• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak 2.1.1 Pengertian anak - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga (Studi Kasus Di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak 2.1.1 Pengertian anak - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga (Studi Kasus Di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara)"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

29 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anak

2.1.1 Pengertian anak

Indonesia memiliki beragam persepsi yang memuat berbagai macam definisi dan kriteria tersendiri mengenai anak yang diatur dalam hukum nasional. Namun, secara khusus belum terdapat ketentuan yang secara jelas dan seragam yang mengatur tentang batasan usia seseorang dapat dikelompokkan sebagai anak. Hal itu dapat dilihat dari beberapa perumusan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengertian anak antara lain;

(2)

30

Menurut The Minimum Age Convention nomor 138 (1973), pengertian anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun kebawah. Sebaliknya, dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Children) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres nomor 39 tahun 1990 menetapkan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF mendefenisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun (Huraerah, 2007 : 33).

2.1.2 Hak-hak anak

Hak Anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi baik oleh keluarga, masyarakat dan juga pemerintah dan negara. Dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.Setiap anak berhak atas kesejahteraan, mendapatkan kelembutan, kasih sayang, perawatan, bimbingan, pengasuhan, pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

(3)

31

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk negara Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990. Dengan demikian, Indonesia berkewajiban untuk mengimplementasikan hak-hak anak yang dilakukan dengan mengakui adanya hak-hak anak serta melaksanakan dan menjamin terlaksananya hak-hak anak di masyarakat.

KHA berdasarkan materi hukumnya mengatur mengenai hak-hak anak dan mekanisme implementasi hak anak oleh negara sebagai pihak yang meratifikasi peraturan tersebut. Materi hukum mengenai hak-hak anak tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu:

a. Hak atas kelangsungan hidup, yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak-hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan sebaik-baiknya.

b. Hak perlindungan, yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi.

c. Hak untuk tumbuh kembang, yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi segala bentuk pendidikan formal maupun non formal dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak.

d. Hak untuk berpartisipasi, yaitu hak-hak dalam KHA yang meliputi hak anak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak.

Adapun hak-hak dasar anak menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak meliputi :

(4)

32 c. Hak atas pemeliharaan dan perlindungan d. Hak atas perlindungan lingkungan hidup e. Hak mendapat pertolongan pertama f. Hak memperoleh asuhan

g. Hak memperoleh bantuan

h. Hak diberi pelayanan dan asuhan i. Hak memperoleh pelayanan khusus j. Hak mendapat bantuan dan pelayanan

2.1.3 Kebutuhan anak

Setiap anak memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang menuntut untuk dipenuhi agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar. Kebutuhan dasar yang sangat penting bagi anak adalah adanya hubungan orangtua dan anak yang sehat di mana kebutuhan anak, seperti perhatian dan kasih sayang, perlindungan dan pemeliharaan harus dipenuhi oleh orangtua (Katz, dalam Huraerah, 2007: 38).

Kebutuhan umum anak adalah mendapatkan perlindungan, kasih sayang, perhatian dan kesempatan untuk terlibat dalam pengalaman positif yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan sosial yang sehat. Sementara itu, Huttman (dalam Huraerah, 2007: 38) merinci kebutuhan anak sebagai berikut :

(5)

33

6. Pembinaan kemampuan intelektual dan keterampilan dasar 7. Pemeliharaan kesehatan

8. Pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal yang sehat dan memadai

9. Aktivitas rekreasional yang konstruktif dan positif 10. Pemeliharaan, perawatan, dan perlindungan.

Dalam menjamin pertumbuhan fisiknya, anak membutuhkan makanan yang bergizi, pakaian, sanitasi, dan perawatan kesehatan. Untuk menjamin perkembangan psikis dan sosialnya, anak memerlukan kasih sayang, pemahaman, suasana rekreatif, stimulasi kreatif, aktualisasi diri, dan pengembangan intelektual.

Kegagalan dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut akan berdampak negatif pada pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual, mental dan sosial anak. Anak bukan saja rentan terhadap gizi dan kualitas kesehatan yang buruk, juga akan mengalami hambatan mental, daya nalar yang lemah dan bahkan perilaku-perilaku lain seperti menjadi nakal, sukar diatur, yang kelak mendorong mereka menjadi manusia yang menyimpang dan pelaku kriminal.

Pertumbuhan dan kesejahteraan fisik, intelektual, emosional, dan sosial anak akan mengalami hambatan jika anak mengalami hal sebagai berikut:

a. Kekurangan gizi dan tanpa perumahan yang layak. b. Tanpa bimbingan dan asuhan.

c. Sakit dan tanpa perawatan medis yang tepat. d. Diperlakukan salah secara fisik.

e. Diperlakukan salah dan diekspolitasi secara seksual.

(6)

34

g. Dieksploitasi, bekerja berlebihan, terpengaruhi oleh kondisi yang tidak sehat dan demoralisasi (Soetarso, dalam Huraerah, 2006: 39).

2.1.4 Perlindungan anak

Dalam mengatasi kompleksnya permasalahan yang dihadapi anak, telah disahkan Undang-Undang Perlindungan Anak melalui Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak dari segala bentuk perlakuan yang tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas berahlak mulia dan sejahtera.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014, perlindungan anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Upaya perlindungan anak perlu dilakukan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berusia 18 (delapan belas) tahun.

Undang-undang Perlindungan Anak adalah salah satu bagian dari mengoperasionalkan Konvensi Hak Anak (KHA). Undang-undang ini didasari oleh empat prinsip utama KHA yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child), hak untuk hidup dan berkembang, serta penghargaan

(7)

35 2.2 Anak korban kekerasan

2.2.1 Pengertian anak korban kekerasan

Anak korban kekerasan adalahanak yang berusia 5 – 18 tahun yang terancam secara fisik dan non fisik karena tindak kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan keluarga atau lingkungan sosial terdekatnya, sehingga tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial pukul 22:36WIB)

2.2.2 Profil Anak Korban Kekerasan

Anak yang menjadi korban tindak kekerasan tidak dibatasi oleh perbedaan jenis kelamin. Baik anak laki-laki dan perempuan berpotensial untuk diperlakukan secara tidak wajar. Namun, secara kuantitatif perlakuan salah berupa kekerasan tersebut sering terjadi pada perempuan. Hal tersebut dikarenakan, anak perempuan dalam banyak praktek kehidupan sosial sering ditempatkan sebagai individu yang lebih lemah, tergantung, mudah dikuasai dan diancam sehingga sering menjadi objek tindak kekerasan khususnya tindak kekerasan seksual (Harkrisnowo, dalam Suyanto, 2010: 49).

Selain itu, anak yang menjadi korban tindak kekerasan memiliki usia yang bervariasi, dari usia anak-anak balita hingga sekitar 17-18 tahun. Biasanya, anak yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga adalah anak yang tidak diharapkan kehadirannya oleh orangtua mereka (Freeman, dalam Suyanto, 2010 : 51).

(8)

36

golongan masyarakat yang lebih rendah yang sering menjadi korban diakrenakan kondisi lingkungan dan kebutuhan hidup yang memungkinkan kasus tersebut terjadi.

Secara umum, ciri-ciri anak yang mengalami kekerasan adalah sebagai berikut:

a. Menunjukan perubahan perilaku dan kemampuan belajar.

b. Tidak memperoleh batuan untuk masalah fisik dan masalah kesehatan yang seharusnya menjadi perhatian orangtua.

c. Memiliki gangguan belajar atau sulit berkonsentrasi. d. Selalu curiga dan siaga terhadap orang lain.

e. Selalu mengeluh, pasif atau menghindar.

f. Datang ke sekolah atau tempat aktivitas lebih awal dan pulang terakhir, bahkan sering tidak mau pulang ke rumah.

2.3 Keluarga

2.3.1 Pengertian keluarga

Keluarga merupakan kelompok sosial yang terkecil yang umumnya terdiri dari ayah, ibu dan anak (Su’adah, 2003:23). Pengertian keluarga juga diatur dalam Undang-undang RI Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga yang menyatakan bahwa, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.

(9)

37 2.3.2 Peranan Keluarga

Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.

Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut : 1. Peranan Ayah: Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan

sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.

2. Peranan Ibu: Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.

3. Peran Anak: Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.

2.3.3 Fungsi keluarga

(10)

38 a. Fungsi biologik

Keluarga sebagai tempat melahirkan anak, menumbuh kembangkan anak, memelihara dan membesarkan anak, dan merawat anggota keluarga dan meneruskan keturunan untuk kelestarian sistem sosial yang bersangkutan.Fungsi ini merupakan dasar kelangsungan hidup masyarakat. b. Fungsi afeksi

Dalam keluarga terjadi hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi. Hubungan afeksi adalah hubungan yang tumbuh sebagai akibat hubungan cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan. Dasar cinta kasih dan hubungan afeksi ini merupakan faktor penting bagi perkembangan pribadi anak.

c. Fungsi sosialisasi

Fungsi ini menunjuk peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak.Melalui interaksi sosial dalam keluarga, anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadian anak (Khairuddin, 1997:48-49). Dari uraian mengenai fungsi-fungsi keluaga diatas, maka jelaslah bahwa fungsi-fungsi ini semuanya memegang peranan penting dalam keluarga, terutama dalam meningkatkan kesejahteraan individu yang menjadi anggota keluarganya.

(11)

39

dikasihi, dimengerti dan rasa aman melalui perawatan, asuhan, ucapan-ucapan dan perlakuan-perlakuan (Gunarsa, 2003 : 6).

2.3.4 Karakteristik kekerasan dalam Keluarga

Menurut Abbott (dalam Luhulima, 2000 : 55), kekerasan dalam keluarga sebagai penyalahgunaan kekerasan atau kekuasaan oleh salah satu anggota keluarga kepada anggota lain, yang melanggar hak individu.

Beberapa karakteristik kekerasan dalam keluarga (Soetarso, dalam Abu Huraerah, 2007:68) :

a. Bentuk umum terjadinya kekerasan dalam keluarga menyangkut penyalahgunnaan kekuatan oleh pihak yang kuat (orangtua) terhadap yang lemah (anak). Perbedaan kekuatan ini dapat berupa ukuran dan kekuatan fisik maupun status.

b. Adanya tingkatan kekerasan, dari yang ringan sampai sangat berat atau fatal c. Kekerasan dilakukan berkali-kali

d. Kekerasan dalam keluarga umumya berlangsung dalam konteks penyalahgunaan dan eksploitasi psikologis. Misalnya, penghinaan verbal yang berupa ejekan atau sumpah serapah seringkali mengawali terjadinya kekerasan secara fisik.

e. Kekerasan dalam keluarga mempunyai dampak negatif terhadap semua anggota keluarga baik yang terlibat dalam kekerasan maupun yang tidak. Setiap orang dalam keluarga akan merasa tidak tentram, dan masalah ini dapat merusak kehidupan suatu keluarga.

(12)

40

Setiap orang berpotensial menjadi pelaku tindak kekerasan terhadap anak baik masyarakat dan juga anggota keluarga termasuk orangtua. Orangtua yang tidak mampu menyesuaikan diri terhadap proses perubahan sosial yang cepat biasanya lebih potensial melakukan tindakan menyimpang termasuk tindakan menganiaya anak yang seharusnya mereka lindungi.

Kemampuan berpikir dan kematangan emosional orangtua yang labil seperti rentan mengalami depresi, stres, kekecewaan, frustasi dan sebagainya akan mudah menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak (Suyanto, 2010: 60).

Sedangkan ciri-ciri umum orangtua yang melakukan kekerasan pada anak adalah:

a. Tidak ada perhatian pada anak.

b. Menyangkal adanya masalah pada anak di rumah dan di sekolah, dan menyalahkan anak pada setiap masalah.

c. Meminta guru untuk memberi hukuman berat dan menerapkan disiplin pada anak.

d. Menganggap anak sebagai anak yang bandel, tidak berharga, dan susah diatur. e. Menuntut kemampuan fisik dan akademik anak, tidak sebanding dengan

kemampuan yang ada.

f. Hanya memperlakukan anak pemenuhan kepuasaan akan kebutuhan emosional untuk mendapatkan perhatian dan perawatan

2.4 Kekerasan terhadap anak

(13)

41

atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.

2.4.1 Pengertian Kekerasan terhadap Anak

Kekerasan secara sederhana dapat diartikan menjadi penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Kekerasan sebagai perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, fisikologis atau finansial, baik yang di alami individu maupun kelompok. Istilah kekerasan terhadap anak meliputi tindakan ancaman fisik, baik yang secara langsung dilakukan oleh orangtua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran akan kebutuhan-kebutuhan dasar anak (Barker, dalam Huraerah, 2007:47).

Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat di definisikan sebagai peristiwa perlukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, yang di indikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejateraan anak. Contoh paling jelas dari tindak kekerasan yang dialami anak adalah pemukulan atau penyerangan secara fisik berkali-kali sampai terjadi luka atau goresan. Namun, kekerasan terhadap anak tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan secara fisik melainkan juga berupa bentuk eksploitasi, pemberian makanan yang tidak layak, pengabaian pendidikan dan kesehatan dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (Suyanto, 2010 : 28).

2.4.2 Bentuk-bentuk kekerasan

(14)

42

abuse, physical abuse, sexual abuse. Sementara itu, Suharto (dalam Huraerah, 2007:

47)) mengelompokkan kekerasan terhadap menjadi: kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikis, kekerasan seksual, kekerasan secara sosial serta kekerasan emosional. Kelima bentuk kekerasan terhadap anak itu dapat di jelaskan sebagai berikut:

1. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah penyiksaan, pemukulan dan penganiayaan terhadap anak dengan atau tanpa mengunakan benda-benda tertentu, menimbulkan luka-luka fisik, atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat sentuhan kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sudutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya di temukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak di sukai orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus menerus, merusak barang berharga, dan lain sebagainya.

Tindakan kekerasan fisik yang terjadi di rumah biasanya dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya, seperti dijewer, disabet dengan menggunakan ikat pinggang, dicubit, dipukul dengan gagang sapau, ditendang, disundut rokok dan sebagainya.

2. Kekerasan psikis

(15)

43

umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika di dekati, takut bertemu dengan orang lain, dan lemah dalam membuat keputusan.

3. Kekerasan seksual

Kekerasan seksual adalah segala tindakan yang muncul dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukan hubungan seksual (sexual intercourse), melakukan penyiksaan atau bertindak sadis serta meninggalkan seseorang termasuk mereka yang tergolong masih berusia anak-anak setelah melakukan setelah melakukan seksualitas. Segala perilaku yang mengarah pada tindakan pelecehan seksual terhadap anak-anak baik di sekolah, di dalam keluarga, maupun dilingkungan sekitar tempat tinggal anak juga termasuk dalam kategori kekerasan atau pelanggaran terhadap hak anak jenis ini.

Menurut Resna dan Darmawan tindakan kekerasan seksual terdiri dari perkosaan, eksploitasi dan incest. Perkosaan,pelaku tindakan perkosaan biasanya pria dan seringkali terjadi pada suatu saat di mana pelaku lebih dulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi. Incest, sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual antara individu yang mempunyai hubungan dekat (Huraerah, 2007:71). McGuire dan L. Getz, juga menyatakan incest sebagai hubungan seksual yang terjadi di antara anggota kerabat dekat, dan biasanya antar anggota dalam suatu keluarga inti (Huraerah, 2007:66).

4. Kekerasan sosial

(16)

44

anak dikucilkan, di asingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak.

Sedangkan eksploitasi anak merujuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang di lakukan keluarga atau masyarakat, sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik. psikis, dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai. Anak dipaksa untuk angkat senjata atau dipaksa melakukan pekerjaan rumah tangga yang melebihi batas kemampuannya.

5. Kekerasan emosional atau kekerasan verbal

Kekerasan emosional atau kekerasan verbal, biasanya dilakukan dalam bentuk memarahi, mengomel, membentak dan memaki anak dengan cara berlebihan dan merendahkan martabat anak, termasuk mengeluarkan kata-kata yang tidak patut di dengar oleh anak (Huraerah,2007:66).

6. Kekerasan ekonomi

Kekerasan jenis ini sangat sering terjadi di lingkungan keluarga. Contoh bentuk kekerasan ekonomi yaitu perilaku melarang pasangan untuk bekerja atau mencampuri pekerjaan pasangan, menolak memberikan uang atau mengambil uang serta mengurangi jatah belanja bulanan. Pada anak-anak, kekerasan ini terjadi ketika orang tua memaksa anak yang masih berusia di bawah umur untuk dapat memberikan kontribusi ekonomi keluarga (Suyanto,2010:30).

(17)

45

2007: 172). Kekerasan dalam bentuk penelantaran anak berupa penelantaran fisik, keamanan, mendapatkan perawatan kesehatan, pendidikan, dan emosional.

Penelantaran fisik meliputi tindakan seperti tidak terpenuhi kebutuhan makan, pakaian atau tempat tinggal yang layak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Penelantaran keamanan mencakup tindakan seperti cedera yang disebabkan kurangnya pengawasan orangtua. Penelantaran mendapatkan perawatan kesehatan mencakup tindakan seperti mengingkari adanya penyakit serius pada anak. Penelantaran pendidikan mencakup tindakan seperti tidak mendaftarkan anak usia sekolah ke sekolah, tidak memenuhi kebutuhan pendidikan khusus anak, menyuruh anak mencari nafkah sehingga terpaksa putus sekolah. Penelantaran emosional mencakup tindakan seperti tidak adanya perhatian terhadap kebutuhan anak akan kasih sayang dan menolak kehadiran anak (Rusmil, dalam Huraerah, 2007: 67).

2.4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan pada anak

Kekerasan tidak terjadi begitu saja, terjadinya kekerasan terhadap anak di sebabkan oleh beberapa faktor penting yang mempengaruhinya. Salah-satu penyebab kekerasan terhadap anak adalah karena pengaruh keluarga, pengaruh ekonomi, maupun karena pengaruh genetika. Menurut Richard J Gelles (dalam Huraerah, 2007: 53-55) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak (child abuse) terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor, yaitu:

(18)

46

diperlakukan dengan kekerasan menjadi orang tua yang bertindak keras kepada anak-anaknya.

b. Stres Sosial (social stress)

Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup: pengangguran (unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing conditions), ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than average

family size), kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), orang cacat

(disabled person) di rumah, dan kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan.

c. Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah

Orang tua dan pengganti orang tua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orang tua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat.

d. Struktur Keluarga

Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orang tua tunggal lebih sering melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orang tua utuh. Hal ini disebabkan keluarga-keluarga dengan orang tua tunggal biasanya lebih sedikit mendapatkan uang daripada keluarga lainnya, sehingga hal ini dapat meningkatnya risiko tindak kekerasan.

(19)

47

keluarga yang tanpa mempunyai masalah. Selain itu, keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan penting, seperti di mana mereka akan bertemplat tinggal dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi daripada keluarga keluarga yang di dalamnya para orang tua membagi tanggung jawab untuk membuat keputusan-keputusan.

Sementara itu, Moore dan Parton (dalam Huraerah, 2007:52) menyatakan bahwa kekerasan terhadap anak lebih disebabkan oleh faktor individual dan adanya faktor sosial. Mereka yang menekankan faktor individual mengatakan bahwa orangtua yang memiliki potensi untuk menganiaya anak mempunyai karakteristik tertentu, yaitu mempunyai latar belakang yang juga penuh kekerasan, ia sudah terbiasa menerima pukulan; ada anggapan bahwa anak sebagai individu seharusnya memberikan dukungan dan perhatian kepada orangtua sehingga ketika anak tidak dapat memenuhi harapan tersebut, orangtua merasa bahwa anak harus dihukum; karakter lainnya adalah ketidaktahuan perkembangan anak.

Sedangkan bagi mereka yang berpendapat bahwa perspektif sosial lebih penting menyatakan bahwa seorang individu tidak mungkin dapat di pahami tanpa memahami konteks sosialnya. Dalam hal kekerasan, seseorang mungkin saja tidak mempunyai jaringan sosial yang memuaskan, yang tidak cukup mendukung dalam menghadapi masalah atau juga mungkin ketidakpuasan melihat struktur sosial dimana ia berada pada kondisi yang kurang beruntung.

(20)

48 a. Faktor Internal

Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam individu. Kekerasan terhadap anak-anak sesungguhnya dapat bersumber dari kondisi sang anak sendiri. Kekerasan dan pelanggaran terhadap hak anak dipengaruhi karakter dari anak itu sendiri seperti masalah tingkah laku anak yang sangat aktif, anak yang sulit diatur sikapnya, anak yang tidak dikehendaki kelahirannya, anak yang mengalami kelahiran prematur, anak yang mengalami sakit sehingga mendatangkan masalah, hubungan yang tidak harmonis sehingga mempengaruhi watak, anak yang memiliki kelainan baik fisik dan mental serta anak yang meminta perhatian khusus (Ismail dalam Suyanto, 2010: 33-35).

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri anak yang mempengaruhi terjadinya kekerasan pada anak, dalam hal ini faktor dari keluarga (orangtua) yang meliputi:

1. Faktor ekonomi

(21)

49 2. Faktor pola asuh orangtua

Orang tua sebagai figur yang berperan penting dalam perkembangan anak yaitu dalam bentuk pola pengasuhan orang tua. Pendampingan orang tua diwujudkan dalam suatu cara-cara orang tua mendidik dan terletak pada interaksi antara orang tua dengan anak. Cara orang tua mendidik dan berinteraksi dengan anak inilah yang disebut sebagai pola asuhan.Setiap keluarga mempunyai spesifikasi dalam mendidik berupa :

a. Pola asuh otoriter, orang tua menentukan aturan-aturan dan batasan-batasan yang mutlak harus ditaati oleh anak. Orang tua memerintah dan memaksa tanpa kompromi. Anak harus patuh dan tunduk dan tidak ada pilihan lain yang sesuai dengan kemampuan atau pendapatnya sendiri. Kalau anak tidak memenuhi tuntutan orang tua, ia akan diancam dan dihukum.

b. Pola asuh permisif, orang tua membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tatacara yang memberi batasan dari tingkahlaku anak. hanya pada hal-hal yang dianggapnya sudah “keterlaluan” orang tua baru bertindak. Anak telah terbiasa mengatur dan menentukan sendiri apa yang dianggapya baik.

(22)

50

dan obyektif sambil meyakinkan perbuatan anak (Gunarsa, 2003: 82-84).

3. Faktor masalah keluarga

Hal ini lebih mengacu pada situasi keluarga khususnya hubungan orangtua yang kurang harmonis. Seorang ayah akan sanggup melakukan kekerasan terhadap anak-anaknya semata-mata sebagai pelampiasan atau upaya untuk pelepasan rasa jengkel dan marahnya terhadap istri. Sikap orangtua yang tidak menyukai anak-anak, pemarah dan tidak mampu mengendalikan emosi juga dapat menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak-anak(Siti Fatimah dalam Suyanto, 2010: 33).

Ruang keluarga yang dihiasi oleh suasana pertengkaran, perselisihan dam permusuhan adalah sumber terjadinya kekerasan terutama kekerasan fisik dan yang paling terkena sasaran kekerasannya adalah anak (Huraerah,2007:69).

4. Faktor pendidikan

Kekerasan atau pelanggaran terhadap hak-hak anak dapat disebabkan karena tidak dimilikinya pendidikan atau pengetahuan yang dimiliki orangtua. Tingkat pendidikan orangtua yang rendah mengakibatkan banyak orangtua cenderung berpikiran sempit, tidak memiliki wawasan serta pengetahuan dalam mendidik dan mengasuh anak secara benar sehingga hak-hak anak terabaikan(Siti Fatimah dalam Suyanto, 2010: 35).

(23)

51

terhadap anak dapat menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak (Huraerah,2007:69).

5. Faktor permasalahan jiwa atau psikis orangtua

Orangtua yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak-anak pada umumnya memilki problem psikologis. Mereka senantiasa berada dalam situasi kecemasan dan tertekan akibat mengalami depresi dan stres. Hal tersebut ditandai dengan ciri-ciri psikologis seperti adanya perasaan rendah diri, harapan terhadap anak tidak realistis, harapan yang bertolak belakang dengan kondisinya dan kurangnya pengetahuan tentang cara mengasuh anak yang baik (Siti Fatimah dalam Suyanto, 2010: 34-35).

Beberapa karakteristik orang tua yang potensial melakukan tindak kekerasan kepada anak-anak adalah orang tua yang agresif dan impulsif, orang tua tunggal, orang tua muda, terjadinya gangguan dalam perkawinan seperti perceraian, keluarga yang memiliki banyak anak, orang tua yang kecanduan obat atau alkohol serta orang tua yang kurang berpendidikan (Basoeki, dalam Suyanto,2010 : 33).

6. Faktor Perceraian

(24)

52

Menurut Lifshitz (dalam Shochib, 2010:9), anak yang berasal dari keluarga kacau (gagal) lebih banyak memiliki konsep diri negatif, lebih banyak mengalami kesulitan dalam hubungan sosial, lebih ekstrim mengeskpresikan perasaan dan lebih sulit dalam mengontrol jasmaninya daripada anak dari keluarga utuh. Perpecahan keluarga ini dapat memicu terjadinya kenakalan anak karena semakin tidak lengkapnya kehadiran orang tua yang membuat kasih sayang terhadap anak tidak utuh lagi (Hersh, dalam Shochib, 2010:9).

(25)

53

yang kecanduan minuman keras dan beralkohol sering tidak sadar telah melakukan tindak kekerasan terhadap anak-anaknya dibawah pengaruh minuman tersebut.

2.4.4 Dampak kekerasan bagi anak

Anak-anak yang menjadi korban kekerasan dalam lingkup keluarga dapat mengalami gangguan fisik, mental dan emosional. Kekerasan pada anak dapat menimbulkan berbagai persoalan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek seperti ancaman terhadap keselamatan hidup anak, merusak struktur keluarga, munculnya berbagai gangguan mental. Sedangkan dalam jangka panjang memunculkan potensi anak terlibat dalam perilaku kekerasan dan pelecehan di masa depan, baik sebagai pelaku maupun korbannya.

Dampak yang dialami anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan biasanya adalah :

1. Kurangnya motivasi atau harga diri

2. Problem kesehatan mental, misalnya kecemasan berlebihan, problem dalam hal makan, susah tidur.

3. Sakit yang serius dan luka yang parah sampai cacat permanen, misalnya patah tulang, radang karena infeksi, dan mata lebam, termasuk juga sakit kepala, perut, otot, dan lainnya yang bertahun-tahun meski sudah tak lagi di aniaya.

4. Problem-problem kesehatan seksual, misalnya mengalami kerusakan organ reproduksi, kehamilan yang tak di inginkan, ketularan penyakit menular seksual. 5. Mengembangkan perilaku agresif (suka menyerang) atau jadi pemarah, atau

bahkan sebaliknya menjadi pendiam dan suka menarik diri dalam pergaulan. 6. Mimpi buruk dan serba ketakutan. Selain itu tidak nafsu makan, tumbuh dan

(26)

54

7. Kematian (Pinky Saptandari dalam Suyanto, 2010 : 100-101).

Dampak–dampak yang ditimbulkan dari tindakan kekerasan terhadap anak berdasarkan bentuk kekerasan yang diterima anak antara lain :

a. Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orangtuanya akan menjadi sangat agresif dan setelah menjadi orangtua kelak akan berlaku kejam juga kepada anaknya. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik maupun psikis, anak menjadi menarik diri, merasa tidak aman, sukar mengembangkan kepercayaan kepada orang lain. b. Dampak kekerasan psikis. Efeknya sulit untuk diidentifikasi karena tidak

meninggalkan bekas yang nyata. Kekerasan ini akan meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termasnifestasikan dalam beberapan bentuk, seperti kurang percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol ataupun kecenderungan bunuh diri.

c. Dampak kekerasan seksual. Kekerasan seksual yang terjadi pada anak akan memberikan pengaruh buruk. Pada anak yang masih kecil dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit.

(27)

55

akan mengalami kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri di masa yang akan datang (Hurlock, 2004).

2.5 Kesejahteraan Anak

Sebagai manusia yang belum dapat hidup secara mandiri maka perlu diadakan usaha untuk mewujudkan kesejahteraan anak agar mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, kesejahteraan anak merupakan suatu tata kehidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Kesejahteraan anak merupakan bagian dari kesejahteraan sosial.

Walter A. Friedlander (dalam Wibhawa et.al, 2010 : 24) mengemukakan bahwa kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari usaha-usaha sosial dan lembaga-lembaga sosial yang ditujukan untuk membantu individu maupun kelompok dalam mencapai standar hidup yang memuaskan, serta untuk mencapai relasi perseorangan dan sosial yang dapat memungkinkan mereka mengembangkan kemampuan-kemampuan mereka secara penuh, serta untuk mempertinggi kesejahteraan mereka selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dan masyarakat.

(28)

56

Adapun penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagai suatu upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial.

Usaha kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak, terutama terpenuhinya kebutuhan anak. Dalam Undang-undang RI Nomor 6 Tahun 1974, tentang ketentuan-ketentuan pokok kesejahteraan sosial disebutkan bahwa usaha-usaha kesejahteraan sosial adalah semua upaya, program dan kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan membina, memelihara, memulihkan, dan mengembangkan kesejahteraan sosial (Nurdin, 1989: 79). Dalam pernyataan tersebut terkandung pengertian bahwa usaha-usaha kesejahteraan sosial merupakan upaya ditujukan kepada manusia baik individu, kelompok maupun masyarakat.

Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, hak-hak anak adalah sebagai berikut

a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarga maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang secara wajar.

b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.

(29)

57

d. Anak berhak atas perlindungan terhadap yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar

Usaha kesejahteraan anak ditujukan terutama kepada anak yang mempunyai masalah antara lain kepada anak yang mengalami masalah perlakukan yang tidak wajar yang mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasinya, antara lain anak korban kekerasan. Anak-anak korban kekerasan berhak untuk mendapatkan pelayanan kesejahteraan sosial. Pelayanan kesejahteraan sosial anak-anak korban tindak kekerasan dapat dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Usaha ini dimaksudkan memberikan pemeliharaan, perlindungan, asuhan, perawatan dan pemulihan kepada anak yang mempunyai masalah. Adapun usaha-usaha itu meliputi, pembinaan, pengembangan, pencegahan dan rehabilitasi.

2.6 Kerangka Pemikiran

Kekerasan terhadap anak sebagai salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia termasuk hak asasi anak. Dunia anak-anak seharusnya menjadi dunia yang menyenangkan dimana anak bermain dan memperoleh pendidikan. Kini, sebagian anak telah kehilangan hak-haknya. Kehidupan anak terus ternoda oleh berbagai aksi kekerasan, baik yang datang dari keluarga, sekolah, lingkungan sekitar, bahkan negara.

(30)

58

orangtua. Salah satu faktor yang mempengaruhi yaitu kondisi ekonomi orangtua. Penghasilan orangtua yang rendah mengakibatkan orangtua tidak mampu mencukupi kebutuhan anak sehingga hak-hak anak terabaikan. Selain faktor tersebut terdapat juga faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi anak menjadi korban kekerasan seperti masalah keluarga, pola asuh orangtua, pendidikan dan permasalahan psikologis atau jiwa orangtua.

Anak yang menjadi korban dari tindak kekerasan dalam rumah tangga dapat berasal dari berbagai latar belakang serta kondisi keluarga yang beragam. Setiap anak berpotensi menjadi korban kekerasan. Tidak hanya oleh keluarga dengan tingkat perekonomian yang rendah, orang tua yang berasal dari kalangan terpandang di masyarakat ternyata juga dapat sebagai penindas anak di rumah.Anak bahkan harus mengalami perlakuan kekerasan dan menjadi korban dari berbagai bentuk tindakan kekerasan seperti kekerasan fisik, psikis, kekerasan seksual hingga penelantaran.

Kekerasan yang dilakukan terhadap anak-anak ini tentu memberikan dampak pada kesehatan fisik dan juga kesehatan mental anak. Anak akan mengalami kegoncangan jiwa dan mereka juga mengalami kemunduran mental yang berpengaruh terhadap masa depan anak.

(31)

59

Gambar 2.1 Bagan Alur Pikir

Anak

Faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan pada anak :

Faktor Lingkungan Keluarga 1. Faktor ekonomi

2. Faktor Pola asuh orangtua 3. Faktor masalah keluarga 4. Faktor pendidikan

5. Faktor permasalahan jiwa atau psikologis orang tua Faktor Individu

(Faktor diri Anak sendiri)

Tindakan kekerasan terhadap anak : 1. Kekerasan fisik

(32)

60 2.7 Defenisi Konsep

Konsep merupakan sejumlah pengertian atau ciri-ciri yang berkaitan dengan peristiwa, objek, kondisi, situasi, dan hal-hal yang sejenisnya. Konsep diciptakan dengan mengelompokkan objek-objek atau peristiwa-peristiwa yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Definisi konsep bertujuan untuk merumuskan sejumlah pengertian yang digunakan secara mendasar dan menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian (Silalahi, 2009: 112).

Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep–konsep yang dijadikan obyek penelitian, maka seorang penelti harus menegaskan dan membatasi makna–makna konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan defenisi konsep. Secara sederhana defenisi disini diartikan sebagai batasan arti. Defenisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011: 138).

Adapun batasan konsep dalam penelitian ini adalah

a. Faktor dalam penelitian ini adalah sesuatu yang mempengaruhi atas terjadinya hal tertentu.

b. Anak dalam penelitian ini adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

c. Anak korban kekerasan dalam penelitian ini adalah anak yang berusia 13 sampai 18 (delapan belas) tahun yang menjadi korban kekerasan baik kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran.

(33)

orang-61

orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, yang di indikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejateraan anak.

e. Keluarga dalam penelitian ini adalah unit terkecil dalam masyarakat yang disebut juga rumah tangga yang terdiri dari suami/ayah, isteri/ibu dan anak-anak.

f. Faktor individu dalam penelitian ini adalah kondisi sang anak meliputi adanya kenakalan pada anak, ketidakpatuhan anak serta anak yang sulit diatur tingkah lakunya.

g. Faktor ekonomi dalam penelitian ini adalah keluarga yang memiliki ekonomi yang rendah sehingga memiliki ketidakmampuan secara finansial yang menyebabkan anak tidak dapat mendapatkan hak-haknya secara layak. h. Faktor pola asuh dalam penelitian ini adalah pola perilaku orangtua dalam

memperlakukan anak seperti mendidik, membimbing, melindungi anak. i. Faktor masalah keluarga dalam penelitian ini adalah ketidakharmonisan

hubungan antar anggota keluarga.

j. Faktor pendidikan dalam penelitian ini adalah pendidikan orangtua yang rendah dan cenderung berpikiran sempit terhadap masa depan anak sehingga tidak mendidik dan mengasuh anak secara benar sehingga hak-hak anak terabaikan.

(34)

62

l. Kekerasan fisik dalam penelitian ini adalahpenyiksaan, pemukulan dan penganiayaan terhadap anak dengan atau tanpa mengunakan benda-benda tertentu yang menimbulkan luka-luka fisik, atau kematian pada anak.

m. Kekerasan psikis dalam penelitian ini adalah tindakan penyiksaan, pemukulan dan penganiayaan terhadap anak dengan atau tanpa mengunakan benda-benda tertentu yang menimbulkan luka-luka fisik, atau kematian pada anak

n. Kekerasan seksual dalam penelitian ini adalahtindakan yang muncul dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukan hubungan seksual.

Gambar

Gambar 2.1 Bagan Alur Pikir

Referensi

Dokumen terkait

Rahyono (2003) menyatakan intonasi sebuah bahasa memiliki keteraturan yang telah dihayati bersama oleh para penuturnya.Penutur sebuah bahasa tidak memiliki kebebasan yang

Jenispenelitian yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dengan metodePenelitian Kepustakaan (Library Research) dan Penelitian Lapangan (Field

2) Penyelenggaraan Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Peneliti. Dengan kewenangan ini, LIPI melalui Pusbindiklat Peneliti harus dapate. merumuskan akreditasi penilaian

Pembinaan Tabuh dan Tari di Dusun Jenggala Desa Bilabante Kecamatan Pringgarata dan di Banjar Ubung Desa Ubung Kecamatan Jonggat Kabupaten Lombok Tengah Nusa Tenggra Barat..

Data jadwal Bimbingan Cek Infomasi Informasi Informasi Mengeai TA Cek Informasi Piiih menu Bidang Keahlian Dosen Dosen Pilih menu Bidang Keahlian Dosen Daftar Judul TA Load

Pembianaan Pedalangan Di Sekaa Batel, Parwa, Wayang Dan Topeng Banjar Belawan, Abiansemal,

Sementara menurut Kepmenkes RI Nomor 1479/MENKES/SK/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular

Sukraka, SST.,MHum Pembinaan Tari Kekebyaran dan Petopengan di SMK Negeri Kubu Kabupaten Bangli Bali Seni Tari FSP PENGABDIAN (IbM) 50,000,000 DIPA. N0 Nama Peneliti Judul