• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya pemerintah Indonesia dan Australia dalam penyelesaian masalah pemanfaatan sumber daya laut di Pulau Pasir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Upaya pemerintah Indonesia dan Australia dalam penyelesaian masalah pemanfaatan sumber daya laut di Pulau Pasir"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

i

UPAYA PEMERINTAH INDONESIA DAN AUSTRALIA

DALAM PENYELESAIAN MASALAH PEMANFAATAN

SUMBER DAYA LAUT DI PULAU PASIR

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Untuk Memenuhi Persyaratan Gelar

Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos)

Oleh :

FIRMANSYAH ARUB

NIM. 107083103913

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIALDAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

ABSTRAK

Skripsi ini membahas mengenai upaya pemerintah Indonesia dan Australia dalam penyelesaian sengketa pulau pasir. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui langkah-langkah Negara untuk menyelesaikan sengketa Pulau Pasir dan Untuk mengetahui bagaimana kesepakatan antara Indonesia dan Australia dalam menjaga hubungan baik terutama dalam memperjuangkan hak-hak nelayan tradisional Indonesia di sekitar Pulau Pasir. Pada penelitian ini penulis menemukan bahwa langkah diplomasi Indonesia yang lemah sehingga berdampak negatif terhadap para Nelayan-nelayan Tradisonal Indonesia. Dalam melakukan penelitin ini, penulis menggunakan konsep Hukum Internasional sebagai dasar yang digunakan kedua Negara untuk melakukan klaim terhadap kepemilikan Pulau Pasir. Kemudian konsep diplomasi yang berarti bahwa kedua Negara memilih melakukan perundingan dan negosiasi untuk penyelesaian sengketa wilayah, atau dengan kata lain memilih kata diplomasi buka dengan perang militer.

Metode yang digunakan untuk penulisan skripsi ini adalah metode kualitatif yang mengunakan buku-buku juga jurnal ilmiah sumber penulisan. Dari hasil penelitin penulis meihat terjadi beberapa pembicaraan dan pertemuan untuk menyelesaikan permasalahan Pulau Pasir. Seperti MOU BOX 1974 dan Perjanjian

Pada tanggal 14 Maret 1997 di Perth. kesepakatan tentang penetapan batas Zona

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Bismillahirohmanirohim.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan karunia Nya yang diberikan, sehingga penulis dapat menyusun skripsi yang berjudul “ Upaya Pemerintah Indonesia dan Australia Dalam Penyelesaian Masalah Pemanfaatan Sumber Daya Laut di Pulau Pasir”. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada jurusan Hubungan Internasional. Rasa syukur dan terimakasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah memberikan motivasi, bimbingan, do’a, dan pemikiran kepada penulis dalam penulisan skripsi ini. Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Ayahanda Ujang Sutisna dan Ibunda Yanti serta adik-adik penulis tercinta.

Ahmad Noor, Ardiansyah, M. Amin, Ahmad Dimyati As-Siddik. Yang tak

bosan-bosan mendo’akan serta memberikan dukungan dalam penulisan skripsi

ini. Penulis mengucapkan mohon maaf kepada keluarga tercinta yang telah

menunggu lama dalam moment ini.

2. Ibu Debbie Affianty, M.Si, sebagi Ketua Jurusan Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Agus Nilmada Azmi. M.Si, selaku sekretaris jurusan Hubungan

Internasional, sekaligus dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini. Terimakasih atas waktu, bimbingan, serta saran yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, terimakasih juga atas kesabaran dan perhatiannya ditengah-tengah berbagai kesibukan.

4. Bapak/Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan

(7)

vii

5. Sahabat-sahabat terbaik penulis : Feriantika, A. Kurnia, SP. S.Pd. MM, Dian

Yoga Permana, A.md, Ruswandi, S.Pd, Ahmad Muhajir, S.Pd, Yayan Herlawiyana, A.Md, Feri Yanto, S.Pd.I, Lomri, Dedi Suherdi, S.Pd, Usin. S.Pd, Budiana AR, Riyant Ahmad Yani, Tia Maulida, Dian Nurhikmah, Rida Nuryana, Sopian Effendi, M Nur, Tati Soehartati, M. Deden, A. Sobari. Terimakasih atas segala do’a, pikiran, serta motivasi yangkalian berikan selama penulisan skripsi ini.

6. Teman-teman seperjuangan Hubungan Internasional angkatan 2007 : Hendri

Jureza Kusuma, Nasrudin, M. Haryadi, Fuad Hasan, Bayu Azhari Ramadani, Akhmad Syarif, Reza Fachlevi, Muamar, Subhan Jamil Baedoi, Icanudin, Marwah Fauziah Amri, Hasbi Asidiqi, Laksono Naya Paritosa. Terima kasih atas dukungan dan semangatnya.

7. Semua pihak yang telah membantu pikiran, saran, tenaga, materil maupun

moril dalam penyelesaian skripsi ini

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini jauh dari sempurna dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan-perbaikan dimasa depan. Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak umumnya dan bagi penulis khususnya.

Jakarta, 10 Juli 2014

(8)

viii A. Sejarah Mengenai Pulau Pasir ...15

B. Perairan Indonesia dan Perkembangan UNCLOS ...24

1. Deklarasi Djoeanda ...24

2. Konsep Wawasan Nusantara dalam Konvensi Hukum Laut 1982 ...27

C. Pemanfaatan Pulau Pasir Oleh Nelayan Indonesia Berdasarkan UNCLOS 1982 ...34

D. Pelaksanaan Clear Water Operations ...41

BAB IIIPERUNDINGAN BILATERAL ANTARA INDONESIA DAN AUSTRALIA ... A. Sejarah Perundingan Bilateral Indonesia dan Australia ...45

1. MOU (Memorandum of Understanding) BOX 1974 ...45

2. Perjanjian tentang Petunjuk Teknis bagi Implementasi MoU 1974..50

(9)

ix

B. Kesepakatan Terbaru Kerjasama Kelautan antara Indonesia dan

Australia ...62

(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Peta Pulau Pasir di perbatasan Indonesia dan Australia ...3 Gambar 2.1. Peta Geografis Pulau Pasir ...21 Gambar 2.2. Peta Pulau Pasir Berdekatan Dengan Pulau Cartier

dan Batu Karang ...23 Gambar 3.1. Peta Batas Wilayah Indonesia Berdasarkan TZMKO 1939

(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perbatasan laut Indonesia serta pulau-pulaunya yang berbatasan langsung

dengan Negara lain sering kali mengalami kondisi yang tidak aman terhadap

berbagai ancaman keamanan dan tindak kriminal, perbatasan laut khususnya

pulau terluar Indonesia memiliki arti yang strategis dalam konteks integrasi

nasional, yaitu sebagian dari wilayah kedaulatan NKRI yang letaknya berada

disisi paling luar dan memiiki titik dasar (base point) didalamnya. titik dasar

tersebut merupakan referensi bagi penarikan garis kepulauan Indonesia dalam

penetapan wilayah perairan nasional sebagai bagian dari wilayah kedaulatan.1

Pada tanggal 14 Maret 1997 di Perth, Australia dilaksanakan perjanjian

antara kedua negara tentang penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan

batas-batas laut, perjanjian ini jauh lebih adil karena mengikuti kaidah Konvensi

Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS III) sehingga berada di garis tengah antara

Indonesia dan Australia perjanjian ini dilaksanakan karena pihak Australia

melakukan pelanggaran pada MOU 1974, namun Indonesia sendiri belum

meratifikasi perjanjian ini dalam hukum internalnya.2

Pada awal tahun 2003, Australia mengeluarkan kebijakan, baik

persetujuan bagi hasil di Celah Timor dengan negara Timor-Timur maupun

kebijakan menutup kawasan Pulau Pasir (Ashmore Reef) dari semua kegiatan

1

Widodo AS, Pembangunan Wilayah Perbatasan/PulauTerdepan Berkaitan dengan Integritas Nasional, Dalam Rapat Kerja DPR-RI (Jakarta, Senin 26 Februari 2007), hal 7

2

(12)

2

penangkapan ikan oleh nelayan Indonesia mulai 3 Juli 2003.3 Australia tidak bisa

secara sepihak menerapkan kebijakan di kawasan gugusan Pulau Pasir, melainkan

seluruh kebijaksanaannya harus melalui pembicaraan dua negara

Australia-Indonesia, karena wilayah itu masih dikelola secara bersama.4 Masih terjadinya

kasus nelayan Indonesia yang tertangkap di Pulau Pasir menunjukkan hal yang

menarik dalam kajian ini.

Dalam dunia internasional, dasar hukum yang digunakan suatu negara

untuk mengklaim suatu wilayah sebagai bagian dari kedaulatannya ialah harus

menggunakan sumber hukum internasional. Dasar hukum tersebut diatur dalam

Artikel 38 Statuta Mahkamah Internasional. Sumber hukum ini mencakup

perjanjian atau konvensi internasional, baik yang bersifat umum atau khusus yang

secara tegas menyebut ketentuan yang diakui negara yang berselisih. Di Australia

dasar hukum internasional yang digunakan untuk menempatkan Pulau Pasir

sebagai bagian dari kedaulatannya adalah dengan dilakukannya perjanjian

penyerahan (cession) dari Inggris kepada Australia pada tanggal 23 Juli tahun

1931.5

Masalah pemanfaatan sumber daya laut di Pulau Pasir masih menjadi isu

yang menarik untuk dikaji karena sampai sekarang masih banyak yang

mempertanyakan isi dari perjanjian antara Australia dan Indonesia yang

menyangkut tentang keabsahan dan dasar yang melandasi suatu perjanjian itu

dibuat dan disetujui oleh kedua belah pihak. Pada Hukum Internasional, klaim

3 “Sengketa Soal Celah Timor dan Pulau Pasir, Australia Jangan Kekanak

-kanakan” http//www.republika.co.id, diakses tanggal 8 Juni 2014

4Ibid. 5

(13)

3

kepemilikan suatu wilayah yang didasarkan pada argumen kesejarahan, kedekatan

tradisional, maupun kedekatan geografis tidak dapat diterima karena semua itu bisa bersifat “subyektif”. Dari sejarahnya Pulau Pasir terletak sekitar 320 km di

sebelah utara pantai barat Australia dan sekitar 140 km di sebelah selatan Pulau

Rote.6

Pulau seluas 583 km2 itu menjadi milik Australia, yang diwariskan oleh

Inggris atas “klaim sepihak yang dilakukan oleh Kapten Samuel Ashmore pada tahun 1978” dan menetapkan wilayah itu sebagai koloninya. Pada awal tahun

1800-an, Inggris telah membuat koloni di Pulau Pasir. Pulau paling selatan di

Indonesia itu merupakan tempat hunian dari nenek moyang asal Pulau Rote

(sebagai buktinya, adalah adanya kuburan-kuburan nenek moyang orang Rote di

sana), tempat melepas lelah setelah menempuh perjalanan semalam suntuk untuk

menangkap ikan, tripang dan lola sebagai mata pencaharian ataupun untuk

menafkahi hidup mereka. Berikut adalah gambar peta kawasan Pulau Pasir di

perbatasan Indonesia dan Australia.7

Gambar 1.1

Peta Pulau Pasir di perbatasan Indonesia dan Australia

Sumber: “Pengakuan Kepemilikan Aussie Atas Pulau Pasir Masih Lemah,” http://www.tni.mil.id/view-3818-html diakses pada tanggal 11 juni 2014

6

“Pengakuan Kepemilikan Aussie Atas Pulau Pasir Masih Lemah,” http://www.tni.mil.id/view-3818-htmldiakses pada tanggal 11 juni 2014

7

(14)

4

Pada saat itu Indonesia sudah berada di bawah administrasi colonial

Belanda, namun Belanda tidak pernah mengatur pulau itu dan tidak pernah

mempersoalkan pulau itu tahun 1878. Pulau Pasir dikuasai oleh Inggris pada

tahun 1978. Bersama dengan Pulau Cartier, Pulau Pasir diberikan kepada

Australia pada tanggal 23 Juli 1931 yang akhirnya menjadi bagian wilayah utara

Australia pada tahun 1938-1978 dimana di sekitar Pulau Pasir. Setelah mengalami

perkembangan, sejak 1978 Pulau Pasir dan Pulau Cartier menjadi wiayah

tersendiri dan Pulau Pasir dijadikan cagar alam nasional oleh pemerintah Australia

pada tanggal 16 Agustus 1983.8

Fakta sejarah yang tercatat dalam register Gubernur Jenderal Hindia

Belanda pada tahun 1751 menunjukkan bahwa gugusan kepulauan itu sudah 400

tahun lampau dikelola oleh orang Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tentu saja

Indonesia tidak bisa mengklaim suatu wilayah hanya karena nenek moyang

Indonesia sering berkunjung, melakukan tindakan ekonomi dan meninggal di

wilayah tersebut. Di lain pihak bila mengacu pada ketentuan internasional

penentuan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil laut sebenarnya Gugusan

Pulau Pasir terletak di Samudera Hindia hanya berjarak 60 mil laut dari Pulau

Rote, Kabupaten Rote-Ndao, Nusa Tenggara Timur. Sedangkan jarak terdekat

dengan Australia yakni Darwin mencapai 500 mil laut namun diklaim oleh

Australia sebagai miliknya yang dijadikan cagar alam. Sejak ratusan tahun

(15)

5

Penetapan batas wilayah dan yurisdiksi negara merupakan hal yang sangat

penting dan strategis sekaligus sensitif, karena berkaitan dengan pengaturan

permasalahan kedaulatan (sovereignity), hak-hak berdaulat (sovereign rights) dan

yurisdiksi (jurisdiction) suatu negara terhadap zona-zona maritime sebagaimana

diatur dalam UNCLOS 1982 (United Nation Convention on the Law of the Sea)

atau yang lebih dikenal dengan “Hukum Laut Internasional”. Pada dasarnya

perjanjian perbatasan antara Indonesia – Australia harus dikaji kembali dengan

menggunakan ketentuan yang tertuang dalam UNCLOS (United Nation

Convention on the Law of the Sea) 1982, terutama pasal 51 United Nations

Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982), bahwa sebagai negara

kepulauan yang berbatasan dengan negara lain, setiap negara harus mengakui

hak-hak perikanan tradisional suatu negara yang telah berlangsung lama.10 Namun,

syarat untuk melaksanakan hak-hak perikanan tradisional tersebut adalah

perundingan dengan negara-negara tetangga yang bersangkutan. Hal ini perlu

diperhatikan karena terdapat beberapa kasus pelanggaran yang dilakukan

Australia terhadap nelayan tradisional Indoneisa contohnya penahanan dan

penangkapan dua perahu layar tak bermesin, yaitu Perahu Cari Damai dan Usaha

Selamat, di sebelah utara dari Pulau Melville, Australia dimana pada perjanjian

1974 Indonesia dan Australia sudah sepakat akan adanya pengakuan terhadap

nelayan tradisional Indonesia.11

Adapun bunyi Pasal 51 secara lengkapnya adalah tanpa mengurangi arti

pasal 49, bahwa negara kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan

10

“Penyelesaian Sengketa Nelayan Pelintas Batas di Wilayah Perikanan Australia”,

http://akhmad_solihin.staff.ipb.ac.id/2011/02/16/penyelesaian-sengketa-nelayan-pelintas-batas-di-wilayah, diakses pada tanggal 12 juni 2014

11

(16)

6

negara lain dan harus mengakui hal perikanan tradisional dan kegiatan lain yang

sah negara tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang

berada dalam perairan kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan

kegiatan demikian, termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah dimana hak dan

kegiatan demikian berlaku, atas permintaan salah satu negara yang bersangkutan

harus diatur dengan perjanjian bilateral antara mereka. UNCLOS merupakan

perubahan dan kodifikasi dari ketentuan yang telah ada. Kerangka pengaturannya

sangan komprehensif dan meliputi hampir semua kegiatan di laut sehingga

dianggap sebagai a constitution for the ocean.12

Dengan demikian, adanya kejelasan batas wilayah dapat dijadikan alat

legitimasi dalam menjalin hubungan berbangsa dan bernegara. Selain itu,

kejelasan batas wilayah tersebut juga dapat menciptakan potensi sumber daya

seperti kegiatan perikanan, eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai (off-shiore),

wisata bahari, transportasi laut dan berbagai kegiatan kelautan lainnya. Secara

umum dalam penetapan garis batas yang diatur UNCLOS III tahun 1982, suatu

negara harus terlebih dahulu menentukan daftar titik-titik koordinat geografis

yang menjelaskan datum geodetik. Datum geodetic adalah parameter yang

digunakan untuk mendefinisikan bentuk dan ukuran ellipsoid referensi. Parameter

ini selanjutnya digunakan untuk pendefinisian koordinat, serta kedudukan dan

orientasinya dalam ruang di muka bumi. Setiap negara menggunakan suatu sistem

datum geodetiknya masing-masing yang ditetapkan menjadi dasar acuan

(17)

7

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengambil perumusan masalah

sebagai berikut : “Bagaimana Upaya Pemerintah Indonesia dan Australia

dalam Penyelesaiaan Masalah Pemnafaatan Sumber Daya Laut diPulau

Pasir?”.

C. Kerangka Pemikiran

1. Hukum Internasional

Permasalahan perbatasan antar Negara sejatinya telah diatur oleh hukum

internasional. Hukum internasional dirumuskan sebagai suatu kaidah atau

norma-norma yang mengatur hak-hak yang mengatur kewajiban-kewajiban para subjek

hukum internasional, yaitu Negara.14 Hukum internasional dibuat oleh

Negara-negara, baik melalui hukum kebiasaan maupun melalui hukum tertulis. Sumber

hukum internasional berdasarkan pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional

adalah:15

1. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum

maupun khusus;

2. Kebiasaan internasional (international custom);

3. Prinsip-prinsip umum hukum (general principles of law) yang diakui oleh

DR. Boer Mauna, 2005 Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: PT. Alumni, h2

15

(18)

8

Sampai dengan tahun 1958, ketentuan-ketentuan umum mengenai hukum

laut, didasarkan atas hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan lahir atas perbuatan

yang dilakukan secara terus menerus atas dasar kesamaan kebutuhan laut

disepanjang masa. Karena itulah, semenjak beberapa dekade terakhir ini hukum

laut berupaya untuk mengatur para subyek hukum internasional agar dapat

menggunakan kekayaan laut tersebut menurut haknya. Hukum laut digunakan

bukan hanya untuk menentukan berapa jauh kekuasaan suatu negara terhadap laut

yang menggenangi pantainya, atau sampai sejauh mana Negara-negara pantai

dapat mengambil kekayaan-kekayaan yang terdapat didasar laut dan laut

diatasnya. Tetapi juga untuk mengatur eksploitasi daerah-daerah dasar laut yang

telah dinyatakan sebagai warisan bersama umat manusia.16

Berapa konvensi yang menjadi cikal bakal hukum laut internasional,

antara lain, Konvensi untuk menyelematkan umat manusia di Laut, 20 Januari

1914 yang diperbaharui 31 Mei 1923. Dan Konvensi Bruxelles 10 Mei 1952

mengenai tabrakan kapal-kapal di Laut. Pada tahun 1958 diadakan Konfrensi

Hukum Laut Internasional di Jenewa. Konferensi menghasilkan empat konvensi.

Yaitu :

a. Konvensi mengenai laut wilayah dan zona tambahan, mulai berlaku

10 September 1964

b. Konvensi mengenai laut lepas, mulai berlaku 10 September 1962

c. Konvensi mengenai perikanan dan perlindungan kekayaan hayati laut lepas,

mulai berlaku 20 Maret 1966

d. Konvensi mengenai landas kontinen, mulai berlaku 10 Juli 1964

16

(19)

9

Konfrensi 1958 ini tidak berhasil menentukan lebar laut wilayah. Pada

tahun 1960 diadakan konfrensi Hukum Laut II, yang mebahas secara khusus

masalah lebar laut wilayah. Namun, konfrensi gagal menghasilkan konvensi

tentang laut wilayah.

Konfrensi PBB tentang Hukum laut ketiga, dilaksanakan mulai Desember

1973 samapi dengan September 1982. Ini menjadi konfrensi terpanjang karena

memakan waktu selama sembilan tahun dengan jumlah sidang 12 kali sidang

selama 90 minggu. Konfrensi ini menghasilkan konvensi Hukum laut UNCLOS

III, yang menjadi acuan hukum laut internasional sampai saat ini. Konvensi ini

efektif berlaku pada tanggal 16 November 1994.17 Hasil UNCLOS III ialah

diterimanya konsep negara kepulauan diprakarsai oleh beberapa negara

Negara-negara seperti Indonesia, Filipina , Fiji , dan Maurutius. Pengaturan tentang

Negara kepulauan terdapat pada Pasal 46 sampai dengan Pasal 54 konvensi

UNCLOS III. Konvensi tersebut mengatur tata cara menentukan batas laut

territorial di laut, yaitu maksimal mil laut atau 22,2 kilometer dari muka laut

terendah. Bila sebuah negara berbentuk kepulauan, batas laut teritotialnya di ukur

dari pulau-pulau terluar sewaktu air surut. Titik-titik ini kemudian dihubungkan

sehingga membentuk garis batas teritotial. Dalam batas territorial ini berlaku

penuh kedaulatan Negara.

Selain laut territorial, terdapat juga zona tambahan (contiguous zone), zona

ekonomi eksklusif (ZEE), dan batas landas kontinen. Zona tambahan tidak boleh

lebih dari 24 mil laut atau 44,4 kilometer dari batas laut terendah sebuah Negara.

17

(20)

10

Dalam zona ini suatu negara berhak melakukan pengawasan dibidang pabean,

imigrasi, dan fiskal. Selanjutnya menurut pasal 57 Konvensi UNCLOS 1982,

bahwa lebar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) tidak boleh melebihi 200 mil laut

dari garis pangkal, dimana lebar laut yang diukur. Negara memiliki hak berdaulat

atas kekayaan alam maupun mineral yang berada dijalur tersebut. Sedangkan

wilayah landas kontinen adalah daerah dasar laut dan tanah yang terdapat di

bawahnya (seabed and subsoil)18 dari daerah yang masih kepanjangan alamiah

dari daratan pantainya hingga tepi kontinen (continental margin).19 Luas batas

landas kontinen biasanya tidak melebihi 200 mil dari garis pangkal pantai,

maksimal 350 mil dari garis pangkal atau 100 mil dari isobaths 2000 meter.

Hukum Laut internasional ini nantinya akan digunakan dalam pembahasan

mengenai klaim kedua negara terhadap kepemilikan Pualu Pasir. Masing-masing

Negara menjadikan hukum laut internasional sebagai dasar acuan klaim mereka.

2. Diplomasi

Dalam penelitian ini, diplomasi menjadi konsep utama. Beberapa definisi

mengenai diplomasi yaitu, menurut Sir Harold Nicolson diplomasi adalah suatu

seni untuk bernegosiasi (the art of negotiation).20 Menurutnya kata diplomasi

Landas kontinen yang melebihi jarak 200 Mil dari garis pangkal ini dikenal dengan istilah Landas Kontinen Ekstensi atau Extended Continental Shef (ECS), inilah yang dimaksud Seabed area(http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=23&mnorutisi=5)

19Ibid 20

(21)

11

3. Mekanisme pelaksanaan negosiasi,

4. Suatu cabang dinas Luar Negeri.

S.L.Roy berpendapat bahwa diplomasi adalah seni mengedepankan

kepentingan suatu Negara melalui negosiasi dengan cara-cara damai, dalam

hubungannya dengan Negara lain.21 Sedangkan menurut KJ. Holsti, diplomasi

digunakan untuk mencapai persetujuan, kompromi, dan penyelesaian terhadap

masalah atau konflik yang terjadi. Diplomasi dapat dilaksanakan melalui

pertemuan-pertemuan secara privat atau konferensi umum, mencakup usaha-usaha

untuk mengubah kebijakan, tindakan, tujuan serta sikap negara lain agar dalam

mencapai tujuan tersebut terrealisasi dengan baik antar negara yang

berkepentingan.22

Nicolson mengembangkan dua tipe diplomasi yaitu tipe Warrior dan tipe

Merchantile/Shopkepper.23 Tipe warrior menggambarkan politik kekuatan dan sangat memperhatikan prestise nasional dan status Negara itu. Salah satu hal yang

fundamental dari tipe Warrior ini adalah kepercayaan bahwa tujuan negosiasi

yang dilakukan adalah untuk mencapai kemenangan. Sedangkan tipe diplomasi

Merchantile merupakan diplomasi borjuis atau diplomasi sipil yang didasarkan

pada anggapan bahwa penyelesaian kompromis antara mereka yang berselisih

melalui negosiasi pada umumnya lebih menguntungkan dibandingkan

penghancuran total musuh-musuh.24 Jadi tipe diplomasi merchantile lebih

memperhatikan negosiasi yang profit-politics dan terutama yang bersifat

menenangkan, konsiliasi, dan kompromi. Tipe ini menganggap diplomasi sebagai

21

SL Roy, 1991, Diplomacy, terj.Herwanto dan Mirsawati, Jakarta: CV Rajawali, h. 5

22

KJ. Holsti, 1986, Politik Internasional. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, h. 250-253.

23

Harold Nicholson, h. 10

24

(22)

12

usaha untuk menciptakan hubungan atau kontrak langsung secara bersahabat.

Asumsinya adalah bahwa kompromi dengan lawan berunding umumnya lebih

menguntungkan dan teori ini berpendapat bahwa negosiasi bukan merupakan

tahap berjuang untuk mati tetapi usaha mencapai suatu saling pengetian yang

dalam melalui konsesi timbal balik.25

Jadi berdasarkan definisi para ahli diatas, dapat dikatakan bahwa

diplomasi merupakan perwujudan dari kebijakan luar negeri yang dilaksanakan

melalui proses negosiasi untuk mencapai kepentingan yang dituju. Dalam hal ini,

Indonesia dan Australia lebih mengutamakan langkah diplomasi dalam upaya

penyelesaian sengketa wilayah Pulau Pasir.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan teknik analisa data yang bersifat kualitatif,

yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa kata-kata tertulis atau

lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati . Dalam metode kualitatif,

terdapat beberapa sifat atau karakteristik penelitian. Adapun yang digunakan

dalam penelitian ini adalah kualitatif yang bersifat atau berkarakter deskriptif

analitis. Dengan demikian, penelitian akan memaparkan kutipan-kutipan data

dengan tujuan untuk memberi gambaran yang akurat mengenai fakta-fakta dan

hubungannya dengan sifat fenomena yang diteliti.26

Sedangkan, teknik pengumpulan data adalah studi kepustakaan (library

research), yaitu pengumpulan data dengan cara memanfaatkan sumber-sumber

data dan informasi-informasi dari berbagai literatur yang relevan. Jenis data yang

25

Harold Nicholson, h. 10

26

(23)

13

digunakan adalah data sekunder, yakni data yang diperoleh dari kajian pustaka,

seperti, buku, artikel, jurnal, koran, majalah, hasil penelitian dan situs internet

(website) yang dianggap relevan. Penulis kemudian memilah dan menganalisanya,

sehingga dapat dirangkai dalam suatu kesimpulan.27 Sedangkan data-data yang

berupa angka hanya merupakan data-data penunjang untuk memperjelas data

kualitatif yang ada.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

 Untuk mengetahui upaya-upaya Pemerintah Indonesia dalam mengatasi

sengketa Pulau Pasir.

 Untuk mengetahui bagaimana kesepakatan antara Indonesia dan Australia

dalam menjaga hubungan baik terutama dalam memperjuangkan hak-hak

nelayan tradisional Indonesia di sekitar Pulau Pasir.

F. Sistematika Penulisan

Bab II GAMBARAN UMUM PULAU PASIR

27

(24)

14

A. Sejarah Pulau Pasir

B. Peraiaran Indonesia dan Perkembangan UNCLOS

1. Deklarasi Juanda

2. Konsep Kawasan Nusantara Dalam Konvensi Hukum Laut 1982

C. Pemanfaatan Pulau Pasir Oleh Nelayan Indonesia berdasarkan

UNCLOS

D. Pelaksanaan Clear Operation

Bab III PERUNDINGAN BILATERAL ANTARA INDONESIA DAN

AUSTRALIA

A. Sejarah Perundingan Bilateral antara Indonesia dan Australia

1. MOU Box 1974

2. Perjanjian Tentang Petunjuk Teknis Bagi Implementasi MOU 1974

3. Perjanjian Perth 14 Maret 1997

B. Kesepakatan terbaru kerjasama kelautan antara Indonesia dan

Australia

(25)

15

BAB II

GAMBARAN UMUM PULAU PASIR

Pada bab II ini akan dibahas mengenai gambaran umum Pulau Pasir dan

Pemanfaatannya oleh nelayan Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982, serta

pelaksanaan Clean Water Operation oleh Australia.

A. Sejarah Mengenai Pulau Pasir

Gugusan Pulau Pasir merupakan wilayah kekuasaan jajahan Hindia

Belanda di Nusantara, dan dikuasai oleh nelayan tradisional Indonesia sejak tahun

1609 hingga tahun 1970-an, sebelum ditandatanganinya MOU 1974 yang

dilakukan oleh dua pegawai dari Departemen Luar Negeri dan Departemen

Agrikultural Australia, yang mengatur tentang hak-hak nelayan tradisional di

gugusan Pulau Pasir. Gugusan Pulau Pasir terletak di Samudera India dengan

jarak hanya 60 mil laut dari Pulau Rote, Kabupaten Rote-Ndao, Nusa Tenggara

Timur. Berdasarkan sejarah, ratusan tahun lalu terdapat 18 kerajaan di pulau

tersebut. Dua diantaranya saat ini berubah menjadi kampung Tie dan kampung

Papela yang masyarakatnya secara turun-temurun telah menangkap ikan di

wilayah yang ditetapkan dalam MOU Box 1974.28

Sejak ratusan tahun lampau, para nelayan dari Rote, Sabu, Alor, Flores,

Bugis, Buton dan Madura mencari nafkah hidupnya di sana. Di pulau itu ada

kuburan orang Rote yang berada di Pulau Pasir sebanyak 161 buah, pohon kelapa,

sumur dan jejak aktivitas manusia yang semuanya dilakukan oleh para nelayan

28 “Ashmore Australia Menggoda Nelayan Indonesia”,

(26)

16

dari Rote-Ndao. Dari zaman kolonial di Indonesia, pemerintahan koloni Hindia

Belanda pernah memberlakukan regulasi tentang pengumpulan teripang dan biota

laut lainnya di Pulau Pasir sekitar dasawarsa 1750-an. Pada saat itu staf Kompeni

di Kupang menyurati Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia (sekarang

Jakarta) untuk membuat regulasi pengumpulan teripang dan biota laut lainnya di

Pulau Pasir yang terletak di selatan Pulau Timor dan Rote. Pada pertengahan abad

ke-18, merujuk pada sebuah catatan rahasia di Belanda bahwa VOC terlibat secara

aktif dalam membuat dan menjalankan regulasi pengumpulan teripang dan biota

laut lainnya di Pulau Pasir bagi nelayan-nelayan Tiongkok yang datang ke

wilayah itu melalui Makassar.29 Seorang saudagar Tionghoa (berdasarkan sebuah

arsip di negeri Belanda) sudah diberi izin untuk mencari dan mengumpulkan kulit

penyu di gugusan Pulau Pasir di selatan Pulau Timor dan Pulau Rote pada 1751

oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Diketahui bahwa pada akhir

tahun 1750-an, seluruh kegiatan pengumpulan teripang diregulasikan oleh

pemerintahan Hindia Belanda. Perahu-perahu dari Makassar, Sulawesi Selatan

yang memasuki wilayah Timor, dilengkapi dengan surat izin resmi dari kompeni

yang mengizinkan mereka untuk mengumpulkan teripang tanpa halangan.

Kemudian, pada pertengahan abad ke-18, VOC (Vereenigde Oost-Indische

Compagnie) terlibat secara intensif dalam membuat regulasi bagi

ekspedisi-ekspedisi pengumpulan teripang oleh orang Makassar dan Tionghoa yang berlayar

ke selatan Pulau Timor dan Rote menuju gugusan Pulau Pasir. Catatan sejarah

yang terungkap ini setidaknya telah memberikan suatu pembenaran terhadap

berbagai kesaksian dan pengakuan dari orang tua-orang tua di Rote dan Timor

29

(27)

17

bahwa pada suatu masa, para nelayan yang hendak berlayar menuju ke gugusan

Pulau Pasir di selatan Pulau Timor dan Rote, maka terlebih dahulu harus

mendapatkan pas jalan atau surat izin dari Dounae (sekarang dinamakan sebagai

Bea Cukai).

Nelayan-nelayan tradisional Indonesia sebenarnya sudah terlebih dahulu

berada di gugusan Pulau Pasir pada 1630-an. Kelemahan diplomasi Indonesia

membuat pengaturan batas maritime antara RI-Australia di Laut Timor menjadi

tumpang tindih yang akhirnya lebih menguntungkan Australia dan mengorbankan

nelayan tradisional Indonesia yang telah menjadikan Pulau Pasir sebagai lahan

kehidupan. Fakta sejarah yang tercatat dalam register Gubernur Jenderal Hindia

Belanda pada tahun 1751 menunjukkan bahwa gugusan kepulauan itu sudah 400

tahun lampau dikelola oleh orang Rote. Nusa Tenggara Timur (NTT). Terkait

dengan status kepemilikan Pulau Pasir, Belanda tidak pernah mengklaim pulau

yang terletak sekitar 320 km di sebelah utara pantai barat Australia dan 140 km di

sebelah selatan Pulau Rote itu sebagai miliknya melainkan milik Inggris. Sudah

ada bukti bahwa Belanda pernah mengatur pulau itu akan tetapi Belanda tidak

pernah mempersoalkan pulau itu tahun 1878.30 Pada 1800-an, pada saat Inggris

menjadikan Pulau Pasir milik Inggris, pada tahun itu Indonesia sudah berada di

bawah administrasi colonial Belanda. Gugusan Pulau Pasir di selatan Pulau Timor

dan Rote itu akhirnya di aneksasi oleh Inggris pada 1878.

Fakta sejarah yang tercatat dalam register Gubernur Jenderal Hindia

Belanda pada tahun 1751 menunjukkan bahwa gugusan kepulauan di sekitaran

30

eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (2): 523-530 ejournal.hi.fisip-unmul.org

(28)

18

Pulau Pasir sudah 400 tahun lampau dikelola oleh orang Rote, Nusa Tenggara

Timur (NTT). Sejak ratusan tahun lampai, para nelayan dari Rote, Sabu, Alor,

Flores, Bugis, Buton dan Madura mencari nafkah hidupnya di sana ketika Negara

Commonwealth Australia masih belum direncanakan oleh Kerajaan Inggris untuk

dibentuk. Nelayan tradisional Indonesia sendiri diperkirakan baru mulai mengenal

Pulau Pasir pada pertengahan abad ke-18, sekitar tahun 1742 dan 1750.31 Menurut

catatan arsip Belanda, penduduk lokal Pulau Rote secara tidak sengaja

menemukan Pulau Pasir pada tahun 1729 yang digunakan sebagai tempat

bersandar untuk memgambil air tawar atau dalam keadaan darurat. Nelayan

tradisional Indonesia sendiri diperkirakan telah mengenal Pulau Pasir tidak hanya

pada pertengahan abad ke-18, sekitar tahun 1742 dan 1750, tetapi berdasarkan

catatan sejarah bahwa nelayan tradisional Indonesia yang menemukan pertama

Gugusan Pulau Pasir dan memanfaatkannya sejak Verenidge Oost Indische

Compagnie (VOC) tiba di Timor tahun 1602. Menurut catatan arsip Belanda, pada

akhir tahun 1750-an pengumpulan teripang dan biota laut lainnya dari Gugusan

Pulau Pasir telah diatur oleh VOC yang terlibat secara aktif. Banyak perahu dari

Makasar yang tiba di wilayah Pulau Timor dengan membawa serta kelengkapan

surat-surat izin resmi dari Belanda yang memperbolehkan mereka mengumpulkan

teripang dan biota laut lainnya tanpa rintangan di Gugusan Pulau Pasir. Pulau

Pasir terletak sekitar 320 km di sebelah utara pantai barat Australia dan sekitar

140 km di sebelah selatan Pulau Rote.32

31“Penyelesaian Masalah

Nelayan Pelintas Batas di Wilayah Perikanan Australia”, https://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=190426 diakses pada tanggal 27 juni 2014.

32

(29)

19

Tiga buah sumur di Pulau-pulau Pasir dan pohon-pohon kelapa di sana

adalah peninggalan Nakhoda Ama Rohi, pelaut yang berasal dari Pulau Sabu yang

hidup di sana, jauh sebelum kedatangan Ashmore. Sebagaimana tradisi, orang

Sabu mampu merunut leluhurnya sampai enam puluh keturunan di atasnya karena

menjadi penting dalam ritual agama lokal terutama pada upacara-upacara

kematian. Dengan begitu, mudah untuk menghitung jarak waktu antara

kedatangan Ashmore dan kedatangan Nakhoda Ama Rohi. Nelayan Rote

menghitung ketika dating Ashmore, Pulau Pasir sudah dikelola sampai tingkat

Samu (keturunan ke lima dari Nakhoda Ama Rohi, yaitu berturut-turut : Ana,

Upu, Sorok, Sak, Samu atau anak, cucu, buyut, dst). Kalau disepakati satu

generasi 25 tahun, berarti kedatangan Ashmore sekitar 125 tahun setelah Nakhoda

Ama Rohi memperoleh hak ulayat atas pulau itu.33

Meskipun secara geografis jarak Pulau Pasir dengan Pulau Rote, Nusa

Tenggara Timur (NTT) hanya 80 mil sedangkan wilayah Australia Utara (North

Queensland) 400 mil. Hal itu mempengaruhi kegiatan nelayan tradisional

Indonesia sehingga pada tahun 1974 disepakati nota kesepahaman atau

Memorandum of Understanding (MOU) yang intinya mengizinkan nelayan

Indonesia untuk menangkap ikan dengan alat/perahu tradisional. Selanjutnya pada

tahun 1983, Australia mengumumkan “Ashmore Reef” atau Pulau Pasir sebagai

cagar alam nasional dan sejalan dengan itu telah dibuatkan pengaturan untuk

membatasi kegiatan nelayan Indonesia di wilayah perairan sekitar Pulau

Pasir.Pada tahun 1986, Australia kembali mengusulkan sebuah rancangan

33

(30)

20

kesepakatan yang baru untuk menggantikan MOU tahun 1974, namun usul

tersebut ditolak Pemerintah Indonesia.

Dengan penempatan koordinat Pulau Pasir (12º 13.98’ LS, 123º 4.98’ BT)

dalam peta perjanjian batas antara Indonesia dan Australia, jelas terlihat bahwa

Pulau Pasir berada dalam wilayah ZEE Australia. Ini secara tidak langsung

menunjukkan bahwa setidaknya pada tahun 1997, saat perjanjian ZEE dibuat,

Indonesia melalui diplomatnya telah mengakui kedaulatan Australia terhadap

Pulau Pasir. Dari sudut pandang hukum modern, memang ironis jika masyarakat

Indonesia (Timor dan sekitarnya) yang sudah ratusan tahun yaitu sejak 1600-an

mengunjungi dan beraktifitas di Pulau Pasir tidak berhak atas kepemilikannya,

sementara Inggris (Australia) yang datang ke Australia pada abad ke-18 justru

memiliki hak yang lebih kuat. Harus dipahami bahwa hukum modern memang

lebih mementingkan ketegasan klaim secara hukum dibandingkan hal lain. Jika

memang benar Inggris mengklaim Pulau Pasir dan Belanda ketika itu tidak

mengajukan keberatan, maka sudah jelas Pulau Pasir memang menjadi hak

Australia.

Gugusan Pulau Pasir atau yang dikenal di Australia dengan sebutan

“Ashmore Reef” merupakan satu dari sekian banyak gugusan karang yang terletak

di ujung Barat Daya Benua Australia, di bagian Timur Samudera Hindia (12

derajat 13 menit lintang Selatan dan 123 derajat 5 menit bujur Timur). Gugusan

yang diklaim menjadi bagian dari wilayah Australia itu, letaknya lebih dekat ke

Pulau Rote di Nusa Tenggara Timur (jaraknya hanya 78 mil atau sekitar 145

kilometer), sedang ke Australia jaraknya sekitar 190 mil atau sekitar 350

(31)

21

Barat, Tengah dan Timur yang ketinggiannya berkisar antara 2,5-3 meter di atas

bekas air pasang paling tinggi. Pulau-pulau karang di sekitar Pulau Pasir itu

menjadi tempat peristirahatan nelayan-nelayan tradisional Indonesia dari Maluku,

Nusa Tenggara, dan Sulawesi, selepas mencari ikan dan biota laut lainnya di

wilayah perairan Laut Timor.

Pemerintah Federal Australia sesungguhnya sudah mengetahui akan

potensi Laut Timor yang merupakan salah satu sumber minyak dan gas bumi yang

berskala dunia di luar Negara-negara Arab. Salah satu caranya ialah bagaimana

mendapat hak atas potensi tersebut, karena Australia sudah mengadakan survey

sejak sebelum Perang Dunia II. Sehubungan dengan kadualatan atas Pulau Pasir,

sampai saat ini berada di bawah kedaulatan Australia. Dasar hukum internasional

yang digunakan Australia untuk menempatkan Pulau Pasir di bawah

kedaulatannya adalah Perjanjian Penyerahan (cession) dari Inggris kepada

Australia 23 Juli 1931, MOU antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Australia

1974 mengenai penangkapan ikan oleh nelayan tradisional Indonesia di zona

perikanan eksklusif dan landas kontinen Australia.

Berikut di bawah ini adalah gambaran Pulau Pasir :

Gambar 2.1

(32)

22

Sumber : “Australian Maritime Expansion”,

http://epress.anu.edu.au/apem/boats/mobile/devices/ch05s02.html., diakses pada tanggal 28 Juni 2014

Gambar diatas adalah gambar yang diambil dari Departemen Kelautan

Australia, dimana pada perjanjian di Perth Australia, Indonesia telah mengakui

bahwa Pulau Pasir adalah milik Australia. Dapat dilihat bahwa Pulau Pasir berada

diantara Samudra Hindia dan Laut Timor. Pulau seluas 583 km2 itu menjadi milik

Australia, yang diwariskan oleh Inggris atas klaim yang dilakukan oleh Kapten

Samuel Ashmore pada tahun 1878 dan menetapkan wilayah itu sebagai koloninya.

Pada awal tahun 1800-an, Inggris telah membuat koloni di Pulau

Pasir.34Kepemilikan Australia atas Pulau seluas 583 km2 ini diwarisi dari Inggris

yang menetapkan wilayah itu sebagai koloninya pada 1878. Inggris memasukan

Pulau ini ke dalam wilayah otorita Commonwealth of Australia melalui Ashmore

and Charter Acceptance Act 1933.Pada tahun 1942, wilayah tersebut berada di

bawah administrasi Negara Bagian Australia Barat, yang kemudian menjadi

Northern Territory hingga 1978. Setelah 1978, wilayah tersebut dinyatakan

sebagai bagian dari yuridiksi langsung Negara Federal Australia.

Berikut adalah gambar peta kawasan Pulau Pasir dimana Pulau Pasir

berdekatan dengan Pulau Cartier dan Gugusan Batu Karang Hibernia Australia :

34

(33)

23

Gambar 2.2

Peta Pulau Pasir Berdekatan Dengan Pulau Cartier dan Batu Karang

Hibernia

Sumber : “Pengakuan Kepemilikan Aussie Atas Pulau Pasir Masih Lemah,” http://www.tni.mil.id/view-3818-html,diakses pada tanggal 11 juni 2014

Pada Gambar di atas menunjukkan kedekatan Pulau Cartier Australia

dengan Pulau Pasir, hal ini menjadi alasan klaim Australia terhadap Pulau Pasir.

Pulau Pasir dianeksasi oleh Inggris pada tahun 1878. Bersama dengan Pulau

Cartier, Pulau Pasir diberikan kepada Australia pada tanggal 23 Juli 1931 yang

akhirnya menjadi bagian wilayah utara Australia pada tahun 1938-1978 dimana

disana terdapat kekayaan alam yang sangat melimpah yakni minyak dan gas bumi.

Setelah mengalami perkembangan, sejak 1978 Pulau Pasir dan Cartier menjadi

wilayah tersendiri dan Pulau Pasir dijadikan cagar alam nasional oleh pemerintah

Australia pada tanggal 16 Agustus 1983.35

35

(34)

24

B. Perairan Indonesia dan Perkembangan UNCLOS

1. Deklarasi Djoeanda

Negara Indonesia mencatat tonggak sejarah baru di bidang hukum laut

dan memperkokoh kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

ketika pada tanggal 13 Desember 1957 Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja

mengeluarkan sebuah pernyataan (deklarasi) mengenai Wilayah Perairan Negara

Republik Indonesia yang lengkapnya sebagai berikut : “Bentuk geografi Indonesia

sebagai suatu Negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat corak tersendiri”. Bagi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan

nnegara Indonesia semua kepulauan serta laut terletak diantaranya harus dianggap

sebagai kesatuan yang bulat.

Penentuan batas laut teritorial seperti tertulis dalam Territoriale Zeen en

Maritime Kringen Ordonnantie 1939 Pasal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi dengan

pertimbangan-pertimbangan di atas karena membagi wilayah daratan Indonesia

dalam bagian-bagian terpisah dengan teritorialnya sendiri-sendiri.36 Berdasarkan

perimbangan-pertimbangan itu maka Pemerintah menyatakan bahwa segala

perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang

termasuk Negara Indonesia dengan tidak memandang daratan Negara Indonesia

dan dengan demikian bagian daripada wilayah pedalaman atau nasional berada di

bawah kedaulatan mutlak Indonesia. Lalu-lintas yang damai di perairan

pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selamat dan asal tidak bertentangan

dengan mengganggu kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia. Penentuan

(35)

25

batas laut territorial yang lebarnya 12 mil diukur dari garis-garis yang

menghubugkan titik-titik ujung terluat pada pulau-pulau Negara Indonesia.37

Pengumuman Pemerintah Indonesia tersebut yang sekarang dikenal

dengan sebutan Deklarasi Djuanda itu disiapkan dalam rangka menghadiri

Konferensi Hukum Laut di Jenewa pada bulan Februari 1958. Pengumuman

Pemerintah Indonesia yang menyatakan Indonesia sebagai negara kepulauan itu

mendapat protes keras dari Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belanda, dan New

Zealand, tetapi mendapat dukungan dari Uni Soviet (waktu itu), dan Republik

Rakyat Cina, Filipina, Ekuador.38 Pemerintah Indonesia terus melanjutkan

kebijakan tersebut karena menyangkut kedaulatan negara atas wilayah laut dan

sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Deklarasi Djuanda dipertegas

lagi secara juridis formal dengan dibuatnya Undang-Undang Nommor 4/Prp

Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Dengan adanya UU No.4/Prp/ Tahun

1960 tersebut, menjadikan luas wilayah laut Indonesia yang tadinya 2.027.087

km2 (daratan) menjadi 5.193.250 km2, suatu penambahan wilayah yang berupa

perairan nasional (laut) sebesar 3.166.163 km2.39

Di pihak lain, yaitu dalam tataran internasional masyarakat internasional

melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa terus melakukan berbagai upaya kodifikasi

hukum laut melalui konferensi-konferensi internasional, yaitu Konferensi Hukum

Laut di Jenewa tahun 1958 (United Nations Conference on the Law of the Sea –

UNCLOS I) yang menghasilkan 4 (empat) Konvensi. Namun Konferensi tersebut

gagal menentukann lebar laut teritorial dan konsepsi negara kepulauan yang

diajukan Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan Konferensi kedua (UNCLOS

37Ibid. 38

Mochtar Kusumaatmadja, Bunga Rampai Hukum Laut, Binacipta, Bandung, 1978, hlm. 29.

39

(36)

26

II) yang juga mengalami kegagalan dalam menetapkan dua ketentuan penting

tersebut, yang menyangkut penetapan lebar laut teritorial dam negara kepulauan.

UNCLOS I dan UNCLOS II telah gagal menentukan lebar laut territorial dan

konsepsi negara kepulauan karena berbagai kepentingan setiap negara, maka PBB

terus melanjutkan upaya kodifikasi dan unifikasi hukum laut internasional

terutama dimulai sejak tahun 1973 di mana tahun 1970an itu merupakan awal

kebangkitan kesadaran masyarakat internasional atas pentingnya mengatur dan

menjaga lingkungan global termasuk lingkungan laut, sehingga melalui proses

panjang dari tahun 1973-1982 akhirnya konferensi ketiga (UNCLOS III) itu

berhasil membentuk sebuah konvensi yang sekarang dikenal dengan Konvensi

PBB tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Conference on the Law of the

Sea) yang ditandatangani oleh 119 negara di Teluk Montego, Jamaika tanggal 10

Desember 1982.

Ketika Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut masih dalam proses

perdebatan, Indonesia telah mengumumkan pada tanggal 21 Maret 1980 tentang

Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia selebar 200 mil, dan ternyata bersinergi

dengan terbentuknya Konvensi tersebut, sehingga sesuai dengan praktik

negara-negara dan telah diaturnya ZEE dalam Konvensi Hukum Laut 19982, maka

Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona

Ekonomi Eksklusif Indonesia yang mempunyai karakter sui generis atau

didasarkan pada keberagaman budaya dan agama yang kuat.40

40“Mengakui Hak Penangkapan Ikan Tradisional”,

(37)

27

2. Konsep Wawasan Nusantara dalam Konvensi Hukum Laut 1982

Indonesia yang merupakan Negara Kepulauan yang diperjuangkan oleh

Mochtar Kusumaatmadja dari sejak Deklarasi Juanda 1957 sampai diakuinya

konsepsi tersebut oleh dunia internasional dalam Kovensi Hukum Laut 1982

adalah sebenarnya suatu kebanggaan yang luar biasa bagi bangsa dan Negara

Indonesia, tetapi sebagian masyarakat Indonesia tidak begitu mengenal dengan

baik bahwa Indonesia mempunyai luas laut dua per tiga dari luas daratan dan

pemerintah juga tidak begitu care melakukan pembangunan di darat. Padahal

pembangunan yang dicanangkan oleh para pendahulu itu sudah termaktub dalam

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang

Garis-Garis Besar Haluan Negara dalam Bab II mengenai Pola Dasar Pembangunan Nasional yang menegaskan bahwa “Wawasan dalam mencapai tujuan

pembangunan nasional adalan Wawasan Nusantara yang mencakup satu kesatuan

politik, satu kesatuan social budaya, satu kesatuan ekonomi, dan satu kesatuan pertahanan dan keamanan”. Berikut ini adalah gambar peta Batas wilayah

berdasarkan TZMKO (Territoriale Zeen en Maritime Kringen Ordonnantie)

dimana wilayah laut Indonesia adalah hanya 3 mil dari garis pantai pulau,

sebelum Deklarasi Juanda.41

41

Illegal Fishing dan Traditional Fishing

(38)

28

Gambar 3.1. Peta Batas Wilayah Indonesia Berdasarkan TZMKO

1939

(Sebelum Deklarasi Djoeanda)

Sumber : Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Konvensi Hukum Internasional (UNCLOS 1982) di Indonesia, http://www.launclospdf.htm, diakses tanggal 29 juni 2014.

Dengan ditetapkannya Wawasan Nusantara sebagai konsepsi kesatuan

wilayah, bangsa, dan negara yang memandang Indonesia sebagai suatu kesatuan

yang meliputi tanah (darat) dan air (laut) secara tidak terpisahkan merupakan

tahapan akhir dari perjuangan konsepsi Wawasan Nusantara yang dimulai sejak

Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957. Wawasan Nusantara yang

dalam status juridisnya adalah negara kepulauan (archipelagic states) sudah

diakui oleh masyarakat internasional dengan adanya Konvensi Hukum Laut 1982

yang diatur dalam Bab IV Pasal 46 huruf (a) dan (b) yang berbunyi sebagai

berikut :42

42

(39)

29

(a) “archipelagic state” dapat diartikan sebagai suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain

(b) “archipelago” dapat diartikan sebagai gugusan pulau termasuk bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud ilmiah yang hubungannya satu sama

lainnya demikian erat, sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah

lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi, dan politik yang

hakiki atau yang secara historis dianggap sebagai demikian.

Berikut adalah gambar peta batas wilayah Indonesia setelah deklarasi

Juanda

Gambar 3.2. Peta Batas Wilayah Indonesia Setelah Deklarasi

Djoeanda

Sumber : “Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Konvensi Hukum

Internasional (UNCLOS 1982) di Indonesia”, http://www.launclospdf.htm, diakses tanggal 30 Juni 2014

Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan hak bagi negara kepulauan

untuk menarik garis pangkal kepulauan sebagaimana diatur oleh Pasal 47, yaitu

sebagai berikut :43

43

(40)

30

1. Negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang

menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau terluar termasuk pulau-pulau

utama dengan perbandingan negara kepulauan tersebut adalah antara laut dan

daratan dengan satu berbanding satu dan sembilan berbanding satu (1:1 dan

9:1).

2. Panjang garis pangkal tersebut tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali 3%

dari jumlah seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulauan dapat

melebihi panjang tersebut sampai maksimum 125 mil laut.

3. Penarikan garis pangkal ini tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari

konfigurasi umum, dan juga tidak boleh ditarik dari elevasi surut (low-tide

elevations) kecuali terdapat mecu suar atau instalasi permanen dan jaraknya

tidak melebihi lebar laut territorial, yaitu 12 mil.

4. Negara kepulauan tidak boleh menarik garis pangkal yang memotong laut

territorial atau zona ekonomi eksklusif negara lain. Konvensi Hukum Laut

1982 mewajibkan negara kepulauan untuk menghormati hak-hak dan

kepentingan sah dari negara tetangganya.

5. Penetapan garis pangkal ini harus dicantumkan dalam peta negara tersebut

dengan daftar koordinat geografis yang secara jelas merinci datum

geodatiknya. Oleh karena itu, negara kepulauan harus mengumumkan peta

atau daftar koordinat tersebut dan mendepositkan salinannya di Sekretaris

(41)

31

Konvensi Hukum Laut 1982 dalam Pasal 49 menegaskan status hukum

perairan kepulauan, udara di atasnya, dan dasar laut di bawahnya, yaitu berbunyi

sebagai berikut :44

1. Negara kepulauan berdaulat penuh atas perairan kepulauannya tanpa

memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai dan kedaulatan penuh

tersebut meliputi ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya,

serta sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.

2. Negara kepulauan harus menetapkan alur laut kepulauan (archipelagis sea

lanes) dan lintas damai bagi pelayaran internasional.

3. Negara kepulauan mempunyai kewajiban untuk menghormati perjanjian yang

sudah ada dengan negara lain dan harus mengakui hak penangkapan ikan

tradisional (traditional fishing rights), serta menghormati kabel laut yang

dipasang negara lain di perairan kepulauan tersebut sebagaimana diatur oleh

Pasal 51 Konvensi Hukum Laut 1982.

Pengakuan negara kepulauan terhadap hak-hak tersebut harus

dilaksanakan karena mengingat status perairan tersebut semula adalah tunduk

pada rezim laut lepas, tetapi setelah berlaku Konvensi Hukum Laut 1982 sejak

tanggal 16 November 1994 maka yang semula statusnya laut lepas sekarang

menjadi perairan kepulauan yang tunduk pada rezim kedaulatan penuh negara

kepulauan. Di negara kepulauan, kapal-kapal dari semua Negara mempunyai hak

44“Kerjasama Indonesia dan Australia Untuk Kelautan dan Perikanan”

,

(42)

32

untuk lintas damai (the right of innocent passage) melalui perairan kepulauan

sebagaimana ditentukan oleh Pasal 52 Konvensi yang berbunyi:45

1. “ kapal dari semua negara dapat mempunyai hak untuk lintas damai melalui

perairan negara kepulauan”.

2. Negara kepulauan dapat menunda sementara hak untuk lintas damai di

perairan kepulauan tersebut tanpa diskriminasi kepada semua kapal yang

dimaksudkan untuk perlindungan keamanan negara kepulauan tersebut,

dengan catatan penundaan tersebut diberitahukan terlebih dahulu.

Di samping itu konsekuensi Indonesia sebagai negara kepulauan adalah

negara Indonesia dapat memberikan, bukan kewajiban, hak alur laut kepulauan

(right of archipelagic sea lanes passage) bagi kapal dan rute udata di atasnya

sebagaimana diatur oleh Pasal 53 Konvensi Hukum Laut 1982, tetapi dalam ayat

(12) menegaskan bahwa “If an archipelagic Stat does not designate sea lanes or

air routes, the right of archipelagic sea lanes passage may be exercised through

the routes normally used for international navigation”, yang artinya yaitu apabila

negara kepulauan tidak menentukan alur laut kepulauan atau rute

penerbangannya, maka hak alur laut dan penerbangan di atas kepulauan tersebut

dapat dilaksanakan melalui rute yang biasanya digunakan untuk pelayaran

internasional. Saat ini Indonesia sudah menentukan alur laut tersebut, yaitu

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban

Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alut Laut

Kepulauan melalui Alut Laut Kepulauan yang ditetapkan.46

45Ibid.

46“Nelayan, Hak Tradisional dan Negara Kepulauan”

,

(43)

33

Di dunia ini ada 15 negara yang mempunyai leading exclusive economic

zone, yaitu Amerika Serikat, Prancis, Indonesia, Selandia Baru, Australia, Rusia,

Jepang, Brasil, Kanada, Meksiko, Kiribati, Papua Nugini, Chili, Norwegia, dan

India. Indonesia beruntung sekali termasuk 1 dari 15 negara yang mempunyai

zona ekonomi eksklusif sangat luas bahkan termasuk tiga besar setelah Amerika

Serikat dan Prancis, yaitu sekitar 1.577.300 square nautical miles.47 Dengan status

Indonesia yang memiliki zona ekonomi eksklusif seperti itu, sudah seharusnya

Indonesia menjadi negara yang subur, makmur, sejahtera, tetapi bukti

menunjukkan sebaliknya, sehingga harus dicarikan solusinya. Zona Ekonomi

Eksklusif suatu negara sudah diatur secara lengkap oleh Konvensi Hukum Laut

1982 yang terdapat dalam Pasal 55-75 Konvensi.48

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah daerah di luat dan berdamping

dengan laut territorial yang tunduk pada rezin hukum khusus di mana terdapat

hak-hak dan jurisdiksi negara pantai, hak dan kebebebasan negara lain yang diatur

oleh Konvensi UNCLOS 1982. Lebar zona ekonomi eksklusif bagi setiap negara

pantai adalah 200 mil sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 57 Konvensi yang berbunyi : … “the exclusive economic zone shall not extend beyond 200 nautical

mile from the baselines from which the breadth of the territorial sea is

measured..”. yang artinya bahwa zona ekoonomi eksklusif tidak boleh melebihi

200 mil laut dari garis pangkal di mana laut territorial diukur.

47

R.R Churchill and A.V. Lowe, The Law of the Sea, third edition, Juris Publishing, Manchester University Press, 1999, hlm. 178

48

Nelayan Tradisional Pahlawan Pangan”,

(44)

34

C. Pemanfaatan Pulau Pasir Oleh Nelayan Indonesia Berdasarkan

UNCLOS 1982

Sejarah mencatat antara tahun 1650 – 1750 nelayan Makasar masuk ke

Australia Utara untuk mengambil teripang yang kemudian dijual ke daratan

China. Sementara penduduk di Pulau Rote jauh sebelumnya sudah berada di pulau

itu untuk menangkap ikan dan mencari siput serta teripang. Kapten Phillip Cook,

nakhoda sebuah kapal yang memuat para tahanan dari Inggris tiba di benua

Australia dan menyatakan bahwa seluruh bumi Australia adalah milik kerajaan

Inggris. Sesuai dengan Proklamasi Kapten Phillip Cook tahun 1770 bahwa

seluruh daratan Australia adalah milik Kerajaan Inggris.49 Bintang tiga rao adalah

bintang pedoman nelayan Pulau Rote berlayar dari pelabuhan Papela menuju

gugusan Pulau-pulau Pasir. Pulau Pasir juga digunakan sebagai tempat

peristirahatan sejumlah nelayan setelah mencari ikan. Selain itu sampai saat ini, di

Pulau Pasir terdapat sejumlah 161 buah kuburan kuno orang Rote.50

Ashmore Reef diproklamirkan pemerintah Australia sebagai National

Nature Reserve pada 28 Juli 1983. Pulau Cartier dijadikan Marine Reserve pada 7

Juni 2000.Menurut National Park and Wildlife Conservation Act 1975, ekosistem

perairan ini dilindungi pemerintah Australia. Di tangkap internasional, karena

kekayaan hayatinya, kawasan ini dinilai oleh World Conservation Union (IUCN)

sebagai bank genetika dan sebab itu dilindungi. Di kawasan ini terdapat 40.000

ekor ulat laut dari 13 spesies, merupakan loka yang terbanyak ular laut di dunia.51

49

Batas laut RI-AUSTRALIA membingungkan para nelayan

tradisional”,http://www.wilayahperbatasan.com/batas -laut-ri-australia-membingungkan-nelayan-tradisional/ diakses pada tanggal 5 Juli 2014

50Ibid.

51“Ashmore Australia Menggoda Nelayan Indonesia”,

(45)

35

Ashmore juga merupakan tempat mencari makan dan kawin bagi 11.000 penyu

laut. Juga terdapat populasi Dugong (duyung) yang berdasarkan analisis DNA

terbukti berbeda dari duyung yang hidup di Australia. Habitat Padang Lamun

(seagrass) yang ada di sana menjadi andalan kehidupan duyung serta tempat ikan

bertelur dan berkembang biak. Survei tahun 1997 mengungkapkan bahwa

Ashmore memiliki 709 jenis ikan, 225 jenis terumbu karang, dan 136 jenis

Sponge. Berbagai jenis cucut, yang diburu nelayan Indonesia untuk diambil

siripnya, merupakan bagian dari populasi ikan kawasan Ashmore. Lebih dari 433

jenis moluska seperti sotong, gurita, cumi, bahkan kerang raksasa (giant clam)

juga hidup di sini. Salah satu jenis moluska yang dominan dan menjadi daya pikat

bagi nelayan Indonesia yaitu kerang lola(throcus). Sayangnya populasi kerang

lola sudah jauh berkurang karena pengambilan secara berlebihan terus menerus

selama 20 tahun terakhir.52 Selain itu, Ashmore juga memiliki 286 jenis krustasea

meliputi udang, lobster, dan kepiting. Juga ditemukan 27 jenis bintang laut

(starfish), 25 jenis bulu babi (sea urchin), dan 45 jenis teripang (sea cucumber).

Teripang ini pula yang menggoda nelayan Indonesia untuk datang ke kawasan

ini.53

Selain di laut, Ashmore juga kaya dengan fauna dan flora darat. Sudah

terbukti bahwa pulau-pulau pasir ini adalah persinggahan atau tujuan migrasi

burung dari belahan bumi utara selama bulan Oktober-November dan

Maret-April. Australia, China dan Jepang memiliki kesepakatan kerjasama untuk

melinduni burung-burung yang bermigrasi ini. Kekayaan Ashmore lainnya yaitu

tembikar dan keramik tua serta peralatan memasak yang dibawa nenek moyang

52Ibid.

53“Rebuilding Bridges Between Australia and Indonesia”,

(46)

36

Indonesia ke sana. Sayangnya barang-barang ini makin rusak karena proses

alamiah. Di ujung selatan Pulau Cartier, terdapat bangkai kapal Ann Millicent

yang karam pada 5 Januari 1888 ketika berlayar dari Teluk Carpentaria ke

Adelaide. Sewaktu air surut, bangkai kapal ini terlihat dengan jelas. Kekayaan lain

yang cukup penting yaitu, adanya kuburan tua yang diduga adalah makam orang

Indonesia. Sulit dibuktikan kuburan itu milik siapa. Pada tahun 2000, sedikitnya

ada seorang nelayan Indonesia yang dimakamkan di tempat ini. Beberapa nelayan

Indonesia yang ditangkap patroli Australia beralasan bahwa mereka masuk

Ashmore di antaranya untuk ziarah ke kuburan ini.54

Sebagai pengakuan akan hak tradisional nelayan Nusa Tenggara Timur,

Australia dan RI pada 1974 mengeluarkan Memorandum of Understanding yang

isinya tetap membolehkan mereka mencari nafkah sampai batas Bonaparte Islan,

di mana mereka boleh menangkap ikan kecuali penyu. Pasar Internasional

Sumberdaya Laut tidak dapat dipungkiri menjadi faktor keberadaan pasar

internasional ikut andil dalam mendorong aktivitas nelayan-nelayan tradisional

Indonesia di wilayah perairan Australia. Mengingat, sumberdaya yang ditangkap

seperti teripang, trochus, dan sirip hiu bukanlah komoditas yang dikonsumsi

secara langsung oleh mereka, melainkan untuk dijual ke luar negeri, yaitu pasar

China. Hal ini sudah mulai dilakukan sejak 1751 dimana kulit penyu dari gugusan

Pulau Pasir yang ada di selatan Pulau Timor merupakan barang yang dicari oleh

para saudagar Tionghoa untuk dibawa ke China.55

54Ibid.

55“Penyelesaian Masalah Nelayan Pelintas Batas di Wilayah Perikanan Australia”,

(47)

37

Wilayah perairan di sekitar Pulau Pasir dikenal kaya dengan berbagai

macam jenis ikan, teripang dan lola. Sudah ratusan tahun, nelayan-nelayan

tradisional Indonesia mencari ikan di sana. Pulau Pasir terbagi atas tiga gugusan

pulau. Di bagian barat, terdapat pulau Cartier, Pulau Dato I, Dato II dan Dato III,

Pulau Borselan, Pulau Scott dan beberapa pulau kecil. Pulau Pasir juga menjadi

tempat ditemukannya objek-objek budaya Rote yakni artefak Indonesia, seperti

sisa-sisa bahan-bahan tembikat, batu-batu balas, rak penjemuran ikan, kuburan

dan terdapat artefak Eropa seperti bangkai kapal dan sebuah pesawat udara yang

jatuh di Perang Dunia II di Cartier Island (Pulau Baru).56 Ancaman terhadap cagar

alam tersebut adalah pengambilan teripang dan lola(trochus), penangkapan ikan

hiu secara berlebihan dan kunjungan kapal-kapal illegal bermotor yang

memungkinkan memasukan hama dan bahan pengotor udara (hydrocarbon dan

plastic) serta panen spesies secara gelap, gangguan terhadap burung-butung,

habitar dan obyek budaya.

Pada MOU Boc 1974 sudah ada kesepatan antara Australia dan Indonesia

berkaitan dengan hak penangkapan ikan secara tradisional, bahwa nelayan

tradisional masih diperbolehkan menangkap berbagai jenis moluska di lima pulau

wilayah Australia, yaitu Pulau Ashmore, Pulau Cartier, Pulau Scott, Pulau

Seringapatam, dan Pulau Browse yang jarak terdekatnya dengan NUSA

TENGGARA TIMUR sekitar 12 km. hak penangkapan ikan tradisional di wilayah

negara lain dan internasional dimungkinkan mengingat dalam UNCLOS 1982

pada pasal 51 yang isinya tentang penghormatan terhadap eksistensi HPT (Hak

Penangkapan ikan Tradisional). Pasal ini memberikan kekuatan hukum terhadap

56

(48)

38

perlindungan hak penangkapan ikan tradisional tersebut. Namun demikian,

mekanisme perlindungan terhadap nelayan yang memiliki hak penangkapan ikan

secara tradisional tetap saja harus benar-benar diatur secara bilateral dengan

negara lain dalam hal ini antara Indonesia dan Australia. Begitu pula Agenda 21

pasal 17 tentang perlindungan global terhadap laut juga merujuk pada perlunya

berkonsultasi dengan nelayan local (indigenous people) dan melindungi akses

mereka terhadap sumbeerdaya. Sementara itu Convention on Biological Diversity

meminta pemerintah agar melindungi dan meningkatkan praktek-praktek budaya

tradisional dalam pemanfaatan sumberdaya biologi. Juga, Convention on the

Conservation of Migratory Species of Wild Animals mengijinkan nelayan loka

menangkap spesies-spesies yang bermigrasi untuk memenuhi kebutuhan

subsistensinya. Seperti dirinci Tsamenyi setidaknya ada 17 peraturan internasional

yang mendukung pangakuan HPT (Hak Penangkapan ikan Tradisional) tersebut.57

Pasal 87 Konvensi Hukum Laut 1982 menegaskan bahwa laut lepas adalah

terbuka bagi semua negara baik negara pantai (costal States) maupun negara tidak

berpantai (land-locked States). Semua negara mempunyai kebebasan di laut lepas

(freedom of the high seas), yaitu sebagai berikut :58

a) Kebebasan pelayaran (freedom of navigation);

58Hukum Laut, Zona-zona Maritim sesuai Unclos 1982,”

dalam

Gambar

Gambar 3.1. Peta Batas Wilayah Indonesia Berdasarkan TZMKO 1939
Gambar 1.1 Peta Pulau Pasir di perbatasan Indonesia dan Australia
Gambar 2.1 Peta Geografis Pulau Pasir
Gambar 2.2
+3

Referensi

Dokumen terkait

Di dalam Pasal 77 Konvensi PBB 1982 dinyatakan bahwa negara pantai mempunyai hak-hak kedaulatan atas landas kontinennya untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi

Tujuan penulisan hukum ini untuk mengetahui pelaksanaan Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan serta untuk mengetahui permasalahan yang timbul dengan berlakunya Peraturan

Proses penyusunan laporan keuangan merupakan proses terpenting dari suatu organisasi untuk mengetahui bagaimana kinerja atau eksistensi suatu organisasi dalam satu periode, maka

Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui: 1) Pengaruh Penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah terhadap kualitas laporan keuangan

Adapun tujuan penulisan Tugas Akhir ini adalah untuk mengetahui layak atau tidak layak peningkatan daya dalam perspektif efisiensi energi ( studi.. kelayakan pada peningkatan