• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Jenis Kelelawar di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keanekaragaman Jenis Kelelawar di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi Jawa Barat"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR DI HUTAN

PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI

JAWA BARAT

KENDY DANANG PRAYOGI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman Jenis Kelelawar di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

Kendy Danang Prayogi

(4)

ABSTRAK

KENDY DANANG PRAYOGI. Keanekaragaman Jenis Kelelawar di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi Jawa Barat. Dibimbing oleh AGUS PRIYONO KARTONO dan IBNU MARYANTO.

Kelelawar sangat berperan penting bagi kelangsungan ekologi dan kehidupan manusia, diantaranya sebagai penyebaran biji dan penyerbuk bunga pada beberapa jenis tumbuhan serta dimanfaatkan sebagai sumber protein dan obat oleh beberapa masyarakat. Masih rendahnya perhatian dan upaya konservasi terhadap kelelawar menjadi alasan mengapa penelitian ini perlu dilakukan. Hasil penelitian menujukkan terdapat 19 jenis dari 4 famili kelelawar yang ditemukan dan diduga masih terdapat penambahan jenis, yakni: Pteropodidae (9 jenis), Rhinolophidae (2 jenis), Hipposideridae (2 jenis), dan Vespertilionidae (6 jenis). Jumlah individu dan jenis kelelawar terbanyak ditemukan di tegakan puspa, yaitu sebanyak 87 individu dari 11 jenis. C. brachyotis merupakan jenis kelelawar yang

paling banyak ditemukan selama penelitian (74 individu). Kelelawar Megachiroptera paling banyak ditemukan di lahan agroforest; sedangkan kelelawar Microchiroptera paling banyak ditemukan di tegakan puspa. Tegakan damar memiliki indeks keanekaragaman dan kemerataan jenis kelelawar tertinggi (H’=1.76; E=0.80). Indeks kekayaan jenis tertinggi terdapat pada tegakan puspa (Dmg=2.24) dan indeks kesamaan komunitas tertinggi terdapat di tegakan damar-puspa (JI=0.43).

Kata kunci: HPGW, keanekaragaman, kelelawar

ABSTRACT

KENDY DANANG PRAYOGI. Bats Diversity in Gunung Walat Education Forest Sukabumi West Java. Supervised by AGUS PRIYONO KARTONO and IBNU MARYANTO.

Bat have essentials roles in human life and ecology sustainability, including its role as seed dispers and pollinator for some flower, and also found as protein source and medicine material for local people. Low priority and conservation effort toward bats became the main reason why this research was conducted. The result showed there were 19 species from 4 families of bats which recorded, and to be expected more of them, namely: Pteropodidae (9 species), Rhinolophidae (2 species), Hipposideridae (2 species), and Vespertilionidae (6 species). Most individual and species recorded from puspa stands, which is 87 individual from 11 species. C. brachyotis is the most recorded bats during the research (74

individual). Megachiroptera mostly found in agroforestry cover, while the bats from sub ordo Microchiroptera mostly found in puspa stands. The index of diversity and evenness in damar stands is highest amongst all (H’=1.76; E=0.80). The index of richness in puspa stand is highest amongst all (Dmg=2.24). Highest community evenness found in damar-puspa stands (JI=0.43).

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR DI HUTAN

PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI

JAWA BARAT

KENDY DANANG PRAYOGI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Nama NIM

Kendy Danang Prayogi E34100080

Disetujui oleh

Dr Ir MSi

Pembimbing I

Prof Dr Ir lbnu Pembimbing II

Diketahui oleh

(8)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat-Nya sehingga penyusunan Skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian dan pengumpulan data lapangan “Keanekaragaman Jenis Kelelawar di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi Jawa Barat” dilaksanakan pada Mei 2014 hingga Agustus 2014.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi dan Prof (Ris) Dr Ir Ibnu Maryanto selaku Pembimbing atas arahan, bimbingan, dan saran kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orangtua dan adik penulis yang terus memberikan doa dan semangat tanpa henti, keluarga Nepenthes rafflesiana (KSHE 47), keluarga

besar HIMAKOVA dan FAHUTAN IPB, partner penelitian Amalia Choirunnisa, seluruh staf Hutan Pendidikan Gunung Walat, serta semua pihak yang telah memberikan bantuan moral maupun material selama penelitian dilakukan.

Kelelawar berperan dalam proses penyerbukan dan pemencaran biji tumbuhan sehingga turut berperan dalam menjaga kelestarian ekosistem hutan. Penelitian ini bertujuan untuk menduga kekayaan dan kemerataan jenis kelelawar, mengukur tingkat keanekaragaman jenis kelelawar, dan mengukur kesamaan komunitas kelelawar pada setiap tipe tutupan lahan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keanekaragaman jenis kelelawar sebagai dasar dalam upaya konservasi kelelawar di kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat. Semoga bermanfaat.

Bogor, Februari 2015

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar belakang 1

Tujuan 2

Manfaat 2

METODE 2

Lokasi dan Waktu Penelitian 2

Alat dan Bahan 5

Jenis Data 5

Metode Pengumpulan Data 5

Pengolahan dan Analisis Data 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Hasil 9

Pembahasan 17

SIMPULAN DAN SARAN 22

Simpulan 22

Saran 22

DAFTAR PUSTAKA 23

(10)

DAFTAR TABEL

1 Titik koordinat alat perangkap pada tiap tipe tutupan lahan 4 2 Komposisi jenis kelelawar yang ditemukan di Hutan Pendidikan

Gunung Walat 10

3 Status konservasi jenis kelelawar di Hutan Pendidikan Gunung Walat 13 4 Perbandingan kerapatan tegakan pada tiap tutupan lahan 13 5 Hasil uji logistik biner terhadap masing-masing tutupan lahan 14 6 Indeks kesamaan komunitas kelelawar pada tiap tipe tutupan lahan 15 7 Matriks nilai niche overlap pada tiap jenis kelelawar berdasarkan tipe

tutupan lahan 16

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian 3

2 Kondisi tutupan lahan di lokasi pengamatan. a) Tegakan damar, b) Tegakan pinus, c) Tegakan puspa, d) Agroforest 3 3 (a) Pemasangan jaring kabut, (b) Pemasangan perangkap harpa 5 4 Cara pemasangan jaring kabut menurut Prasetyo et al. 2011. (a)

Dipasang menggunakan bambu, (b) Digantung di pohon 6

5 Bagian-bagian tubuh kelelawar yang diukur 6

6 Ilustrasi pembuatan petak 7

7 Jumlah individu jenis kelelawar yang ditemukan di HPGW 10 8 Perbandingan jumlah jenis dan jumlah individu kelelawar pada

masing-masing tutupan lahan 11

9 Perbandingan jumlah jenis dan jumlah individu tiap famili 11 10 Perbandingan jumlah jenis dan jumlah individu kelelawar sub ordo

Megachiroptera dan Microchiroptera di tiap tutupan lahan 11 11 Perbandingan keberhasilan alat penangkap pada tiap tutupan lahan 12 12 Perbandingan jumlah jenis dan individu kelelawar yang tertangkap

berdasarkan periode bulan 12

13 Perbandingan nilai indeks pada masing-masing tutupan lahan 15

14 Jenis kelelawar R. affinis 18

15 Jenis kelelawar (a) C. brachyotis, (b) C. titthaecheilus 18

DAFTAR LAMPIRAN

1 Jenis kelelawar yang ditemukan di HPGW 25

(11)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Kelelawar merupakan satu-satunya anggota kelas mamalia yang mampu terbang secara sempurna dengan menggunakan sayap (Hill dan Smith 1984). Mamalia ini termasuk ke dalam ordo Chiroptera dan terdiri atas 18 famili, 192 marga, dan 977 jenis (Nowak 1999 diacu dalam Suyanto 2001). Kelelawar terbagi atas dua sub ordo, yaitu Megachiroptera dan Microchiroptera. Suyanto (2001) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis kelelawar di Indonesia tergolong tinggi dengan total jenis sebanyak 205 jenis atau sekitar 21% dari jenis kelelawar di dunia yang telah teridentifikasi, jumlah ini terdiri dari 72 jenis sub ordo Megachiroptera dan 133 jenis sub ordo Microchiroptera.

Kelelawar memiliki peran penting bagi kelangsungan ekologi maupun kehidupan manusia. Peranannya antara lain mambantu penyebaran biji dan penyerbuk bunga pada beberapa jenis tumbuhan, penghasil pupuk guano, dan sebagai sumber protein dan obat bagi beberapa masyarakat. Selain itu, kelelawar juga menjadi pengendali hama serangga yang dapat menimbulkan kerusakan di lahan pertanian, perkebunan, atau pun hutan.

Sebagai peranannya dalam penyebar biji, kelelawar menyebar biji buah-buahan seperti sawo, jambu air, jambu biji, duwet, dan cendana (Dumont et al.

2004). Penelitian Tan et al. (1998) diacu dalam Wijayanti (2011) membuktikan

bahwa kelelawar Cynopterus brachyotis (sub ordo Megachiroptera) di Bangi

Malaysia memakan buah dan menyebarkan biji 17 famili tumbuhan hutan dan tanaman perkebunan. Penelitian Razakarivony et al. (2005) di Malagasy juga

membuktikan bahwa beberapa kelelawar sub ordo Microchiroptera yang bersarang di gua memakan serangga ordo Isoptera, Hymenoptera, Coleoptera, Lepidoptera, Orthoptera, Hemiptera, dan Homoptera yang tercatat sebagai serangga hama tanaman.

Meskipun peranan kelelawar terhadap ekologi dan kehidupan manusia sangat besar, populasi kelelawar di seluruh dunia mengalami penurunan. Menurut Falcão et al. (2003), beberapa jenis kelelawar telah dinyatakan punah dan

jenis-jenis lainnya sedang mengalami proses menuju kepunahan. Salah satu penyebab utama penurunan populasi kelelawar adalah degradasi habitat. Banyak jenis kelelawar yang mencari makan di hutan hujan tropis dan menyesuaikan hidupnya dengan kondisi sekitarnya sehingga tidak mampu bertahan hidup di hutan yang telah ditebang atau di perkebunan (Suyanto 2001). Degradasi habitat dapat mengubah komposisi dan struktur vegetasi dari kondisi semula sehingga akan mempengaruhi kekayaan dan komposisi jenis kelelawar di suatu lokasi (Kartika 2008).

Menurut Suyanto (2001), habitat kelelawar antara lain gua karst, pohon, dan atap rumah atau bangunan. Kelelawar juga dapat ditemukan di berbagai tempat yang memiliki ekosistem darat bervegetasi (Medellín et al. 2000). Salah satu

(12)

terdapat di HPGW diantaranya damar (Agathis sp.), pinus (Pinus merkusii), puspa

(Schima wallichii), dan mahoni (Swietenia macrophylla).

Meskipun kelelawar memiliki peran yang cukup penting bagi kehidupan manusia, namun sampai saat ini perhatian dan upaya konservasi kelelawar masih tergolong rendah. Hal ini diduga karena lemahnya pengetahuan masyarakat akan arti penting kelelawar dalam mata rantai ekologi (Soegiharto dan Kartono 2009). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian guna memperoleh informasi mengenai keanekaragaman jenis kelelawar yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan kebijakan pengelolaan di wilayah ini.

Tujuan

Penelitian mengenai studi keanekaragaman jenis kelelawar di Hutan Pendidikan Gunung Walat ini bertujuan untuk:

1) Mengukur tingkat keanekaragaman jenis kelelawar pada setiap tipe tutupan lahan.

2) Menduga kekayaan dan kemerataan jenis kelelawar berdasarkan tipe tutupan lahan.

3) Mengukur kesamaan komunitas kelelawar antar tipe tutupan lahan.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keanekaragaman jenis kelelawar sebagai dasar dalam upaya konservasi kelelawar di kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat.

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi Jawa Barat (Gambar 1). Pengambilan data di lapang dilakukan selama empat bulan, yaitu dari bulan Mei–Agustus 2014. Penelitian dilakukan di empat area tutupan lahan yang terdapat di HPGW (Gambar 2), yaitu: tegakan damar (Agathis sp.) yang berada di bagian tengah kawasan HPGW, tegakan pinus (Pinus merkusii) yang berada di bagian utara dan timur HPGW, tegakan puspa (Schima wallichii) yang berada di bagian barat HPGW, dan lahan agroforest yang berada

(13)

Gambar 1 Peta lokasi penelitian

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 2 Kondisi tutupan lahan di lokasi pengamatan. a) Tegakan damar, b) Tegakan pinus, c) Tegakan puspa, d) Agroforest

Kondisi vegetasi dan karakteristik tiap tipe tutupan lahan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tegakan damar berada di bagian tengah kawasan HPGW dengan ketinggian tempat 500-600 mdpl. Tumbuhan damar (Agathis sp.)

paling mendominasi di area ini. Tegakan pinus berada di bagian utara dan timur HPGW, didominasi oleh tumbuhan pinus (Pinus merkusii). Area ini merupakan

area tertinggi di HPGW dengan ketinggian tempat 600-800 mdpl. Tegakan puspa berada di bagian barat HPGW dan memiliki ketinggian tempat 500-600 mdpl. Area ini didominasi oleh tumbuhan tingkat pohon dengan puspa (Schima wallichii) sebagai tumbuhan yang mendominasi. Lahan agroforest berada di

(14)

warga. Pengambilan data dilakukan di area bagian selatan. Area ini berada pada ketinggian tempat 400-500 mdpl. Jenis tumbuhan yang terdapat di area ini antara lain damar (Agathis sp.), puspa (Schima wallichii), mahoni (Swietenia macrophylla), pinus (Pinus merkusii), dan beberapa jenis tumbuhan buah. Titik

koordinat pemasangan tiap alat perangkap disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Titik koordinat alat perangkap pada tiap tipe tutupan lahan Tipe tutupan

lahan No

Koordinat

Jaring kabut Perangkap harpa

(15)

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain jaring kabut (mist net), perangkap harpa (harp trap), GPS Garmin, Krisbow digital caliper

KW06-351 dengan ketelitian 0.05mm untuk mengukur panjang bagian-bagian tubuh kelelawar, Tanita digital scale KD-160 dengan ketelitian 0.5 gram untuk

mengukur bobot tubuh kelelawar, software SPSS 16, altimeter, meteran gulung 50

meter, meteran jahit, headlamp, penunjuk waktu, kantong blacu, kertas label,

spidol permanen, plastik spesimen, botol spesimen, kapas, jarum suntik, sarung tangan karet, alat tulis, tally sheet, dan kamera.

\

(a) (b)

Gambar 3 (a) Pemasangan jaring kabut, (b) Pemasangan perangkap harpa Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70%. Obyek penelitian adalah kelelawar yang terdapat di HPGW. Kegiatan identifikasi jenis kelelawar menggunakan Buku Seri Panduan Lapangan Kelelawar di Indonesia (Suyanto 2001), Jenis-Jenis Kelelawar Khas Agroforest Sumatera (Prasetyo et al.2011), dan Panduan Lapangan Mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak dan

Brunei Darussalam (Payne et al. 2000).

Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi: (1) Jumlah jenis kelelawar pada tiap tipe tutupan lahan, (2) Jumlah individu setiap jenis kelelawar, dan (3) karakteristik morfologi tiap jenis kelelawar, serta (4) kerapatan vegetasi pada tiap tipe tutupan lahan. Data sekunder yang diambil berupa kondisi umum lokasi penelitian yang diperoleh melalui studi pustaka.

Metode Pengumpulan Data

Keanekaragaman jenis kelelawar

(16)

kabut dan perangkap harpa masing-masing sebanyak tiga buah. Pemasangan jaring kabut dan perangkap harpa dilakukan pada sore hari sekitar pukul 16.00 WIB dan pemeriksaan dilakukan pada pukul 19.00 – 21.00 WIB dan pukul 07.00 WIB. Penempatan jaring kabut dan perangkap harpa ditentukan secara purposive

mewakili setiap tipe tutupan lahan.

Gambar 4 Cara pemasangan jaring kabut menurut Prasetyo et al. 2011. (a)

Dipasang menggunakan bambu, (b) Digantung di pohon

Morfologi

Individu kelelawar yang tertangkap kemudian dilepaskan dari perangkap secara hati-hati kemudian dicatat jumlah individu tiap jenisnya. Setelah itu dilakukan analisis morfometrik untuk menentukan jenis kelelawar yang tertangkap.

Gambar 5 Bagian-bagian tubuh kelelawar yang diukur

Data morfometrik yang dicatat antara lain: Bobot tubuh (BW), jenis kelamin (JK), panjang tubuh total (TT), panjang telinga (EL), panjang lengan bawah sayap (FA), betis (TB), panjang kaki belakang (HF), dan panjang ekor (TV) untuk jenis-jenis tertentu.

Kerapatan vegetasi

(17)

Gambar 6 Ilustrasi pembuatan petak

Pengolahan dan Analisis Data

Indeks keanekaragaman jenis

Keanekaragaman jenis kelelawar dihitung menggunakan indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener dengan persamaan:

H=-pi.ln(pi) dan pi=ni

N

Keterangan: H’= indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, pi= jumlah individu jenis ke-i, dan N= jumlah total individu seluruh jenis.

Indeks kekayaan jenis

Kekayaan jenis kelelawar dihitung menggunakan indeks kekayaan jenis Margalef (Dmg). Kekayaan jenis kelelawar diukur dengan menggunakan rumus:

Dmg=ln N 1

Keterangan: Dmg= indeks kekayaan jenis Margalef, S= jumlah jenis, dan N= jumlah total individu seluruh jenis.

Selain menggunakan indeks kekayaan jenis Margalef (Dmg), penghitungan kekayaan jenis kelelawar juga dilakukan menggunakan indeks kekayaan jenis Jackknife untuk menduga besarnya kekayaan jenis kelelawar di lokasi penelitian. Persamaan indeks kekayaan jenis Jackknife adalah sebagai berikut (Heltse dan Forrester 1983):

=s(nn1)k

Keterangan: = indeks kekayaan Jackknife, s= total jumlah jenis yang

teramati, n= banyaknya unit contoh, k= jumlah spesies yang unik.

Keragaman nilai dugaan Indeks kekayaan jenis Jackknife dihitung menggunakan rumus berikut:

ar =(n 1n ) [∑j2fj k 2

n]

(18)

Pendugaan selang bagi indeks kekayaan jenis Jackknife dihitung menggunakan rumus berikut:

Notasi tα diperoleh dari tabel t-student pada α= 0.05 dengan derajat bebas

n–1.

Indeks kemerataan jenis

Ludwig dan Reynold (1988) menyatakan bahwa proporsi kelimpahan tiap jenis pada lokasi pengamatan dapat dihitung dengan menggunakan indeks kemerataan. Indeks kemerataan menunjukkan ada tidaknya dominasi suatu jenis pada lokasi pengamatan. Penentuan nilai indeks kemerataan jenis kelelawar menggunakan persamaan berikut:

E=ln H

Keterangan: E= indeks kemerataan jenis, H’= indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener, dan S= jumlah jenis.

Menurut Krebs (1978), nilai indeks kemerataan mendekati satu menunjukkan bahwa jenis yang terdapat dalam suatu komunitas semakin merata, sedangkan bila nilai indeks kemerataan mendekati nol maka menunjukkan ketidakmerataan jenis dalam komunitas tersebut.

Indeks kesamaan komunitas

Indeks kesamaan komunitas dihitung untuk mengetahui kesamaan antar habitat berdasarkan jumlah jenis yang dijumpai (Husna 2006). Penghitungan koefisien kesamaan jenis didasarkan pada keberadaan suatu jenis yang dinotasikan dengan angka 1 dan apabila tidak terdapat suatu jenis maka dinotasikan dengan angka 0 dalam habitat yang dibandingkan. Metode yang digunakan dalam perhitungan indeks kesamaan jenis kelelawar adalah indeks Jaccard (JI). Menurut Goodall (1973) diacu dalam Ludwig dan Reynolds (1988), Indeks Jaccard umumnya tidak menghasilkan bias bahkan pada ukuran sampel yang kecil. Indeks Jaccard menggunakan persamaan berikut:

JI=a b ca

Keterangan: a= jumlah jenis yang ditemukan di habitat A dan B, b= jumlah jenis yang ditemukan di habitat A, dan c= jumlah jenis yang ditemukan di habitat B.

Kerapatan vegetasi

Data vegetasi yang telah didapatkan diolah menggunakan rumus kerapatan berikut:

kerapatan =jumlah individu luas petak contoh⁄

(19)

Niche overlap

Niche overlap digunakan untuk mengetahui hubungan antara setiap jenis

kelelawar terhadap sumberdaya yang dimanfaatkan berdasarkan tipe tutupan lahan. Persamaan yang digunakan menggunakan Morisita-Horn Index dengan

rumus:

CH=

2∑npij

i pik ∑ni pij2 ∑nipik2

Keterangan: CH= Indeks Morisita-Horn antara kelelawar jenis ke-j dan jenis ke-k, pij= proporsi tipe tutupan lahan yang digunakan kelelawar jenis ke-j (pij= n/N), pik= proporsi tipe tutupan lahan yang digunakan kelelawar jenis ke-k (pik= n/N), n= jumlah tipe tutupan lahan.

Morfologi kelelawar

Pengukuran morfologi kelelawar dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis morfologi kelelawar secara kuantitatif dilakukan dengan mengukur berat tubuh kelelawar dan mengukur panjang bagian tubuh yang terdiri dari panjang tubuh total, lengan bawah sayap, telinga, kaki, dan ekor untuk jenis-jenis tertentu. Analisis morfologi kelelawar secara kualitatif dilakukan dengan mellihat perbedaan struktur wajah, rambut, dan adanya cakar pada jari sayap kedua.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Komposisi jenis kelelawar

Jumlah jenis kelelawar yang ditemukan selama pengambilan data sebanyak 19 jenis dan berasal dari 4 famili, yaitu Pteropodidae (9 jenis), Rhinolophidae (2 jenis), Hipposideridae (2 jenis), dan Vespertilionidae (6 jenis). Berdasarkan tipe tutupan lahannya, sebanyak 9 jenis kelelawar ditemukan di tegakan damar, 8 jenis di lahan agroforest dan pinus, serta 11 jenis di tegakan puspa. Jumlah total individu yang tertangkap sebanyak 205 individu (Tabel 2).

Kelelawar jenis Cynopterus brachyotis, Cynopterus titthaecheilus, dan Rhinolophus affinis merupakan jenis kelelawar yang terdapat di seluruh tutupan

lahan. Cynopterus brachyotis merupakan jenis kelelawar yang paling banyak

ditemukan selama pengamatan yaitu 74 individu, dan jenis kelelawar yang paling sedikit ditemukan antara lain Rousettus amplexicaudatus, Myotis muricola, Myotis adversus, Murina suilla, Hipposideros diadema, dan Cynopterus horsfieldii yang

(20)

Tabel 2 Komposisi jenis kelelawar yang ditemukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat

No Famili Nama Jenis Jumlah Individu Ditemukan

Dmr Agf Pns Psp 1 Pteropodidae Cynopterus brachyotis 10 27 10 27

2 Pteropodidae Cynopterus horsfieldii 0 0 1 0

3 Pteropodidae Cynopterus minutus 3 1 2 0

4 Pteropodidae Cynopterus sphinx 0 0 10 1

5 Pteropodidae Cynopterus

titthaecheilus 1 3 14 5

6 Pteropodidae Eonycteris spelaea 0 3 0 0

7 Pteropodidae Macroglossus sobrinus 0 3 0 0

8 Pteropodidae Rousettus

amplexicaudatus 0 1 0 0

Keterangan: Dmr= Damar, Agf= Agroforest, Pns= Pinus, Psp= Puspa

(21)

Tegakan puspa memiliki jumlah jenis kelelawar terbanyak yaitu 11 jenis; sedangkan jumlah jenis terendah terdapat pada lahan agroforest dan pinus yaitu masing-masing 8 jenis (Gambar 8). Kelelawar dari famili Pteropodidae merupakan famili yang memiliki jumlah jenis dan jumlah individu paling banyak diantara famili lainnya; sedangkan famili Hipposideridae dan Rhinolophidae memiliki jumlah jenis yang paling sedikit. Jumlah individu paling sedikit ditemukan pada famili Vespertilionidae (Gambar 9).

Gambar 8 Perbandingan jumlah jenis dan jumlah individu kelelawar pada masing-masing tutupan lahan

Gambar 9 Perbandingan jumlah jenis dan jumlah individu tiap famili Jenis kelelawar Megachiroptera terbanyak ditemukan di lahan agroforest yaitu 7 jenis, diantaranya C. brachyotis, C. minutus, C. titthaecheilus, E. spelaea, M. sobrinus, R. amplexicaudatus, dan R. leschenaultii; sedangkan pada tegakan

damar dan puspa memiliki jenis kelelawar Megachiroptera paling sedikit yaitu masing-masing 4 jenis. Jumlah jenis kelelawar Microchiroptera terbanyak ditemukan di tegakan puspa yaitu 7 jenis, diantaranya H. larvatus, M. australis, M. adversus, M. muricola, P. tenuis, R. affinis, dan R. pusillus; sedangkan jumlah

jenis terendah terdapat di lahan agroforest yaitu 1 jenis (Gambar 10).

Gambar 10 Perbandingan jumlah jenis dan jumlah individu kelelawar sub ordo Megachiroptera dan Microchiroptera di tiap tutupan lahan

(22)

Seluruh jenis kelelawar yang tertangkap oleh jaring kabut merupakan kelelawar Megachiroptera sebanyak 9 jenis dengan jumlah individu tertangkap sebanyak 125 individu. Seluruh kelelawar yang tertangkap oleh perangkap harpa berasal dari sub ordo Microchiroptera sebanyak 10 jenis dengan jumlah individu tertangkap sebanyak 80 individu. Jaring kabut memiliki tingkat keberhasilan lebih tinggi pada lahan agroforest dan pinus daripada perangkap harpa. Keberhasilan perangkap harpa lebih tinggi ditemukan pada tegakan damar dan puspa dengan jumlah jenis kelelawar tertangkap lebih banyak dibandingkan menggunakan jaring kabut. Perbandingan keberhasilan alat penangkapan disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11 Perbandingan keberhasilan alat penangkap pada tiap tutupan lahan Hasil analisis pendugaan kekayaan jenis Jackknife menunjukkan bahwa jumlah jenis yang ditemukan di lokasi penelitian masih bisa bertambah antara 19 sampai dengan 32 jenis dengan simpangan baku sebesar 2.14 (selang kepercayaan 95%) serta jumlah jenis unik yang dapat ditemukan sebanyak 25 jenis. Selama pengambilan data berlangsung, pada tegakan damar dan puspa masih terjadi penambahan jenis hingga pengulangan terakhir sebanyak 9 jenis dan 11 jenis; sedangkan pada lahan agroforest dan pinus sudah tidak terjadi penambahan jenis dengan jumlah masing-masing 8 jenis. Total usaha penangkapan adalah 36 individu per malam-perangkap.

Aktivitas kelelawar diduga berkaitan dengan periode bulan.. Jumlah jenis dan individu kelelawar yang tertangkap ketika periode bulan penuh jauh lebih sedikit dibandingkan kelelawar yang tertangkap ketika periode diluar bulan penuh (Gambar 12).

Gambar 12 Perbandingan jumlah jenis dan individu kelelawar yang tertangkap berdasarkan periode bulan

Seluruh jenis kelelawar yang didapatkan pada penelitian ini berstatus konservasi LC (Least Concern) atau resiko rendah dalam IUCN, tidak terdapat

jenis kelelawar yang termasuk ke dalam daftar kategori Appendiks CITES dan dalam daftar jenis satwa yang dilindungi menurut PP No. 7 Tahun 1999 (Tabel 3).

4 5 7 5 4

nis Jaring kabut Perangkap harpa Total

4 10 19

Periode bulan penuh Periode diluar bulan penuh

(23)

Tabel 3 Status konservasi jenis kelelawar di Hutan Pendidikan Gunung Walat

18 Rousettus amplexicaudatus (É.Geoffroy, 1810)

LC n.a -

19 Rousettus leschenaultii (Desmarest, 1820) LC n.a -

Keterangan: LC= Least Concern, n.a= non appendix Kerapatan tegakan

Kondisi kerapatan tegakan pada setiap tutupan lahan berbeda antara satu dengan yang lainnya dan diduga berpengaruh terhadap aktivitas kelelawar. Kerapatan tertinggi terdapat pada tegakan pinus; sedangkan kerapatan terendah terdapat pada lahan agroforest (Tabel 4).

Tabel 4 Perbandingan kerapatan tegakan pada tiap tutupan lahan No Tipe Tutupan

Lahan

Kerapatan (ind/ha)

Jenis

(24)

Kelelawar diduga lebih memanfaatkan lahan agroforest, pinus, dan puspa; sedangkan pada tegakan damar tidak terdapat kelelawar yang lebih memanfaatkan tipe tutupan lahan ini (Tabel 5).

Tabel 5 Hasil uji logistik biner terhadap masing-masing tutupan lahan

Metode Uji Tutupan Lahan

Damar Agroforest Pinus Puspa

'-2 Log likelihood

Tipe tutupan lahan agroforest didapatkan 3 jenis kelelawar yang lebih memanfaatkan tutupan lahan (C. brachyotis, E. spelaea, R. affinis), pada tegakan

pinus terdapat 2 jenis kelelawar yang lebih memanfatkan tutupan lahan (C. titthaecheilus, K. hardwickii), dan pada tegakan puspa terdapat 3 jenis kelelawar

yang lebih memanfaatkan tutupan lahan (C. brachyotis, H. larvatus, M. australis). Keanekaragaman, kekayaan, dan kemerataan jenis kelelawar

Nilai keanekaragaman kelelawar yang ditemukan di HPGW secara keseluruhan adalah sebesar 2.02 dengan nilai kekayaan jenis sebesar 3.38 dan nilai kemerataan 0.69. Keanekaragaman jenis kelelawar tertinggi didapatkan pada tegakan damar H’= 1.76) sedangkan keanekaragaman jenis terendah terdapat di

(25)

Gambar 13 Perbandingan nilai indeks pada masing-masing tutupan lahan

Kesamaan komunitas kelelawar

Perhitungan kesamaan komunitas kelelawar pada tiap tipe tutupan lahan menunjukkan bahwa kesamaan komunitas tertinggi ditemukan antara tegakan damar dengan tegakan puspa (JI= 0.43); sedangkan nilai indeks kesamaan komunitas terendah ditemukan antara lahan agroforest dengan tegakan puspa (JI= 0.27) (Tabel 6).

Tabel 6 Indeks kesamaan komunitas kelelawar pada tiap tipe tutupan lahan

Habitat Damar Agroforest Pinus Puspa

Damar - 0.42 0.42 0.43

Agroforest - 0.33 0.27

Pinus - 0.36

Puspa -

Niche overlap

Nilai niche overlap terbesar terdapat pada kelelawar jenis Cynopterus horsfieldii terhadap Kerivoula hardwickii, Eonycteris spelaea terhadap Macroglossus sobrinus dan Rousettus amplexicaudatus, Hipposideros diadema

terhadap Murina suilla dan Rousettus leschenaultii, Macroglossus sobrinus

terhadap Rousettus amplexicaudatus, serta Miniopterus australis terhadap Myotis adversus, Myotis muricola, dan Pipistrellus tenuis masing-masing sebesar 1. Nilai niche overlap yang mendekati 1 menunjukkan telah terjadi kesamaan penggunaan

tipe tutupan lahan yang besar, sedangkan nilai niche overlap yang bernilai

mendekati 0 menunjukkan bahwa overlap yang terjadi tidak besar. Matriks nilai

niche overlap tiap jenis kelelawar disajikan pada Tabel 7.

Kesamaan penggunaan sumberdaya juga terjadi antar spesies yang sama. Penelitian ini menunjukkan terdapat kesamaan penggunaan sumberdaya pada kelelawar Kerivoula hardwickii jantan terhadap Kerivoula hardwickii betina, dan Macroglossus sobrinus jantan terhadap Macroglossus sobrinus betina. Matriks

nilai niche overlap tiap jenis kelelawar berdasarkan jenis kelamin disajikan pada

(26)

16

Tabel 7 Matriks nilai niche overlap pada tiap jenis kelelawar berdasarkan tipe tutupan lahan

CB CH CM CS CT ES HD HL KH MS MA Msu Mad MM PT RA RP Ram RL

CB 1.00 0.21 0.50 0.27 0.58 0.56 0.21 0.67 0.21 0.56 0.56 0.21 0.56 0.56 0.56 0.73 0.73 0.56 0.91 CH 1.00 0.48 0.99 0.85 0.00 0.00 0.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.20 0.00 0.00 CM 1.00 0.50 0.60 0.24 0.72 0.35 0.48 0.24 0.00 0.72 0.00 0.00 0.00 0.32 0.47 0.24 0.62 CS 1.00 0.90 0.00 0.00 0.09 0.99 0.00 0.10 0.00 0.10 0.10 0.10 0.12 0.29 0.00 0.05 CT 1.00 0.18 0.06 0.32 0.85 0.18 0.30 0.06 0.30 0.30 0.30 0.37 0.52 0.18 0.34

ES 1.00 0.00 0.00 0.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06 0.00 1.00 0.50

HD 1.00 0.43 0.00 0.00 0.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.34 0.40 0.00 1.00

HL 1.00 0.00 0.00 0.86 0.43 0.86 0.86 0.86 0.99 0.97 0.00 0.75

KH 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.20 0.00 0.00

MS 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06 0.00 1.00 0.50

MA 1.00 0.00 1.00 1.00 1.00 0.88 0.80 0.00 0.50

Msu 1.00 0.00 0.00 0.00 0.34 0.40 0.00 0.50

Mad 1.00 1.00 1.00 0.88 0.80 0.00 0.50

MM 1.00 1.00 0.88 0.80 0.00 0.50

PT 1.00 0.88 0.80 0.00 0.50

RA 1.00 0.97 0.06 0.76

RP 1.00 0.00 0.75

Ram 1.00 0.50

RL 1.00

Keterangan: CB= Cynopterus brachyotis, CH= Cynopterus horsfieldii, CM= Cynopterus minutus, CS= Cynopterus sphinx, CT= Cynopterus titthaecheilus, ES= Eonycteris spelaea, HD= Hipposideros diadema, HL= Hipposideros larvatus, KH= Kerivoula hardwickii,

(27)

Pembahasan

Komposisi jenis kelelawar

Kelelawar yang ditemukan di HPGW berjumlah 19 jenis atau sekitar 9% dari total 205 jenis kelelawar yang terdapat di Indonesia menurut Suyanto (2001). Tegakan puspa memiliki jumlah jenis dan kelimpahan individu kelelawar paling tinggi dibandingkan dengan tipe tutupan lahan lainnya. Hal ini dikarenakan lokasi tegakan puspa yang berbatasan langsung dengan lahan agroforest dan perkebunan warga sehingga jenis tumbuhan yang terdapat di lokasi ini lebih beragam. Menurut Kartika (2008), sebagian jenis kelelawar menggunakan pohon yang memiliki karakteristik tertentu sebagai tempat bertengger. Secara tidak langsung, vegetasi menyediakan pohon pakan dan merupakan habitat serangga yang merupakan sumber pakan bagi kelelawar.

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Sumirto (2013) yang menunjukkan bahwa jumlah jenis kelelawar paling banyak ditemukan di habitat kebun. Perbedaan ini disebabkan karena letak lahan agroforest berbatasan langsung dengan pemukiman warga, sehingga mempengaruhi aktivitas kelelawar baik dalam mencari pakan ataupun bersarang. Menurut Baudinette et al. (1994),

Russso et al. (2003), dan Willis dan Brigham (2004) diacu dalam Wijayanti

(2011), dengan memilih sarang, kelelawar dapat memperoleh beberapa keuntungan, yaitu perlindungan dari cuaca buruk, perlindungan dari predator, memperkecil energi termoregulasi, keberhasilan reproduksi, serta transfer informasi tempat mencari makan dan tempat bersarang.

Kelelawar anggota sub ordo Megachiroptera paling banyak ditemukan di lahan agroforest baik dari segi jenis maupun kelimpahan individunya. Jenis tumbuhan yang terdapat di lokasi ini paling bervariasi dibandingkan lokasi lainnya khususnya tumbuhan buah, sehingga diduga dimanfaatkan oleh kelelawar untuk beraktivitas. Menurut Altringham (1996), kebanyakan kelelawar Megachiroptera bersarang di pohon dengan jumlah koloni besar. Pohon sarang Megachiroptera biasanya tinggi dan besar, tetapi tidak berdaun rimbun. Pohon tempat bersarang kelelawar biasanya menyediakan akses yang mudah menuju tempat pencarian pakan dan mempunyai pencahayaan yang cukup bagi perkembangan anakan (Campbell et al. 1996). Penelitian Maryati (2008) di

Taman Nasional Gunung Ciremai menunjukkan terdapat 21 jenis tumbuhan yang merupakan sumber pakan kelelawar sub ordo Megachiroptera.

Jumlah individu kelelawar sub ordo Microchiroptera di tegakan puspa paling melimpah diantara tutupan lahan yang lain. Hal ini dipengaruhi oleh keberadaan Gua Putih yang terdapat di lokasi ini. Menurut Altringham (1996) dan Zahn dan Hager (2005) beberapa jenis kelelawar memilih gua sebagai tempat bersarang karena kondisi gua yang lembap, suhu stabil, dan jauh dari kebisingan. Gua-gua dengan lorong pendek (<100m) dapat dihuni oleh Megachiroptera, sementara Microchiroptera hanya menghuni gua dengan panjang lorong lebih dari 100 meter (Wijayanti et al. 2012). Wijayanti (2011) juga menjelaskan bahwa

(28)

Gambar 14 Jenis kelelawar R. affinis

Ketersediaan pakan di lokasi ini juga berpengaruh terhadap banyaknya kelelawar sub ordo Microchiroptera yang tertangkap di lokasi ini. Penelitian Mulyani dan Haneda (2010) di HPGW menyatakan bahwa pada tegakan puspa ditemukan sebanyak 3452 individu Arthropoda. Kelelawar sub ordo Microchiroptera memiliki kemampuan ekolokasi untuk membedakan sinyal dari mangsa dan vegetasi serta merupakan karakteristik spesies-spesies yang mencari pakan di tegakan yang rapat (Kingston et al. 2003). Menurut Kartika (2008),

kelelawar Microchiroptera mampu terbang dengan jarak mencapai 10 km per malam.

Kelelawar jenis C. brachyotis, C. titthaecheilus, dan R. affinis terdapat di

seluruh tutupan lahan. Hal ini menunjukkan bahwa jenis-jenis kelelawar tersebut memiliki daya adaptasi yang tinggi. C. brachyotis merupakan jenis kelelawar

yang umum dijumpai di Asia Tenggara, jenis ini menempati tipe habitat hutan primer, hutan bekas terbakar, hutan bakau, daerah budidaya, kebun buah, dan daerah perkotaan (Tan et al. 2000). Pada penelitian Kartika (2008) di Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan, jenis kelelawar R. affinis juga merupakan jenis

yang umum ditemui. Selain itu, terdapat 8 jenis kelelawar yang termasuk kategori spesialis habitat karena hanya ditemui di satu tipe tutupan lahan. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa jenis kekelawar menggunakan kriteria habitat tertentu untuk beraktivitas. Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi dan keanekaragaman kelelawar di suatu habitat antara lain iklim mikro, kelerengan, tipe habitat, serta ketersediaan pakan (Maryanto et al. 2011).

(a) (b)

Gambar 15 Jenis kelelawar (a) C. brachyotis, (b) C. titthaecheilus

(29)

keberhasilan jaring kabut pada lahan agroforest lebih besar dan berbanding lurus dengan banyaknya kelelawar Megachiroptera yang tertangkap di lokasi ini. Begitu juga pada tegakan puspa, tingkat keberhasilan perangkap harpa lebih tinggi dan berbanding lurus dengan lebih banyaknya kelelawar sub ordo Microchiroptera yang ditemukan. Selama penelitian terlihat kelelawar sub ordo Megachiroptera umumnya melakukan aktivitas terbang pada ketinggian tertentu dan lebih tinggi dibandingkan Microchiroptera. Hal ini yang menyebabkan keefektifan jaring kabut lebih tinggi di lokasi yang banyak terdapat kelelawar Megachiroptera. Sedangkan keefektifan perangkap harpa lebih tinggi untuk menangkap kelelawar sub ordo Microchiroptera yang umumnya terbang rendah. Hal ini dikarenakan kemampuan perangkap harpa yang hanya dapat menangkap kelelawar pada ketinggian tertentu (tidak lebih dari 3 meter) (Palmeirim dan Rodrigues 1993 diacu dalamKartika 2008).

Penambahan jenis kelelawar masih terus terjadi hingga pada pengulangan terakhir pada tegakan damar dan puspa, sehingga diduga jenis kelelawar masih dapat bertambah apabila dilakukan pengambilan data lebih lanjut. Kondisi ini didukung oleh hasil analisis pendugaan kekayaan jenis Jackknife yang menunjukkan bahwa jumlah jenis yang ditemukan dilokasi penelitian berada dibawah pendugaan. Jika dibandingkan dari penelitian sebelumnya, pernah ditemukan R. accuminatus, N. javanica, M. horsfieldii, dan H. Galeritus di

kawasan HPGW (Himakova 2012 dan Himakova 2013). Masih kurangnya jenis yang ditemukan dibandingkan dengan hasil pendugaan jenis Jackknife diduga dipengaruhi oleh kondisi cuaca saat pengambilan data berlangsung dan kurang tepatnya penempatan alat perangkap.

Periode bulan juga sangat berpengaruh terhadap aktivitas kelelawar. Hal ini dapat dilihat dari hasil penangkapan pada saat periode bulan penuh sangat sedikit dibandingkan penangkapan pada saat periode diluar bulan penuh. Perbedaan ini

dipengaruhi oleh perilaku kelelawar yang disebut “lunar phobia”. “lunar phobia

merupakan perilaku menurunnya aktivitas kelelawar selama periode bulan penuh (full moon) untuk menghindari predator (Lang et al. 2005). Saat periode bulan

penuh, kondisi langit akan lebih cerah dan memudahkan predator seperti ular untuk memangsa kelelawar. Menurut Saldana-Vazquez dan Munguia-Rosas (2013), satwa menunjukkan beberapa strategi perilaku untuk mengurangi resiko pemangsaan, perilaku menghindar dari cahaya bulan adalah strategi yang digunakan oleh beberapa spesies nokturnal untuk mengurangi resiko pemangsaan.

Kelelawar dapat ditemukan diseluruh tipe tutupan lahan dengan ketinggian lokasi yang berbeda-beda menunjukkan bahwa kelelawar memiliki daya adaptasi yang baik terhadap ketinggian tempat. Kunz dan Pierson (1994) diacu dalam Wijayanti (2011) juga menyatakan bahwa kelelawar merupakan mamalia paling berhasil karena dapat ditemukan di berbagai tipe habitat dengan ketinggian tempat mulai 10 m dpl hingga 3000 m dpl.

Kerapatan tegakan

(30)

memiliki kerapatan tegakan tinggi, sedangkan pada penelitian ini kerapatan tertinggi terdapat di tegakan pinus dan jumlah kelelawar tertinggi terdapat di tegakan puspa. Perbedaan ini diduga akibat kencangnya angin yang bertiup di lokasi ini selama pengambilan data karena posisinya terletak di puncak bukit. Kondisi berangin mengakibatkan serangga-serangga pakan Microchiroptera tidak dapat terbang (Kartika 2008). Sedikitnya serangga-serangga pakan Microchiroptera menyebabkan menurunnya aktivitas kelelawar di lokasi ini.

Kerapatan tegakan terendah terdapat pada lahan agroforest, namun pada lokasi ini jenis tumbuhannya paling bervariasi dibanding tutupan lahan lainnya. Tumbuhan-tumbuhan tersebut diduga digunakan sebagai sumber pakan kelelawar, khususnya kelelawar Megachiroptera. Kelelawar Cynopterus sp. (sub ordo

Megachiroptera) di Kebun Raya Bogor memakan 48 jenis tumbuhan yang sebagian besar (74.38%) merupakan tumbuhan hutan dan bagian yang dimakan adalah buah dan daun (Suyanto 2001). Selain menyediakan buah, tumbuhan-tumbuhan tersebut juga menyediakan pakan berupa nektar. Kelelawar jenis M. sobrinus merupakan jenis kelelawar pemakan nektar (Maryati 2008). Crome dan

Richard (1988) diacu dalam Kartika (2008) menyatakan bahwa jenis-jenis yang mencari makan pada tegakan hutan yang rapat cenderung memiliki kemampuan terbang diantara tegakan yang lebih baik dibandingkan jenis-jenis yang mencari makan di habitat yang lebih terbuka. Sumirto (2013) juga menyatakan bahwa kelelawar yang memiliki bentangan sayap yang lebar seperti R. leschenaultii (sub

ordo Megachiroptera) lebih memilih habitat yang relatif terbuka untuk memudahkan manuver saat terbang, sebaliknya kelelawar yang mengandakan ekolokasi dan memiliki bentang sayap yang sempit akan mudah melakukan manuver terbang di habitat yang rapat.

Hasil uji kelayakan model menunjukkan bahwa pada tegakan damar tidak terdapat jenis-jenis kelelawar yang lebih memanfaatkan komposisi vegetasi di lokasi ini. Hasil Hosmer and Lemeshow Test yang tidak menghasilkan nilai

signifikansi (<0,05) mengartikan bahwa variabel tegakan damar tidak mampu menjelaskan keragaman data pada variabel keanekaragaman jenis kelelawar di lokasi ini, sedangkan hasil Hosmer and Lemeshow Test pada lahan agroforest,

pinus, dan puspa menunjukkan bahwa model dinyatakan cocok (>0,05). Nilai

Nagelkerke R Square pada lahan agroforest, pinus, dan puspa menggambarkan

bahwa sebanyak 48.5%, 48.6%, dan 56.7% keragaman dapat dijelaskan oleh model, sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor diluar model. Munculnya jenis-jenis kelelawar dalam hasil pengujian pada lahan agroforest, pinus, dan puspa menunjukkan bahwa jenis-jenis kelelawar tersebut diduga lebih memanfaatkan lokasi tutupan lahan sebagai pusat aktivitas hariannya seperti bergantung (roosting) maupun mencari makan dibandingkan jenis-jenis kelelawar lainnya. Keanekaragaman, kekayaan, dan kemerataan jenis kelelawar

Menurut Primack et al. (1998), keanekaragaman jenis didefinisikan sebagai

(31)

satu spesies yang dominan pada lahan agroforest yaitu C. brachyotis, sedangkan

pada tegakan pinus terdapat tiga spesies yang mendominasi, diantaranya C. brachyotis, C. sphinx, dan C. titthaecheilus. Sehingga berpengaruh terhadap nilai

keanekaragaman jenis yang ada di dalamnya.

Kekayaan jenis kelelawar tertinggi berada di daerah equator dan dipengaruhi oleh keberadaan hutan hujan tropis (McArthur 1972 diacu dalam Kartika 2008). Nilai indeks kekayaan jenis tertinggi terdapat pada tutupan lahan puspa yang memiliki jumlah jenis dan individu kelelawar paling tinggi, sedangkan lahan agroforest dan pinus memiliki nilai indeks kekayaan jenis terendah dibanding yang lain. Meskipun jumlah individu pada kedua tipe tutupan lahan ini lebih tinggi daripada tegakan damar, proporsi kelimpahan individu di tegakan damar lebih merata dibandingkan lahan agroforest dan pinus. Hal ini yang menyebabkan nilai indeks kekayaan jenis pada lahan agroforest dan pinus lebih rendah dibandingkan tegakan damar.

Nilai indeks kemerataan jenis tertinggi terdapat pada tegakan damar. Kemerataan jenis menunjukkan kelimpahan individu tiap jenis yang ada dalam komunitas (Magurran 1988). Tegakan damar memiliki nilai kemerataan jenis paling tinggi dibandingkan lokasi lainnya (E=0.80), yang mengartikan bahwa kemerataan jenis kelelawar di lokasi ini merata karena nilai indeksnya mendekati satu (Krebs 1978). Tegakan damar memiliki nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan jenis tertinggi dibandingkan lokasi lainnya. Menurut Kartika (2008), nilai kemerataan jenis berbanding lurus dengan nilai keanekaragaman, semakin tinggi nilai kemerataan maka keanekaragaman juga semakin meningkat.

Kesamaan komunitas kelelawar

Indeks kesamaan merupakan suatu nilai yang menunjukkan ada tidaknya suatu jenis di dua atau lebih habitat yang diteliti (Kartika 2008). Indeks kesamaan Jaccard (JI) akan memiliki nilai sama dengan 1 apabila terdapat kesamaan komposisi jenis kelelawar secara penuh pada tipe tutupan lahan yang dibandingkan, sebaliknya jika indeks mendekati nol maka komposisi jenis kelelawar pada tipe tutupan lahan yang dibandingkan semakin berbeda. Kesamaan komunitas tertinggi ditemukan antara tegakan damar dengan tegakan puspa (JI=0.43). Hal ini ditunjukkan oleh 6 jenis dari 9 jenis kelelawar yang ditemukan di tutupan lahan damar juga ditemukan di tutupan lahan puspa.

(32)

Niche overlap

Niche overlap merupakan penggunaan sumberdaya yang sama oleh dua

spesies yang berbeda sehingga menyebabkan kedua spesies tersebut memiliki relung yang sama (Maryati 2008). Hubungan antar jenis kelelawar yang bernilai

niche overlap mendekati 1 memiliki kesamaan penggunaan sumberdaya secara

penuh. Selain kesamaan penggunaan sumberdaya antar spesies kelelawar, pada penelitian ini ditemukan bahwa kesamaan penggunaan sumberdaya tidak hanya terjadi pada spesies yang berbeda namun juga terjadi antar spesies yang sama. Kondisi ini seperti pada penelitian Maryati (2008) yang menunjukkan bahwa terdapat persaingan antara Cynopterus brachyotis jantan terhadap Cynopterus brachyotis betina. Sumberdaya yang digunakan secara bersama oleh dua spesies

yang berbeda dan menyebabkan terjadinya overlap yang dapat berupa makanan, air, sinar matahari, pelindung, dan tempat bersarang (Moen 1973).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Terdapat 19 jenis kelelawar dari 4 famili yang ditemukan di lokasi ini, antara lain: Cynopterus brachyotis, Cynopterus horsfieldii, Cynopterus minutus, Cynopterus sphinx, Cynopterus titthaecheilus, Eonycteris spelaea, Hipposideros diadema, Hipposideros larvatus, Kerivoula hardwickii, Macroglossus sobrinus, Miniopterus australis, Murina suilla, Myotis adversus, Myotis muricola, Pipistrellus tenuis, Rhinolophus affinis, Rhinolophus pusillus, Rousettus amplexicaudatus, dan Rousettus leschenaultii. Indeks

keanekaragaman jenis kelelawar di tutupan lahan damar, agroforest, pinus dan puspa masing-masing sebesar 1.76; 1.27; 1.62; dan 1.71. Seluruh jenis kelelawar berstatus LC (Least Concern) atau resiko rendah dalam daftar merah

IUCN dan tidak ada jenis yang termasuk ke dalam daftar kategori Appendiks CITES maupun daftar jenis satwa yang dilindungi menurut PP No. 7 Tahun 1999.

2. Indeks kekayaan jenis tertinggi terdapat pada tutupan lahan puspa (Dmg= 2.24) dan yang terendah pada tutupan lahan agroforest dan pinus (Dmg= 1.88), sedangkan indeks kekayaan jenis pada tutupan lahan damar sebesar 2.23. Indeks kemerataan jenis pada tutupan lahan damar, agroforest, pinus, dan puspa secara berturut-turut sebesar 0.80; 0.61; 0.78; dan 0.71.

3. Nilai kesamaan komunitas kelelawar tertinggi ditemukan antara tegakan damar dengan tegakan puspa (JI= 0.43), dan yang terendah ditemukan antara lahan agroforest dengan tegakan puspa (JI= 0.27).

Saran

(33)

2. Keutuhan kawasan dan tegakan perlu dijaga karena dalam penelitian ini terbukti kelelawar memanfaatkan tegakan sebagai aktivitas utamanya, baik untuk bergantung (roosting) maupun sebagai sumber pakan.

DAFTAR PUSTAKA

Altringham JD. 1996. Bats: Biologi and Behaviour. New York (US): Oxford Univ

Pr.

Campbell LA, Hallet JG, O’Connel MA. 1996. Conservation of bats in managed

forest: use of roost by brown bats. Eptesicus fuscus, conform to the fission-

fusion model. Anim Behav. 68:495-505.

Dumont ER, Weiblen GD, Winkelmann JR. 2004. Preferences of fig wasps and fruit bats for figs of funcionally dioecious Ficus pungens. J Trop Ecol.

20:233-238.

Falcão FDC, Rebêlo VF,Talamoni SA. 2003. Structure of bat ssemblages (Mammalia, Chiroptera) in Serra do Caraça, South-East Brazil. Revista Brasileira de Zoologia. 20(2):347-350.

Fenton MB. 1990. The foraging behavior and ecology of animal eating bats. Cana J Zoo. 68:411–422.

Heltse JF, Forrester NE. 1983. Estimating species richness using the Jackknife procedure. Biometrics. 39(1):1-11

Hill JE, Smith JD. 1984. Bats, a Natural History. Austin (US): Univ Texas Pr.

Husna N. 2006. Sebaran spasial dan keanekaragaman ular di berbagai tipe penggunaan lahan di SKW I Rowobendo Taman Nasional Alas Purwo [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[IPB Himakova] Institut Pertanian Bogor, Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. 2012. Laporan Monitoring Mamalia di Hutan Pendidikan Gunung Walat [laporan]. Bogor (ID): Himakova IPB. [IPB Himakova] Institut Pertanian Bogor, Himpunan Mahasiswa Konservasi

Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. 2013. Laporan Monitoring Mamalia di Hutan Pendidikan Gunung Walat [laporan]. Bogor (ID): Himakova IPB. Kartika FK. 2008. Keanekaragaman kelelawar pemakan serangga sub ordo

Microchiroptera di Stasiun Penelitian Way Canguk Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kingston T, Francis CM, Akbar Z, Kunz TH. 2003. Species richness in an insectivorous bat assemblage from Malaysia. J Trop Bio. 19:67-79.

Krebs CJ. 1978. Ecological Methodology. New York (US): Harper and Row.

Lang AB, Kalko EK , Rȍmer H, Bockholdt C, Dechmann DKN. 2005. Activity levels of bats and katydids in relation to the lunar cycle. Oecologia.

146:659-666.

Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and Computing. New York (US): J Wiley.

Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey

(US): Princeton Univ Pr.

(34)

Maryati. 2008. Identifikasi sumber pakan kelelawar pemakan buah dan nektar sub ordo Megachiroptera berdasarkan analisis pollen di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Medellín RA, Equihua M, Amin MA. 2000. Bat diversity and abundance as

indicators of disturbance in neotropical rainforests. Conserv Bio.

14(6):1666-1675.

Moen AN. 1973. Wildlife Ecology. San Francisco (US): WH Freeman.

Mulyani YA, Haneda NF. 2010. Bird and anthropod communities in fragmented plantation forest of Gunung Walat Education Forest, Cibadak, Sukabumi.

Work Pap PPLH IPB. 27:1-8.

Payne J, Francis CM, Philipps K, Kartikasari SR. 2000. Panduan Lapangan Mamalia di Kalimantan, Sabah, Serawak, dan Brunei Darussalam. Bogor

(ID): The Sabah Society dan Wildlife Conservation Society Indonesia Program.

Prasetyo PN, Noerfahmy S, Tata HL. 2011. Jenis-jenis Kelelawar Khas Agroforest Sumatera. Bogor (ID): World Agroforestry Centre – ICRAF.

Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi.

Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia.

Razakarivony V, Rajemison B, Goodman SM. 2005. The diet of Malagasy Microchiroptera based on stomach contents. J Mamm Bio. 70(5): 312-316.

Saldana-Vazquez RA, Munguia-Rosas MA. 2013. Lunar phobia in bats and its ecological correlates: a meta-analysis. J Mamm Bio. 78:216-219.

Soegiharto S, Kartono AP. 2009. Karakteristik tipe pakan kelelawar pemakan buah dan nektar di daerah perkotaan: studi kasus di Kebun Raya Bogor. J Bio Indones. 6(1):199-130.

Soegiharto S, Kartono AP, Maryanto I. 2010. Pengelompokan kelelawar pemakan buah dan nektar berdasarkan karakteristik jenis pakan polen di Kebun Raya Bogor, Indonesia. J Bio Indones. 6(2):255-235.

Soerianegara I. 1996. Ekologi, Ekologisme dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan.

Suhendang E, Kusmana C, Istomo, Syaufina L (Penyunting). Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sumirto A. 2013. Keanekaragaman jenis kelelawar di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Suyanto A. 2001. Seri Panduan Lapangan: Kelelawar di Indonesia. Bogor (ID):

Puslitbang Biologi – LIPI.

Tan KH, Zubaid A, Kunz TH. 2000. Fruit dispersal by lesser dog-faced fruit bat,

C. brachyotis (Muller) (Chiroptera: Preropodidae). Malay Nat J.

54(1):57-62.

Wijayanti F. 2011. Ekologi, relung pakan, dan strategi adaptasi kelelawar penghuni gua di Karst Gombong Kebumen Jawa Tengah [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Wijayanti F, Solihin DD, Alikodra HS, Maryanto I. 2012. The diets of insectivorous cave-dwilling bats from Gombong Karst Area, Central Java, Indonesia. J Trop Conserv (9)1:49-58.

Zahn A, Hager I. 2005. A cave dwelling colony of Myotis daubentonii in Bavaria,

(35)

Lampiran 1 Jenis kelelawar yang ditemukan di HPGW

No Gambar Famili Jenis

1

Pteropodidae Cynopterus

brachyotis

2

Sumber: Prasetyo et al.(2011)

Pteropodidae Cynopterus

horsfieldii

3

Pteropodidae Cynopterus

minutus

4

Pteropodidae Cynopterus

(36)

Lampiran 1 Jenis kelelawar yang ditemukan di HPGW (lanjutan)

No Gambar Famili Jenis

5 Pteropodidae Cynopterus

titthaecheilus

6 Pteropodidae Eonycteris

spelaea

7 Pteropodidae Macroglossus

sobrinus

8 Pteropodidae Rousettus

amplexicaudatus

9 Pteropodidae Rousettus

(37)

Lampiran 1 Jenis kelelawar yang ditemukan di HPGW (lanjutan)

No Gambar Famili Jenis

10 Hipposideridae Hipposideros

diadema

11 Hipposideridae Hipposideros

larvatus

12 Rhinolophidae Rhinolophus

affinis

13 Rhinolophidae Rhinolophus

pusillus

14 Vespertilionidae Kerivoula

(38)

Lampiran 1 Jenis kelelawar yang ditemukan di HPGW (lanjutan)

No Gambar Famili Jenis

15 Vespertilionidae Miniopterus

australis

16 Vespertilionidae Murina suilla

17 Vespertilionidae Myotis adversus

18 Vespertilionidae Myotis muricola

19 Vespertilionidae Pipistrellus

(39)

Lampiran 2 Hasil pengolahan logistik biner menggunakan software SPSS 16

a. Constant is included in the model.

b. Initial -2 Log Likelihood: 40,488

c. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than .001.

a. Estimation terminated at iteration number

20 because maximum iterations has been reached. Final solution cannot be found. b. Estimation terminated at iteration number

7 because parameter estimates changed by less than .001.

c. Estimation terminated at iteration number

5 because parameter estimates changed by less than .001.

d. Estimation terminated at iteration number

4 because parameter estimates changed by less than .001.

Omnibus Tests of Model Coefficients

(40)

Lampiran 2 Hasil pengolahan logistik biner menggunakan software SPSS 16

(41)

Lampiran 2 Hasil pengolahan logistik biner menggunakan software SPSS 16

c. Estimation terminated at iteration number

4 because parameter estimates changed by less than .001.

a. Estimation terminated at iteration number

20 because maximum iterations has been reached. Final solution cannot be found.

b. Estimation terminated at iteration number 7 because parameter estimates changed by less than .001.

Omnibus Tests of Model Coefficients

a. A negative Chi-squares value indicates

(42)
(43)

Lampiran 2 Hasil pengolahan logistik biner menggunakan software SPSS 16

H.diadema, H.larvatus, K.hardwickii, M.sobrinus, M.australis, M.suilla, M.adversus, M.muricola, P.tenuis, R.affinis, R.pusillus, R.amplex, R.lesch.

b. Variable(s) entered on step 19: E.spelaea.

c. Stepwise procedure stopped because removing the least significant variable result in a previously fitted

model.

a. Constant is included in the model.

b. Initial -2 Log Likelihood: 38,139

c. Estimation terminated at iteration number

4 because parameter estimates changed by less than .001.

a. Estimation terminated at iteration number 20 because maximum iterations has been reached. Final solution cannot be found. b. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than ,001.

c. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001.

Omnibus Tests of Model Coefficients

a. A negative Chi-squares value indicates that the Chi-squares value has decreased from the previous step.

(44)

Lampiran 2 Hasil pengolahan logistik biner menggunakan software SPSS 16

a. Variable(s) entered on step 1: C.brachyotis, C.horsfield, C.minutus, C.sphinx, C.titth, E.spelaea,

H.diadema, H.larvatus, K.hardwickii, M.sobrinus, M.australis, M.suilla, M.adversus, M.muricola, P.tenuis, R.affinis, R.pusillus, R.amplex, R.lesch.

b. Variable(s) entered on step 20: K.hardwickii.

c. Stepwise procedure stopped because removing the least significant variable result in a previously fitted

(45)

Lampiran 2 Hasil pengolahan logistik biner menggunakan software SPSS 16

c. Estimation terminated at iteration number

4 because parameter estimates changed by less than .001.

a. Estimation terminated at iteration number

20 because maximum iterations has been reached. Final solution cannot be found.

b. Estimation terminated at iteration number

8 because parameter estimates changed by less than .001.

c. Estimation terminated at iteration number

6 because parameter estimates changed by less than .001.

d. Estimation terminated at iteration number

5 because parameter estimates changed by less than .001.

Omnibus Tests of Model Coefficients

(46)

Lampiran 2 Hasil pengolahan logistik biner menggunakan software SPSS 16

a. Variable(s) entered on step 1: C.brachyotis, C.horsfield, C.minutus, C.sphinx, C.titth, E.spelaea,

H.diadema, H.larvatus, K.hardwickii, M.sobrinus, M.australis, M.suilla, M.adversus, M.muricola, P.tenuis, R.affinis, R.pusillus, R.amplex, R.lesch.

b. Variable(s) entered on step 19: M.australis.

c. Stepwise procedure stopped because removing the least significant variable result in a previously fitted

(47)

37

Lampiran 3 Matriks nilai niche overlap pada tiap jenis kelelawar berdasarkan jenis kelamin

Keterangan: CBj= Cynopterus brachyotis jantan, CBb= Cynopterus brachyotis betina, CHb= Cynopterus horsfieldii betina, CMj= Cynopterus minutus jantan, CMb=

Cynopterus minutus betina, CSj= Cynopterus sphinx jantan, CSb= Cynopterus sphinx betina, CTj= Cynopterus titthaecheilus jantan, CTb= Cynopterus titthaecheilus

betina, ESb= Eonycteris spelaea betina, HDj= Hipposideros diadema jantan, HLj= Hipposideros larvatus jantan, HLb= Hipposideros larvatus betina, KHj= Kerivoula

hardwickii jantan, KHb= Kerivoula hardwickii betina, MSj= Macroglossus sobrinus jantan, MSb= Macroglossus sobrinus betina, MAj= Miniopterus australis jantan,

MSUj= Murina suilla jantan, MADb= Myotis adversus betina, MMj= Myotis muricola jantan, PTj= Pipistrellus tenuis jantan, RAj= Rhinolophus affinis jantan, RAb=

Rhinolophus affinis betina, RPj= Rhinolophus pusillus jantan, RPb= Rhinolophus pusillus betina, RAMb= Rousettus amplexicaudatus betina, RLj= Rousettus leschenaultii jantan, RLb= Rousettus leschenaultii betina.

CBj CBb CHb CMj CMb CSj CSb CTj CTb ESb HDj HLj HLb KHj KHb MSj MSb MAj MSUj MADb MMj PTj RAj RAb RPj RPb RAMb RLj RLb

CBj 1.00 0.88 0.18 0.25 0.72 0.18 0.25 0.43 0.53 0.72 0.18 0.67 0.41 0.18 0.18 0.72 0.72 0.41 0.18 0.41 0.41 0.18 0.50 0.56 0.51 0.49 0.72 0.72 0.47 CBb 1.00 0.22 0.31 1.03 0.22 0.34 0.41 0.65 0.41 0.22 1.05 0.67 0.22 0.22 0.41 0.41 0.67 0.22 0.67 0.67 0.67 0.78 0.83 0.76 0.78 0.41 0.41 0.72 CHb 1.00 0.31 0.67 1.00 0.98 0.89 0.81 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06 0.50 0.00 0.00 0.00 0.00 CMj 1.00 0.22 0.31 0.39 0.52 0.27 0.00 0.92 0.86 0.00 0.31 0.31 0.00 0.00 0.00 0.92 0.00 0.00 0.00 0.15 0.58 0.70 0.30 0.00 0.00 0.67

CMb 1.00 0.67 0.68 0.83 0.75 0.67 0.00 0.00 0.00 0.67 0.67 0.67 0.67 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.04 0.09 0.40 0.00 0.67 0.67 0.00

CSj 1.00 0.98 0.89 0.07 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06 0.50 0.00 0.00 0.00 0.00

CSb 1.00 0.91 0.90 0.00 0.00 0.12 0.14 0.98 0.98 0.00 0.00 0.14 0.00 0.14 0.14 0.14 0.14 0.17 0.60 0.24 0.00 0.00 0.10

CTj 1.00 0.87 0.22 0.22 0.22 0.00 0.89 0.89 0.22 0.22 0.00 0.22 0.00 0.00 0.00 0.05 0.22 0.67 0.07 0.22 0.22 0.17

CTb 1.00 0.16 0.00 0.42 0.41 0.81 0.81 0.16 0.16 0.41 0.00 0.41 0.41 0.41 0.43 0.42 0.75 0.41 0.16 0.16 0.31

ESb 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.05 0.06 0.00 0.00 1.00 1.00 0.00

HDj 1.00 0.80 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.15 0.55 0.50 0.31 0.00 0.00 0.67

HLj 1.00 0.80 0.00 0.00 0.00 0.00 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 1.01 1.34 1.14 1.14 0.00 0.00 1.33

HLb 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 1.00 1.00 0.97 0.73 0.50 0.92 0.00 0.00 0.67

KHj 1.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06 0.50 0.00 0.00 0.00 0.00

KHb 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.06 0.50 0.00 0.00 0.00 0.00

MSj 1.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.05 0.06 0.00 0.00 1.00 1.00 0.00

MSb 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.05 0.06 0.00 0.00 1.00 1.00 0.00

MAj 1.00 0.00 1.00 1.00 1.00 0.97 0.73 0.50 0.92 0.00 0.00 0.67

MSUj 1.00 0.00 0.00 0.00 0.15 0.55 0.50 0.31 0.00 0.00 0.67

MADb 1.00 1.00 1.00 0.97 0.73 0.50 0.92 0.00 0.00 0.36

MMj 1.00 1.00 0.97 0.73 0.50 0.92 0.00 0.00 0.67

PTj 1.00 0.97 0.73 0.50 0.92 0.00 0.00 0.67

RAj 1.00 0.86 0.62 0.98 0.05 0.05 0.80

RAb 1.00 0.84 0.93 0.06 0.06 0.98

RPj 1.00 0.70 0.00 0.00 0.80

RPb 1.00 0.00 0.00 0.89

RAMb 1.00 1.00 0.00

RLj 1.00 0.00

(48)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Januari 1992 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Parmin dan Ibu Karyati. Pendidikan formal yang ditempuh penulis diantaranya TK Kuntum Mekar Bojong Gede, SDN Kebon Pedes 1 Kota Bogor, SMP Negeri 5 Bogor, dan SMA Negeri 3 Bogor. Tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa Insititut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan diterima di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Selama menempuh pendidikan, penulis pernah menjadi asisten Mata Kuliah Inventarisasi Satwaliar pada tahun 2013 dan 2014. Penulis juga aktif di Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova) tahun 2011-sekarang di Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM) Himakova dan Fotografi Konservasi (FOKA) Himakova. Selain itu, penulis pernah diamanahkan menjadi ketua Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM) Himakova periode 2012-2013. Penulis juga pernah mengikuti beberapa kepanitiaan diantaranya panitia MPH (Masa Perkenalan Himpunan Profesi) Gebyar Himakova 2012 serta panitia Bina Corps Rimbawan (BCR) Fakultas Kehutanan IPB tahun 2012 dan 2013.

Beberapa praktek dan kegiatan yang pernah dilakukan penulis selama menjadi mahasiswa IPB diantaranya adalah Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Gunung Papandayan dan Cagar Alam Leuweung Sancang pada tahun 2012; Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (Rafflesia) Himakova di Taman Wisata Alam Sukawayana, Sukabumi pada tahun 2012; Studi Konservasi Lingkungan (Surili) Himakova di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Riau pada tahun 2012; Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (Rafflesia) Himakova di Cagar Alam Bojonglarang Jayanti, Cianjur pada tahun 2013; Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan HPH Cianjur pada tahun 2013; Studi Konservasi Lingkungan (Surili) Himakova di Taman Nasional Manusela, Maluku pada tahun 2013; serta Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung pada tahun 2014.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis melakukan penelitian di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi

Gambar

Gambar 1  Peta lokasi penelitian
Tabel 1  Titik koordinat alat perangkap pada tiap tipe tutupan lahan
Gambar 3  (a) Pemasangan jaring kabut, (b) Pemasangan perangkap harpa
Gambar 4  Cara pemasangan jaring kabut menurut Prasetyo et al. 2011. (a)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Suara beremosi yang akan di klasifikasi haruslah berupa kata yang pendek yang dilatih untuk menirukan ucapan emosi, tetapi sudah menujukkan emosi yang dikandung oleh

Saat ini sudah berkembang alat tugal semi mekanis menggunakan pegas yang memiliki multifungsi.Fungsi tugal semi mekanis yang sudah berkembang adalah untuk

Sangat disarankan kepada petugas Lapas khususnya petugas Lapas Kelas II B Pasir Pengaraian dibagian pembinaan agar mengikuti pelatihan-pelatihan, training atau

Berdasarkan pengajaran dan pemerolehan bahasa Melayu oleh penutur asing di universiti, walaupun didapati bahawa para pelajar dari negara China yang mempelajari bahasa

Setelah program terpasang pada komputer client sekarang pindahkan sertifikat SSL yang telah kita download dari EFW OpenVPN server ke lokasi instalasi OpenVPN client

Tabel 6. Dengan kata lain pertanyaan A1, E3 dan F1 untuk menu pindah jadwal tidak cocok atau tidak tepat untuk alat ukur yang dirancang dan pertanyaan A1, E3 dan F1 bisa

Pada kajian ini, ikatan kekerabatan Bidayuh Sontas Indonesia dengan Bidayuh Sontas Entubuh Malaysia dapat menjadi modal sosial dalam pembangunan Kecamatan Entikong

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Ada pengaruh yang signifikan antara minat belajar siswa SMK PGRI 1 Palembang terhadap prestasi belajar pada