• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Cepat Penentuan Brazilin dalam Produk Jamu dan Kayu Secang menggunakan Spektrofotometri Derivatif Ultraviolet

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Metode Cepat Penentuan Brazilin dalam Produk Jamu dan Kayu Secang menggunakan Spektrofotometri Derivatif Ultraviolet"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

METODE CEPAT PENENTUAN BRAZILIN DALAM

PRODUK JAMU DAN KAYU SECANG MENGGUNAKAN

SPEKTROFOTOMETRI DERIVATIF ULTRAVIOLET

MUHAMAD AMIN TAQIYUDDIN GHIFFARI

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

METODE CEPAT PENENTUAN BRAZILIN DALAM

PRODUK JAMU DAN KAYU SECANG MENGGUNAKAN

SPEKTROFOTOMETRI DERIVATIF ULTRAVIOLET

MUHAMAD AMIN TAQIYUDDIN GHIFFARI

Skripsi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Program Studi Kimia

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Judul Skripsi : Metode Cepat Penentuan Brazilin dalam Produk Jamu dan Kayu

Secang menggunakan Spektrofotometri Derivatif Ultraviolet

Nama

: Muhamad Amin Taqiyuddin Ghiffari

NIM

: G44080017

Disetujui

Pembimbing I

Dr Irmanida Batubara, SSi, MSi.

NIP 19750807 200501 2 001

Pembimbing II

Wulan Tri Wahyuni S, SSi, MSi

Diketahui

Ketua Departemen Kimia

Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS

NIP 19501227 197603 2 002

(4)

ABSTRAK

MUHAMAD AMIN TAQIYUDDIN GHIFFARI Metode Cepat Penentuan Kadar Brazilin dalam Produk Jamu dan Kayu Secang menggunakan Spektrofotometri Derivatif Ultraviolet. Dibimbing oleh IRMANIDA BATUBARA dan WULAN TRI WAHYUNI.

Brazilin merupakan senyawa aktif dalam kayu secang yang memiliki banyak bioaktivitas serta berfungsi sebagai senyawa penciri kayu secang. Metode cepat dan efisien perlu digunakan untuk mengukur kadar brazilin dalam kayu secang dan produk jamunya sebagai kendali mutunya. Pada penelitian ini dikembangkan metode spektrofotometri derivatif ultraviolet (SDUV) untuk menentukan kandungan brazilin di dalam produk jamu dan kayu secang. Kondisi optimum pengukuran dan preparasi metode SDUV ditentukan terlebih dahulu pada penelitian ini. Kondisi optimum pengukuran yang diperoleh antara lain, kecepatan pemayaran 200 nm/menit, orde turunan 2, panjang gelombang maksimum 231 nm (kayu secang) dan 232 nm (produk jamu), orde penghalusan 4, serta jumlah jendela 11 (kayu secang) dan 19 (produk jamu). Kondisi optimum preparasi dengan parameter jenis pelarut, waktu sonikasi, dan volume pelarut, yang diperoleh untuk kayu secang ialah metanol, 5 menit, dan 5 mL, sedangkan untuk produk jamu ialah etanol, 30 menit, dan 30 mL. Hasil pengukuran kadar brazilin dalam kayu secang dan produk jamu dengan metode SDUV ialah sebesar 5.4091 dan -5.9585 mg/gram. Hasil tersebut berbeda nyata dengan hasil metode kromatografi cair kinerja tinggi yaitu sebesar 2.2889 mg/g untuk kayu secang, dan 0.7575 mg/g untuk produk jamu. Metode SDUV yang dikembangkan lebih murah dan lebih cepat namun keakuratan metode ini masih diragukan.

Kata kunci: Secang, Produk Jamu, Brazilin, Spektrofotometri Derivatif UV.

ABSTRACT

MUHAMAD AMIN TAQIYUDDIN GHIFFARI Rapid Method for Determination of Brazilin in Jamu Product and Sappan Wood by Ultraviolet Derivative Spectrophotometry. Supervised by IRMANIDA BATUBARA and WULAN TRI WAHYUNI.

Brazilin is an active compound in sappan wood with a lot of bioactivity and serves as fingerprint compound for sappan wood. Fast and efficient method must be used to measure brazilin contents in sappan wood and jamu product to control it’s quality. In this research, ultraviolet derivative spectrophotometry (UVDS) method was developed to determine the content of brazilin in sappan wood and jamu product. The optimum conditions of measurement and preparation for UVDS methods was determined beforehand. The optimum conditions for measurements obtained were scan speed at 200 nm / min, the second-order derivatives, the maximum wavelength of 231 nm (sappan wood) and 232 nm (jamu products), smoothing order of 4, and the number of points 11 (sappan wood) and 19 (jamu products). The optimum conditions of preparation with the parameter such as solvent, sonication time, and the volume of solvent, obtained for sappan wood were methanol, 5 min, and 5 mL, while for jamu product were ethanol, 30 minutes, and 30 mL respectively. The results of measurements of brazilin in sappan wood and jamu products by UVDS method were 5.4091 and -5.9585 mg/g. Those results were significantly different from those using high performance liquid chromatography, which were 2.2889 mg/g for sappan wood, and 0.7575 mg/g for jamu product. The developed UVDS method was less expensive and faster, but the accuracy of this method was still in doubt.

(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas limpahan

rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi dengan

judul

Metode Cepat Penentuan Brazlilin dalam Produk Jamu dan Kayu

Secang Menggunakan Spektrofotometri Derivatif Ultraviolet

ini disusun

berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis sejak Maret sampai

Desember 2012 di Laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia, dan

Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, Lembaga Penelitian dan Pengembangan

Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Irmanida Batubara, SSi, MSi.

selaku Pembimbing I dan Ibu Wulan Tri Wahyuni, SSi, MSi. Selaku Pembimbing

2 atas informasi, arahan, saran, bimbingan, serta motivasi yang diberikan selama

penelitian dan penyusunan skripsi ini, Pusat Studi Biofarmaka yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk menggunakan fasilitas dan

peralatan selama penelitian, Lembaga BAZNAS yang telah membantu

memberikan beasiswa penelitian. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Om

Eman, Ibu Nunung, Pak Jaim, dan Kak Nio atas bantuan dan sarannya selama

penulis melakukan penelitian.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga (Ayah, Ibu, Teteh,

Mus, Muti, Teh Hawa, Om Jajang, BuLik, Pakle, Bude, Pakde) yang senantiasa

memberi dukungan moril dan memberikan semangat kepada penulis, serta kepada

Erna, Taufik, Wahyudi, Junaenah yang membantu serta memberikan saran kepada

penulis.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah

pengetahuan bagi pembaca.

Bogor, Januari 2013

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 14 Oktober 1990 dari pasangan

Ahmad Hadi Suprapto dan Dede Mardiah. Penulis merupakan anak kedua dari

empat bersaudara. Penulis lulus dari SMAN 1 Leuwiliang pada tahun 2008 dan

pada tahun yang sama Penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB)

melalui jalur PMDK dan diterima di Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

BAHAN DAN METODE ... 2

Alat dan Bahan ... 2

Lingkup Kerja ... 2

Isolasi Senyawa Brazilin (Hangoluan 2011) ... 2

Pengukuran Kadar Brazilin dengan Spektrofotometri Derivatif Ultraviolet

(SDUV) ... 2

Pengukuran Kadar Brazilin dengan Metode KCKT ... 3

Perbandingan Metode KCKT dan SDUV ... 4

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 4

Isolasi Senyawa Brazilin ... 4

Penentuan Kadar Brazilin dengan Menggunakan Metode SDUV ... 4

Penentuan Kadar Brazilin menggunakan Metode Kromatografi Cair Kinerja

Tinggi (KCKT) ... 9

Perbandingan Hasil Metode SDUV dan Metode KCKT ... 9

SIMPULAN DAN SARAN ... 10

Simpulan ... 10

Saran ... 10

DAFTAR PUSTAKA ... 10

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kondisi preparasi sampel yang digunakan untuk optimasi ... 3

2 Data hasil pengukuran deret standar pada kondisi optimum ... 7

3 Kadar brazilin yang dihasilkan pada berbagai kondisi optimum preparasi ... 8

4 Kondisi optimum untuk setiap sampel ... 9

5 Hasil penentuan kadar brazilin dalam kayu secang dan produk jamu dengan

menggunakan metode SDUV dan KCKT ... 10

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Spektrum serapan standar brazilin turunan ke-0 (a), ke-1 (b), dan ke-2(c)

pada berbagai kecepatan pemayaran ... 4

2 Spektrum deret standar pada kecepatan pemayaran 400 nm/menit (a) dan

200 nm/menit (b) ... 5

3 Spektrum serapan standar brazilin ( ) dan kayu secang ( ) pada turunan

ke-0 (a), ke-1 (b), ke-2 (c), dan ke-3 (d) ... 6

4 Spektrum serapan standar brazilin ( ) dan produk jamu ( ) pada turunan

ke-0 (a), ke-1 (b), ke-2 (c), dan ke-3 (d) ... 7

5 Kurva deret standar optimum sampel kayu secang (a) dan produk jamu (b) ... 7

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Diagram alir penelitian ... 13

2 Data hasil ekstraksi ... 14

(9)

PENDAHULUAN

Jamu merupakan ramuan herbal tradisional khas Indonesia, penggunaan jamu merupakan hal umum bagi masyarakat Indonesia. Jamu biasanya dibuat dari bahan-bahan alami yang dipercaya mengandung khasiat tertentu. Salah satu bahan alami yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan jamu ialah kayu secang. Kayu secang sudah sejak lama digunakan di berbagai negara sebagai obat-obatan tradisional, makanan tradisional, dan minuman tradisional. Berdasarkan penelitian, kayu secang memiliki bioaktivitas antara lain sebagai anti-anafilaktat, antibakteri, antikoagulan, antikomplementari, antiradang, antitumor, antivirus, bersifat sitotoksik, dan juga sebagai stimulan enzim transaminase glutamat piruvat dan stimulan enzim tirosinase (Badami et al. 2004). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa secang dapat digunakan sebagai bahan anti jerawat (Batubara et al. 2010a).

Bioaktivitas kayu secang tersebut disebabkan kandungan-kandungan senyawa di dalamnya, salah satunya ialah brazilin. Penelitian telah banyak dilakukan dalam mengungkap potensi senyawa brazilin, dan sampai saat ini brazilin telah diketahui berpotensi sebagai antioksidan, antiradang, antidiabetes, antibakteri, antikanker (Ren et al. 2011), imunostimulan, antikomplementari, bersifat hepatoprotektif (Badami et al. 2004), antijerawat dengan menginhibisi kerja enzim lipase dari bakteri jerawat (Batubara et al.

2010a). Senyawa brazilin merupakan salah satu senyawa paling dominan dalam kayu secang dan juga merupakan senyawa penciri kayu secang (Pawar et al. 2008). Oleh karena itu, sebagai kontrol kualitas kayu secang, dan produk jamunya perlu ditentukan kadar brazilin pada kayu secang dan produknya.

Pada penelitian ini akan dikembangkan metode penentuan kadar brazilin, untuk menjamin mutu serta khasiat kayu secang dan produk jamunya. Metode analisis yang umum digunakan dalam penentuan kadar brazilin ialah kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Metode KCKT sudah umum digunakan, baik dalam analisis kualitatif maupun analisis kuantitatif senyawa brazilin dalam kayu secang. Meskipun demikian, metode ini memiliki beberapa kekurangan, antara lain membutuhkan banyak pelarut, waktu pengerjaan yang lama, dan prosedur yang tidak sederhana. Analisis yang lebih hemat dan terjangkau perlu dikembangkan untuk membantu petani agar petani dapat menjual

kayu secang sesuai dengan kualitasnya yang berkorelasi dengan kadar brazilin yang terkandung di dalamnya.

Metode yang akan dikembangkan untuk analisis kadar brazilin dalam kayu secang dan produk jamunya ialah spektrofotometri derivatif ultraviolet (SDUV). Metode SDUV merupakan pengembangan dari teknik spektrofotometri UV-Vis konvensional. Metode ini dapat digunakan untuk penentuan jumlah senyawa kimia dalam bahan dengan matriks yang kompleks yang menyebabkan serapan analat bertumpang-tindih dengan matriks (Rachmanti 2006). Teknik spektrofotometri derivatif menawarkan beberapa keuntungan dibandingkan dengan teknik spektrofotometri konvensional, seperti dapat memilih puncak yang tajam di antara spektrum yang lebar dan meningkatkan resolusi spektrum yang bertumpang-tindih. Spektrofotometri derivatif juga dapat menghasilkan daerah sidik jari yang lebih baik dibandingkan dengan spektrum absorpsi pada umumnya (Batubara et al. 2005). Selain itu, metode SDUV ini juga menawarkan pendekatan alternatif untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam analisis campuran (Ojeda & Rojas 2004).

Metode SDUV sudah banyak digunakan dalam berbagai analisis baik senyawa sintetik maupun senyawa aktif yang terdapat dalam bahan alam. Contoh analisis senyawa sintetik dengan menggunakan metode SDUV ialah analisis senyawa dikuat dan parakuat dalam urin dan air (Kuo et al. 2001), triprolidin-HCl dan pseudoefedrin-HCl dalam tablet obat (Sriphong et al. 2009), parasetamol dan ordansetron dalam tablet obat (Kumar et al.

(10)

2

brazilin, sehingga dapat dijadikan metode alternatif dalam pengukuran kadar brazilin dalam kayu secang dan produk jamunya.

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan

Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian antara lain neraca analitik, spektrofotometer UV-Vis, seperangkat komputer, perangkat lunak UV Solutions versi 2.0, seperangkat alat KCKT, dan peralatan kaca.

Bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian antara lain standar brazilin, sampel berupa serbuk produk jamu dan simplisia kayu secang dari semarang, metanol, etanol 96%, kloroform, kertas saring Whatman No.2, dan akuades.

Lingkup Kerja

Penelitian diawali dengan mengisolasi senyawa brazilin dari kayu secang, yang selanjutnya digunakan sebagai senyawa standar. Tahap berikutnya ialah analisis kandungan senyawa brazilin di dalam sampel berupa produk jamu dan simplisia secang menggunakan metode SDUV dan KCKT. Analisis dengan metode SDUV terdiri atas 3 tahap. Tahap pertama ialah penentuan kondisi optimum pengukuran yang mencakup kecepatan pemayaran, orde turunan, orde penghalusan, dan jumlah jendela. Tahap kedua merupakan penentuan kondisi optimum preparasi, sedangkan tahap ketiga ialah analisis kadar brazilin menggunakan kondisi optimum yang diperoleh. Secara lengkap, alur penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

Isolasi Senyawa Brazilin (Hangoluan 2011) Sebanyak 200 g simplisia kayu secang dimaserasi menggunakan pelarut metanol sebanyak 2 L, selama 24 jam. Proses maserasi dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Ekstrak yang diperoleh disaring menggunakan kertas saring Whatman No. 2. Filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan penguap putar kemudian diekstraksi cair-cair dengan pelarut

n-heksana sebanyak 7.3 L. Ekstrak metanol dari tahap ekstraksi cair-cair dipekatkan menggunakan penguap putar, dilarutkan dengan kloroform:metanol (5:1), kemudian difraksionasi menggunakan kromatografi kolom dengan fase diam silika gel dan fase gerak kloroform:metanol (5:1). Eluat ditampung setiap 5 mL dalam tabung reaksi. Eluat-eluat yang diperoleh diuji menggunakan

kromatografi lapis tipis (KLT) untuk menentukan fraksi yang mengandung brazilin. Fraksi tersebut kemudian dipekatkan menggunakan penguap putar, dan dipisahkan kembali menggunakan KLT preparatif (KLTP) dengan fase gerak kloroform:metanol (5:1). Pelat KLTP diamati di bawah sinar UV 366 nm, noda brazilin yang berpendar biru dengan Rf 0.8 dipisahkan kemudian dilarutkan kembali dengan kloroform:metanol (5:1), dan dipekatkan menggunakan penguap putar. Ekstrak ini selanjutnya digunakan sebagai standar brazilin.

Pengukuran Kadar Brazilin dengan Spektrofotometri Derivatif Ultraviolet

(SDUV)

Preparasi Sampel (Batubara et al. 2010b) Simplisia kayu secang dan produk jamu sebanyak 10 g, masing-masing diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan etanol 50% (100 mL) selama 24 jam pada suhu kamar dan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Ekstrak kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman No. 2. Filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan penguap putar.

Preparasi Standar

Standar brazilin dilarutkan dalam metanol kemudian dibuat deret standar dengan konsentrasi 5, 10, 15, 20, 30, dan 50 ppm. Penentuan Kondisi Optimum Pengukuran SDUV

Ekstrak etanol 50% kayu secang dan produk jamu masing-masing ditimbang sekitar 20 mg, kemudian dilarutkan dengan metanol sampai homogen. Larutan yang terbentuk ditera dalam labu takar 25 mL kemudian diencerkan 10 kali menggunakan metanol. Pelarutan sampel ini akan menghasilkan larutan sampel dengan konsentrasi 80 ppm. Larutan sampel 80 ppm dan larutan standar 30 ppm selanjutnya digunakan dalam penentuan kondisi optimum pengukuran SDUV.

(11)

3

ditentukan dengan mengukur serapan pada panjang gelombang 200 750 nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Spektrum standar dan sampel lalu digabungkan ke dalam satu tampilan (overlay) dan diturunkan dengan orde turunan 1, 2, dan 3, untuk mendapatkan orde turunan optimum.

Tahap selanjutnya ialah penentuan orde penghalusan dan jumlah jendela. Pada penelitian, kedua parameter tersebut ditentukan dengan cara mengolah data spektrum deret standar menggunakan program Hitachi UV Solutions. Spektrum diolah pada kondisi orde penghalusan 2, 3, dan 4, dengan setiap orde penghalusan diikuti pengaturan jumlah jendela pada kisaran nilai 5, 7, 9, 11, 13, …, 75. Parameter terbaik ditentukan berdasarkan spektrum yang dihasilkan. Penentuan Kurva Standar dari DL, DS, dan

DZ yang Terbaik

Serapan larutan standar 5, 10, 15, 20, 30, dan 50 ppm dilakukan dengan menggunakan nilai parameter yang optimum. Amplitudo DS,

DL dan DZ dari spektrum standar ditentukan.

Amplitudo yang digunakan ialah yang sesuai untuk sampel dan standar berdasarkan spektrum turunannya. Kurva standar dari amplitudo tersebut digunakan untuk penentuan kadar brazilin selanjutnya.

Penentuan Kondisi Optimum Preparasi Sampel

Pada tahap ini sampel (kayu secang dan produk jamu) sebanyak 0.1 g dilarutkan dalam pelarut kemudian disonikasi dalam rentang waktu tertentu. Larutan selanjutnya disaring dengan kertas saring Whatman no.2, dan ditera di dalam labu takar 50 mL. Larutan diukur kadar brazilinnya menggunakan metode SDUV pada kondisi pengukuran optimum.

Pada tahap ini kondisi optimum preparasi sampel ditentukan dari 3 parameter yaitu jenis pelarut yang digunakan, waktu sonikasi, dan volume pelarut yang digunakan. Parameter yang menghasilkan nilai kadar brazilin terbaik merupakan kondisi optimum preparasi sampel. Rancangan penentuan kondisi optimum preparasi yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1.

Penentuan Kadar Brazilin dalam Sampel Larutan sampel masing-masing diukur pada kondisi parameter (jenis pelarut, volume pelarut, waktu sonikasi, kecepatan pemayaran, orde turunan, orde penghalusan, jumlah jendela, dan panjang gelombang) yang

optimum. Kadar atau konsentrasi brazilin dalam sampel ditentukan dengan cara memasukkan nilai amplitudo sampel ke dalam persamaan garis kurva standar. Analisis sampel dilakukan sebanyak tiga kali ulangan.

Tabel 1 Kondisi preparasi sampel yang digunakan untuk optimasi

Kondisi Pelarut

Waktu Sonikasi (menit) Volume Pelarut (mL) 1 Metanol 5 5 2 Metanol 5 30 3 Metanol 30 5 4 Metanol 30 30 5 Etanol 5 5 6 Etanol 5 30 7 Etanol 30 5 8 Etanol 30 30

9 Air 5 5

10 Air 5 30 11 Air 30 5 12 Air 30 30

Pengukuran Kadar Brazilin dengan Metode KCKT

Preparasi Sampel (Batubara et al. 2010b) Ekstrak etanol kayu secang dan produk jamu, masing-masing ditimbang sebanyak 30 mg kemudian dilarutkan menggunakan metanol dalam labu takar 25 mL. Larutan dibuat sebanyak dua kali ulangan.

Analisis Kadar Brazilin (Batubara et al.

2010b)

(12)

4

Perbandingan Metode KCKT dengan SDUV

Kadar brazilin yang diperoleh dari masing-masing metode dibandindingkan dengan dengan perhitungan statistika menggunakan uji-F dan uji-t.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi Senyawa Brazilin

Ekstrak metanol kayu secang yang sudah dipartisi dengan n-heksana diperoleh sebanyak 6.10% dari bobot awalnya. Ekstrak tersebut kemudian dipartisi dengan menggunakan kromatografi kolom, sehingga diproleh eluat-eluat hasil partisi. Eluat tersebut kemudian di uji menggunakan kromatografi lapis tipis (KLTP) untuk menentukan fraksi yang mengandung senyawa brazilin. Menurut Herdiana (2010) senyawa brazilin akan memberikan warna biru berpendar saat berada di bawah sinar UV 366 nm oleh karena itu eluat yang memiliki spot berpendar biru di bawah sinar UV 366 nm

dicampurkan, sehingga diperolehlah fraksi 1 sebanyak 32.87%, Fraksi 1 tersebut kembali dimurnikan dengan menggunakan KLTP. Pada tahap ini spot yang berpendar biru di bawah sinar UV 366 nm diambil dan dipisahkan. Hasil KLTP yang didapat ialah sebanyak 11.72%. Ekstrak dari spot pada KLTP ini selanjutnya digunakan sebagai standar brazilin untuk analisis-analisis selanjutnya. Data dan perhitungan proses isolasi dapat dilihat pada Lampiran 2.

Penentuan Kadar Brazilin dengan Menggunakan Metode SDUV Penentuan Kondisi Optimum Pengukuran

Tahap pertama yang dilakukan dalam penentuan kondisi optimum pengukuran ialah penentuan kecepatan pemayaran. Pada penentuan kecepatan pemayaran, suatu standar brazilin diukur menggunakan spektrofotometer dengan kecepatan pemayaran 100, 200, 400, dan 800 nm/menit pada daerah dengan panjang gelombang 200-750 nm.

Gambar 1 Spektrum serapan standar brazilin turunan ke-0 (a), ke-1 (b), dan ke-2 (c) pada berbagai kecepatan pemayaran

Keterangan: ( ) 100nm/menit, ( ) 200 nm/menit, ( ) 400 nm/menit, ( ) 800 nm/menit

(a)

(c)

(13)

5

Spektrum yang diperoleh dari setiap pengukuran ditampilkan dalam satu kurva agar diketahui perbedaannya. Spektrum standar pada berbagai kecepatan pemayaran dan turunannya ditunjukkan oleh Gambar 1. Pada spektrum turunan ke-0 (Gambar 1a), kecepatan pemayaran terlihat tidak memberikan perbedaan yang nyata dalam pengukuran standar brazilin 30 ppm, akan tetapi saat spektrum diturunkan dengan orde penurunan 1 dan 2 (Gambar 1b dan 1c), terlihat perbedaan yang cukup nyata untuk setiap kecepatan pemayaran yang dilakukan. Pada spektrum derivat satu (Gambar 1b) dan derivat dua (Gambar 1c) tampak jelas bahwa kecepatan pemayaran 400 nm/menit memberikan spektrum dengan puncak yang lebih tajam dan dengan daerah puncak yang tidak terlalu lebar dibandingkan spektrum yang dihasilkan pada kecepatan pemayaran 100, 200, dan 800 nm/menit. Puncak yang melebar tidak diharapkan karena bentuk spektrum tersebut menyebabkan nilai yang diperoleh menjadi tidak akurat (Rachmanti 2006).

Berdasarkan hasil tersebut, kecepatan pemayaran 400 nm/menit baik untuk digunakan dalam pengukuran kadar brazilin. Selanjutnya dilakukan pengukuran sederet standar dengan menggunakan kecepatan pemayaran 400 nm/menit. Spektrum yang dihasilkan ditunjukkan pada Gambar 2a. Pada Gambar 2a terlihat bahwa spektrum deret standar yang dihasilkan kurang baik karena tidak stabilnya pembacaan yang dilakukan oleh spektrofotometer sehingga setiap konsentrasi standar menghasilkan bentuk spektrum yang berbeda, karena seharusnya setiap standar menghasilkan bentuk spektrum yang sama pada setiap tingkat konsentrasi, adapun perbedaan yang ada seharusnya pada tingkat intensitas absorbans yang dihasilkan oleh perbedaan konsentrasi standar. Hal ini menyebabkan spektrum yang dihasilkan tidak dapat digunakan lebih lanjut untuk pengukuran karena akan menghasilkan nilai linearitas yang kurang baik pada kurva deret standar. Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut selanjutnya dilakukan pembacaan deret standar dengan menggunakan kecepatan pemayaran 200 nm/menit.

Kecepatan 200 nm/menit dipilih karena berdasarkan hasil pada Gambar 1b dan 1c diketahui bahwa spektrum yang dihasilkan lebih baik daripada spektrum pada kecepatan 100 nm/menit. Spektrum pada kecepatan 800 nm/menit sebenarnya menghasilkan spektrum yang sama baiknya dengan kecepatan 200

nm/menit, namun tidak dipilih karena dikhawatirkan akan menghasilkan pembacaan yang tidak stabil dan kurang akurat, hal ini disebabkan pembacaan yang dilakukan sangat cepat. Selain itu menurut Gore (2000), pemayaran yang terlalu cepat dapat menyebabkan perubahan yang serius terhadap puncak respons yang diamati dengan hilangnya intensitas puncak dan mengaburkan detil halus dalam sinyal sedangkan pemayaran yang terlalu lambat dapat memungkinkan terjadinya perubahan fisik maupun kimiawi pada sampel karena adanya jeda waktu. Spektrum yang diperoleh pada kecepatan 200 nm/menit ditunjukkan oleh Gambar 2b. Pada gambar tersebut tampak jelas bahwa spektrum yang dihasilkan jauh lebih baik dan lebih stabil dibandingkan spektrum deret standar pada 400 nm/menit, sehingga dipilihlah kecepatan pemayaran 200 nm/menit sebagai kecepatan pemayaran yang optimum untuk pengukuran kadar brazilin dalam sampel.

Gambar 2 Spektrum deret standar pada kecepatan pemayaran 400 nm/menit (a) dan 200 nm/menit (b)

Keterangan : ( ) 5 ppm, ( ) 10 ppm, ( ) 15 ppm, ( ) 20 ppm, ( ) 30 ppm, dan ( ) 50 ppm.

Parameter selanjutnya yang ditentukan ialah orde turunan dan panjang gelombang maksimum. Penentuan dilakukan dengan cara mengukur standar dan sampel, kemudian menyatukan spektrum yang dihasilkan oleh standar dan sampel dalam satu tampilan

(a)

(14)

6

(overlay). Orde derivatif dan panjang gelombang optimum ditentukan saat spektrum standar dan spektrum sampel menunjukkan puncak yang sama dan saling berhimpitan pada panjang gelombang tertentu.

Gambar 3 dan Gambar 4 merupakan hasil

overlay spektrum standar dan spektrum sampel pada berbagai orde derivat. Gambar tersebut dijadikan sebagai acuan dalam menentukan orde derivat dan panjang gelombang maksimum. Sampel kayu secang menunjukkan adanya puncak yang sama dan berhimpit pada orde derivat ke-2 dengan panjang gelombang maksimum sampel kayu secang terletak pada 231 nm, dan sampel produk jamu juga menunjukkan puncak yang berimpitan dan sama dengan puncak standar pada overlay spektrum derivat ke-2, tetapi dengan panjang gelombang maksimum untuk sampel produk jamu terletak pada 232 nm. Puncak yang sama dan berhimpitan antara sampel dan standar menunjukkan sudah tereleminasinya efek matriks pada sampel, dan puncak yang dihasilkan oleh sampel diduga merupakan puncak dari senyawa brazilin, karena sama (identik) dengan puncak pada spektrum standar yang diperoleh.

Parameter yang ditentukan selanjutnya ialah penentuan orde penghalusan dan jumlah jendela (number of point). Orde penghalusan dan jumlah jendela perlu ditentukan untuk

menghaluskan spektrum turunan yang dihasilkan tanpa mengurangi informasi spektral sehingga dapat meminimalisasi nilai

noise yang dihasilkan dari proses derivatisasi (Ojeda & Rojas 2004) selain itu kedua parameter tersebut perlu ditentukan nilai optimumnya karena jika terlalu banyak penghalusan akan menyebabkan resolusi dan intensitas sinyal berkurang, sedangkan penghalusan yang terlalu sedikit dapat menyebabkan noise pada spektrum masih tersisa (Brereton 2003).

Teknik penghalusan spektrum yang digunakan pada penelitian ini ialah teknik Savitsky-Golay. Teknik ini terbukti dapat menurunkan noise yang terdapat dalam spektrum, namun semakin tinggi jumlah jendela yang digunakan dapat mengurangi resolusi spektrum yang dihasilkan (Brereton 2003). Spektrum yang dihasilkan pada setiap kondisi penghalusan, diolah datanya pada gelombang maksimum untuk setiap sampel kemudian dibuat kurva standarnya serta ditentukan regresi linear dan nilai koefisien korelasinya (R2). Kondisi penghalusan yang memiliki nilai R2 terbaik, digunakan sebagai kondisi penghalusan optimum pada pengukuran sampel karena pada kondisi tersebut, noise yang terdapat dalam spektrum deret standar dianggap sudah mengalami proses pengurangan yang paling maksimum.

Gambar 3 Spektrum serapan standar brazilin ( ) dan kayu secang ( ) pada turunan ke-0 (a), ke-1 (b), ke-2 (c), dan ke-3 (d).

(c)

(a)

(b)

(d)

(15)

7

Gambar 4 Spektrum serapan standar brazilin ( ) dan produk jamu ( ) pada turunan ke-0 (a), ke-1 (b), ke-2 (c), dan ke-3 (d).

Tabel 2 Data hasil pengukuran deret standar pada kondisi optimum [Brazilin]

(ppm)

Amplitudo (DZ)

Kayu Secang (2.4.11)

Produk Jamu (2.4.19) 5 0.00048 0.00041 10 0.00093 0.00079 15 0.00132 0.00105 20 0.00165 0.00134 30 0.00258 0.00223 50 0.00502 0.00419

Gambar 5 Kurva deret standar optimum sampel kayu secang (a) dan produk jamu (b) y = 0.00010x - 0.00017

R² = 0.98788

0 0.001 0.002 0.003 0.004 0.005 0.006

0 20 40 60

A

m

pli

tud

o

[Brazilin] (ppm)

y = 0.00008x - 0.00015 R² = 0.98860

0 0.0005 0.001 0.0015 0.002 0.0025 0.003 0.0035 0.004 0.0045

0 20 40 60

Am

pli

tud

o

[Brazilin] (ppm) 232 nm

(c)

(a)

(b)

(d)

(16)

8

Hasil penentuan persamaan linear dan nilai koefisien korelasi pada setiap kondisi penghalusan untuk sampel kayu secang dan produk jamu menunjukkan bahwa kondisi penghalusan paling optimum untuk kayu secang ialah dengan orde penghalusan 4, dan jumlah jendela sebanyak 11, sedangkan untuk produk jamu ialah dengan orde penghalusan 4, dan jumlah jendela sebanyak 19. Kondisi optimum yang diperoleh digunakan untuk mengukur sederet standar, kemudian ditentukan persamaan kurva linearnya, yang selanjutnya digunakan untuk analisis brazilin dalam sampel. Hasil pengukuran deret standar untuk sampel kayu secang dan jamu yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 5.

Jenis-jenis pengukuran amplitudo pada spektrofotmetri derivatif yang sudah dikenal ada 3 jenis yaitu DZ, DS, dan DL. DZ

merupakan amplitudo yang diukur dari tinggi puncak yang dari garis dasar, DS merupakan

amplitudo yang diukur dari tinggi puncak yang dihitung dari garis lurus antar puncak, sedangkan DL merupakan amplitudo yang

diukur dari puncak rendah ke puncak tinggi (Talsky 1994). Pada pembacaan spektrum deret standar nilai amplitudo yang di baca ialah DZ, hal ini dilakukan karena berdasarkan

Gambar 3 dan 4 puncak antara sampel dan standar yang sama dan berimpitan hanya satu puncak saja, sehingga untuk menentukan nilai DS pada sampel tidak dapat dilakukan. Nilai

DL sebenarnya masih dapat ditentukan pada

sampel namun tidak digunakan karena ketidaksesuaian antara spektrum sampel dan standar.

Penentuan Kondisi Optimum Preparasi Tahap yang dilakukan selanjutnya ialah penentuan kondisi optimum preparasi sampel yang mencakup 3 parameter yaitu jenis pelarut, volume pelarut, dan waktu sonikasi. Penentuan dilakukan dengan cara mengukur kadar brazilin sampel pada 12 kondisi yang berbeda dengan menggunakan kondisi optimum pengukuran yang diperoleh sebelumnya. Kondisi preparasi yang paling baik (optimum) dilihat berdasarkan kadar brazilin yang diperoleh. Pengukuran dan pengolahan data yang dilakukan terhadap sampel kayu secang dan produk jamu dapat dilihat pada Tabel 3. Konsentrasi brazilin pada Tabel 3 menunjukkan banyaknya brazilin (mg) dalam setiap gram sampel. Kondisi preparasi optimum untuk sampel kayu secang ialah kondisi 1, sedangkan untuk sampel produk jamu ialah kondisi 8, hal ini diperoleh

berdasarkan Tabel 3, yaitu kondisi yang menunjukkan nilai kadar brazilin yang terbesar untuk setiap sampel. Nilai kadar brazilin yang terbesar tersebut menandakan pada kondisi tersebut brazilin pada sampel sudah terekstraksi secara maksimum dan dapat dibaca secara optimum oleh metode SDUV dibandingkan dengan kondisi lainnya, sedangkan nilai negatif pada Tabel 3 menandakan brazilin tidak dapat terdeteksi oleh Metode SDUV yang digunakan, bukan berarti brazilin tidak terekstraksi sama sekali pada kondisi tersebut. Hal ini diduga karena pengaruh matriks yang menyebabkan brazilin tidak dapat terdekteksi, atau dapat terjadi karena kadar brazilin yang terlalu rendah sehingga tidak dapat terdeteksi oleh metode SDUV.

Tabel 3 Kadar brazilin yang dihasilkan pada berbagai kondisi preparasi

Kondisi [Brazilin] (mg/gram) Secang Produk Jamu 1 2.7027 0.9766 2 1.8797 -19.5413 3 2.1905 2.3849 4 1.3711 5.1746 5 1.8904 0.8085 6 2.2099 -2.3417 7 2.1978 -0.6427 8 2.5234 6.6044 9 1.7341 1.2887 10 1.6473 2.7419 11 1.6098 2.1104 12 1.6275 1.2887 Analisis Kadar Brazilin menggunakan Metode SDUV

(17)

9

Tabel 4 Kondisi optimum untuk setiap sampel Parameter Kayu

Secang

Produk Jamu Kecepatan Pemayaran

(nm/menit) 200 200 Orde Turunan 2 2 Panjang Gelombang

Maks (nm) 231 232 Orde Penghalusan 4 4

Jumlah Jendela 11 19 Jenis Pelarut Metanol Etanol Waktu Sonikasi (Menit) 5 30

Volume Pelarut (mL) 5 30 Hasil perhitungan dan pengolahan data yang dilakukan dengan Metode SDUV menunjukkan bahwa kayu secang mengandung brazilin dengan kadar sebanyak 5.4091 mg/gram, sedangkan dalam produk jamu kadar brazilin yang terukur ialah bernilai -5.9585 mg/gram. Nilai negatif pada produk jamu menandakan pada produk jamu brazilin tidak terdeteksi dengan baik, seharusnya pada pengukuran terdeteksi sesuai dengan pada penentuan kondisi optimum preparasi yang menghasilkan nilai positif, tetapi pada pengukuran yang dilakukan kembali nilainya menjadi negatif, hal ini membuktikan bahwa metode SDUV kurang baik dan memiliki reprodusibilitas yang buruk untuk analisis senyawa brazilin dalam produk jamu.

Penentuan Kadar Brazilin menggunakan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

(KCKT)

Penentuan kadar brazilin dengan menggunakan metode KCKT sebagai metode referensi dilakukan sebagai pembanding terhadap metode SDUV yang dikembangkan dalam penelitian ini. Metode KCKT yang dilakukan mengacu pada metode yang dilakukan Batubara et al. (2010b). Pada penentuan brazilin dengan metode KCKT hanya digunakan satu konsentrasi standar brazilin, sehingga untuk menentukan konsentrasi brazilin, luas puncak yang diduga brazilin pada sampel dibagi dengan luas puncak standar kemudian dikalikan dengan konsentrasi standar. Hasil penentuan kadar brazilin dengan metode KCKT pada sampel kayu secang yaitu sebanyak 2.2889 mg/gram,

sedangkan untuk produk jamu sebesar 0.7575 mg/gram, hasil tesebut merupakan rerata dari pengukuran yang dilakukan dengan dua kali pengulangan.

Perbandingan Hasil Metode SDUV dan Metode KCKT

Secara teknis pengerjaan analisis dengan metode SDUV yang dilakukan lebih cepat dan lebih murah dibandingkan metode KCKT yang menggunakan banyak pelarut dan membutuhkan waktu lama untuk analisisnya. Selain itu juga alat yang digunakan pada metode SDUV lebih sederhana dan tidak rumit dibandingkan dengan metode KCKT. Namun demikian hasil kadar brazilin dalam sampel yang diperoleh dari kedua metode sangat berbeda. Hasil penentuan kadar brazilin dengan metode SDUV dan metode KCKT dalam sampel kayu secang dan produk jamu dapat dibedakan sesuai dengan Tabel 5.

Hasil pada Tabel 5 menunjukkan bahwa metode SDUV memiliki keterulangan yang lebih baik dibandingkan metode KCKT, hal ini buktikan oleh nilai persen standar deviasi relatif (%SDR) metode SDUV yang lebih kecil dibandingkan %RSD metode KCKT pada setiap pengukuran sampel. Perbedaan hasil antara metode SDUV dan metode KCKT selanjutnya dibandingkan dengan menggunakan uji statistika agar perbedaan yang ada dapat lebih dijelaskan secara teoritis dan lebih dipercaya. Uji analisis yang dilakukan antara lain uji-F dan uji-t. Uji-F merupakan uji statistika yang digunakan dalam membandingkan dua varians agar dapat diketahui apakah perbedaan antara kedua varians tersebut terlalu besar untuk dijelaskan oleh galat yang tidak dapat ditentukan, sedangkan uji-t merupakan uji statistik yang dilakukan dalam membandingkan dua nilai rerata hasil percobaan (Harvey 2000). Uji-t

yang dilakukan ialah uji-t untuk data yang tidak berpasangan (Unpaired t-test).

Perhitungan untuk uji-F dan uji-t pada selang kepercayaan 95% terdapat pada Lampiran 3. Uji-F yang dilakukan pada metode SDUV dan metode KCKT untuk analisis brazilin pada sampel simplisia kayu secang dan produk jamu menghasilkan nilai

Fhitung yang lebih rendah dari Ftabel, yang

(18)

10

Tabel 5 Hasil penentuan kadar brazilin dalam kayu secang dan produk jamu dengan menggunakan metode SDUV dan KCKT

Sampel Metode

Parameter Rerata [Brazilin]

(mg/gram)

Standar

Deviasi %SDR Kayu Secang SDUV 5.4091 0.2910 5.38

KCKT 2.2889 0.1366 5.97 Produk Jamu SDUV -5.9585 0.9579 16.08

KCKT 0.7575 0.1244 16.42 Hasil uji-t terhadap analisis brazilin baik

pada sampel kayu secang maupun sampel produk jamu, menghasilkan nilai thitung yang

lebih besar dibandingkan nilai ttabel-nya,

sehingga dapat disimpulkan bahwa metode SDUV dan metode KCKT menunjukkan rerata hasil analisis kadar brazilin yang berbeda secara nyata baik di dalam kayu secang maupun produk jamu pada selang kepercayaan 95%. Menurut Rachmanti (2006) perbedaan secara nyata tersebut, menunjukkan bahwa efek matriks belum dapat diatasi oleh metode SDUV.

Pengaruh matriks pada analisis brazilin dalam sampel kayu secang dengan metode SDUV menyebabkan kadar brazilin yang terbaca lebih besar dibandingkan metode KCKT, sedangkan pada sampel produk jamu efek matriks menyebabkan tidak terukurnya brazilin dalam produk jamu dengan menggunakan metode SDUV. Selain itu perbedaan yang nyata antara kedua metode menunjukkan bahwa metode SDUV belum bisa dijadikan sebagai metode alternatif untuk pengukuran kadar brazilin karena keakuratan dan hasil dari metode ini masih belum dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu cara untuk menanggulangi efek matriks pada metode SDUV, agar dapat menghasilkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan KCKT. Hasil SDUV pada kayu secang memang memberikan hasil yang berbeda nyata dengan metode KCKT, namun jika dapat ditemukan korelasi kadar brazilin berdasarkan hasil analisisnya menggunakan metode SDUV dengan bioaktivtasnya, metode ini masih dapat digunakan untuk analisis brazilin dalam kayu secang.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Metode SDUV telah dikembangkan dan dapat digunakan untuk menentukan kadar brazilin di dalam sampel kayu secang, namun

metode ini belum dapat diterapkan untuk sampel produk jamu. Metode SDUV yang dikembangkan lebih murah, dan mudah dibandingkan metode KCKT. Namun demikian, metode ini memberikan hasil yang berbeda nyata secara statistika dengan metode KCKT berdasarkan uji-t pada selang kepercayaan 95%, sehingga kebenaran dan keakuratan metode ini masih diragukan.

Saran

Perlu ditemukannya suatu cara untuk memperbaiki hasil metode SDUV agar hasil yang diperoleh tidak berbeda nyata dengan metode KCKT yaitu dengan cara memodifikasi cara ekstraksi senyawa brazilin pada sampelnya untuk mengurangi efek matriks yang masih menggangu. Selain itu, perlu dilakukan validasi terhadap metode ini sebelum metode ini digunakan dalam analasis kuantitatif brazilin untuk menguji apakah metode ini memenui syarat untuk dapat dijadikan suatu metode analisis kuantitatif yang layak digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Alpdogan G, Karabina K, Sungur S. 2002. Derivative spectrophotometric determi-nation of caffeine in some beverages. Turk J Chem 26:295-302.

Altinoz S, Toptan S. 2002. Determination of tartrazine and ponceau-4R in various food samples by Vierordt’s method and ratio spectra first-order derivative UV spectrophometry. J Food Composition & Analysis 15:667-683.

Aydogmus Z, Cetin SM, Ozgur MU. 2002. Determination of ascorbic acid in vegetables by derivative spectrophoto-metry. Turk J Chem 26:697-704.

Badami S, Moorkoth S, Suresh B. 2004.

(19)

11

yielding plant. Natl Prod Radiance

3(2):75-82.

Batubara I, Mitsunaga T, Ohashi H. 2010a. Brazilin from Caesalpinia sappan wood as an antiacne. J Wood Sci 56:77-81.

BatubaraI, Mitsunaga T, Rafi M, Sa’diah S, Zaim MA, Indariani S. 2010b. Brazilin content, antioxidative and lipase inhibition effects of sappanwood (Caesalpinia sappan) from Indonesia. J Chem & Chem Eng 4(10):50-55.

Batubara I, Rafi M, Darusman LK. 2005. Estimasi kandungan kurkumin pada sediaan herbal komersial secara spektrofotometri derivatif. J Sains Kim

9(1):28-34.

Brereton RG. 2003. Chemometrics: Data Analysis for The Laboratory and Chemical Plant. West Sussex: John Wiley & Sons Ltd.

Gattelier P, Kondjoyan A, Portanguen S, Greve E, Yoon K, Sante-Lhoutellier v. 2009. Determination of aromatic amino acid content in cooked meat by derivative spectrophotometry: implication for nutritional quality of meat. Food Chem

114:1074-1078.

Gore MG. 2000. Spectrophotometry and Spectrofluorimetry. New York: Oxford University Press.

Hangoluan BYM. 2011. Pengembangan metode isolasi brazilin dari kayu secang (Caesalpinia sappan) [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Harvey D. 2000. Modern Analytical Chemistry. New York: McGraw Hill. Herdiana M. 2010. Analisis sidik jari kayu

secang (Caesalpinia sappan L.) dengan kromatografi lapis tipis [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Kumar PR, Krishna MM, Prakash PB, Kumar BA, Madhusudhan P. 2006. Derivative spectrophotometric estimation of ondansetron and paracetamol. e-J Chem

3(12):134-136.

Kuo TL, Lin DL, Liu RH, Moriya F, Hashimoto Y. 2001. Spectra interference between diquat and paraquat by second derivative spectrophotometry. Forensic Sci Int 121:134-139.

Ojeda CB, Rojas FS. 2004. Recent developments in derivative ultraviolet/ visible absorption spectrophotometry [ulas balik]. Anal Chim Acta 518:1-24.

Pawar CR, Langde AD, Surana SJ. 2008. Phytochemical and pharmacological aspect of Caesalpinia sappan. J Pharm Res 1:131-138.

Rachmanti WD. 2006. Metode cepat untuk kuantifikasi reserpin dalam obat dan ekstrak Rauwolfia serpentina secara spektrofotometri derivatif ultraviolet [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Ren L, Yang X, Wang G, Zhang H, Zhao L, Mi Z. 2011. Inhibition effect of brazilin to human bladder cancer cell line T24. World Academy of Science, Eng and Technol

60:215-219.

Rizk M, Ibrahim F, Hefnawy M, Nasr JJ. 2006. Fourth order derivative spectrophotometric determination of benzyl alcohol in piroxicam injections. J Chinese Chem Soc 53:767-772.

Sriphong L, Chaidedgumjorn A, Chaisuroj K. 2009. Derivative spectrophotometry applied to determination of triprolidine hydrochloride and pseudoephedrine hydrochloride in tablets and dissolution testing. World Academy of Science, Eng & Technology 55:573-577.

(20)
(21)

13

Lampiran 1 Diagram alir penelitian

Penentuan Kondisi Optimum

Pengukuran (Kecepatan

Penyapuan. Orde Turunan,

Penghalusan, Jumlah Jendela,

dan Penentuan Kurva standar

dari D

Z

, D

L

, dan D

S

)

Penentuan Kondisi Optimum

Preparasi Sampel

Penentuan Kadar Brazilin dalam

sampel pada kondisi optmum

menggunakan SDUV

Penentuan Kadar Brazilin

dalam sampel

menggunakan instrument

KCKT

Perbandingan Hasil dengan

Uji Statistika

Standar Brazilin, Kayu Secang

(Caesalpinia sappan L.), dan Produk Jamu

Analisis

Kuantitatif

Preparasi Standard dan Sampel

Metode Rujukan,

Menggunakan KCKT

Metode Spektrofotometri

Derivatif UV-Vis (SDUV)

Tahap-tahap

Analisis

Tahap-tahap

Analisis

Penentuan Kurva Standar

Preparasi Standard dan

(22)

14

Lampiran 2 Data hasil ekstraksi

Tahap Isolasi Brazilin

Bobot Sampel

(g)

Bobot Ekstrak

(g)

%Ekstrak

Kayu Secang

200.3727

12.2261

6.10

Fraksi 1

2.9742

0.9777

32.87

Hasil KLTP

0.2124

0.0249

11.72

Tahap Analisis Kandungan Brazilin (Preparasi Sampel)

Bobot Sampel (g)

Bobot Ekstrak (g) %Rendemen

Kayu Secang

20.1383

1.6068

7.98

Produk Jamu

25.0047

3.1214

12.48

Contoh perhitungan :

(23)

15

Lampiran 3 Penentuan uji-F dan uji-t

Parameter

Sampel

Metode

KCKT

SDUV

Standar Deviasi

Kayu Secang

0.1366

0.2910

Produk Jamu

0.1244

0.9579

Rerata Kandungan

Brazilin (mg/gram)

Kayu Secang

2.2889

5.4091

Produk Jamu

0.7575

-5.9585

Ulangan

Kayu Secang

2x

3x

Produk Jamu

2x

3x

Uji-F

Kayu Secang

S

S

. 1

.13

.53

Nilai F-tabel pada selang kepercayaan 95% (F(0.05,2,1)) adalah 799.5,

maka

F-hitung < F-tabel

Sehingga dapat disimpulkan varians kedua metode tidak berbeda secara

nyata pada selang kepercayaan 95%

Produk Jamu

S

S

. 57

.1

5 . 5

Nilai F-tabel pada selang kepercayaan 95% (F(0.05,2,1)) adalah 799.5,

maka

F-hitung < F-tabel

Sehingga dapat disimpulkan varians kedua metode tidak berbeda secara

nyata pada selang kepercayaan 95%

Uji-t

Kayu Secang

Karena uji-F menunjukkan kedua metode tidak berbeda nyata pada

selang kepercayaan 95% maka:

|

̅

̅

|

S

pool

n

1

1

n

|

5. 1 .

|

. 5 3

1

3

1

13. 531

dimana,

S

pool

n

1 S

n

1 S

(24)

16

S

pool

(3-1) . 1 3 (- -1) .13

. 5 3

derajat bebas n

n

3

3

Derajat bebas yang diperoleh adalah 3, sehingga nilai

t-tabel yang

digunakan pada selang kepercayaan 95% ialah 3.18, maka

t-hitung > t-tabel

sehingga dapat disimpulkan kedua metode berbeda secara nyata pada

selang kepercayaan 95%

Produk Jamu

Karena uji-F menunjukkan kedua metode tidak berbeda nyata pada

selang kepercayaan 95% maka:

|

̅

̅

|

S

pool

n

1

1

n

|

5. 5 5 .7575

|

.7 5

1

3

1

.3 71

dimana,

S

pool

n

1 S

n

n

n

1 S

( - ) ( - - )

derajat bebas n

n

3

3

Derajat bebas yang diperoleh adalah 3, sehingga nilai

t-tabel yang

digunakan pada selang kepercayaan 95% ialah 3.18, maka

t-hitung > t-tabel

Gambar

Tabel 1 Kondisi preparasi sampel yang digunakan untuk optimasi
Gambar 2  Spektrum deret standar pada
Gambar 3 Spektrum serapan standar brazilin (    ) dan kayu secang (    ) pada turunan ke-0 (a), ke-1
Gambar 5 Kurva deret standar optimum sampel kayu secang (a) dan produk jamu (b)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Indikator input yaitu register DAMIU pada umumnya ada pada setiap puskesmas tetapi kebanyakan belum terisi dengan lengkap, untuk indikator proses walapun kebanyakan petugas sudah

PLN UPJ Surakarta diperoleh data yang dibutuhkan dan nantinya akan digunakan untuk menghitung jatuh tegangan yang terjadi di Gardu Induk Solo Baru dengan perhitungan manual

produk alas kaki Kabupaten Mojokerto dalam pameran dagang minimal skala provinsi Ditjen IKM Kementerian Perindustrian Disperindag Provinsi Jatim, Dinas Perindag

Hasil penelitian yang dilakukan pada konsumen bisnis modern di Yogyakarta ini diketahui bahwa untuk meningkatkan pengambilan keputusan pembelian konsumen khususnya pada

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah dengan pemberian kompos eceng gondok dan bio urin kelinci memberikan respon terhadap

Status : Ventilatory  Vital Sign Kriteria Hasil :  Mendemonstrasika n batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu

ini “ Peranan bidang olahraga dispora dalam mendukung pembinaan atlit pelajar di provinsi Riau Tahun 2012 ” , maka penelitian ini akan dilakukan di Dispora Provinsi Riau

Kinasih dan Fathurrohman (2015c) menya- takan bahwa sistem vulkanisasi EV menghasil- kan sifat mekanis KA untuk karet perapat yang lebih baik dibandingkan