article ; The Impact of Intimate Partner Violence and Additional Traumatic Events on Trauma Symptoms and PTSD in Preschool-Aged Children

Scannapie co., M., Connel-Carrick, K.

2005.Understanding child Maltreatment ; an pcychological and

(17)

17

Sloan, P., Berman, M., Hill, V., & Bullock, J. (2009). Group influences on self-aggression: conformity and dissenter effects. Journal of Social Psychology, 5, 535-553.

Sloan, P., Berman, M. E., Zeigler-Hill, V., Greer, T. F., & Mae, Lynda. (2006). Group norms and self-aggressive

behavior. Journal of Social and

Clinical Psychology, 25, 10,

1107-1121.

Sears, D. O., L. Freedman, J,L., Peplau, L, A.

(1994). Psikologi Sosial. Jilid 2.

(diterjemakan oleh Michael Adryanto) Jakarta : Erlangga.

Straus, M. A. (1990). The Conflict Tactics Scales and its critics: An evaluation and new data on validity and reliability. In M. A. Straus & R. J.

Gelles(Eds.), Physical violence

inAmeri-can families: Risk factors and adaptations to violence in 8,145 families (pp. 29–73). New Brunswick, NJ: TransactionPublishers.

Straus, M. A. (1996). About my

parents.Unpublished instrument. Durham, NH: The Family Research Laboratory and the Crimes Against Children ResearchCenter.

Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2009). Psikologi sosial. 12th ed. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Tremblay, P. F., & Ewart, L. A,. (2005). The Buss And Perry Aggression Questionnaire and its Relations To Value, The Big Five, Provoking Hypothetical Situations, Alcohol Consumption Patterns, And Alcohol Expectancies. Personal and Individu Differences, 38, 337-346.

Wade, C. & Travis, C. (2007). Psychology. Edisi 9th ed. Jakarta : Erlangga.

Wiggins, J. A., Wiggins, B. B., & Zanden, J. V. (1994). Social psychology. USA: McGraw-hill Inc.

Walker, C. A & Davies, J. 2010. Critical Review of the Psychometric Evidence Base of the

Child Abuse Potential Inventory. Journal Family Violance . No. 25, pg. 215– 227.

DOI 10.1007/s10896-009-9285-9.

Walker, C. A & Davies, J. 2010.A Cross-cultural Validation of the Brief Child Abuse

Potential Inventory (BCAPI). Journal Family Violance. No.27, pg.697-705, DOI

10.1007/s10896-012-9458-9.

Zigler, E & Hall, N. W. 1989. Physical child abuse in America: past, present, and future. In

Gambar

Gambar 2.
Tabel 2 .   X

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1)Pengaruh tripton dan arang aktif pada pembesaran kecambah anggrek Phalaenopsis menunjukkan pengaruh yang nyata

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kejadian gangguan fungsi paru akibat paparan debu, umur, masa kerja, status gizi, lama kerja, kebiasaan merokok,

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif antara budaya organisasi dengan stres pada taruna tingkat I Akademi

Dari berbagai variabel yang mempengaruhi pengungkapan penerapan CSR, dipilih enam variabel untuk diteliti, yaitu profitabilitas yang diproksikan dengan net profit margin dan return

A possible species specialised to the Gunung Jerai Forest Reserve is Acanthocobitis zonalternans, which was sampled at the Sungai Teroi, Sungai Badak, Sungai Bukit Merah, Sungai

Puji dan syukur Alhamdulillah atas segala nikmat iman, islam, kesempatan, dan kekuatan yang telah diberikan oleh Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

The research is focused on the development a tool for converting IOTNE into IOTED and apply the tool to obtain EDM in the Indonesian industrial sector based on the 2008

Menyatakan bahwa “Tugas Akhir” yang saya buat untuk memenuhi persyaratan kelulusan pada progam studi Diploma Tiga D-III Fakultas Ekonomi Universitas Islam Negeri UIN Maulana