• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Toksikopatologi Daun Mangium (Acacia Mangium Willd) Pada Mencit (Mus Musculus).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Toksikopatologi Daun Mangium (Acacia Mangium Willd) Pada Mencit (Mus Musculus)."

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

SELMA ANGGITA

UJI TOKSIKOPATOLOGI EKSTRAK DAUN MANGIUM

(Acacia mangium Willd) PADA MENCIT (Mus musculus)

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Uji Toksikopatologi Ekstrak Daun Mangium (Acacia mangium Willd) pada Mencit (Mus musculus) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015

(4)

ABSTRAK

Uji Toksikopatologi Daun Mangium (Acacia mangium Willd) pada Mencit (Mus musculus). Di bawah bimbingan DEWI RATIH AGUNGPRIYONO dan RITA KARTIKA SARI.

Radikal bebas pada tubuh dapat diatasi dengan mengonsumsi makanan yang mengandung antioksidan. Acacia mangium diketahui memiliki khasiat antioksidan alami. Keamanan ekstrak daun mangium bagi tubuh perlu diuji. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui toksikopatologi dari pemberian ekstrak daun mangium pada organ hati dan ginjal mencit (Mus musculus). Penelitian ini menggunakan 6 ekor mencit jantan yang dibagi dalam 2 kelompok, kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Perlakuan diberikan sekali dalam sehari selama 7 hari. Selanjutnya, mencit dinekropsi, lalu organ diambil dan diproses histopatologi. Parameter yang diamati dan dihitung adalah perubahan hepatosit dan sel epitel tubulus proksimal yang mengalami degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan nekrosis. Data dianalisis dengan uji ANOVA. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak daun mangium menimbulkan efek toksik pada organ hati, sedangkan pada organ ginjal tidak menimbulkan efek toksik. Hal ini menjelaskan bahwa ekstrak daun mangium sebaiknya dikonsumsi dengan dosis yang lebih rendah atau dalam jangka waktu yang tidak lama.

Kata kunci:Acacia mangium, antioksidan, toksikopatologi, hati, ginjal

ABSTRACT

Toxicopathology Test of Mangium Leaf (Acacia mangium Willd) in Mice (Mus musculus). Undersupervision of DEWI RATIH AGUNGPRIYONO and RITA KARTIKA SARI.

Free radical in the body can be resolved by consume antioxidant. Acacia mangium known has antioxidant effect although mangium leaf extract needs to be tested in vivo. The aims of this research was to know liver and renal toxicopathology of mangium leaf in vivo. Six male mice were used in this study which divided into 2 groups, control group and treatment group. The treatment was given once a day during 7 days. Mice were necropsy, then the organ was collected and procecced for histopathology slides. The parameters observe for toxicopathology were counting hepatocytes and tubular proximal epithelial cells which have hydropic and fatty degeneration, also necrosis. The data were analized by ANOVA test. The result showed that mangium leaf extract has mild toxic effect in liver, while in renal has no toxic effect. This suggested that mangium leaf extract should not consume in long time period or not in high dosage.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

UJI TOKSIKOPATOLOGI EKSTRAK DAUN MANGIUM

(Acacia mangium Willd) PADA MENCIT (Mus musculus)

SELMA ANGGITA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul skripsi yang dipilih dalam penelitian yang telah dilaksanakan pada bulan Maret 2015 sampai bulan Juni 2015 adalah “Uji Toksikopatologi Ekstrak Daun Mangium (Acacia mangium Willd.) pada Mencit (Mus musculus)”. Adapun penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drh Dewi Ratih Agungpriyono, PhD, APVet selaku pembimbing I dan Dr Ir Rita Kartika Sari, MSi selaku pembimbing II. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga penulis, Papa, Mama, mas Bara, mas Gaga, mba Nek, Olaf, dan Rudolfo. Tania Mutiara dan Rizky Rosilia selaku teman penelitian. Teman-teman penulis, Loki, Njeh, Tyas, Eny, Faisal, serta teman-teman Ganglion FKH 48 atas segala doa dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Semoga penulis dapat menghasilkan skripsi yang bermanfaat khususnya bagi penulis, dan umumnya bagi pembaca.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Mencit 2

Mangium 3

Toksikopatologi 4

Histopatologi 4

Hati 4

Ginjal 5

METODE PENELITIAN 6

Waktu dan Tempat 6

Bahan dan Alat 6

Prosedur 7

Analisis Data 10

HASIL DAN PEMBAHASAN 10

SIMPULAN DAN SARAN 14

DAFTAR PUSTAKA 15

LAMPIRAN 18

(10)

DAFTAR TABEL

1 Hasil perhitungan rata-rata kenaikan berat badan dan konsumsi pakan 10 2 Hasil perhitungan perubahan hepatosit di sekitar area segitiga porta 11 3 Hasil perhitungan perubahan hepatosit di sekitar area vena sentralis 12 4 Hasil perhitungan perubahan hepatosit di sekitar area tubulus proksimal 13

DAFTAR GAMBAR

1 Daun Acacia mangium 3

2 Alur proses penelitian 7

3 Gambaran histopatologi hepatosit 9

4 Gambaran histopatologi sel epitel tubulus proksimalis 9 5 Gambaran histopatologi sel epitel tubulus proksimalis 10

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sertifikat Komisi Etik Hewan 18

2 Hasil statistik rata-rata kenaikan berat badan mencit 19

3 Hasil statistik konsumsi pakan mencit 19

4 Hasil statistik jumlah sel pada segitiga porta 20

5 Hasil statistik jumlah sel pada vena sentralis 21

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Proses bernapas dan beraktivitas, serta mengonsumsi makanan dan minuman yang mengandung bahan pengawet, pewarna, dan pestisida dapat memicu timbulnya radikal bebas di dalam tubuh. Radikal bebas diawali oleh reaksi oksidasi. Menurut Soeatmaji (1998), yang dimaksud radikal bebas (free radical) adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung elektron tidak berpasangan. Adanya elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan dengan cara mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya. Jika elektron yang terikat radikal bebas berasal dari senyawa yang berikatan kovalen akan sangat berbahaya. Umumnya, senyawa yang memiliki ikatan kovalen adalah molekul-molekul besar (biomakromolekul), seperti lipid, protein, maupun DNA. Radikal bebas dapat dihilangkan dengan mengonsumsi asupan yang mengandung antioksidan. Menurut Syamsudin (2013), antioksidan merupakan suatu senyawa yang dapat memperlambat atau mencegah kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas. Antioksidan bekerja sebagai free radical scavengers, mencegah dan memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas (Winarsi 2007).

Antioksidan terdapat di beberapa jenis sayuran dan buah-buahan, namun produk tersebut kurang praktis. Produk lainnya seperti antioksidan sintetis dijual dengan harga cukup mahal dan bersifat karsinogenik. Antioksidan alami kini mulai banyak dikonsumsi seiring dengan peningkatan sifat karsinogenik pada antioksidan sintetis (Amarowicz et al. 2000). Salah satu tumbuhan yang mengandung senyawa antioksidan adalah mangium (Acacia mangium Willd). Pohon mangium hanya dimanfaatkan kayunya untuk produk furnitur dan limbah daunnya hanya dibiarkan di lahan hutan. Penelitian yang dilakukan Sari et al. (2013) menunjukan bahwa ekstrak metanol daun mangium memiliki aktivitas antioksidan yang kuat. Namun, pelarut metanol tidak dapat dikonsumsi. Bahan pelarut untuk mengekstraksi daun mangium perlu dipilih yang aman untuk dikonsumsi. BPOM (2010) mensyaratkan bahwa pelarut yang digunakan untuk mengekstrak zat berkhasiat tumbuhan dalam aplikasi pembuatan sediaan obat adalah air, etanol, atau campuran air dan etanol.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan Rosilia (2014) menunjukkan bahwa rendemen ekstrak daun mangium tertinggi diperoleh pada ekstraksi etanol 30%. Begitu juga dengan nilai EC50 (Effective Consentration) ekstrak etanol 30% tidak

berbeda nyata dengan vitamin C. Menurut Shyur et al. (2005), EC50 adalah

konsentrasi efektif ekstrak yang mampu menangkap (menurunkan) konsentrasi radikal bebas 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) sebesar 50%. Nilai EC50 yang

(12)

2

Uji toksisitas pada obat herbal perlu dilakukan untuk mengidentifikasi efek merugikan dan menentukan batas dari pemberian obat. Hati dan ginjal merupakan organ yang dapat mendeteksi toksisitas. Seluruh peredaran dalam tubuh akan melalui penyaringan di ginjal dan penetralan racun di hati (Guyton 2006).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis toksikopatologi dari pemberian ekstrak daun mangium pada organ hati dan ginjal mencit.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai efek toksik dari ekstrak daun mangium.

TINJAUAN PUSTAKA

Mencit

Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah semua jenis hewan dengan persyaratan tertentu untuk dipergunakan sebagai salah satu sarana dalam berbagai kegiatan penelitian biologi dan kedokteran (Sulaksono et al. 1986). Mencit adalah hewan pengerat (rodentia) yang cepat berkembangbiak dan mudah dipelihara dalam jumlah banyak. Variasi genetiknya cukup besar serta sifat anatomi dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik. Mencit hidup dalam daerah yang cukup luas penyebarannya mulai dari iklim dingin, sedang maupun panas dan dapat hidup terus-menerus dalam kandang atau secara bebas sebagai hewan liar (Malole dan Pramono 1989).

Sistem taksonomi mencit (ISC 2015):

Data fisiologis mencit (Malole dan Pramono 1989):

Berat badan dewasa : Jantan 20-40 g dan Betina 25-40 g

Berat lahir : 0.5-1.5 g

Temperatur : 36.5-38 oC

(13)

3 Konsumsi minum : 15 ml/100g BB/hari

Jumlah anak/ kelahiran : 10-12 ekor

Umur sapih : 21-28 hari

Pernapasan : 94-163/menit

Detak jantung : 325-780/menit Volume darah : 76-80 ml/kg

Tekanan darah : 113-147/81-105 mgHg

Mangium

Mangium di Indonesia dikenal dengan nama lain mange hutan, sabah salwood, dan tange hutan. Secara internasional dikenal dengan nama black wattle, hickory wattle, dan mangium (ISC 2014). Mangium merupakan tumbuhan asli Indonesia Timur (Maluku dan Irian Jaya), Papua New Guinnea, dan Queensland. Tumbuhan ini cepat tumbuh dan digunakan pada program pembangunan hutan di daerah tropis maupun subtropis. Mangium (Gambar 1) memiliki beberapa keunggulan yaitu kayu yang berkualitas baik, pohon cepat tumbuh, dan memiliki daya toleransi yang tinggi terhadap berbagai jenis tanah dan lingkungan (NRC 1983). Taksonomi mangium (ISC 2014):

Kingdom : Plantae

Filum : Spermatophyta Subfilum : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Fabales

Famili : Fabaceae Subfamili : Mimosoideae Genus : Acacia

Spesies : Acacia mangiumWilld.

(14)

4

Mangium mengandung senyawa bioaktif dengan aktivitas biologi yang tinggi seperti antioksidan, antifungal, dan antibakteri (Yuniarti 2008). Beberapa spesies mangium diketahui memiliki kandungan flavonoid, triterpenoid, saponin, koumarin, tanin, karbohidrat, alkaloid dan atau nitrogen, dan komponen sianogenik (Kalsom et al. 2001). Akar tanaman mangium mempunyai senyawa yang bersifat antifungal (Hidayati et al. 2012). Menurut Rizanti (2014) ekstrak kulit mangium mengandung senyawa antidiabetes karena mampu menghambat enzim α-glukosidase. Penelitian yang dilakukan Rosilia (2014) menunjukkan bahwa ekstrak etanol 30% daun mangium bersifat antioksidan.

Toksikopatologi

Toksikopatologi adalah ilmu yang mempelajari perubahan struktural dan fungsional dari sel, jaringan, dan organ yang diinduksi toksikan (obat, bahan kimia industri, dan pertanian), toksin (mikotoksin dan fitotoksin), dan agen fisik (panas dan radiasi). Toksikopatologi khususnya berhubungan dengan perubahan morfologi atau struktural dari efek toksikan dan mekanisme terjadinya perubahan tersebut. Prosedur dari toksikopatologi meliputi rancangan kerja, nekropsi, fiksasi, dan histopatologi (Rousseaux 2005). Sebelum dilakukannya pemeriksaan toksikopatologi, terlebih dahulu dilakukan uji toksisitas. Uji toksisitas menurut BPOM (2014) adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji. Uji toksisitas menggunakan hewan coba sebagai model berguna untuk melihat adanya reaksi biokimiawi dan fisiologi pada manusia terhadap suatu sediaan uji.

Histopatologi

Histopatologi merupakan pemeriksaan mikroskopis dari perubahan sel, jaringan, dan organ yang terjadi akibat proses penyakit. (Maynard et al. 2014). Organ yang diperiksa secara histopatologi meliputi otak, pituitari, tiroid, timus, paru-paru, jantung, hati, ginjal, limpa, adrenal, pankreas, testis, vesikula seminalis, kantong kemih, indung telur, uterus, epididimis, usus, limfonodus, saraf tepi, lambung, tulang dada, tulang paha, sumsum tulang belakang atau sekurang-kurangnya lima organ utama, yaitu hati, limpa, jantung, ginjal, paru, dan ditambah organ sasaran yang diketahui secara spesifik (BPOM 2014). Diagnosis histopatologi dilakukan dengan menilai potongan jaringan blok parafin dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin. Jaringan berasal dari hasil biopsi atau eksisi bedah yang dimasukkan ke dalam larutan fiksasi (Sarjadi 1994).

Hati

(15)

5 hormon korteks adrenal dan steroid gonads, detoksifikasi banyak obat dan toksin (Ganong 1995). Darah yang berasal dari rongga perut dan usus mengalir masuk pertama ke vena porta, darah tersebut mengandung banyak zat penting seperti karbohidrat, lemak, dan vitamin yang dapat diserap serta disimpan dalam hati selama dibutuhkan (Sulistianto et al. 2004).

Lobulus hati dibagi menjadi tiga zona yang dapat menerima oksigen. Zona I (periportal) menerima darah yang kaya akan oksigen dari vena porta dan arteri hepatika yang berdekatan. Darah masuk melalui sinusoid melewati zona II (midzonal) ke zona III (sentrolobular). Darah yang masuk zona III memiliki sedikit oksigen (Barash et al. 2013). Sel utama hati adalah hepatosit yang akan membentuk unit struktural yang disebut lobulus hati (Samuelson 2007). Sel Kupffer merupakan sistem retikuloendotelial yang memiliki kemampuan untuk memfagosit mikroorganisme dan material asing dalam darah. Sel ini memiliki inti yang besar dan pucat serta sitoplasma yang lebih banyak dengan cabang yang meluas atau melintang di dalam sinusoid hati (Kanel dan Korula 1992).

Hati sebagaimana fungsinya sebagai organ detoksifikasi, maka berperan penting dalam menyaring zat toksik maupun benda asing yang masuk melalui darah (Guyton 2006). Hati berperan dalam proses detoksifikasi dan ekskresi bahan xenobiotic (zat-zat toksik), namun dalam jumlah yang terbatas. Bila zat toksik melebihi batas kemampuan detoksifikasi, maka akan timbul berbagai gangguan, misalnya lipidosis, nekrosis, dan fibrosis. Degenerasi pada hati dapat disebabkan oleh adanya perubahan kromosom yang dapat diinduksi oleh toksisitas suatu agen, waktu paparan agen, dan interaksi agen asing dengan protein serta enzim yang bertentangan dengan mekanisme pertahanan sehingga dapat menyebabkan atrofi dan nekrosis hepatosit (Abdelhalim dan Jarrar 2011). Bentuk kerusakan struktur hati pada preparat histopatologi yang dapat ditemukan yaitu terdapat sel nekrosis pada sentrolobuler, sel nekrosis pada segitiga porta, degenerasi lemak pada hepatosit sentro-perilobuler, sinusoid ditemukan melebar, dan vena sentralis terdapat polymorphonuclear cell (Lazuardi 2008). Pada sel hepatosit yang mengalami nekrosis dapat terjadi perubahan lisis dan perubahan inti sel. Pada hepatosit yang mengalami degenerasi lemak, akumulasi lemak atau trigliserida dalam sitoplasma dari hepatosit dikenal sebagai fatty liver, fatty change, atau hepatic lipidosis. Hepatosit sering diamati sehubungan dengan peningkatan trigliserida pada awal kerusakan karena banyak fungsi hati yang berhubungan dengan metabolisme lemak (Jones et al. 2006).

Ginjal

(16)

6

Zat toksik masuk ke dalam ginjal melalui sistem sirkulasi. Darah masuk ke dalam glomerulus melalui arteri aferen dan meninggalkan glomerulus melewati arteri eferen. Glomerulus adalah jaringan yang dibungkus oleh kapsula Bowman yang berfungsi memfiltrasi cairan. Cairan yang terfiltrasi melalui glomerulus kemudian melewati tubulus proksimal, masuk segmen tipis yang disebut lengkung Henle, kemudian masuk tubuli distal dan terakhir dikumpulkan dalam tubulus kolektifus. Darah yang melalui tubulus sebagian besar diserap kembali oleh kapiler peritubular, adapun air dan materi yang tidak diserap kembali akan diekskresikan sebagai urin (Guyton 2006).

Pengamatan preparat histopatologi yang dilakukan adalah menghitung area tubulus ginjal terutama bagian tubulus proksimal dan tubulus distal yang normal, mengalami degenerasi hidropis, degenerasi lemak, degenerasi hialin, dan nekrosis. Degenerasi hidropis ditunjukkan dengan adanya peningkatan ukuran dan volume sel oleh air karena kegagalan sel dalam mempertahankan homeostasis dan meregulasi pengeluaran cairan. Akumulasi lemak atau trigliserida dalam sitoplasma dari sel dikenal degenerasi lemak (Jones et al. 2006). Degenerasi hialin mengindikasikan terjadinya kelainan ekskresi protein yang kemudian diserap oleh tubulus. Secara mikroskopik, sel epitel tubulus akan tampak seperti granul eosinofilik yang terang. Sel nekrosis yang dihitung adalah berdasarkan terjadinya piknosis, karyorheksis, karyolisis, dan hilangnya inti pada sel tubulus ginjal. Piknosis yaitu keadaan nukleus mengecil, gelap, homogen, dan bulat. Piknosis merupakan lanjutan penggumpalan kromatin dari awal degenerasi. Karyorheksis yaitu keadaan pembungkus nukleus ruptur dan fragmen nukleus keluar ke sitoplasma. Karyolisis yaitu keadaan nukleus menjadi pucat akibat terputusnya kromatin pada DNA dan RNA. Hilangnya inti yaitu tahap lanjutan dari karyolisis di mana nukleus benar-benar menghilang (McGavin dan Zachary 2007).

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di divisi Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), Institut Pertanian Bogor pada bulan Maret 2015 sampai Juni 2015.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit putih galur DDY, ekstrak etanol 30% daun mangium, pakan mencit, air minum, Ketamin, Xylazine, Buffered Neutral Formalin 10% (BNF 10%). Pembuatan preparat histopatologi menggunakan alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%, dan 100%), xylol, ewit, haematoksilin, eosin, parafin, dan cairan perekat.

(17)

7 scalpel), pot plastik. Pembuatan preparat histopatologi menggunakan tissue cassette, mikrotom, gelas objek, kaca penutup, dan mikroskop. Alat pendukung lainnya berupa digital eye piece camera, software ImageJ, dan komputer.

Prosedur

Prosedur penelitian (Gambar 2) diawali dengan mengajukan proposal penggunaan hewan percobaan mencit ke Komisi Etik Hewan dan telah mendapat sertifikat persetujuan Komisi Etik Hewan Fakultas Kedokteran Hewan IPB dengan SKEH Nomor: 028/KEH/SKE/IV/2015.

Gambar 2 Alur proses penelitian

Pemberian Ekstrak dan Pengambilan Organ

(18)

8

plastic berisi buffered neutral formalin (BNF) 10% untuk selanjutnya dilakukan proses pembuatan preparat histopatologi.

Pembuatan Preparat dan Pewarnaan Histopatologi

Organ hati dan ginjal yang telah difiksasi dalam larutan BNF 10% dipotong sekitar 0.3-0.5 mm, kemudian dimasukkan ke dalam tissue cassette. Selanjutnya jaringan didehidrasi, air pada jaringan dihilangkan secara bertahap dengan alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%, dan 100%). Setelah dehidrasi, jaringan diberi xylol selama 2-3 jam untuk tahap penjernihan (clearing). Kemudian jaringan diinfiltrasi dengan cairan parafin. Selanjutnya tahap embedding, penanaman jaringan ke dalam cetakan parafin. Tahap section cutting (microtomy), blok parafin diiris dengan mesin mikrotom dengan ketebalan sekitar 3-4 µm. Irisan tersebut diletakkan di atas gelas objek yang telah diolesi ewit (Gunasegaran 2010).

Proses pewarnaan diawali dengan deparafinisasi, yaitu preparat diberi xylol selama 3 menit. Pewarnaan hematoksilin selama 6−7 menit, kemudian dialiri air mengalir selama 1 menit. Selanjutnya preparat diberi eosin selama 1 menit, kemudian dialiri air selama 1 menit. Pada proses dehidrasi, preparat diberi alkohol bertingkat 70%, 80%, 95%, dan 100%. Terakhir preparat ditetesi cairan perekat dan ditutup dengan kaca penutup. Hasil pewarnaan diamati di bawah mikroskop (NSH 2001).

Pemeriksaan Toksikopatologi

(19)

9

Gambar 3 Gambaran histopatologi hepatosit. a= sel normal; b= sel degenerasi hidropis. Pewarnaan HE.

(20)

10

Gambar 5 Gambaran histopatologi sel epitel tubulus proksimalis. a= sel degenerasi lemak. Pewarnaan HE.

Analisis Data

Data histopatologi dianalisis secara kuantitatif dengan menghitung persentase sel yang normal, mengalami degenerasi dan nekrosis dengan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL), kemudian dilanjutkan dengan uji ANOVA.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berat Badan dan Konsumsi Pakan

Pengamatan selama 7 hari berdasarkan perilaku dan rambut pada mencit yang diberi perlakuan serta kontrol tidak menunjukkan adanya kelainan. Pengamatan juga dilakukan dengan menimbang berat badan dan konsumsi pakan mencit.

Tabel 1 Hasil perhitungan rata-rata kenaikan berat badan mencit dan konsumsi pakan selama 7 hari

Kelompok

Rata-rata (g) Kenaikan

Berat Badan Konsumsi Pakan

Perlakuan 0.42 ± 0.24a 12.32 ± 2.55a

Kontrol 0.32 ± 0.15a 12.12 ± 4.02a

Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05).

(21)

11 dengan Acacia lainnya yang berada dalam famili dan genus yang sama dengan mangium. Tabel 1 menjelaskan bahwa pemberian ekstrak etanol 30% daun mangium tidak mempengaruhi perubahan berat badan serta konsumsi pakan mencit. Mangium merupakan tumbuhan yang berada dalam satu famili Fabaceae dengan A. villosa dan A. angustissima. Tumbuhan tersebut diketahui memiliki kandungan senyawa sekunder yang bersifat toksik dan antinutrisi, yaitu asam amino non-protein (AANP) dan polifenol (Harlina 2007). Kandungan tanin dalam polifenolnya diketahui dapat menurunkan palatabilitas, kecernaan pakan, dan bobot badan (Makkar 2003). A. angustissima diketahui menyebabkan konsumsi pakan yang berfluktuasi (Odenyo et al. 1997).

Gambaran Histopatologi Organ Hati

Segitiga Porta

Hati memiliki dua area yang dapat mendeteksi toksisitas, yaitu area di sekitar vena sentralis dan segitiga porta. Segitiga porta (portal triad) terdiri dari arteri hepatika, duktus empedu, dan vena porta.

Tabel 2 Hasil perhitungan perubahan hepatosit di sekitar area segitiga porta pada kelompok perlakuan dan kontrol

Perlakuan 59.11±15.62a 40.89±15.62a 0.00±0.00a 0.00±0.00a Kontrol 74.21±15.59b 25.14±15.84b 0.00±0.00a 0.65±1.49b Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05).

Tabel 2 menjelaskan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara hepatosit yang mengalami degenerasi lemak karena tidak ditemukan perubahan sel tersebut pada kedua kelompok. Hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis pada kelompok perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda nyata lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis ditandai warna pucat pada sitoplasmanya dan terjadi pembesaran ukuran sel (Gambar 3). Degenerasi tersebut dapat terjadi karena adanya gangguan biokimiawi yang disebabkan oleh iskemia, anemia, metabolisme abnormal atau zat kimia yang bersifat toksik. Hal ini menyebabkan membran sel normal akan mengalami kerusakan sehingga keseimbangan pengeluaran K+ dan pemasukan ion Na+, Ca+, dan air akan terganggu. Kerusakan membran sel menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah air ke dalam sel, sehingga menyebabkan sitoplasma menjadi bengkak dan dipenuhi butiran-butiran air. Apabila kerusakan membran sel terus berlangsung, maka sitoplasma sel akan berisi cairan yang membentuk vakuola, sehingga sitoplasma terlihat lebih pucat, keadaan ini dinamakan degenerasi hidropis (Cheville 1999).

(22)

12

mengalami kerusakan akan kembali normal (Cheville 1999). Kerusakan sel yang masih dapat pulih kembali (reversible cellular injury), yaitu kemampuan di mana sel dapat beradaptasi dan kembali pada fungsi normalnya (McGavin dan Zachary 2007). Secara umum, kandungan AANP dan polifenol A. villosa menyebabkan perubahan histopatologi pada hati maupun ginjal hewan coba berupa kongesti, degenerasi hidropis, nekrosis hepatosit, maupun nekrosis tubulus, namun tidak ditemukan kelainan pada organ-organ lainnya (Harlina 2007). Acacia lainnya yaitu A. auriculaeformis dan A. concinna diketahui bersifat hepatotoksik, sedangkan A. pinnata bersifat antinutrisi (Sinha et al. 2010)

Vena Sentralis

Darah yang mengandung toksin dibawa dari usus, masuk ke hati melalui vena porta kemudian melewati sinusoid menuju vena sentralis. Vena sentralis merupakan tujuan akhir darah yang mengalir melewati sinusoid untuk kemudian melanjutkan ke vena kava inferior (Sulistianto et al. 2004).

Tabel 3 Hasil perhitungan perubahan hepatosit di sekitar area vena sentralis pada kelompok perlakuan dan kontrol

Perlakuan 58.01±13.19a 41.20±13.57a 0.08±0.42a 0.72±2.12a Kontrol 69.63±12.74b 29.10±11.82b 0.00±0.00a 1.27±4.64a Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05).

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa hepatosit yang mengalami nekrosis dan degenerasi lemak pada kelompok perlakuan menunjukkan persentase yang tidak berbeda nyata dengan kontrol. Sel nekrosis merupakan kerusakan irreversible yang disebabkan kehilangan fungsi metabolisme (ion gradien dan penurunan adenosine triphosphate (ATP)) dan integritas membran plasma. Kehilangan integritas membran plasma (sitolisis) adalah ciri khas dari sel nekrosis (Rosser dan Gores 1995). Ketika kehilangan ATP, pH menurun, dan Ca++ terus meningkat, sel mencapai irreversible injury di mana terjadi kerusakan organel dan perbaikan sel tidak mungkin terjadi. Pada akhirnya, terjadi deplesi ATP dan degenerasi berubah menjadi nekrosis (Cheville 2009). Nekrosis dapat terjadi akibat bahan beracun, aktivitas mikroorganisme, defisiensi pakan, dan gangguan metabolisme termasuk hipoksia (Jubb et al. 1993).

(23)

13 dalam jumlah kecil dapat ditemukan pada hewan normal (Jones et al. 2006). Degenerasi ini merupakan perubahan yang reversible dan dalam persentase rendah tidak berbahaya pada hati atau dapat kembali normal (McGavin dan Zachary 2007).

Persentase hepatosit normal (Gambar 3) kelompok perlakuan berbeda nyata lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Hal tersebut dikarenakan jumlah hepatosit yang mengalami kerusakan sel pada kelompok perlakuan lebih banyak terjadi, sehingga persentase hepatosit normalnya lebih rendah. Hasil pada segitiga porta dan vena sentralis menunjukkan bahwa ekstrak daun mangium cenderung bersifat toksik ringan pada organ hati.

Gambaran Histopatologi Organ Ginjal

Ginjal merupakan organ kedua pada tubuh yang dapat mendeteksi toksisitas. Tubulus proksimal merupakan bagian yang paling mudah mengalami kerusakan akibat iskemia dan zat toksik. Hal ini disebabkan pada tubulus proksimal terjadi proses reabsorpsi dan sekresi zat, sehingga kadar zat toksik lebih tinggi. Ada dua segmen tubuli yang mudah mengalami kerusakan, yaitu tubuli rekti proksimalis dan segmen tebal lengkung Henle di bagian medula (Cheville 1999).

Tabel 4 Hasil perhitungan perubahan sel epitel tubulus proksimal pada kelompok perlakuan dan kontrol

Perlakuan 56.26±9.67a 40.66±9.70a 1.51±3.51a 1.57±1.63a Kontrol 56.91±8.51a 42.44±8.94a 0.11±0.61a 0.53±0.74a Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05).

(24)

14

Degenerasi hialin tidak ditemukan pada penelitian ini, artinya tidak terjadi kerusakan glomerulus. Menurut McGavin dan Zachary (2007), hasil filtrasi protein dari glomerulus normalnya sangat sedikit. Kemudian protein tersebut akan direabsopsi di lumen tubulus proksimal. Degenerasi hialin terjadi ketika konsentrasi protein dari hasil filtrasi tinggi, contohnya seperti kejadian proteinuria akibat kerusakan glomerulus. Pada pewarnaan hematoksilin eosin akan terlihat droplet hialin pada lumen dan sitoplasma sel epitel tubulus proksimal. Secara histologis, hialin terlihat homogen, eosinofilik, dan glossy (translusent). Penyebab kerusakan sel yang ditemukan pada mencit kontrol kemungkinan disebabkan oleh faktor lingkungan, faktor makanan yang kurang higienis, dan infeksi agen penyakit sebelum dilakukan pengujian maupun adaptasi.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemberian ekstrak etanol 30% daun mangium dosis 0.867 mg/kgBB pada mencit tidak menunjukkan efek toksik terhadap organ ginjal. Efek toksik ringan cenderung terjadi pada organ hati. Kerusakan sel yang terjadi bersifat reversible, artinya sel yang rusak dapat kembali normal, sehingga ekstrak etanol 30% daun mangium sebaiknya dikonsumsi dengan dosis yang rendah atau dalam jangka waktu yang tidak lama.

Saran

(25)

15

DAFTAR PUSTAKA

Abdelhalim MAK, Jarrar BM. 2011. Gold nanoparticles induced cloudy swelling to hydropic degeneration, cytoplasmic hyaline vacuolation, polymorphism, binucleaction, karyopyknosis, karyolysis, karyorrhexis and necrosis in the liver. Lipids Health Dis. 10(166):1-5.

Alunat DES, Kardena IM, Suarsana IN. 2014. Pengaruh konsumsi urin sapi bali terhadap kadar blood urea nitrogen, kreatinin serta gambaran histopatologi ginjal tikus. Buletin Veteriner Udayana. 6(2):169-173.

Amarowicz R, Naczk M, Shahidi F. 2000. Antioxidant activity of crude tannins of canola and rapeseed hulls. JAOCS. 77(9):957-961.

Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, Cahalan MK. 2013. Clinical Anesthesia. Philadelphia (US): Lippincott Williams & Wilkins.

[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2010. Acuan Sediaan Herbal Volume Kelima Edisi Pertama. Jakarta (ID): BPOM RI.

[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2014. Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik secara In Vivo. Jakarta (ID): BPOM RI.

Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-2. Iowa (US): Iowa State University Pr.

Cheville NF. 2009. Ultrastructural Pathology: The Comparative Cellular Basis of Disease. Iowa (US): Willey.

Donatus IA. 2001. Toksikologi Dasar. Yogyakarta (ID): Universitas Gajah Mada. Friday JB. 2013. Acacia to Azadirachta. [Internet]. [diunduh 2015 Oktober 9].

Tersedia pada: ctahr.hawaii.edu

Ganong WF. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-2. Jakarta (ID): EGC. Gunasegaran JP. 2010. Textbook of Histology and Practical Guide. Haryana (IN):

Elsevier.

Guyton AC. 2006. Textbook of Medical Physiology. Ed ke-8. Philadelphia (US): WB Saunders Company.

Harlina E. 2007. Toksikopatologi dan biotransformasi senyawa toksik lamtoro merah (Acacia villosa) pada tikus [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Hidayati N, Widyastuti SM, Wahyuono S. 2012. Isolasi dan identifikasi senyawa antifungal akar Acacia mangium dan aktivitasnya terhadap Ganoderma lucidum [tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gajah Mada.

[ISC] Invasive Species Compendium. 2014. Acacia mangium (Brown Salwood). Wallingford (UK): CABI.

[ISC] Invasive Species Compendium. 2015. Mus musculus (Mouse). Wallingford (UK): CABI.

Jones TC, Hunt RD, King NW. 2006. Veterinary Pathology Sixth Edition. Bareilly (US): Blackwell Publishing.

Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N. 1993. Pathology of Domestic Animals Fourth Edition. London (UK): Academic Press.

(26)

16

Kalsom YU, Khairuddin HI, Zakri MM. 2001. Flavonol glycosides from the leaves of Acacia mangium and related species. MJAS. 7(1):109-112.

Lazuardi M. 2008. Struktur histopatologi ginjal dan hati kambing penderita tripanososmiasis pasca pengobatan Berenil®. MP. 31(1):14-21.

Lennan GT, Cheng. 2011. Atlas of Genitourinary Pathology. London (UK): Springer.

Makkar HPS. 2003. Effects and fate of tannins in ruminant animals, adaptation to tannins, and strategies to overcome detrimental effects of feeding tannin-rich feeds. Small Ruminant Res. 49:241-256.

Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Maynard R, Downes N, Finney I. 2014. Histological Techniques: An Introduction for Beginners in Toxicology. Cambridge (UK): The Royal Society of Chemistry.

McGavin MD, Zachary JF. 2007. Pathology Basis of Veterinary Disease. Ed ke-4. Missouri (US): Mosby Elsevier.

[NRC] National Research Council. 1983. Mangium and Other Fast-Growing Acacias for The Humid Tropics. Washington DC (US): National Academy Pr.

[NSH] National Society of Histotechnology. 2001. Guidelines for eosin staining. [Internet]. [diunduh 2015 Agustus 29]. Tersedia pada: nsh.org.

Odenyo AA, Osuji PO, Karanfil O, Adinew K. 1997. Microbiological evaluation of Acacia angustissima as a protein supplement for sheep. Anim Feed Sci Tech. 65:99-112.

Odenyo AA, Osuji PO, Reed JD, Smith AH, Mackie RI, McSweeney CS, Hanson J. 2003. Acacia angustissima: its anti-nutrients constituents, toxicity and possible mechanisms to alleviate the toxicity-short review. Agroforest Syst. 59:141-147.

Rizanti DE. 2014. Aktivitas antidiabetes ekstrak kulit mangium (Acacia mangium

Willd.) melalui uji penghambatan enzim α-glukosidase secara in vitro [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rosilia R. 2014. Aktivitas antioksidan zat ekstraktif daun mangium (Acacia mangium Willd) berdasar uji secara in vitro dan in vivo [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rosser BG, Gores GJ. 1995. Liver cell necrosis: cellular mechanisms and clinical implications. Gastroenterology. 108(1):252-275.

Rousseaux CG. 2005. Trouble shooting in toxicopathology. Elsevier. 207(2005):S214-S224.

Samuelson DA. 2007. Textbook of Veterinary Histology. Missouri (US): Saunders-Elsevier.

Sari RK, Nawawi DS, Darmawan W. 2013. Eksplorasi Senyawa Antikanker dari Limbah Industri Kayu Rakyat. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sarjadi. 1994. Patologi Umum dan Sistemik Col. 1. Ed ke-2. Jakarta (ID): EGC. Shyur L, jieh-hen T, Je-Hsin C. Chih-Yang C, Chiu-ping L. 2005. Antioxidant

(27)

17 Sinha MK, Munshi JD, Munshi JSD. 2010. Eco-Toxicology of Biocidal Plants.

New Delhi (IND): Krishan Mittal.

Soeatmaji DW. 1998. Peran stres oksidatif dalam patogenesis angiopati mikro dan makro diabetes mellitus. Medica. 5(24):318-325.

Sulaksono ME, Pudjoprajitno, Yuwono SS, Parka K. 1986. Keadaan dan masalah hewan percobaan di Indonesia. Bul. Penelit. Kesehat. 14(13):18-24. Sulistianto DE, Harini M, Handajani NS. 2004. Pengaruh pemberian ekstrak buah

mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl] terhadap struktur histologis hepar tikus putih (Rattus norvegicus L.) setelah perlakuan dengan karbon tetraklorida (CCl4) secara oral. BioSMART. 66(2):91-98.

Syamsudin. 2013. Nutrasetikal. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu.

Winarsi H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Yogyakarta (ID): Kanisius.

(28)

18

LAMPIRAN

(29)

19

Lampiran 2 Hasil statistik rata-rata kenaikan berat badan mencit

Test of Between-Subjects Effects

Lampiran 3 Hasil statistik rata-rata konsumsi pakan mencit

(30)

20

Lampiran 4 Hasil statistik jumlah sel pada segitiga porta

Test of Between-Subjects Effects

Source

Dependent Type III Sum of Squares

Df Mean

Square F Sig.

Variable Perlakuan Sel Normal

3419.379 1 3419.379 14.043 0 Degenerasi

Hidropis 3721.369 1 3721.369 15.036 0 Nekrosis

6.389 1 6.389 5.723 0.02 Error Normal

14122.35 58 243.489 Degenerasi

Hidropis 14354.52 58 247.492

Nekrosis

64.742 58 1.116

Total Normal

17541.73 59

Degenerasi

Hidropis 18075.89 59

Nekrosis

(31)

21

Lampiran 5 Hasil statistik jumlah sel pada vena sentralis

Test of Between-Subjects Effects

Source Dependent Variable

Type III Sum

of Squares

df Mean

Square F Sig.

Perlakuan Sel Normal 2027.11 1 2027.11 12.053 0.001 Degenerasi

Hidropis 2195.3 1 2195.3 13.553 0.001 Degenerasi

Lemak 0.09 1 0.09 1 0.321

Nekrosis 4.543 1 4.543 0.349 0.557 Error Sel Normal 9754.7 58 168.185

Degenerasi

Hidropis 9395.05 58 161.984

Degenerasi

Lemak 5.248 58 0.09

Nekrosis 755.629 58 13.028

Total Sel Normal 11781.8 59

Degenerasi

Hidropis 11590.4 59

Degenerasi

Lemak 5.338 59

(32)

22

Lampiran 6 Hasil statistik jumlah sel pada ginjal

Source

Dependent Variable

Type III Sum

of

Squares df

Mean

Square F Sig. Perlakuan Sel

Normal 6.37 1 6.37 0.077 0.783 Degenerasi

Hidropis 47.847 1 47.847 0.55 0.461 Degenerasi

Lemak 29.442 1 29.442 4.648 0.135 Nekrosis 16.099 1 16.099 10.048 0.102 Error Sel

Normal 4813.51 58 82.992 Degenerasi

Hidropis 5046.56 58 87.01 Degenerasi

Lemak 367.36 58 6.334

Nekrosis 92.932 58 1.602 Total Sel

Normal 4819.88 59

Degenerasi

Hidropis 5094.4 59

Degenerasi

Lemak 396.802 59

(33)

23

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 1 Daun Acacia mangium (Friday 2013)
Tabel 1 Hasil perhitungan rata-rata kenaikan berat badan mencit dan konsumsi

Referensi

Dokumen terkait

Rata-rata jumlah sel ginjal (tubulus proksimal) nekrotik mencit betina dewasa pada setiap perlakuan didapati paling sedikit luas kerusakan terdapat pada mencit betina

Gambaran Histopatologi Ginjal Embrio Mencit pada Umur Kebuntingan 12 - 14 hari.. Degenerasi tubulus kontortus

Jumlah sel nekrosis pada kelompok perlakuan yang lebih sedikit dari kelompok kontrol menandakan bahwa ekstrak kulit kayu mangium memberikan manfaat baik pada sel hati di

Lesio glomerulus berupa atrofi (panah A), nekrosa epitel tubuli (panah B) dan degenerasi hidropis sel epitel tubuli (panah C). Pewarnaan HE; Bar 2µm. Gambar 12 Gambaran

Dalam penelitian ini, akan dilakukan pengamatan terhadap histologi ginjal yang berupa jumlah sel ginjal yang normal, sel ginjal yang mengalami pembengkakan, dan sel

Rata-rata jumlah sel ginjal (tubulus proksimal) nekrotik mencit betina dewasa pada setiap perlakuan didapati paling sedikit luas kerusakan terdapat pada mencit

Kondisi tubulus seminiferus yang semakin membaik tersebut ditandai dengan adanya peningkatan ukuran diameter dan tebal epitel tubulus seminferus serta jumlah sel

Kerusakan hati yang disebabkan oleh parasetamol pada penelitian ini, diketahui dengan cara menghitung persentase sel yang mengalami degenerasi dan nekrosa sehingga pengaruh