• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimalisasi Peranan Mediator Dalam Rangka Meminimalisir Perceraian di Pengadilan Agama Depok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Optimalisasi Peranan Mediator Dalam Rangka Meminimalisir Perceraian di Pengadilan Agama Depok"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Kepada Fa Persyarata

PRO ( A H FA

Skripsi

Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi S ratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh: CHOIRUNNISYA NIM. 1111044200004

ROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ( A H W A L S Y A K H S I Y Y A H ) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1437 H/ 2016 M

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

MEDIATOR DALAM RANGKA MEMINIMALISIR PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA DEPOK. Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam, Program Studi Hukum Keluarga, Faklutas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2015 M. Ix + 63 halaman + 33 lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui penerapan mediator dalam memaksimalkan mediasi dengan berbagai cara, yaitu memberikan nasihat kepada kedua belah pihak dengan dakwah juga dengan mendalami persoalan yang sedang dirasakan oleh kedua belah pihak serta mencari jalan keluar agar perkara yang sedang berjalan tidak sampai kepada putusan hakim. Upaya perdamaian yang dilakukan oleh hakim mediator sudah berjalan dengan baik sesuai dengan Perma No. 1 Tahun 2008.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode kualitatif, yakni mendeskripsikan fenomena-fenomena yang terjadi dilapangan. Dan teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah dengan wawancara dan observasi langsung ke Pengadilan Agama dengan hakim mediator.

Implementasi mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah menjalankan proses menurut Perma No. 1 Tahun 2008 meskipun hasil mediasi tersebut belum mambawa hasil yang segnifikan bagi pihak yang berperkara. Implementasi sudah dikatakan baik apabila ruangan yang disedikan untuk mediasi memiliki fasilitas yang lengkap dalam artian para pihak yang berperkara dipastikan nyaman ketika melakukan mediasi. Sedangkan tingkat keberhasilan mediasi dipengadilan agama adalah sudah berjalan dengan efektif hanya saja meskipun sudah berjalan dengan baik dari kedua belah pihak belum menemui titik terang dan jalan satu-satunya yaitu pada perceraian yang dipengaruhi oleh benyaknya faktor diantaranya karena adanya pihak ketiga, pertengkaran yang terus menerus masalah ekonomi dan adanya perbedaan prinsip. Hakim Mediator menegaskan, bahwa perceraian yang terjadi sebelum adanya mediasi, berarti kedua belah pihak telah mempunyai kesepakatan dengan adanya perceraian baik-baik.

(6)

v

Alhamdulillah, segala Puji dan Syukur penulis panjatkan Kepada Allah SWT, atas karunia dan rahmat yang telah ia berikan. Tidak ada kekuatan apapun dalam diri ini selain dengan kekuasaan Allah SWT. Shalawat dan salam kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW, yang menjadi suri tauladan bagi kita, semoga sifat-sifat beliau bisa kita tanamkan dalam keseharian kita.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam, Universitas Islam Negi Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh banyak dukungan dan saran dari berbagai pihak, sehingga ucapan trimakasih penulis sampaikan dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Arip Purkon, MA., Ketua Program Studi dan Sekertaris Program Studi Ahwal al Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

(7)

vi

5. Dosen pengajar pada lingkungan Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

6. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas bagi penulis untuk mengadakan studi kepustakaan. 7. Ketua Pengadilan Agama Depok, Risman Kamal, SH dan Suryadi S,Ag., SH., M.H Mediator Pengadilan Agama, Ai Salamah, Farid Muzaky dan semua pihak yang penulis tidak bisa disebutkan namanya satu persatu terimakasih telah membantu dan telah memberikan data-data bagi penulis dalam menyesaikan skripsi ini.

8. Arif Sasongko, SH Ketua Pos Bantuan Hukum Keluarga Amanah, Muhammad Syaikhoni, S.Sy, Rachmatullah Tiflen, S.Sy dan semua pihak yang berpartispasi moril maupun matreril sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan segenap usaha.

(8)

vii

Hadikusuma, Finkant Adzania Madina dan Helga Geulisya Angelia yang selalu memberikan bantuan dan Support bagi penulis.

10.Terimakasih untuk sahabat terbaikku Ovy Verina Wardhani, Nurul Via Rachmanengsih dan Eka Purnamasari terimakasih telah memberikan dukungan doa dan semangatnya kepada penulis dari awal perkuliahan hingga penulis menulis skripsi dan dapat menyelesaikan skripsi ini.

11.Seluruh teman-teman Administrasi Keperdataan Islam 2011 yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu, yang telah menjadi teman seperjuangan penulis dari awal masuk kuliah sampai penulis menyelesaikan skripsi ini, trimakasih untuk canda tawa kalian, semangat dan doa akan selalu menjadi sebuah kenangan yang tak terlupakan.

Penulis pun menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan rujukan penyusunan skripsi selanjutnya.

Jakarta, 05 Januari 2016

(9)

viii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Review Studi Terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II MEDIASI DALAM LINGKUP PERADILAN AGAMA A. Pengertian Mediasi... 14

B. Landasan Hukum Mediasi ... 16

C. Proses Mediasi di Pengadilan Agama... 20

D. Faktor Yang Menjadi Penghambat dan Pendukung Mediasi ... 25

E. Peraturan Mediasi Menurut Perma No. 1 Tahun 2008 ... 31

BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA DEPOK A. Struktur Organisasi ... 36

B. Kewenangan Pengadilan ... 44

C. Gambaran Permohonan Perkara di Pengadilan Agama Depok ... 47

BAB IV UPAYA IMPLEMENTASI DAN KEBERHASILAN MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA DEPOK A. Optimalisasi dan Upaya Hakim Mediasi Meminimalisir Perceraian ... 49

B. Implementasi Mediasi di Pengadilan Agama Depok ... 57

C. Tingkat Keberhasilan Mediasi di Pengadilan Agama Depok ... 58

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 63

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66

(10)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah mahluk yang diciptakan oleh Allah SWT, yang dibekali

keinginan untuk melakukan perkawinan, karena perkawinan itu adalah salah

satu faktor untuk menjaga keberlangsungan kehidupan umat manusia di muka

bumi. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia

dan kekal.1

Perkawinan merupakan fitrah cinta yang timbul antara pria dan wanita

yang bukan mahram, menjadi jalan yang paling bermanfaat dan paling afdhal

dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan

perkawinan inilah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan

Allah. Sebagai mana dijelaskan bahwa perkawinan menurut hukum Islam

ialah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqan ghaliidzan untuk

menaati perintah Allah.2 Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi

1

Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta : Elsas, 2008), h.3.

2

(11)

wasallam mendorong untuk mempercepat nikah, mempermudah jalan

untuknya dan memberantas kendala-kendalanya.3

Perkawainan mengkaruniakan kepada manusia rasa cinta, kasih dan

sayang diantara suami istri. Al-Qur’an dan Hadist sebagai pedoman penting

bagi umat islam terhadap pengaruh perkawinan tersebut, hal ini terlihat

dengan banyaknya nash yang menjelaskan tentang perkawinan, diantara salah

satunya firman Allah didalam QS. Ar-Rum [30] : 21.4

Ayat tersebut, selain mengarah kepada perkawinan, juga menunjukan

bahwa dengan adanya perkawinan menjunjung tujuan tertinggi dalam syari’at

islam, yaitu memelihara regenerasi, memelihara gen manusia, dan

masing-masing suami istri mendatangkan ketenangan jiwa karena kecintaan dan kasih

sayangnya yang tersalurkan, demikian juga halnya pasangan suami istri

sebagai tempat peristirahatan lelah dan tegang. Islam mengatur hubungan

suami istri dengan syari’at terbatas dan menegakkan peraturan rumah tangga

atas adanya pemimpin dalam rumah tangga yaitu suami.5

Menjalani kehidupan berkeluarga, tentu ada saja waktu terjadinya

perselisihan antara dua pasangan suami istri. Karena itu komunikasi sangat

penting untuk dijaga oleh kedua belah pihak. Untuk mengatasi permasalahan

yang seyogyanya akan timbul didalam kehidupan berumah tangga, maka

3

Abdurrahman,Kompilasi Hukum Islam, h. 32.

4

Abdurrahman,Kompilasi Hukum Islam, h. 36.

5

(12)

pemerintah telah memberikan solusi berupa tindakan preventif agar kedua

calon suami dan istri memahami secara benar makna dan tujuan pernikahan itu

sendiri sehingga terwujudlah keluarga hermonis. Tak jarang kehancuran

rumah tangga ini memang ada yang berakhir dengan damai kembali, namun

bila suami istri sudah tidak dengan sungguh hati mencari jalan keluar untuk

berdamai sehingga percekcokan terus menerus maka tak jarang hubungan

suami istri tersebut berujung pada perceraian.

Setiap perkawinan tentunya diharapkan adanya kelanggengan dalam

membina rumah tangga dengan mawaddah dan harmonis menjadikan keluarga

sakinah mawaddah warrahmah juga bertahan seumur hidupnya. Namun ada

kalanya perkawinan ini tidak mencapai kebahagiaan. Maka demi kebaikan

bersama terbukalah pintu bagi perceraian. Dengan demikian kasus perceraian

menjadi perkara yang paling banyak ditangani hakim di pengadilan.6

Dampak perceraian dari segi kejiwaan akan memberikan dampak negative

terhadap jiwa orang-orang yang terlibat. Ada sebuah kajian di Ottawa

menyatakan bahwa pria maupun wanita akan mengalami depresi dua tahun

pertama perceraian. Menurut penelitian ini, ternyata pria berusia 20 sampai 64

tahun yang telah mengalami perceraian atau perpisahan, enam kali lebih

banyak merasa tertekan, dibanding mereka yang tetap dalam hubungan

6

(13)

pernikahan. Sedangkan wanita hanya 3,5 lebih depresi dibandingkan mereka

yang bertahan dalam pernikahan.7

Pengadilan Agama Depok beberapa tahun ini banyak sekali menerima

perkara perceraian khususnya perkara cerai gugat. Karena itu keseimbangan

kedudukan suami istri dalam menangani kasus perceraian sangat penting.

Perceraian terjadi karena beberapa factor diantaranya adalah karena kurangnya

suami dalam memberi nafkah kepada anak dan istri, tindakan kekerasan dalam

rumah tangga yang dilakukan suami terhadap istri dan sebaliknya, adapun

dikarenakan masing-masing mempunyai wanita atau laki-laki lain (Wil/Pil).

Akan tetapi perceraian banyak yang terjadi karena factor ekonomi, dari

perceraian ini maka berdampak sangat besar bagi psikologis anak dari kedua

belah pihak.8

Kasus perceraian dilaporkan terdapat 2746 Istri cerai gugat suami selama

tahun 2013 ditambah dengan priode Januari sampai akhir Juni 2014 sebanyak

1451, sehingga menjadi 4197 Istri cerai gugat pada priode tersebut. Tingginya

angka gugat cerai istri terhadap suami ditambah dengan kasus cerai talak,

telah menyumbang angka perceraian di Pengadilan Agama Depok cukup

tinggi dibuktikan dengan data di Pengadilan Agama Depok 4197 Kasus

selama priode tahun 2013 sampai bulan Juni 2014. Tingginya perkara cerai

gugat yang diajukan oleh pihak istri ini tentulah banyak dilatar belakangi oleh

7

Muhammad Ichsan,Jangan Pernah Bercerai, h. 14.

8

Hasil Data Wawancara dengan Ai Salamah, SH Staf Pengadilan Agama Depok, di

(14)

banyak faktor, sayangnya tingginya angka perceraian ini tidak dibarengi

dengan upaya mediasi yang maksimal dari pihak hakim mediator. Dari proses

mediasi yang berjumlah 3056 Hanya 153 yang berhasil dan tidak terjadi

perceraian. Ini artinya tugas berat bagi Pengadilan Agama dan Kementrian

Agama untuk memaksimalkan peran mediasi di dalam pengadilan.9

Penyeselesaian perselisihan atau konflik yang terbaik adalah dengan cara

perdamaian atau mediasi. Hukum Islam mementingkan penyelesaian

peselisihan dengan cara perdamaian, sebelum dengan cara putusan pengadilan,

karena putusan pengadilan dapat menimbulkan dendam yang mendalam,

terutama bagi pihak yang terkalahkan. Untuk itu sebelum diperiksa hakim

wajib berusaha mendamaikan kedua belah pihak terlebih dahulu, apabila hal

ini belum dilakukan oleh hakim bisa berakibat bahwa putusan yang dijatuhkan

batal demi hukum.10

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, penulis akan

mengkajinya dalam skripsi yang berjudul “Optimalisasi Peranan Mediator

Dalam Rangka Meminimalisir Perceraian di Pengadilan Agama Depok”.

B. Batasan dan Perumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Untuk mempermudah penulisan dan pembahasan dalam skripsi ini, perlu

kiranya penulis membatasi masalah sehingga jelas masalah yang akan dibahas.

9

Rekapitulasi Data Perkara Masuk dan Putus di Pengadilan Agama Depok Tahun 2013-2014.

10

(15)

Dalam skripsi ini penulis membatasi masalahnya yaitu masalah mediasi.

Namun yang menjadi focus bahasannya adalah optimalisasi peranan mediator

dalam rangka meminimalisir perceraian di Pengadilan khususnya di

Pengadilan Agama Depok di tahun 2011 sampai tahun 2014.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pasal 15 ayat (4) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang proses

mediasi di Pengadilan Agama, mediator wajib mendorong para pihak untuk

menulusuri, menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan

penyelsaian yang tebaik bagi para pihak. Ini artinya peran mediator dituntut

untuk mendamaikan para pihak.

Namun pada kenyataannya hakim belum bisa mendamaikan atau

meminimalisir angka perceraian, hal tersebut menyebabkan semakin tingginya

angka perceraian di Pengadilan Agama. Dan puncaknya pada tahun

2012-2014.

Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai

berikut :

1. Bagaimanakah optimalisasi dan upaya-upaya mediator dalam rangka

meminimalisir angka perceraian di Pengadilan Agama Depok?

2. Bagaimanakah implementasi mediasi di Pengadilan Agama Depok?

(16)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Segala sesuatu yang ditulis oleh seseorang tentu memiliki tujuan

tersendiri, begitu halnya dalam pembahasan judul ini. Penulis tentu memiliki

beberapa tujuan tertentu agar tidak menyimpang dari rumusan masalah yang

diutarakan diatas. Maka dengan adanya penilitian ini, bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui optimalisasi dan upaya-upaya hakim mediasi dalam

rangka meminimalisir angka perceraian di Pengadilan Agama Depok.

2. Untuk mengetahui implementasi mediasi di Pengadilan Agama Depok.

3. Untuk mengetahui bagaimana tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan

Agama Depok.

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi penulis dalam menambah

wawasan, pengalaman, dan dapat memberikan sumbangan pemikiran

dalam rangka mengembangkan dan memperkaya khasanah pengetahuan,

terutama pengetahuan yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian.

2. Hasil penilitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para hakim dan

praktisi hukum dalam melakukan mediasi pada perkara perceraian di

Pengadilan Agama.

3. Hasil penelitian ini agar dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian

(17)

D. Studi Terdahulu

Pada hakikatnya membina rumah tangga yang sakinah mawaddah

warrahmah tidak semudah yang diinginkan, bahwa memelihara keharmonisan

dalam berumah tangga bukan merupakan hal yang mudah untuk dilaksanakan.

Beberapa penyelesaian mengenai perkara mediasi dalam perkara perceraian

telah dibahas pada judul skripsi terdahulu. Adapaun beberapa judul skripsi

yang pernah penulis baca pada perpustakaan yang tersedia di UIN Jakarta

adalah sebagai berikut :

Pertama, judul skripsi tentang : “Efektifitas Mediasi di Pengadilan Agama

(Studi Implementasi Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan Agama Bekasi).” Oleh Nur Hidayat Tahun 1432 H/ 2011 M. Pada

judul skripsi tersebut hanya membahas tentang faktor-faktor penghambat dan

pendukung proses mediasi di Pengadilan Agama, yang mana di Pengadilan

Agama banyak menerapkan proses mediasi yang tidak sesuai dengan PERMA

tentang Mediasi.

Kedua, judul skripsi tentang : “Efektifitas dan Peranan Pengadilan Agama

Jakarta Selatan Dalam Mewujudkan Proses Mediasi.” Oleh Ubaidillah Tahun

2011 M. Pada judul skripsi tersebut hanya membahas tentang Efektifitas dan

Peranan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Dalam Mewujudkan Proses

Mediasi, hanya membahas perkara semua perkara yang perlu di mediasi.

Kewarisan, perceraian dan kasus-kasus yang masuk diterima pengadilan

(18)

Dari kedua skripsi di atas, penilitan penulis ini jelas akan berbeda dengan

keduanya. Penulis akan membahas tentang pengoptimalan dan implementasi

mediasi dalam mengurangi tingkat perceraian khususnya di Pengadilan

Agama Depok karena selama ini proses mediasi hanyalah sebagai formalitas

berjalannya persidangan.

E. Metode Penelitian

1. Metode Penelitian

Metode penelitian ini adalah dengan cara menggunakan metode penelitian

kualitatif, yaitu dengan memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum

yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala dalam kehidupan manusia.11

Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yaitu

penelitian bersifat pendekatan survei dengan melakukan observasi langsung

dan melakukan wawancara kepada hakim yang ditunjuk sebagai hakim

mediator dan para pihak yang berperkara.

Penelitian yang terdiri dari studi pustaka dan studi lapangan (Library

Research and Field Research), untuk memperoleh informasi pada responden

yang terkait dengan judul skripsi ini sehingga diperoleh data yang valid dan

dapat dipertanggung jawabkan.

2. Sumber Data

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan dua jenis sumber data

yaitu :

11

(19)

1. Data primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh penelitian sendiri selama

penelitian berjalan.12 Data primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas

peraturan perundang-undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki peraturan

Perundang-undangan dengan Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Badan Hukum Premier tersebut

yaitu PERMA No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

2. Data skunder

Data Skunder merupakan data yang diperoleh dari bahan Kepustakaan.13

bahan hukum yang terdiri atas buku-buku (textbook) yang ditulis para ahli

hukum yang berpengaruh (de hersende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat

para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil symposium

mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini. Bahan hukum

skunder tersebut terdiri dari buku-buku hukum, kitab-kitab fikih yang

berkaitan dengan mediasi, media cetak, artikel-artikel baik dari internet

maupun berupa data digital.

3. Teknik Pengumpulan Data

Karena pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka

teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah dengan melalui

metode wawancara. Wawancara dilakukan pada pihak yang menangani proses

12

Modul Perancangan Undang-undang, (Jakarta: Sekertaris Jendral DPR RI, 2008), h. 7.

13

(20)

mediasi yakni hakim mediator. Dan melakukan obesrvasi langsung ke

Pengadilan Agama Depok.

Selain itu pada penelitian ini juga menggunakan teknik documenter untuk

mendapatkan data yang lebih lengkap. Teknik ini sangat penting dilakukan,

karena beberapa bahan materi terdapat di dalam buku, jurnal, arsip dan

dokumen.

Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, digunakan metode

sebagai berikut :

a. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variable berupa catatan,

transkip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat,

agenda, dan sebagainya.14

b. Metode Interview

Metode interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara

untuk memperoleh informasi dari terwawancara.15 Dalam penulisan proposal

ini Penulis akan melakukan wawancara dengan para pakar hukum, seperti

hakim dan pengamat hukum lainnya.

14

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,h. 201.

15

(21)

c. Teknis Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang berkaitan dengan

pengelolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan untuk

menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada

prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman

penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif

Hidayatullah Jakarta Tahun 2015.

d. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan metode deskriptif

kualitatif, yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan

hasil wawancara yang diperoleh. Sehingga didapat suatu kesimpulan yang

objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan

penulis dalam penelitian ini.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam

bentuk bab dab sub bab yang saling berkaitan merupakan suatu bahasan dari

masalah yang diteliti. Maka masing-masing dengan sistematikanya sebagai

berikut :

Pertama pendahuluan, yang memuat latar belakang masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi terdahulu,

(22)

Kedua, berisi tentang mediasi persfektif hukum positif dan hukum islam

yaitu meliputi pengertian mediasi, landasan hukum mediasi, proses mediasi,

factor penghambat dan pendukung mediasi, mediasi menurut perma No. 1

Tahun 2008.

Ketiga, berisi tentang profil Pengadilan Agama Depok yakni meliputi,

sejarah singkat dan letak geografis, visi misi, struktur organisasi, kewenangan

pengadilan dan gambaran permohonan.

Keempat, berisi tentang analisa implementasi dan keberhasilan hakim

mediasi yakni meliputi , Optimalisasi Mediator di Pengadilan Agama Depok,

implementasi mediasi, dan Tingkat Kebrhasilan Mediasi di Pengadilan Agama

Depok.

Kelima, berisi Penutup dari semua bab yang memuat kesimpulan dan

(23)

14

MEDIASI DALAM LINGKUP PERADILAN AGAMA

A. Pengertian Mediasi

Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahsa latin, mediare yang

berarti berada ditengah. Makna ini menunjukan pada peran yang ditampilkan

pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan

menyelesaikan sengketa antara para pihak.1Mediasi berdasarkan Kamus Besar

Bahasa Indonesia adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam

penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat.2

Mediasi sebagaimana dicantum pada pasal 1851 KUHP adalah, suatu

persetujuan dimana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan,

atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung

atau mencegah timbulnya suatu perkara.3Kemudian dalam pasal 130 HIR dan

154 RBg yang berbunyi “bila pada hari yang telah ditentukan para pihak

datang menghadap, maka Pengadilan Negeri dengan perantara ketua berusaha

mendamaikan, jika dapat dicapai perdamaian, maka di dalam sidang itu juga

dibuatkan suatu akta dan para pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang

telah dibuat, dan akta itu mempunyai kekuatan serta dilaksanakan seperti suatu

1

Syahrizal Abbas,Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum

Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 2.

2

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 640.

3

(24)

surat keputusan biasa”.4 Begitu juga perdamaian yang dimuat di KHI

khususnya berkaitan dengan hukum keluarga, pasal 115: “Perceraian hanya

dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama

tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”, Pasal

143 ayat (1): “Dalam pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha

mendamaikan kedua belah pihak”. (2): “selama perkara belum diputuskan

usaha untuk mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.”

Dan pasal 144: “Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan

gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada

seblum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya

perdamaian.”5

Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan disebutkan pengertian mediasi adalah cara penyelesaian sengketa

memalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak

dengan dibantu oleh mediator.6

4

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI,Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Grafindo Sejahtera, 2001), h. 65.

5

Abdurrahman,Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010), h. 141.

6

(25)

B. Landasan Hukum Mediasi

Dalam kitab suci Al-Qur’an ayat yang berhubungan dengan dengan

perdamaian (mediasi) antara lain dalam surat QS. An-Nisa (4) ayat 35 yang

berbunyi :



















































“Dan jika kamu khawatirkanada persengketaan antara keduanya, maka

kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. SesungguhnyaAllah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Ayat diatas menganjurkan untuk mengutus kepada keduanya seorang

hakam, yaitu juru damai untuk meyelesaikan kemelut mereka dengan baik.

Juru damai itu sebaiknya dari kedua belah pihak agar sama-sama mengetahui

masing-masing keluhan dan harapan anggota keluarganya. Jika antara

keduanya ingin mengadakan perbaikan atas kemelut rumah tangga antara

suami dan istri tersebut niscaya Allah akan memberi bimbingan kepada

keduanya.7

Walaupun tidak disebut dengan mediasi, penyelesaian sengketa dalam

islam gunakan menyerupai pola yang digunakan dalam mediasi. Dalam

hukum islam mediasi lebih dikenal dengan istilah islah dan hakam.8 Ishlah/

7

Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 412-413.

8

(26)

sulhu menurut bahasa adalah perbaikan.9 Menurut syara’ adalah suatu akad

dengan maksud untuk mengakhiri suatu suatu persengketaan antara kedua

belah pihak yang bersengketa.10 Selain islah dikenal juga dengan hakam

berfungsi untuk menyelesaikan perselisihan perkawinan yang disebut dengan

syiqaq.

Untuk mengatasi kemelut rumah tangga antara suami dan istri, islam

memerintahkan antara kedua belah pihak bermaksud untuk mencari jalan

keluar terhadap kemelut rumah tangga yang dihadapi suami istri. Sebagai

pedoman, hakam dapat diambil dari penjelasan pasal 76 ayat (2)

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama bahwa,

“Hakim adalah orang yang ditetapkan pengadilan dari pihak keluarga suami

atau pihak keluarga istri atau pihak lain untuk mencari upaya penyelesaian

perselisihan terhadapsyiqaq”.11

Kemudian dasar hukum mediasi berdasarkan Peraturan

Perundang-undangan seperti dalam Pasal 82 ayat (1) dan (4) Undang-undang Nomor 7

Tahun 1989 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang

Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pengadilan Agama yang berbunyi:

9

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Kamus Arab- Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 789.

10

As Sayyid Sabiq,Fiqh As-Sunnah Juz III,(Beirut: Dar Al-Fiqr, 1997), h. 350.

11

(27)

(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha

mendamaikan kedua belah pihak.

(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan

pada setiap sidang pemeriksaan.12

Dalam pemeriksaan perkara di muka sidang pengadilan, ketua Majlis

Hakim diberi wewenang menawarkan perdamaian kepada para pihak yang

berperkara. Tawaran perdamaian dapat diusahakan sepanjang pemeriksaan

perkara sebelum majlis hakim menjatuhkan putusan. Perdamaian ditawarkan

bukan hanya pada sidang hari pertama, melainkan juga pada setiap kali sidang.

Hal ini sesuai dengan sifat perkara bahwa inisiatif berperkara datang dari

pihak-pihak, karenanya pihak-pihak juga yang dapat mengakhirinya secara

damai melalui perantaraan majlis hakim di muka sidang pengadilan. Menurut

ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman, pengadilan tidak menutup kemungkinan untuk upaya

penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.13

Lalu mengenai pemeriksaan perkara perceraian di pengadilan, ada

pasal-pasal lain yang mengatur masalah perdamaian ini, yaitu dalam Pasal 56 ayat

(2), 65, 83 Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Pengadilan Agama

12

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agamapasal 82 ayat 1 dan 2.

13

(28)

dan Pasal 31, 33 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan.14

Selain itu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menganjurkan

kepada Hakim agar selalu berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang

berperkara di dalam persidangan, yaitu dalam pasal 143 ayat 1dan 2 yang

berbunyi :

(1) Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim mendamaikan kedua belah

pihak.

(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan

setiap sidang pemeriksaan.15

Begitu juga dalam Pasal 130 HIR/154 RBG.16 Disebutkan bahwa apabila

pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, maka

pengadilan dengan perantaraan kedua sidang berusaha mendamaikan mereka.

1. Jika persidangan tercapai pada waktu persidangan dibuat suatu akta

perdamaian yang mana kedua belah pihak dihukum untuk melaksanakan

perjanjian itu, akta perdamaian tersebut berkekuatan dan dapat dijalankan

sebagaimana putusan yang biasa akan tetapi ketentuan ini tidak berlaku

14

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agamapasal 56 ayat 2 ayat 65,83 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

15

Abdurrahman,Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010), h. 141.

16

(29)

bagi perkara perceraian hanya saja berlaku bagi hak asuh anak, harta

bersama, waris dan sebagainya.

2. Terhadap putusan yang sedemikian itu tidak dapat dimohonkan banding.

Dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan, pada Pasal 1 butir 7 disebutkan bahwa:

Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan

untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.

C. Proses Mediasi di Pengadilan Agama

Tahapan mediasi yang dilakukan dilakukan oleh pengadilan sesuai dengan

PERMA No. 1 Tahun 2008, proses mediasi dibagi kedalam tiga tahap, yaitu

tahap pramediasi, tahap pelaksanaan mediasi,17tahap akhir implementasi hasil

mediasi, ketiga tahap ini merupakan jalan yang akan ditempuh oleh mediator

dan para pihak dalam menyelesaikan sengketa mereka.

1. Tahap Pramediasi

Tahap pramediasi adalah tahap awal dimana mediator menyusun sejumlah

langkah dan persiapan sebelum mediasi benar-benar dimulai. Tahap ini

menentukan berjalan atau tidaknya proses mediasi selanjutnya. Mediator

melakukan beberapa langkah antara lain : membangun kepercayaan diri,

menghubungi para pihak, menggali dan memberikan informasi awal mediasi,

mengkordinasikan pihak bertikai, mewaspadai perbedaan budaya, menentukan

siapa yang hadir, menentukan tujuan pertemuan, kesepakatan waktu dan

17

(30)

tempat, dan menciptakan rasa aman bagi kedua belah pihak untuk bertemu dan

membicarakan permasalahan mereka.18

Tahap pra mediasi menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur

mediasi di Pengadilan pasal 7 ayat (1) bahwa: “pada hari sidang yang telah

ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak

untuk menempuh mediasi”, pada hari itu juga paling lama 2 hari kerja,

berikutnya para pihak ataupun kuasa hukum mereka wajib memilih mediator

dengan alternative pilihan sebagaimana pada pasal 8 PERMA ini lalu

menyampaikannya kepada Ketua Majlis.19

2. Tahap Pelaksanaan Mediasi

Tahap pelaksanaan mediasi adalah tahap dimana pihak-pihak bersengketa

sudah berhadapan satu sama lain dan memulai proses mediasi. Tahap mediasi

didalam pasal 13 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang proses mediasi

di Pengadilan: Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak

menunjuk mediator yang disepakati, para pihak dapat menyerahkan resume

perkara kepada satu sama lain dan mediator. Selanjutnya mediator

menunjukan jadwal pertemuan, dimana para pihak dapat didampingi kuasa

hukumnya. Pada dasarnya proses mediasi bersifat rahasia dan berlangsung

18

Syahrizal Abbas,Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 37.

19

(31)

paling lama 40 hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan mediator

sebagaimana pada ayat (3) pasal yang sama.20

Dalam proses ini terdapat beberapa langkah, diantaranya sambutan

mediator, presentasi dan pemaparan kisah para pihak, mengurutkan dan

menjernihkan permasalahan, berdiskusi dan bernegosiasi masalah yang

disepakati, menciptakan opsi-opsi, menemukan butir kesepakatan,

merumuskan keputusan, mencatat dan menuturkan kembali keputusan dan

penutup mediasi. Jika tercapai kesepakatan, para pihak dengan bantuan

mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang telah dicapai dan

ditanda tangani oleh para pihak dan mediator (pasal 17 ayat 1).21

Dalam menyusun dan mengurutkan permasalahan, mediator harus selalu

mengklarifikasikan dan menanyakan kepada para pihak, apakah persoalan itu

penting bagi mereka, dan apakah kebutuhan-kebutuhan khusus yang berkaitan

dengan tiap-tiap masalah yang telah diurutkan satu persatu. Jika mediator

telah mengurutkan permasalahan dan menemukan kebutuhan-kebutuhan

khusus para pihak, maka ia dapat menuliskan atau menggambarkan pada

kertas, setelah mendapatkan persetujuan masing-masing pihak yang

menyatakan kebutuhan tersebut.22

20

Muslih MZ, “Pengantar Mediasi: Teori dan Praktik”, dalam M. Mukhsin Jamil (ed.),

Mengelola Konflik Membangun Damai; Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik, (Semarang: Walisongo Mediation Centre, 2007), h. 120.

21

Muslih MZ, “Pengantar Mediasi: Teori dan Praktik”, dalam M. Mukhsin Jamil (ed.),

Mengelola Konflik Membangun Damai; Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik, h. 121.

22

Muslih MZ, “Pengantar Mediasi: Teori dan Praktik”, dalam M. Mukhsin Jamil (ed.),

(32)

Hakim kemudian mengukuhkan kesepakatan tersebut sebagai suatu akta

perdamaian, jika tidak mencapai kesepakatan, maka mediator menyampaikan

secara tertulis bahwa proses mediasi gagal, dan memberitahukannya kepada

Hakim (pasal 18 ayat 1) yang kemudian akan melanjutkan pemeriksaan pokok

perkara tersebut.

3. Tahap Akhir Implementasi Hasil Mediasi

Tahap ini merupakan tahap dimana para pihak hanyalah menjalankan

hasil-hasil kesepakatan yang telah mereka tuangkan bersama dalam suatu

perjanjian tertulis tersebut berdasarkan komitmen yang telah mereka tunjukan

selama dalam proses mediasi.23

Dengan mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara cepat

dan relative murah dan dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para

pihak, selain itu akan memfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan

mereka secara nyata, juga memberikan kesempatan para pihak untuk

berpartisipasi secara langsung dalam menyelesaikan perselisihan.24

Adapun manfaat dalam gugatan perdata jika perdamaian berhasil

dilaksanakan dari para pihak yang berperkara dengan dibuatnya akta

perdamaian yang dibuat dalam bentuk putusan perdamaian yang dibuat oleh

Hakim yaitu:25

23

Muslih MZ, “Pengantar Mediasi: Teori dan Praktik”, dalam M. Mukhsin Jamil (ed.),

Mengelola Konflik Membangun Damai; Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik,h. 155.

24

Syahrizal Abbas,Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syari’ah, Hukum Adat dan Hukum

Nasional,(Jakarta : Kencana, 2009), h. 26.

25

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama,

(33)

1. Mempunyai Kekuatan Hukum

Pada pasal 1851 KUHP Perdata dikemukakan bahwa semua putusan

perdamaian yang dibuat sidang Majlis Hakim mempunyai kekuatan hukum

tetap seperti putusan pengadilan lain. Putusan perdamaian itu tidak bisa

dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan salah

satu pihak telah dirugikan oleh putusan perdamaian itu. Begitu juga dalam

pasal 130 ayat (2) HIR.26

2. Tertutup Upaya Banding dan Kasasi

Putusan perdamaian sama nilainya dengan putusan pengadilan lainnya

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini berarti terhadap putusan

perdamaian itu tertutup upaya banding dan kasasi. Ketentuan ini mengandung

bahwa pengertian putusan perdamaian itu sejak ditetapkan oleh hakim menjadi

putusan perdamaian itu adalah pasti dan tidak ada penafsiran lagi.27

3. Memiliki Kekuatan Ekseskutorial

Putusan perdamaian yang dibuat dalam persidangan Majlis Hakim

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, mempunyai kekuatan hukum

eksekusi dan mempunyai hukum pembuktian. Dalam artian apabila para pihak

tetap ingin mengambil putusan perceraian maka surat kesepakatan perdamaian

tersebut tidak berlaku lagi dan dapat dijadikan bukti dipersidangan bahwa

sebelum berlanjut kepersidangan kedua para pihak sudah melakukan mediasi

26

Bahwa jika perdamaian dapat dicapai, maka pada waktu itu pula dalam persidangan dibuatputusan perdamaian dengan menghukum para pihak untuk mematuhi persetujuan damai yang mereka buat.

27

(34)

dan membuat surat kesepakatan perdamaian akan tetapi dipertengahan jalan

salah satu pihak melanggar kesepakatan tersebut maka pihak yang dirugikan

bisa mencabut kesepakatan tersebut.

D. Faktor Yang Menjadi Penghambat dan Pendukung Mediasi

1. Faktor Penghambat Penerapan Perma No. 1 Tahun 2008

Mahkamah Agung RI dengan Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor :

KMA/059/SK/XII/2003 yang berlaku sejak 30 Desember 2003 dan berlaku

efektif sejak 18 September-November 2004, telah menunjuk beberapa

Pengadilan Negeri yang perlu dibina dan diamati secara khusus dalam rangka

penerapan PERMA No. 2 Tahun 2003 yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,

Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Bengkalis dan Pengadilan

Negeri Batusangkar. Keempat Pengadilan Negeri tersebut bertugas

menjalankan kegiatan mediasi berupa:

a. Mengadakan pelaksanaan dan sosialisasi program percontohan mediasi.

b. Mengadakan pelatihan bagi hakim-hakim, wakil advokat, pemuka adat,

wakil pengusaha, dan para dosen mengenai pelaksanaan mediasi.28

Dengan berakhirnya masa pembinaan tersebut, ternyata terdapat beberapa

hambatan yang dijumpai dalam pelaksanaan mediasi berdasarkan PERMA No.

2 Tahun 2003 tersebut. Kemudian lahirlah PERMA No. 1 Tahun 2008 yang

28

(35)

diharapkan dapat mengatasi kekurangan PERMA No. 1 Tahun 2003.29 Akan

tetapi, meski peraturan telah diganti, hambatan pelaksanaan tetap ada

sebagaimana di bawah ini.

Beberapa factor yang mengambat pelaksanaan PERMA, antara lain:

a. Ketiadaan Mekanisme yang Dapat Memaksa Salah Satu Pihak Atau Para

Pihak yang Tidak Menghadiri Pertemuan Mediasi.

Dalam proses persidangan biasa jika salah satu pihak tidak hadir pada

sidang pertama setelah dipanggil secara patut, maka hakim dapat menjatuhkan

hukuman verstek, yang mengalahkan pihak yang tidak hadir. Dalam proses

mediasi, bila ada para pihak yang tidak hadir setelah ditentukan pertemuan

mediasi, berarti ia sebenarnya tidak berkehendak untuk berdamai, sehingga

mereka dengan sengaja ingin bermain-main dengan waktu, yaitu

menghabiskan waktu empat puluh hari yang diwajibkan untuk mediasi. Oleh

karenanya perlu diterapkan suatu konsekuensi yang tidak menguntungkan bagi

pihak yang tidak hadir. Alternative lain adalah merefisi PERMA dengan

menambah ketentuan bahwa apabila setelah dua hari sejak jadwal pertemuan

mediasi yang disepakati terlewati, maka satu pihak atau para pihak tidak hadir

tanpa alasan yang kuat, maka mediator berwenang untuk mengatakan proses

mediasi gagal, sehingga tidak perlu menunggu masa empat puluh hari habis

untuk menyatakan kegagalan mediasi. Dengan demikian penghematan waktu

29

(36)

dalam penanganan perkara karena tujuan dasar mediasi adalah percepatan

penyelsaian perkara.30

b. Jumlah Mediator dan Jumlah Hakim yang Terbatas

Dengan adanya PERMA No. 1 Tahun 2008, Pasal 8 ayat (1), mediator

pada setiap pengadilan berasal dari kalangan Hakim dan hakim yang memiliki

sertifikat. Hakim diberi tugas sebagai Hakim mediator dimana mereka juga

perlu mendapatkan pelatihan mengenai mediasi. Hakim mediator dapat berupa

Hakim pemeriksa perkara dan Hakim bukan pemeriksa perkara. Kemudian

dengan adanya proses mediasi yang mediatornya adalah salah satu hakim

pemeriksa perkara yang telah mengetahui duduk persoalan sebenarnya melalui

kaukus, tentu cenderung akan berpihak kepada salah satu pihak dan apabila

perdamaian gagal, maka secara psikologis Hakim tersebut tidak lagi impertial

meskipun ada syarat keterpisahan mediasi dari litigasi dalam pasal 19 PERMA

ini.31 Dengan minimnya jumlah Hakim yang telah memiliki sertifikat

mediator, maka Ketua Pengadilan perlu mengeluarkan kebijakan dengan

menunjukan mediator Hakim tambahan terutama apabila jumlah perkara

perdata di wilayah hukumnya tergolong banyak guna terwujud proses mediasi

yang lebihfairdan seimbang.

c. Itikad Baik Para Pihak

Itikad baik sangat penting guna keberhasilan proses mediasi agar tercapai

kesepakatan yang win-win solution. Apabila para pihak tidak mau melihat

30

Nuraningsih Amriani,Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengket Perdata di Pengadilan, h.183.

31

Nuraningsih Amriani,Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengket Perdata di Pengadilan,

(37)

kebutuhan mereka dan hanya mengejar keuntungan, maka perdamaian melalui

mediasi akan sulit tercapai.32

d. Dukungan Para Hakim

Para Hakim Pengadilan Negri dan Pengadilan Agama berpendapat bahwa

tugas pokok mereka adalah menyelsaikan sengketa secara memutus. Disini

Hakim belum memiliki kesadaran idealis, tanpa dukungan dari para Hakim

maka penerapan mediasi yang diwajibkan itu tidak akan pernah berhasil

karena gaji yang diterima merupakan imbalan atas pelaksanaan tugas pokok

itu. Pemberian tugas sebagai mediator yang intinya adalah mendamaikan

adalah berbeda dari tugas pokok, dengan kata lain tugas tambahan, sehingga

mereka berhak atas insentif. Oleh karenanmya perlu upaya penciptaan insentif

yang jelas dan transparan bagi para Hakim yang sukses mendamaikan,

sehingga para Hakim mendukung sepenuhnya proses mediasi. Memang dalam

Pasal 25 ayat (1) PERMA ini telah diatur bahwa hakim yang berhasil

menjalankan fungsi mediator akan diberi insentif dan Mahkamah Agung

menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi, akan tetapi

sehingga tahun 2015 pengaturan tersebut belum terealisasi, hanya sekedar

peraturan diatas kertas. Sehingga tidak meningkatkan kesadaran Hakim untuk

mendamaikan.

e. Ruangan Mediasi

Tersedianya ruangan khusus mediasi merupakan factor penting untuk

mendukung pelaksanaan mediasi tersebut. Disamping factor keberhasilannya

32

(38)

yang harus dijaga, rasa nyaman juga perlu diperhatikan agar para pihak lebih

leluasa mengungkapkan masalahnya dan tidak takut masalahnya didengar

orang lain.

Untuk itu perlu rehabilitasi gedung kantor pengadilan yang saat ini masih

banyak pengadilan yang kekurangan ruangan sehingga melaksanakan proses

mediasi di ruangan Hakim yang apabila dilakukan di luar gedung pengadilan

dan di luar jam kerja, tentu akan menimbulkan hal-hal yang mencurigakan

pihak lain dan akan merusak citra Hakim serta dilarang dalam PERMA No. 1

Tahun 2008.33

f. Dukungan Pengacara dalam Proses Mediasi

Masalah pemberian honorarium kepada pengacara adalah hubungan antara

pengacara dan kliennya sehingga tidak perlu dicampuri oleh Mahkamah

Agung. Akan tetapi, karena dukungan atau penolakan pengacara untuk

menganjurkan kliennya bermediasi akan berpengaruh pada pelaksanaan

PERMA ini, maka hal ini perlu dibahas sebagai satu mata rantai yang saling

berkaitan.34

Pola honorarium terbagi atas tiga pola, yaitu: pertama, pengacara

mempunyai klien tetap dan menerima honor tetap yang biasanya per tahun

atau per bulan, kedua, pengacara menerima honor berdasarkan penanganan

kasus hingga selesai, dan ketiga, pengacara menerima honor dari klien

33

Nuraningsih Amriani,Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengket Perdata di Pengadilan, h.205.

34

(39)

berdasarkan jam kerja atau frekuensi atau kunjungan ke persidangan. Pola

yang terakhir inilah yang menyebabkan pengacara cenderung bersikap

negative terhadap upaya pelembagaan mediasi di Pengadilan, karena jika

kasus selesai dengan cepat, maka honornya kecil. Oleh karena itu, PERMA

perlu direvisi dengan mencantumkan bahwa dalam proses mediasi para pihak

tidak perlu didampingi kuasa hukum mereka, walaupun hal ini tentunya akan

bertentangan dengan hak asasi manusia dan juga kemandirian para pihak.35

2. Faktor Pendukung Penerapan Perma No. 1 Tahun 2008

a. Factor keberhasilan mediasi dari aspek para pihak, yaitu usia perkawinan,

tingkat kerumitan perkara yang dihadapi oleh para pihak, para pihak memiliki

I’tikad baik untuk mengakhiri sengketa melalui mediasi dan para pihak

memiliki kesadaran untuk berdamai dan menyadari kekeliruannya.

b. Di Pengadilan Agama Depok ruang mediasi tersedia dengan nyaman dan

cukup memadai. Hal ini dapat membantu proses keberhasilan dalam proses

mediasi.

c. Hakim mediator sebelum melakukan proses mediasi ia mempelajari

dahulu permasalahan penyebab perkara yang di hadapi oleh kedua belah

pihak.36

35

Nuraningsih Amriani,Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengket Perdata di Pengadilan,

255-261.

36

Nuraningsih Amriani,Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengket Perdata di Pengadilan,

(40)

E. Peraturan Mediasi Menurut Perma No. 1 Tahun 2008

Dengan penerbitan Perma No. 1 Tahun 2008 mengubah secara mendasar

prosedur mediasi di Pengadilan. Mahkamah Agung belajar dari kegagalan

selama lima tahun terakhir. Dari jumlah klausul, Perma 2008 jauh lebih padat

karena memuat 27 Pasal, sementara Perma 2003 hanya 18 Pasal. Perbedaan

jumlah pasal ini setidaknya menunjukan adanya perbedaan diantara keduanya.

Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan mencoba

memberikan pengaturan yang lebih komprehensif, lebih lengkap dan lebih

detail sehubungan mediasi di Pengadilan.37

Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi memang membawa

perubahan mendasar dalam beberapa hal, misalnya rumusan perdamaian,

tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali. Perma No. 2 Tahun 2003

sama sekali tidak mengenal tahapan demikian. Perma No. 1 Tahun 2008

memumgkinkan para pihak atas dasar kesepakatan mereka menempuh

perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi atau

peninjauan kembali (PK). Syaratnya, sepanjang perkara belum diputus majlis

pada masing-masing tingkat tadi.38

Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan adalah

penyempurnaan terhadap Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Pemberdayaan

Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam Bentuk

Mediasi. Penyempurnaan tersebut dilakukan Mahkamah Agung karena dalam

Perma No. 2 Tahun 2003 ditentukan beberapa masalah, sehingga tidak efektif

37

Perma No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama.

38

(41)

penerapannya di Pengadilan. Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No. 1

Tahun 2008 sebagai upaya mempercepat, mempermudah, mempermurah,

penyelesaian sengketa serta memberikan akses lebih besar kepada pencari

keadilan. Mediasi merupakan instrument efektif untuk mengatasi penumpukan

perkara di pengadilan, dan sekaligus memaksimalkan fungsi lembaga

pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, disamping proses pengadilan yang

bersifat memutus. Hakim wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa

melalui mediasi. Bila hakim melanggar atau enggan menerapkan prosedur

mediasi, maka putusan hakim tersebut batal demi hukum (pasal 2 ayat (3)

perma). Oleh karenanya hakim dalam pertimbangan putusannya wajib

menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian

melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang

bersangkutan.39

Adanya kewajiban menjalankan mediasi, membuat hakim menunda proses

persidangan perkara. Dalam menjalankan mediasi, para pihak bebas memilih

mediator yang disediakan oleh pengadilan atau mediator di luar pengadilan.

Untuk memudahkan memilih mediator, ketua pengadilan menyediakan daftar

mediator yang membuat sekurang-kurangnya (5) nama mediator yang disertai

dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman para mediator. Ketua

pengadilan mengevaluasi mediator dan memperbaharui daftar mediator setiap

tahun. Bila para pihak yang memilih mediator hakim, maka baginya tidak

39

(42)

dipungut biaya apapun, sedangkan bila memilih mediator non hakim uang

jasa ditanggung bersama para pihak berdasarkan kesepakatan.

Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi

di Pengadilan adalah penyempurnaan terhadap Peraturan Mahkamah Agung

RI No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Penyempurnaan tersebut dilakukan Mahkamah Agung karena dalam PERMA

No. 2 Tahun 2003 ditemukan beberapa masalah, sehingga tidak efektif

penerapannya di pengadilan. Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No. 1

Tahun 2008 sebagai upaya mempercepat, mempermurah dan mempermudah

penyelesaian sengketa serta memberikan akses yang lebih besar kepada

pencari keadilan. Bagian yang tidak terpisahkan dari proses berperkara di

pengadilan. Hakim wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui

mediasi. Bila hakim melanggar atau enggan menerapkan prosedur mediasi,

maka putusan hakim tersebut batal demi hukum (pasal 2 ayat (3) Perma).40

Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2008 menentukan perkara yang dapat

diupayakan mediasi adalah semua sengketa perdata yang diajukan

kepengadilan tingkat pertama, kecuali perkara yang diselesaikan melalui

prosedur pangadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas

Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan keberatan atas putusan

Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Perkara yang dapat dilakukan mediasi

40

(43)

adalah perkara perdata yang menjadi kewenangan lingkup peradilan umum

dan lingkup peradilan agama.41

Pada prinsipnya mediasi dilingkungan pengadilan dilakukan oleh mediator

yang berasal dari luar pengadilan. Namun, mengingat jumlah mediator yang

sangat terbatas dan tidak semua pengadilan tingkat pertama tersedia mediator,

maka Perma ini mengizikan hakim menjadi mediator. Hakim yang menjadi

mediator bukanlah hakim yang sedang menangani perkara yang akan

dimediasikan, tetapi hakim-hakim lainnya di pengadilan tersebut.42

Dalam Pasal 11 Perma No. 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa para pihak

diwajibkan oleh hakim pada sidang pertama untuk memilih mediator atau 2

(dua) hari kerja sejak hari pertama sidang. Proses mediasi dapat berlangsung

selama 40 (empat puluh) hari sejak mediator dipilih oleh para pihak atau

ditunjuk oleh ketua majlis hakim. Atas dasar kesepakatan para pihak, masa

proses mediasi dapat diperpanjang selama 14 (empat belas) hari sejak

berakhirnya masa 40 (empat puluh) hari.43

Perma No. 1 Tahun 2008 memberikan peluang perdamaian bagi para pihak

bukan hanya untuk tingkat pertama, tetapi juga untuk tingkat banding, kasasi

dan peninjauan kembali. Perdamaian terhadap perkara dalam proses banding,

kasasi atau peninjauan kembali dilaksanakan di pengadilan yang mengadili

41

Syahrizal Abbas,Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 324.

42

Syahrizal Abbas,Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 324.

43

(44)

perkara tersebut pada tingkat pertama atau di tempat lain atas persetujuan para

pihak.para pihak melalui ketua pengadilan tingkat pertama dapat mengajukan

kesepakatan perdamaian secara tertulis kepada majlis tingkat banding, kasasi

atau peninjauan kembali untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. Akta

perdamaian ditandatangani oleh majlis hakim banding, kasasi atau peninjauan

kembali dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak

dicatat dalam register induk perkara.44

44

(45)

36

PROFIL PENGADILAN AGAMA DEPOK

A. Struktur Organisasi

Untuk mengetahui alur tugas pokok dan fungsi, terlebih dahulu harus

diketahui dengan baik tentang struktur organisasi, karena Tupoksi disusun

mengikuti alur garis koordinasi dan garis instruksi pada Struktur organisasi

tersebut.1

Susunan organisasi Pengadilan Agama Depok, sesuai dengan Keputusan

Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 1991, terdiri dari: unsur

pimpinan yaitu Ketua, Wakil Ketua, dan pejabat fungsional Hakim. Selain itu

ada unsur Kepaniteraan serta Kesekretariatan yang dipimpin oleh

Panitera/Sekretaris yang membawahi: bidang Kepaniteraan, terdiri dari Wakil

Panitera, Panitera Muda Gugatan, Panitera Muda Permohonan, dan Panitera

Muda Hukum, kelompok fungsional Panitera Pengganti, Jurusita dan Jurusita

Pengganti; bidang Kesekretariatan, terdiri dari Wakil Sekretaris, Kepala

Urusan Umum, Kepala Urusan Kepegawaian dan Organisasi dan Tata

Laksana, serta Kepala Urusan Keuangan dan Perencanaan.2 Susunan

organisasi Pengadilan Agama Depok dapat digambarkan sebagai berikut:

1

Laporan Tahunan Pengadilan Agama Depok Tahun 2014, h. 14.

2

(46)

KETERANGAN:

GARIS KOORDINASI STRUKTURAL GARIS KOORDINASI FUNGSIONAL

STRUKTUR ORGANISASI PENGADILAN AGAMA DEPOK KETUA

HAKIM

WAKIL KETUA

KASUBAG KEU. & PERENC. KASUBAG UMUM PANITERA/SEKRETARIS

WAKIL PANITERA WAKIL SEKRETARIS

JURUSITA / JURUSITA PENGGANTI PANITERA PENGGANTI

SESUAI DENGAN KMA NOMOR 4 TAHUN 1991

PANMUD GUGATAN PANMUD PERMOHONAN PANMUD HUKUM KASUBAG KEPEG. & ORTALA

Dari Struktur Organisasi Pengadilan Agama Depok di atas, Pengadilan

Agama Depok menyusun Tupoksi untuk menjalankan tugas-tugas operasional

perkantoran sehari-hari. Tugas Pokok dan fungsi tersebut adalah sebagai

berikut:

a. Tugas pokok dan fungsi Unsur Pimpinan / Eselon III

Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama Depok memimpin dan

bertanggung jawab terhadap terselenggaranya tugas Pengadilan Agama Depok

baik dalam bidang kepaniteraan maupun dalam bidang kesekretariatan secara

baik dan lancar.3

b. Tugas pokok dan fungsi Hakim

Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman di

lingkungan Pengadilan Agama Depok dan membantu unsur pimpinan untuk

3

(47)

melaksanakan pengawasan pada bidang tertentu agar terselenggaranya

Pengadilan Agama Depok secara baik dan lancar.4

c. Tugas pokok dan fungsi Panitera/Sekretaris (Eselon III)

Memimpin dan mengatur serta bertanggung jawab atas tugas dalam bidang

kepaniteraan dan kesekretariatan di Pengadilan Agama Depok, dan membantu

unsur pimpinan dalam menjalankan tugasnya.5

d. Tugas pokok dan fungsi Wakil Panitera (Eselon IV)

Wakil Panitera membantu Panitera dalam membina dan mengawasi

pelaksanaan tugas kepaniteraan serta mengkoordinir pelaksanaan

tugas-tugas Panitera Muda Gugatan, Panitera Muda Permohonan, dan Panitera

Muda Hukum.6

e. Tugas pokok dan fungsi Wakil Sekretaris (Eselon IV)

Wakil Sekretaris membantu Sekretaris dalam membina dan mengawasi

pelaksanaan tugas-tugas kesekretariatan serta mengkoordinir pelaksanaan

tugas-tugas Kepala Urusan Umum, Kepala Urusan Kepegawaian dan

Organisasi dan Tata Laksana, dan Kepala Urusan Keuangan dan

Perencanaan.7

4

Laporan Tahunan Pengadilan Agama Depok Tahun 2014, h. 16.

5

Laporan Tahunan Pengadilan Agama Depok Tahun 2014, h.16.

6

Laporan Tahunan Pengadilan Agama Depok Tahun 2014, h. 16.

7

(48)

f. Tugas pokok dan fungsi Panitera Muda Gugatan (Eselon IV)

Panitera Muda Gugatan mempunyai tugas dan fungsi memimpin dan

bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas pada urusan kepaniteraan

gugatan.

g. Tugas pokok dan fungsi Panitera Muda Permohonan (Eselon IV)

Panitera Muda Permohonan mempunyai tugas dan fungsi memimpin dan

bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas pada urusan kepaniteraan

permohonan.8

h. Tugas pokok dan fungsi Panitera Muda Hukum (Eselon IV)

Panitera Muda Hukum mempunyai tugas dan fungsi memimpin dan

bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas pada urusan kepaniteraan

Hukum.

i. Tugas pokok dan fungsi Kepala Sub Bagian Umum (Eselon IV)

Memimpin dan bertanggung jawab terhadap tugas kesekretariatan dalam

urusan umum Pengadilan Agama Depok.9

8

Laporan Tahunan Pengadilan Agama Depok Tahun 2014, h. 17.

9

(49)

j. Tugas pokok dan fungsi Kepala Sub Bagian Kepegawaian dan Organisasi

dan Tata Laksana (Eselon IV)

Memimpin dan bertanggung jawab terhadap tugas kesekretariatan dalam

urusan kepegawaian dan organisasi dan tata laksana.10

k. Tugas pokok dan fungsi Kepala Sub Bagian Perencanaan dan Keuangan

(Eselon IV)

Memimpin dan bertanggung jawab terhadap tugas kesekretariatan dalam

urusan keuangan dan perencanaan.

l. Tugas pokok dan fungsi Panitera Pengganti (Fungsional)

Membantu hakim dalam proses persidangan dan bekerjasama dalam

melaksanakan tugas-tugas kepaniteraan serta membantu tugas-tugas yang

diberikan oleh panitera.11

m. Tugas pokok dan fungsi Jurusita/Jurusita Pengganti (Fungsional)

Melaksanakan tugas-tugas kejurusitaan dan melaksanakan semua perintah

pimpinan, ketua majelis hakim, dan panitera di bidang kejurusitaan. Untuk

menjamin berjalannya tugas Pokok dan Fungsi masing-masing elemen

organisasi, mulai dari pimpinan sampai staf paling bawah serta untuk

memberikan pelayanan terbaik pelayanan prima kepada masyarakat pencari

10

Laporan Tahunan Pengadilan Agama Depok Tahun 2014, h. 17.

11

(50)

keadilan, maka disusunlah pedoman pelayanan (Standard Operational

Procedure) Pengadilan Agama Depok.12

1. Pelayanan Informasi

Jenis pelayanan atau kegiatan yang pertama pihak penggugat atau

pemohon datang kebagian informasi dalam limit waktu 15 menit pelayanan

untuk penggugat atau pemohon harus sudah terlayani dengan baik.

2. Pelayanan Meja I dan Meja II Perkara

Jenis pelayanan disini yaitu medaftarkan perkara tingkat pertama kebagian

Pos Bantuan Hukum, dalam hal ini para pihak ingin mengajukan surat gugatan

atau permohonan kepada pihak tergugat atau termohon langsung memasukan

data sekaligus wawancara untuk pembuatan surat tersebut. lalu para pihak

langsung mendaftarkan perkara tersebut ke bagaian pendaftaran dan

membayar biaya perkara ke kasir dan bagi yang berperkara prodeo lalu dicatat

dibuku register.13

3. Pemanggilan

Jenis pelayanan atau kegiatan yang pertama yaitu pemanggilan pihak

(penggugat atau pemohon dan tergugat atau termohon) dengan limit waktu

sekurangnya tiga hari kerja dan panggilan tersebut dilayangkan sebelum hari

sidang. Pelayanan yang kedua yaitu pemanggilan pihak yang dua-duanya

berdomisili di wilayah Kota Depok dengan jangka waktu selambatnya 15 hari

12

Laporan Tahunan Pengadilan Agama Depok Tahun 2014, h. 19.

13

(51)

kerja setelah penetapan hari sidang. Pelayanan yang ketiga pemanggilan para

pihak yang salah satunya berdomisili di luar Kota Depok namun masih berada

diwilayah Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta selambatnya 28 hari kerja

setelah adanya penetapan hari sidang. Jenis pelayanan yang keempat

pemanggilan para pihak yang salh satunya berdomisili di luar Kota Depok dan

berada di luar DKI Jakarta selambatnya antara 30 sampai degan 60 hari kerja

setelah adanya penetapan hari sidang. Pelayanan yang kelima tergugat/

termohon yang tidak diketahui tempat tinggalnya (ghoib) dengan jangka

waktu 4 bulan setelah penetapan hari sidang. Jenis pelayanan yang keenam

yaitu pemanggilan tergugat atau termohon yang berada diluar negri dengan

limit waktu antara 2 sampai dengan 6 bulan setelah penetapan hari sidang.

4. Proses Persidangan

Setiap Panitera Pengganti wajib membuat dan menyerahkan daftar perkara

yang akan disidangkan kepada bagian informasi (resepsionis) dan

menempelkannya di papan pengumunan Pengadilan selambat-lambatnya pada

pukul 08.00 wib setiap hari.14

5. Berita Acara Sidang dan Putusan

Jenis pelayanan atau kegiatan pertama yaitu berita acara persidangan siap di

tanda tangani oleh Ketua Majelis dan Panitera Pengganti limit waktu pada saat

persidangan berikutnya. Berita acara persidangan terakhir siap di tandatangani

oleh Ketua Majelis dan Panitera Pengganti selambatya dalam limit waktu 7

14

(52)

hari kerja setelah putusan dibacakan. pada saat putusan dibacakan konsep

putusan harus sudah ada.15

6. Pemberitahuan Isi Putusan

Jenis pelayanan atau kegiatan pertama yaitu Ketua Majelis membuat

perintah kepada Jurusita/ Jurusita Pengganti untuk memberitahukan isi

putusan kepada pihak yang tidak hadir dalam persidangan selambat-lambatnya

1 hari kerja dan setelah putusan dibacakan.16

7. Pelayanan Meja III

Jenis pelayanan pertama yaitu Minutasi. Minutasi yang dilakukan oleh

Ketua Majelis jangka waktu kerja selambat-lambatnya 14 hari kerja setelah

perkara diputus. Panitera Pengganti menyerahkan berkas perkara yang telah

diminutasi (dijahit dan disegel) kepada Wakil Panitera (petugas meja III)

untuk diteruskan kepada Panitera Muda Hukum untuk diarsipkan. Berkas

perkara ikrar talak yang menunggu BHT disimpan di dalam arsip berjalan

dalam limit waktu selambat-lambatnya 1 hari kerja setelah berkas

diminutasi.17

15

Laporan Tahunan Pengadilan Agama Depok Tahun 2014, h. 22.

16

Laporan Tahunan Pengadilan Agama Depok Tahun 2014, h. 23.

17

(53)

8. Penerbitan Salinan Putusan /Penetapan dan Akta Cerai

Jenis pelayanan atau kegiatan pertama yaitu penerbitan salinan putusan/

penetapan oleh Panitera selmabat-lambatnya 14 hari kerja setelah perkara di

putus. Yang kedua penerbitan akta cerai atas perkara cerai talak

selambat-lambatnya 3 hari kerja setelah ikrar talak di ucapkan. yang ketiga penerbitan

akta cerai atas perkara

Referensi

Dokumen terkait

1) Perzinahan. Upaya mediasi yang dilakukan dengan pihak Penggugat Tergugat didampingi mediator, pihak KUA memberikan sebuah nasehat agar perceraian dibatalkan.

Pada pertanyaan pertama peneliti akan membahas hasil penelitian tentang proses pelaksanaan Bimbingan Konseling Keluarga (mediasi) yang telah dilakukan oleh

Pendekatan agama dalam proses mediasi dapat dijadikan sebagai salah satu upaya yang dilakukan para mediator untuk menasehati suami istri yang bersengketa. Nilai-nilai agama

Hasil yang didapat dari penelitian dalam skripsi ini adalah bahwa Mediasi merupakan salah bentuk penyelesaian sengketa alternatif, yang berarti bahwa mediasi merupakan

Khusus mediator hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di luar pengadilan (pasal 20); (9) atas dasar kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya perdamaian,

9 Meskipun skripsi ini membahas tentang peranan hakam dalam menyelesaikan perkara syiqaq tetapi tidak dikaitkan dengan peranan mediator sebagai upaya mediasi yang

Tingginya rasa malu dan ego yang dimiliki dari para pihak yang berperkara yang membuat proses mediasi atau perdamaian tidak berjalan dengan baik karena tidak ingin saling memaafkan

Tahap ketiga mediator memberikan kesempatan para pihak untuk melakukan presentasi (mengklarifikasi) kejadian perkara secara bergantian, agar mediator