• Tidak ada hasil yang ditemukan

Self-Efficacy Sebagai Prediktor Work Engagement di Kantor Pelayanan & Pengawasan Bea Cukai X (KPPBC X) Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Self-Efficacy Sebagai Prediktor Work Engagement di Kantor Pelayanan & Pengawasan Bea Cukai X (KPPBC X) Medan"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

NAYA SUKMA

081301077

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Dipersiapkan dan disusun oleh :

NAYA SUKMA

081301077

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji

Pada tanggal 03 April 2014

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, psikolog

NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Eka Danta Jaya Ginting, M.A., psikolog Penguji I/Pembimbing

NIP. 197308192001121001

2.

Zulkarnain, Ph.D, psikolog Penguji II

NIP. 197312142000121001

3. Siti Zahreni, M. Psi, psikolog Penguji III

(3)

bahwa skripsi saya yang berjudul:

Self-Efficacy Sebagai Prediktor Work Engagement

di Kantor Pelayanan & Pengawasan Bea Cukai X (KPPBC X) Medan

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh

gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari

hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan

norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi

ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Mei 2014

NAYA SUKMA

(4)

Naya Sukma dan Eka Danta Jaya Ginting

ABSTRAK

Selama tiga tahun terakhir KPPBC X Medan mengalami peningkatan performa baik dari segi penerimaan bea dan cukai maupun dari segi peningkatan pelayanan yang prima di bidang kepabeanan dan cukai. Adanya peningkatan

performa ini berhubungan dengan aspek psikologis karyawan yang engaged

terhadap pekerjaannya. Work engagement merupakan perasaan dan cara pandang

karyawan yang positif dan dikarakteristikkan dengan energi dan resiliensi mental

yang tinggi selama bekerja (vigor), rasa antusiasme, merasa penting serta bangga

terhadap pekerjaan (dedication), dan fokus menikmati pekerjaan (absorption).

Self-efficacy dapat membuat seseorang lebih berusaha dalam aktifitasnya dan

lebih gigih sehingga memungkinkan seseorang lebih engaged terhadap

pekerjaannya. Studi ini bertujuan untuk menguji apakah self-efficacy dapat

bertindak sebagai prediktor work engagement di KPPBC X Medan. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian korelasional-pengaruh. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 42 pegawai KPPBC X

Medan. Data dikumpulkan melalui skala work engagement dan self-efficacy yang

dianalisis dengan cara statistika parametrik menggunakan teknik analisa regresi linear. Hasil analisa data menunjukkan bahwa hipotesa alternatif diterima yakni self-efficacy dapat bertindak sebagai prediktor positif work engagement di KPPBC X Medan.

(5)

ABSTRACT

Over the last three years KPPBC X has improve their performance in both customs revenue and service excellence. An increase in performance is related to the psychology aspects of employee who engaged to their work. Work engagement is a motivational, positive, fulfilling, work-related state of mind that is characterized by energy and mental resilience while working (vigor), a sense of enthusiasm, feeling important and proud of the work (dedication), and fully concentrated in their work (absorption). Self-efficacy enables people to make more efforts and be persistent in their activities so that they would be more engaged to their work. This is a causal-correlational study using quantitative approach. This study aimed to examine self-efficacy as a predictor of work engagement in KPPBC X Medan. Participants involved in this study were employees of KPPBC X Medan. Data were collected through work engagement and self-efficacy scales. Data statistically analyzed by linear regression techniques. The results of the data analysis showed that self-efficacy act as a positive predictor of work engagement in KPPBC X Medan.

(6)

kemudahan yang diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi

ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Psikologi

pada Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orangtua tercinta, Bapak

Ir. Nana Mulyana, M. M dan Mama Zairina, B. A., abang Nantama Mulyana,

S.H., Bentar Bahtera Raya, S.ST, Kak Nurul Ain, S.H., dan keponakan penulis

Namira yang selalu membagi kebahagiaan, mendoakan, mencurahkan dukungan,

dan kasih sayang pada penulis.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, bimbingan, dan dukungan dari

berbagai pihak, mulai dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini,

sangatlah sulit bagi penulis untuk melaluinya. Untuk itu penulis ingin

mnegucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati selaku Dekan Fakultas Psikologi USU

2. Bapak Eka Danta J. G., M. A., psikolog dan Kak Cherly Kemala Ulfa

M.Psi., psikolog selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu

dan memberikan bimbingan dengan sabar selama seminar dan pengerjaan

skripsi ini.

3. Ibu Dr. Emmy Mariatin, M.A., PhD., psikolog selaku pembimbing

akademik yang selalu mendukung, memberi nasehat dan motivasinya

(7)

koreksi, revisi, dan bimbingan kepada penulis.

5. Seluruh staff pengajar dan pegawai Fakultas Psikologi USU atas

bimbingan, bantuan, dan kekeluargaannya selama ini.

6. Sahabat-sahabat penulis, Alfonso Yessa, Meliza Sari, Astrini Primanita,

Corry Triyanti, Septi Utami Anugerah, Olyfia CS, Astri Pratiwi, Ruth

Lingga yang telah banyak membantu dan mendukung penulis.

7. Teman-teman yang banyak membantu memberikan masukan dan bantuan

dalam prosesnya, Annisa (kity), Erliyani Fahrosi (kak li), Eci, Sofia

Mawaddah, bang Aris, bang Fredi, dan Kak Neli.

8. Keluarga besar PsikoNolapan, adik-adik angkatan 2009 dan 2010 yang

juga menjadi teman-teman seperjuangan semasa kuliah.

9. Seluruh responden baik di Kantor Pelayanan & Pengawasan Bea dan

Cukai X maupun responden pegawai Bea & Cukai lainnya tempat penulis

mengambil data penelitian serta try-out.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih mengandung

banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang

(8)

Medan, Maret 2014

(9)

ABSTRAK

ABSTRACT

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI...i

DAFTAR TABEL...vi

DAFTAR GAMBAR………...viii

DAFTAR LAMPIRAN………...ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….………1

B. Rumusan Masalah………..…………...………...8

C. Tujuan Penelitian……….……...8

D. Manfaat penelitian………..………9

1. Manfaat Teoritis………..……….…………9

2. Manfaat Praktis………..………..…………9

E. Sistematika Penulisan………..………...………..9

(10)

A.3. Dampak Work Engagement………..………16

A.4. Anteseden Munculnya Engagement……….19

B. Self-Efficacy……….…………21

B.1. Definisi Self-Efficacy………..…………..21

B.2. Dimensi Self-Efficacy………..………22

B.3. Proses Self-Efficacy………...24

B.4. Sumber-sumber Self-Efficacy………...26

B.5. Fungsi Self-Efficacy………..28

C. Kantor Pelayanan & Pengawasan Bea dan Cukai X (KPPBC X) Medan…….30

D. Self-Efficacy Sebagai Prediktor Work Engagement di KPPBC X Medan…….32

E. Hipotesis………...36

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian………37 B. Definisi Operasional Variabel Penelitian……….38 B.1. Work engagement……...………..38

(11)

D.2. Sampel Penelitian……….39

E. Teknik Pengambilan Sampel……….40

F. Metode Pengumpulan Data………....40

F.1. Skala work engagement………41

F.2. Skala self-efficacy……….43

G. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur……….44

G.1. Validitas Alat Ukur………..44

G.2. Uji Daya Beda Aitem………...45

G.3. Reliabilitas Alat Ukur……… ………46

G.4. Hasil Uji Coba Alat Ukur……….…47

1. Skala work engagement………..…47

2. Skala sel-efficacy………..…..48

H. Prosedur Pelaksanaan Penelitian………..………..…...49

H.1. Tahap Persiapan Penelitian………..…49

(12)

I.1. Uji Normalitas………51

I.2. Uji Linearitas……….51

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A.Analisa Data………..…….52

A.1. Gambaran Umum Subjek Penelitian………..……52

a. Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia………...52

b. Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin………..……..53

c. Gambaran subjek penelitian berdasarkan golongan/jabatan….……….53

d. Gambaran subjek penelitian berdasarkan lama bekerja…….…………55

B. Hasil Penelitian………..55

B.1. Hasil Uji Asumsi………56 a. Uji normalitas……….56

b. Uji linieritas………57

B.2. Hasil Utama Penelitian……….………..62

a. Regresi………62

b. Nilai empirik dan nilai hipotetik data penelitian………64

(13)

D. Pembahasan Hasil Penelitian……….…………67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan………...70

B. Saran……….70

B.1. Saran metodologis……….……….71

B. 2. Saran praktis……….……….71

DAFTAR PUSTAKA………..………..72

(14)

Tabel 1. Distribusi Aitem-Aitem Skala Work Engagement Sebelum Uji

Coba…...42

Tabel 2. Distribusi Aitem-Aitem Skala Self-Efficacy Sebelum Uji Coba…...43

Tabel 3. Distribusi Aitem-Aitem Hasil Uji Coba Skala Work Engagement …...48

Tabel 4. Distribusi Aitem-Aitem Hasil Uji Coba Skala Self-efficacy……….…...48

Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia………..…….52

Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin..……….53

Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Golongan/Jabatan………….54

Tabel 8. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lama Bekerja………...55

Tabel 9. Uji Normalitas (n=43)………..56

Tabel 10. Hasil Pengujian Liniearitas (n=43)………57

Tabel 11. Nilai Ekstrim………...……59

(15)

Tabel 15. Hasil Uji Nilai F……….62

Tabel 16. Koefisien Regresi………...………63

Tabel 17. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Work Engagement………...64

Tabel 18. Nilai Empirik dan Nilai HIpotetik Self-efficacy...64

Tabel 19. Kategorisasi Data Hipotetik Work Engagement………66

(16)
(17)

Lampiran 1. Skala

Lampiran 2. Uji Daya Beda dan Reliabilitas

Lampiran 3. Data Mentah Penelitian Dan Hasil Olah Data Penelitian

(18)

Naya Sukma dan Eka Danta Jaya Ginting

ABSTRAK

Selama tiga tahun terakhir KPPBC X Medan mengalami peningkatan performa baik dari segi penerimaan bea dan cukai maupun dari segi peningkatan pelayanan yang prima di bidang kepabeanan dan cukai. Adanya peningkatan

performa ini berhubungan dengan aspek psikologis karyawan yang engaged

terhadap pekerjaannya. Work engagement merupakan perasaan dan cara pandang

karyawan yang positif dan dikarakteristikkan dengan energi dan resiliensi mental

yang tinggi selama bekerja (vigor), rasa antusiasme, merasa penting serta bangga

terhadap pekerjaan (dedication), dan fokus menikmati pekerjaan (absorption).

Self-efficacy dapat membuat seseorang lebih berusaha dalam aktifitasnya dan

lebih gigih sehingga memungkinkan seseorang lebih engaged terhadap

pekerjaannya. Studi ini bertujuan untuk menguji apakah self-efficacy dapat

bertindak sebagai prediktor work engagement di KPPBC X Medan. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian korelasional-pengaruh. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 42 pegawai KPPBC X

Medan. Data dikumpulkan melalui skala work engagement dan self-efficacy yang

dianalisis dengan cara statistika parametrik menggunakan teknik analisa regresi linear. Hasil analisa data menunjukkan bahwa hipotesa alternatif diterima yakni self-efficacy dapat bertindak sebagai prediktor positif work engagement di KPPBC X Medan.

(19)

ABSTRACT

Over the last three years KPPBC X has improve their performance in both customs revenue and service excellence. An increase in performance is related to the psychology aspects of employee who engaged to their work. Work engagement is a motivational, positive, fulfilling, work-related state of mind that is characterized by energy and mental resilience while working (vigor), a sense of enthusiasm, feeling important and proud of the work (dedication), and fully concentrated in their work (absorption). Self-efficacy enables people to make more efforts and be persistent in their activities so that they would be more engaged to their work. This is a causal-correlational study using quantitative approach. This study aimed to examine self-efficacy as a predictor of work engagement in KPPBC X Medan. Participants involved in this study were employees of KPPBC X Medan. Data were collected through work engagement and self-efficacy scales. Data statistically analyzed by linear regression techniques. The results of the data analysis showed that self-efficacy act as a positive predictor of work engagement in KPPBC X Medan.

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Reformasi birokrasi mutlak perlu dilakukan untuk menciptakan good

governance yakni pemerintahan yang berdasarkan kepada hukum, transparansi,

akuntabilitas, reliabilitas informasi, serta efisiensi dalam manajemen

pemerintahan. Salah satu misi reformasi birokrasi sesuai Perpres No. 81 tahun

2010 adalah melakukan penataan dan penguatan organisasi, tata laksana,

manajemen sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, kualitas

pelayanan publik, mind set dan culture set. Program reformasi birokrasi pada

kementerian keuangan merupakan proyek percontohan untuk peningkatan kinerja

instansi pemerintah. Sebagai salah satu unit kerja di kementerian keuangan yang

memiliki tugas dan fungsi strategis, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC)

diharapkan mampu menunjukkan kinerja yang terbaik sehingga citra organisasi

dapat semakin baik di mata publik (Jafar & Purjono, 2011).

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) adalah salah satu institusi

pemerintah yang mempunyai peran yang sangat penting dalam menggerakkan

roda perekonomian nasional. Peran tersebut diwujudkan dalam bentuk

pengumpulan penerimaan negara untuk membiayai pembangunan nasional,

pemberian fasilitas perdagangan untuk menunjang efisiensi rantai pasokan

perdagangan internasional, pemberian insentif fiskal untuk meningkatkan

(21)

dari masuknya barang-barang yang berbahaya bagi keamanan dan mengganggu

kesehatan masyarakat. Peran ini pada akhirnya juga memberikan kontribusi

siginifikan dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi terutama dalam

menggerakan pertumbuhan di sektor riil karena peran DJBC menjadi salah satu

faktor penting daya saing nasional dalam ekonomi global dan menjadi salah satu

faktor penentu keputusan investasi asing (laporan kinerja DJBC, 2011).

Reformasi birokrasi DJBC tidak hanya dilakukan di pusat saja. Instansi di

daerah juga melakukan implementasi reformasi birokrasi salah satunya di Kantor

Pengawasan dan Pelayanan Bea & Cukai X (KPPBC X) Medan. Secara geografis

wilayah kerja KPPBC X Medan sangat potensial untuk meningkatkan

pertumbuhan ekonomi, bisnis, dan ketengakerjaan karena berdekatan dengan

Malaysia, Singapura, dan Thailand (negara-negara anggota ASEAN). Menyadari

bahwa perannya begitu penting, maka perlu diupayakan secara serius dan

berkesinambungan dalam meningkatkan serta mempertahankan kinerja dan citra

aparat KPPBC X Medan (www.beacukaimedan.net diakses tanggal 12 Maret

2013).

Adapun kebijakan reformasi birokrasi di KPPBC X Medan antara lain;

Tunjangan (TKPKN), adanya kontrak kinerja, dan penilaian kinerja yang

dilakukan bukan hanya oleh atasan. Adapun komunikasi personal yang dilakukan

oleh peneliti kepada pegawai KPPBC X Medan adalah sebagai berikut :

(22)

tunjangan khusus pembinaan keuangan negara. Nah itu dinilai berdasarkan job grading (peringkat jabatan) jadi yang kerjanya dinilai bagus bisa naik gradenya mentok sesuai golongannya. Jadi TKPKN nya makin besar. Gak kayak dulu pake asas PGSS (pinter goblok sama saja), mau kerja banyak, kerja dikit tetep segitu juga dapatnya. Hasilnya ya.. ke kinerja. Kami punya kontrak kinerja dengan atasan, terus penilaian juga 60% dari atasan, 40% dari sesama staf bagian yang sama. Terus udah terbentuk seksi kepatuhan internal di setiap unit kantor DJBC yang tugasnya mengawasi dan ngelakukan judgment kontrak kinerja. Semuanya jadi sesuai SOP. Imbasnya, dari hasil kinerja 2011, 2012 kelihatan realisasi yang melebihi target, hehehehe…”

(NM, 27 tahun, komunikasi personal 3 Februari 2013)

“…kalau bicara tentang motivasi, saya dan teman-teman lain merasa makin terpacu dengan adanya kontrak kinerja sebagai implementasi dari reformasi birokrasi. Kalau ditanya lebih baik mana dulu dengan sekarang, sebagian besar dari kami pasti menjawab lebih baik sekarang. Jadi, walaupun sekarang kinerja diawasi lebih ketat yang otomatis kerjaan juga jadi lebih banyak, tapi kami balik lagi merasa lebih fair dan impas. Benar-benar merasa sebagai abdi Negara karena memikirkan bagaimana bisa mencapai target untuk penerimaan pemasukan Negara..”

(N, 31 tahun, komunikasi personal 3 Februari 2013)

NM, pria 27 tahun sebagai salah satu pegawai Bagian Umum menyatakan

bahwa ia lebih termotivasi dan merasa lebih baik setelah mendapat kebijakan

reformasi birokrasi. Begitu juga dengan N, wanita 31 tahun yang merupakan

rekan kerja NM di bagian kepegawaian merasa penerapan reformasi birokrasi

sekarang lebih adil (fair) dan tugas yang jelas. Hal ini juga diperkuat dengan

laporan kinerja DJBC tahun 2011 mengenai pencapaian reformasi birokrasi DJBC

yang dijabarkan sesuai hasil piloting penjaminan kualitas oleh tim QA Reformasi

Birokrasi Nasional yang mencakup 8 area perubahan reformasi birokrasi pada

(23)

baik). Salah satu poin area penilaian adalah perubahan pola pikir dan budaya kerja

yang mendapatkan nilai sebesar 9,49 (dari bobot 10), diikuti perubahan penataran

peraturan perundang-undangan sebesar 8,88 (dari bobot 10), penataan dan

penguatan organisasi sebesar 9,0 (dari bobot 10), penataran tata laksana sebesar

9,05 (dari bobot 10), penataan sistem manajemen SDM Aparatur sebesar 19,38

(dari bobot 20), penguatan pengawasan sebesar 8,8 (dari bobot 10), penguatan

akuntabilitas kinerja sebesar 8,63 (dari bobot 10), dan terakhir peningkatan

kualitas pelayanan publik sebesar 18 (dari bobot 20).

Peningkatan pendapatan dari bea dan cukai yang masuk setelah penerapan

strategi reformasi birokrasi dapat dilihat dari hasil penerimaan bea masuk dan

cukai tahun 2011 oleh KPPBC X Medan yang realisasinya melebihi target. Target

awal bea masuk adalah sebesar Rp 20.617.990.000. Namun realisasinya sebesar

Rp 21.224.155.009. Sedangkan untuk cukai masuk awalnya ditargetkan sebesar

Rp 93.571.900.000. Namun realisasinya sebesar Rp 118.641.385.220

(www.beacukaimedan.net diakses tanggal 12 Maret 2013).

Tentu saja ketika peningkatan kinerja sudah diraih, usaha selanjutnya bagi

organisasi adalah berupaya terus-menerus untuk mempertahankan serta

meningkatkan prestasi kerja. Terkait dengan peningkatan kinerja, buletin kinerja

edisi xiv/2012 Kementerian Keuangan hal. 16-17 yang berisi tentang penilaian

kinerja, menyatakan bahwa salah satu key success factor untuk meminimalkan

terjadinya permasalahan yang masih ada di DJBC adalah engagement.

(24)

karyawan, serta membentuk pandangan karyawan yang positif atas pekerjaan,

rekan kerja, dan tempat bekerja(Rajagukguk, 2012).

Engagement menjadi topik penting yang paling dibicarakan dalam

beberapa tahun terakhir di antara perusahaan konsultan dan media bisnis terkenal

(Saks, 2006). Bahkan Wiley, Kowske, & Herman (2010) menyatakan bahwa

diperkirakan 90% penelitian mengenai karyawan di dunia fokus terhadap

pengukuran engagement. Oleh karena itu, topik mengenai engagement saat ini

merupakan topik yang hangat dibicarakan.

Konsep engagement semakin berkembang ke dalam beberapa istilah,

diantaranya adalah istilah employee engagement dan work engagement. Adapun

istilah employee engagement lebih sering digunakan dalam bisnis sedangkan work

engagement lebih sering digunakan oleh kalangan akademik. Ini dapat dilihat dari

PsycINFO (salah satu database publikasi akademik psikologi) yang menunjukkan

publikasi untuk istilah yang memakai work engagement lebih banyak daripada

publikasi dengan memakai istilah employee engagement (Schaufeli & Salanova,

2011). Walaupun masing-masing menggunakan istilah yang berbeda, namun pada

dasarnya kedua istilah tersebut setuju bahwa engagement melibatkan aspek

perilaku dan psikologikal yang meliputi energi, antusiasme, dan usaha yang

terfokus (Herbert, 2011).

Engagement semakin populer dan diterima di banyak organisasi karena

yakin akan mendapatkan banyak dampak positif (Harter, Schmidt, & Hayes,

(25)

untuk tetap tinggi, maka pada umumnya perusahaan atau organisasi akan

diuntungkan dengan berbagai hal seperti: (1) dapat mempertahankan dan

meningkatkan produktivitas karyawan karena mereka merasa bahagia berkarya di

perusahaan tersebut, (2) membantu mempertahankan karyawan terbaik karena

mereka tidak mudah tergiur dengan tawaran perusahaan lain, (3) membantu

pencapaian target perusahaan karena beberapa studi membuktikan korelasi yang

tinggi antara engagement dengan pencapaian target (Mujiasih & Ratnaningsih,

2012). Tambahannya, Robinson, Perryman, & Hayday (2004) menjelaskan bahwa

karyawan yang engaged menampilkan perilaku diantaranya, (1) percaya kepada

organisasi, (2) tertarik bekerja lebih baik, (3) memahami konteks bisnis dan

bigger picture’ organisasi, (4) kerelaan untuk bertindak „lebih‟, dan (5) selalu

mengikuti perkembangan yang ada di lapangan.

Work engagement mengacu pada perasaan dan cara pandang karyawan

yang positif dan dikarakteristikkan dengan energi dan resiliensi mental yang

tinggi selama bekerja (vigor), rasa antusiasme, merasa penting serta bangga

terhadap pekerjaan (dedication), dan fokus menikmati pekerjaan (absorption)

(Bakker & Schaufeli, 2004; Bakker & Demerouti, 2008). Oleh karena itu,

karyawan yang engaged menampilkan level yang lebih tinggi dari energi,

mengenali dengan kuat pekerjaannya, dan menikmati penuh pekerjaannya

(Herbert, 2011).

Sejak konsep engagement dikemukakan oleh Kahn, banyak peneliti

tertarik untuk mencari tahu faktor-faktor apa saja yang dapat berpengaruh pada

(26)

memakai istilah driver (pendorong), anteseden, dan prediktor untuk menjelaskan

hal apa yang dapat mempengaruhi, memunculkan, serta memprediksi work

engagement. Robinson dkk. (2004) menjelaskan bahwa driver terkuat untuk

memunculkan engagement adalah rasa kebermaknaan dan keterlibatan (sense of

feeling valued and involved) yang dimiliki oleh individu. Ia menambahkan bahwa

penting bagi perusahaan untuk memperhatikan beberapa komponen untuk

membuat individu terlibat sehingga memunculkan engagement. Komponen

tersebut adalah (1) keterlibatan karyawan dalam pengambilan keputusan, (2)

pemberian kesempatan pada karyawan untuk mengemukakan idenya dan

mendengar pandangannya sehingga karyawan merasakan kontribusinya bernilai,

(3) kesempatan karyawan untuk dapat mengembangkan pekerjaannya, dan (4)

kesehatan serta kesejahteraan karyawan (Robinson dkk., 2004). Selain itu,

Mujiasih dan Ratnaningsih (2012) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan

transformasional dan budaya organisasi dapat berhubungan pada usaha

peningkatan work engagement. Di sisi lain, Saks (2006) mengemukakan job

characteristics, persepsi dukungan organisasi, persepsi dukungan supervisor,

rewards dan recognition, keadilan prosedural, dan keadilan distributif dapat

menjadi anteseden engagement.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, work engagement dapat

mempengaruhi peningkatan performa dan produktivitas karyawan. Penelitian

terdahulu menemukan hubungan positif antara self-efficacy dengan performance.

Alasannya bahwa orang yang memiliki self-efficacy yang tinggi bertahan lebih

(27)

berusaha mencapai tujuan (Bandura & Wood, 1989). Judge & Bono (2001) dalam

studi meta analisis juga mengkonfirmasi hasil hubungan self-efficacy dan

work-related performance.

Berdasarkan hal yang dijelaskan sebelumnya, peneliti tertarik untuk

meneliti self-efficacy sebagai prediktor work engagement di Kantor Pelayanan &

Pengawasan Bea dan Cukai X Medan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah apakah self-efficacy bertindak sebagaiprediktor work

engagement di Kantor Pelayanan & Pengawasan Bea dan Cukai X Medan?

C. Tujuan Penelitian

a. Menggambarkan data mengenai self-efficacy dan work engagement pada

sampel pegawai Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea & Cukai X

Medan.

b. Mengetahui apakah self-efficacy bertindak sebagai prediktor work

engagement dan seberapa besar self-efficacy berperan sebagai prediktor

work engagement di Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea & Cukai X

(28)

D. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menguji kembali teori Psikologi Industri

dan Organisasi (PIO) mengenai work engagement dan self-efficacy.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk Kantor Pelayanan &

Pengawasan Bea dan Cukai X Medan khususnya mengenai data tentang

self-efficacy dan work engagement pegawai.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I Latar Belakang

Bab ini berisi penjelasan latar belakang permasalahan, perumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Landasan Teori

Bab ini berisi uraian tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan

dalam penelitian, antara lain mengenai definisi work engagement, dimensi

work engagement, dampak work engagement, anteseden munculnya

engagement, definisi self-efficacy, fungsi self-efficacy, sumber-sumber

self-efficacy, dimensi self-efficacy, serta proses self-efficacy. Selain itu

juga dijelaskan self-efficacy sebagai prediktor work engagement di KPPBC

(29)

BAB III Metode Penelitian

Bab ini membahas mengenai metode penelitian yang digunakan. Pada bab

ini akan dijabarkan mengenai identifikasi variabel, definisi operasional

masing-masing variabel, lokasi penelitian, populasi dan sampel penelitian,

teknik pengambilan sampel, metode pengumpulan data, uji coba alat ukur,

prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisa data.

BAB IV Analisis Data dan Pembahasan

Bab ini membahas mengenai analisa data dan pembahasan yang berisikan

gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian, dan pembahasan hasil

penelitian yang merupakan perbandingan hipotesis dengan teori-teori atau

hasil penelitian terdahulu.

BAB V Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan dan saran. Pada bagian ini akan dibahas

mengenai kesimpulan akhir penelitian dan sara yang diberikan oleh

peneliti baik untuk penyempurnaan penelitian ataupun untuk penelitian

yang berhubungan dengan apa yang akan diteliti di masa yang akan

(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Work Engagement

A.1. Definisi Work Engagement

Istilah engagement dalam konteks peran kerja karyawan mulai dibicarakan

sejak lima belas tahun yang lalu dalam berbagai literatur bisnis dan psikologi

organisasi. Penelitian mengenai engagement dalam pekerjaan yang berkembang

membuahkan empat konstruk definisi dan cara pengukuran yang berbeda. Empat

konstruk tersebut antara lain, personal engagement, employee engagement,

burnout/engagement, dan work engagement (Herbert, 2011).

Kahn merupakan orang pertama yang mengemukakan konsep engagement

berkaitan dengan kerja. Kahn mengenalkan konsep personal engagement yang

didasarkan pada koseptualisasi job involvement, komitmen organisasi, dan

motivasi intrinsik. Kahn mendefinisikan personal engagement dan personal

disengagement sebagai perilaku yang orang bawa atau tinggalkan dalam diri

mereka selama bekerja. Personal engagement adalah ekspresi diri secara fisik,

kognitif, dan emosional selama bekerja. Karyawan yang engaged memahami

penuh baik secara fisik, kognitif dan emosional dalam peran kerjanya (Herbert,

(31)

Pendapat lainnya, Macey & Schneider (2008) mendefinisikan engagement

sebagai :

“an individual’s sense of purpose and focused energy, evident to others in the display of personal initiative, adaptability, effort, and persistence directed toward organizational goals”

Atau bila diartikan, engagement menurut Macey dan Schneider (2008)

adalah rasa seseorang terhadap tujuan dan energi yang terfokus, memperlihatkan

inisiatif pribadi, dapat beradaptasi, berusaha, dan tekun terhadap tujuan organisasi.

Model engagement lain terdapat dalam literatur burnout yang

mendeskripsikan engagement sebagai antitesis positif (Saks, 2006). Maslach dan

Leiter mendefinisikan engagement sebagai lawan kutub dari burnout. Menurut

mereka, engagement merupakan skor rendah dari dimensi-dimensi burnout.

Engagement merupakan suatu pengalaman enerjik dari keterlibatan dengan

aktifitas pemenuhan secara personal yang dikarakteristikkan melalui energy,

involvement, dan professional efficacy yang merupakan lawan dari tiga

karaktersitik burnout. (Demerouti & Bakker, 2007).

Schaufeli, Salanova, Roma, & Bakker (2000) sepakat dengan deskripsi

Maslach dan Leiter bahwa engagement merupakan lawan dari burnout. Tetapi,

mereka mengambil perspektif yang berbeda dan mendefinisikan serta

mengoperasionalisasikan engagement itu sendiri. Mereka yakin bahwa burnout

dan engagement merupakan dua konsep yang terpisah dan seharusnya diukur

secara independen. Schaufeli dkk. (2000), mengemukakan bahwa apabila seorang

karyawan memiliki level burnout yang rendah ini tidak berarti karyawan tersebut

(32)

mendefinisikan operasionalisasi work engagement terpisah dari operasionalisasi

burnout. Schaufeli, Martinez, Pinto, Salanova, & Bakker (2002) mendefinisikan

work engagement sebagai :

a motivational, positive, fulfilling, work-related state of mind that is characterized by vigor, dedication, and absorption”

Bila diartikan, work engagement menurut Schaufeli dkk. (2002), adalah

suatu motivasi, hal yang positif, pemenuhan, cara pandang bekerja yang

dikarakteristikkan melalui vigor, dedication, dan absorption. Work engagement

mengacu lebih kepada state afektif-kognitif yang lebih gigih dan meresap dan

tidak fokus pada objek, kejadian, individu, atau perilaku tertentu. Dalam definisi

ini, work engagement mengandung tiga dimensi yang disebut vigour, dedication,

dan absorption. Dengan demikian, Schaufeli dkk. (2002) menampilkan work

engagement sebagai state yang independen dengan struktur yang berbeda

sehingga harus diukur dengan instrumen yang berbeda dari burnout (Schaufeli

dkk., 2002).

Banyak peneliti dan praktisi mengemukakan ide engagement merupakan

state-psikologis positif yang berhubungan dengan pekerjaan yang dicerminkan

dengan kata-kata (antusias, enerjik, passion, vigor) dan engagement juga

merupakan suatu state motivasional yang dicerminkan dalam keinginan yang

murni untuk memberikan usaha yang fokus terhadap tujuan dan kesuksesan

organisasi. Bakker & Leiter (2010) setuju bahwa engagement merupakan

konseptualisasi terbaik dan dikarakteristikkan melalui suatu level yang tinggi dari

(33)

Albrecht (2010) berpendapat bahwa definisi engagement mencerminkan

dua kualitas, (1) suatu state motivasi positif dan berenergi yang berhubungan

dengan pekerjaan & (2) keinginan murni untuk mengkontribusikan peran kerja

dan kesuksesan organisasi. Definisi engagement membutuhkan perbedaan yang

jelas dari konstruk yang dikonseptualisasikan lebih baik sebagai anteseden atau

driver”/pendorong engagement.

Walaupun definisi konstruk berbeda-beda namun kesemua definisi

tersebut sepakat bahwa engagement adalah :

desirable, has an organizational purpose, and has both psychological and behavioural facets in that it involves energy, enthusiasm, and focused effort.”

Atau bila diartikan, engagement adalah sesuatu yang diinginkan, memiliki

tujuan organisasi serta memiliki aspek psikologis dan perilaku yang melibatkan

energi, antusiasme, dan usaha yang terfokus (Herbert, 2011).

Berdasarkan definisi-definisi di atas work engagement dapat disimpulkan

sebagai cara pandang seseorang untuk termotivasi dan berhubungan dengan

keadaan pemenuhan karyawan yang ditandai dengan energi dan resiliensi mental

yang tinggi selama bekerja, rasa antusiasme, merasa penting serta bangga

(34)

A.2. Dimensi Work Engagement

Schaufeli dkk., (2002) mengembangkan opersionalisasi engagement dan

mendefinisikan work engagement sebagai “a motivational, positive, fulfilling,

work-related state of mind that is characterized by vigor, dedication, and

absorption” yang bila diartikan engagement adalah suatu motivasi, hal yang

positif, pemenuhan, state bekerja terkait pikiran yang dikarakteristikkan melalui

vigor, dedication, dan absorption.

1. Vigor

Vigor dikarakteristikkan melalui level tinggi dari energi dan resiliensi

mental selama bekerja, ketulusan untuk memberikan usaha dalam suatu pekerjaan,

dan ketekunan walaupun berhadapan dengan berbagai macam kesulitan (Schaufeli

dkk., 2000).

2. Dedication

Dedication dikarakteristikkan lewat rasa signifikan dari antusiasme,

inspirasi, kebanggaan, dan tantangan. Istilah dedication mirip dengan istilah

involvement yang biasanya didefinisikan dalam istilah identifikasi psikologis

pekerjaan seseorang. Namun, setelah dilakukan pengumpulan data secara

kualitatif, dedication lebih mengacu pada suatu involvement yang kuat atau

selangkah lebih di depan daripada level identifikasi. Dedication memiliki cakupan

yang lebih luas tidak hanya mengacu pada state keyakinan atau kognitif saja tetapi

(35)

3. Absorption

Absorption dikarakteristikkan dengan konsentrasi yang penuh dan

mendalam dalam pekerjaan, ditandai dengan terasa cepatnya waktu berlalu.

Terabsorpsi penuh pada suatu pekerjaan mirip dengan apa yang sering disebut

flow‟, suatu state pengalaman optimal yang dikarakteristikkan dengan perhatian,

clear mind, mind and body unison, effortless concentration, complete control,

kurangnya kesadaran diri, distorsi waktu dan kesenangan intrinsik. Bagaimanapun

secara khusus „flow’ merupakan konsep yang lebih kompleks yang termasuk

dalam banyak aspek dan mengacu pada bagian khusus, pengalaman singkat

berbeda dengan engagement yang lebih pervasif dan persisten (Schaufeli dkk.,

2000).

Selanjutnya, ketiga dimensi di atas digunakan dalam pembuatan alat ukur

skala work engagement dalam penelitian ini.

A.3. Dampak Work Engagement

Harter, dkk. (2002) mengemukakan bahwa engagement dapat berdampak

pada hasil bisnis. Ini disebabkan adanya kepuasan kerja dari karyawan yang

bahagia sehingga dapat meningkatkan performanya yang akhirnya juga

berdampak pada hasil bisnis. Robinson, dkk. (2004) juga menyatakan bahwa

dampak engagement adalah dapat meningkatkan kesadaran karyawan terhadap

bisnis dan bekerja dengan koleganya untuk meningkatkan performa Hal ini juga

sejalan dengan riset yang dilakukan oeh Gallup. Organisasi Gallup menemukan

(36)

dan keuntungan. Selain itu, Gallup juga menemukan bahwa work engagement

mempengaruhi performa yakni, rendahnya tingkat absensi, rendahnya turnover,

rendahnya insiden keselamatan, meningkatnya produktivitas dan keuntungan.

Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, & Schaufeli (2009) juga telah membuktikan

bahwa work engagement dapat berdampak pada performa dalam bentuk

pemasukan finansial setiap harinya.

Robinson dkk. (2004) menjelaskan bahwa karyawan yang engaged

menampilkan perilaku diantaranya :

1. Percaya kepada organisasi

2. Tertarik bekerja lebih baik

3. Memahami konteks bisnis dan „bigger picture’ organisasi

4. Kerelaan untuk bertindak „lebih‟

5. Selalu mengikuti perkembangan yang ada di lapangan

Saks (2006) mengemukakan beberapa hasil mengenai manfaat work

engagement, diantaranya:

1. Kepuasan Kerja

Pengujian membuktikan bahwa work engagement berpengaruh positif

terhadap kepuasan kerja. Karyawan yang engaged sudah pasti memiliki rasa cinta

kepada perusahaan mereka. Kepuasan kerja merupakan cerminan perasaan pekerja

terhadap pekerjaannya. Karyawan yang engaged memiliki rasa cinta kepada

perusahaan dan sudah pasti puas atas segala sesuatu yang melekat pada

(37)

2. Komitmen Organisasi

Pengujian membuktikan bahwa work engagement berpengaruh positif

terhadap komitmen organisasi. Karyawan yang sudah engaged dengan perusahaan

tentu akan memiliki komitmen dengan perusahaannya karena elemen-elemen

komitmen juga terkandung dalam work engagement.

3. Intention to quit

Pengujian membuktikan bahwa work engagement berpengaruh negatif

terhadap intention to quit. Keinginan keluar dari organisasi disebabkan adanya

rasa tidak nyaman lagi dalam organisasi. Karyawan yang sudah engaged akan

memiliki kecenderungan bertahan karena mereka sudah merasa menjadi bagian

organisasi yang tidak terpisahkan.

Bakker & Demerouti (2008) mengemukakan bahwa engagement berhubungan

dengan performa yang lebih baik. Hal ini dikarenakan :

1. Karyawan sering mengalami emosi yang positif termasuk kebahagiaan,

kesenangan, dan antusiasme

2. Karyawan mengalami kesehatan psikologis dan fisik

3. Karyawan membuat job resources dan personal resources mereka

sendiri

(38)

A.4. Anteseden Munculnya Engagement

Beberapa studi telah fokus pada personal resources sebagai prediktor

work engagement. Personal resources merupakan evaluasi diri positif yang

berhubungan dengan resiliensi dan mengacu pada rasa kemampuan individu untuk

mengontrol serta berdampak sukses dalam lingkungannya (Hobfoll, 2002 ;

Herbert, 2011). Personal resources menunjukkan bahwa beberapa evaluasi diri

positif memprediksi goal-setting, motivasi, kinerja, kepuasan kerja, kepuasan

hidup, dan hasil menarik lainnya. Alasannya adalah bahwa semakin besar sumber

daya pribadi individu, semakin positif pula diri individu dan tujuan keharmonisan

diri diharapkan muncul (Judge, 2005 ; Herbert, 2011). Individu dengan tujuan

keharmonisan diri secara intrinsik termotivasi untuk mengikuti tujuannya dan

hasilnya memicu kinerja yang lebih tinggi dan kepuasan. Empat konstruk seperti

hope, optimism, self-efficacy, dan resiliensi merupakan bagian dari kekuatan

psikologis dan personal resources (Herbert, 2011).

Anteseden lain ditampilkan melalui model job demands-resources (JD-R).

Model job demands-resources (JD-R) membagi lingkungan kerja ke dalam job

demands dan job resources (Bakker & Demerouti, 2007). Job demands mengacu

pada fitur fisik, psikologis, sosial ataupun organisasi dari suatu pekerjaan yang

menuntut keberlangsungan usaha baik secara fisik maupun psikologis dari seorang

karyawan dan dapat berdampak dalam pengeluaran fisiologis serta psikologis.

Sedangkan job resources mengacu pada fitur fisik, psikologis, sosial ataupun

organisasi dari suatu pekerjaan yang fungsional dimana pekerjaan tersebut

(39)

berhubungan dengan pengeluaran fisiologis-psikologis, dan menstimulasi

pertumbuhan personal, pembelajaran, dan pengembangan (Bakker & Demerouti,

2008).

Secara keseluruhan, model JD-R menarik dua asumsi. Asumsi pertama

adalah bahwa job resources seperti feedback kinerja (Nusatria & Suharnomo,

2011), dukungan sosial dari rekan kerja dan supervisor, rewards, variasi

keterampilan, dan otonomi (Saks, 2006) memunculkan proses motivasi yang

mengarah terhadap work engagement dan akibatnya kinerja menjadi lebih tinggi.

Asumsi kedua adalah bahwa job resources menjadi lebih menonjol dan

mendapatkan potensi motivasi mereka ketika karyawan dihadapkan dengan

tuntutan pekerjaan yang tinggi misalnya beban kerja dan tuntutan emosional dan

mental. Selanjutnya, Xanthopoulou dkk. (2007;2008;2009) memperluas model

JD-R dengan menunjukkan bahwa job resources dan personal resources saling

terkait dan bahwa personal resources dapat menjadi prediktor yang independen

dari work engagement. Dengan demikian, karyawan yang memiliki skor tinggi

pada optimism, self-efficacy, resilience, dan self-esteem juga mampu memobilisasi

job resources serta umumnya engaged terhadap pekerjaan mereka (Bakker &

Demerouti, 2008).

Model JD-R diasumsikan bahwa job resources secara independen atau

secara bersamaan dengan personal resources dapat memprediksi work

engagement. Job resources dan personal resources khususnya memiliki dampak

positif pada work engagement ketika tuntutan pekerjaan tinggi. Work engagement

(40)

kinerja yang baik mampu membuat resources mereka sendiri yang kemudian

mendorong engagement lagi dari waktu ke waktu dan menciptakan siklus yang

menguntungkan (Bakker & Demerouti, 2008).

Herbert (2011) juga menambahkan hasil lain mengenai resources yang

dapat mempengaruhi engagement. Resources tersebut antara lain, tantangan yang

optimal, umpan balik (feedback), dan kebebasan dari evaluasi dapat memfasilitasi

motivasi intrinsik. Umpan balik kinerja positif meningkatkan engagement,

sedangkan umpan balik kinerja negatif menurunkan engagement. Tetapi hal ini

juga tampaknya dimediasi oleh kompetensi yang dirasakan individu yakni

komponen self-efficacy (Herbert, 2011). Selain itu, self-efficacy sebagai bagian

dari kekuatan psikologis juga menciptakan kecenderungan yang dapat

meningkatkan engagement (Herbert, 2011).

B. Self-efficacy

B.1. Definisi self-efficacy

Self-efficacy adalah keyakinan kemampuan seseorang untuk mengorganisir

dan mengeksekusi bagian-bagian dari tindakan yang diperlukan untuk

menghasilkan pencapaian (Bandura, 1997). Selain itu, Schultz & Schultz (1994)

mendefinisikan self-efficacy sebagai perasaan terhadap kecukupan, efisiensi, dan

kemampuan diri dalam mengatasi kehidupan. Baron dan Byrne (1994)

(41)

kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu

tujuan, dan menghasilkan sesuatu.

Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa self-efficacy

merupakan keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya

dalam menyelesaikan tugas-tugas yang ia hadapi dan mampu mengambil tindakan

ketika menghadapi rintangan serta mencapai tujuan yang diharapkannya.

B.2. Dimensi Self-efficacy

Bandura (1997) menyatakan ada tiga dimensi self-efficacy, yaitu :

1. Level (tingkatan)

Level berkaitan dengan sejauh mana individu dapat menentukan

tingkat kesulitan dalam pekerjaan yang mampu dilaksanakannya. Tuntutan tugas

merepresentasikan bermacam-macam tingkat kesulitan atau kesukaran untuk

mencapai performa yang optimal. Penerimaan dan keyakinan seseorang terhadap

suatu tugas berbeda-beda, mungkin orang hanya terbatas pada tugas yang

sederhana, ada juga yang terbatas pada tugas yang menengah ataupun sulit. Ada

yang menganggap suatu tugas itu sulit sedangkan orang lain mungkin merasa

tidak demikian. Individu yang memiliki level yang tinggi berkeyakinan bahwa ia

mampu mengerjakan tugas yang sukar sedangkan individu yang memiliki level

yang rendah berkeyakinan bahwa ia hanya mampu mengerjakan tugas-tugas yang

(42)

2. Generality (Keadaan umum)

Generality mengacu pada sejauh mana individu yakin akan

kemampuannya dalam berbagai situasi tugas, mulai dari dalam melakukan suatu

aktifitas yang bisa dilakukan atau situasi tertentu yang tidak pernah dilakukan

hingga dalam serangkaian tugas atau situasi sulit dan bervariasi. Generality

merupakan perasaan kemampuan yang ditunjukkan individu pada konteks tugas

yang berbeda-beda, baik itu melalui tingkah laku, kognitif, dan afektifnya.

3. Strength (Kekuatan)

Strength merupakan kuatnya keyakinan individu mengenai

kemampuan yang dimilikinya. Hal ini berkaitan dengan ketahanan dan keuletan

individu dalam pemenuhan tugasnya. Individu yang memiliki keyakinan dan

kemantapan yang kuat terhadap kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas

akan terus bertahan dalam usahanya meskipun banyak mengalami kesulitan dan

tantangan. Individu yang memiliki keyakinan kuat terhadap kemampuannya akan

teguh dalam berusaha untuk mengenyampingkan kesulitan yang dihadapi.

Secara garis besar, individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan

cenderung memilih terlibat langsung, sementara individu yang memiliki

self-efficacy yang rendah cenderung menghindari tugas tersebut. Individu yang

memiliki self-efficacy yang tinggi menganggap kegagalan sebagai akibat dari

kurangnya usaha yang keras, pengetahuan, dan keterampilan. Individu yang

memiliki self-efficacy rendah cenderung ragu akan kemampuannya dan menjauhi

(43)

Bandura (1997) menyatakan bahwa efficacy individu dalam satu area

aktifitas bisa saja lebih tinggi atau lebih rendah dibanding area aktifitas lainnya.

Oleh karenanya, Bandura (1997) menambahkan efficacy seharusnya diukur

dengan melihat konteks meliputi aktifitas, perbedaan level tuntutan tugas, dan

pada berbagai keadaan situasional yang berbeda. Selanjutnya pembuatan alat ukur

skala self-efficacy dalam penelitian ini akan disusun berdasarkan ketiga dimensi di

atas dalam konteks pekerjaan.

B.3. Proses self-efficacy

Menurut Bandura (1997), proses psikologis dalam self-efficacy yang turut

berperan dalam diri manusia ada empat, yakni proses kognitif, motivasional,

afeksi, dan proses pemilihan/seleksi.

a. Proses Kognitif

Proses kognitif merupakan proses berfikir yang didalamnya terdapat

pemerolehan, pengorganisasian, dan penggunaan informasi. Kebanyakan tindakan

manusia bermula dari sesuatu yang difikirkan terlebih dahulu. Individu yang

memiliki self-efficacy yang tinggi lebih senang membayangkan tentang

kesuksesan. Sebaliknya, individu yang self-efficacynya rendah lebih banyak

membayangkan kegagalan dan hal-hal yang dapat menghambat tercapainya

kesuksesan. Bentuk tujuan personal juga dipengaruhi oleh penilaian akan

kemampuan diri. Semakin individu mempersepsikan dirinya mampu maka

individu akan semakin membentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuannya dan

(44)

b. Proses Motivasi

Kebanyakan motivasi manusia dibangkitkan melalui kognitif. Individu

memberi motivasi/dorongan bagi diri mereka sendiri dan mengarahkan tindakan

melalui tahap pemikiran-pemikiran sebelumnya. Keyakinan akan kemampuan diri

dapat mempengaruhi motivasi dalam berbagai hal, yakni menentukan tujuan yang

telah ditentukan individu, seberapa besar usaha yang dilakukan, seberapa tahan

mereka dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan ketahanan mereka dalam

menghadapi kegagalan.

c. Proses afektif

Proses afeksi merupakan proses pengaturan kondisi emosi dan reaksi

emosional. Menurut Bandura (1997) keyakinan individu akan coping mereka turut

mempengaruhi level stress dan depresi seseorang saat mereka menghadapi situasi

yang sulit. Persepsi self-efficacy tentang kemampuannya mengontrol sumber

stress memiliki peranan penting dalam timbulnya kecemasan. Individu yang

percaya akan kemampuannya untuk mengontrol situasi cenderung tidak

memikirkan hal-hal yang negatif. Individu yang merasa tidak mampu mengontrol

situasi cenderung mengalami level kecemasan yang tinggi, selalu memikirkan

kekurangan mereka, memandang lingkungan sekitar penuh dengan ancaman,

membesar-besarkan masalah kecil, dan terlalu cemas pada hal-hal kecil yang

sebenarnya jarang terjadi (Bandura, 1997).

d. Proses Seleksi

Kemampuan individu untuk memilih aktifitas dan situasi tertentu turut

(45)

dan situasi yang di luar batas kemampuan mereka. Bila individu merasa yakin

bahwa mereka mampu menangani suatu situasi, maka mereka cenderung tidak

menghindari situasi tersebut. Dengan adanya pilihan yang dibuat, individu

kemudian dapat meningkatkan kemampuan, minat, dan hubungan sosialnya

(Bandura, 1997).

B.4. Sumber-Sumber Self-efficacy

Menurut Bandura (1997), informasi tentang kemampuan diri dapat

diperoleh individu melalui empat sumber yang sekaligus menjadi sumber

self-efficacy. Empat tersebut adalah :

1. Enactive Mastery Experience (hasil yang dicapai secara nyata)

Ini merupakan sumber efficacy yang paling berpengaruh. Dari

pengalaman masa lalu terlihat bukti apakah seseorang mengarahkan seluruh

kemampuannya untuk meraih keberhasilan. Umpan balik terhadap hasil kerja

seseorang yang positif akan meningkatkan efficacy seseorang. Kegagalan di

berbagai pengalaman hidup dapat diatasi dengan upaya tertentu dan dapat memicu

persepsi self-efficacy menjadi lebih baik karena membuat individu tersebut

mampu untuk mengatasi rintangan-rintangan yang lebih sulit nantinya.

2. Vicarious Experiences (pengalaman orang lain)

Ini merupakan cara meningkatkan efficacy dengan melihat pengalaman

keberhasilan yang ditunjukkan oleh orang lain. Ketika melihat orang lain dengan

kemampuan yang sama berhasil dalam suatu bidang/tugas melalui usaha yang

(46)

bidang tersebut dengan usaha yang sama. Sebaliknya, self-efficacy dapat turun

ketika orang yang diamati gagal walaupun telah berusaha dengan keras. Individu

juga menjadi ragu untuk berhasil dalam bidang tersebut. Peran vicarious

experiences terhadap self-efficacy seseorang sangat dipengaruhi oleh persepsi diri

individu tersebut tentang dirinya memiliki kesamaan dengan model yang diamati.

Semakin individu merasa dirinya mirip dengan model, maka kesuksesan dan

kegagalan model akan semakin mempengaruhi self-efficacy. Sebaliknya, apabila

individu merasa dirinya semakin berbeda dengan model, maka self-efficacy

menjadi semakin tidak dipengaruhi oleh perilaku model. Seseorang akan berusaha

mencari model yang memiliki kompetensi atau kemampuan yang sesuai dengan

keinginannya. Dengan mengamati perilaku dan cara berfikir model tersebut akan

dapat memberi pengetahuan dan pelajaran tentang strategi dalam menghadapi

berbagai tuntutan lingkungan

3. Verbal Persuasion (Persuasi Verbal)

Verbal digunakan secara luas untuk membujuk seseorang bahwa

mereka mempunyai kemampuan untuk mencapai tujuan yang mereka cari. Orang

yang mendapat persuasi secara verbal bahwa mereka mampu menyelesaikan

tugas-tugasnya maka mereka memiliki kemauan untuk menyelesaikan tugas-tugas

yang diberikan dan akan mengerahkan usaha yang lebih besar daripada orang

yang tidak dipersuasi bahwa dirinya mampu pada bidang tersebut.

4. Physiological and affective states (kondisi dalam diri seseorang baik

(47)

Individu yakin bahwa sebagian tanda-tanda psikologis menghasilkan

informasi dalam menilai kemampuannya. Kondisi stress dan kecemasan diamati

oleh individu sebagai tanda yang mengancam terhadap rasa ketidakmampuan diri.

Level of arousal dapat memberikan informasi mengenai tingkat self-efficacy

tergantung pada bagaimana arousal tersebut diinterpretasikan. Bagaimana

seseorang menghadapi suatu tugas, apakah cemas atau khawatir atau tertarik dapat

memberikan informasi mengenai self-efficacy orang tersebut tinggi atau rendah.

Dalam menilai kemampuannya, individu dipengaruhi oleh informasi tentang

keadaan fisiknya untuk menghadapi situasi tertentu dengan memperhatikan

keadaan fisiologisnya.

B. 5. Fungsi Self-efficacy

Teori self-efficacy memandang bahwa persepsi mengenai kemampuan

seseorang akan mempengaruhi pikiran, perasaan, motivasi, dan tindakannya.

Keyakinan mengenai self-efficacy merupakan penentu yang kuat dari tingkah

laku. Ada beberapa fungsi dari self-efficacy (Bandura, 1997), yaitu :

a. Penentu tingkah laku

Seseorang akan cenderung melakukan tugas tertentu ketika ia merasa

memiliki kemampuan yang baik untuk menyelesaikannya. Jika seseorang

memiliki keyakinan diri yang besar bahwa ia mampu mengerjakan tugas tertentu,

maka ia akan lebih memilih mengerjakan tugas tersebut daripada tugas yang

(48)

b. Penentu besarnya usaha dan daya tahan dalam mengatasi rintangan

Self-efficacy menentukan berapa lama individu dapat bertahan dalam

mengatasi rintangan dan situasi yang kurang menyenangkan. Self-efficacy yang

tinggi akan menurunkan kecemasan yang menghambat penyelesaian tugas,

sehingga mempengaruhi daya tahan individu. Dalam belajar, individu yang

memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung menunjukkan usaha yang lebih keras

daripada orang-orang dengan tingkat self-efficacy yang rendah (Bandura, 1997).

c. Mempengaruhi Pola Pikir dan Reaksi Emosional

Self-efficacy mempengaruhi pola pikir dan reaksi emosional individu, baik

dalam menghadapi situasi saat ini maupun dalam mengantisipasi situasi yang akan

datang (Bandura, 1997). Orang-orang dengan self-efficacy rendah selalu

menganggap dirinya kurang mampu menangani situasi yang dihadapinya. Dalam

mengantisipasi keadaan, mereka juga cenderung mempersepsikan

masalah-masalah yang akan timbul jauh lebih berat daripada yang sesungguhnya.

d. Sebagai Peramal tingkah laku selanjutnya

Individu dengan self-efficacy tinggi memiliki keterlibatan yang lebih baik

dengan lingkungannya. demikian pula dalam mengahadapi tugas, keyakinan

mereka cenderung tinggi. Mereka tidak mudah putus asa dan menyerah dalam

mengatasi kesulitan dan mereka akan menampilkan usaha yang lebih keras lagi.

Sebaliknya, individu dengan self-efficacy yang rendah cenderung lebih pemalu

(49)

pasrah dalam menerima hasil dan situasi yang dihadapi daripada berusaha

merubah keadaan.

C. Kantor Pelayanan & Pengawasan Bea dan Cukai X (KPPBC X) Medan

Tugas Kantor Pelayanan & Pengawasan Bea dan Cukai X (KPPBC X)

Medan adalah melaksanakan pengawasan dan pelayanan kepabeanan dan cukai

dalam daerah wewenangnya berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang

berlaku. Adapun seksi/bagian dapat dirinci sebagai berikut :

1. Subbagian Umum

2. Seksi Penindakan dan Penyidikan

3. Seksi Perbendaharaan

4. Seksi Kepabeanan dan Cukai

5. Seksi Tempat Penimbunan

6. Seksi Dukungan Teknis dan Distribusi Dokumen

KPPBC X Medan merupakan daerah strategis karena secara geografis

wilayah kerjanya berdekatan dengan Malaysia, Singapura, dan Thailand

(negara-negara anggota ASEAN). Daerah tersebut sangat potensial untuk meningkatkan

pertumbuhan ekonomi. Sebagai salah satu unit kerja dari Direktorat Jenderal Bea

dan Cukai (DJBC), KPPBC X Medan memiliki fungsi yang sangat strategis yaitu

(50)

Sejalan dengan dunia perdagangan yang semakin global dan diikuti

dengan aspek-aspek lain seperti: teknologi informasi, politik, hukum, dan budaya,

maka tantangan yang dihadapi akan semakin kompleks. DJBC dituntut untuk

menyeimbangkan ketiga fungsi yang diembannya agar kepentingan negara dan

masyarakat dapat terjaga. Namun, tugas Bea dan Cukai sangat dilematis. Di satu

sisi pegawai harus memberikan pelayanan sebagai trade facilitator dan

mengumpulkan uang ke dalam kas negara sebanyak-banyaknya sesuai dengan

beban APBN (revenue collector). Di sisi lain, pegawai harus mengawasi

perdagangan dan melindungi masyarakat dari keluar masuknya barang-barang

yang terkena larangan dan diatur tata niaganya. Oleh karena itu, pegawai bea dan

cukai harus memainkan perannya secara seimbang dan signifikan.

Dari hasil laporan akuntabilitas KPPBC X Medan, sepanjang tahun

2011-2012 penerimaan finansial mengalami peningkatan. Bea dan cukai yang masuk ke

dalam kas Negara melebihi target. Pada tahun 2011, bea yang masuk adalah

sebesar 21 milyar rupiah. Realisasi ini melebihi 1 milyar rupiah dari target.

Sedangkan cukai yang masuk di tahun 2011 adalah sebesar 118 milyar rupiah.

Melebihi 25 milyar rupiah dari target yang ditetapkan. Pada tahun 2012, bea yang

masuk adalah sebesar 22 milyar rupiah melebihi 4 milyar rupiah dari target,

sedangkan cukai yang masuk adalah sebesar 131 milyar rupiah melebihi 12 milyar

rupiah dari target.

Tidak hanya dari segi finansial, beberapa peningkatan performa juga

dialami oleh KPPBC X Medan, seperti peningkatan pelayanan yang prima di

(51)

ekonomi, serta berkurangnya temuan pelanggaran oleh pegawai bea dan cukai.

Rajagukguk 2012 ; buletin kinerja kementerian keuangan adisi IV (2012)

menekankan bahwa work engagement mungkin dapat menjadi jawaban dari

berbagai masalah yang masih dihadapi oleh unit kerja DJBC. Oleh karenanya

sangat penting untuk mengetahui hal-hal apa yang dapat menumbuhkan serta

meningkatkan work engagement pegawai KPPBC X Medan.

D. Self-efficacy sebagai prediktor work engagement di Kantor Pelayanan & Pengawasan Bea Dan Cukai X (KPPBC X) Medan

Bakker & Demerouti (2007) menjelaskan bahwa job resources dapat

menjadi prediktor work engagement. Job resources mengacu pada aspek fisik,

sosial, atau organisasi yang mungkin dapat (1) mengurangi tuntutan kerja dan

energi fisiologi serta psikologis, (2) dapat berfungsi dalam pencapaian tujuan

kerja, atau (3) menstimulasi personal growth, learning, dan development.

Kemudian, Xanthopoulou dkk., (2007) menambahkan aspek personal resources

yang dipercaya dapat menjadi prediktor work engagement. Personal resources itu

sendiri merupakan evaluasi diri positif yang berhubungan dengan resiliensi dan

mengacu pada rasa individual mengenai kemampuan individu untuk mengontrol

serta berdampak baik pada lingkungan. Hal ini dapat ditunjukkan melalui

beberapa evaluasi diri positif yang memprediksi goal-setting, motivasi,

performance, kepuasan kerja dan hidup serta hasil lainnya. Personal resources

(52)

beberapa karakteristik yakni, optimism, self-efficacy, resilience, hope, dan

sebagainya. Karakteristik-karakteristik ini yang diyakini dapat memprediksi work

engagement (Bakker & Leiter, 2010).

Studi mengenai personal resources yang melibatkan self-efficacy,

organizational based self esteem, dan optimism dalam memprediksi work

engagement telah dilakukan. Hasilnya menunjukkan bahwa karyawan yang

engaged memiliki self-efficacy yang tinggi. Hal ini berarti mereka percaya bahwa

mereka mampu menghadapi tantangan yang dihadapkan dengan mereka dalam

berbagai konteks. Selain itu, hasil juga menunjukkan karyawan yang engaged

yakin bahwa mereka akan mengalami hal-hal yang positif dalam hidup mereka

(optimistic) dan yakin mereka dapat memuaskan kebutuhan mereka dengan

berpartisipasi dalam organisasi (organizational-based self esteem). Penemuan ini

direplikasi kembali dan hasilnya tetap mengindikasi bahwa self-efficacy,

organizational-based self esteem, dan optimism membuat kontribusi baru untuk

menjelaskan varians dalam work engagement sepanjang waktu karena studi ini

dilakukan secara longitudinal selama 2 tahun (Xanthopoulou, Bakker, Demerouti,

Schaufeli, 2007 ; Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, & Schaufeli, 2009).

Pengujian mengenai hubungan antara self-efficacy dan ketiga dimensi

work engagement juga telah dilakukan. Hasil studi meta analisis mengenai

hubungan antara self-efficacy terhadap ketiga dimensi work engagement, yakni:

vigor, dedication, dan absorption mendapatkan hasil korelasi positif yang tinggi

(53)

Self-efficacy penting bagi setiap orang untuk menghadapi suatu

permasalahan yang dihadapi. Self-efficacy merupakan keyakinan kemampuan

seseorang untuk mengorganisir dan mengeksekusi bagian-bagian dari tindakan

yang diperlukan untuk menghasilkan pencapaian (Bandura, 1997). Self-efficacy

bersandar pada social cognitive theory yang menekankan peran observational

leraning dan pengalaman sosial dalam perkembangan kepribadian. Dalam

pandangan social cognitive theory,self-efficacy memainkan fungsi peran motivasi

karena adanya self-efficacy yang tinggi dapat membuat seseorang lebih berusaha

dalam aktifitasnya dan lebih gigih. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Prieto,

Salanova & Martinez (2009) yang mengemukakan bahwa self-efficacy membantu

seseorang untuk lebih termotivasi ketika berhadapan dengan halangan dan

kesulitan. Self-efficacy juga dapat mempengaruhi cara karyawan menerima

personal resources lainnya seperti kompetensi mental dan emosional. Oleh karena

itu, Prieto, Salanova & Martinez (2009) menekankan bahwa beberapa studi

sebelumnya seharusnya memusatkan self-efficacy sebagai personal resource

utama untuk karyawan. Self-efficacy dapat bertindak pula sebagai driver utama

dalam work engagement.

Rajagukguk (2012) dalam buletin kinerja kementerian keuangan edisi IV

(2012) menekankan bahwa work engagement mungkin dapat menjadi jawaban

dari berbagai masalah yang masih dihadapi oleh unit kerja DJBC. Oleh karenanya

sangat penting untuk mengetahui hal-hal apa yang dapat menumbuhkan serta

meningkatkan work engagement pegawai DJBC. Di sisi lain, model JD-R

Gambar

Tabel.1 Distribusi Aitem-Aitem Skala Work Engagement Sebelum Uji Coba
Tabel. 2 Distribusi Aitem-Aitem Skala Self-Efficacy Sebelum Uji Coba
Tabel 3. Distribusi Aitem-Aitem Hasil Uji Coba Skala Work Engagement
Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pariwisata adalah salah satu potensi daerah yang tentu juga akan menjadi ciri khas.. suatu daerah, pengembangan dan pengelolaan pariwisata di Indonesia

Hal-hal tersebut di atas mengenai sensor gas keramik/metal oksida (MOx) melatar belakangi penelitian ini dengan tujuan untuk menganalisa perubahan fase dan struktur

• Pengendalian gulma secara kimia dengan herbisida dapat dilakukan sebelum pengolahan tanah atau setelah tanam dengan syarat benih ditutup dengan tanah pada saat tanam dan

Gambar 4.11 Grafik Perkiraan Daya Tersambung Tahun 2017-2026 ...72. Gambar 4.12 Grafik Perkiraan Konsumsi Energi

Menyatakan Terlapor I (Panitia Pengadaan Barang/Jasa Tahun 2006 Dinas Pendidikan Propinsi Sumatera Utara), Terlapor II (PT Auna Rahmat), Terlapor III (PT Hari Maju) terbukti

Berdasarkan wawancara diatas maka petugas obat telah melakukan prosedur pelayanan sesuai standar yaitu menyiapkan sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai dengan permintaan

Peranan Kepemimpinan dan Komunikasi dalam Organisasi Serta Pengaruhnya Terhadap Motivasi Keja Pegawai Pada Balai Pengawas Obat dan Makanan di Pangkalpinang.. Penelitian ini

Penelitian ini bertujuan untuk Meningkatkan Motivasi dan Prestasi belajar PKn pada materi Organisasi di Sekolah melalui metode bermain peran di kelas V SD Negeri 1 Kracak tahun