PENGARUH PERLAKUAN TEKNIK KONSERVASI AIR TERHADAP
EVAPOTRANSPIRASI TANAMAN KELAPA SAWIT
(Studi kasus: PT. Sawit Asahan Indah, Rokan Hulu, Riau)
SINTONG MARULITUA PASARIBU
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Plantation Evapotranspiration (Case study: PT. Sawit Asahan Indah, Rokan Hulu, Riau).
Supervised by HANDOKO and BREGAS BUDIANTO.
Water conservation by form of rorak (silt pit) is one of rainwater harvesting methods that can be applied in palm oil plantation to fulfill plants water requirements. Installation of rorak can increase surface water utilization and irrigation water use efficiency. This study aimed to analyze the effect of water conservation technique on soil water content and evapotranspiration of palm oil plantations. This research was conducted by measuring the soil water content in experimental blocks (7, 8, and 18) and control blocks (6, 16, and 17). Twenty five set soil moisture sensor devices were planted on each block. Soil water content was calculated by using soil water content calibration curves obtained through previous research. Evapotranspiration was calculated by using water balance approach in palm oil plantation. As the results, the level of soil water content and evapotranspiration in experimental blocks was higher than the control blocks. Daily average evapotranspiration in experimental and control blocks respectively were 3.9 mm and 3.7 mm. The values of water storage in experimental blocks except block 7 were greater than the water storage in control blocks.
Riau). Dibimbing oleh HANDOKO dan BREGAS BUDIANTO.
Teknik konservasi air dalam bentuk pembuatan rorak (silt pit) adalah salah satu metode pemanenan air hujan yang dapat diterapkan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman di lahan perkebunan kelapa sawit. Instalasi rorak dapat meningkatkan pemanfaatan air permukaan dan efisiensi pemakaian air irigasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh perlakuan konservasi air terhadap kadar air tanah dan evapotranspirasi tanaman kelapa sawit. Penelitian ini dilakukan dengan mengukur kadar air tanah pada blok perlakuan (7,8,18) dan blok kontrol (6,16,17). Setiap blok ditanam perangkat sensor kadar air tanah sebanyak 25 buah. Perhitungan kadar air tanah dilakukan menggunakan persamaan dari kurva kalibrasi kadar air tanah. Evapotranspirasi tanaman dihitung dengan menggunakan pendekatan neraca air yang didasarkan pada masukan dan keluaran air pada lahan tanaman kelapa sawit. Secara umum, tingkat kadar air tanah dan evapotranspirasi blok perlakuan lebih tinggi dibandingkan blok kontrol. Evapotranspirasi harian blok perlakuan dan blok kontrol selama pengukuran adalah 3.9 mm dan 3.7 mm. Cadangan air (water storage) blok perlakuan kecuali blok 7 lebih besar dibandingkan cadangan air pada blok kontrol.
SINTONG MARULITUA PASARIBU
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NIM : G24080007
Disetujui oleh,
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof.Dr.Ir. Handoko, M.Sc Ir. Bregas Budianto, Ass.dpl
NIP. 19591130 198303 1 003 NIP. 19640308 199403 1 002
Diketahui oleh, Ketua Departemen
Dr. Ir. Rini Hidayati, MS NIP. 19600305 198703 2 002
tanggal 23 Maret 1990. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan Bapak H. Pasaribu dan Ibu R. Siahaan. Pendidikan formal penulis diawali pada tahun 1996 di SD Negeri 173123 Hutabarat Hapoltahan kecamatan Tarutung. Pada tahun 2002 hingga 2004 penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 3 Tarutung hingga lulus pada tahun 2005. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Tarutung dan lulus pada tahun 2008.
judul Pengaruh Perlakuan Teknik Konservasi Air terhadap Evapotranspirasi Tanaman Kelapa Sawit (Studi kasus: PT. Sawit Asahan Indah, Rokan Hulu, Riau).
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Tuhan Yesus Kristus dan kedua orang tua tercinta, ayahanda H. Pasaribu dan Ibunda R. Siahaan serta saudara-saudaraku yang saya sayangi. Penulis menyadari karya tulis ilmiah ini akan sulit terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis juga berterimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir Handoko, M.Sc selaku pembimbing I dan Bapak Ir. Bregas Budianto, Ass.dpl selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, saran, dan masukan selama penelitian dan perkuliahan.
2. Bapak Hidayat Pawitan selaku pembimbing akademik penulis yang telah memberikan bimbingan akademik, nasehat, dan masukan kepada penulis selama masa perkuliahan. 3. Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, MS selaku kepala Departemen Geofisika dan Meteorologi
4. Seluruh staf perkebunan kelapa sawit PT. Sawit Asahan Indah, Rokan Hulu, Riau. Khususnya kepada administratur, kepala kebun, dan asisten afdeling Bravo yang telah memfasilitasi dan membantu penulis selama penelitian.
5. Seluruh dosen dan staf tata usaha Departemen Geofisika dan Meteorologi yang telah mendidik dan mengajarkan banyak ilmu selama penulis masih duduk di bangku kuliah. 6. Seluruh kakak/abang dan adik kelas Departemen Geofisika dan Meteorologi.
7. Rekan satu bimbingan akademik Hidayat Pawitan Aulia Maharani serta seluruh teman-teman GFM 45 (Dewa, Ketty, Fida, Fitra, Faiz, Ratna Dilla, Ferdy, Yuda, Iput, Akfia, Okta, Dila Peracitra, Asep, Mirna, Fitri, Firman, Maria, Dewi, Tiska, Putri, Geno, Ruri, Nia, Nadita, Widya, Citra, Fatchah, Topik, Ria, Farah, Aila, Selma, Annisa, Emod, Mela, Pungki, Adhitya, Sarah, Adi, Yoga, Ian, Dody, Fella, Erna, Fauzan, Dicky)
8. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan karya tulis ilmiah ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritk dan saran yang membangun untuk memperbaiki kekurangan tersebut. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membaca.
Bogor, Januari 2013
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 1
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Penyebaran Kelapa Sawit ... 1
2.2 Morfologi dan Pertumbuhan Kelapa Sawit... 2
2.2.1 Akar ... 2
2.2.2 Batang ... 2
2.2.3 Daun ... 2
2.2.4 Bunga dan Buah ... 3
2.3 Ekofisiologi Kelapa Sawit ... 3
2.3.1 Faktor Iklim ... 3
2.3.2 Faktor Edafik ... 4
2.4 Tandan Buah Segar Kelapa Sawit ... 4
2.5 Kebutuhan Air Tanaman Kelapa Sawit ... 4
2.6 Evapotranspirasi ... 4
2.7 Teknik Konservasi Tanah dan Air ... 5
III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 5
3.2 Alat dan Bahan ... 5
3.3 Metode Penelitian ... 5
3.3.1 Perlakuan Percobaan ... 5
3.3.2 Pengukuran Nilai Hambatan Sensor Kadar Air Tanah ... 6
3.3.3 Pengukuran Tinggi Air dalam Rorak dan Curah Hujan ... 6
3.3.4 Perhitungan Kadar Air Tanah ... 7
3.3.5 Perhitungan Evapotranspirasi... 7
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian ... 7
4.2 Hubungan Curah Hujan dengan Ketersediaan Air dalam Rorak ... 8
4.3 Perubahan Kadar Air Tanah ... 9
4.4 Hubungan Curah Hujan dengan Evapotranspirasi ... 12
4.5 Evapotranspirasi Tanaman Kelapa Sawit ... 14
V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 15
5.2 Saran ... 16
DAFTAR PUSTAKA ... 16
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Produksi dan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia ... 1
2 ETp dan ETa tanaman kelapa sawit pada berbagai umur ... 5
3 Analisis tekstur tanah lokasi penelitian ... 8
4 Perbandingan cadangan air blok kontrol dan perlakuan ... 15
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Morfologi kelapa sawit ... 2
2 Buah kelapa sawit ... 3
3 Skema sensor blok (a) perlakuan, (b) kontrol ... 6
4 Kombinasi sensor kadar air tanah ... 6
5 Teknik konservasi air... 6
6 Pengukuran curah hujan ... 7
7 Batas kecamatan Rambah Samo, kabupaten Rokan Hulu, Riau ... 7
8 Curah hujan bulanan di lokasi penelitian ... 8
9 Pengaruh curah hujan terhadap volume air di dalam rorak (a) blok 8 (b) blok 18 ... 9
10 Perubahan kadar air tanah pada kedalaman (a) 0-100 cm (b) 100-200 cm ... 10
11 Profil vertikal rata-rata kadar air tanah blok kontrol dan perlakuan setiap kedalaman (a) minggu awal pengukuran (10-13 Mei 2012), (b) minggu pertengahan pengukuran (2-8 Juli 2012), (c) pengukuran minggu terakhir (27 Agustus-1 September 2012), dan (d) rata-rata minggu awal sampai dengan akhir pengukuran (8 Mei-1 September 2012)……. 11
12 Hubungan curah hujan dengan kadar air tanah (a) blok 6 (b) blok 17 (c) blok 7 (d) blok 8 (e) blok 18………. 12
13 Perbandingan curah hujan total, curah hujan netto, evapotranspirasi, dan limpasan permukaan masing-masing blok……….. 13
14 Hubungan curah hujan netto dengan evapotranspirasi tanaman dan limpasan permukaan pada (a) blok perlakuan (b) blok kontrol………. 14
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Pengukuran kadar air tanah, tinggi air dalam rorak, dan curah hujan ... 19
2 Waktu pengukuran kadar air tanah masing-masing blok ... 20
3 Data tinggi air dalam rorak ... 23
4 Data curah hujan harian masing-masing blok ... 26
5 Contoh kurva kalibrasi pada berbagai kedalaman (a) Blok 8 dan (b) Blok 6 ... 29
6 Bentuk topografi blok perlakuan, (a) Blok 7, (b) Blok 8, (c) Blok 18 ... 31
7 Volume air dalam rorak ... 32
8 Evapotranspirasi dan limpasan permukaan masing-masing blok ... 35
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang menjadi komoditas andalan industri agribisnis di Indonesia. Pada tahun 2010, penerimaan devisa negara dari perkebunan kelapa sawit mencapai 20 miliar US Dollar. Menurut Badan Pusat Statistik (2011), luas areal perkebunan dan produksi tanaman kelapa sawit di Indonesia meningkat dalam kurun waktu dua tahun terakhir (Tabel 1).
Tabel 1 Produksi dan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Tahun Produksi
(ribu ton)
Luas lahan (ribu hektar)
2009 7949.5 21390.5
2010 8110.2 21958.1
(Sumber: BPS 2011)
Menurut Lubis (1992), kelapa sawit dapat tumbuh di lintang antara 12oLU dan 12oLS dengan jumlah curah hujan optimum 2000-2500 mm/tahun dan merata sepanjang tahun tanpa ada kemarau panjang. Oleh karena itu, tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik di Indonesia karena selain terletak pada posisi lintang yang strategis, Indonesia juga memiliki curah hujan yang tinggi dan lama penyinaran yang cukup. Jumlah curah hujan tahunan di Indonesia cukup untuk memenuhi kebutuhan air tanaman kelapa sawit kecuali di beberapa provinsi seperti Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan (Murtilaksono et al.
2007).
Kelapa sawit membutuhkan air dalam jumlah yang banyak untuk mencukupi kebutuhan selama pertumbuhan dan produksi. Kekurangan air pada tanaman kelapa sawit
akan berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan tanaman kelapa sawit baik fase vegetatif maupun generatif (Balitklimat 2007). Dengan kata lain, ketersediaan air merupakan salah satu faktor pembatas utama produksi kelapa sawit. Oleh sebab itu, pengelolaan air di perkebunan kelapa sawit di daerah dengan periode kering yang jelas sangat perlu diperhatikan.
Defisit air yang terjadi pada musim kemarau dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan bunga dan
buah kelapa sawit. Pertumbuhan dan
perkembangan bunga dan buah yang
terganggu pada akhirnya akan menurunkan
produksi kelapa sawit. Sebaliknya, pada musim hujan terjadi kelebihan air yang menyebabkan aliran permukaan dan erosi (Murtilaksono et al. 2007). Besarnya aliran permukaan dan erosi mampu mengikis permukaan tanah sehingga dapat menurunkan
kesuburan tanah. Fenomena tersebut
mendorong diperlukannya manajemen air hujan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan air pada tanaman kelapa sawit.
Teknik konservasi air dalam bentuk pembuatan rorak (silt pit) adalah salah satu metode pemanenan air hujan yang dapat diterapkan di lahan perkebunan kelapa sawit. Rorak digunakan untuk menampung sebagian air aliran permukaan. Air yang masuk ke dalam rorak akan tersimpan sementara dan secara perlahan meresap ke dalam tanah
sehingga mempengaruhi kandungan air
dalam pori-pori tanah. Laju kehilangan air (evapotranspirasi) dari tanaman kelapa sawit cukup tinggi karena luas bidang penguapan pada daun relatif besar. Evapotranspirasi
selain digunakan dalam pendugaan
ketersediaan air tanah, juga merupakan indikator kebutuhan air tanaman. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian lebih mendalam mengenai pengaruh teknik konservasi air
terhadap ketersediaan air dan
evapotranspirasi pada lahan perkebunan kelapa sawit.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pengaruh perlakuan konservasi
air terhadap kadar air tanah dan
evapotranspirasi tanaman kelapa sawit.
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Penyebaran Kelapa Sawit
Divisi : Embryophyta Siphonagama
Kelas : Angiospermae
Ordo : Monocotyledonae
Famili : Arecaceae
Sub Famili : Cocoidae
Genus : Elaeis
Spesies : 1. E. guineensis Jacq. 2. E. oleifera (H.B.K) Cortes 3. E. odora
Kelapa sawit diintroduksikan pertama kali
ke Indonesia pada tahun 1848 oleh
pemerintah Kolonial Belanda (Sheil et al.
2009). Pada tahun 1911, perusahaan
perkebunan kelapa sawit didirikan di Deli (Sumatera Utara), Pulau Raja (Asahan), dan Sungai Liput (Aceh). Kelapa sawit (E. guineensis) telah diusahakan secara komersil di Afrika, Amerika Selatan, Asia Tenggara, Pasifik Selatan, dan beberapa daerah dengan skala yang lebih kecil (Pahan 2011).
2.2 Morfologi dan Pertumbuhan Kelapa Sawit
Kelapa sawit merupakan salah satu spesies cocoideae dengan habitus terbesar (Pahan 2011). Morfologi tanaman kelapa sawit terdiri atas dua bagian yaitu bagian vegetatif dan generatif. Bagian vegetatif meliputi akar (radix), batang (caulis), dan daun (folium) sedangkan bagian generatif yang meliputi bunga dan buah (Sastrosayono 2003). Deskripsi morfologi tanaman kelapa sawit adalah sebagai berikut,
Gambar 1 Morfologi kelapa sawit
(Sumber: http://caliban.mpiz-koeln.mpg.de/ koeh ler/ PALMOEL.jpg)
2.2.1 Akar
Sistem perakaran kelapa sawit dalam Pahan (2011) merupakan sistem akar serabut yang terdiri atas akar primer, sekunder, tersier, dan kuartener. Akar primer keluar dari pangkal batang dengan diameter 6-10 mm dan menyebar secara horizontal. Akar primer bercabang membentuk akar sekunder dengan diameter 2-4 mm. Akar sekunder kemudian bercabang membentuk akar tersier dengan diameter 0.7-1.2 mm dan umumnya bercabang lagi membentuk akar kuartener. Akar kuartener dengan diameter 0.1-0.3 mm dan panjang 1-4 mm merupakan akar absorpsi utama (feeding root). Sastrosayono (2003) menyebutkan bahwa jika aerasi cukup baik, akar tanaman kelapa sawit dapat menembus kedalaman 8 meter di dalam tanah dan akar yang tumbuh ke samping dapat mencapai radius 16 meter.
2.2.2 Batang
Pertumbuhan memanjang batang tanaman kelapa sawit tidak terlihat pada tahun-tahun pertama pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Bagian pangkal atau poros batang terlihat membesar dengan diameter mencapai 60 cm. Batang akan mengalami penyusutan setelah tahun pertama atau kedua dengan diameter 40 cm tetapi pertumbuhan tinggi batang menjadi
lebih cepat (Pahan 2011). Menurut
Sastrosayono (2003), batang mulai
memperlihatkan pertumbuhan memanjang
setelah tanaman berumur 4 tahun.
Pertumbuhan tinggi batang dapat mencapai 35-75 cm per tahun tergantung pada keadaan lingkungan dan keragaman genetik. Batang diselimuti oleh pangkal pelepah daun tua sampai umur 11-15 tahun. Bekas pelepah daun mulai rontok dari bagian tengah ke bagian atas dan bawah (Pahan 2011).
2.2.3 Daun
Daun kelapa sawit dibentuk di dekat titik tumbuh. Daun kelapa sawit yang panjangnya mencapai 9 m terdiri atas satu pelepah daun utama, satu helai daun mencapai dengan panjang 1.2 m dan 100-160 pasang helai anak daun (Siregar 1998). Anak daun (leaf leat) pada daun normal berjumlah 80-120 lembar. Dua lembar daun kelapa sawit biasanya akan tumbuh setiap bulan dimana pertumbuhan daun awal dan daun berikutnya membentuk sudut 135o. Helaian daun semakin lama akan semakin berat yang mengakibatkan daun semakin melengkung ke bawah. Kedudukan daun pada batang dirumuskan dengan rumus daun (phylotaxis) 3/8 artinya pada setiap 3 Daun
(folium)
Batang (caulis)
putaran terdapat 8 daun. Daun kesembilan berada di garis lurus dari daun yang pertama (Sastrosayono 2003).
2.2.4 Bunga dan Buah
Kelapa sawit merupakan tanaman
berumah satu (monoecious), artinya bunga jantan dan bunga betina terdapat pada satu pohon tetapi tidak pada tandan yang sama. Namun, adakalanya bunga jantan dan bunga
betina dijumpai pada satu tandan
(hermafrodit). Bunga jantan dan betina muncul dari ketiak daun (Pahan 2011). Bunga jantan selalu masak lebih dahulu dari bunga betina sehingga penyerbukan sendiri antara bunga jantan dan bunga betina dalam satu tandan sangat jarang terjadi. Bunga betina pada tanaman kelapa sawit muda tumbuh lebih banyak daripada bunga jantan sehingga membutuhkan bantuan penyerbukan oleh manusia (Sastrosayono 2003).
Tanaman kelapa sawit mulai berbuah saat berumur 18 bulan setelah tanam. Buah kelapa sawit menempel di karangan yang sering disebut tandan buah. Tandan buah tumbuh di ketiak daun. Satu tandan buah kelapa sawit terdiri atas puluhan sampai ribuan buah. Tandan buah akan mencapai ukuran terbesar pada umur 4.5-5 bulan (Sastrosayono 2003). Buah kelapa sawit digolongkan sebagai buah
drupe (buah batu) yang terdiri atas eksokarp (kulit buah), mesokarp (sabut), daging buah, endocarp (cangkang), dan kernel (inti) (Siregar 1998).
Gambar 2 Buah kelapa sawit
(Sumber: http://www.fao.org/docrep/006/T0309E/ T0309E05.gif)
2.3 Ekofisiologi Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit memerlukan
kondisi lingkungan tertentu untuk dapat tumbuh dengan optimal, baik pertumbuhan
vegetatif maupun generatif (PPKS 2006).
Dalam konteks ekofisiologi, faktor
lingkungan yang dominan untuk menentukan keberhasilan budidaya kelapa sawit adalah faktor iklim dan keadaan tanah (edafik).
2.3.1 Faktor Iklim
Kelapa sawit tumbuh dan berkembang dengan baik di daerah beriklim tropis yang terletak di antara 13o LU sampai 12o LS terutama di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Selatan (Hazriani 2004). Kelapa sawit umumnya dikembangkan pada daerah yang memiliki curah hujan lebih dari 2000 mm/tahun atau berkisar 1700-3000 mm/tahun atau paling sedikit 150 mm/bulan atau sebesar 5-6 mm/hari serta bulan kering kurang dari satu bulan dalam satu tahun (Murtilaksono et al. 2007). Menurut PPKS
(2006), kelapa sawit masih dapat
dibudidayakan pada lokasi dengan curah hujan kurang dari 2000 mm/tahun dengan syarat tidak boleh ada defisit air lebih dari 250 mm. Lokasi dengan jumlah curah hujan lebih dari 2500 mm/tahun juga masih berpotensi untuk budidaya kelapa sawit asalkan jumlah hari hujan setahun tidak lebih dari 180 hari.
Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh baik pada kisaran suhu 24-28oC dengan suhu minimum 18oC dan suhu maksimum 32oC.
Produksi tertinggi tandan buah segar
diperoleh dari daerah dengan rata-rata suhu tahunan berkisar antara 25-27oC. Tanaman sawit liar di daerah khatulistiwa masih dapat menghasilkan buah pada ketinggian 1.300 m di atas permukaan laut. Dengan demikian, kelapa sawit diperkirakan masih dapat
tumbuh pada kisaran suhu 20oC.
Pertumbuhan kelapa sawit terhambat pada suhu 15oC (Pahan 2011 dan PPKS 2006).
Disamping curah hujan dan suhu, kelapa sawit juga membutuhkan kelembaban dan
lama penyinaran untuk tumbuh dan
2.3.2 Faktor Edafik
Kelapa sawit merupakan tanaman yang dapat dibudidayakan dengan baik di tanah mineral maupun di tanah gambut (PPKS 2006). Menurut Sastrosayono (2006), kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik di beberapa jenis tanah dengan syarat tidak kekurangan air pada musim kemarau dan tidak tergenang pada musim hujan (drainase baik). Sifat fisik tanah dan lahan pada tanah mineral yang dibutuhkan oleh tanaman kelapa sawit agar tumbuh dan berkembang dengan baik antara lain: solum yang tebal (lebih dari 80 cm), tekstur tanah yang optimal (perbandingan pasir 60%, debu 10-40%, dan liat 20-50%), drainase yang baik, topografi yang tidak ekstrim, dan pH tanah 4.0-6.0. Budidaya kelapa sawit di lahan gambut perlu memperhatikan tingkat kematangan dan kedalaman gambut, pengelolaan air (water management), penanganan defisiensi hara mikro, dan penurunan muka air tanah (PPKS 2006).
Selain sifat-sifat fisik dan kimia, letak dan keadaan topografis lahan untuk perkebunan
kelapa sawit juga perlu diperhatikan
(Setyamidjaja 1991). Kriteria kemiringan lahan yang baik untuk pengusahaan kelapa sawit adalah lebih kecil dari 12o. Kemiringan lahan lebih dari 23o sangat tidak baik untuk membudidayakan kelapa sawit karena sangat berpotensi untuk mengakibatkan erosi dan
mempersulit proses pengangkutan dan
distribusi hasil panen (Pahan 2011).
2.4 Tandan Buah Segar Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit berpeluang
menghasilkan tandan buah segar sepanjang tahun. Proses pembentukan buah, dimulai dari penyerbukan sampai pematangan, sangat dipengaruhi oleh dinamika iklim terutama curah hujan. Oleh karena itu, lama proses pematangan buah di beberapa kawasan dapat berbeda, misalnya di Sumatera memerlukan waktu 5-6 bulan, Malaysia memerlukan waktu 5.5 bulan, dan di Afrika Barat memerlukan waktu 6-9 bulan. Proses pematangan buah dalam satu tandan tidak terjadi sekaligus tetapi dimulai dari bagian atas dan samping yang terkena sinar matahari menuju ke arah pangkal. Tandan buah telah siap dipanen apabila beberapa buah telah terlepas secara alami (Setyamidjaja 1991).
Tandan buah kelapa sawit mencapai matang panen setelah tanaman berumur 3-4 tahun di lapangan. Produktivitas tandan buah kelapa sawit mencapai maksimum pada umur tanaman 8-12 tahun dan kemudian menurun
hingga umur 25 tahun (umur ekonomis). Jumlah tandan buah per pohon dipengaruhi oleh laju produksi daun, rasio seks bunga, dan kegagalan pembentukan tandan (gugur
bunga). Studi kasus di Malaysia
menunjukkan bahwa cekaman kekeringan mengakibatkan terjadinya penurunan rasio seks bunga betina terhadap bunga jantan 16-22 bulan setelah kekeringan (Darlan 2011).
2.5Kebutuhan Air Tanaman Kelapa Sawit Kebutuhan air tanaman kelapa sawit pada dasarnya berbeda disetiap fase pertumbuhan. Rata-rata kebutuhan air tanaman kelapa sawit pada fase pembibitan (nursery) selama 12 bulan adalah 2.25 liter/polibag atau setara dengan curah hujan 3.4 mm/hari. Penyiraman tidak perlu dilakukan apabila hujan turun curahan minimum 8 mm. Kebutuhan air tanaman kelapa sawit umur 11 tahun di perkebunan komersial sekitar 1.950 mm per tahun (Pahan 2011). Menurut Murtilaksono et al. (2007) kelapa sawit membutuhkan air paling sedikit 150 mm/bulan atau 5-6 mm/hari.
Kelapa sawit tidak hanya mengalami defisit air pada kondisi curah hujan rendah tetapi juga pada kondisi curah hujan tinggi dengan periode bulan kering yang panjang (Rahutomo 2007). Defisit air pada tanaman kelapa sawit dapat mengakibatkan penurunan laju fotosintesis dan gangguan distribusi asimilat. Kurangnya ketersediaan air juga berdampak negatif pada fase pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman kelapa sawit (Balitklimat 2007).
Kekeringan mulai terjadi apabila defisit air mencapai 200 mm pada tanaman kelapa sawit (Siregar et al. 1995). Kekeringan pada bagian vegetatif menyebabkan penutupan stomata daun dan menghambat pertumbuhan pelepah sedangkan kekeringan pada bagian generatif menyebabkan penurunan produksi tanaman (Balitklimat 2007). Defisit air yang tinggi menyebabkan kegagalan matang panen sehingga buah menjadi busuk. Pengaruh ini secara langsung menyebabkan penurunan produksi tandan buah segar (Rahutomo 2007).
2.6 Evapotranspirasi
Evapotranspirasi adalah ukuran total kehilangan air dari suatu luasan lahan melalui evaporasi permukaan tanah dan transpirasi
permukaan daun (Handoko 1993).
potensial untuk tanaman kelapa sawit (evapotranspirasi potensial, ETp) rata-rata adalah 4 mm/hari atau 120 mm/bulan sedangkan kebutuhan air potensial tanaman kelapa sawit (ETp) pada musim kemarau adalah 5-6 mm/hari atau 150-180 mm/bulan (Siregar et al. 2006). Kebutuhan air potensial (ETp) dan aktual (ETa) tanaman kelapa sawit menurut umur di lapangan ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 ETp dan ETa tanaman kelapa sawit pada berbagai umur
Umur Tanaman (tahun) ETp (mm/hari) musim kemarau ETp (mm/hari) musim hujan ETa (mm/hari)
1-3 4.3
3-7 5.5-6.5 3.0-4.5 3.3 7-15 6.0-7.0
>15 7.0-8.0 Rerata
4-25 5 4 3-6
(Sumber: Siregar et al. 2006)
2.7 Teknik Konservasi Air dan Tanah Prinsip teknik konservasi air adalah pemanfaatan air yang jatuh ke permukaan tanah secara efisien dengan mengatur waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir dan mampu menyediakan air pada waktu musim kemarau. Konservasi air dapat dilakukan
dengan meningkatkan pemanfaatan air
permukaan dan air tanah dan meningkatkan efisiensi pemakaian air irigasi. Prinsip
konservasi tanah tergantung pada
pengendalian kelebihan air yang mengalir di atas permukaan tanah. Teknik konservasi tanah dilakukan dengan metode vegetatif dan mekanik Konservasi tanah secara vegetatif menggunakan vegetasi untuk mengendalikan erosi dan aliran permukaan sedangkan konservasi tanah secara mekanik menerapkan
semua perlakuan fisik mekanis dan
pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan, erosi, dan meningkatkan kemampuan penggunaan tanah (Arsyad 2000).
Tindakan konservasi air diperlukan untuk mengelola air hujan yang jatuh di permukaan lahan dan dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Salah satu teknik konservasi air dan tanah yang umum diterapkan di perkebunan kelapa sawit adalah pembuatan rorak. Menurut Agus dan Ruitjer (2004), rorak adalah lubang kecil yang digunakan untuk menampung sebagian air aliran permukaan. Air yang masuk ke dalam rorak akan tersimpan untuk sementara dan secara perlahan akan meresap ke dalam
pori-pori tanah sehingga mengurangi aliran permukaan dan erosi.
Rorak (silt pit) dapat dibuat dengan ukuran dalam 60 cm, lebar 50 cm, dengan panjang sekitar 4-5 meter. Panjang rorak dibuat sejajar kontur atau memotong lereng. Jarak ke samping antara satu rorak dengan rorak lain berkisar 10-15 meter sedangkan jarak horizontal berkisar antara 20 meter pada lereng yang landai dan agak miring sampai 10 meter pada lereng yang curam (Arsyad 2000). Rorak cocok untuk daerah dengan tanah berkadar liat tinggi (daya serap atau infiltrasi rendah) dan curah hujan tinggi pada waktu yang pendek (Agus dan Ruitjer 2004).
IIIMETODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di perkebunan kelapa sawit PT. Sawit Asahan Indah (ASTRA Group) afdeling Bravo dari bulan
Mei sampai dengan Agustus 2012.
Pengolahan data dilakukan di laboratorium Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB dari September sampai dengan Oktober 2012. Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian payung
“Manajemen Air Hujan” yang dilaksanakan
oleh PT. Astra Agro Lestari Tbk di Riau dan Kalimantan Tengah dengan luas areal 400 ha pada tahun 2011.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain sensor kadar air tanah, penakar hujan, kantong plastik, penggaris, cangkul, tali rafia, timbangan digital, patok kayu, baterai kering 9 volt, alat tulis, buku folio, digital multimeter, Microsoft Office
2007, dan 6 blok lahan perkebunan kelapa sawit.
3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Perlakuan Percobaan
3.3.2Pengukuran Nilai Hambatan Sensor Kadar Air Tanah
Sensor kadar air tanah yang digunakan terbuat dari elektroda batang aluminium yang dirangkai pada sebuah pipa PVC sepanjang 2 meter. Nilai hambatan listrik sensor kadar air tanah diukur pada 11 titik kedalaman yaitu 10, 20, 40, 60, 80, 100, 120, 140, 160, 180, dan 200 cm dari permukaan tanah. Di setiap titik kedalaman, terdapat 4 buah kabel dengan warna yang berbeda dan tidak bersentuhan satu sama lain. Kombinasi 2 warna sensor kadar air tanah di setiap kedalaman menghasilkan 6 kali ulangan pengukuran (Lampiran 1).
Sensor kadar air tanah sebanyak 25 buah dipasang sejajar dengan jarak setiap sensor 1 meter di antara rorak. Sebanyak 4 buah sensor dipasang di bagian atas rorak pertama, 17 buah sensor di antara rorak pertaman dan rorak kedua, dan 4 buah sensor dipasang setelah rorak kedua. Sensor pada blok kontrol dipasang sama seperti pada blok perlakuan namun tanpa rorak.
(a)
(b)
Gambar 3 Skema sensor blok (a) perlakuan, (b) kontrol
Pengukuran tahanan sensor kadar air
tanah dilakukan dengan menggunakan
perangkat elektronik kombinasi antara
pengukur impedansi listrik, digital
multimeter, dan baterai 9 volt. Pengukuran sensor setiap blok dilakukan satu kali dalam seminggu. Selang waktu pengukuran kadar air tanah blok kontrol dan perlakuan tertera pada Lampiran 2.
3.3.3Pengukuran Tinggi Air dalam Rorak dan Curah Hujan
Teknik konservasi air yang diterapkan dalam penelitian ini adalah pembuatan rorak dengan ukuran panjang 9 m, lebar 1 m, dan kedalaman 1 m pada 3 blok perlakuan. Pembuatan rorak mengikuti kontur masing-masing blok perlakuan dan di bagian ujung rorak digali semacam saluran air kecil atau tali air (Lampiran 1). Pembuatan tali air bertujuan untuk mengumpulkan air hujan yang jatuh pada lahan ke dalam rorak secara maksimal dan mengurangi aliran permukaan.
Jarak pembuatan rorak adalah dua pokok tanaman kelapa sawit. Rorak digali di dekat tumpukan pelepah daun kelapa sawit agar tidak mengganggu jalur panen. Tanah dari penggalian rorak ditimbun di dekat rorak
mengikuti kemiringan lahan. Hal ini
dilakukan agar air yang tertampung dalam rorak dapat tertahan apabila volume air yang masuk dalam rorak melebihi kapasistas volume maksimum. Tinggi air dalam rorak
diukur dengan menggunakan penggaris
(Lampiran 3).
Curah hujan ditampung dengan
menggunakan penakar hujan yang terbuat dari pipa paralon berdiameter 11 cm atau luas penampang 103 cm2. Penakar hujan berisi botol seberat 32 gram yang digunakan Gambar 4 Kombinasi sensor kadar air
tanah
sebagai media untuk menampung air hujan yang jatuh (Lampiran 1). Pengambilan data curah hujan dilakukan setiap hari (harian) dengan menimbang berat air hujan yang
tertampung dalam botol menggunakan
timbangan digital pada masing-masing blok (Lampiran 4).
3.3.4Perhitungan Kadar Air Tanah
Kadar air tanah masing-masing
kedalaman (10, 20, 40, 60,…, 200 cm) blok
perlakuan dan blok kontrol dalam persen volume dihitung dengan:
%Vol = 100 . (Wn-W0)/Vtanah…… (1)
Wn : berat tanah setelah evaporasi (gr)
W0 : berat sensor dan sampel tanah
setelah dikeringkan (gr) Vtanah : volume tanah (cm3)
Nilai-nilai yang diperoleh dari proses
kalibrasi penelitian sebelumnya
menghasilkan kurva kalibrasi yang
menghubungkan antara kadar air tanah dan
nilai impedansi tanah (Lampiran 5).
Persamaan-persamaan dari kurva kalibrasi
tersebut kemudian dikonversi menjadi
persamaan volumetrik (persamaan 1) yang digunakan untuk mendapatkan nilai kadar air tanah dalam % volume.
3.3.5Perhitungan Evapotranspirasi
Evapotranspirasi tanaman dihitung
dengan pendekatan neraca air yang
didasarkan pada masukan (input) dan
keluaran (output) air pada lahan tanaman kelapa sawit untuk masing-masing perlakuan (Persamaan 2).
θt = θt-1 + Pt - (ETat + Rot ) ……….(2)
sehingga
ETat + Rot = θt-1 - θt + Pt ………….(3)
Keterangan:
ETat : evapotranspirasi aktual hari ke-t (mm)
Rot : limpasan permukaan hari ke-t (mm)
θt : kadar air tanah hari ke-t (mm) θt -1 : kadar air tanah hari ke-(t-1) (mm).
Pt : curah hujan netto
IVHASIL DAN PEMBAHASAN
4.1Kondisi Umum Daerah Penelitian Lokasi perkebunan kelapa sawit PT. Sawit Asahan Indah terletak di dekat garis ekuator dengan ketinggian antara 40-201 meter di atas permukaan laut. Secara astronomis, lokasi penelitian berada di antara 0o44’55.8”-0o49’06” LU dan 100o27’52.7” -100o32’19” BT. Lokasi penelitian termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Rambah Samo, Kabupaten Rokan Hulu, Propinsi Riau.
Gambar 7 Batas kecamatan Rambah Samo, kabupaten Rokan Hulu, Riau. (sumber: google maps 2012)
Lokasi penelitian merupakan wilayah
dengan kondisi topografis miring.
kebutuhan air tanaman pada saat tidak terjadi hujan dan musim kemarau.
Curah hujan rata-rata dalam kurun waktu enam tahun terakhir yang diperoleh dari stasiun cuaca PT. Sawit Asahan Indah adalah 3042 mm/tahun. Curah hujan tertinggi selama penelitian terjadi pada bulan Juli dan terendah terjadi pada bulan Agustus (Gambar 8). Curah hujan bulanan minimum yang terukur selama penelitian lebih dari 60 mm. Oleh karena itu, bulan Mei, Juni, Juli, dan Agustus tidak termasuk dalam kategori bulan kering (curah hujan bulanan < 60 mm) dan kebutuhan air tanaman sawit di lokasi penelitian dalam kurun waktu 4 bulan tersebut sudah tercukupi (Lampiran 3).
Gambar 8 Curah hujan bulanan di lokasi penelitian
Hasil analisis tekstur tanah pada blok kontrol dan blok perlakuan di lokasi penelitian (Tabel 3) menunjukkan kemiripan tekstur tanah antara blok kontrol dan blok
perlakuan. Tekstur tanah berpasir
mendominasi blok kontrol dan blok
perlakuan. Tekstur tanah blok kontrol dan blok perlakuan pada kedalaman 0-30 cm didominasi oleh tekstur lempung berpasir dan pada kedalaman 30-60 cm tekstur tanah didominasi oleh tekstur pasir berlempung. Secara umum, kandungan pasir pada blok kontrol dan blok perlakuan mengalami peningkatan setiap penambahan kedalaman tanah. Tekstur tanah debu dan liat pada lokasi
penelitian mengalami penurunan setiap
penambahan kedalam tanah. Tekstur tanah pasir berlempung memiliki tekstur yang kasar (pori-pori tanah besar) sehingga air yang tertampung ke dalam rorak lebih mudah meresap ke dalam tanah.
4.2Hubungan Curah Hujan dengan Ketersediaan Air dalam Rorak
Hujan merupakan sumber air yang paling utama untuk berbagai tanaman pertanian termasuk perkebunan kelapa sawit. Sumber air lain misalnya air sungai praktis hanya untuk skala kecil saja seperti irigasi
(penyiraman) pembibitan kelapa sawit
(Siregar 2006). Curah hujan mempengaruhi kemampuan rorak dalam menyimpan air. Hubungan antara curah hujan dan cadangan air yang tertampung di dalam rorak blok perlakuan saling berkaitan. Volume air dalam rorak akan bertambah apabila terjadi hujan dan volume air akan berkurang pada saat tidak terjadi hujan. Rorak tidak langsung mengalami kekeringan pada saat tidak ada hujan namun tinggi permukaan dan volume air akan berangsur-angsur menurun (Gambar 9). Penurunan volume air dalam rorak dapar disebabkan oleh proses perkolasi, pergerakan air secara lateral, dan evapotranspirasi.
Volume rorak blok perlakuan mencapai 0 m3
pada saat tidak terjadi hujan selama beberapa minggu (Lampiran 7).
Blok 7, 8, dan 18 merupakan blok-blok yang diberi perlakuan teknik konservasi air (rorak). Selama masa pengukuran pada ketiga blok tersebut, rorak blok 7 tidak pernah terisi air. Hal ini disebabkan oleh kondisi topografis blok 7 yang lebih curam dibandingkan blok 8 dan 18. Kondisi lereng yang curam pada blok 7 menyebabkan erosi dan limpasan permukaan sangat mudah terjadi. Erosi dan limpasan permukaan yang terjadi mengakibatkan sedimentasi pada tali air dan bagian tepi rorak sehingga air hujan yang turun tidak dapat masuk dan terkumpul ke dalam rorak.
Tabel 3 Analisis tekstur tanah lokasi penelitian
Blok perlakuan
Batas Horison Tekstur Tanah (%)
Blok kontrol
Batas Horison Tekstur Tanah (%)
Atas - bawah
(cm) Pasir Debu Liat
Atas - bawah
(cm) Pasir Debu Liat
18 0-30 65 26 9 17 0-30 65 26 9
18 30-60 71 25 4 17 30-60 71 25 4
8 0-30 65 26 9 6 0-30 71 12 17
8 30-60 71 25 4 6 30-60 68 11 21
7 0-30 65 26 9 16 0-30 71 12 17
7 30-60 71 25 4 16 30-60 68 11 21
(Sumber: PT Sawit Asahan Indah 2008) 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
Mei Juni Juli Agustus
Gambar 9 Pengaruh curah hujan terhadap volume air di dalam rorak (a) blok 8 (b) blok 18
Hazriani (2009) menyatakan bahwa topografi merupakan salah satu unsur faktor lingkungan yang penting dalam menentukan efisiensi usaha perkebunan kelapa sawit. Unsur-unsur topografi yang mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan produksi tanaman adalah ketinggian lahan di atas permukaan laut, relief, dan lereng. Kondisi lereng pada blok 7 menjadi salah satu faktor pembatas bagi tanaman kelapa sawit dalam memenuhi kebutuhan air.
4.3Perubahan Kadar Air Tanah
Menurut Saribun (2007), ketersediaan air tanah tergantung pada curah hujan atau air irigasi, kemampuan tanah menahan air, evapotranspirasi, dan tinggi muka air tanah. Nilai kadar air tanah blok perlakuan (blok 8 dan blok 18) lebih fluktuatif dibanding nilai kadar air tanah blok kontrol (blok 16 dan blok 17) (Gambar 10). Hal tersebut
dipengaruhi oleh ketersediaan air dalam rorak dan curah hujan. Kondisi rorak yang tidak terisi air menyebabkan perubahan nilai kadar air tanah blok 7 (blok perlakuan) tidak terlalu fluktuatif. Rorak yang tidak terisi air disebabkan oleh kondisi topografis blok 7 yang curam sehingga limpasan permukaan dan erosi cukup besar. Limpasan permukaan dan erosi tanah membawa deposit tanah pada tali air dan bagian tepi rorak sehingga
menyebabkan kapasitas rorak untuk
menampung air berkurang. Volume rorak blok 8 dan blok 18 bagian atas dan bawah berbeda. Volume rorak atas blok 8 lebih besar dibandingkan volume rorak bawah dan volume rorak atas blok 18 lebih kecil dibandingkan volume rorak bawah. Volume rorak atas blok 8 lebih banyak terisi air disebabkan oleh daerah tangkapan air rorak atas lebih luas, tali air yang masih terawat, dan tidak adanya benteng penghalang
0 10 20 30 40 50 60 70 80 0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0 1 3 0 1 3 4 1 3 7 1 4 1 1 4 4 1 4 8 1 5 1 1 5 5 1 5 8 1 6 2 1 6 5 1 6 9 1 7 2 1 7 6 1 7 9 1 8 3 1 8 6 1 9 0 1 9 3 1 9 7 2 0 0 2 0 4 2 0 7 2 1 1 2 1 4 2 1 8 2 2 1 2 2 5 2 2 8 2 3 2 2 3 5 2 3 9 2 4 2 Cu ra h h u jan (m m ) V o lu m e air d alam ro ra k (m 3) Julian date 0 10 20 30 40 50 60 70 80 0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0 1 3 0 1 3 4 1 3 7 1 4 1 1 4 4 1 4 8 1 5 1 1 5 5 1 5 8 1 6 2 1 6 5 1 6 9 1 7 2 1 7 6 1 7 9 1 8 3 1 8 6 1 9 0 1 9 3 1 9 7 2 0 0 2 0 4 2 0 7 2 1 1 2 1 4 2 1 8 2 2 1 2 2 5 2 2 8 2 3 2 2 3 5 2 3 9 2 4 2 Cu ra h Hu jan (m m ) V o lu m e air d alam ro ra k (m 3) Julian date
curah hujan rorak atas rorak bawah (a)
(a)
(b)
Gambar 10 Perubahan kadar air tanah pada kedalaman (a) 0-100 cm (b) 100-200 cm. [catatan: blok kontrol (16,17) dan blok perlakuan (7,8,18)]
atau gundukan tanah di sekitar rorak. Volume rorak blok 18 bagian atas lebih kecil disebabkan oleh gundukan tanah atau benteng penghalang dan tali air yang tidak terawat di sekitar rorak atas sehingga volume air rorak bawah lebih besar dibanding rorak atas.
Secara keseluruhan nilai kadar air tanah
blok perlakuan selalu lebih tinggi
dibandingkan blok kontrol. Kadar air tanah blok perlakuan pada kedalaman 0-100 cm dan 100-200 cm lebih besar dibanding kadar air tanah blok kontrol. Dari dua kedalaman, 0-100 cm dan 100-200 cm, dapat dilihat dengan jelas bahwa kadar air tanah blok dengan rorak dan terisi air lebih besar dibanding blok tanpa rorak (blok kontrol) dan blok 7 yang tidak terisi oleh air. Kadar air tanah blok perlakuan dan blok kontrol lebih besar pada kedalaman 100-200 cm dibanding kedalaman 0-100 cm.
Profil vertikal kadar air tanah (% volume)
terhadap kedalaman (Gambar 11)
menunjukkan bahwa blok dengan perlakuan rorak memiliki profil kadar air tanah semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman sedangkan blok tanpa perlakuan rorak memiliki profil kadar air tanah yang
fluktuatif seiring dengan bertambahnya
kedalaman. Kadar air tanah blok perlakuan selalu lebih besar dibandingkan blok kontrol dimulai dari minggu pertama pengukuran sampai minggu terakhir pengukuran (minggu ke-17) meskipun nilai kadar air tanah blok
perlakuan mengalami penurunan pada
kedalaman 140 cm. Nilai kadar air tanah blok perlakuan kembali mengalami peningkatan pada kedalaman 160-200 cm. Nilai kadar air tanah blok perlakuan dan blok kontrol dipengaruhi oleh volume air dalam rorak dan curah hujan di lokasi penelitian dari minggu awal pengukuran sampai minggu ke-17.
Nilai kadar air tanah blok kontrol pada minggu awal pengukuran berkisar antara 18%, minggu pertengahan pengukuran 20%, dan minggu terakhir pengukuran 7-22%. Nilai kadar air tanah blok perlakuan berkisar antara 12-22% pada minggu awal
pengukuran, 10-26% pada minggu
pertengahan, dan 9-20% pada minggu terakhir pengukuran. Nilai kadar air tanah rata-rata blok kontrol dan blok perlakuan dari
minggu awal sampai dengan terakhir
pengukuran (Gambar 11d) menunjukkan bahwa nilai kadar air tanah blok perlakuan dari minggu awal sampai minggu terakhir pengukuran lebih besar dari blok kontrol. 0 10 20 30 40 50 60
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
KAT ( %vo l) Minggu ke- Blok 7 Blok 8 Blok 16 Blok 17 Blok 18 0 10 20 30 40 50 60
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
(a) (b)
(c)
(d)
Gambar 11 Profil vertikal rata-rata kadar air tanah blok kontrol dan perlakuan setiap kedalaman (a) minggu awal pengukuran (10-13 Mei 2012), (b) minggu pertengahan pengukuran (2-8 Juli 2012), (c) minggu terakhir pengukuran (27 Agustus-1 September 2012), dan (d) rata-rata minggu awal sampai dengan akhir pengukuran (8 Mei-1 September 2012).
Tekstur tanah lempung berpasir dengan kandungan pasir >70% memiliki kemampuan menahan air dan kandungan hara yang rendah sedangkan tekstur liat dengan kandungan liat >35% memiliki kemampuan menahan air dan hara yang tinggi. Menurut Enni et al. (2008), pola perubahan kadar air tanah tiap kedalaman menurut waktu mengikuti pola curah hujan dan fluks aliran air. Apabila
terjadi hujan maka diikuti oleh kenaikan kadar air tanah pada hari berikutnya, dimana peningkatan kadar air tanah terjadi lebih dulu pada lapisan atas atas diikuti lapisan di bawahnya. Apabila tidak terjadi hujan, aliran air terjadi sebaliknya yaitu dari bawah ke atas (fluks negatif) melalui pori-pori mikro secara tak jenuh akibat proses evapotranspirasi. Kadar air tanah pada blok kontrol dan blok
-200 -180 -160 -140 -120 -100 -80 -60 -40 -20 0
0 5 10 15 20 25 30
Kedal am an ( c m )
Kadar Air Tanah (% vol)
-200 -180 -160 -140 -120 -100 -80 -60 -40 -20 0
0 5 10 15 20 25 30
Kedal am an ( c m )
Kadar Air Tanah (% vol)
-200 -180 -160 -140 -120 -100 -80 -60 -40 -20 0
0 5 10 15 20 25 30
Kedal am an ( c m )
Kadar Air Tanah (% vol)
-200 -180 -160 -140 -120 -100 -80 -60 -40 -20 0
0 5 10 15 20 25 30
Kedal am an ( c m )
Kadar Air Tanah (% vol)
(a) blok 6 [Kontrol] (b) blok 7 [Perlakuan]
(c) blok 16 [Kontrol] (d) blok 8 [Perlakuan]
(e) blok 17 [Kontrol] (f) blok 18 [Perlakuan]
Gambar 12 Hubungan curah hujan dengan kadar air tanah (a) blok 6 (b) blok 17 (c) blok 7 (d) blok 8 (e) blok 18
perlakuan (Gambar 12) mengalami
peningkatan saat setelah terjadi hujan. Kadar air tanah blok kontrol dan perlakuan mengalami penurunan saat intensitas hujan rendah dan tidak ada kejadian hujan.
4.4Hubungan Curah Hujan dengan Evapotranspirasi
Curah hujan (dan atau irigasi) merupakan masukan air dalam neraca air tanaman sedangkan output neraca air berupa limpasan 0 20 40 60 80 100 120 0 5 10 15 20 25
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
CH (m m ) KAT ( %vo l) Minggu ke- 0 20 40 60 80 100 120 140 0 2 4 6 8 10 12 14
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
CH (m m ) KAT ( %vo l) Minggu ke- 0 20 40 60 80 100 120 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
CH (m m ) KAT ( %vo l) Minggu ke- 0 20 40 60 80 100 120 140 0 5 10 15 20 25 30
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
CH (m m ) KAT ( %vo l) Minggu ke- 0 20 40 60 80 100 120 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
CH (m m ) KAT ( %vo l) Minggu ke- CH KAT 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
(
Keterangan:
Pg = curah hujan total (gross precipitation)
Pn = curah hujan netto (net precipitation)
ETa+RO = evapotranspirasi aktual ditambah limpasan permukaan (run off)
Gambar 13 Perbandingan kumulatif curah hujan total, curah hujan netto, evapotranspirasi, dan limpasan permukaan masing-masing blok [catatan: blok kontrol (6,16,17) dan blok perlakuan (7,8,18)]
(a) blok 6 (b) blok 7
(c) blok 16 (d) blok 8
dan evapotranspirasi. Evapotranspirasi disebut juga sebagai pemakaian konsumtif air
untuk menunjukkan jumlah air yang
dikonsumsi oleh tanaman (Hazriani 2004). Menurut Risza (2010), perimbangan antara evapotranspirasi dan curah hujan selama periode tertentu menunjukkan keadaan defisit air atau surplus air di dalam tanah. Sumber utama ketersediaan air untuk tanaman kelapa adalah air hujan dan ketersediaan air dalam tanah. Berdasarkan literatur, kelapa sawit umumnya akan mengalami defisit air apabila berada pada kondisi curah hujan yang rendah atau curah hujan yang cukup tinggi namun memiliki bulan kering yang panjang.
Hubungan antara curah hujan total (Pg), curah hujan netto (Pn), evapotranspirasi dan limpasan permukaan (ETa+RO) ditunjukkan oleh Gambar 13. Curah hujan netto diperoleh dari selisih curah hujan total dengan curah hujan yang diintersepsi oleh tanaman kelapa sawit. Oleh karena itu, nilai curah hujan netto selalu berada dibawah nilai curah hujan total. Dari keseluruhan grafik curah hujan total, curah hujan netto, dan evapotranspirasi, secara umum nilai evapotranspirasi tanaman kelapa sawit lebih besar atau hampir sama dengan nilai curah hujan netto. Hal ini berlaku untuk blok kontrol dan blok perlakuan. Akan tetapi, ada dua kondisi dimana curah hujan netto berada jauh di bawah evapotranspirasi yaitu pada Gambar 13 (d) dan (f). Hal ini disebabkan oleh tidak adanya hujan dalam beberapa selang waktu pengukuran sehingga ketersediaan air dalam rorak dan tanah tidak mencukupi. Disamping itu, periode musim kemarau yang terjadi selama masa pengukuran juga menyebabkan
evapotranspirasi menjadi lebih tinggi
dibanding curah hujan total dan curah hujan netto.
4.5Evapotranspirasi Tanaman Kelapa Sawit
Menurut Direktorat Irigasi (1986), curah hujan netto merupakan besar curah hujan yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman untuk memenuhi kebutuhan air (evapotranspirasi). Curah hujan netto tergantung pada sifat hujan, jenis tanaman, dan tingkat ketahanan
tanaman terhadap kekurangan air.
Evapotranspirasi aktual (ETa) adalah tinggi air yang dibutuhkan untuk mengganti
sejumlah air yang hilang melalui
evapotranspirasi pada tanaman yang sehat.
Nilai evapotranspirasi aktual
merepresentasikan nilai kebutuhan air yang harus diberikan ke tanaman, atau merupakan
Gambar 14 Hubungan curah hujan netto
dengan evapotranspirasi
tanaman dan limpasan
permukaan pada (a) blok
perlakuan (b) blok kontrol
dasar dalam pemenuhan kebutuhan air bagi tanaman di lapang (Aqil et al. 2007). Keterkaitan antara curah hujan netto dengan evapotranspirasi dan limpasan permukaan (run off) ditunjukkan oleh Gambar 14.
Evapotranspirasi dan limpasan permukaan (run off) blok perlakuan dan blok kontrol meningkat saat terjadi hujan dan mengalami penurunan saat tidak ada kejadian hujan dari minggu awal pengukuran sampai minggu terakhir pengukuran. Hal ini disebabkan oleh fluktuasi hari hujan yang mempengaruhi kandungan air dalam tanah dan ketersediaan air dalam rorak. Disamping itu, periode
musim kemarau yang terjadi selama
pengukuran (Mei sampai dengan Agustus) juga mempengaruhi ketersediaan air dalam
tanah. Evapotranspirasi dan limpasan
permukaan rata-rata blok kontrol adalah 25.7 mm/minggu sedangkan evapotranspirasi dan limpasan permukaan rata-rata blok perlakuan adalah 27.3 mm/minggu selama 16 minggu.
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 E vap o tr an sp iras i (m m ) Minggu ke- Cu r ah h u jan n e tt o ( m m )
Pn Eta+RO (Perlakuan)
0 10 20 30 40 50 60 70 80 0 10 20 30 40 50 60 70 80
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Cu r ah h u jan n e tt o ( m m ) E vap o tr an sp iras i (m m ) Minggu ke-
Pn Eta+RO (Kontrol)
(a)
Gambar 15 Perbandingan evapotranspirasi kumulatif blok kontrol dan blok perlakuan
Evapotranspirasi dan limpasan permukaan kumulatif blok perlakuan dan blok kontrol dari awal pengukuran sampai dengan akhir pengukuran pada Gambar 15 menunjukkan bahwa blok dengan perlakuan rorak lebih besar dibandingkan blok tanpa perlakuan rorak. Evapotranspirasi harian blok perlakuan dan blok kontrol selama pengukuran adalah 3.9 mm/hari dan 3.7 mm/hari. Menurut Siregar et al. (2006), evapotranspirasi aktual untuk tanaman kelapa sawit dengan rata-rata umur 4-25 tahun adalah 3-6 mm/hari. Jumlah hari hujan, kondisi topografis, tekstur tanah menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi nilai evapotranspirasi pada blok kontrol dan perlakuan.
Perbandingan cadangan air (water
storage) antara blok perlakuan dan blok kontrol pada Tabel 4 menunjukkan bahwa cadangan air pada blok perlakuan lebih besar dibandingkan cadangan air pada blok kontrol. Hal ini berbanding lurus dengan kadar air tanah blok perlakuan dimana kadar air tanah pada blok perlakuan lebih besar dibandingkan blok kontrol disebabkan suplai air dari rorak yang terisi oleh limpasan air hujan. Cadangan air blok 8 dan 18 lebih tinggi dibandingkan blok 7. Hal ini disebabkan rorak pada Blok 8
dan 18 memiliki kondisi tanah yang didominasi oleh jenis tanah liat yang dengan pori-pori kecil sehingga infiltrasi air lebih kecil dibandingkan infiltrasi pada blok 7 dengan tekstur tanah dominan berpasir.
Cadangan air blok 8 dan blok 18 berturut-turut adalah 112 mm dan 93 mm sedangkan cadangan air blok 7 sebesar 68 mm. Cadangan air pada blok 7 lebih sedikit karena diakibatkan oleh kemiringan lahan yang lebih curam dan tekstur tanah dominan berpasir. Cadangan air blok 17 sebesar 70 mm merupakan cadangan air tertinggi di antara ketiga blok kontrol. Jumlah hari hujan dan
periode musim kemarau sangat
mempengaruhi cadangan air pada blok perlakuan sehingga sangat memungkinkan cadangan air pada blok dengan perlakuan
lebih kecil pada musim kemarau
dibandingkan musim hujan.
V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Teknik konservasi air dengan cara membuat rorak pada lahan perkebunan kelapa sawit tidak hanya dapat meningkatkan ketersediaan air dalam tanah tetapi juga mampu menyediakan air pada saat tidak terjadi hujan dan musim kemarau. Kadar air tanah dengan perlakuan rorak di lokasi
penelitian semakin meningkat dengan
bertambahnya kedalaman dari minggu awal
pengukuran sampai minggu akhir
pengukuran. Dari ketiga blok perlakuan, rorak blok 8 dan 18 merupakan blok yang terisi oleh air hujan sedangkan rorak blok 7 tidak terisi oleh air hujan. Evapotranspirasi blok perlakuan lebih tinggi dibandingkan blok kontrol. Blok perlakuan dengan nilai evapotranspirasi + limpasan permukaan tertinggi adalah blok 8 sedangkan blok perlakuan dengan nilai evapotranspirasi + limpasan permukaan terendah adalah blok 7. Cadangan air blok 8 dan 18 lebih tinggi dibandingkan blok 7 dan blok kontrol.
Tabel 4 Perbandingan cadangan air blok kontrol dan perlakuan
No komponen neraca air Perlakuan Kontrol
B7 B8 B18 B6 B16 B17
1 Curah hujan total
(mm) 499 523 445 461 483 483
2 ETa+RO(mm) 431 468 439 405 416 413
3 ETa (mm) 431 411 352
4 cadangan 68 112 93 56 67 70
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
E vap o tr an sp iras i (m m ) Minggu ke-
5.2 Saran
Analisis dan perbandingan kadar air tanah pada musim kemarau dan musim hujan
perlu dilakukan untuk mengetahui
ketersediaan air tanah dan perencanaan irigasi. Selain itu, rorak dan tali air pada blok
perlakuan memerlukan perawatan yang
intensif agar air hujan masuk ke dalam rorak secara maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
[Balitklimat]. Badan Penelitian Agroklimat. 2007. Pengelolaan Air untuk Peningkatan Ketersediaan Air Tanaman Kelapa Sawit
di PTPN VIII Cimulang.
http://balitklimat.litbang.deptan.go.id/inde x2.php?option=com_content&do_pdf=1& id=117 [8 September 2012]
[BPS]. Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Indonesia: Statistical Yearbook of Indonesia 2011. ISSN: 0126-2912. Badan Pusat Statistik Indonesia: Jakarta
[PPKS]. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2006.
Potensi dan Peluang Investasi Industri Kelapa Sawit di Indonesia. Pusat Penelitian Kelapa Sawit: Medan
[DEPPERIN] Departemen Perindustrian.
2007. Gambaran Sekilas Industri Minyak Kelapa Sawit. Departemen Perindustrian: Jakarta Selatan.
Agus F dan Ruitjer J. 2004. Panen dan Konservasi Air. World Agro forestry Centre
Aqil M, Firmansyah I U, Akil M. 2007. Buku Jagung, Edisi Kedua. Pusat Penelitian dan
pengembangan Tanaman Pangan.
Departemen Pertanian.
Arsyad S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press: Bogor.
Direktorat Irigasi. 1986. Standar
Perencanaan Irigasi. Galang Persada: Bandung
Darlan N H. 2011. Analisis Prediksi Produksi Kelapa Sawit Menggunakan Anomali Suhu Muka Laut di Nino 3,4 [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Dwiyandi N. 2011. Pengaruh Perlakuan Konservasi Air terhadap Evapotranspirasi Perkebunan Tanaman Kelapa Sawit (Studi
Kasus : PT. Sawit Asahan Indah, Rokan
Hulu, Riau). [Skripsi]. Departemen
Geofisika dan Meteorologi. FMIPA IPB : Bogor.
Enni D, Wahjunie O, Haridjaja, Soedodo H, dan Sudarsono. 2008. Pergerakan Air pada Tanah dengan Karakteristik Pori
Berbeda dan Pengaruhnya pada
Ketersediaan Air bagi Tanaman. Jurnal Tanah dan Iklim. 28/2008.
Handoko (ed). 1993. Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya: Jakarta.
Hazriani R. 2004. Hubungan Antara
Ketersediaan Air Tanah dengan Produksi Tandan Buah Kelapa Sawit di Area PT Sinar Dinamika Kapuas I Kabupaten Sintang [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor
Lubis A U. 1992. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia. Pusat Penelitian Perkebunan Marihat-Bandar Kuala: Pematang Siantar.
Murtilaksono K, Siregar H H, Darmosarkoro
W. 2007. Model Neraca Air di
Perkebunan Kelapa Sawit (Water Balance Model in Oil Palm Plantation). Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 15 (1): 21-35.
Pahan I. 2011. Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir.Penebar Swadaya: Jakarta.
Rahutomo S, Siregar H H, Sutarta E S. 2007. Irigasi pada Perkebunan Kelapa Sawit: Sebuah Tinjauan. Warta PPKS. 15 (1): 7-18.
Risza S. 2010. Masa Depan Perkebunan
Kelapa Sawit Indonesia. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.
Sastrosayono S. 2003. Budidaya Kelapa
Sawit. Agromedia Pustaka: Jakarta.
Saribun. 2007. Pengaruh Jenis Penggunaan Lahan dan Kelas Kemiringan Lereng Terhadap Bobot Isi, Porositas Total, dan
Kadar Air Tanah pada Sub-DAS
Cikapundung Hulu [skripsi]. Jatinagor : Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Padjajaran.
Setyamidjaja D. 1991. Budidaya Kelapa
Sawit. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.
Sunderland-Groves J, Wertz K, Kanninen M. 2009.
The impacts and opportunities of oil palm in Southeast Asia: What do we know and what do we need to know? Center for International Forestry Research: Bogor.
Siregar H H, Darlan N H, Hidayat T C, Darmosarkoro W, Harahap I Y. 2006.
Hujan Sebagai Faktor Penting Untuk Perkebunan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit: Medan.
Siregar H H. 1998. Model Simulasi Produksi Kelapa Sawit Berdasarkan Karakteristik Kekeringan Kasus Kebun Kelapa Sawit di Lampung [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Siregar H H, Purba A, Syamsuddin E, dan Poeloengan Z. 1995. Penanggulangan Kekeringan Pada Tanaman Kelapa Sawit.
Lampiran 1 Pengukuran kadar air tanah, tinggi air dalam rorak, dan curah hujan (a) peralatan yang dipergunakan dalam pengukuran kadar air tanah (b) sensor kadar air tanah (c) pengukuran kadar air tanah di lapang (d) pencatatan data hambatan dalam sensor kadar air tanah (e) sensor KAT pada blok perlakuan (f) tali air rorak (g) rorak yang tidak terisi air (h) pencatatan data curah hujan.
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Lampiran 2 Waktu pengukuran kadar air tanah masing-masing blok
Tanggal
Blok
17
8
6
7
16
18
8-May-12
9-May-12
10-May-12
11-May-12
12-May-12
14-May-12
15-May-12
16-May-12
17-May-12
18-May-12
19-May-12
21-May-12
22-May-12
23-May-12
24-May-12
25-May-12
26-May-12
28-May-12
29-May-12
30-May-12
31-May-12
1-Jun-12
2-Jun-12
4-Jun-12
5-Jun-12
6-Jun-12
7-Jun-12
8-Jun-12
9-Jun-12
11-Jun-12
12-Jun-12
13-Jun-12
14-Jun-12
15-Jun-12
16-Jun-12
18-Jun-12
19-Jun-12
20-Jun-12
21-Jun-12
22-Jun-12
23-Jun-12
25-Jun-12
26-Jun-12
27-Jun-12
28-Jun-12
29-Jun-12
30-Jun-12
2-Jul-12
Lampiran 2 Lanjutan
Tanggal
Blok
17
8
6
7
16
18
4-Jul-12
5-Jul-12
6-Jul-12
7-Jul-12
9-Jul-12
10-Jul-12
11-Jul-12
12-Jul-12
13-Jul-12
14-Jul-12
16-Jul-12
17-Jul-12
18-Jul-12
19-Jul-12
20-Jul-12
21-Jul-12
23-Jul-12
24-Jul-12
25-Jul-12
26-Jul-12
27-Jul-12
28-Jul-12
30-Jul-12
31-Jul-12
1-Aug-12
2-Aug-12
3-Aug-12
4-Aug-12
6-Aug-12
7-Aug-12
8-Aug-12
9-Aug-12
10-Aug-12
11-Aug-12
13-Aug-12
14-Aug-12
15-Aug-12
16-Aug-12
17-Aug-12
18-Aug-12
20-Aug-12
21-Aug-12
22-Aug-12
23-Aug-12
24-Aug-12
25-Aug-12
27-Aug-12
28-Aug-12
29-Aug-12
Lampiran 2 Lanjutan
Tanggal
Blok
17
8
6
7
16
18
31-Aug-12
Lampiran 3 Data tinggi air dalam rorak
Tanggal Julian
date
Blok
8 18
TA (cm)
TB (cm)
PA (cm)
PB (cm)
TA (cm)
TB (cm)
PA (cm)
PB (cm)
10-May-12 130 47 0 0 51 35 48 45 39
11-May-12 131 44 49 39 37 31 43 0 0
12-May-12 132 39 44 33 31 27 40 0 0
13-May-12 133
14-May-12 134 52 32 63 22.5 22 50 33 46
15-May-12 135 50 29 62 22 22 50 31 44
16-May-12 136 59 43 63 33 32 30 52 55
17-May-12 137 57.5 42 58 28 26 52 35.5 45
18-May-12 138 51 34 55 28 28 52 34 48
19-May-12 139 50 34 54 28 28 52 34 48
20-May-12 140
21-May-12 141 60 52 66 38 36 60 48 58
22-May-12 142 60 51 65 37 36 59 48 57
23-May-12 143 52 41 56 24 34 49 47 35
24-May-12 144 55 44 58 28 39 51 50 38
25-May-12 145 54 44 58 27 37 49 46 38
26-May-12 146 51 43 58 27 34 49 46 37
27-May-12 147
28-May-12 148 47 28 48 12 18 44 29 38
29-May-12 149 46 33 47 14 19 45 33 41
30-May-12 150 48 31 47 16 21 47 34 43
31-May-12 151 51 39 49 20 23 50 36 46
1-Jun-12 152 57 32 52 24 23 52.5 33 49
2-Jun-12 153 53 31 57 26 18.5 51 26 51.5
3-Jun-12 154
4-Jun-12 155 50 27.9 52 22 14.5 36.5 24.7 40
5-Jun-12 156 47.3 27 49.5 18 16 41.3 23 41
6-Jun-12 157 44.5 25 50 16 13 40.5 21 39
7-Jun-12 158 43 23 48.5 22.5 10.4 38 20 37.4
8-Jun-12 159 42 22 51 25 10 35.5 18.7 36.2
9-Jun-12 160 39.5 19.6 47 20.7 8 33 18.3 35
10-Jun-12 161
11-Jun-12 162 48.5 25.5 55 20 10.7 38 20.3 38.5
12-Jun-12 163 46.5 24.2 56.5 21.5 8.3 37 18.6 35.5
13-Jun-12 164 42.8 21.6 53 19 7 33.5 16.8 32.5
14-Jun-12 165 40 21.8 50 22.3 5.2 31.8 13.8 31.5
15-Jun-12 166 37 20.5 47.9 20 3.6 28.5 12.1 29.5
16-Jun-12 167 32 17.5 43.5 18.6 0 25 12.3 25.5
17-Jun-12 168
18-Jun-12 169 27.5 13.7 36.2 15.9 0 19.6 7.4 22.2
19-Jun-12 170 26.3 12.8 34 13 0 16.3 6 18.5
20-Jun-12 171 24.4 11.3 31 12.8 0 13.5 5.3 15
21-Jun-12 172 21.5 9.2 30.5 11 0 8.7 2 10.3
22-Jun-12 173 18 9 27.5 9.3 0 7.4 0 9
23-Jun-12 174 43 22 53 22.5 14.5 33.7 29 33.8
24-Jun-12 175
25-Jun-12 176 33 17.9 40 17.5 5.8 25.3 16.5 28.4
26-Jun-12 177 31 16.2 40 17.5 0 22.5 12 28
27-Jun-12 178 29.3 13.8 39 15.9 0 20.9 8 23.5
28-Jun-12 179 27.9 14.6 37 16 0 20.5 5.5 22
29-Jun-12 180 26 13.7 32.8 15.2 0 17.3 2.5 21
30-Jun-12 181 50.6 33 58.5 34.5 12.5 40 25 41.3
Lampiran 3 Lanjutan
Tanggal Julian
date
Blok
8 18
TA (cm)
TB (cm)
PA (cm)
PB (cm)
TA (cm)
TB (cm)
PA (cm)
PB (cm)
2-Jul-12 183 48 27 52 12 8 44 15 29
3-Jul-12 184 45 26 46 9 9 42 14 35
4-Jul-12 185 43 25 46 9 7 38 11 30
5-Jul-12 186 46 27 48 11 9 39 12 34
6-Jul-12 187 39 26 43 11 3 37 12 27
7-Jul-12 188 36 25 40 9 3 35 11 24
8-Jul-12 189
9-Jul-12 190 35 24 37 10 0 31 5 22
10-Jul-12 191 61 43 64 20 8 55 25 41
11-Jul-12 192 50 31 52 15 6 50 12 41
12-Jul-12 193 57 49 59 30 30 63 45 46
13-Jul-12 194 41 42 43 25 23 58 42 49
14-Jul-12 195 39 40 42 24 21 55 40 40
15-Jul-12 196
16-Jul-12 197 48 42 50 25 23 37 30 43
17-Jul-12 198 47 38 50 19 21 53 38 39
18-Jul-12 199 49 35 52 18 21 41 39 36
19-Jul-12 200 48 35 51 18 21 40 37 36
20-Jul-12 201 47 34 51 16 20 39 37 35
21-Jul-12 202 47 33 50 16 20 38 37 34
22-Jul-12 203
23-Jul-12 204 46 39 50 16 20 39 36 34
24-Jul-12 205 45 48 37 15 18 33 32 32
25-Jul-12 206 44 36 48 15 17 31 33 32
26-Jul-12 207 41 33 44 9 15 28 29 30
27-Jul-12 208 36 29 40 7 12 25 26 27
28-Jul-12 209 34 26 37 7 10 22 23 25
29-Jul-12 210
30-Jul-12 211 32 17 35 4 6 24 17 22
31-Jul-12 212 30 15 32 3 5 21 16 20
1-Aug-12 213 29 15 30 2 3 29 9 15
2-Aug-12 214 27 15 29 1 3 27 8 14
3-Aug-12 215 25 13 26 0 1 26 9 15
4-Aug-12 216 24 11 26 0 0 23 9 14
5-Aug-12 217
6-Aug-12 218 23 11 24 0 0 22 10 10
7-Aug-12 219 22 9 24 0 0 21 10 9
8-Aug-12 220 21 9 22 0 0 18 0 4
9-Aug-12 221 20 9 21 0 0 18 0 2
10-Aug-12 222 15 9 17 0 0 13 0 0
11-Aug-12 223 14 8 15 0 0 12 0 0
12-Aug-12 224
13-Aug-12 225 8 3 8 0 0 7 0 0
14-Aug-12 226 6 2 7 0 0 5 0 0
15-Aug-12 227 2 1 4 0 0 1 0 0
16-Aug-12 228 2 7 4 0 0 0 0 0
17-Aug-12 229 2 7 4 0 0 0 0 0
18-Aug-12 230 2 6.5 4 0 0 0 0 0
19-Aug-12 231
20-Aug-12 232 2 6.5 2 0 0 0 0 0
21-Aug-12 233 3.5 11 8 0 0 3 0 0
22-Aug-12 234 2 7 3.5 0 0 3 0 0
Lampiran 3 Lanjutan
Tanggal Julian