• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Produksi Tepung Sagu Menggunakan Proses Semi Kering Dengan Kombinasi Fermentasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Proses Produksi Tepung Sagu Menggunakan Proses Semi Kering Dengan Kombinasi Fermentasi"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

PROSES PRODUKSI TEPUNG SAGU MENGGUNAKAN

PROSES SEMI KERING DENGAN KOMBINASI

FERMENTASI

ABDUL MAJID

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Proses Produksi Tepung Sagu Menggunakan Proses Semi Kering dengan Kombinasi Fermentasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(3)

ABDUL MAJID. Proses Produksi Tepung Sagu Menggunakan Proses Semi Kering dengan Kombinasi Fermentasi. Dibimbing oleh DWI SETYANINGSIH dan BAMBANG HARYANTO

Kebutuhan tentang pati dan tepung meningkat seiring dengan berkembangnya pola konsumsi masyarakat dan industri baik itu peruntukan pangan dan non pangan. Ditunjang dengan potensi kandungan pati dalam batang sagu cukup besar sebagai tanaman palma pertama yang ketersediaannya cukup besar di Indonesia dan kandungan patinya cukup tinggi. Sementara dalam proses untuk mendapatkan pati sagu, yang pada umumnya dilakukan proses ektraksi dengan media air dan terjadi akumulasi limbah pati sagu yang mengakibatkan pencemaran lingkungan. Disisi lainnya, ketersediaan air akan berkurang baik secara kuantitas maupun kualitas yang akan berpengaruh pada mutu pati sagu yang dihasilkan. Selain itu sagu sebagian besar materialnya berupa kulit dan ampas sehingga menyulitkan untuk dibuat tepung secara langsung. Maka perlu dilakukan pengembangan pengolahan tepung sagu secara fermentasi dengan stater yang mudah didapat.

Penelitian ini bertujuan memperoleh kondisi terbaik pengembangan proses produksi tepung sagu semi kering dengan perlakuan fermentasi yang meliputi variasi stater yang mudah didapat dipasaran dan variasi lama perendaman, mendapatkan alternatif proses produksi tepung sagu dengan meminimalisasi penggunaan air, menurunkan kadar serat kasar pada tepung sagu yang dihasilkan.

Penelitian diawali dengan persiapan bahan baku dengan pengujian karakterisitik bahan baku sagu serta dilakukan pengecilan ukuran dengan cara pemarutan. Kemudian dilakukan pelaksanaan penelitian di Laboratorium. Penelitian di laboratorium dimulai dengan pemilihan stater yang selanjutnya dilakukan proses inkubasi dan penepungan, pengujian distribusi ukuran partikel tepung sagu serta pengujian mutu tepung. Setelah itu dilakukan analisis kelayakan.

Rancangan percobaan yang digunakan rancangan acak lengkap 2 faktor, yaitu faktor proses fermentasi (jenis starter) dan yaitu : Bimo CF, Ragi tape, Spontan, sedangkan level faktor untuk lama perendaman adalah 5 taraf, yaitu : 1,2,3,4 dan 5 hari dengan 2 ulangan.

Penelitian ini dilaksanakan selama Lima bulan yaitu pada bulan Januari 2014 sampai dengan Mei 2014. Pembuatan tepung jagung dilakukan di Laboratorium Teknologi Agroindustri, LABTIAB – PUSPIPTEK Serpong. Pengujian tepung jagung dilakukan di Laboratirum Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB dan Laboratorium Uji dan Analisa LABTIAB – PUPSPIPTEK Serpong.

Proses produksi tepung sagu semi kering yang dikombinasikan dengan fermentasi menggunakan starter Bimo CF dan ragi tape dapat dijadikan sebagai alternatif pengolahan sagu. Tepung sagu yang dihasilkan mempunyai kadar serat yang berkisar antara 1 % sampai dengan 2 %. Dimana sebagai syarat sagu untuk industri sebesar 1 % (MS468, 1976), granula pati sesuai standar SNI 01-3729-1995, memiliki pH yang memenuhi standar untuk pangan SIRIM MS 470:1992 sebesar 4.5 sampai 6.5 dan rendemen tertinggi pada waktu perendaman 2 hari sebesar 26.40 % dan waktu perendaman 3 hari sebesar 26.50 % pada penggunaan starter Bimo CF dan rendemen tertinggi untuk penggunaan stater ragi tape sebesar 24.75 % pada waktu perendaman 1 hari.

(4)

oval atau berbentuk telur dan sebagian diantaranya memiliki ujung yang rata atau pepat dan serupa dengan granula pati standar SNI 01-3729-1995.

Proses produksi tepung sagu secara proses semi kering yang dikombinasikan dengan fermentasi menggunakan starter Bimo CF dan ragi tape pada waktu inkubasi 1 sampai 3 hari dapat memperbaiki sifat gelatinisasi yaitu menurunkan waktu dan suhu gelatinisaasi, mempunyai kekentalan yang stabil baik pada suhu tinggi dan terjadi perbaikan dibanding pati sagu yang diproduksi oleh UKM, tetapi daya pengentalannya tidak tahan pada kondisi suhu tinggi dan tidak berpengaruh nyata terhadap breakdown viscosity serta viskositas panas, tahan terhadap retrogradasi adonan sehingga adonan lebih lunak jika dibandingkan pati sagu dan fermentasi dengan variasi starter dan waktu perendaman berpengaruh nyata terhadap viskositas dingin dan setback viscosity. Tepung sagu yang dihasilkan berpotensi sebagai bahan pangan dan untuk industri namun perlu ada upaya lebih lanjut untuk meningkatkan kecerahan tepung sagu sehingga lebih diminati oleh industri pengguna.

Proses produksi tepung sagu secara semi kering dengan kombinasi fermentasi menggunakan stater Bimo CF dan ragi tape layak secara finansial. Dengan nilai NPV DF 16% sebesar Rp. 362.167.291,-, IRR sebesar 20.53 %, net B/C ratio sebesar 2.24 dan Pay Back Period sebesar 4.68 tahun untuk penggunaan stater Bimo CF. dan untuk penggunaan stater ragi tape nilai NPV DF 16% sebesar Rp. 321.531.459,-, IRR sebesar 19.44 %, net B/C ratio sebesar 2.18 dan Pay Back Period sebesar 4.89 tahun. Penggunaan kedua stater tersebut lebih sensitiv terhadap peubahan harga jual produk tepung sagu disbanding terhadap perubahan harga bahan baku sehingga perlu dicari terobosan pasar dan pengembangan produk hilir.

(5)

ABDUL MAJID.The Process Of Sago Flour Production use Semi-Dry Process Combine With Fermentation. Supervised by DWI SETYANINGSIH and BAMBANG HARYANTO

Requirement about starch and flour increase with the growing society and industry consumption patterns either food and non food. potential of sago starch content in the trunk is quite large as the palm tree first availability in Indonesia pretty large and pretty high starch content. While in the process to obtain sago starch, which is generally done with the water extraction process and the accumulation of waste water sago starch resulting in environmental pollution. The other hand, the availability of water will diminish in quantity and quality that would affect the quality of sago starch is produced. In addition sago most of the material is skin and pulp making it difficult to make flour directly. It is necessary to the development of processing sago starch is fermented with a starter that is easily obtainable.

This study aimed to obtain the best conditions the development of the production process sago flour semi-arid with the treatment of fermentation include variations stater easily available in the market and variations of incubation time, get an alternative production process sago flour to minimize water use, reduce levels of crude fiber in corn starch produced.

The study begins with the preparation of raw materials to testing the characteristics of raw materials sago and size reductions. Then the implementation of the research conducted in the laboratory. Research in the laboratory begins with the selection of the starter is then performed incubation process and flouring, testing the particle size distribution of corn starch and flour quality testing. Once the feasibility analysis.

The experimental design used randomized design with two factors, the fermentation process (type of starter): Bimo CF, yeast, Spontaneus, level of long incubation factor is 5 levels: 1,2,3,4 and 5 days with 2 replications.

The research was conducted during the five months that in January 2014 to May 2014. Making sago flour done in the Laboratory of Agro-Industry Technology, LABTIAB - PUSPIPTEK Serpong. Tests is done in Laboratirum analysis IPB Department of Agricultural and Industrial Technology Laboratory Testing and Analysis LABTIAB - PUPSPIPTEK Serpong.

Sago flour production processes combined with a semi-dry fermented using yeast starter Ben CF can be used as an alternative treatment of sago. Corn starch produced has a fiber content between 1% to 2%. Where as a condition for the sago industry amounted to 1% (MS468, 1976), starch granule according to the standard of SNI 01-3729-1995, has a pH that meet the standards for food SIRIM MS 470: 1992 of 4.5 to 6.5 and the highest yield at the time of incubation 2 days amounted to 26.40% and the incubation time 3 days amounted to 26.50% in the use of starter Bimo CF and the highest yield for yeast starter usage by 24.75% at 1 day of incubation time.

Fermentation using yeast and starter Bimo CF with spontaneous fermentation significant effect on fineness. Fineness sago starch produced in accordance with the standard requirements of SNI 01-3729-1995.

(6)

the time and gelatinization temperature, has a good stable viscosity at high temperatures and there is improvement compared sago starch produced by UKM. Fermentation significant effect on the final viscosity, setback viscosity and pasting temperature but had no effect on peak time, breakdown viscosity, through viscosity, and peak viscosity and the potential of sago flour as food.

The production process of corn starch with a combination of semi-dry fermented using yeast starter Bimo CF and yeast financially feasible. With NPV DF 16% price of Rp. 362 167 291, -, IRR of 20:53%, net B / C ratio of 2:24 and Pay Back Period amounted to 4.68 years for using starter Bimo CF. and to using yeast starter NPV DF 16% the price of Rp. 321 531 459, -, IRR of 19:44%, net B / C ratio of 2:18 and Pay Back Period amounted to 4.89 years. The second use of the starter is more sensitive to changes in selling prices of sago flour to change in raw material prices that is necessary to find a market breakthrough and development of downstream products.

(7)
(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(9)

PROSES PRODUKSI TEPUNG SAGU MENGGUNAKAN

PROSES SEMI KERING DENGAN KOMBINASI

FERMENTASI

ABDUL MAJID

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Nama : Abdul Majid

NRP : F351110041

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Dwi Setyaningsih, S.TP, M.Si.

Anggota

Prof. Dr. Ir. Bambang Haryanto, MS.

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Prof. Dr. Ir. Machfud, MS.

Tanggal Ujian : 18 Agustus 2015

Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB

Dr. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

(12)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah tepung sagu, dengan judul Proses Produksi Tepung Sagu Menggunakan Proses Semi Kering dengan Kombinasi Fermentasi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Dwi Setyaningsih, S.TP, M.Si. dan Prof. Dr. Ir. Bambang Haryanto, MS. selaku pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan arahan selama penyelesaian tesis ini. Rasa terima kasih juga penulisa sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Machfud, MS. selaku Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian yang telah banyak membantu selama penulis melaksanakan studi di Program Studi Teknologi Industri Pertanian. Tak lupa terima kasih penulis haturkan kepada Dr. Indah Yuliasih, S.TP, M.Si. selaku dosen penguji luar komisi dan Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si. yang telah bersedia memberikan masukan dan tambahan wawasan untuk perbaikan karya ilmiah ini. Di samping itu, terima kasih juga penulis sampaikan rekan-rekan Teknologi Industri Pertanian angkatan 2009 serta semua pihak di Institut Pertanian Bogor yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.

Rasa terima kasih juga disampaikan kepada Ir. Priyo Atmaji, M.Eng, Ir. Nenie Yustingsih, M.Sc. selaku Direktur Pusat Teknologi Agroindustri, Dr. Aton Yulianto, S.Si, M.Eng., Ir. Irshan Zainudin, M.Si dan Drs. Agus Triputranto, MM. selaku atasan langsung di Bidang Teknologi Agroindustri Pangan dan Hortikultura dan para pihak terkait di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang telah membantu terlaksananya studi karya siswa penulis di IPB, serta kepada rekan-rekan di Laboratorium Teknologi Agroindustri, LABTIAB – PUSPIPTEK Serpong yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.

Ungkapan terima kasih yang tidak terkira disampaikan kepada mereka yang tercinta Bapak, Emih, Mama, Papa, Erni, Faiha, Farras, Jiyad, Barra serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 2

Tujuan 3

Ruang Lingkup 3

TINJAUAN PUSTAKA 4

Sagu 4

Pati Sagu 6

Tepung Sagu 7

Fermentasi Tepung Sagu 7

METODE PENELITIAN 8

Waktu dan Tempat Penelitian 8

Bahan dan Peralatan 8

Tahapan Penelitian 9

PEMBAHASAN 18

Karakteristik Bahan Baku 18

Pengaruh Fermentasi Terhadap Komponen Kimia Tepung Sagu 20 Pengaruh Fermentasi Terhadap Distribusi Partikel Tepung Sagu 25

Pengaruh Fermentasi Terhadap Rendemen Tepung Sagu 28

Pengaruh Fermentasi Terhadap Ukuran Partikel Tepung Sagu 30

Pengaruh Fermentasi Terhadap Sifat Visco Amilografi 32

Pengukuran pH 38

Derajat Putih 39

Optimasi Proses 40

Desain Proses

Analisa Kelayakan Finansial 42

Kriteria Kelayakan Investasi 43

Analisa Sensitivitas 44

KESIMPULAN 46

Kesimpulan 46

DAFTAR PUSTAKA 47

(14)

2.1 Perkiraan Areal Agihan Sagu Dunia (Louhenapessy 2010) 5

4.1 Karakteristik Bahan Baku Sagu 18

4.2 Kadar serat dari tepung pada beberapa sumber karbohidrat 19 4.3 Hasil analisa proksimat terhadap tepung sagu hasil fermentasi

menggunakan ragi tape pada berbagai variasi waktu perendaman 21 4.4 Hasil analisa proksimat terhadap tepung sagu hasil fermentasi menggunakan

Bimo CF pada berbagai variasi waktu perendaman 22

4.5 Hasil analisa proksimat terhadap tepung sagu hasil fermentasi spontan pada

berbagai variasi waktu perendaman 23

4.6 Hasil analisa proksimat terhadap tepung sagu hasil pengujian kontrol positif

pada berbagai variasi waktu perendaman 25

4.7 Hasil analisa rendemen terhadap tepung sagu hasil fermentasi pada berbagai

variasi stater dan waktu perendaman 29

4.8 Perbandingan sifat amilografi tepung sagu hasil fermentasi pada berbagai

variasi stater dan waktu perendaman. 33

4.9 Perbandingan nilai respon kadar serat tepung sagu pada berbagai kondisi. 40 4.10 Hasil perhitungan kelayakan investasi terhadap tepung sagu hasil

fermentasi pada berbagai perlakuan fermentasi. 43

4.11 Perbandingan hasil perhitungan kelayakan investasi terhadap tepung sagu hasil fermentasi pada berbagai perlakuan fermentasi pada saat bahan baku sagu naik 10%.

44

4.12 Perbandigan hasil perhitungan kelayakan investasi terhadap tepung sagu hasil fermentasi pada berbagai perlakuan fermentasi pada saat harga jual produk utama turun 10%.

(15)

3.1 Grafik perubahan viskositas (amilogrm) pada tepung 14

3.2 Skema Pelaksanaan Penelitian 17

4.1 Bagian batang sagu (Louhenapessy, 2010) (A) dan struktur anatomi batang

(B). 26

4.2 Grafik persentase tepung yang tidak lolos ayakan +30 mesh terhadap waktu

perendaman pada berbagai variasi stater 27

4.3 Grafik presentase tepung sagu lolos ayakan 100 mesh terhadap waktu

perendaman dan pada berbagai variasi stater 27

4.4 Foto hasil SEM untuk (A) tepung sagu hasil fermentasi dengan stater Bimo CF. (B) stater ragi tape. (C) fermentasi spontan (1,2,3,4 = waktu

inkubasi/hari). (D) dan kontrol positif (1 = waktu inkubasi 1 hari, 2 = waktu inkubasi 3 hari). (E) pati sagu standar SNI 01-3729-1995.

31

4.5 Grafik sifat amilograpi tepung sagu (A) stater Bimo CF, (B) stater ragi tape

(C) fermentasi spontan. 35

4.6 Grafik hasil pengukuran pH terhadap waktu perendaman dan pada berbagai

variasi starter 38

4.7 Grafik hasil pengukuran derajat putih terhadap waktu perendaman dan pada

berbagai variasi starter. 40

(16)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tumbuh kembangnya suatu negara mempengaruhi pola hidup masyarakatnya, terutama dalam hal mengkonsumsi makanan yang diakibatkan karena keterbatasan waktu dan tempat, sehingga pola konsumsi makanan masyarakat beralih dari makanan konvensional ke makanan yang serba praktis. Sejalan dengan hal tersebut, masyarakat yang hidup di kota-kota besar maupun kecil di Indonesia mulai terbiasa mengkonsumsi makanan siap saji maupun siap konsumsi yang banyak tersedia di pasar-pasar tradisional maupun pasar-pasar modern di berbagai kota di Indonesia. Makanan-makanan siap saji maupun siap konsumsi tersebut utamanya didominasi oleh mie/bihun/bubur instan, roti dan biskuit. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap meningkatnya kebutuhan terigu sebagai bahan baku utamanya. Kondisi ini akan menjadikan bangsa kita mempunyai ketergantungan yang tinggi kepada bangsa-bangsa lain untuk pemenuhan kebutuhan pangan, terutama beras dan terigu (BPPT, 2010). Sebagai Negara yang terletak di daerah tropika basah, Indonesia kaya akan tanaman penghasil karbohidrat dan mampu menjadi sumber karbohidrat terbesar di dunia. Pada umumnya karbohidrat tersebut diperoleh dari biji-bijian seperti beras, gandum, jagung, sorgum dan semacamnya, disamping itu juga diperoleh dari umbi-umbian seperti ubi kayu, talas, garut, ganyong dan semacamnya. Selain itu ada juga jenis tanaman lain yang menyimpan karbohidrat atau pati pada bagian batang seperti Aren (Arenga piñata), Sagu (Metroxylon sp) dan sebagainya (Haryanto, 1994).

Indonesia adalah pemilik areal sagu terbesar, dengan luas areal sekitar 1.128 juta Ha atau 51.3% dari 2.201 juta Ha areal sagu dunia, dengan potensi produktivitasnya cukup tinggi sebesar ± 30 ton/ha/tahun, jauh melebihi sumber pangan lainnya seperti padi 10 sampai 16 ton/ha/tahun dan jagung 8 sampai 10 ton/ha/tahun (Alfons dan Rivaie, 2011). Indonesia mempunyai banyak daerah yang berpotensi ditanami sagu. Tercatat, sekitar 183 kabupaten yang tersebar di 27 provinsi dinilai potensial untuk pengembangan tanaman sagu. Total pati sagu yang dapat dihasilkan seluruh Indonesia potensinya dapat mencapai 6.84 juta ton/tahun (Syakir dan Elna, 2013). Kandungan terbesar dalam sagu ialah karbohidrat, dalam 100 g sagu kering terdapat 94 sampai 96 g karbohidrat lebih tinggi dibandingkan dengan beras 80.4 g, jagung 71.7 g, maupun kentang 16.3 g (Ni’mah et al., 2013).

(17)

Pengolahan batang sagu dilakukan proses ekstraksi dengan bantuan air. Dengan media air, pati sagu dapat dipisahkan dengan seratnya. Pada umumnya pengolahan sagu dilakukan di dekat sumber air seperti di pinggir sungai ataupun anak sungai. Pada industri pengolahan sagu dengan kapasitas besar, air sungai akan terakumulasi dengan sisa pati sagu hasil ekstraksi tersebut. Bila hal ini berlangsung terus menerus akan terjadi akumulasi limbah pati sagu yang berdampak pada pencemaran air sungai (Amos, 2010). Untuk mengantisipasi berkurangnya ketersediaan air baik secara kualitas maupun kuantitas perlu dicari alternatif metode pengolahan sagu yang tidak banyak menggunakan air sekaligus adanya perbaikan kualitas produk olahan sagu.

Menurut Schuiling dan Flach (1985) dalam Louhenapessy et al. (2010) pati adalah hasil ekstraksi secara mekanik dalam keadaan basah dari empulur pohon, sedangkan tepung adalah hasil yang didapat dari penggilingan kering dari suatu bahan yang tetap mengandung serat dan bahan kasar lainnya. Dalam proses pembuatan tepung sagu diduga akan menghemat air dibanding dengan pembuatan pati sagu. Oleh karena itu perlu dilakukan rekayasa proses produksi tepung sagu. Rekayasa proses tepung sagu sudah dilakukan oleh (Saripudin, 2006) dengan cara sagu dibuat chips kemudian ditepung dengan menggunakan disk mill yang sebelumnya dilakukan perendaman dengan menggunakan natrium metabisulfit, namun tepung sagu yang dihasilkan masih mengandung kadar serat yang tinggi, yakni 10.10 %. Selain belum memenuhi standar maksimum kandungan serat yang disyaratkan SNI 01-3729-1995 sebesar 0.1 % dan syarat sagu untuk industri sebesar 1 %. Kandungan serat yang tinggi dalam tepung sagu juga akan membatasi penggunaan tepungnya. Sehingga untuk memperluas penggunaan tepung sagu perlu ada upaya pengembangan rekayasa proses produksi tepung sagu dengan cara yang lebih efektif dan efisien.

Batang sagu mempunyai kadar air yang cukup tinggi sebesar 50 sampai 66 % sementara kadar patinya rendah sebesar 20 sampai 29 %, selain itu batang sagu sebagian besar materialnya berupa kulit dan ampas sehingga menyulitkan untuk dibuat tepung secara langsung. Maka perlu dilakukan pengembangan pengolahan tepung sagu secara fermentasi. Upaya meningkatkan mutu tepung dengan sasaran menurunkan kadar serat kasar melalui fermentasi telah dilakukan menggunakan starter Bimo CF (Rachmadi, 2011), fermentasi pada beberapa sumber karbohidrat menggunakan ragi tape terjadi penurunan kandungan serat kasar (Rahmawati dan Luwihana, 2013), adanya perubahan sifat fisika kimia (Mukhamad dan Yunianta, 2014). Stater Bimo CF dan ragi tape mudah didapatkan di pasaran sehingga dalam penelitian ini akan dilakukan proses produksi tepung sagu semi kering dengan perlakuan fermentasi menggunakan kedua starter tersebut.

Rumusan Masalah

(18)

tinggi dan ketersediaannya cukup besar di Indonesia. Sementara dalam proses untuk mendapatkan pati sagu, yang pada umumnya dilakukan proses ektraksi dengan media air dan terjadi akumulasi limbah pati sagu yang mengakibatkan pencemaran lingkungan. Disisi lainnya, ketersediaan air akan berkurang baik secara kuantitas maupun kualitas yang akan berpengaruh pada mutu pati sagu yang dihasilkan. Selain itu sagu sebagian besar materialnya berupa kulit dan ampas sehingga menyulitkan untuk dibuat tepung secara langsung. Maka perlu dilakukan pengembangan pengolahan tepung sagu secara fermentasi dengan stater yang mudah didapat. Oleh karena itu, rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah pengembangan proses produksi tepung sagu secara fermentasi sebagai alternatif proses produksi tepung sagu dengan menggunakan stater yang mudah didapat di pasaran akan menurunkan kadar serat pada tepung sagu serta menghasilkan tepung sagu sesuai yang diharapkan yaitu tepung dengan standar mutu yang mengacu kepada mutu patinya.

Tujuan

Tujuan kegiatan penelitian ini adalah :

1. Memperoleh kondisi terbaik pengembangan proses produksi tepung sagu semi kering dengan perlakuan fermentasi yang meliputi variasi stater yang mudah didapat dipasaran dan variasi lama perendaman.

2. Mendapatkan alternatif proses produksi tepung sagu dengan meminimalisasi penggunaan air.

3. Menurunkan kadar serat kasar pada tepung sagu yang dihasilkan.

Ruang Lingkup

(19)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Sagu

Pengertian sagu dijelaskan secara gamblang dalam (Louhenapessy, 2010) istilah sagu telah digunakan secara luas untuk pati atau tepung yang dihasilkan oleh batang tumbuhan palma, pakis atau umbi akar. Deinum membatasi genus

Metroxylon sebagai sagu sejati (true sago palm) baik yang berbunga satu kali maupun dua kali, tetapi Heyne membatasi pengertian sagu sejati hanya pada genus Metroxylon yang berbunga dan berbuah satu kali yaitu Metroxylon spp.,

sedangkan yang berbunga lebih dari satu kali yaitu M. elatum Mart. Dan M. filare Mart., tidak termasuk sagu sejati malah dikeluarkan dari genus Metroxylon.

Schuiling dan Flach membatasi sagu sejati lebih khusus lagi yaitu hanya termasuk

M.sagus Rottb. (sagu molat), karena selain produksinya tinggi, tepungnya termasuk mutu perdagangan internasional. Walaupun demikian kenyataannya di Maluku spesies M. rumphii Mart. (sagu tuni) merupakan penghasil tepung tertinggi dan mutu tepung tidak berbeda dengan sagu molat. Dari berbagai pendapat diatas dan kenyataan perkembangan saat ini maka pendapat Heyne-lah yang digunakan dan nama sagu sudah merupakan nama umum untuk Metroxylon spp., di Maluku dan Papua sebagai pusat agihan sagu dunia. Dari uraian diatas maka yang disebut sagu adalah tepung atau pati yang dihasilkan dari Metroxylon spp., dan tumbuhan sagu adalah genus Metroxylon yang berbunga satu kali. Untuk menjernihkan pengertian maka dapat disepakati bahwa palma lain atau pohon lain yang bukan genus Metroxylon yang menghasilkan tepung atau pati dari pokok batangnya dapat dinamakan tumbuhan sagu-saguan.

Secara taksonomi tumbuhan, sitematika tumbuhan sagu (Metroxylon spp.) adalah sebagai berikut :

Devisi : Spermatophyta

Kelas : Angiospermae

Subkelas : Monocotyledonae

Ordo : Arecales

Famili : Palmae

Subfamili : Lepidocaroideae (Calamoideae)

Genus : Metroxylon

Spesies : Eumetroxylon

(20)

Menurut Widjono et al. dalam Kanro et al. (2003) telah mengidentifikasi 61 jenis sagu pada empat lokasi di Papua. Identifikasi dilakukan menurut sifat-sifat kualitatif yang meliputi warna pucuk, bentuk duri, pelepah daun, diameter batang, warna tepung, bentuk tajuk, dan produksi tepung. Dari 61 jenis yang ditemukan, 32 di antaranya mempunyai produksi tinggi dan telah banyak dimanfaatkan oleh penduduk. Novarianto et al.(1996) telah mengidentifikasi 17 sampai 20 jenis sagu di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Jenis-jenis tersebut sudah mempunyai nama lokal dan sudah dikenal oleh masyarakat pengelola sagu di Papua. Nama-nama lokal sagu tersebut adalah sebagai berikut: Yakhali, Fikhela, Phane, Osoghulu, Yoghuleng, Rena, Hobolo, Yebha, Hili, Wanni, Follo, Habela, Yaghalobe, Phui, Phara Waliha, Rondo, Ebesung, Manno, Ruruna, dan Phara. Sagu jenis Osoghulu, Ebesung, dan Yebha termasuk penghasil tepung sangat tinggi, masing-masing menghasilkan 207.50 kg, 207.50 kg, dan 191.50 kg tepung per pohon setelah berumur 7 sampai 10 tahun. Jenis Follo, Wanni, Yaghalobe, Ruruna, Hobolo, Phui, Fikhela, Rondo, dan Yakhali termasuk penghasil tepung cukup tinggi dengan produksi berkisar antara 126.,50 sampai 176.50 kg tepung/pohon/tahun.

Inventarisasi tumbuhan sagu di Indonesia telah dilakukan pada awal sampai dengan akhir 1980-an oleh BPPT dan UNPATTI, BAKOSURTANAL dan UNCEN maupun peneliti-peneliti kelompok atau peorangan. Taksiran agihan sagu Indonesia dan dunia yang dibudidaya maupun alami tercantum pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Perkiraan Areal Agihan Sagu Dunia

(21)

tanaman lain tidak dapat tumbuh. Sagu merupakan tanaman yang dapat memproduksi pati dan tumbuh dengan baik sampai ketinggian 1000 meter dari permukaan laut. Pada wilayah yang kurang baik, para petani sagu hanya dapat menebang tanaman sagu sebanyak 5 pohon/ha/tahun. Tetapi pada hutan sagu yang baik, para petani bisa menebang tanaman sagu hingga 30 pohon/ha/tahun. Produksi tanaman sagu bervariasi dari 200 sampai 350 kg setiap pohonnya, pati dari pohon sagu sekitar 153 sampai 345 kg setiap pohonnya. jika pohon sagu ditebang secara reguler setiap bulan maka produksinya akan menurun sampai 25 sampai 50 kg. Tepung sagu kering hasil pengolahan industri pengolahan sagu hanya dapat memanfaatkan 16 % sampai 28 % dari berat batang sagu. Persentase pemanfaatan sagu tersebut relatif sangat kecil dan merupakan pemborosan sumberdaya alam. Sebagian besar material berupa kulit dan ampas sebesar ± 85 % terbuang sebagai sisa produk. Empulur batang sagu mengandung 20.2 sampai 29 % pati, 50 sampai 66 % air dan 13.8 sampai 21.3 % bahan lain atau ampas. Dihitung dari berat kering, empulur batang sagu mengandung 54 sampai 60 % pati dan 40 sampai 46 % ampas (Saripudin, 2006).

Pati Sagu

Selama ini produksi dan penelitian sagu sebagian besar menggunakan pati sagu. Untuk mengolah batang sagu menjadi pati sagu perlu dilakukan proses ekstraksi dengan bantuan air. Dengan media air ini pati sagu dapat dipisahkan dengan seratnya. Pada umumnya pengolahan sagu dilakukan didekat sumber air seperti di pinggir sungai ataupun anak sungai. Pada industri pengolahan sagu dengan kapasitas besar, air sungai akan terakumulasi dengan sisa pati sagu hasil ekstraksi tersebut. Bila hal ini berlangsung terus menerus maka akan terjadi akumulasi limbah pati sagu yang akan mengakibatkan pencemaran air sungai (Haryanto, 2004).

Pati sagu mengandung 27 % amilosa (polimer linear) dan 73 % amilopektin, polimer bercabang. Kandungan amilosa pati sagu sebesar 21.7 %. Ini bisa menjadi indikasi bahwa mungkin untuk penambahan kandungan amilosa. Distribusi ukuran butir 16.0 sampai 25.4 um. Ini adalah kemungkinan bahwa ukuran butir meningkat dengan usia bagasi, sampai inisiasi perbungaan. Jumlah viskositas maksimum 960 bu, dan gelatinisasi suhu 70o C. Viskositas menurun dengan

penurunan kualitas pati, karena aktivitas mikroba. Dalam industri pati modern, pati dapat dimodifikasi untuk keperluan tertentu. Asalkan ada nilai tambah dengan harga murah, bersih dan tidak terjadi kerusakan pati, sagu akan jelas lebih kompetitif dibanding semua pati lainnya, dan untuk beberapa tujuan bahkan mungkin lebih disukai (Flach, 1997).

(22)

amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket dan cenderung sedikit menyerap air (Saripudin, 2006).

Tepung Sagu

Selama ini nama pati dan tepung disamakan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia maupun Kamus Umum Bahasa Indonesia, pengertian pati dan tepung disamakan baik sebagai hasil ekstraksi dari pokok batang palma maupun hasil penghancuran (penggilingan) umbi atau biji-bijian seperti ubi kayu, gandum dan padi. Menurut Schuiling dan Flach dalam Louhenapessy et al. (2010) pati adalah hasil ekstraksi secara mekanik dalam keadaan basah dari empulur pohon, sedangkan tepung adalah hasil yang didapat dari penggilingan kering dari suatu bahan yang tetap mengandung serat dan bahan kasar lainnya.

Tepung sagu banyak digunakan sebagai bahan baku untuk makanan atau industri kosmetik. Banyak industri makanan yang telah menggunakan tepung sagu sebagai bahan utamanya seperti produksi bihun, kwe tiau, biskuit, kue dan makanan lain. Produk berbasis tepung sagu memiliki potensi besar untuk memperluas pasar terutama jika ada perbaikan kapasitas produksi dan kualitas produk (Mazlina et al.,2007).

Perkembangan penelitian tepung sagu masih sangat terbatas, selama ini teknologi penepungan ataupun proses fermentasi sagu selalu disandingkan dengan proses ekstraksi. Seperti yang dilakukan oleh (loreto et al., 2006) yang melakukan pengembangan proses pengolahan sagu tradisional di Filipina secara mekanisasi dengan hasil penyederhanan proses dari 22 tahap sebanyak 50 %. Begitu juga apa yang dilakukan oleh (Mazlina et al., 2007) mengenai pengembangan proses tepung sagu dengan teknik sequeezing dan hasilnya dapat meningkatkan yield.

Rekayasa proses tepung sagu yang dilakukan (Saripudin, 2006) menghasilkan tepung sagu dengan rendemen 21.85%, kadar karbohidrat 87.78 % dan serat 10.10 %.

Kajian berbagai macam cara ektraksi pati sagu yang salah satunya dengan fermentasi alami telah dilakukan oleh (Sudrajat, 1985) mengungkapkan pati sagu hasil ekstraksi dengan cara fermentasi menghasilkan yield 24.80% Kadar serat 0.28 %, namun keasaman pati masih tinggi.

Fermentasi Tepung Sagu

(23)

sehingga dihasilkan produk fermentasi yang lebih baik. Fermentasi memiliki berbagai manfaat, antara lain untuk mengawetkan produk pangan, memberi cita rasa atau flavor terhadap produk pangan tertentu, memberikan tekstur tertentu pada produk pangan.

Dalam penelitian Wahyu dan Ikhsan (2010) yang dilakukan sebagai upaya menurunkan kadar serat kasar dengan fermentasi substrat padat menggunakan

Aspegillus niger. Secara umum semua produk akhir fermentasi biasanya mengandung senyawa yang lebih sederhana dan mudah dicerna daripada bahan asalnya. Lebih lanjut dinyatakan bahwa fermentasi juga berfungsi sebagai salah satu cara pengolahan dalam rangka pengawetan bahan dan cara untuk mengurangi bahkan menghilangkan zat racun yang dikandunng suatu bahan.

Penggunaan Bakteri Asam Laktat (BAL) pada stater mocaf Bimo CF dalam proses fermentasi tepung selain tepung ubi kayu dilakukan oleh (Rachmadi, 2011) yang meneliti pemanfaatan fermentasi rebung untuk bahan suplemen pangan dan tepung serat menggunakan starter mocaf sebagai salah satu starter fermentasinya dengan hasil uji tepung rebung dengan perlakuan fermentasi dengan menggunakan stater mocaf dapat menurunkan kadar seratnya. Hal ini terjadi karena serat dipecah oleh bakteri yang terdapat pada starter.

Fermentasi pada beberapa sumber karbohidrat menggunakan ragi tape terjadi penurunan kandungan serat kasar (Arif dan Anan, 1996). Berdasarkan kajian Widodo (2011) disebutkan bahwa ragi tape sebenarnya merupakan campuran mikroba yaitu kapang Amilomyces rouxii yang bersifat aminolitik, khamir

Saccharomyces cerevisiae yang besifat aminolitik, Candida dan Hansnula yang dapat mendegradasi gula menjadi alkohol dan zat organik lainnya, Sedang jamur yang ada dalam ragi tape adalah jenis Aspergillus flavus dan Aspergillus orizae

yang mampu mendegradasi selulosa dan juga menghidrolisis xylon menjadi gula sederhana, serta bakteri Acetobacter yang mengubah alkohol menjadi cuka.

3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penilitian

Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan yaitu pada bulan Januari sampai dengan Mei 2014. Pembuatan tepung sagu dilakukan di Laboratorium Teknologi Agroindustri, LABTIAB – PUSPIPTEK Serpong. Pengujian tepung sagu dilakukan di Laboratirum Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB dan Laboratorium Uji dan Analisa LABTIAB – PUPSPIPTEK Serpong.

Bahan dan Peralatan

Bahan

(24)

ragi tape merek Kereta Kencana yang diproduksi oleh Sinar Sekawan dan dibeli di pasar Lembang Ciledung Kota Tangerang, enzim selulosa ETHOL-GE yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari laboratorium SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Center) LPPM – IPB. dan sodium metabisulfit.

Peralatan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah bak perendaman, stopwatch, timbangan, pengaduk, wadah peniris, neraca analitik, pengering kabinet, oven, desikator, disk mill, siever, peralatan analisa, pH Meter, RVA Tech Master Newport Scientific.

Tahapan Penelitian

Secara garis besar penelitian dikelompokan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu tahap pertama persiapan bahan baku. Tahap kedua adalah tahap penepungan. Penepungan dimulai dengan proses fermentasi yang dilanjutkan dengan perendaman dengan sodium metabisulfit dan dilakukan proses penepungan. Tahap ketiga penelitian ini adalah analisis kelayakan ekonomi. Setelah diperoleh kondisi optimum dari proses produksi tepung sagu dan dibuat desain proses maka dilakukan analisa kelayakan secara ekonomi.

Tahap Persiapan Bahan Baku

Bahan baku sagu yang masih berupa gelondongan sebesar 50 sampai 60 cm dilakukan karakterisasi dengan analisis kandungan proksimat yang bertujuan untuk mengetahui kandungan proksimat atau komponen kimia bahan sagu yang digunakan, selain itu juga analisis kandungan proksimat dilakukan terhadap bahan baku yang ditepung secarang langsung tanpa fermentasi menggunakan ball mill

sebagai pembanding dengan kehalusan 100 mesh dan 200 mesh. Analisis yang dilakukan meliputi analisis kadar air bahan (metode AOAC), Kadar abu (metode AOAC), Kadar lemak (metode soxhlet), Kandungan protein (metoda kjeldahl), Kadar serat kasar (metode gravimetri), Kadar karbohidrat By Difference. Setelah bahan baku dikarakterisasi kemudian dilakukan pengecilan ukuran dengan cara pemarutan (Basir, 2012).

Prosedur uji kadar air menggunakan metode AOAC (1984) seperti yang dilakukan dalam (Saripudin, 2006), cawan alumunium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang. Timbang sampel kurang lebih sebanyak 2 g dalam cawan. Cawan beserta isi dikeringkan dalam oven 100oC selama 6 jam. Pindahkan cawan ke dalam

(25)

Perhitungan :

Kadar Air (% berat basah) = [ ( )] 100 %

W1 = Berat cawan (g) W2 = Berat sampel (g)

W3 = Berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (g)

Prosedur uji kadar abu menggunakan metode AOAC (1984) seperti yang dilakukan dalam (Saripudin, 2006), disiapkan cawan untuk melakukan pengabuan, kemudian dikeringkan dalam oven selama 15 menit. Lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 3 g di dalam cawan, kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400 sampai 600

oC selama 4 sampai 6 jam sehingga terbentuk abu berwarna putih atau memiliki

berat yang tetap. Sampel beserta cawan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang.

Perhitungan :

Kadar abu (%) = 100%

Wa = berat abu (g) Ws = berat sampel (g)

Prosedur uji kadar protein menggunakan metode mikro kjeldahl AOAC (1984) seperti yang dilakukan dalam (Saripudin, 2006), sampel sebanyak 100 mg ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1.9 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, dan 3.8 ± 0.1 ml H2SO4. Tambahkan batu didih pada

labu lalu didihkan sampel selama 1 sampai 1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Labu beserta sampel didinginkan dengan air dingin. Dipindahkan isi labu dan air bekas pembilasnya ke dalam alat destilasi. Labu erlenmeyer 125 ml diisi dengan 5 ml larutan H3BO4 dan ditambahkan dengan 4 tetes indikator, kemudian diletakkan

di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam baik dalam larutan H3BO4.

Larutan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8 sampai 10 ml ditambahkan ke dalam alat

destilasi dan dilakukan destilasi sampai didapat destilatnya ± 15 ml dalam erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru. Dilakukan perhitungan jumlah nitrogen setelah sebelumnya diperoleh jumlah volume (ml)

blanko.

Perhitungan :

Jumlah N (%) = – .

Kadar Protein (%) = jumlah N x faktor konversi (6.25)

(26)

ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105oC sampai 110oC kemudian dinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Ditimbang sebanyak 5 g sampel dalam kertas saring dan kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksan dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105

oC. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator,

kemudian labu beserta lemak ditimbang, dan dilakukan perhitungan kadar lemak.

Kadar lemak (%) = ( ) ( ) 100 %

Prosedur uji serat kasar menggunakan metode gravimetri yang dilakukan oleh Kartadisastra (1997) dalam Sugiyono (2008), Sampel sagu ditimbang sebanyak 1sampai 2 gram dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml, kemudian ditambahkan 50 ml H2SO4 1.25% panas dan direflux selama 30 menit,

setelah itu ditambahkan 50 ml NaOH 3.25% dan direflux selama 30 menit. Sampel yang telah dipanaskan, kemudian disaring panas - panas dengan kertas saring Whatman 42 yang telah diketahui bobotnya. Setelah disaring, lalu sampel dicuci dengan 50 ml H2SO4 1.25% dan 50 ml alkohol 36 %, kemudian endapan

dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C dan timbang sampai bobot konstan. Serat kasar dihitung dengan rumus :

KS (%) = ( ) 100 %

(basis basah) Dimana :

KS = kadar serat kasar (%)

a = berat kertas saring ditambah sampel yang telah dikeringkan (g) b = berat kertas saring (g)

c = berat sampel (g)

Perhitungan kadar karbohidrat dilakukan dengan menggunkan metoda by difference seperti yang dilakukan dalam (Saripudin, 2006).

Perhitungan :

Kadar Karbohidrat (%) = 100 % - (P + KA + A + L + KS)

Di mana :

P = kadar protein (%) A = abu (%)

(27)

Tahap Produksi Tepung Sagu

Rancangan percobaan yang digunakan dalam Pengamatan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan dua faktor dan 2 ulangan. Faktor-faktor tersebut adalah jenis proses fermentasi dan waktu inkubasi. Faktor I adalah jenis proses fermentasi menggunakan stater mocaf, ragi tape dan fermentasi spontan. Factor II adalah waktu inkubasi dengan lima taraf yaitu 1, 2, 3, 4 dan 5 hari. Pengaruh proses fermentasi dengan perlakuan waktu inkubasi lima taraf terhadap karakteristik mutu tepung sagu diketahui berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap parameter penurunan kadar serat, rendemen, kehalusan dengan mengukur distribusi partikel pada ayakan bertingkat, ukuran partikel berdasarkan hasil foto SEM, sifat amilografi menggunakan instrument RVA, keasaman, dan derajat putih. Dan dilakukan uji kontrol positif dengan menggunakan enzim selulosa untuk mengetahui perlakuan positif dari proses fermentasi terhadap faktor yang tergantung dalam hal ini kadar serat.

Model linier umum penduga untuk rancangan acak lengkap adalah :

Yik = µ + τ + Σij

Keterngan :

Yik = nilai pengamatan dari fermentasi ke-i pada ulangan ke-j µ = nilai tengah (nilai rata-rata umum)

τ = pengaruh perlakuan ke-i

Σij = pengaruh galat percobaan pada ulangan ke-j yang memperoleh perlakuan ke-i

Analisa data dilakukan dengan menggunakan prosedur analisa sidik ragam, jika hasil analisa sidik ragam menunjukan pengaruh nyata, maka untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji beda wilayah ganda Duncan atau Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5 %.

Tahap proses produksi tepung sagu meliputi fermentasi bahan yang sudah dilakukan pengecilan ukuran, perendaman dalam Sodium metabisulfit, pengeringan dan penepungan. Kemudian dilakukan uji mutu terhadapTepung sagu yang dihasilkan.

Proses fermentasi menggunakan stater mocaf dan ragi tape pada suhu ruang (30 oC) selama 1, 2, 3, 4 dan 5 hari dengan rasio padatan terhadap cairan 1 :

2 atau terendam sempurna. 4 g ragi tape dilarutkan dalam 4 l aquades cukup untuk bahan sagu sawut 2 kg. Dosis starter mocaf adalah 4 g starter untuk 4 l air. untuk merendam 2 kg sagu sawut. Setelah proses fermentasi sagu sawut ditiriskan.

Perendaman dalam larutan Sodium metabisulfit setelah proses fermentasi untuk membantu menambah derajat putih tepung, konsentrasi sodium metabisulfit yang ditambahkan 0.2 %.

Pengeringan dilakukan dengan menggunakan sinar matahari sampai sagu sawut kering, kemudian ditepung menggunakan disk mill. Dan diayak dengan

(28)

Produk utama dalam penelitian tepung sagu disini adalah tepung sagu yang lolos 100 mesh. Analisa rendemen dilakukan untuk mengetahui kehilangan berat bahan sagu ketika mengalami proses pengolahan menjadi tepung sagu. Analisa rendemen ini merupakan presentase produk yang di dapatkan dari perbandingan berat awal bahan sagu dengan berat tepung sagu yang lolos 100 mesh.

Rendemen (%) = 100 %

Keterangan :

a = berat sawut sagu awal (g) b = berat tepung sagu 100 mesh (g)

Distribusi ukuran partikelnya menggunakan ayakan bertingkat dengan ukuran 30, 60, 80 dan 100 mesh. Hasil pengukuran dikelompokan menjadi 5 (lima) kelompok, yaitu yang tidak lolos ayakan 30 mesh atau +30 mesh, 30/60 mesh, 60/80 mesh, 80/100 mesh dan 100/0 mesh. Yang lolos ayakan 100 mesh ditetapkan sebagai produk tepung sagu.

Analisis SEM (Scanning Electron Microscope) seperti yang dilakukan oleh Chen et al. (2003) dalam Mukhamad dan Yunianta (2014), sampel tanpa coating diletakkan di dalam kolom tempat sampel pada alat SEM JEOL JSM 5200. Analisis SEM dilakukan pada tiga perbesaran X50, X100 dan X250. Hal ini dilakukan untuk melihat topografi pada permukaan tepung. Pada skala perbesaran yang sama 20 µm dan Nilai 2.50 kV merupakan tekanan yang digunakan saat penembakan elektron pada SEM.

Sifat amilografi diukur menggunakan alat RVA Tech Master Newport Scientific dengan metode AACC 22-12 dalam Mukhamad dan Yunianta (2014). Sebanyak 450 ml akuades diukur dengan menggunakan gelas ukur. Sampel sebanyak 45 g dimasukkan ke dalam gelas piala kemudian dilarutkan dengan sebagian akuades hingga terbentuk suspensi. Suspensi dimasukkan ke dalam bowl amilograph dan sisa akuades digunakan untuk membilas gelas piala kemudian dimasukkan ke dalam bowl amilograph. Lengan sensor dipasang dan dimasukkan ke dalam bowl dengan cara menurunkan head amilograph. Suhu awal diatur dengan termoregulator pada suhu 30oC kemudian di switch pengatur suhu berada

dibawah suhu 97oC dan mesin amilograph dinyalakan sehingga bowl berputar

pada kecepatan 75 rpm dengan kenaikan suhu 1.5 oC per menit. Mesin

amilograph dimatikan setelah pasta mencapai suhu 95oC selama 10 menit

kemudian dinyalakan kipas angin untuk menurunkan suhunya sampai suhu 60 oC

dengan laju penurunan suhu 1.5 oC per menit, setelah itu mesin dinyalakan

kembali. Pada saat mencapai suhu 50 oC selama 10 menit mesin dimatikan

(29)

Gambar 3.1. Grafik perubahan viskositas (amilogram) pada tepung

Perhitungan analisis amilograph dilakukan dengan rumus : Suhu awal gelatinisasi = suhu pada saat kurva mulai naik Suhu puncak gelatinisasi = suhu saat viskositas maksimum dicapai

( kurva mencapai puncak ).

Perhitungan suhu gelatinisasi = suhu awal + [waktu (menit) x 1.5 oC/menit]

sebelum mencapai suhu holding 95oC. Viskositas maksimum = viskositas pasta pada puncak gelatinisasi

Breakdown viscosity = viskositas maksimum – viskositas pada suhu 95oC setelah 10 menit.

Setback viscosity = viskositas pada suhu 50 oC - viskositas pada suhu 95oC setelah 10 menit

Stabilitas selama pemanasan = viskositas pada suhu 95 oC – viskositas

Setelah holding 95oC.

Stabilitas selama pendinginan = viskositas pada suhu 50 oC – viskositas

suhu setelah holding 95oC selama 10 menit.

Pengukuran pH (derajat keasaman) seperti yang dilakukan oleh Onwuka and Ogbogu (2007) dalam Mukhamad dan Yunianta (2014). Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter digital yang terlebih dahulu telah dikalibrasi dengan pH buffer 4 (buffer asetat) dan pH 7 (buffer fosfat). Sebanyak 1 g tepung didispersikan dalam akuades hingga 10 ml. dan dikocok dengan

magnetic stirrer hingga basah sempurna, kemudian didiamkan selama 30 menit hingga mengendap. Selanjutnya elektroda dicelupkan ke dalam supernatan sehingga terbaca nilai pH yang terukur. Elektroda diangkat dan dibilas dengan akuades.

(30)

Tahap Analisa Kelayakan Ekonomi

Tahap analisa kelayakan ekonomi meliputi penentuan kondisi optimum proses produksi tepung sagu, desain proses dan analisa kelayakan financial.

Penentuan kondisi optimum dari rancangan percoban dan dengan menentukan batasan kadar serat, rendemen dan standar mutu tepung sagu. Hasil dari penentuan kondisi optimum dijadikan dasar dalam pembuatan desain proses tepung sagu semi kering dengan kombinasi fermentasi. Selain itu desain proses juga ditentukan oleh kapasitas pengolahan sagu yang ada di UKM pada umumnya, biasanya kapasitas olahnya sanggup mengolah antara 1.5 sampai 2.5 batang sagu per hari atau setara 1,500 sampai 2,500 kg empulur per hari.

Analisis kelayakan financial pabrik tepung sagu semi kering dengan kombinasi fermentasi didasarkan pada peralatan sejenis untuk mengolah tepung karbohidrat lainnya dengan data-data terkini yang dihimpun berbagai sumber serta mengacu kepada pabrik pengolahan sagu milik Bapak Rovi di Ciluar Bogor Jawa Barat agar lebih mendekati keadaan sebenarnya di lapangan, sehingga bisa lebih operasional. Adapun parameter-parameter yang diukur adalah Net Present Value

(NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net B/C ratio dan Pay Back Periode

(PBP).

Net Present Value (NPV) adalah metode yang dikenal sebagai metode

Present Worth dan digunakan untuk menentukan apakah suatu pabrik mempunyai keuntungan dalam periode analisa, yaitu dengan menentukan base year market value dari proyek. Net Present Value dari suatu proyek merupakan nilai sekarang (present value) antara Benefit (manfaat) dibandingkan dengan Cost (biaya). Bentuk persamaan secara matematis adalah sebagai berikut :

NPV = PVB – PVC Dimana :

NPV = Net Present Value

PVB = Present Value of Benefit

PVC = Present Value of the Cost

Pertama-tama menghitung nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan atas dasar discount rate tertentu, kemudian jumlah nilai sekarang dari jumlah investasi (initial outlay). Selisih nilai sekarang dari keseluruhan arus kas dengan nilai sekarang dari pengeluaran untuk investasi (initial outlay) dinamakan nilai bersih sekarang (Net Present Value). Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :

Dengan:

i = Discount rate yang digunakan

At = Arus kas tahunan setelah pajak dalam periode tahunan t t = Jumlah tahun analisa

IO = Jumlah investasi (Initial Outlay)

(31)

Metode Internal Rate of Return Bt = Jumlah benefit dalam periode tahun t t = Jumlah tahun analisa

Ct = Jumlah cost dalam periode tahun t n = Periode yang

Net B/C ratio adalah perbandingan antara jumlah PV positif dengan jumlah PV

sebagai pembilang dan jumlah

menunjukkan gambaran berapa kali lipat manfaat (

biaya (cost) yang dikeluarkan. Apabila net B/C > 1, maka proyek atau gagasan usaha yang akan didirikan layak untuk dilaksanakan. Demikian pu

apabila net B/C < 1, maka proyek atau gagasan usaha yang akan didirikan tidak layak untuk dilaksanakan. Net B/C ratio merupakan manfaat bersih tambahan yg diterima proyek dari setiap 1 satuan biaya yg dikeluarkan.

Dengan :

dapat mengembalikan investasi yang telah yang diperoleh dari suatu proyek

PP =

Internal Rate of Return (IRR) didefinisikan sebagai tingkat suku bunga yang akan dijadikan jumlah nilai sekarang dari pengeluaran modal proyek. Secara Matematis dirumuskan sebagai berikut :

= Discount rate yang digunakan = Jumlah benefit dalam periode tahun t = Jumlah tahun analisa

= Jumlah cost dalam periode tahun t

= Periode yang terakhir dari arus kas yang diharapkan

adalah perbandingan antara jumlah PV net benefit

positif dengan jumlah PV net benefit yang negatif. Jumlah Present value

sebagai pembilang dan jumlah present value negatif sebagai penyebut. Net

menunjukkan gambaran berapa kali lipat manfaat (benefit) yang diperoleh dari ) yang dikeluarkan. Apabila net B/C > 1, maka proyek atau gagasan usaha yang akan didirikan layak untuk dilaksanakan. Demikian pula sebaliknya, apabila net B/C < 1, maka proyek atau gagasan usaha yang akan didirikan tidak layak untuk dilaksanakan. Net B/C ratio merupakan manfaat bersih tambahan yg diterima proyek dari setiap 1 satuan biaya yg dikeluarkan.

= Manfaat (Benefit) pada tahun ke-t = Biaya (Cost) pada tahun ke-t

Discount Factor

Umur proyek

NET B/C Ratio adalah :

Jika Net B/C > 1, maka proyek layak (go) untuk dilaksanakan

Jika Net B/C < 1 , maka proyek tdk layak (not go) untuk dilaksanakan

Payback Period (PP) adalah suatu periode yang diperlukan

dapat mengembalikan investasi yang telah dikeluarkan melalui keuntungan suatu proyek. apabila net B/C < 1, maka proyek atau gagasan usaha yang akan didirikan tidak layak untuk dilaksanakan. Net B/C ratio merupakan manfaat bersih tambahan yg

(32)

Adapun skema penelitian sebagai berikut :

Variasi Starter : Ragi Tape, Bimo CF 4 g starter + 4 l air + 2 kg Bahan Variasi Inkubasi : 1,2,3,4,5 hari Suhu Kamar

FERMENTASI ALAMI

4 l air + 2 kg Bahan

Variasi Inkubasi : 1,2,3,4,5 hari Suhu Kamar

UJI KONTROL POSITIF

(33)

4 PEMBAHASAN

Karakteristik Bahan Baku

Bahan baku sagu yang digunakan dalam penelitian adalah sagu berupa gelondongan 50-60 cm yang didapat dari usaha pengolahan sagu milik Bapak Rovi di Ciluar Bogor dan berasal dari Pandeglang. Dilakukan analisa proksimat pada batang sagu gelondongan untuk diketahui karakteristiknya, sebagai perbandingan sagu dikeringkan dan langsung dihaluskan 100 dan 200 mesh menggunakan ball mill. Hasil uji kandungan proksimat disajikan dalam Tabel 4.1 berikut.

Tabel 4.1 Karakteristik bahan baku sagu.

Parameter Satuan Batang

Sagu lolosTepung sagu 80 Mesh hasil Ball Mill

Tepung sagu lolos200 Mesh

hasil Ball Mill

Protein Kasar % b.b 2.61 1.37 0.86

Kadar Lemak % b.b 0.90 0.37 0.11

Serat Kasar % b.b 33.59 10.73 3.84

Kadar Abu % b.b 7.06 3.70 2.14

Kadar Karbohidrat % b.b 55.84 83.82 93.06

Keterangan : basis kering

Rendahnya kadar lemak pada tepung sagu menguntungkan dalam hal penyimpanan. Senyawa lemak pada bahan dapat mempercepat terjadinya rasa tengik akibat oksidasi lemak dan kadar air meningkat, sehingga kondisi bahan menjadi rusak, baik fisik maupun kadar nutrisinya. Dengan kadar lemak yang rendah menyebabkan tepung sagu mempunyai indeks glikemik yang rendah. Menurut Berthy dan Rivaie (2011) tepung sagu dan produk olahannya dapat dikelompokan sebagai pangan fungsional karena memiliki kandungan karbohidrat 84.7% dan serat pangan 3.69 sampai 5.96% yang cukup tinggi, indeks glikemik rendah sebesar 28.

Kandungan pada tepung sagu yang berpengaruh tehadap penggunaannya adalah kadar serat kasar dan kadar abu. Kadar serat dapat mempengaruhi mutu tepung sagu dan membatasi penggunaannya pada industri pangan. Pada industri mie akan berpengaruh kepada kekuatan tarik putus dari mie, dan pada industri makanan olahan akan berpengaruh pada kerenyahan. Sedangkan untuk kadar abu yang tinggi berpengaruh kepada kandungan mineral, dalam Erliana dan Suprapto (2004) diungkapkan bahwa kadar abu yang tinggi pada bahan tepung kurang disukai karena cenderung memberi warna lebih gelap pada produknya.

(34)

mill dan tingkat reduksi lebih halus jika dibanding alat penepung yang lain, penurunan kadar seratnya menjadi 10.73 % dengan ayakan 80 mesh. Baru setelah ukuran kehalusannya ditingkatkan menjadi 200 mesh dapat menurunkan kadar seratnya menjadi 3.84 %. Dimana menurut Flach (1997) bahwa bentuk granula pati sagu adalah oval (bulat telur) dan untuk melepaskan granula pati dari jaringan pengikatnya dilakukan pemarutan atau dengan penggilingan, proses pelepasan granula pati akan lebih efektif dengan arah tegak lurus susunan serat ”vascular bundles”. Sementara untuk penggilingan kering yang memerlukan tingkat reduksi ukuran partikel yang sangat tinggi dapat dicapai dengan penggilingan ball mills.

Atau menggunakan hammer mill seperti yang disarankan Colon dan Anokkee dalam (Flach 1997). Terpisahnya granula pati dari serat menunjukan kehalusan dan banyaknya serat yang terpisah sehingga terjadi penurunan kadar serat dalam tepung sagu. Penurunan kadar serat pada tepung sagu 80 mesh menghasilkan rendemen 18% dan untuk ukuran 200 mesh lebih kecil lagi dibawah 10 % sehingga untuk ukuran kapasitas produksi tidak memungkinkan, karena biasanya untuk produksi tepung dengan kehalusan sampai 200 mesh perlu waktu proses yang lebih lama sedangkan rendemen produknya sedikit. Dengan produksi tepung sagu semi kering yang dikombinasikan dengan fermentasi diharapkan dapat meningkatkan kehalusan dan rendemen tetapi kadar seratnya menurun sehingga dapat memenuhi standar sagu industri sebesar 1%.

Tepung sagu dan pati sagu merupakan produk dari industri pengolahan sagu, namun sekarang ini yang banyak diproduksi adalah pati sagu dan yang beredar dipasaran walaupun produknya dinamakan tepung sagu sebenarnya adalah pati sagu. Tepung sagu dihasilkan dari proses penggilingan kering sedangkan kalau pati sagu dihasilkan dari proses ekstraksi basah. Mutu pati sagu sangat ditentukan bagaimana cara ektraksinya, begitu juga mutu tepung sagu ditentukan pula oleh bagaimana cara proses penepungannya. Proses penepungan yang dikombinasikan dengan fermentasi selain memperbiki mutu tepung sagu juga membantu mempermudah dalam proses penepungannya, sehingga tidak memerlukan alat seperti ball mill dalam prosesnya tapi cukup dengan disk mill

sehingga biaya investasi alat lebih murah. Mutu tepung sagu diharapkan sama mutunya dengan tepung yang dihasilkan dari umbi-umbian ataupun biji-bijian. Yang arah penggunaannya sama seperti penggunaan dalam makanan olahan kering menghasilkan produk yang renyah dan dapat dibuat pasta noodle. Berikut adalah kandungan kadar serat pada berbagai sumber pangan karbohidrat.

Tabel 4.2 Kadar serat dari tepung pada beberapa sumber karbohidrat

No Jenis Tepung Kadar Serat

(%) Sumber Pustaka

1 Tepung kedelai 5,91 (Amani dan Harijono, 2013)

2 Tepung sorghum 1,05-2,04 (Suarni, 2009) 3 Tepung jagung 1,05-3,12 (Suarni, 2009)

(35)

Pengaruh Fermentasi Terhadap Komponen Kimia Tepung Sagu

Proses fermentasi dilakukan pada pengolahan tepung sagu dikarenakan sagu sebagian besar materialnya berupa kulit dan ampas sehingga menyulitkan untuk dibuat tepung secara langsung. Proses fermentasi yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk menurunkan kadar serat kasar tepung sagu.

Fermentasi dengan menggunakan ragi tape bertujuan untuk menurunkan kadar serat kasar dengan menggunakan starter yang mudah didapat sehingga memudahkan dalam proses pembuatan tepung sagu sesuai standar penggunaannya.

Menurut (Widodo, 2011) Ragi tape sebenarnya adalah berupa mikroba

Saccharomyces cerevisiae yang dapat mengubah karbohidrat. Sedang jamur yang ada dalam ragi tape adalah jenis Aspergillus. Ragi tape merupakan inokulan yang mengandung kapang aminolitik dan khamir yang mampu menghidrolisis pati. Kapang tersebut adalah Amilomyces rouxii, sedangkan khamir tersebut adalah

Saccharomyces. Adapun mikroflora yang berperan pada ragi tape adalah jenis

Candida, Endomycopsis, Hansnula, Amilomyces rouxii dan Aspergillus orizae. Tabel 4.3 menunjukan hasil fermentasi menggunakan starter ragi tape dapat menurunkan kadar serat secara signifikan dibanding kadar serat tanpa perendaman, dimana perhitungan basis kering dilakukan pada kadar air tepung sagu rata-rata sebesar 18.54%. Penurunan kadar serat disebabkan jamur yang ada pada ragi tape yaitu spesies Aspergillus. Aspergillus flavus relatif tidak aktif bila dibandingkan dengan jamur selulolitik yang lain, tapi enzim yang dihasilkan oleh

Aspergillus orizae dan Aspergillus flavus mampu mendegradasi sellulosa dan juga menghidrolisis xylon (Widodo, 2011). Aktivitas enzim yang disekresikan oleh

Aspergillus orizae dan Aspergillus flavus mendegradasi bahan-bahan yang tidak dapat dicerna seperti selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana. Proses hidrolisa xylon oleh enzim xylanase yang dihasilkan oleh Aspergillus orizae dan

Aspergillus flavus dalam fermentasi adalah sebagai enzim yang berperan dalam mendegradasi polisakarida linear β-1,4-xylan menjadi xylosa serta memecah hemiselulosa, yang merupakan salah satu komponen utama dari dinding sel tumbuhan sagu. Hasil studi Sugiono (2008) serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa adalah salah satu komponen serat yang merupakan polimer glukosa linier dengan ikatan β-1,4, glikosidik, sedangkan hemiselulosa terdiri dari araban, xylan dan heksosa tertentu. Selama fermentasi selulosa dan hemiselulosa dapat dicerna oleh bakteri, sedangkan lignin tidak dapat dicerna sama sekali, selanjutnya selulosa dan hemiselulosa akan diubah menjadi asam laktat, butirat dan CO2 asam format dan H2.

Menurut Gandjar (2003) ragi tape terdiri dari kapang (Rhizopus oryzae,

(36)

dapat menyumbang serat kasar melalui dinding selnya. Dan menurut Wahyu dan Ikhsan (2010) waktu generatif kapang 3 sampai 6 hari.

Penurunan kadar serat berhubungan dengan kehalusan tepung sagu. Dalam Sugiono (2008) bahwa absorbsi selulosa pada permukaan selulosa biasanya lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan hidrolisa keseluruhan sehingga jumlah selulosa yang terbasorbsi sangat tergantung pada luas permukaan. Jadi semakin luas permukaan sampel akan meningkatkan kemampuan Aspergillus dalam merombak serat kasar. Fermentasi menggunakan ragi tape menyebabkan kemudahan giling bagi sagu, menurut Widodo (2011) ragi bersifat katabolik atau memecah komponen yang kompleks menjadi zat yang lebih sederhana. Pada waktu perendaman 2 hari, tepung sagu mencapai kehalusan tertinggi sebesar 65.76 % (Gambar 4.3) dengan penurunan kadar serat kasar tertinggi pula.

Tabel 4.3 Hasil analisa proksimat terhadap tepung sagu hasil fermentasi menggunakan ragi tape pada berbagai variasi waktu perendaman

Secara keseluruhan proses fermentasi terjadi penurunan kadar protein dibandingkan dengan tanpa pernedaman. Hal ini seperti yang diungkap dalam Mukhamad dan Yunianta (2014) dikarenakan adanya hidrolisa protein menjadi senyawa yang lebih sederhana oleh mikroba yang ada dalam starter ragi tape khususnya Rhizopus sp. yang mampu menghasilkan protease. Sehingga semakin lama waktu fermentasi maka semakin tinggi aktivitas enzim proteolitik atau protease dalam memecah molekul-molekul protein dengan cara menghidrolisa ikatan peptida menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana seperti pepton, polipeptida dan sejumlah asam-asam amino. Pecahnya protein menjadi senyawa yang lebih sederhana memungkinkan senyawa-senyawa tersebut untuk semakin terdegradasi. Namun pada Tabel 4.3 menunjukan setelah waktu perendaman 3 hari kadar protein cenderung mengalami peningkatan, hal ini sama dengan yang diungkap oleh Wahyu dan Ikhsan (2010) bahwa meningkatnya kadar protein selama fermentasi menggunakan kapang ada hubungannya dengan pertumbuhan kapang Aspergilus dimana makin subur pertumbuhan kapang makin tinggi pula kadar proteinnya, karena sebagian besar sel kapang merupakan protein.

(37)

waktu perendaman. Kandungan kadar abu tepung sagu yang dihasilkan masih belum memenuhi standar SNI 01-3729-1995 sebesar 0.1 % dan syarat sagu untuk industri (MS468, 1976) sebesar 0.2 %. Hal ini menyebabkan tebatasnya penggunaan tepung sagu pada industri pangan.

Kadar lemak tepung sagu yang dihasilkan dari hasil fermentasi dengan ragi tape cenderung konstan sebesar 0.2 %, kadar lemak tidak termasuk yang disyaratkan dalam standar mutu tepung sagu, namun seperti dalam (Hawani dan Yuliasri, 2012) bahwa kadar lemak yang tinggi berkorelasi dengan penurunan kejernihan pasta pati (sebagaimana pada serealia) dan menekan pembengkakan butiran pati. Selain itu kadar lemak juga akan berpengaruh terhadap umur simpan.

Tabel 4.4 Hasil analisa proksimat terhadap tepung sagu hasil fermentasi menggunakan Bimo CF pada berbagai variasi waktu perendaman

Isolat Bakteri Asam Laktat yang terkandung dalam stater Bimo CF sangat terkait dengan paten. Dalam (Haryadi, 2011) isolat Bakteri Asam Laktat yang dikembangkan dalam industri untuk fermentasi casava teridentifikasi 18 strain sebagai Lactobacillus plantarum, 4 strain sebagai Lactobacillus pentosus, 2 strain

Leuconostoc fallax, 2 strain Weissella paramesenteroides, 2 strain Lactocaillus fermentum,1 strain Leuconostoc mesenteroides, 1 strain Weissela cibaria, sedangkan strain lainnya diduga kelompok L. plantarum.

Kombinasi Isolat BAL yang Digunakan untuk Starter Tepung Mocaf dalam (Hawani dan Yuliasri, 2012) terdiri dari secara tunggal Lactobacillus plantarum ATCC 8014 dan Lactococcus lactis subsp.lactis ATCC 11454, atau campuran Lactobacillus plantarum ATCC 8014 dan Lactococcus lactis subsp.lactis ATCC 11454, campuran Lactobacillus plantarum (FSb1) dan

Lactococcus lactis subsp.lactis (FStb4), campuran Lactobacillus plantarum

(FSb1) dan Lactococcus lactis subsp.lactis (FStb4). Dan menurut (Ratih et al., 2011) isolat BAL, Pediococcus pentosaceus, Lactoccocus lactis subspesies lactis

serta Lactobacillus plantarum tidak bersifat amilolitik.

(38)

penurunan kadar serat tertinggi pada waktu perendaman 3 hari sebesar 1.74 %. Menurut (Hawani dan Yuliasri, 2012) kadar serat kasar hasil implementasi starter mocaf berkisar antara 1.31 sampai 3.06% dan penurunan kadar serat ini disebabkan mikroba yang tumbuh menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik. Mikroba yang tumbuh saat fermentasi menghasilkan enzim pektinolitik dan sellulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel (Jeffry et al., 2014). Pada batang sagu selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tumbuhan bersama-sama dengan hemiselulosa dan pektin. Komponen serat kasar yang terbesar adalah polisakarida dan disebut sebagai selulosa. Menurut Winarno et al. dalam Rahmawati dan Luwihana (2013) bahwa kandungan serat kasar substrat fermentasi akan mengalami perubahan yang disebabkan oleh aktivitas enzim tertentu terhadap bahan-bahan yang tidak dapat dicerna seperti selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana.

Fermentasi tidak selalu menggunakan substrat karbohidrat sebagai media fermentasi yang menghasilkan alkohol dan karbondioksida (CO2). Selain

karbohidrat, protein juga dapat dipecah oleh mikroba atau enzim tertentu untuk menghasilkan asam amino, asam lemak dan zat-zat lainnya. Maka dari hasil

pengujian kadar proksimat terhadap tepung sagu hasil fermentasi menggunakan Bimo CF menunjukan kadar protein turun. Namun selama waktu

perendaman, kadar lemak, kadar abu cenderung tetap.

Penelitian fermentasi spontan dengan merendam bahan sagu dalam air steril (aquades) dengan tujuan mikroba yang tumbuh secara spontan dapat menurunkan kadar serat tepung sagu. Hasil penelitian Sudrajat (1986) yang melakukan pengolahan sagu dengan cara fermentasi spontan dimana batang sagu dibelah dan direndam dalam bak air, kemudian batang sagu tersebut ditumbuk-tumbuk dalam air pada bagian empulurnya dan dibiarkan terendam selama 24 jam sampai terbentuk endapan dan selama perendaman tersebut terjadi proses fermentasi karena mikroba yang ada pada batang sagu sehingga sagu lebih mudah terlepas dari batangnya, diperkirakan mikroba ini memecah pektin yang merupakan perekat sagu dalam batang pohon. Untuk melihat hasil fermentasi terhadap tepung sagu yang dihasilkan dapat dilihat pada Table 4.5 dibawah.

Gambar

Grafik perubahan viskositas (amilogrm) pada tepung
Gambar 3.1. Grafik perubahan viskositas (amilogram) pada tepung
Gambar 3.2. Skema pelaksanaan penelitian
Tabel 4.2  Kadar serat dari tepung pada beberapa sumber karbohidrat
+7

Referensi

Dokumen terkait

menyusun buku yang berjudul ” Pembelajaran PKn Di Sekolah Dasar Inovasi Melalui strategi Habituasi Dan Program Kegiatan Sekolah Berkarakter” ini dengan suatu harapan

1. Tingkat kesegaran jasmani siswa kelas IV, V dan VI SD Negeri Delegan 2 Kecamatan Prambanan Kabupaten Sleman Yogyakarta, untuk kategori “baik sekali” sebanyak 0 siswa atau

DSL akan mengkoneksikan dan membawa sinyal digital untuk komunikasi data dan bekerja dengan menggunakan modem khusus (disebut modem DSL) untuk membaca (encode) data tersebut

Jika kelarutan senyawa AgCl dalam air murni adalah 10 -5 M, maka kelarutan AgCl dalam larutan AgNO 3 0,1M adalah….. 10 -6

diperkirakan memiliki kemungkinan terbe- sar untuk memenuhi kebutuhan tertentu (Bayton, 1982). Padahal kebutuhan yang di- rasakan akan diekspresikan dalam perilaku

%DQ\DNQ\D SDUD SLKDN \DQJ EHUSHUNDUD GL 3HQJDGLODQ $JDPD PHODNXNDQ PHGLDVL GDODP SURVHV SHUFHUDLDQ WDQSD PHQJHWDKXL DGDQ\D NHEHUDGDDQ %DGDQ 3HQDVLKDWDQ 3HPELQDDQ GDQ

Perkembangan produksi kedelai Provinsi Sumatera Utara tahun 2002- 2013 menunjukkan pola pergerakan naik turun tanpa memperlihatkan suatu trend yang cendrung mengalami

Pemeriksaan Kesehatan sebelum bekerja ditujukan agar tenaga kerja yang diterima berada dalam kondisi kesehatan yang setinggi-tingginya, tidak mempunyai penyakit menular yang