• Tidak ada hasil yang ditemukan

Small Island Resources Use for Sustainability Tourism (Case Study Sepanjang Island, Sumenep Regency, East Java Province)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Small Island Resources Use for Sustainability Tourism (Case Study Sepanjang Island, Sumenep Regency, East Java Province)"

Copied!
210
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU KECIL UNTUK

WISATA BERKELANJUTAN

(Studi Kasus Pulau Sepanjang, Kabupaten Sumenep,

Propinsi Jawa Timur)

FERY KURNIAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Pemanfaatan Sumberdaya Pulau Kecil untuk Wisata Berkelanjutan (Studi Kasus Pulau

Sepanjang, Kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa Timur)” adalah karya saya

sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2011

(4)
(5)

ABSTRACT

FERY KURNIAWAN. Small Island Resources Use for Sustainability Tourism (Case Study Sepanjang Island, Sumenep Regency, East Java Province). Under direction of LUKY ADRIANTOand ARIO DAMAR.

(6)
(7)

RINGKASAN

FERY KURNIAWAN. Pemanfaatan Sumberdaya Pulau Kecil untuk Wisata Berkelanjutan (Studi Kasus Pulau Sepanjang, Kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa Timur). Dibimbing oleh LUKY ADRIANTOdan ARIO DAMAR.

Kebutuhan akan wisata pesisir dan laut khususnya di pulau kecil terus meningkat. Wisata juga merupakan industri yang meningkat cepat di negara berkembang. Tetapi wisata beresiko tidak berkelanjutan jika ekologi lokal dan kapasitas kultur sosial tidak dihargai. Kearifan, baik dalam perencanaan dan implementasi ekowisata dapat memberikan nilai konservasi dan penggunaan sumberdaya pesisir dan laut berkelanjutan di daerah penyelenggara wisata seperti membatasi fasilitas, akomodasi, jumlah wisatawan dan menentukan jenis aktivitas wisata. Keberlanjutan pemanfaatan pulau kecil untuk wisata perlu dipahami tingkat perubahan yang bisa ditoleransi dan batas sistem perubahan yang diterima. Pulau Sepanjang yang terletak di 07° 10’ 00” LS dan 115° 49’ 00” BT dengan luas ± 100.4010 km2 berpotensi untuk dikembangkan untuk wisata karena memiliki potensi sumberdaya pantai dengan panjang garis pantai 106.48 km, mangrove seluas ± 3 374.26 ha, lamun seluas ± 97.96 ha dan terumbu karang seluas ± 390.44 ha. Untuk itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk 1) mengetahui tingkat pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir Pulau Sepanjang, 2) mengestimasi kesesuaian dan peluang Pulau Sepanjang untuk wisata yang berkelanjutan, dan 3) mengukur daya dukung ekologi dan pengelolaan wisata Pulau Sepanjang yang berkelanjutan.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Juni 2011 dengan pendekatan sosial dan ekologi. Adapun metode yang digunakan meliputi Participatory Rural Appraisal (PRA), indek kesesuaian wisata, Recreation Opportunity Spectrum (ROS), zonasi dan Touristic Eclogical Footprint (TEF) serta dikombinasikan dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG). Pengambilan data dilakukan dengan pendekatan partisipatif dan eksploratif. Contoh biofisik sumberdaya diambil dengan menggunakan metode tracking GPS untuk pantai dengan 5 stasiun pengamatan, transek 50 x 50 cm untuk lamun dengan 3 stasiun pengamatan, transek 10 x 10 m untuk mangrove dengan 5 stasiun pengamatan dan multi metode (LIT, transek kuadrat dan manta tow) untuk terumbu karang dengan 28 stasiun pengamatan yang telah dilakukan oleh Kangean Energi Indonesia (KEI) Ltd. tahun 2008. Keterwakilan sumber data diperkuat dengan analisis PRA dan Citra Satelit Landsat 7ETM+. Sedangkan untuk sosial ekonomi, pengumpulan data dilakukan dengan wawancara semi terstruktur dengan snowball sampling di 4 stasiun pengamatan (Dusun Tembing, Panamparan, Pajan Barat dan Tanjung Kiaok) dari masyarakat pemanfaat sumberdaya langsung dan tidak langsung, tokoh masyarakat dan stakeholders P. Sepanjang. Untuk wisatawan, teknik pengambilan contoh dilakukan secara accidental sampling.

(8)

perairan Pulau Sepanjang sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) tahun 2010 tetapi belum dibentuk unit pelaksana teknisnya, sehingga penetapan kawasan tersebut belum memberikan fungsi dan manfaat terhadap sumberdaya yang ada.

Pulau Sepanjang memiliki sumberdaya yang sesuai untuk wisata pantai kategori rekreasi dengan panjang 26.35 km, wisata mangrove seluas 3 319.75 ha, wisata lamun seluas 85.06 ha, wisata snorkeling seluas 134.95 ha dan wisata selam seluas 107.36 ha. Pulau Sepanjang cukup berpeluang untuk dikembangkan sebagai wisata. Dari analisis Recreation Opportunity Spectrum (ROS), Pulau Sepanjang bisa memberikan banyak pilihan pengalaman wisata bagi wisatawan, mulai dari kawasan yang dekat dengan akses dan masyarakat sampai dengan daerah yang jauh dari akses dan masyarakat. Hasil analisis ROS juga mengkelaskan kawasan Pulau Sepanjang kedalam 6 kategori, yaitu kawasan urban seluas 557.12 ha (0.92%), rural 3 086.62 ha (5.08%), frontcountry 4 104.04 ha (6.75%), backcountry 26 018. 71 ha (42.80%), remote 26 997.99 ha (44.41%) dan wilderness 33.79 ha (0.06%), dan dari 6 kategori kawasan tersebutlah yang bisa memberikan peluang pengembangan wisata dengan berbagai jenis pengalaman wisata. Peluang ini juga didukung dengan adanya kebijakan yang memprioritaskan Pulau Sepanjang untuk wisata. Hal ini terlihat dalam rencana tata ruang wilayah Kabupaten Sumenep.

Nilai daya dukung sumberdaya Pulau Sepanjang yang sesuai untuk dimanfaatkan sebagai wisata, diantaranya adalah wisata pantai dengan potensi ekologis 26.35 km dan daya dukung pemanfaatan (DDP) 105 orang/hari, wisata mangrove dengan potensi ekologis 30.93 km dan DDP 247 orang/hari, wisata lamun dengan potensi ekologis 85.06 ha dan DDP 340 orang/hari, wisata snorkeling dengan potensi ekologis 134.95 ha dan DDP 540 orang/hari dan wisata selam dengan potensi ekologis 107.36 ha dan DDP 429 orang/hari. Jadi total DDP wisata Pulau Sepanjang adalah 1 661 orang/hari. Sedangkan dari hasil analisis Touristic Ecological Footrint (TEF) didapatkan nilai sebesar 0.162504 ha dan biocapacity (BC)/kapasitas lahan sebesar 25 958.91027 ha, sehingga didapatkan daya dukung pulau sebesar 159 743 orang. Pengelolaan wisata yang berkelanjutan di Pulau Sepanjang dapat dilakukan dengan melakukan pemanfaatan wisata berdasarkan pada daya dukung dan zonasi wisata.

(9)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulisan ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(10)
(11)

PEMANFAATAN SUMBERDAYA PULAU KECIL UNTUK

WISATA BERKELANJUTAN

(Studi Kasus Pulau Sepanjang, Kabupaten Sumenep,

Propinsi Jawa Timur)

FERY KURNIAWAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Judul Penelitian : Pemanfaatan Sumberdaya Pulau Kecil untuk Wisata Berkelanjutan (Studi Kasus Pulau Sepanjang, Kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa Timur)

Nama : Fery Kurniawan

NRP : C252090071

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Ario Damar, M.Si Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(14)
(15)

PRAKATA

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga penelitian dengan judul Pemanfaatan Sumberdaya Pulau Kecil untuk Wisata Berkelanjutan (Studi Kasus Pulau Sepanjang, Kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa Timur) dapat diselesaikan. Tulisan ini berisi tentang pemanfaatan pulau kecil yang dalam hal ini mengambil kasus Pulau Sepanjang dengan rangkaian analisis mulai dari pemanfaatan sumberdaya yang ada menggunakan Participatory Rural Appraisal (PRA), analisis kesesuaian untuk wisata, peluang pengelolaan wisata menggunakan Recreation Opportunity Spectrum (ROS) dan Ecological Footprint (EF) yang menggunakan analisis Touristic Ecological Footprint (TEF).

Harapan penelitian yang menggunakan multi analisis ini (hybrid), baik dari pendekatan ekologi dan sosial dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan pulau kecil untuk wisata berkelanjutan. Selain itu, kesalahan dalam implementasi pengelolaan wisata di pulau kecil dapat dikurangi karena keputusan hanya diambil dari satu pendekatan saja.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna untuk bisa jadi rujukan dalam pelaksanaan penelitian, sehingga perlu adanya perbaikan dan pengembangan baik dalam teoritis dan metodologis. Saran dan kritik sangat diharapkan untuk penyempurnaan penelitian ini dan penulisan karya ilmiah selanjutnya demi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bogor, Desember 2011

(16)
(17)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah mendukung terselesaikannya penelitian ini.

1. Kedua Orang Tua dan seluruh keluarga yang selalu mendukung penulis untuk terus belajar dan berusaha.

2. Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc, selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Ario Damar, M.Si selaku anggota pembimbing yang sangat berperan aktif membimbing penulis dalam rangka penyelesaian tugas akhir, memberikan wawasan dan pendidikan yang sangat membantu dalam proses belajar serta bagaimana memahami hidup dan berfikir cerdas.

3. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku dosen penguji luar komisi atas saran dan masukan yang sangat berharga demi perbaikan tesis ini.

4. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi, seluruh staf dosen dan staf sekretariat Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan atas segala arahan, sumbangsih IPTEK, bantuan dan kerjasama yang baik selama studi.

5. Sajogyo Institute (Sains) yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan proses belajar yang tak ternilai sehingga banyak sudut pandang yang bisa dilihat dalam memahami sesuatu hal.

6. Ir. Abdul Azis Jakfar, M.Tmi dan Drs. Ec. Muh. Syarif, MS yang telah memberikan motivasi untuk belajar, arahan masa depan, cara bekerja dan mengambil keputusan yang baik dari sudut pandang yang berbeda.

7. Agus Romadhon, SP., M.Si, Wahyu A’idin Hidayat, Miftachul Ilmi, Sabtana Ari, Sawiya dan Yunus sebagai tim peneliti,teman-teman kos pojok Sendi, Aris, Joffa, M. Akbar dan Andre Bahar, dan sahabat sepermainan dan seperjuangan Chichi Rizky dan Norita Vibriyanto, terima kasih atas dukungannya. Serta buat Indah Sulistin Rahayu yang memberikan motivasi baru.

8. Teman-teman Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan angkatan 16 tahun 2009 Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (Ita Karlina, James Walalangi, Moch. Idham Shilman, Al Azhar, Sudirman Adibrata, Syultje M. Latukolan, Rieke Kusuma Dewi, Moch. Sayuti Djau, Mohamad Akbar, Suryo Kusumo, RM. Puji Rahardjo, Dewi Dwi Puspitasari Sutedjo, Andi Chodijah, Yofi Mayalanda, Destilawaty dan Aldino Akbar) terima kasih banyak atas saran, kritik dan dorongan selama menempuh belajar bersama. Kebersamaan yang sudah dilalui akan menjadi catatan hidup yang berharga.

(18)
(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 29 Maret 1984 dari ayah Amar Fagi dan ibu Lilik Haryati. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara (Ainur Rafiq Amrullah – Kakak dan Fitri Kusuma Wardani – Adik).

Pendidikan penulis diselesaikan di SDN Bangkal 2 Sumenep tahun 1996, SMPN 2 Sumenep tahun 1999, SMAN 2 Sumenep tahun 2002 dan mendapatkan gelar Sarjana Kelautan dari Universitas Trunojoyo tahun 2007.

(20)
(21)

DAFTAR ISI

(22)
(23)

DAFTAR TABEL

1 Perbandingan umum ciri-ciri umum pulau oseanik (pulau kecil),

pulau kontinental dan benua ... 8 2 Indikator lingkungan di pesisir dan pulau kecil ... 15 3 Manfaat ekonomi perjalanan dan wisata ... 18 4 The Spectrum of Marine Recreation Opportunity (SMRO) ... 26 5 Kategori dan kelas-kelas Water Recreation Opportunity Spectrum

(WROS) ... 27 6 Ringkasan karakteristik spasial dari setiap kelas ROS ... 28 7 Komponen, jenis dan metode pengambilan data ... 48 8 Titik stasiun pengamatan kondisi pantai... 52 9 Titik stasiun pengamatan ekosistem mangrove ... 52 10 Titik stasiun pengamatan ekosistem lamun ... 53 11 Titik stasiun dan metode pengamatan terumbu karang ... 54 12 Matriks Kesesuaian lahan untuk wisata pantai kategori rekreasi ... 63 13 Matriks kesesuaian lahan untuk wisata pantai kategori wisata

mangrove ... 63 14 Matriks kesesuaian lahan untuk ekowisata bahari kategori wisata

lamun ... 64 15 Matriks kesesuaian lahan untuk ekowisata bahari kategori wisata

snorkeling ... 64 16 Matriks kesesuaian lahan untuk ekowisata bahari kategori wisata

selam ... 65 17 Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) ... 65 18 Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan ... 66 19 Ringkasan karakteristik spasial dari setiap kelas ROS ... 67 20 Yield dan Equivalence Factors tipe penggunaan lahan ... 75 21 Sarana transportasi laut yang bisa digunakan menuju Pulau

Sepanjang ... 78 22 Jumlah penduduk ... 79 23 Tingkat pendidikan masyarakat Pulau Sepanjang ... 79 24 Jenis dan luas penggunaan lahan ... 80 25 Jenis dan jumlah kendaraan yang digunakan di Pulau Sepanjang ... 82 26 Distribusi jenis dan jumlah vegetasi mangrove ... 89 Halaman

(24)

27 Distribusi jenis vegetasi mangrove indeks H’, E dan D ... 90 28 Jenis-jenis mangrove di Pulau Sepanjang ... 91 29 Sebaran jenis lamun ... 94 30 Persentase penutupan karang, Indeks Keanekaragaman (H’),

Keseragaman (E) dan Dominasi (C) ikan karang ... 96 31 Jumlah jenis dan individu ikan karang ... 98 32 Jenis-jenis vegetasi daratan Pulau Sepanjang ... 99 33 Daya dukung kawasan (DDK) dan pemanfaatan (DDP) wisata

untuk setiap jenis kegiatan wisata ... 101 34 Luas dan persentase wilayah kategori ROS ... 117 35 Jumlah dan tipe komponen ecological footprint dari wisatawan

Pulau Sepanjang ... 124 36 Analisis daya dukung Pulau Sepanjang menggunakan ecological

(25)

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram kerangka pemikiran penelitian ... 6 2 Interaksi antar komponen PPK (Debance 1999) ... 12 3 Peta konsep, kerangka dan model wisata pesisir dan laut

berkelanjutan (modifikasi dari Brown et al. 2006) ... 21 4 Hubungan antara faktor-faktor ROS (Emmelin 2006) ... 22 5 Diagram konseptual untuk output ROS modelling (diagram tidak

termasuk kelas urban dan rural) (Joyce dan Sutton 2009) ... 29 6 Keterkaitan EFdengan CC (Wilson dan Anielski 2005)... 35 7 Komponen Touristic Ecological Footprint (TEF) ... 36 8 Alur kerangka penelitian... 45 9 Lokasi penelitian ... 46 10 Peta sebaran sumberdaya pesisir Pulau Sepanjang ... 47 11 Stasiun pengamatan sumberdaya pesisir Pulau Sepanjang ... 51 12 Stasiun pengamatan sosial ekonomi masyarakat Pulau Sepanjang ... 56 13 Ringkasan alur prosedur klasifikasi ROS ... 68 14 Suasana Desa Sepanjang dan Desa Tanjung Kiaok ... 80 15 Jenis, teknik dan kawasan budidaya rumput laut Pulau Sepanjang ... 81 16 Lahan pertanian dan sarana nelayan untuk menangkap ikan dengan

memancing dan menanam rumput laut ... 82 17 Sarana dan prasana distribusi barang di Pulau Sepanjang ... 83 18 Kawasan pemanfaatan sumberdaya pesisir ... 85 19 Kebakaran kapal tanker di perairan Pulau Sepanjang dan

penambangan karang oleh masyarakat di sekitar kepulauan ... 86 20 Kayu mangrove yang dimanfaatkan dan pembuangan sampah ke

laut ... 87 21 Pantai Tembing yang telah dimanfaatkan sebagai wisata di Pulau

Sepanjang ... 88 22 Tipologi pantai Pulau Sepanjang ... 88 23 Kondisi ekosistem mangrove dan biota yang bisa ditemui di Pulau

Sepanjang ... 90 24 Kondisi lamun Pulau Sepanjang ... 95 25 Histogram perubahan persentase karang tahun 2005 dan 2008 ... 97 26 Kondisi terumbu karang Pulau Sepanjang ... 97 Halaman

(26)

27 Beberapa fauna yang bisa menjadi daya tarik wisata... 99 28 Peta arahan wisata di Pulau Sepanjang ... 102 29 Peta kesesuaian kawasan wisata pantai kategori rekreasi ... 104 30 Kondisi pantai Pulau Sepanjang kategori sesuai ... 105 31 Ekosistem mangrove Pulau Sepanjang ... 107 32 Peta kesesuaian kawasan wisata pantai kategori mangrove ... 108 33 Peta kesesuaian kawasan wisata bahari kategori lamun ... 110 34 Ekosistem lamun Pulau Sepanjang kategori sesuai ... 111 35 Peta kesesuaian wisata bahari kategori snorkeling ... 113 36 Kondisi terumbu karang di perairan dangkal Pulau Sepanjang ... 114 37 Peta kesesuaian kawasan wisata bahari kategori selam ... 116 38 Kondisi terumbu karang Pulau Sepanjang di kedalaman lebih dari 3

(27)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Prosedur Pengamatan Kondisi Ekosistem Mangrove ... 149 2 Penilaian Kondisi Ekosistem Mangrove ... 151 3 Prosedur Pengamatan Ekosistem Lamun... 154 4 Analisis dan Penilaian Kondisi Ekosistem Lamun ... 155 5 Panduan Pertanyaan Wawancara Kepada Masyarakat ... 157 6 Kuesioner Wisatawan ... 159 7 Jenis-jenis dan Status Burung Di Pulau Sepanjang ... 162 8 Jenis-jenis dan Status Burung Di Ekosistem Mangrove Pulau

Sepanjang ... 165 9 Karakteristik Narasumber dari Unsur Masyarakat ... 166 10 Karakteristik Narasumber Wisatawan/Orang yang Pernah Ke Pulau

Sepanjang ... 167 11 Identitas Narasumber dari Unsur Pemerintah ... 168 12 Perhitungan Nilai Indeks Kesesuaian Wisata Rekreasi Pantai ... 169 13 Perhitungan Nilai Indeks Kesesuaian Wisata Mangrove... 170 14 Perhitungan Nilai Indeks Kesesuaian Wisata Lamun ... 171 15 Perhitungan Nilai Indeks Wisata Snorkeling ... 172 16 Perhitungan Nilai Indeks Wisata Selam ... 174 17 Perhitungan Daya Dukung Kawasan (DDK) dan Daya Dukung

Pemanfaatan (DDP) untuk Wisata ... 176 18 Perhitungan Touristic Ecological Footprint (TEF) ... 177 19 Perhitungan Biocapacity (BC) ... 179 20 Peta Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) ... 180 Halaman

(28)
(29)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengembangan pulau-pulau kecil (PPK) di Indonesia masih belum mendapatkan perhatian yang cukup besar dari pemerintah. Banyak PPK yang kurang optimal pemanfaatannya. Pemanfaatan PPK harus dilakukan dengan metode yang tepat dan mempertimbangkan kemampuan atau daya dukung suatu pulau sehingga dapat berkelanjutan.

PPK menyediakan potensi sumberdaya alam yang besar. Potensi tersebut ditunjukkan dengan adanya keanekaragaman ekosistem seperti pada ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang beserta biota yang hidup didalamnya. Keberadaan potensi tersebut dapat dimanfaatkan untuk peningkatan produksi perikanan (perikanan tangkap dan budidaya), wisata, konservasi dan jenis pemanfaatan lainnya. PPK rentan terhadap perubahan, oleh sebab itu diperlukan kebijakan dalam pengelolaan yang dapat menyeimbangkan tingkat pemanfaatan PPK untuk kepentingan ekonomi tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang.

Kabupaten Sumenep sebagai kabupaten yang memiliki wilayah laut terluas di Pulau Madura dan Propinsi Jawa Timur memiliki potensi PPK yang amat besar dengan jumlah pulau 126 pulau (48 pulau berpenghuni dan 78 pulau tidak berpenghuni) (Perbup Sumenep nomor 11 tahun 2006). Bagian kepulauan di wilayah Kabupaten Sumenep mencapai 45.21% dari total luasan wilayah (2 093.457573 km2) (Bappeda Kabupaten Sumenep 2006; BPS Kabupaten Sumenep 2010). Salah satu diantara PPK yang ada di Kabupaten Sumenep adalah Pulau Sepanjang.

(30)

wilayah kepulauan menjadi kawasan yang lebih menguntungkan dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial.

Pengelolaan harus dirancang dalam sebuah disain pembangunan yang terpadu. Salah satu pengelolaan yang bisa dikembangkan di Pulau Sepanjang adalah wisata. Hal ini karena Pulau Sepanjang memiliki potensi dan ekosistem yang khas dan unik serta kekayaan khasanah budaya. Adanya wisata di Pulau Sepanjang diharapkan akan menumbuhkan sektor-sektor ekonomi lain yang menjanjikan baik perdagangan dan jasa (hotel/penginapan, kuliner, persewaan, dan lain-lain) secara berkelanjutan, sehingga dapat meningkatkan ekonomi masyarakat baik secara langsung dan tidak langsung.

Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumenep tahun 2009-2029 dan dalam dokumen Penyusunan Rencana Tata Ruang Gugus Pulau Kangean (Madura), Pulau Sepanjang direkomendasikan untuk dikembangkan sebagai wisata. Tetapi di dalam zonasi wilayah kepulauan Kabupaten Sumenep, Pulau Sepanjang direkomendasikan sebagai agropolitan (Bappeda Kabupaten Sumenep 2009 dan DKP 2005).

Wisata dimulai sejak tahun 1960an. Ditandai dengan naiknya penerbangan sipil yang mencapai puncak pertamanya pada tahun 1980, ketika 71 762 wisatawan datang kekepulauan (MTCA 2001 in Gössling 2002). Wisata juga merupakan industri yang meningkat cepat di negara berkembang (Cleverdon dan Kalisch 2000). Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan wisata pesisir dan laut terus meningkat.

Wisata beresiko menjadi tidak berkelanjutan jika sistem ekologi dan kapasitas kultur sosial tidak dihargai (Wall 1997 in Teh dan Cabanban 2007). Kearifan, baik dalam perencanaan dan implementasi ekowisata dapat memberikan konservasi dan penggunaan sumberdaya pesisir dan laut berkelanjutan di daerah penyelenggara wisata (White dan Rosales 2001 in Teh dan Cabanban 2007).

(31)

keberlanjutan wisata dan menguji hipotesis ekowisata sebagai keberlanjutan dari wisata (Gössling 2002).

1.2. Perumusan Masalah

Letak yang jauh dari pulau utama dan aksesibilitas yang rendah membuat Pulau Sepanjang menjadi terisolasi. Hal ini yang membuat kurangnya perhatian terhadap keberadaan sumberdaya pulau kecil. Kurangnya perhatian ini yang menyebabkan terbatasnya informasi tentang potensi yang ada dan yang bisa dikembangkan serta pengelolaan yang telah dilakukan.

Keberadaan potensi sumberdaya yang beranekaragam dapat memberikan manfaat baik secara ekologi dan ekonomi. Manfaat tersebut akan dapat diterima jika dikelola secara baik dan benar berdasarkan konsep pengelolaan yang komperehensif dengan mempertimbangkan daya dukung yang dimiliki baik biofisik dan sosio-ekonomi. Jika melebihi batas tersebut dan pembangunan yang tidak direncanakan pasti akan mengarah terhadap degradasi lingkungan atau konflik sosial (Wong 1991).

Pengelolaan yang dilakukan hendaknya juga perlu mempertimbangkan aspek pemanfaatan masyarakat yang sudah ada, agar tidak terjadi konflik pemanfaatan. Salah satu cara yang dilakukan dengan melakukan zonasi yang tepat sesuai dengan daya dukung yang ada dan kearifan lokal, sehingga keharmonisan ekologi, sosial dan ekonomi dapat tercapai. Pemanfaatan yang dianggap ramah lingkungan dan memiliki manfaat sosial ekonomi adalah wisata.

Wisata melalui pendekatan ekologis yang ramah, secara ekonomi layak dan diterima secara sosial dapat memberikan nilai positif bagi masyarakat lokal terutama sektor ekonomi. Selain itu, perencanaan dan implementasi wisata dengan benar akan dapat berkontribusi terhadap konservasi dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan darat berkelanjutan di host tujuan (White dan Rosales 2001 in Teh dan Cabanban 2007).

Berdasarkan uraian di atas, maka kajian yang dibutuhkan dalam pemanfaatan sumberdaya di Pulau Sepanjang adalah:

1. Tingkat pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir Pulau Sepanjang saat ini.

(32)

3. Daya dukung ekologi dan pengelolaan wisata Pulau Sepanjang.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui tingkat pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir Pulau Sepanjang.

2. Mengestimasi kesesuaian dan peluang Pulau Sepanjang untuk wisata yang berkelanjutan.

3. Mengukur daya dukung ekologi dan pengelolaan wisata Pulau Sepanjang yang berkelanjutan.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi dasar dan bahan perumusan dalam perencanaan pembangunan pulau-pulau kecil (PPK) secara berkelanjutan untuk wisata pesisir dan laut di Pulau Sepanjang. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan atau acuan bagi semua pihak.

1.5. Kerangka Pemikiran

Ketergantungan masyarakat di pulau kecil terhadap sumberdaya pesisir dan laut cukup besar, hal ini juga terkait dengan akses yang terbatas dan jarak yang jauh dengan daratan utamanya (mainland), begitu juga dengan Pulau Sepanjang. Potensi besar yang dimiliki oleh Pulau Sepanjang masih belum banyak termanfaatkan dan dikelola secara optimal baik sumberdaya pantai, mangrove, lamun dan terumbu karang.

Pemanfaatan sumberdaya di pulau kecil secara langsung sangat rentan untuk tidak berkelanjutan, apalagi pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan seperti penebangan mangrove, penggunaan bom dan potasium. Alternatif pemanfaatan yang bisa menjadi jalan keluar untuk kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan adalah pemanfaatan yang berbasis pada jasa sumberdaya seperti wisata.

(33)

Untuk itu didalam konsep pengelolaan berkelanjutan tidak boleh lepas satu sama lain. Pengelolaan perlu disesuaikan dengan karakteristik jasa ekosistem Pulau Sepanjang yang memiliki nilai ekonomi dan ekologi penting dalam pengembangannya.

Potensi sumberdaya yang khas, indah dan unik sangat berpeluang untuk pengembangan wisata, sehingga ekonomi Pulau Sepanjang tidak hanya pemanfaatan langsung dan bergantung pada sektor perikanan yang tergantung pada musim dan membutuhkan modal yang cukup besar. Berkembangnya wisata di Pulau Sepanjang akan diiringi dengan berkembangnya sektor-sektor ekonomi lainnya, terutama sektor-sektor penunjang wisata secara langsung.

Upaya pemanfaatan wisata yang berkelanjutan hendaknya tidak mendasarkan pada satu analisis dan pendekatan saja, namun perlu dilakukan dengan analisis dan pendekatan multi (multiple approach). Terdapat tiga pendekatan dalam pengelolaan wisata yang berkelanjutan, yaitu pendekatan ekologi, sosial dan ekonomi. Dalam penelitian ini digunakan dua pendekatan campuran (hybrid), yaitu pendekatan ekologi dengan menggunakan analisis daya dukung dan Ecological Footprint (EF), dan pendekatan sosial dengan menggunakan analisis Recreation Opportunity Spectrum (ROS).

Selain itu, untuk parameter biofisiknya didasarkan pada kesesuaian sumberdaya untuk setiap jenis aktivitas wisata. Hal ini juga terkait dengan ketersediaan ruang yang ada di suatu kawasan, sehingga dapat diukur besaran potensi dan aktivitas yang bisa dilakukan agar tidak melebihi daya dukung yang dimiliki oleh Pulau Sepanjang.

Analisis daya dukung pemanfaatan dan pengelolaan wisata di Pulau Sepanjang menggunakan luas potensi pemanfaatan kawasan (DDP) dan Ecological Footprint untuk wisata (TEF) yang dibandingkan dengan Biocapacity (BC), sedangkan untuk mengetahui seberapa besar peluang wisata digunakan pendekatan ROS. ROS dapat dijadikan dasar didalam menyusun pengelolaan yang harus dilakukan di Pulau Sepanjang untuk kegiatan wisata terkait dengan aktivitas sosial, pilihan pengalaman wisata dan fasilitas.

(34)

analisis yang dilakukan kemudian disusun untuk dijadikan sebagai pedoman pengelolaan Pulau Sepanjang. Diagram kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

(35)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pulau-pulau Kecil (PPK)

2.1.1.Pengertian Pulau-pulau Kecil (PPK)

Pulau-pulau kecil (PPK) didefinisikan berdasarkan dua kriteria utama yaitu luasan pulau dan jumlah penduduk yang menghuninya. Definisi pulau-pulau kecil yang dianut secara nasional sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 41 tahun 2000 jo. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 67 tahun 2002 adalah pulau yang berukuran kurang atau sama dengan 10 000 km2, dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 100 000 jiwa (Permen Budpar nomor 67 tahun 2004). Di samping kriteria utama tersebut, beberapa karakteristik pulau-pulau kecil adalah secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas dan terpencil dari habitat pulau induk, sehingga bersifat insular; mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi; tidak mampu mempengaruhi hidroklimat; memiliki daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut serta dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya.

Menurut Undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Pasal 1, pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2 000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. UNCLOS (United Nations Convention of the Law on the Sea) (1982) bab VIII pasal 121 ayat 1 mendefinisikan pulau kecil adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi air dan selalu berada/muncul di atas permukaan air pasang tertinggi, mampu menjadi habitat dan memberikan kehidupan dan dimensinya lebih kecil dari daerah daratan.

(36)

Tabel 1 Perbandingan umum ciri-ciri umum pulau oseanik (pulau kecil), pulau kontinental dan benua

PULAU OSEANIK PULAU KONTINENTAL BENUA

Karakteristik Geografis

(37)

adalah pulau yang luasnya kurang atau sama dengan 2 000 km2. Bengen dan Retraubun (2006), menggunakan batasan yang sama, dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 20 000 jiwa.

Berdasarkan morfogenesa dan potensi sumberdaya air, pulau–pulau kecil dapat diklasifikasikan atas 2 kelompok yaitu pulau dataran dan kelompok pulau berbukit. Secara topografi pulau daratan terdiri dari 3 (tiga) kelompok yaitu pulau alluvium, pulau karang (koral) dan pulau atol sedangkan pulau berbukit dikelompokan kedalam 5 (lima) golongan yaitu pulau vulkanik, pulau tektonik, pulau teras terangkat, pulau petabah dan pulau genesis campuran. Berdasarkan tipe dan asal pembentukannya, pulau-pulau kecil dibedakan menjadi pulau benua, pulau vulkanik dan pulau karang sedangkan berdasarkan karakteristik pulau-pulau kecil juga diartikan sebagai wilayah daratan yang terbentuk secara alami yang dikelilingi oleh air laut dan selalu berada di atas permukaan air pada waktu air pasang (UNCLOS 1982).

2.1.2.Karakteristik Pulau-pulau Kecil

Karakteristik ekonomi dari PPK adalah tingkat ketergantungan yang tinggi dari bantuan atau subsidi dari pihak luar dalam hal ini pemerintah pusat. Karakteristik penting lain dari PPK yang terkait dengan pengembangan ekonomi wilayah adalah tingkat insularitas atau terpencil jauh dari daratan induknya (mainland). Persoalan ekonomi PPK yang terkait dengan insularitas, terutama berhubungan dengan persoalan transportasi dan komunikasi, lingkungan ekonomi yang cenderung monopolistic, melimpahnya sumberdaya alam kelautan dan dominasi sektor jasa (Adrianto 2005).

(38)

2.1.3.Permasalahan Pulau-pulau Kecil

Hall (1999) in Adrianto (2005) membagi persoalan lingkungan yang ada di PPK kedalam 2 (dua) persoalan yaitu 1) persoalan lingkungan secara umum (common environmental problems), persoalan ini hampir terjadi di seluruh PPK di dunia yaitu limbah lokal, perikanan, penggunaan lahan, kehutanan dan persoalan hak ulayat pula; 2) persoalan lingkungan lokal (local environmental problems) yang terdiri dari hilangnya tanah (soil loss) baik secara fisik maupun kuantitas, kekurangan air (water shortage), limbah padat dan bahan kimia beracun. Kehilangan tanah baik dalam arti fisik maupun kualitas (kesuburan) terjadi karena erosi yang juga terjadi di berbagai wilayah lainnya. Akan tetapi di PPK dampak dari masalah di atas sangat terasa bagi masyarakat hal ini dikarenakan luas wilayah yang sangat sempit.

Menurut Hein (1990), agar kegiatan ekonomi di PPK mendapat skala yang sesuai maka pengembangan sektor perdagangan menjadi sangat diperlukan, walaupun tergantung pula pada infrastruktur yang ada di PPK tersebut. Lebih lanjut lagi Hein (1990) mengemukakan karakteristik PPK khususnya masalah yang terkait dengan luas lahan (smallness) dan insularitas (insularity) dapat secara bersama-sama memiliki efek terhadap kebijakan ekonomi pembangunan wilayah PPK. Terkait dengan ukuran luas fisik PPK memiliki peluang ekonomi yang sangat terbatas khususnya ketika berbicara tentang skala ekonomi (economics of scale). Berdasarkan dengan karakteristik ukuran luas fisik PPK, maka kegiatan ekonomi yang mungkin adalah kegiatan ekonomi yang terspesialisasi dengan daya dukung di PPK tersebut.

2.1.4.Pengelolaan Pulau-pulau Kecil

(39)

Pengembangan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut PPK, perlu mempertimbangkan berbagai faktor berdasarkan karakteristik yang dimiliki sebuah pulau atau gugusan pulau dan diperlukan pendekatan yang lebih sistematik serta lebih spesifik berdasarkan lokasi (Adrianto 2005). Mengingat rentannya ekosistem pulau dan gugusan pulau kecil, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan yang cenderung menimbulkan dampak negatif yang sangat luas, baik secara ekologis maupun sosial. Pemerintah hanya mengijinkan pemanfaatan antara lain untuk konservasi, budidaya laut, kepariwisataan, usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari, pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga, industri teknologi tinggi non ekstraktif, pendidikan dan penelitian, industri manufaktur dan pengelolaan sepanjang tidak merusak ekosistem dan daya dukung lingkungan (Bengen 2003).

Arah pola pembangunan wilayah pesisir dan laut, terjadi perubahan paradigma dari pembangunan konvensional yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi semata menjadi pembangunan berkelanjutan yang mempertimbangkan kondisi ekologi dan sosial sebagai dasar dalam mencapai peningkatan ekonomi. Dalam United Nations Environmental Programme (UNEP) dan Convention Biological Diversity (CBD) (2004) menyebutkan bahwa keberlanjutan merupakan suatu usaha rekonsiliasi terhadap tiga komponen dasar utama pembangunan yaitu ekologi, sosial dan ekonomi, dimana ekosistem dan keragaman hayati sebagai inti dalam pengelolaan terpadu wilayah pesisir dengan mempertimbangkan tekanan aktivitas manusia, tanpa memperkecil pengembangan sosio-ekonomi.

Menurut Cicin-Sain (1993) bahwa keseluruhan komponen kegiatan di PPK terkait satu sama lain (inextricably linked) dan interaksi serta hasil dari seluruh kegiatan di PPK dapat menciptakan reaksi berganda sekaligus berantai (multiple chain reactions) dari persoalan dan tekanan terhadap ekosistem dan komunitas di PPK. Cambers (1992) in Adrianto (2004) menyebutkan bahwa strategi pengelolaan PPK harus dapat mengaitkan seluruh kegiatan dan stakeholders yang ada di PPK, dengan menggunakan pendekatan yang rekoordinasi. Interaksi antar komponen dalam sistem PPK dapat dilihat pada Gambar 2.

(40)

iklim dan proses pertemuan antara daratan dan lautan (Debance 1999), yang masing-masing merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari 3 komponen PPK yaitu sistem lingkungan daratan, sistem lingkungan laut dan sistem aktivitas manusia.

Gambar 2 Interaksi antar komponen PPK (Debance 1999)

Secara umum kegagalan dalam mengatasi masalah pengelolaan memberikan implikasi antara lain, percepatan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya. Penyebab utama terjadinya kegagalan tersebut antara lain: 1) perbedaan hak-hak (entelimen) yang sangat mencolok antara berbagai lapisan masyarakat, 2) sumberdaya alamnya mengalami semacam akses terbuka (aquasi-open-access resources) yang semua pihak cenderung memaksimumkan keuntungan dalam pemanfaatannya, dan 3) kekurangan dalam sistem penilaian (undervaluation) terhadap sumberdaya alam dalam sistem ekonomi pasar yang terjadi, yang kesemuanya sangat erat kaitannya dengan aspek teknis-finansial dan aspek sosial-ekonomi budaya masyarakat setempat (Anwar dan Rustiadi 2000). Sehingga penting untuk membangun social-ecological system dalam keberlanjutan pulau kecil (Bunce et al. 2009).

Lingkungan Daratan

Lingkungan Perairan

Laut Aktivitas

Manusia

(41)

2.2. Konsep Daya Dukung Pulau-pulau Kecil 2.2.1.Definisi Daya Dukung

Pada dasarnya, konsep daya dukung wilayah pesisir ditujukan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan (Dahuri 2001). Daya dukung tidak memiliki definisi universal. Daya dukung masih menjadi konsep yang sulit dipahami dan pendekatan yang tetap deterministik tidak sesuai untuk pengelolaan. Dengan masalah-masalah ini, daya dukung hanya bisa diuji melalui situasi case-by-case karena sensitivitasnya untuk aspek-aspek seperti lokasi, tipe aktivitas wisata, kecepatan pertumbuhan wisata, dimensi temporal dari teknik pembangunan, dan lain-lain (Simon et al. 2004).

Daya dukung (carrying capacity) dan daya tampung (ocupancy capacity) umumnya dimaksudkan dari segi dukungan terhadap kehidupan biota atau manusia yang ada di suatu pulau (Dahuri 2001). Zhyiyong dan Sheng (2009) mendefinisikan daya dukung sebagai jumlah maksimum orang yang dapat menggunakan suatu kawasan tanpa mengganggu lingkungan fisik dan menurunkan kualitas petualangan yang diperoleh pengunjung. Bengen dan Retraubun (2006) mendefinisikan daya dukung sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan.

(42)

sosial, yakni tingkat kegiatan pembangunan maksimal pada suatu kawasan yang tidak merugikan secara sosial atau terjadinya konflik dengan kegiatan lainnya.

2.2.2.Daya Dukung Lingkungan Ekosistem Pesisir Pulau-pulau Kecil

Daya dukung lingkungan didefinisikan sebagai kapasitas dari suatu ekosistem untuk mendukung pemeliharaan organisme yang sehat baik produktifitasnya, kemampuan beradaptasi dan kemampuan pembaruan (Ceballos-Lasurain 1991). Daya dukung lingkungan sering diekpresikan sebagai jumlah unit pemanfaatan yang masih dapat ditampung oleh lingkungan. Daya dukung menghadirkan batasan dalam melakukan pemanfaatan sumberdaya sehingga ekosistem tersebut tidak mengalami kerusakan akibat aktivitas pemanfaatan. Jika pemanfaatan melebihi ambang batas/kemampuan lingkungan untuk pulih kembali/berasimilasi maka dapat dikatakan bahwa pemanfaatan tersebut melebihi daya dukung. Artinya jika memanfaatkan sumberdaya dapat pulih seperti penangkapan ikan karang di terumbu karang, maka tingkat penangkapannya tidak boleh melebihi potensi lestari stok ikan tersebut dan tidak boleh merusak terumbu karang. Begitu juga dengan pemanfaatan mangrove untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat, tingkat pemanfaatan mangrove tidak boleh merusak ekosistem mangrove (Azizy 2009).

Daya dukung suatu wilayah ditentukan oleh: 1) kondisi biogeofisik wilayah, dan 2) permintaan manusia, sumberdaya alam, dan jasa lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Dahuri 2001). Dahuri (2001) menambahkan, daya dukung wilayah pesisir dapat ditentukan/diperkirakan dengan cara menganalisis: 1) variabel kondisi biogeofisik yang menyusun kemampuan wilayah pesisir dalam memproduksi/menyediakan sumberdaya alam dan jasa lingkungan; 2) variabel sosial-ekonomi-budaya yang menentukan kebutuhan manusia yang tinggal di wilayah pesisir tersebut atau yang tinggal di luar wilayah pesisir, tetapi berpengaruh terhadap perubahan sumberdaya alam dan jasa lingkungan di wilayah tersebut.

2.2.3.Indikator Daya Dukung Pulau-pulau Kecil

(43)

menyediakan kemungkinan kepada kita untuk menjelaskan dan menerapkan serta proses yang harus dilakukan. Pengembangan suatu kegiatan dalam beberapa kasus perlu suatu inti satuan indikator, faktor yang mencerminkan tekanan dan status pokok (endemic dan mengancam jenis). Indikator ini digunakan untuk memonitor dan mengidentifikasi pelanggaran batas daya dukung kegiatan di pulau kecil. Implikasi dari pengukuran indikator adalah untuk kepekaan dari lokasi dalam telaah. Penggunaan indikator dengan mengidentifikasi dan membatasi setiap kegiatan aktivitas dan kegiatan dengan suatu ukuran yang sederhana namun fleksibel. Penetapan batas indikator ini diperlukan untuk mengelola kawasan yang bernilai ekonomi dan ekologi tinggi.

Tabel 2 Indikator lingkungan di pesisir dan pulau kecil

No. Thematik Area Pesisir Pulau Kecil

Indikator Fisik-Ekologi

1 Investasi dan pendapatan kegiatan wisata P P

2 Tenaga kerja P P

3 Penghasilan dan penerimaan masyarakat P P

4 Kebijakan pengembangan kawasan P P

Sumber : Cocosis (2005) in PKSPL IPB (2005) Keterangan: P = Prioritas

(44)

2) Indikator Demographic-Sosial dan; 3) Indikator Politis-Ekonomi. Indikator lingkungan dapat dijelaskan pada Tabel 2.

Semua indikator tersebut secara langsung berhubungan dengan konsep dan implementasi dari aktivitas di pulau kecil. Indikator keberlanjutan juga diperlukan ketika terjadi indikasi terjadinya perubahan kemampuan untuk bertahannya sumberdaya tersebut. Dalam pembuatan dan pemilihan kebijakan, atau perencana dapat menyusun indikator yang sesuai untuk wilayahnya.

2.3. Wisata

2.3.1.Definisi Wisata

Wisata dikategorikan atas dua bagian yaitu: wisata pesisir dan wisata bahari. Wisata pesisir adalah wisata yang berhubungan dengan kegiatan leisure dan aktivitas rekreasi yang dilakukan di wilayah pesisir dan perairan lepas pantai, meliputi rekreasi menonton ikan paus dari pinggiran pantai, berperahu, memancing, snorkeling dan menyelam. Sedangkan wisata bahari adalah wisata yang berhubungan dengan wisata pantai tetapi lebih mengarah pada perairan laut dalam seperti: memancing di laut dalam dan berlayar dengan kapal pesiar (Hall 2001).

Orams (1999) menyatakan bahwa wisata bahari merupakan suatu kegiatan rekreasi, dari satu tempat ke tempat lain dimana laut sebagai media tempat mereka. Sedangkan Hidayat (2000) menyatakan bahwa wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang menyangkut dengan laut seperti bersantai di pantai menikmati alam sekitar, berenang, berperahu, berselancar, ski air, menyelam dan berwisata ke alam laut (menikmati terumbu karang dan biota laut), obyek purbakala, kapal karam dan pesawat tenggelam, serta berburu ikan-ikan.

(45)

dan Plant 1989 in Yulianda 2007). Yulianda (2007) menambahkan, bahwa kenikmatan yang diperoleh dari perjalanan tersebut merupakan suatu jasa yang diberikan alam kepada manusia, sehingga manusia merasa perlu untuk mempertahankan eksistensi alam.

Pariwisata yang menyangkut perjalanan ke kawasan alam yang secara relatif belum terganggu dengan tujuan untuk mengagumi, meneliti dan menikmati pemandangan yang indah, tumbuh-tumbuhan serta binatang liar maupun kebudayaan disebut ekowisata (Wall 1995 in Yulianda 2007). Berdasarkan konsep pemanfaatan, wisata dapat diklasifikasikan menjadi tiga (Fandeli 2000 dan META 2002), yaitu:

1. Wisata Alam (nature tourism), merupakan aktivitas wisata yang ditujukan pada pengalaman terhadap kondisi alam atau daya tarik panoramanya.

2. Wisata Budaya (cultural tourism), merupakan wisata dengan kekayaan budaya sebagai objek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan.

3. Ekowisata (ecotourism, green tourism atau alternative tourism), merupakan wisata yang berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan.

2.3.2.Konsep Pengelolaan Wisata

Wisata memberikan keuntungan dalam mengatasi keterbatasan ukuran dalam tiga cara. Pertama, menyediakan volume barang dan jasa yang cukup memenuhi permintaan pasar secara efisien dan skala ekonomi yang mampu menyediakan lebih barang dan jasa sehingga menurunkan biaya satuan produksi. Kedua, meningkatkan persaingan dengan mendorong pendatang baru di pasar, sehingga memberikan dampak positif pada tingkat harga barang dan layanan. Ketiga, wisata dengan memberikan skala dan kompetisi bersama dengan pilihan konsumen yang lebih besar dan keterbukaan perdagangan, dapat meningkatkan taraf hidup sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup di sebuah negara kecil. Mullen (1993) menegaskan bahwa keterbukaan perdagangan ekonomi merangsang pertumbuhan yang pada gilirannya memenuhi kebutuhan dasar populasi.

(46)

untuk selalu mencari investasi baru dalam fasilitas dan periklanan (Gunn 1994). Ukuran ekonomi wisata tidak sederhana maupun universal. Dampak positif wisata, terlihat bahwa wisata memperkuat ekonomi banyak daerah. Manfaat

ekonomi ini dipahami sebagai sebuah “pertambahan kotor” pada kekayaan atau income, diukur dari segi keuangan seseorang di suatu lokasi (Frechtling 1987 in Gunn 1994). Manfaat ekonomi bisa dilihat dari dampak primer dan dampak sekunder (Tabel 3).

Dampak negatif juga pasti akan diterima oleh daerah pengembangan wisata. Saveriades (2000) menyatakan bahwa secara luas terdapat perubahan dalam gaya hidup, tradisi, tingkah laku sosial dan standar-standar moral, khususnya generasi muda. Tak dapat dielakkan bahwa pembangunan wisata mempengaruhi perubahan karakter sosial dari destinasi secara langsung (baik positif atau negatif) dan besarnya perubahan ini bergantung pada daya dukung destinasi terhadap hubungan dengan volume aktivitas wisata.

Tabel 3 Manfaat ekonomi perjalanan dan wisata

No. Manfaat

A. Primer atau manfaat langsung 1. Pemasukan bisnis

2. Penghasilan

a. Penghasilan buruh dan pemilik

b. Keuntungan perusahaan, dividens, interests dan persewaan 3. Tenaga kerja

1. Manfaat tidak langsung dihasilkan dari pengeluaran bisnis primer, termasuk investasi

a. Pemasukan bisnis b. Penghasilan c. Tenaga kerja

d. Pemasukan pemerintah

2. Manfaat imbas dihasilkan dari pembelanjaan dari pemasukan primer a. Pemasukan bisnis

b. Penghasilan c. Tenaga kerja

(47)

Kajian kondisi biofisik bermanfaat untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menghalangi pertumbuhan dan pengembangan inisiatif wisata di masa mendatang. Kajian ini bisa digunakan untuk menduga pendekatan rencana dan pengelolaan wisata sehingga faktor pembatas, seperti kekurangan air bisa dielakkan, sebagai contoh: membangun dasar sistem pembuangan limbah. Keinginan outcomes biofisik, sosial dan ekonomi harus diatur melalui proses bersama yang menyertakan semua stakeholders dan program monitoring yang ditaruh di tempat yang bisa mendeteksi perubahan dan respon untuk perubahan. Bagaimanapun, kurangnya pengetahuan, khususnya biofisik lingkungan, menghambat pembuatan keputusan. Kualitas air daerah pantai, cadangan air tanah, geomorfologi dan survei keanekaragaman laut perlu dimasukkan sebagai kebutuhan membuat keputusan. Meratanya kondisi biofisik dapat menyediakan sebuah indikator dari skala wisata yang mungkin akan berkembang di masa depan, sehingga dapat diduga tipe pembangunan yang tepat (Teh dan Cabanban 2007).

Konsep pengelolaan wisata tidak hanya berorientasi pada keberlanjutan tetapi juga mempertahankan nilai sumberdaya alam dan manusia. Oleh karena sifat sumberdaya dan ekosistem pesisir dan lautan alami sering rentan dan dibatasi oleh daya dukung, maka pengembangan pasar yang dilakukan menggunakan pendekatan product driven, yaitu disesuaikan dengan potensi, sifat, perilaku objek daya tarik wisata alam dan budaya yang tersedia, seperti in situ, tidak tahan lama (perishable), tidak dapat pulih (non recoverable) dan tidak tergantikan (non substitutable) diusahakan untuk menjaga kelestarian dan keberadaannya (Yulianda 2007).

Dibutuhkan perencanaan menggunakan metodologi yang efektif untuk membantu pengelola dan pembuat kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya, memperkirakan rencana kebijakan, menghindari konflik pemanfaatan dan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan (Parolo et al. 2009). Didalam pengelolaan wisata banyak instrumen yang dibutuhkan, perhatian untuk kontribusi konservasi dan legitimasi (van der Duim dan Caalders 2002).

(48)

lingkungan dengan tipe-tipe yang berbeda, tingkat hubungan dan pembangunan organisasi pada kondisi yang berbeda. Utamanya perusahaan dan organisasi wisata yang membutuhkan peringatan lebih jauh untuk pembangunan wisata

berkelanjutan (Erkuş-Öztürk dan Eraydin 2010).

Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak wisata adalah membatasi trak, perjalanan, jalan, tempat pemandangan, tempat camp permanen dan penyediaan akomodasi (Pickering dan Hill 2007) serta menentukan jenis aktivitas wisata (Landry dan Taggart 2010) dan membatasi jumlah wisatawan (Pickering dan Hill 2007).

Derajat daerah bisa dikatakan berkelanjutan untuk wisata dan rekreasi bergantung pada lingkungan fisik, tingkah laku pengunjung dan pengelolaan yang tepat. Terdapat beberapa model dan proses pembangunan dalam respon yang dibutuhkan pengelola area konservasi untuk meminimalkan dampak-dampak dari pemanfaatan pengunjung, saat menyediakan kualitas pengalaman pengunjung (Gambar 3). Industri wisata (termasuk subsektor ekowisata) juga telah berdiri dengan sukses dari area konservasi berkelanjutan dan masing-masing dibuat kebutuhan untuk mengembangkan model dari potensi dampak pengunjung dan pengelolaan yang tepat untuk mitigasi dampak (Brown et al. 2006).

Wisata juga menawarkan kesempatan terbaik untuk pembangunan yang diistilahkan sebagai pertumbuhan dan menciptakan lapangan kerja, menghasilkan valuta asing serta mengurangi kemiskinan. Sebuah studi empiris untuk menentukan volatilitas wisata di Karibia, Maloney dan Rojas (2001) menyimpulkan bahwa pendapatan berasal dari wisata dua kali sampai lima kali lebih stabil sebagai penerimaan barang. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan wisata cenderung stabil dibandingkan penerimaan barang.

(49)

caranya menciptakan penjualan tetapi bagaimana memuaskan kebutuhan pelanggan.

Keterangan: I-O Models: Input Output Models; TFS: Tourism Futures Simulator; TOMM: Tourism Optimisation Management Models; SIA: Social Impact Assessment; ROS: Recreation Opportunity Spectrum; EE: Ecolgical Economics; EF: Ecological Footprint; CC: Carrying Capacity; RBSIM:

Recreation Behaviour Simulation Model; LAC: Limits of Acceptable Change; VERP: Visitor Experience and Resource Protection; VIM: Visitor Impact Management; VAMP: Visitor Activities

Gambar 3 Peta konsep, kerangka dan model wisata pesisir dan laut berkelanjutan (modifikasi dari Brown et al. 2006)

2.4. Recreation Opportunity Spectrum (ROS)

2.4.1.Konsep Recreation Opportunity Spectrum (ROS)

(50)

sebagai kerangka bagi perencana rekreasi untuk dapat menetapkan tipe-tipe peluang yang tersedia di lokasi yang diberikan. Kunci pendekatan konsep adalah bahwa seseorang memiliki peluang rekreasi ketika mereka bisa mengerti sebuah aktivitas dengan sebuah pengaturan dan melalui ini mendapatkan sebuah pengalaman dengan harapan lebih menyukai pengalaman. ROS didisain tidak hanya untuk menggambarkan tipe-tipe peluang yang disediakan, tetapi juga membantu dalam mengatur batas pembangunan di area tertentu.

Tujuan dari penerapan ROS adalah untuk mendapatkan keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi. ROS mendukung zonasi dan pembangunan pengalaman rekreasi dimana wilayah diklasifikasikan dan dibagi berdasarkan kondisi lingkungan dan aktivitas rekreasi. Pada umumnya berbagai kegiatan yang ingin dicapai dalam sebuah aktivitas rekreasi akan mengarahkan orang ke wilayah tertentu yang berpotensi dan hal ini akan menimbulkan konflik.

Joyce dan Sutton (2009) menjelaskan bahwa ROS telah digunakan secara internasional sebagai alat untuk pedoman perencanaan rekreasi. Pengembangan sebuah peluang-peluang rekreasi haruslah memperhatikan faktor lingkungan, sosial dan manajerial yang dapat dikombinasikan dalam cara yang berbeda sebagaimana digambarkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Hubungan antara faktor-faktor ROS (Emmelin 2006)

Kondisi lingkungan merupakan kualitas dari bentuk landscape dan seascape; kondisi sosial adalah bagaimana landscape dan seascape dimanfaatkan oleh masyarakat dan; kondisi manajerial adalah bagaimana sebuah wilayah dikelola. Total dari faktor tersebut menciptakan spektrum. Spektrum terdiri atas

FAKTOR

The Recreation Opportunity Spectrum Alami

Kepadatan rendah

Tidak berkembang

Kondisi Lingungan

Kondisi Sosial

Kondisi Manajerial

Tidak alami

Kepadatan tinggi

(51)

kelas-kelas yang berbeda dimana wilayah dizonasikan sebagai primitive, semi-primitive, non-motorized, semi-primitive motorized, rustic, concentrated dan modern urban (Manning 1999).

Faktor utama dalam menentukan kelas ROS adalah kondisi. Kondisi menggambarkan keseluruhan lingkaran luar dimana aktivitas terjadi, mempengaruhi keragaman aktivitas dan pada akhirnya menentukan keragaman rekreasi yang dapat dilakukan. ROS merangkum keragaman dari kondisi rekreasi berdasarkan pengalaman tertentu. Kondisi rekreasi terdiri dari atribut lingkungan fisik, sosial dan manajerial. Kombinasi dari atribut-atribut tersebut membentuk aktivitas tertentu yang mengarahkan pada suatu pengalaman.

Tujuan dari seseorang yang berekreasi adalah memperoleh kepuasan dengan pengalaman yang menyenangkan, melalui keterlibatan mereka didalam kegiatan-kegiatan yang disukai pada kondisi lingkungan yang juga mereka sukai. Kesempatan untuk mencapai pengalaman yang memuaskan tergantung pada elemen-elemen alami seperti vegetasi, seascape dan pemandangan, serta kondisi-kondisi yang dikontrol oleh manajemen kawasan, seperti pengembangan kawasan, jalan dan regulasi. Sehingga tujuan dari pengelolaan sumberdaya rekreasi adalah menjadikan sumberdaya dapat memberikan kesempatan untuk memperoleh jenis-jenis pengalaman dengan mengelola kondisi kealamian dan kegiatan-kegiatan di dalamnya (Canada National Park Service 1997).

ROS dibagi kedalam enam kelas, berkisar dari betul-betul alami atau area penggunaan yang rendah, sampai kepada pembangunan yang tinggi atau area penggunaan yang rendah, sampai kepada pembangunan yang tinggi atau areal penggunaan intensif (fasilitas/kendaraan tergantung pada kesempatan rekreasi). Masing-masing kelas didefinisikan dalam tiga komponen prinsip yaitu: kondisi lingkungan, kemungkinan kegiatan-kegiatan dan pengalaman yang dapat dicapai.

(52)

Emmelin (2006) menjelaskan kegunaan ROS sebagai berikut:

1. Untuk menemukan permintaan lingkungan yang berbeda dalam mencapai rekreasi antara wilderness dan alam yang dibuat.

2. Untuk lebih memudahkan valuasi dampak dan konsekuensi antara rekreasi dan keinginan lain.

3. Untuk menguraikan pengelolaan dalam dasar perilaku dalam membuat nilai konsumen lebih valid.

2.4.2.Kondisi Peluang Rekreasi

Menurut Kohl (2003) in Anggraini (2008) ROS mencakup sebuah kondisi berbagai rekreasi dimana pengalaman tertentu mungkin diperoleh. Terdapat tujuh elemen dasar untuk menginventarisasi dan melukiskan kondisi rekreasi. Ketujuh elemen tersebut adalah akses, keterpencilan, kealamian, fasilitas dan kawasan pengelolaan, pengelolaan pengunjung, perjumpaan sosial dan dampak pengunjung.

(53)

atau mengurangi pengalaman yang diinginkan; Perjumpaan sosial melibatkan jumlah dan tipe pertemuan pengunjung satu sama lain di dalam sebuah areal rekreasi. Termasuk mengukur luasan dimana sebuah kawasan memberikan pengalaman kesunyian atau interaksi sosial; dan Dampak pengunjung adalah sesuatu yang berpengaruh terhadap sumberdaya alam seperti tanah, vegetasi, udara, air dan kehidupan liar. Walaupun pada tingkat penggunaan yang rendah, pengunjung dapat menghasilkan dampak ekologi yang signifikan, dan dampak-dampak ini juga dapat mempengaruhi pengalaman pengunjung.

2.4.3.Perkembangan ROS

ROS pada awalnya dikembangkan oleh Roger Clark dan George Stankey pada tahun 1979 untuk mengklasifikasi aktivitas wisata di kawasan hutan. Alat ini sangat membantu dalam menganalisis luas area lahan yang dimanfaatkan untuk rekreasi (Manning 1986 in Orams 1999).

Berbagai jarak peluang-peluang untuk wisata kemudian dibuat kembali terhadap lingkungan laut yang bisa dilihat sebagai spektrum (The Spectrum of Marine Recreation Opportunities – SMRO) (Tabel 4). Kategori spektrum-spektrum tersebut berdasarkan pada jarak dari pantai karena merupakan single factor yang paling kuat terhadap aktivitas-aktivitas yang diambil, pengalaman yang tersedia dan tipe lingkungan (Orams 1999).

Tahun 2004, ROS dikembangkan kembali oleh Aukerman dan Haas dan menjadi WROS (Water Recreation Oportunity Spectrum). Mereka menggolongkan ROS kedalam enam tipe, yaitu: urban, sub urban, rural developed, rural natural, semi-primitive dan primitive. Sedangkan untuk indikatornya dibagi kedalam 3 pengaturan, yaitu fisik, sosial dan manajerial. Rincian kategori yang telah dibuat dapat dilihat pada Tabel 5.

(54)

Tabel 4 The Spectrum of Marine Recreation Opportunity (SMRO)

Lokasi Dekat atau area urban

Joyce dan Sutton (2009) menyebutkan bahwa ROS tersebut dibagi kedalam 6 kelas, dan berbeda dengan kelas Aukerman dan Haas (2004) dan Orams (1999), tetapi indikator yang dibuat merupakan sintesis dari indikator-indikator yang telah dibuat sebelumnya. Kelas dan kategori yang digunakan oleh Joyce dan Sutton (2009) dapat dilihat pada Tabel 6.

Intensitas pemanfaatan

(55)

Tabel 5 Kategori dan kelas-kelas Water Recreation Opportunity Spectrum (WROS)

Kategori Urban Suburban Rural

Developed

Sangat asli Sangat amat asli

(56)

Tabel 6 Ringkasan karakteristik spasial dari setiap kelas ROS

Kelas ROS Karakteristik Spasial

Urban Tutupan area bangunan

Rural - Perkebunan

- Kebun buah dan tanaman tahunan lainnya - Padang rumput produksi (rendah dan tinggi) - Penghutanan

- Hutan produksi

- Cemara (terbuka dan tertutup)

Frontcountry - Didalam 100 m dari jalan 2 wd

- Didalam 100 m dari easy track (dengan kata lain, bukan rute

atau trak petualangan) yang berada didalam 1.5 km dari jalan 2wd

- Didalam 100 m akses penggunaan kendaraan yang sangat tinggi (udara dan laut)

Backcountry - Didalam 2 km dari jalan 2 wd dan 4 wd

- Didalam 100 m dari semua trak hingga jarak linier 2 km menjauh dari jalan 2 wd

- Didalam 100 m dari semua trak dengan jumlah pengunjung tahunan > 450

- Didalam 250 m dari akses penggunaan kendaraan yang tinggi (udara dan laut)

- Didalam 100 m dari semua pondok dan campsites dengan

jumlah pengunjung tahunan > 350

Remote - Semua area yang belum terklasifikasikan hingga jarak 10 km

dari jalan 2 wd

- Dengan 100 m dari sisa trak, pondok dan campsites

- Sekitar bakcountry dimana paling sedikit 1 km

Wilderness - Sisa area

- Poligon tersendiri > 2 000 ha (kecuali pulau yang kurang lebih dari total area)

Sumber: Joyce dan Sutton (2009) Keterangan:

(57)

Gambar 5 Diagram konseptual untuk output ROS modelling (diagram tidak termasuk kelas urban dan rural) (Joyce dan Sutton 2009)

Kelas-kelas dalam ROS berbasis pada SIG dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Urban dan Rural

Peluang urban untuk rekreasi publik utamanya diatur oleh pemerintah kota, saat area rural sebagian besar milik pribadi. Alasan ini tidak tepat untuk dibicarakan secara ekstensif pada tipe-tipe peluang yang ada didalam pengaturannya, walaupun pemilik memelihara untuk memiliki fasilitas-fasilitas yang sama pada frontcountry, saat pengaturan dimodifikasi secara besar dan khusus.

2. Frontcountry

(58)

selalu berhubungan pada satu rezim pengelolaan serta pembangunan infrastruktur yang baik untuk mendukung volume pengunjung.

3. Backcountry

Peluang-peluang backcountry terjadi pada pengaturan alam skala besar, umumnya akses pertama melalui zona frontcountry. Zona ini termasuk jalan-jalan populer dengan jarak yang jauh maupun petualangan malam, dan juga permainan berburu yang luas dan memancing di sungai. Fasilitas-fasilitas di zona ini meliputi trak kendaraan empat wheel drive dengan jumlah terbatas pada suatu tempat, pembangunan trak petualangan yang baik maupun yang lebih besar. Terdapat tanda batasan dari kontrol pengelolaan, dan terdapat level kelayakan tantangan untuk mengunjungi tempat-tempat di dalam zona ini. Perjumpaan dengan pengunjung lainnya berada pada tingkat medium sampai rendah.

4. Remote

Diluar cakupan backcoutry terbentuk zona-zona remote, yang mana tipikalnya wild lands ada bagian dalam area konservasi, dengan basic trak pemanfaatan rendah, rute-rute yang ditandai dan gubuk. Terdapat ekspektasi yang layak diisolasi dari penglihatan dan suara aktivitas-aktivitas manusia lainnya. Orang memanfaatkan zona ini harus berfisik fit dan memerlukan level keterampilan yang tinggi untuk backcountry survival.

5. Wilderness

Wilderness terdiri atas area alam yang besar, menggambarkan luasnya sekeliling zona remote, dan tidak ada fasilitas pengunjung. Pada area ini, seseorang awalnya harus telah melalui zona backcountry dan remote. Disini seseorang akan menemukan isolasi lengkap dari penglihatan dan suara dari aktivitas-aktivitas manusia lain.

2.5. Ecological Footprint (EF)

(59)

konseptual EF dimulai dari dasar pemikiran bahwa seseorang bergantung pada biosphere untuk tetap menyuplai kebutuhan dasar untuk hidup; energi untuk penghangat dan mobilitas; kayu untuk rumah; produk furnitur dan kertas, serat untuk pakaian; kualitas makanan dan air untuk kesehatan hidup; penyerapan secara ekologi untuk menyerap limbah; dan banyak jasa pendukung kehidupan non konsumsi (Wackernagel dan Yount 1998; Ferguson 1999; Chamber et al. 2001).

Konsep EF bisa dikatakan sebagai sebagai sebuah metode untuk meningkatkan kesadaran dari dampak manusia pada penderitaan (Moffat 2000). Secara perspektif ekologi, salah satu strategi yang dilakukan untuk tujuan keberlanjutan pemanfaatan melalui penilaian terhadap sumberdaya alam. Pendekatan yang digunakan dalam penilaian sumberdaya melalui analisis EF. Dasar pemikiran analisis pendekatan ini berasal dari konsep daya dukung (Carrying Capacity) kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia. Selain ini, pendekatan EF membantu dalam pengambilan keputusan terhadap pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan (Wackernagel dan Rees 1996; Tavallai dan Sasanpour 2009).

Ide daya dukung sebelumnya banyak dibangun dan diaplikasikan pada studi ekologi. Konsep daya dukung dapat dilihat seperti menetapkan daya dukung lingkungan alam atas sumberdaya, baik lingkungan sosial-ekonomi (populasi, pola konsumsi, dampak manusia, dan lain-lain) yang mempengaruhi daya dukung dari sistem manusia (Wackernagel et al. 1999; Charles 2000). Salah satu indikator keberlanjutan adalah EF (Charles 2000).

Analisis EF dapat memberikan kita area total yang dibutuhkan populasi dengan standar hidup yang ada. Jika total area yang digunakan oleh populasi lebih kecil dibandingkan total area dalam EF, perbedaan dalam sebuah indikator dari luas area sebenarnya adalah tidak cukup (tidak berkelanjutan) untuk mendukung populasi (Barker 2002; Roth et al. 2000; Wackernagel dan Rees 1996; Charles 2000; Chambers et al. 2001 Wackernagel dan Yount 2000).

(60)

terkait pada kapasitas area yang dimiliki untuk menyediakan aktivitas tersebut. Analisis EF berbasis pada dua asumsi. Pertama, yaitu kemungkinan menjadi daerah pencaharian dari umumnya sumberdaya yang dikonsumsi populasi manusia dan limbah yang dihasilkan populasi. Kedua, yakni sumberdaya dan aliran-aliran limbah dapat dikonversi menjadi sebuah kebutuhan area produktif biotik untuk menyediakan sumberdaya dan untuk mengasimilasi limbah (Wackernagel dan Yount 1998).

Satuan ukur untuk menghitung footprint adalah global hektar (gha). Ini biasanya hektar yang mewakili rata-rata produksi dari seluruh area bioproduktif bumi. Lebih tepat global hektar adalah satu hektar secara biologis ruang produktif dengan produktivitas rata-rata dunia yang diberikan per tahun (Wackernagel et al. 2006). Menurut Wilson dan Anielski (2005) EF sebagai ukuran permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa, jumlah area dan badan air (laut, danau dan sungai) yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan relatif terhadap produksi area lahan dan laut secara biologis yang menyediakan barang dan jasa alam. Ini dilakukan dengan menghitung dan membandingkan konsumsi manusia secara langsung terhadap produktivitas yang terbatas dari alam.

EF bertujuan untuk menggambarkan penyediaan lahan produktif secara biologi oleh individu atau negara dengan menggunakan kesamaan ruang (space equivalents). Pendekatan ini dengan membandingkan area yang dibutuhkan untuk mendukung gaya hidup tertentu dengan area yang ada, sehingga menghasilkan suatu instrumen untuk mengkaji konsumsi yang secara ekologi berkelanjutan (Wackernagel dan Rees 1996; Chamber et al., 2000 in Gössling 2002). Luas area dapat diambil dari jumlah energi dimana setiap 100 GJ energi setara dengan 1 ha dari lahan ekologi (Tavallai dan Sasanpour 2009).

Gambar

Gambar 1 Diagram kerangka pemikiran penelitian
Tabel 1 Perbandingan umum ciri-ciri umum pulau oseanik (pulau kecil), pulau
Gambar 3 Peta konsep, kerangka dan model wisata pesisir dan laut berkelanjutan
Tabel 4 The Spectrum of Marine Recreation Opportunity (SMRO)
+7

Referensi

Dokumen terkait

deliberatif tidak dapat dipisahkan dari pergeseran orientasi dari government ke governance di satu sisi, dan manifestasi demokrasi deliberatif dalam proses kebijakan publik di

Universitas Kristen Maranatha

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah snowball sampling dan purposive sampling dengan menggunakan 96 responden yang berdomisili di

Akhirnya dengan adanya film ini sebagai suatu gambaran dari kehidupan masyarakat multikultur di jerman, kemunculan film ini sendiri memberikan semacam pengakuan dari orang Turki

Pada peringkat latency, kanak-kanak akan mula mengambil tahu tentang rakan sebaya, mula menjauhkan diri kanak-kanak akan mula mengambil tahu tentang rakan sebaya, mula menjauhkan

Adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sehubungan dengan penelitian skripsi berjudul : "Pengaruh Komitmen

[r]

Saya sedang melakukan penelitian yang berjudul “Pengetahuan ibu tentang Pemantauan Pertumbuhan Balita 0-59 bulan dan Penggunaan KMS di Klinik Sari Medan Tahun 2012 “Pertumbuhan