• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Petai (Parkia speciosa Hassk.) Terhadap Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Petai (Parkia speciosa Hassk.) Terhadap Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

DEVI AYU KURNIAWATI Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Petai (Parkia speciosa Hassk.) Terhadap Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Dibimbing oleh HASIM DANURI dan DIDAH NUR FARIDAH.

Parkia speciosa Hassk. biasa disebut petai merupakan tanaman yang biasa dikonsumsi bijinya sebagai makanan, namun belum dikembangkan bagian tanaman lainnya sebagai tanaman obat. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui aktivitas antibakteri dalam ekstrak kulit petai terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan metode sumur agar.Ekstrak kulit petai yang digunakan adalah hasil ekstraksi dari pelarut n-heksana, etil asetat dan etanol 70%. Konsentrasi yang digunakan sebesar 50, 100, 150, 200, 250, dan 300 mg/mL untuk setiap pelarut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat memiliki aktivitas antibakteri tertinggi, yaitu 404,51% dari aktivitas antibiotik streptomisin 10 mg/mL terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan 279,12% dari aktivitas antibiotik streptomisin 10 mg/mL terhadap bakteri Escherichia coli. Hasil kromatografi lapis tipis terhadap ekstrak etil asetat kulit petai dengan pelarut toluen:etil asetat (93:7) menunjukkan terbentuknya delapan titik dibawah lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm yang berarti ekstrak etil asetat kulit petai memiliki depan komponen penyusun. Hasil analisis statistik menggunakan program SPSS 16. for windows menunjukkan bahwa perbedaan dari pelarut dan variasi konsentrasi yang diujikan pada taraf nyata 95%, keduanya memberikan pengaruh yang nyata terhadap diameter zona hambat bakteri.

Kata kunci: antibakteri, Escherichia coli, KLT, Parkia speciosa Hassk., Staphylococcus aureus.

ABSTRACT

DEVI AYU KURNIAWATI Antibacterial Activity of Parkia speciosa Hassk. Peel to Escherichia coli and Staphylococcus aureus Bacteria. Supervised by HASIM DANURI dan DIDAH NUR FARIDAH.

Parkia speciosa Hassk. is one of edible plants that not developed as medicinal plants yet.The purpose of this research is to study antibacterial activity of peel extract to Staphylococcus aureus and Escherichia coli bacteria with gel diffusion (well method). Peel extract that used in this research were from extraction of n-hexane, ethyl acetate, and ethanol 70%. The concentration were 50, 100, 150, 200, 250, and 300 mg/mL for every solvent. The result of this research showed that ethyl acetate extract has the highest antibacterial activity with 404,25% of 10 mg/mL streptomycin’s antibacterial activity agains Staphylococcus aureus, and 279,12% of 10 mg/mL streptomycin’s antibacterial activity agains Escherichia coli. TLC result showed that ethyl acetate extract with toluene:ethyl acetate (93:7) as solvent has eight spots under 254 nm UV that was mean ethyl acetate extract of petai peel consisted of eight compound. The result of Analysis of Variance with SPSS 16 program for windows showed that variance of solvents and concentration were significantly different for inhibition areas.

(2)

AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK KULIT PETAI (Parkia speciosa Hassk.) TERHADAP BAKTERI Escherichia coli dan

Staphylococcus aureus

DEVI AYU KURNIAWATI

DEPARTEMEN BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK KULIT PETAI (Parkia speciosa Hassk.) TERHADAP BAKTERI Escherichia coli dan

Staphylococcus aureus

DEVI AYU KURNIAWATI

DEPARTEMEN BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)
(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Petai (Parkia speciosa Hassk.) Terhadap Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(6)

ABSTRAK

DEVI AYU KURNIAWATI Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Petai (Parkia speciosa Hassk.) Terhadap Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Dibimbing oleh HASIM DANURI dan DIDAH NUR FARIDAH.

Parkia speciosa Hassk. biasa disebut petai merupakan tanaman yang biasa dikonsumsi bijinya sebagai makanan, namun belum dikembangkan bagian tanaman lainnya sebagai tanaman obat. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui aktivitas antibakteri dalam ekstrak kulit petai terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan metode sumur agar.Ekstrak kulit petai yang digunakan adalah hasil ekstraksi dari pelarut n-heksana, etil asetat dan etanol 70%. Konsentrasi yang digunakan sebesar 50, 100, 150, 200, 250, dan 300 mg/mL untuk setiap pelarut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat memiliki aktivitas antibakteri tertinggi, yaitu 404,51% dari aktivitas antibiotik streptomisin 10 mg/mL terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan 279,12% dari aktivitas antibiotik streptomisin 10 mg/mL terhadap bakteri Escherichia coli. Hasil kromatografi lapis tipis terhadap ekstrak etil asetat kulit petai dengan pelarut toluen:etil asetat (93:7) menunjukkan terbentuknya delapan titik dibawah lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm yang berarti ekstrak etil asetat kulit petai memiliki depan komponen penyusun. Hasil analisis statistik menggunakan program SPSS 16. for windows menunjukkan bahwa perbedaan dari pelarut dan variasi konsentrasi yang diujikan pada taraf nyata 95%, keduanya memberikan pengaruh yang nyata terhadap diameter zona hambat bakteri.

Kata kunci: antibakteri, Escherichia coli, KLT, Parkia speciosa Hassk., Staphylococcus aureus.

ABSTRACT

DEVI AYU KURNIAWATI Antibacterial Activity of Parkia speciosa Hassk. Peel to Escherichia coli and Staphylococcus aureus Bacteria. Supervised by HASIM DANURI dan DIDAH NUR FARIDAH.

Parkia speciosa Hassk. is one of edible plants that not developed as medicinal plants yet.The purpose of this research is to study antibacterial activity of peel extract to Staphylococcus aureus and Escherichia coli bacteria with gel diffusion (well method). Peel extract that used in this research were from extraction of n-hexane, ethyl acetate, and ethanol 70%. The concentration were 50, 100, 150, 200, 250, and 300 mg/mL for every solvent. The result of this research showed that ethyl acetate extract has the highest antibacterial activity with 404,25% of 10 mg/mL streptomycin’s antibacterial activity agains Staphylococcus aureus, and 279,12% of 10 mg/mL streptomycin’s antibacterial activity agains Escherichia coli. TLC result showed that ethyl acetate extract with toluene:ethyl acetate (93:7) as solvent has eight spots under 254 nm UV that was mean ethyl acetate extract of petai peel consisted of eight compound. The result of Analysis of Variance with SPSS 16 program for windows showed that variance of solvents and concentration were significantly different for inhibition areas.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Biokimia

AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK KULIT PETAI (Parkia speciosa Hassk.) TERHADAP BAKTERI Escherichia coli dan

Staphylococcus aureus

DEPARTEMEN BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

(8)
(9)

Judul Skripsi :Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Petai (Parkia speciosa Hassk.) Terhadap Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus Nama : Devi Ayu Kurniawati

NIM : G84090057

Disetujui oleh

Dr drh Hasim, DEA Pembimbing I

Dr Didah Nur Faridah, STP, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr I Made Artika, MAppSc Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, karunia serta kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Salawat serta salam selalu tercurahkan kepada nabi besar kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan orang-orang yang berjuang menegakkan ajaran agama-Nya.

Karya ilmiahdengan judul Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Petai (Parkia speciosa Hassk.) Terhadap Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureusmerupakan salah satu prasyarat untuk memperoleh gelar sarjana Sains di Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Terwujudnya karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan Bapak Hasim selaku pembimbing utama, Ibu Didah selaku pembimbing kedua, laboratorium penelitian Biokimia IPB, rekan penelitian (Merry, Novi, dan Aya), rekan-rekan Soshi (Riska, Clara, Vadia, Tuhfah, Mina, Irman, Edwin, Suhe, Hilda, Kiki, dan Vita), rekan-rekan wisma Cantik, rekan-rekan pecinta fotografi di komunitas Shutterserta berbagai pihak yang telah mendorong dan membimbing penulis, baik tenaga, ide-ide, maupun pemikiran. Ungkapan terima kasih terutama disampaikan untuk ayahanda Hari Purnomo dan ibunda Yeti Rohayati serta kakak-kakak Desy Sulistyawati ST dan Budi Tri Cahyadi ST atas dukungannya baik secara moril maupun meteril.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1 METODE 2

Waktu dan tempat 2

Alat dan bahan 2

Prosedur penelitian 2

HASIL 6

Kadar air dan rendemen 6

Fitokimia 6

Aktivitas antibakteri ekstrak kulit petai 6

Fraksinasi denga kromatografi lapis tipis 10

PEMBAHASAN 11

Kadar air dan rendemen 11

Fitokimia 11

Aktivitas antibakteri ekstrak kulit petai 12

Jumlah komponen ekstrak etil asetat kulit petai dengan KLT 14

SIMPULAN DAN SARAN 15

Simpulan 15 Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 15

LAMPIRAN 19

(12)

DAFTAR TABEL

1 Kadar air simplisia dan rendemen ekstrak kulit petai metode maserasi 6 2 Kadar air simplisia dan rendemen ekstrak kulit petai metode

ultrasonikasi 6

3 Hasil uji fitokimia 6

4 Nilai tingkat penghambatan ekstrak kulit petai dibandingkan dengan streptomisin 10 mg/mL pada bakteri Staphylococcus aureus 8 5 Nilai tingkat penghambatan ekstrak kulit petai dibandingkan dengan

streptomisin10 mg/mL pada bakteri Escherichia coli 10

DAFTAR GAMBAR

1 Diameter zona hambat pada bakteri Staphylococcus aureus dengan

metode sumur 7

2 Diameter zona hambat pada bakteri Escherichia coli dengan metode sumur 9 3 Kromatogram ekstrak etil asetat kulit petai dengan eluen toluen:etil

asetat (93:7) dibawah lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm. 10

DAFTAR LAMPIRAN

1 Diagram alir penelitian 20

2 Contoh perhitungan nilai rendemen ekstrak kulit petai metode maserasi 21 3 Rendemen ekstrak kulit petai metode maserasi 21 4 Contoh perhitungan nilai rendemen ekstrak kulit petai metode

ultrasonikasi 21 5 Rendemen ekstrak kulit petai metode ultrasonikasi 21

6 Diameter zona hambat pada bakteri Staphylococcus aureus 22

7 Diameter zona hambat pada bakteri Escherichia coli 22

8 Hasil Analisis statistik pada bakteri Staphylococcus aureus 23 9 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pelarut dan konsentrasi 24

10Hasil Analisis statistik pada bakteri Escherichia coli 25 11Hasil uji lanjut Duncan pengaruh pelarut dan konsentrasi 26

(13)

PENDAHULUAN

Kondisi Indonesia sebagai negara berkembang tidak terlepas dari rendahnya tingkat kesehatan masyarakat di beberapa daerah, yang disebabkan rendahnya sanitasi yang baik. Hal ini menyebabkan masalah kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan infeksi bakteri seperti typhus, diare, pnemonia hingga bisul. Penyakit infeksi merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia selain penyakit sirkulasi darah. Pada tahun 2012 sebanyak 152.000 anak di Indonesia meninggal dunia, sebagian besar disebabkan oleh penyakit pnemonia dan diare. Secara global, pnemonia, diare dan malaria merupakan penyebab kematian utama pada balita (UNICEF 2013).

Penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri dapat ditanggulangi dengan menggunakan obat-obatan dari jenis antibiotik. Antibiotik berasal dari hasil metabolisme sekunder mikroorganisme, ada juga yang sudah mengalami pengolahan menjadi produk turunannya. Pengolahan antibiotik bertujuan untuk meningkatkan aktivitas kerja dan efektivitas antibiotik. Pemakaian antibiotik sebagai antibiotikyang tidak sesuai dosis dapat menimbulkan efek negatif, yaitu timbulnya resistensi bakteri terhadap aktivitas kerja antibiotik. Efek tersebut dapat dihindari dengan melakukan usaha pencarian senyawa antibakteri dari alam yang dapat digunakan untuk mengurangi efek negatif antibiotik (Innayati 2007).

Senyawa-senyawa fitokimia yang dikandung tumbuhan dapat dimanfaatkan sebagai antibakteri. Tumbuhan seperti sengon (Eleanor 2013), laban (Kosala 2011), semanggi air (Astuti 2013), sambiloto (Herliyanti 2010), dan belimbing wuluh (Lathifah 2008) merupakan beberapa tumbuhan yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap Escherichia coli. Pada tahun 2012, Sakunpak dan Panichayupakaranant (2012) meneliti tentang aktivitas antibakteri pada beberapa tanaman pangan Thailand, dari hasil penelitian tersebut didapat bahwa tanaman ande-ande, bayam, jambu monyet, asam gelugur, melinjo, betur, asam jawa, lime berry, terong meranti, kedawung, dan petai papan memiliki aktivitas antibakteri. Dalam penelitian tersebut didapati ekstrak biji petai papan dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Helicobacter pylori.

(14)

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian yang berjudul “Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Petai (Parkia speciosa Hassk.) Terhadap Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus” dilaksanakan dari bulan September 2013 sampai Januari 2014 dan bertempat di Laboratorium Biokimia, Departemen Biokimia, Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan untuk ekstraksi adalah kulit petai, n-heksana, etil asetat, dan etanol 70%. Bahan-bahan untuk uji fitokimia adalah serbuk Mg, amil alkohol, FeCl3 1%, CHCl3, H2SO4 2M, NH4OH, HCl pekat, akuades,

pereaksi Wagner, Mayer, dan Dragendorf. Bahan-bahan untuk uji zona bening adalah isolat bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureusdari Departemen Biokimia IPB, nutrient broth (NB), nutrient agar (NA), dimetil sulfoksida (DMSO), dan akuades.

Alat

Alat-alat yang digunakan adalah laminar air flow,ultrasonic processor (130 Watt 20 kHz, Cole-Parmer), spektrofotometer UV-Vis (UV-1700 Pharmaspec), inkubator, oven, autoklaf, lemari es, water bath, cawan Petri, labu Erlenmeyer, tabung reaksi berulir, ose, mikropipet, neraca analitik, alumunium foil, kapas, kertas Whatman no 1 dan 42, serta peralatan gelas lainnya.

Preparasi Sampel

Kulit petai dicuci dan diiris tipis-tipis, kemudian dioven dengan suhu 52oC selama 3 hari untuk menguapkan kandungan air. Setelah kering, kulit petai diblender hingga berbentuk serbuk halus berukuran 80 mesh dengan tujuan memperluas permukaan dan meningkatkan jumlah rendemen.

Penentuan Kadar Air Terkoreksi

Kadar air ditentukan dengan mengeringkan simplisia dalam oven bersuhu 105oC selama 3 jam dan selanjutnya didinginkan dalam desikator selama 15 menit. Simplisia ditimbang dan perlakuan ini dilakukan berulang-ulang sampai diperoleh bobot yang konstan dengan waktu pengeringan selanjutnya adalah 1 jam. Pinggan porselin yang digunakan harus dikeringkan terlebih dahulu dalam oven bersuhu 105oC selama 30 menit dan didinginkan dalam desikator. Pinggan ini kemudian ditimbang bobot kosongnya. Nilai kadar air terkoreksi ekstrak dapat dihitung dengan persamaan :

%

w1 : bobot pinggan porselin ditambah bobot simplisia awal

(15)

Ekstraksi Komponen Bioaktif Kulit Petai (Andayani 2008)

Serbuk simplisia kulit petai diekstraksi dengan ultrasonikasi (Velickonic et al. 2007 dengan modifikasi) secara bertingkat dengan pelarut n-heksana, etil asetat, dan etanol 70%. Bubuk kulit petai sebanyak 50 gr diekstrak dengan 500 mL heksana dalam labu Erlenmeyer dan diultrasonikasi dengan frekuensi 40kHz pada suhu 40oC selama 20 menit. Larutan disaring dengan kertas Whatman no 1, selanjutnya ekstrak diuapkan dengan rotari evaporator pada suhu 40oC. Ekstrak diuapkan kembali dengan cara dioven pada suhu 50oC sampai bobotnya tetap dan disimpan didalam wadah gelap pada suhu 4oC sampai saat akan digunakan. Residu larutan ekstrak heksana, dilarutkan kembali dengan pelarut etil asetat dengan metode yang sama, dan residu larutan ekstrak etil asetat dilarutkan kembali dengan pelarut etanol 70%. Ekstraksi bertingkat dengan pelarut yang sama juga dilakukan dengan cara maserasi selama 24 jam secara bertingkat, pada suhu ruang dan digoyang dengan menggunakan shaker dengan kecepatan 200 rpm.

Penentuan Kadar Rendemen Terkoreksi

Nilai kadar rendemen dihitung dengan cara menguapkan pelarut dari ekstrak dengan menggunakan rotarievaporator dan oven hingga bobotnya konstan. Nilai kadar air terkoreksi ekstrak dapat dihitung dengan persamaan :

    %

a : bobot ekstrak yang diperoleh dari proses ekstraksi b : nilai kadar air

w : bobot simplisia awal

Uji fitokimia (Harborne 1987)

Uji fitokimia ekstrak yang dilakukan meliputi uji alkaloid, steroid, triterpenoid, flavonoid, saponin, dan tanin. Uji ini dilakukan untuk mengetahui keberadaan komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kulit petai.

Alkaloid. Uji alkaloid dilakukan dengan melarutkan 0,1 gram ekstrak kulit petai ke dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid, yaitu pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer, dan pereaksi Wagner. Hasil uji positif diperoleh bila terbentuk endapan putih kekuningan dengan pereaksi Meyer, endapan coklat dengan pereaksi Wagner atau endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff sehingga jika pengujian terhadap salah satu pereaksi positif, maka dalam tumbuhan uji tersebut terdeteksi alkaloid. Pereaksi Meyer dibuat dengan menambahkan 1,36 HgCl2 dengan 0,5 g KI lalu dilarutkan

(16)

1 volume campuran ini diencerkan dengan 2,3 volume campuran 20 mL asam asetat glasial dan 100 mL air.

Triterpenoid/steroid. Sebanyak 0.1 gram sampel ditambahkan 2 mL etanol. lalu dipanaskan dan disaring. Filtrat hasil penyaringan diuapkan hingga kental dan ditambahkan 1 mL eter. 3 tetes asam asetat anhidrat. dan 1 tetes H2SO4 pekat.

Warna merah atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid dan warna hijau menunjukkan adanya steroid.

Saponin (uji busa). Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Sebanyak 0,1 gram sample ditambahkan denga 10 mL akuades dan dipanaskan selama 5 menit lalu dikocok hingga terbentuk busa. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2N menunjukkan adanya saponin.

Flavonoid. Sebanyak 0.1 gram sampel ditambahkan 2 mL metanol lalu dipanaskan sebentar dan disaring. Filtrat hasil penyaringan dibagi menjadi dua, tabung pertama ditambahkan NaOH 10% dan tabung kedua ditambahkan H2SO4

pekat. Warna merah hingga kecoklatan menunjukkan hasil positif untuk senyawa flavonoid.

Tanin. Sebanyak 0,5 mg sampel ditambahkan akuades sebanyak 10 mL kemudian dipanaskan selama 1 jam. Setelah didinginkan, tambahkan beberapa tetes FeCl3. Reaksi positif ditunjukan dengan terbentuknya warna hitam pada

larutan.

Peremajaan bakteri uji (Andrews 2005)

Kultur bakteri yang tersedia dalam media agar miring NA dipindahkan ke dalam NB dan diinkubasikan pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Suspensi bakteri kemudian digores pada cawan berisi NA dan diinkubasikan pada suhu 37oC selama 48 jam. Koloni tunggal ditransfer ke NB dan diinkubasikan pada suhu 37oC selama 18-24 jam agar bakteri berada pada kondisi optimum. Suspensi yang sudah diinkubasi kemudian diukur nilai OD pada panjang gelombang 652 nm dengan absorbansi 0,08 agar sesuai dengan standar suspensi McFarland No. 0,5 yang setara dengan 1,5 x 108 CFU/ml.

Pengujian aktivitas senyawa antibakteri ekstrak kulit petai papan terhadap bakteri uji (Modifikasi Murray et al. 1995)

(17)

sulfoksida (DMSO). Cawan Petri diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Aktivitas antibakteri diperoleh dengan mengukur zona bening dengan menggunakan jangka sorong. minimal empat kali pengukuran diagonal dan nilainya dirata-ratakan. Diameter zona bening yang didapat, dikurang dengan diameter sumur. Kemampuan penghambatan ekstrak terhadap pertumbuhan bakteri juga dilaporkan sebagai persen penghambatan ekstrak dengan rumus:

% penghambatan diameter hambat kontrol positif  x diameter hambat ekstrak %

Penentuan Jumlah Komponen Ekstrak Etil Asetat Kulit Petai dengan KLT Ekstrak etil asetat kulit petai difraksinasi dengan KLT (kromatografi lapis tipis) untuk mendeteksi banyaknya senyawa yang terkandung dalam ekstrak. Beberapa kombinasi eluen dicobakan untuk mendapatkan pemisahan terbaik dan didapatkan eluen dengan pemisahan terbaik adalah toluen:etil asetat (93:7). Konsentrasi yang diujikan adalah 100 mg/mL, 200 mg/mL, 300 mg/mL, 400 mg/mL, dan 500 mg/mL. Sebanyak 10 µL ekstrak ditotolkan pada plat KLT silika gel 60 GF254 (Merck, Germany) yang berukuran 1 x 10 cm dengan batas awal dan

akhir elusi masing-masing 1 cm dari pinggiran plat. Plat tersebut dielusi didalam bejana yang berisi eluen, bejana dan eluen dijenuhkan terlebih dahulu selama 30 menit. Plat KLT dielusi sampai batas akhir elusi yang sudah ditetapkan. Plat KLT yang sudah selesai dielusi, diangkat dan dibiarkan mengering, kemudian diamati dibawah lampu UV pada panjang gelombang 254 nm untuk melihat bercak senyawa yang terbentuk. Jumlah bercak dihitung dan ditentukan nilai Rf-nya dengan rumus:

Rf =      

     

Analisis Statistik

Analisis statistik yang digunakan adalah rancangan percobaan dua faktor dalam rancangan Split-Plot Design Rancangan Acak Lengkap (RAL). Model rancangannya:

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk

Yijk = diameter zona hambat pada pelarut ke-I, konsentrasi ke-j, dan

ulangan ke-k

µ = pengaruh rataan umum

αi = pengaruh utama faktor A (pelarut)

βj = pengaruh utama faktor B (konsentrasi)

αβij = komponen interaksi dari faktor A dan faktor B

εijk = pengaruh acak

(18)

HASIL

Kadar Air dan Rendemen

Hasil pengukuran kadar air dari simplisia kulit petai dan nilai rendemen ekstrak dengan metode maserasi dan ultrasonikasi dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Hasil perhitungan kadar air dan rendemen metode maserasi dan ultrasonikasi dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 4. Nilai kadar air yang diperoleh adalah sebesar 6.36%. Hal ini menunjukkan bahwa simplisia kulit petai dapat disimpan dalam waktu yang lama. Kadar air yang melebihi 10% dalam suatu bahan dapat menyebabkan mudahnya bahan ditumbuhi mikroba (Harjadi 1993). Nilai rendemen ekstrak untuk maserasi adalah 0,33% untuk n-heksana, 0,32% untuk etil asetat, dan 12,13% untuk etanol 70%. Nilai rendemen ekstrak untuk ultrasonikasi adalah 0,35% untuk n-heksana, 0,38% untuk etil asetat, dan 11,62% untuk etanol 70%.

Tabel 1 Kadar air simplisia dan rendemen ekstrak kulit petai metode maserasi

Sampel Kadar Air

Simplisia (%)

Pelarut Rendemen Ekstrak (%)

Kulit Petai 6.36 n-heksana 0,33 ± 0,06

Etil Asetat 0,32 ± 0,03

Etanol 70% 12,13 ± 0,06

Tabel 2 Kadar air simplisia dan rendemen ekstrak kulit petai metode ultrasonikasi

Sampel Kadar Air

Simplisia (%)

Pelarut Rendemen Ekstrak (%)

Kulit Petai 6.36 n-heksana 0,35 ± 0,04

Etil Asetat 0,38 ± 0,09

Etanol 70% 11,62 ± 0,04

Komponen Fitokimia

Hasil uji fitokimia ekstrak kulit petai hasil ultrasonikasi dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak kulit petai mengandung komponen-komponen yang berpotensi sebagai antibakteri.

Tabel 3 Hasil uji fitokimia

Jenis Uji n-heksana Etil asetat Etanol 70%

Alkaloid - + ++

Keterangan: - : tidak terjadi perubahan

+ : pekat

++ : lebih pekat

(19)

Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Petai

Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan terhadap dua jenis bakteri yaitu Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan menggunakan pelarut dan konsentrasi yang berbeda. Pelarut yang digunakan adalah n-heksana, etil asetat, dan etanol 70%, pemilihan pelarut ini berdasarkan tingkat kepolarannya, sedangkan konsentrasi yang digunakan pada tiap pelarutnya adalah 50, 100,150, 200, 250,dan 300 mg/mL dengan tiga kali pengulangan. Aktivitas antibakteri dilihat berdasarkan zona bening yang terbentuk.

Zona hambat pada Staphylococcus aureus

Nilai rata-rata uji zona hambat dari hasil pengukuran diameter zona hambat pada bakteri Staphylococcus aureus dapat dilihat pada Gambar 1. Ekstrak etanol tidak menunjukkan adanya aktivitas anti bakteri. Sedangkan zona hambat tertinggi terdapat pada pelarut etil asetat konsentrasi 300 mg/mL dengan diameter zona hambat sebesar 20,63 ± 1,00mm. Nilai aktivitas antibakteri terendah terdapat pada pelarut n-heksana konsentrasi 50 mg/mL dengan diameter zona hambat sebesar 1,01 ± 0,58mm. Data zona bening pada bakteri Staphylococcus aureus dapat dilihat pada Lampiran 6. Pada pelarut n-heksana, zona hambat hanya ditemukan pada konsentrasi sampai dengan 100 mg/mL, untuk konsentrasi lebih dari 100 mg/mL zona hambat tidak ditemukan. Kontrol positif kloramfenikol memiliki diameter zona hambat sebesar 19 mm, sedangkan streptomisin 10 mg/mL memiliki diameter zona hambat sebesar 5,1 mm.

Persen penghambatan dihitung dengan membandingkan nilai penghambatan ekstrak dengan nilai penghambatan kontrol positif streptomisin 10 mg/mL. Nilai persen dan tingkat penghambatan ekstrak disajikan pada Tabel 4. Nilai persen penghambatan tertinggi dimiliki oleh ekstrak etil asetat pada konsentrasi 300 mg/mL yaitu sebesar 404,51%. Nilai tersebut menunjukan bahwa ekstrak etil asetat kulit petai pada konsentrasi 300 mg/mL memiliki kemampuan penghambatan sebesar 4 kali lipat kemampuan antibiotik streptomisin 10 mg/mL.

0

n-heksana etil asetat kontrol +

(20)

Tabel 4 Tingkat penghambatan ekstrak kulit petai dibandingkan dengan streptomisin 10 mg/mL pada bakteri Staphylococcus aureus

Pelarut Konsentrasi

Zona hambat pada Escherichia coli

Ekstrak kulit petai yang diujikan terhadap bakteri Escherichia coli adalah ekstrak n-heksana, etil asetat, dan etanol 70%. Nilai rata-rata uji zona hambat dari hasil pengukuran diameter zona hambat pada bakteri Escherichia coli dapat dilihat pada Gambar 3. Ekstrak etanol tidak menunjukkan adanya aktivitas antibakteri, sedangkan zona hambat tertinggi terdapat pada pelarut etil asetat konsentrasi 300 mg/mL dengan diameter zona hambat sebesar 15,91 ± 1,57mm. Nilai aktivitas antibakteri terendah terdapat pada pelarut n-heksana konsentrasi 50 mg/mL dengan diameter zona hambat sebesar 1,58 ± 0,58mm. Data zona bening pada bakteri Escherichia coli dapat dilihat pada Lampiran 7.Pada pelarut n-heksana, zona hambat hanya ditemukan pada konsentrasi sampai dengan 250 mg/mL, untuk konsentrasi lebih dari 250 mg/mL zona hambat tidak ditemukan. Kontrol positif kloramfenikol memiliki diameter zona hambat sebesar 19 mm, sedangkan streptomisin 10 mg/mL memiliki diameter zona hambat sebesar 5,1 mm.

(21)

Tabel 5 Tingkat penghambatan ekstrak kulit petai dibandingkan dengan streptomisin 10 mg/mL pada bakteri Escherichia coli

Pelarut Konsentrasi

n-heksan etil asetat kontrol +

(22)

Jumlah Komponen Ekstrak Etil Asetat Kulit Petai dengan KLT

Hasil dari KLT dengan eluen toluen:etil asetat (93:7) menunjukkan adanya spot-spot yang merupakan komponen penyusun ekstrak etil asetat kulit petai. Jumlah spot terbanyak terdapat pada konsentrasi 500 mg/mL, yaitu sejumlah delapan spot. Masing-masing spot memiliki nilai faktor retensi (Rf) yang berbeda-beda. Nilai Rf yang diperoleh untuk masing-masing spot adalah Rf1= 0,2; Rf2=

0,35; Rf3= 0,41; Rf4= 0,48; Rf5= 0,6; Rf6= 0,73; Rf7= 0,84 dan Rf8= 0,95.

Gambar 3 Kromatogram ekstrak etil asetat kulit petai. Eluen: toluen:etil asetat (93:7)

Panjang gelombang: 254 nm.

(A) 100 mg/mL; (B) 200 mg/mL; (C) 300 mg/mL; (D) 400 mg/mL; (E) 500 mg/mL

PEMBAHASAN

Kadar Air dan Rendemen Hasil Ekstraksi

Kadar air menunjukkan kandungan air dalam suatu bahan, jumlah kadar air yang terkandung dalam suatu bahan dapat memengaruhi ketahanan suatu bahan dalam masa penyimpanan. Kadar air yang dianjurkan adalah kurang dari 10%, dengan demikian kemungkinan rusaknya bahan akibat kontaminasi bakteri dan jamur dapat diturunkan, sehingga bahan dapat disimpan dalam waktu yang relatif lama. Kadar air yang diperoleh pada simplisia kulit petai adalah sebesar 6.36%. Hal ini menunjukkan bahwa simplisia kulit petai dapat disimpan dan digunakan dalam jangka waktu yang lama.

(23)

polaritas sesuai dengan pelarutnya, metode ini memerlukan waktu selama 24 jam pada suhu 27oC untuk setiap pelarutnya. Metode ekstraksi ultrasonikasi memanfaatkan gelombang ultrasonik untuk memecah dinding sel, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk ekstrasi tidak selama metode maserasi. Metode ini membutuhkan waktu 20 menit pada suhu 40oC untuk setiap pelarutnya (Imelda 2013).

Hasil pengukuran rendemen terkoreksi menunjukkan nilai yang paling besar diperoleh dari pelarut etanol 70% dengan metode maserasi sebesar 12,13% (Tabel 1), tidak berbeda nyata dengan nilai rendemen etanol 70% dengan metode ultrasonikasi, yaitu sebesar 11,62% (Tabel 2). Metode maserasi membutuhkan waktu 24 jam untuk ekstraksi, sedangkan metode ultrasonikasi membutuhkan waktu 20 menit untuk ekstraksi, sehingga dari sisi hasil rendemen dan juga waktu ekstraksi, metode ultrasonikasi lebih efisien dibandingkan dengan metode maserasi. Kuantitas rendemen ini tidak dapat digunakan untuk memperkirakan banyaknya senyawa bioaktif dalam rendemen tersebut. Informasi ini dapat digunakan untuk pemilihan pelarut yang tepat saat ekstraksi senyawa metabolit sekunder yang diharapkan (Kresnawaty & Zainuddin 2009).

Komponen Fitokimia

Uji kualitatif fitokimia bertujuan mengetahui kandungan senyawa metabolit sekunder pada kulit petai hasil ultrasonikasi.Hasil uji fitokimia yang dilakukan pada pelarut yang berbeda akan menunjukkan hasil yang berbeda dalam kekuatan sinyal yang diidentifikasi, yaitu tingkat kepekatan yang berbeda pada setiap pelarut (Egwaikhide & Gimba 2007).

Hasil uji fitokimia pada ekstrak kulit petai dapat dilihat pada tabel 3. Hal ini sesuai dengan penelitian Aisha et al. (2012) dan Tunsaringkarn et al. (2012) bahwa kulit petai mengandung senyawa fenolik, yaitu flavonoid, saponin dan tanin yang berpotensi sebagai antibakteri. Ekstrak etanol memiliki kandungan alkaloid, saponin, dan tanin yang lebih banyak dibanding dengan kedua ekstrak lainnya namun tidak memiliki kandungan flavonoid sama sekali. Ekstrak etil asetat memiliki kandungan saponin lebih banyak dibanding dengan ekstrak n-heksana. Komposisi dari senyawa-senyawa fenolik inilah yang memengaruhi kemampuan masing-masing ekstrak untuk menghambat aktivitas bakteri.

Dalam penelitian sebelumnya bahan alam lain yang memiliki potensi antibakteri adalah daun sirih merah yang memiliki kandungan metabolit sekunder alkaloid, steroid, dan tanin (Sugiharti 2007). Senyawa alkaloid dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Senyawa alkaloid dapat menyebabkan lisis sel dan perubahan morfologi bakteri (Karou 2006). Senyawa alkaloid juga terdapat dalam ekstrak etil asetat kulit petai.

Saponin merupakan senyawa metabolit sekunder bersifat seperti sabun. Senyawa ini dapat dilihat karena kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis darah (Harborne 1987). Saponin diduga sebagai senyawa antibakteri pada kulit petai karena memiliki kemampuan untuk menghambat fungsi membran sel sehingga merusak permeabilitas membran yang mengakibatkan rusaknya dinding sel.

(24)

(Karlina et al. 2013). Penelitian oleh Ajizah et al. (2007) menunjukkan bahwa ekstrak kayu ulin yang mengandung flavonoid dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dengan mengganggu permeabilitas dinding sel bakteri. Penelitian yang dilakukan oleh Imelda (2013) juga menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun kesum yang mengandung flavonoid mampu menghambat pertumbuhan bakteri dengan mekanisme mengganggu permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran material sel.

Senyawa metabolit sekunder berupa tanin mempunyai rasa sepat dan juga bersifat sebagai antibakteri. Mekanisme penghambatan bakteri pada tanin adalah dengan cara bereaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim-enzim esensial, dan destruksi fungsi material genetik.Menurut Karlina et al. (2013), tanin memiliki peran sebagai antibakteri dengan mengikat protein sehingga pembentukan dinding sel akan terhambat.

Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Petai

Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan untuk mengetahui potensi antibakteri dari ekstrak kulit petai terhadap bakteri uji. Tingkat aktivitas antibakteri ekstrak bergantung pada pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan senyawa metabolit sekunder yang terlarut saat ekstraksi. Ekstrak yang berasal dari pelarut non polar dan semi polar menunjukkan adanya aktivitas antibakteri, sedangkan ekstrak pelarut polar tidak menunjukkan adanya aktivitas antibakteri.

Ekstrak etanol 70% menunjukkan tidak adanya aktivitas antibakteri untuk kedua bakteri uji, hal ini ditunjukkan oleh tidak terbentuknya zona bening disekitar sumur yang ditetesi ekstrak. Hal ini dapat disebabkan oleh tidak terbawanya komponen senyawa yang berpotensi menghambat atau membunuh pertumbuhan bakteri ke dalam ekstrak etanol 70% selama proses ekstraksi yaitu flavonoid. Kedua ekstrak lainnya yang diuji, menunjukkan adanya aktivitas antibakteri untuk dua bakteri yang diujikan, namun aktivitas antibakteri terbaik dimiliki oleh ekstrak etil asetat. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat memiliki kandungan senyawa fenolik terlengkap, sedangkan ekstrak n-heksana tidak memiliki kandungan alkaloid. Berdasarkan hasil tersebut, senyawa flavonoid merupakan senyawa yang paling berperan dalam aktivitas antibakteri suatu ekstrak. Menurut Andrews (2005) flavonoid memiliki aktivitas antimikroba yang luas dan penghambatan enzim, diantaranya flavanon terhadap Methicilin – Resistant Staphylococcus aureus(MRSA) dan isoflavon terhadapap spesies Strephtococcus. Menurut ketentuan kekuatan antibakteri yang dikemukakan oleh David Scout, kategori lemah digolongkan jika diameter zona bening yang terbentuk < 5 mm, kategori sedang pada kisaran 5-10 mm, dan kategori kuat jika diameter zona bening yang terbentuk > 10 mm (Harahap 2006).

(25)

pertumbuhan bakteri. Zona hambat yang dibentuk oleh ekstrak n-heksana termasuk kedalam kategori lemah karena memiliki diameter kurang dari 5 mm (Harahap 2006).

Pada ekstrak etil asetat, seluruh konsentrasi yang diuji mampu menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus. Diameter zona hambat terbesarterdapat pada konsentrasi300 mg/mLyaitu 20,6 mm. Penghambatan pertumbuhan Escherichia coli oleh ekstrak etil asetat menunjukkan hasil yang lebih besar, dapat dilihat dari zona bening yang terbentuk yaitu 15,91 mm pada konsentrasi 300 mg/mL. Zona hambat yang dibentuk oleh ekstrak etil asetat termasuk dalam kategori besar karena memiliki diameter lebih besar dari 10 mm (Harahap 2006). Kemampuan ekstrak etil asetat kulit petai memiliki kemampuan yang lebih kecil dibanding dengan kemampuan ekstrak etil asetat biji petai, yaitu >20 mm (Sakunpak dan Panichayupakaranant 2012). Ekstrak etanol 70% tidak memiliki aktivitas antibakteri sama sekali, hal ini disebabkan tidak terekstraknya komponen-komponen yang bersifat antibakteri oleh etanol 70% (Imelda 2013).

Komposisi dari alkaloid, saponin, flavonoid, dan tanin yang terdapat dalam ekstrak etil asetat kulit petai menyebabkan kemampuan antibakteri yang paling baik dibandingkan dengan kedua ekstrak lainnya. Pendugaan mekanisme penghambatan senyawa fenolik pada ekstrak kulit petai ini yaitu dinding bakteri yang telah lisis akibat senyawa alkaloid, saponin dan flavonoid menyebabkan senyawa tanin dengan mudah dapat masuk ke dalam sel bakteri dan mengkoagulasi protoplasma sel bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.

Kulit petai yang diekstraksi dengan etil asetat memiliki aktivitas antibakteri paling baik terhadap Staphylococcus aureus yang tergolong bakteri Gram positif. Sedangkan ekstrak n-heksana memiliki aktivitas antibakteri paling baik terhadap Escherichia coli yang tergolong Gram negatif, namun tidak sebaik kemampuan antibakteri ekstrak etil asetat terhadap Escherichia coli. Hal tersebut menunjukkan bahwa baik bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli sensitif terhadap komponen aktif bersifat antibakteri yang terdapat pada ekstrak etil asetat. Pelczar dan Chan (1986) menyatakan bahwa struktur dinding sel bakteri Gram positif relatif sederhana sehingga memudahkan senyawa antibakteri untuk masuk ke dalam sel dan menemukan sasaran untuk bekerja, sedangkan dinding sel bakteri Gram negatif bersifat lebih kompleks.

(26)

yang terbentuk, zona hambat ekstrak kulit petai lebih menyerupai bentuk zona hambat streptomisin.

Menurut sifatnya antibakteri digolongkan menjadi spektrum luas (broad spectrum) jika menghambat atau membunuh bakteri Gram positif dan Gram negatif, spektrum sempit (narrow spectrum) jika menghambat atau membunuh bakteri Gram positif atau Gram negatif saja, dan spektrum terbatas (limited spectrum) jika efektif terhadap organisme tunggal atau penyakit tertentu (Fardiaz 1983). Berdasarkan hasil yang diperoleh, antibakteri yang terkandung dalam ekstrak etil asetat kulit petai termasuk ke dalam golongan antibakteri berspektrum luas, karena mampu menghambat pertumbuhan bakteri dari Gram positif maupun Gram negatif.

Berdasarkan analisis statistik yang dilakukan pada aktivitas antibakteri, perlakuan dengan perbedaan pelarut dan konsentrasi yang diujikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap diameter zona bening yang diperoleh pada taraf kepercayaan 95%. Pemberian perlakuan tiga pelarut yang berbeda menghasilkan diameter zona bening yang berbeda pada masing-masing pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya. Begitu pula dengan ragam konsentrasi yang diujikan, semakin tinggi konsentrasi yang diujikan maka diameter zona bening yang terbentuk semakin besar. Hasil analisis ini diperkuat oleh uji lanjut Duncan yang memberikan hasil yang berbeda nyata antar pelarut etil asetat ataupun konsentrasi yang digunakan.

Jumlah Komponen Ekstrak Etil Asetat Kulit Petai dengan KLT

Ekstrak etil asetat kulit petai ditentukan jumlah komponennya dengan kromatografi lapis tipis (KLT) menggunakan kombinasi eluen toluen:etil asetat (93:7). KLT merupakan metode pemisahan yang menggunakan dua fase yaitu fase diam yang berupa plat dengan lapisan adsorben inert, dan fase gerak berupa eluen yang dapat dpilih berdasarkan polaritas senyawa. Kepolaran eluen sangat memengaruhi nilai faktor retensi (Rf). Semakin nonpolar suatu eluen maka akan semakin jauh pelarut tersebut menggerakkan senyawa non polar naik pada plat silika (Watson 2007).

Fase diam yang biasa digunakan dalam KLT adalah silika gel yang melekat pada plat alumunium maupun plat kaca. Jenis adsorben lain yang bisa digunakanuntuk KLT adalah alumina, serbuk selulose, serbuk poliamida, sephadex, celite, dan kieselguhr. Dalam penilitian ini digunakan plat alumunium dengan adsorben silika gel GF254 yang bersifat polar dan sudah mengandung

indikator fluoresen, sehingga jika dilihat dibawah lampu UV dengan panjang gelombang 254 akan tampak berpendar.

Eluen yang digunakan dalam penelitian ini adalah toluen:etil asetat (93:7). Konsentrasi ekstrak yang berbeda-beda diuji dengan KLT untuk mendapatkan pemisahan terbaik. Ekstrak etil asetat kulit petai pada konsentrasi 500 mg/mL menunjukkan delapan bercak setelah diamati dibawah lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm.hasil yang diperoleh memiliki nilai Rf sebagai berikut: Rf1=

0,2; Rf2= 0,35; Rf3= 0,41; Rf4= 0,48; Rf5= 0,6; Rf6= 0,73; Rf7= 0,84 dan Rf8=

0,95. Semakin besar nilai Rf, maka semakin kecil nilai kepolaran fraksi ekstrak etil asetat tersebut. Maka Rf1 merupakan fraksi ekstrak etil asetat kulit petai yang

paling polar, dan Rf8 adalah fraksi ekstrak etil asetat kulit petai yang paling tidak

(27)

SIMPULAN

Hasil analisis fitokimia ekstrak kulit petai menunjukkan bahwa ekstrak kulit petai mengandung alkaloid, saponin, flavonoid, tanin, steroid, dan triterpenoid. Kulit petai memiliki potensi sebagai antibakteri. Ekstrak etil asetat kulit petai pada konsentrasi 300 mg/mL memiliki kemampuan antibakteri sebesar empat kali kemampuan streptomisin 10 mg/mL terhadap Staphylococcus aureus dan 2,8 kali terhadap Escherichia coli. Fraksinasi ekstrak ekstrak etil asetat kulit petai dengan KLT menunjukan delapan bercak dibawah lampu UV pada panjang gelombang 254 nm yang menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat kulit petai memiliki delapan komponen penyusun.

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini. perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui konsentrasi minimum yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan jumlah bakteri yang mampu dibunuh atau dihambat serta uji toksisitas untuk menentukan dosis maksimum penggunaan. Selain itu perlu dilakukan penentuan jenis komponen dengan kromatografi dan peranan masing-masing komponen sebagai agen antibakteri.

DAFTAR PUSTAKA

[UNICEF] The United Nation Children’s Fund, The Un Inter-agency Group for Child Mortality Estimation. 2013. Levels and Trends in Child Mortality. 2013 Report of UN IGME : 19-29.

Aisha AFA, Abu-Salah KM, Alrokayan SA, Ismail Z, Majid AMSA. 2012. Evaluation of antiangiogenic and antioxidant properties of Parkia speciosa Hassk extracts. Pak J Pharm Sci. 25 1):7-14.

Ajizah A, Thihana, Mirhanuddin. 2007. Potensi ekstrak kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus secara in vitro.J Bioscientiac. 4:37-42.

Andayani. 2008. Penentuan Aktivitas Antioksidan, Kadar Fenolat Total dan Likopen pada Buah Tomat Solanum lycopersicum L). Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi.13 1).

Andrews JM. 2005. BSAC standardized disc susceptibility testing method (version 4). JAC. 56:60-76.doi: 10.1093/jac/dki 124.

Astuti Fitri. 2013. Analisis Fitokimia dan Aktivitas Antibakteri Semanggi Air Marsilea crenata Presl. [skripsi]. Bogor ID): Institut Pertanian Bogor. Egwaikhide PA, Gimba CE. 2007. Analysis of the Phytochemical Content and

(28)

Eleanore Y. 2013. Analisis Komponen Kimia dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen)dengan Metode DPPH [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Fardiaz S. 1983. Bakteriologi Keamanan Pangan. Jilid I. Bogor (ID): IPB Press Harahap N. 2006. Aktivitas senyawa antibakteri akar tumbuhan anting-anting

(Acalypha indica L.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Harborne JB. 1987. Phytochemical methods.Ed ke-2. New York: Chapman and Hall.

Harjadi W. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta (ID): Gramedia.

Herliyanti WL. 2010. Uji Antibakteri Senyawa Bioaktif dari Daun Sambiloto (Andrographis paniculata) yang Diekstraksi dengan Air terhadap Pertumbuhan Salmonella typhimurium.Purwokerto: Universitas Sudirman Imelda F. 2013. Deteksi senyawa antibakteri daun kesum secara

KLT-Bioautografi dan pengaruhnya terhadap membran Escherichia coli dan Staphylococcus aureus [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Innayati H. 2007. Antibakteri Ekstrak Daun Kedondong Bangkok (Spondias dulcis Forst.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Karlina CY, Ibrahim M, Trimulyono G. 2013. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Herba Krokot (Portulaca oleracea L.) terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Lentera Bio. 1(1):87-93.

Karou D. 2006.Antibacterial activity of alkaloids from Sida acuta. J African Of Biotechnology. 5(2):195-200.

Kosala Khemasili. 2011. Uji Aktivitas Antibakteri beberapa Bakteri Penyebab Diare pada Ekstrak Etanol Daun Vitex pinnata dengan Disk Diffusion Method. Jurnal Kimia Mulawarman 3:190-198.

Kresnawaty I, Zainuddin A. 2009.Aktivitas Antioksidan dan Antibakteri dari Derivat Metil Ekstrak Etanol Daun Gambir (Uncaria gambir).J Littri. 15(4):145 – 151.

Lathifah QA. 2008. Uji efektivitas ekstrak kasar senyawa antibakteri pada buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) dengan variasi pelarut [skripsi]. Malang (ID): Universitas Islam Negeri Malang.

Lin CM, Preston JF, Wei CI. 2000. Antibacteria mechanism of allyl isothiocyanate. Food Protect. 63 (6): 727-734

Mahardhika C. 2012. Fraksionasi Kulit Petai Berpotensi Antioksidan. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

(29)

Pelczar MJ&Chan ECS, 1986, Penterjemah , Ratna Siri Hadioetomo dkk. Dasar-Dasar Mikrobiologi 1, Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Sakunpak,Panichayupakaranant. 2012. Antibacterial activity of Thai edible plants against gastrointestinal pathogenic bacteria and isolation of a new broad spectrum antibacterial polyisoprenylated benzophenone, chamuangone.Food Chemistry 130:826-831.

Sugiharti NP. 2007. Aktivitas antibakteri ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Tunsaringkarn T, Soogarun S, Rungsiyothin A, Palasuwan A. 2012. Inhibitory activity of heinz body induction in vitro antioxidant model and tannin concentration of Thai mimosaceous plant extracts. J Med Plants Res. 6(24):4096-4101.

(30)
(31)
(32)

Simplisia kulit

Ekstraksi bertingkat dengan heksana, etil asetat, etanol 70%

Penyaringan dengan kertas Whatman 42

Residu Filtrat

Analisis: Kadar rendemen

Uji Fitokimia Aktivitas bakteri Penentuan jumlah komponen Ekstrak

heksana

Ekstrak Etil asetat

Ekstrak etanol 70%

(33)

Lampiran 2 Contoh perhitungan nilai rendemen ekstrak kulit petai metode maserasi

    , – ,, , % % , 8% 

Lampiran 3 Rendemen ekstrak kulit petai metode maserasi

Pelarut Bobot (g) Rendemen

Simplisia Ekstrak

n heksan 100,04 0,26 0,28%

100,05 0,35 0,37%

etil asetat 100,04 0,28 0,30%

100,05 0,32 0,34%

Etanol 100,04 10,9 11,64%

100,05 11,81 12,61%

Lampiran 4 Contoh perhitungan nilai rendemen ekstrak kulit petai metode ultrasonikasi

    , 8, % % , 8% 

Lampiran 5 Rendemen ekstrak kulit petai metode ultrasonikasi

Pelarut Bobot (g) Rendemen

Simplisia Ekstrak

n heksan 50 0,18 0,38%

50,05 0,15 0,32%

etil asetat 50 0,15 0,32%

50,05 0,21 0,45%

Etanol 50 5,58 11,92%

(34)

Lampiran 6 Hasil pengukuran zona hambat pada bakteri Staphylococcus aureus

Pelarut Konsentrasi (mg.mL

-1

)

50 100 150 200 250 300

n-heksana 1,01 ± 0,05 1,02 ± 0,60 0 ± 0,00 0 ± 0,00 0 ± 0,00 0 ± 0,00

Etil asetat 5,97 ± 0,59 9,40 ± 0,44 11,78 ± 0,35 14,54 ± 0,71 19,44 ± 0,94 20,63 ± 1,52

Etanol 70% 0 ± 0,00 0 ± 0,00 0 ± 0,00 0 ± 0,00 0 ± 0,00 0 ± 0,00

Lampiran 7 Hasil pengukuran zona hambat pada bakteri Escherichia coli

Pelarut

Konsentrasi (mg.mL-1)

50 100 150 200 250 300

n-heksana 1,58 ± 0,53 2,46 ± 0,29 1,92 ± 0,58 1,75 ± 0,58 2,33 ± 0,76 0 ± 0,00

Etil asetat 7,67 ± 0,68 7,97 ± 0,71 9,78 ± 0,13 10,75 ± 0,66 13,44 ± 0,77 15,91 ± 1,57

Etanol 70% 0 ± 0,00 0 ± 0,00 0 ± 0,00 0 ± 0,00 0 ± 0,00 0 ± 0,00

(35)

Lampiran 8 Analisis statistik pada bakteri Staphylococcus aureus

Antara Faktor-Faktor Subyek

Nilai

Label N

pelarut Etanol 70% 18

etil asetat 18

n heksan 18

konsentrasi 50 50 9

100 100 9

150 150 9

200 200 9

250 250 9

300 300 9

Tes Antara Faktor-Faktor Subyek

Variabel terikat:diameter zona hambat

Sumber

Tipe III jumlah

kuadrat Df

Kuadrat

rata-rata F Sig.

Corrected Model 208.667a 17 12.275 38.990 .000

Intercept 96.000 1 96.000 304.941 .000

Pelarut 161.778 2 80.889 256.941 .000

Konsentrasi 11.333 5 2.267 7.200 .000

pelarut * konsentrasi 35.556 10 3.556 11.294 .000

Error 11.333 36 .315

Total 316.000 54

Corrected Total 220.000 53

(36)

Lampiran 9 Uji lanjut Duncan

diameter zona hambat

Pelarut N

Subset

1 2

Duncana Etanol 70% 18 .0000

n-heksana 18 .2222

Etil asetat 18 3.7778

Sig. .243 1.000

Konse

ntrasi N

Subset

1 2 3

Duncana 50 9 .5556

150 9 1.0000 1.0000

100 9 1.3333

200 9 1.5556 1.5556

250 9 1.5556 1.5556

300 9 2.0000

Sig. .102 .061 .121

(37)

Lampiran 10 Analisis statistik pada bakteri Escherichia coli

Antara Faktor-Faktor Subyek

Value Label N

Pelarut Etanol 70% 18

etil asetat 18

n heksan 18

Konsentrasi 50 50 9

100 100 9

150 150 9

200 200 9

250 250 9

300 300 9

Tes Antara Faktor-Faktor Subyek

Variabel terikat:diameter zona hambat

Sumber

Tipe III jumlah

kuadrat Df

Kuadrat

rata-rata F Sig.

Corrected Model 107.773a 17 6.340 15.294 .000

Intercept 91.729 1 91.729 221.286 .000

Pelarut 59.777 2 29.889 72.103 .000

Konsentrasi 25.776 5 5.155 12.437 .000

pelarut * konsentrasi 22.219 10 2.222 5.360 .000

Error 14.923 36 .415

Total 214.424 54

(38)

Lampiran 11 Uji lanjut Duncan untuk pengaruh pelarut dan konsentrasi

Pelarut N

Subset

1 2 3

Duncana Etanol 70% 18 .0000

A 18 1.3333

B 18 2.5767

Sig. 1.000 1.000 1.000

Konsen

trasi N

Subset

1 2 3 4

Duncana 300 9 2.2222

50 9 1,0000

150 9 1.3333 1.3333

100 9 1.5556 1.5556 1.5556

200 9 1.7089 1.7089

250 9 2.0000

Keterangan: Angka yang terletak pada satu kolom menyatakan nilai yang tidak berbeda nyata,sedangkan angka yang terletak pada beda kolom menyatakan nilai yang berbedanyata. Nilai signifikansi 1.00 menunjukkan tingkat yang paling berbeda nyata.

Lampiran 12Uji aktivitas antibakteri

Keterangan: Atas : Staphylococcus aureus Bawah : Escherichia coli

(39)

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan putri dari bapak Hari Purnomo dan ibu Yeti Rohayati yang lahir pada tanggal 28 Agustus 1991 di Bogor. Penulis adalah putri ketiga dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikannya di SD Pengadilan 2 Bogor dan lulus pada tahun 2003, dilanjutkan dengan pendidikan menengah di SMP Negeri 2 Bogor hingga tahun 2006 dan pada tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bogor dan berhasil diterima untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Saringan Masuk IPB (USMI).

(40)

HASIL

Kadar Air dan Rendemen

Hasil pengukuran kadar air dari simplisia kulit petai dan nilai rendemen ekstrak dengan metode maserasi dan ultrasonikasi dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Hasil perhitungan kadar air dan rendemen metode maserasi dan ultrasonikasi dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 4. Nilai kadar air yang diperoleh adalah sebesar 6.36%. Hal ini menunjukkan bahwa simplisia kulit petai dapat disimpan dalam waktu yang lama. Kadar air yang melebihi 10% dalam suatu bahan dapat menyebabkan mudahnya bahan ditumbuhi mikroba (Harjadi 1993). Nilai rendemen ekstrak untuk maserasi adalah 0,33% untuk n-heksana, 0,32% untuk etil asetat, dan 12,13% untuk etanol 70%. Nilai rendemen ekstrak untuk ultrasonikasi adalah 0,35% untuk n-heksana, 0,38% untuk etil asetat, dan 11,62% untuk etanol 70%.

Tabel 1 Kadar air simplisia dan rendemen ekstrak kulit petai metode maserasi

Sampel Kadar Air

Simplisia (%)

Pelarut Rendemen Ekstrak (%)

Kulit Petai 6.36 n-heksana 0,33 ± 0,06

Etil Asetat 0,32 ± 0,03

Etanol 70% 12,13 ± 0,06

Tabel 2 Kadar air simplisia dan rendemen ekstrak kulit petai metode ultrasonikasi

Sampel Kadar Air

Simplisia (%)

Pelarut Rendemen Ekstrak (%)

Kulit Petai 6.36 n-heksana 0,35 ± 0,04

Etil Asetat 0,38 ± 0,09

Etanol 70% 11,62 ± 0,04

Komponen Fitokimia

Hasil uji fitokimia ekstrak kulit petai hasil ultrasonikasi dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak kulit petai mengandung komponen-komponen yang berpotensi sebagai antibakteri.

Tabel 3 Hasil uji fitokimia

Jenis Uji n-heksana Etil asetat Etanol 70%

Alkaloid - + ++

Keterangan: - : tidak terjadi perubahan

+ : pekat

++ : lebih pekat

(41)

Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Petai

Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan terhadap dua jenis bakteri yaitu Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan menggunakan pelarut dan konsentrasi yang berbeda. Pelarut yang digunakan adalah n-heksana, etil asetat, dan etanol 70%, pemilihan pelarut ini berdasarkan tingkat kepolarannya, sedangkan konsentrasi yang digunakan pada tiap pelarutnya adalah 50, 100,150, 200, 250,dan 300 mg/mL dengan tiga kali pengulangan. Aktivitas antibakteri dilihat berdasarkan zona bening yang terbentuk.

Zona hambat pada Staphylococcus aureus

Nilai rata-rata uji zona hambat dari hasil pengukuran diameter zona hambat pada bakteri Staphylococcus aureus dapat dilihat pada Gambar 1. Ekstrak etanol tidak menunjukkan adanya aktivitas anti bakteri. Sedangkan zona hambat tertinggi terdapat pada pelarut etil asetat konsentrasi 300 mg/mL dengan diameter zona hambat sebesar 20,63 ± 1,00mm. Nilai aktivitas antibakteri terendah terdapat pada pelarut n-heksana konsentrasi 50 mg/mL dengan diameter zona hambat sebesar 1,01 ± 0,58mm. Data zona bening pada bakteri Staphylococcus aureus dapat dilihat pada Lampiran 6. Pada pelarut n-heksana, zona hambat hanya ditemukan pada konsentrasi sampai dengan 100 mg/mL, untuk konsentrasi lebih dari 100 mg/mL zona hambat tidak ditemukan. Kontrol positif kloramfenikol memiliki diameter zona hambat sebesar 19 mm, sedangkan streptomisin 10 mg/mL memiliki diameter zona hambat sebesar 5,1 mm.

Persen penghambatan dihitung dengan membandingkan nilai penghambatan ekstrak dengan nilai penghambatan kontrol positif streptomisin 10 mg/mL. Nilai persen dan tingkat penghambatan ekstrak disajikan pada Tabel 4. Nilai persen penghambatan tertinggi dimiliki oleh ekstrak etil asetat pada konsentrasi 300 mg/mL yaitu sebesar 404,51%. Nilai tersebut menunjukan bahwa ekstrak etil asetat kulit petai pada konsentrasi 300 mg/mL memiliki kemampuan penghambatan sebesar 4 kali lipat kemampuan antibiotik streptomisin 10 mg/mL.

0

n-heksana etil asetat kontrol +

(42)

Tabel 4 Tingkat penghambatan ekstrak kulit petai dibandingkan dengan streptomisin 10 mg/mL pada bakteri Staphylococcus aureus

Pelarut Konsentrasi

Zona hambat pada Escherichia coli

Ekstrak kulit petai yang diujikan terhadap bakteri Escherichia coli adalah ekstrak n-heksana, etil asetat, dan etanol 70%. Nilai rata-rata uji zona hambat dari hasil pengukuran diameter zona hambat pada bakteri Escherichia coli dapat dilihat pada Gambar 3. Ekstrak etanol tidak menunjukkan adanya aktivitas antibakteri, sedangkan zona hambat tertinggi terdapat pada pelarut etil asetat konsentrasi 300 mg/mL dengan diameter zona hambat sebesar 15,91 ± 1,57mm. Nilai aktivitas antibakteri terendah terdapat pada pelarut n-heksana konsentrasi 50 mg/mL dengan diameter zona hambat sebesar 1,58 ± 0,58mm. Data zona bening pada bakteri Escherichia coli dapat dilihat pada Lampiran 7.Pada pelarut n-heksana, zona hambat hanya ditemukan pada konsentrasi sampai dengan 250 mg/mL, untuk konsentrasi lebih dari 250 mg/mL zona hambat tidak ditemukan. Kontrol positif kloramfenikol memiliki diameter zona hambat sebesar 19 mm, sedangkan streptomisin 10 mg/mL memiliki diameter zona hambat sebesar 5,1 mm.

(43)

Tabel 5 Tingkat penghambatan ekstrak kulit petai dibandingkan dengan streptomisin 10 mg/mL pada bakteri Escherichia coli

Pelarut Konsentrasi

n-heksan etil asetat kontrol +

(44)

Jumlah Komponen Ekstrak Etil Asetat Kulit Petai dengan KLT

Hasil dari KLT dengan eluen toluen:etil asetat (93:7) menunjukkan adanya spot-spot yang merupakan komponen penyusun ekstrak etil asetat kulit petai. Jumlah spot terbanyak terdapat pada konsentrasi 500 mg/mL, yaitu sejumlah delapan spot. Masing-masing spot memiliki nilai faktor retensi (Rf) yang berbeda-beda. Nilai Rf yang diperoleh untuk masing-masing spot adalah Rf1= 0,2; Rf2=

0,35; Rf3= 0,41; Rf4= 0,48; Rf5= 0,6; Rf6= 0,73; Rf7= 0,84 dan Rf8= 0,95.

Gambar 3 Kromatogram ekstrak etil asetat kulit petai. Eluen: toluen:etil asetat (93:7)

Panjang gelombang: 254 nm.

(A) 100 mg/mL; (B) 200 mg/mL; (C) 300 mg/mL; (D) 400 mg/mL; (E) 500 mg/mL

PEMBAHASAN

Kadar Air dan Rendemen Hasil Ekstraksi

Kadar air menunjukkan kandungan air dalam suatu bahan, jumlah kadar air yang terkandung dalam suatu bahan dapat memengaruhi ketahanan suatu bahan dalam masa penyimpanan. Kadar air yang dianjurkan adalah kurang dari 10%, dengan demikian kemungkinan rusaknya bahan akibat kontaminasi bakteri dan jamur dapat diturunkan, sehingga bahan dapat disimpan dalam waktu yang relatif lama. Kadar air yang diperoleh pada simplisia kulit petai adalah sebesar 6.36%. Hal ini menunjukkan bahwa simplisia kulit petai dapat disimpan dan digunakan dalam jangka waktu yang lama.

(45)

polaritas sesuai dengan pelarutnya, metode ini memerlukan waktu selama 24 jam pada suhu 27oC untuk setiap pelarutnya. Metode ekstraksi ultrasonikasi memanfaatkan gelombang ultrasonik untuk memecah dinding sel, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk ekstrasi tidak selama metode maserasi. Metode ini membutuhkan waktu 20 menit pada suhu 40oC untuk setiap pelarutnya (Imelda 2013).

Hasil pengukuran rendemen terkoreksi menunjukkan nilai yang paling besar diperoleh dari pelarut etanol 70% dengan metode maserasi sebesar 12,13% (Tabel 1), tidak berbeda nyata dengan nilai rendemen etanol 70% dengan metode ultrasonikasi, yaitu sebesar 11,62% (Tabel 2). Metode maserasi membutuhkan waktu 24 jam untuk ekstraksi, sedangkan metode ultrasonikasi membutuhkan waktu 20 menit untuk ekstraksi, sehingga dari sisi hasil rendemen dan juga waktu ekstraksi, metode ultrasonikasi lebih efisien dibandingkan dengan metode maserasi. Kuantitas rendemen ini tidak dapat digunakan untuk memperkirakan banyaknya senyawa bioaktif dalam rendemen tersebut. Informasi ini dapat digunakan untuk pemilihan pelarut yang tepat saat ekstraksi senyawa metabolit sekunder yang diharapkan (Kresnawaty & Zainuddin 2009).

Komponen Fitokimia

Uji kualitatif fitokimia bertujuan mengetahui kandungan senyawa metabolit sekunder pada kulit petai hasil ultrasonikasi.Hasil uji fitokimia yang dilakukan pada pelarut yang berbeda akan menunjukkan hasil yang berbeda dalam kekuatan sinyal yang diidentifikasi, yaitu tingkat kepekatan yang berbeda pada setiap pelarut (Egwaikhide & Gimba 2007).

Hasil uji fitokimia pada ekstrak kulit petai dapat dilihat pada tabel 3. Hal ini sesuai dengan penelitian Aisha et al. (2012) dan Tunsaringkarn et al. (2012) bahwa kulit petai mengandung senyawa fenolik, yaitu flavonoid, saponin dan tanin yang berpotensi sebagai antibakteri. Ekstrak etanol memiliki kandungan alkaloid, saponin, dan tanin yang lebih banyak dibanding dengan kedua ekstrak lainnya namun tidak memiliki kandungan flavonoid sama sekali. Ekstrak etil asetat memiliki kandungan saponin lebih banyak dibanding dengan ekstrak n-heksana. Komposisi dari senyawa-senyawa fenolik inilah yang memengaruhi kemampuan masing-masing ekstrak untuk menghambat aktivitas bakteri.

Dalam penelitian sebelumnya bahan alam lain yang memiliki potensi antibakteri adalah daun sirih merah yang memiliki kandungan metabolit sekunder alkaloid, steroid, dan tanin (Sugiharti 2007). Senyawa alkaloid dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Senyawa alkaloid dapat menyebabkan lisis sel dan perubahan morfologi bakteri (Karou 2006). Senyawa alkaloid juga terdapat dalam ekstrak etil asetat kulit petai.

Saponin merupakan senyawa metabolit sekunder bersifat seperti sabun. Senyawa ini dapat dilihat karena kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis darah (Harborne 1987). Saponin diduga sebagai senyawa antibakteri pada kulit petai karena memiliki kemampuan untuk menghambat fungsi membran sel sehingga merusak permeabilitas membran yang mengakibatkan rusaknya dinding sel.

(46)

(Karlina et al. 2013). Penelitian oleh Ajizah et al. (2007) menunjukkan bahwa ekstrak kayu ulin yang mengandung flavonoid dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dengan mengganggu permeabilitas dinding sel bakteri. Penelitian yang dilakukan oleh Imelda (2013) juga menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun kesum yang mengandung flavonoid mampu menghambat pertumbuhan bakteri dengan mekanisme mengganggu permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran material sel.

Senyawa metabolit sekunder berupa tanin mempunyai rasa sepat dan juga bersifat sebagai antibakteri. Mekanisme penghambatan bakteri pada tanin adalah dengan cara bereaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim-enzim esensial, dan destruksi fungsi material genetik.Menurut Karlina et al. (2013), tanin memiliki peran sebagai antibakteri dengan mengikat protein sehingga pembentukan dinding sel akan terhambat.

Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Petai

Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan untuk mengetahui potensi antibakteri dari ekstrak kulit petai terhadap bakteri uji. Tingkat aktivitas antibakteri ekstrak bergantung pada pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan senyawa metabolit sekunder yang terlarut saat ekstraksi. Ekstrak yang berasal dari pelarut non polar dan semi polar menunjukkan adanya aktivitas antibakteri, sedangkan ekstrak pelarut polar tidak menunjukkan adanya aktivitas antibakteri.

Ekstrak etanol 70% menunjukkan tidak adanya aktivitas antibakteri untuk kedua bakteri uji, hal ini ditunjukkan oleh tidak terbentuknya zona bening disekitar sumur yang ditetesi ekstrak. Hal ini dapat disebabkan oleh tidak terbawanya komponen senyawa yang berpotensi menghambat atau membunuh pertumbuhan bakteri ke dalam ekstrak etanol 70% selama proses ekstraksi yaitu flavonoid. Kedua ekstrak lainnya yang diuji, menunjukkan adanya aktivitas antibakteri untuk dua bakteri yang diujikan, namun aktivitas antibakteri terbaik dimiliki oleh ekstrak etil asetat. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat memiliki kandungan senyawa fenolik terlengkap, sedangkan ekstrak n-heksana tidak memiliki kandungan alkaloid. Berdasarkan hasil tersebut, senyawa flavonoid merupakan senyawa yang paling berperan dalam aktivitas antibakteri suatu ekstrak. Menurut Andrews (2005) flavonoid memiliki aktivitas antimikroba yang luas dan penghambatan enzim, diantaranya flavanon terhadap Methicilin – Resistant Staphylococcus aureus(MRSA) dan isoflavon terhadapap spesies Strephtococcus. Menurut ketentuan kekuatan antibakteri yang dikemukakan oleh David Scout, kategori lemah digolongkan jika diameter zona bening yang terbentuk < 5 mm, kategori sedang pada kisaran 5-10 mm, dan kategori kuat jika diameter zona bening yang terbentuk > 10 mm (Harahap 2006).

(47)

pertumbuhan bakteri. Zona hambat yang dibentuk oleh ekstrak n-heksana termasuk kedalam kategori lemah karena memiliki diameter kurang dari 5 mm (Harahap 2006).

Pada ekstrak etil asetat, seluruh konsentrasi yang diuji mampu menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus. Diameter zona hambat terbesarterdapat pada konsentrasi300 mg/mLyaitu 20,6 mm. Penghambatan pertumbuhan Escherichia coli oleh ekstrak etil asetat menunjukkan hasil yang lebih besar, dapat dilihat dari zona bening yang terbentuk yaitu 15,91 mm pada konsentrasi 300 mg/mL. Zona hambat yang dibentuk oleh ekstrak etil asetat termasuk dalam kategori besar karena memiliki diameter lebih besar dari 10 mm (Harahap 2006). Kemampuan ekstrak etil asetat kulit petai memiliki kemampuan yang lebih kecil dibanding dengan kemampuan ekstrak etil asetat biji petai, yaitu >20 mm (Sakunpak dan Panichayupakaranant 2012). Ekstrak etanol 70% tidak memiliki aktivitas antibakteri sama sekali, hal ini disebabkan tidak terekstraknya komponen-komponen yang bersifat antibakteri oleh etanol 70% (Imelda 2013).

Komposisi dari alkaloid, saponin, flavonoid, dan tanin yang terdapat dalam ekstrak etil asetat kulit petai menyebabkan kemampuan antibakteri yang paling baik dibandingkan dengan kedua ekstrak lainnya. Pendugaan mekanisme penghambatan senyawa fenolik pada ekstrak kulit petai ini yaitu dinding bakteri yang telah lisis akibat senyawa alkaloid, saponin dan flavonoid menyebabkan senyawa tanin dengan mudah dapat masuk ke dalam sel bakteri dan mengkoagulasi protoplasma sel bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.

Kulit petai yang diekstraksi dengan etil asetat memiliki aktivitas antibakteri paling baik terhadap Staphylococcus aureus yang tergolong bakteri Gram positif. Sedangkan ekstrak n-heksana memiliki aktivitas antibakteri paling baik terhadap Escherichia coli yang tergolong Gram negatif, namun tidak sebaik kemampuan antibakteri ekstrak etil asetat terhadap Escherichia coli. Hal tersebut menunjukkan bahwa baik bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli sensitif terhadap komponen aktif bersifat antibakteri yang terdapat pada ekstrak etil asetat. Pelczar dan Chan (1986) menyatakan bahwa struktur dinding sel bakteri Gram positif relatif sederhana sehingga memudahkan senyawa antibakteri untuk masuk ke dalam sel dan menemukan sasaran untuk bekerja, sedangkan dinding sel bakteri Gram negatif bersifat lebih kompleks.

(48)

yang terbentuk, zona hambat ekstrak kulit petai lebih menyerupai bentuk zona hambat streptomisin.

Menurut sifatnya antibakteri digolongkan menjadi spektrum luas (broad spectrum) jika menghambat atau membunuh bakteri Gram positif dan Gram negatif, spektrum sempit (narrow spectrum) jika menghambat atau membunuh bakteri Gram positif atau Gram negatif saja, dan spektrum terbatas (limited spectrum) jika efektif terhadap organisme tunggal atau penyakit tertentu (Fardiaz 1983). Berdasarkan hasil yang diperoleh, antibakteri yang terkandung dalam ekstrak etil asetat kulit petai termasuk ke dalam golongan antibakteri berspektrum luas, karena mampu menghambat pertumbuhan bakteri dari Gram positif maupun Gram negatif.

Berdasarkan analisis statistik yang dilakukan pada aktivitas antibakteri, perlakuan dengan perbedaan pelarut dan konsentrasi yang diujikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap diameter zona bening yang diperoleh pada taraf kepercayaan 95%. Pemberian perlakuan tiga pelarut yang berbeda menghasilkan diameter zona bening yang berbeda pada masing-masing pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya. Begitu pula dengan ragam konsentrasi yang diujikan, semakin tinggi konsentrasi yang diujikan maka diameter zona bening yang terbentuk semakin besar. Hasil analisis ini diperkuat oleh uji lanjut Duncan yang memberikan hasil yang berbeda nyata antar pelarut etil asetat ataupun konsentrasi yang digunakan.

Jumlah Komponen Ekstrak Etil Asetat Kulit Petai dengan KLT

Ekstrak etil asetat kulit petai ditentukan jumlah komponennya dengan kromatografi lapis tipis (KLT) menggunakan kombinasi eluen toluen:etil asetat (93:7). KLT merupakan metode pemisahan yang menggunakan dua fase yaitu fase diam yang berupa plat dengan lapisan adsorben inert, dan fase gerak berupa eluen yang dapat dpilih berdasarkan polaritas senyawa. Kepolaran eluen sangat memengaruhi nilai faktor retensi (Rf). Semakin nonpolar suatu eluen maka akan semakin jauh pelarut tersebut menggerakkan senyawa non polar naik pada plat silika (Watson 2007).

Fase diam yang biasa digunakan dalam KLT adalah silika gel yang melekat pada plat alumunium maupun plat kaca. Jenis adsorben lain yang bisa digunakanuntuk KLT adalah alumina, serbuk selulose, serbuk poliamida, sephadex, celite, dan kieselguhr. Dalam penilitian ini digunakan plat alumunium dengan adsorben silika gel GF254 yang bersifat polar dan sudah mengandung

indikator fluoresen, sehingga jika dilihat dibawah lampu UV dengan panjang gelombang 254 akan tampak berpendar.

Eluen yang digunakan dalam penelitian ini adalah toluen:etil asetat (93:7). Konsentrasi ekstrak yang berbeda-beda diuji dengan KLT untuk mendapatkan pemisahan terbaik. Ekstrak etil asetat kulit petai pada konsentrasi 500 mg/mL menunjukkan delapan bercak setelah diamati dibawah lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm.hasil yang diperoleh memiliki nilai Rf sebagai berikut: Rf1=

0,2; Rf2= 0,35; Rf3= 0,41; Rf4= 0,48; Rf5= 0,6; Rf6= 0,73; Rf7= 0,84 dan Rf8=

0,95. Semakin besar nilai Rf, maka semakin kecil nilai kepolaran fraksi ekstrak etil asetat tersebut. Maka Rf1 merupakan fraksi ekstrak etil asetat kulit petai yang

paling polar, dan Rf8 adalah fraksi ekstrak etil asetat kulit petai yang paling tidak

(49)
(50)

Simplisia kulit

Ekstraksi bertingkat dengan heksana, etil asetat, etanol 70%

Penyaringan dengan kertas Whatman 42

Residu Filtrat

Analisis: Kadar rendemen

Uji Fitokimia Aktivitas bakteri Penentuan jumlah komponen Ekstrak

heksana

Ekstrak Etil asetat

Ekstrak etanol 70%

Gambar

Gambar 1  Diameter zona hambat pada bakteri Staphylococcus aureus dengan
Tabel 4 Tingkat penghambatan ekstrak kulit petai dibandingkan dengan streptomisin 10 mg/mL pada bakteri Staphylococcus aureus
Gambar 2  Diameter zona hambat pada bakteri Escherichia coli dengan metode sumur.
Gambar 3 Kromatogram ekstrak etil asetat kulit petai.
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal ini PHP telah menyediakan fasilitas koneksi untuk hampir semua program database popular baik yang komersial maupun gratis, contohnya phpmyadmin yang merupakan

Sampel dalam penelitian ini adalah soal (beserta kunci jawaban), soal UAS Ganjil Kompentensi Mengoperasikan proses pengolahan hasil pertanian dan Kompetensi

SOAL 5-21 ( STANDAR BERNILAI- TAMBAH DAN STANDAR KAIZEN, BIAYA TAK BERNILAI – TAMBAH, VARIENSI VOLUM, KAPASITAS YANG TIDAK DIGUNAKAN ).

Masalah yang dibahas dalam penelitian ini yaitu : (1) struktur yang membangun dalam naskah drama Lelakon karya Andy Sri Wahyudi berdasarkan teori dramaturgi

Besar sampel untuk melihat pengaruh usia onset, lama bangkitan, frekuensi bangkitan, kesadaran saat bangkitan, dan etiologi epilepsi terhadap

Usaha Fakultas Hukum, atas bantuan yang diberikan selama perkuliahan Penulis... Terimaksih buat Saudari Fransisca Patricia Poluan yang sudah membantu

stakeholder lainnya. Model pengambilan keputusan rasional yang dilakukan oleh kepala sekolah mampu mengefektifkan implementasi renstra karena dalam prosesnya

There are two research questions: (1) What factors and whether the ratio of the balance sheet cash to the IPO proceed affect IPO under- pricing in Indonesia, and (2) What factors