• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PAJAK FIKTIF DI KOTA BANDAR LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PAJAK FIKTIF DI KOTA BANDAR LAMPUNG"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PAJAK FIKTIF DI KOTA BANDAR LAMPUNG

Oleh

LUCY MAYASARI

Pelaku tindak pidana pajak fiktif bukan hanya pejabat yang bekerja di instansi perpajakan, tetapi juga pribadi atau oknum di luar instansi perpajakan, yaitu perusahaan atau koorporasi. Penerbitan faktur pajak fiktif oleh perusahaan yang tidak bertanggung jawab merupakan perbuatan yang sangat merugikan masyarakat. Perusahaan yang mempunyai kewajiban membayar pajak, ternyata pajak yang mereka keluarkan tidak dibayarkan ke negara. Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah penegakan hukum terhadap pajak fiktif di Kota Bandar Lampung? (2) Apakah faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap pajak fiktif di Kota Bandar Lampung?

(2)

Lucy Mayasari

yang berisi materi mengenai pentingnya penerimaan pajak perusahaan bagi negara dan pembangunan, serta ancaman atau sanksi terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana pajak fiktif. (2) Faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pajak fiktif di Kota Bandar Lampung adalah: a) Faktor substansi hukum, yaitu perubahahan Undang-Undang di Bidang Perpajakan berdampak pada pelaksanaan undang-undang tersebut di lapangan karena para petugas harus mempelajari kembali berbagai perubahan tersebut. b) Faktor aparat penegak hukum, adalah secara kuantitas masih terbatasnya personil PPNS Ditjen Pajak yang khusus melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pajak fiktif. Secara kualitas adalah terbatasnya profesionalime kerja petugas di bidang penyidikan, perlu ditingkatkan pengetahuan dan keterampilan teknis penyidikan di bidang perpajakan c) Faktor sarana dan prasarana, yaitu masih terbatasnya teknologi yang mampu mengidentifikasi berkas pajak yang dipalsukan, sehingga diperlukan sarana prasarana yang dapat memastikan secara akurat keaslian berkas pajak sehingga akan mempermudah pelaksanaan penyidikan.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara dengan sumber penghasilan terbesarnya adalah

berasal dari pajak. Sebagai sumber penghasilan negara yang terbesar, pajak

merupakan sumber pengahasilan negara yang nantinya dipergunakan kembali

untuk kepentingan masyarakat, diantaranya penyediaan sarana dan prasarana

umum. Oleh karena itu, pajak menjadi sangat penting untuk diatur dengan aturan

yang ketat.

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

(sehingga dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung.

Pajak dipungut berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi

barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Pajak

merupakan hak prerogatif pemerintah, iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah

dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya

pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung berdasarkan

undang-undang.

Pajak mempunyai fungsi bagi negara, yaitu untuk penyediaan barang-barang dan

jasa-jasa publik. Ada dua hal yang menjadi fungsi pajak bagi negara, yaitu fungsi

(4)

juga merupakan fungsi utama dari pajak. Pajak dibebankan kepada masyarakat

kemudian ditarik oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran

pemerintah. Hal tersebut dilakukan dalam rangka menyediakan barang dan jasa

publik. Di Indonesia, ada dua pajak yang merupakan penyumbang pajak terbesar,

yaitu Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Karena dua

pajak ini adalah sumber penghasilan pajak terbesar, maka dua pajak ini memiliki

fungsi penerimaan.

Pajak juga memiliki fungsi mengatur. Pada fungsi ini, pajak mengarahkan kepada

masyarakat sebagai wajib pajak, baik perorangan ataupun kelompok (koorporasi),

agar bertindak sesuai dengan yang diinginkan. Hal ini dimaksudkan untuk

menghindari hal-hal yang dapat merugikan masyarakat ataupun negara. Misalnya:

agar masyarakat tidak mengkonsumsi alkohol, maka barang tersbut dikenakan

Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Adapun jenis pajak yang biasanya

digunakan sebagai instrument dalam mengatur hal ini adalah Pajak Ekspor, Bea

Masuk dan PPnBM.

Fungsi pajak sebagaimana disebutkan di atas, merupakan fungsi utama bagi

negara. Dengan mempunyai fungsi penerimaan dan fungsi mengatur, pajak

selayaknya dapat dipergunakan untuk kepentingan masyarakat. Namun

belakangan banyak terjadi kasus-kasus perpajakan yang sangat mengecewakan

masyarakat. Merupakan hal yang ironis ketika masyarakat sudah mempercayakan

uangnya dibayarkan kepada negara sebagai pembayaran pajak, ternyata uang

(5)

Pelaku tindak pidana pajak fiktif bukan hanya pejabat yang bekerja di instansi

perpajakan, tetapi juga pribadi atau oknum di luar instansi perpajakan, yaitu

perusahaan atau koorporasi. Penerbitan faktur pajak fiktif oleh perusahaan yang

tidak bertanggung jawab merupakan perbuatan yang sangat merugikan

masyarakat. Perusahaan yang mempunyai kewajiban membayar pajak, ternyata

pajak yang mereka keluarkan tidak dibayarkan ke negara. Mereka hanya

memberikan faktur pajak tetapi uangnya tidak disetorkan ke kas negara. Padahal

pajak yang dibayarkan perusahaan adalah salah satu pajak penghasilan yang juga

merupakan pajak penyumbang penghasilan terbesar negara.

Penerbitan faktur pajak fiktif oleh perusahaan yang tidak bertanggung jawab

merupakan pelanggaran hukum atas penyelewengan dana negara. Perusahaan

menerbitkan faktur pajak tanpa melakukan transaksi merupakan tindak pidana.

Dalam aturan perpajakan, pengusaha hanya memungut pajak dari masyarakat,

sedangkan uangnya disetorkan ke kas ngara, namun ada perusahaan yang tidak

menjalankan ketentuan tersbut. Perusahaan menerbitkan faktur pajak fiktif

kemudian hanya menyerahkan fakturnya kepada Dirjen pajak, tanpa fresh money

yang sesuai dengan keterangan yang disebutkan dalam faktur pajak tersebut.

Kasus pajak fiktif ini terjadi Kota Bandar Lampung, salah satunya adalah pada

bulan Februari 2012, Pengadilan Tipikor Tanjung Karang baru saja mengadakan

sidang atas penerbitan ratusan faktur pajak fiktif yang dilakukan oleh Alex

Sitanggang, Direktur CV Silo Jaya Persada. Alex di duga telah menerbitkan faktur

pajak tanpa melakukan transaksi (Radar lampung, 29 Februari 2012). Kemudian

(6)

Kejaksaan Negeri Bandar Lampung telah menahan Tiara Anthoni sebagai pelaku

penerbitan faktur pajak fiktif bersama rekan di PT Nian Abadi. Perbuatannya ini

telah berlangsung selama Februari 2008-Desember 2009, dan telah merugikan

negara sebesar 8,7 Milyar rupiah. Atas kesalahannya tersebut, Tiara diancam

enam tahun penjara dan denda 2 kali dari maksimal 4 kali dari kerugian negara.1

Dua kasus tersebut di atas cukup untuk menyatakan bahwa potensi pajak fiktif

perusahaan di Bandar Lampung adalah cukup tinggi. Dari dua kasus di atas

dirasakan perlu untuk melakukan tinjauan hukum berkaitan dengan proses

penegakan hukum terhadap pajak fiktif. Pelaku tindak pidana pajak fiktif dapat

dikenakan pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 41A Undang-Undang Nomor

28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun

1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu pidana berupa

kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp

25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan

hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila

berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan

dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di

dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai

pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan

untuk melihat penegakan hukum sebagai suatu sistem peradilan pidana.2

1

Surat Kabar Harian Radar Lampung Edisi 25 Januari 2012.

2

(7)

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti akan melakukan penelitian yang

berjudul: “Upaya Penegakan Hukum Terhadap Pajak Fiktif di Kota Bandar

Lampung”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap pajak fiktif di Kota Bandar

Lampung?

b. Apakah faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap pajak

fiktif di Kota Bandar Lampung?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penelitian ini dalam kajian bidang hukum pidana mengenai

penegakan hukum terhadap pajak fiktif di Kota Bandar Lampung dan

faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap pajak fiktif di Kota Bandar

Lampung. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2012.

C.Tujuan dan Kegunaaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui penegakan hukum terhadap pajak fiktif di Kota Bandar

(8)

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum

terhadap pajak fiktif di Kota Bandar Lampung.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan teoritis dan kegunaan praktis

sebagai berikut:

a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan

ilmu hukum, khususnya tentang proses penyelidikan pajak fiktif perusahaan

wajib pajak

b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi bagi

perusahaan wajib pajak dalam pengelolaan pajak.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep yang merupakan abstraksi dari hasil-hasil

pemikiran atau kerangka acuan yang bertujuan untuk mengadakan identifikasi

terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti3

a. Teori Penanggulangan Tindak Pidana

Penanggulangan tundak pidana atau kejahatan dikenal dengan berbagai istilah,

antara lain penal policy, criminal policy, atau strafrechtspolitiek adalah suatu

usaha untuk menanggulagi kejahatan melalui penegakan hukum pidana, yang

rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka

menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat

3

(9)

diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum

pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana

pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan

politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil

perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu

waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.4

Pelaksanaan dari politik hukum pidana sebagaimana dikemukakan Wolfgang

terdiri dari beberapa tahap kebijakan yaitu sebagai berikut:

1) Tahap Formulasi

Tahap formulasi adalah tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh

badan pembuat Undang-Undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil Perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap Kebijakan Legislatif

2) Tahap Aplikasi

Tahap aplikasi adalah tahap penegakan Hukum Pidana (tahap penerapan hukum pidana) Oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat dapat disebut sebagai tahap yudikatif.

3) Tahap Eksekusi

Tahap eksekusi adalah tahap penegakan (pelaksanaan) Hukum secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang melalui Penerapan Pidana yang telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam Putusan Pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada Peraturan Perundang-undangan Pidana yang dibuat oleh pembuat Undang-Undang dan

nilai-nilai keadilan suatu daya guna. 5

(10)

Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses

rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus

merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak termasuk yang

bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.

Selain itu kebijakan kriminal juga merupakan bagian integral dari kebijakan

sosial, yaitu sebagai usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat (social welfare policy) dan sekaligus mencakup perlindungan

masyarakat (social defence policy). Penanggulanangan tindak pidana atau

kejahatan dilaksanakan dengan dua sarana, yaitu:

1) Penanggulangan dengan Sarana Penal

Sarana penal adalah penggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar.

2) Penanggulangan dengan Sarana Non Penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan 6

b. Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja,

namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut:

1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi

pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan

6

(11)

konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan

kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif.

Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya

berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang

kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.

2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas

atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan

hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa

kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran

adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap

lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa,

terlihat dan diaktualisasikan.

3) Faktor sarana dan fasilitas

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang

berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,

keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan

hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin

menjalankan peranan semestinya.

4) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan

hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk

(12)

penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi

kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan

hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat,

maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.

5) Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat.

Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan

nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin

banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan

kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya.

Apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau

bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk

melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum.7

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan

dalam melaksanakan penelitian.8 Berdasarkan definisi tersebut, maka

konseptualisasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Penegakan hukum adalah suatu proses yang dapat menjamin kepastian hukum,

ketertiban dan perlindungan hukum dengan menjaga keselarasan,

keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh

nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan

7

Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.8-11

8

(13)

yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka

pencapaian tujuan, adalah merupakan keharusan untuk melihat penegakan

hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana9

b. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan

melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam

undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib

hukum dan terjaminnya kepentingan umum10

c. Penyidikan dan proses penyidikan, adalah tindak lanjut dari hasil Pemeriksaan

Bukti Permulaan yang oleh Direktur Jenderal Pajak diinstruksikan untuk

disidik yang dilaksanakan oleh suatu Tim Penyidik Pajak yang terdiri dari

para Penyidik Pajak pada Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak dan/atau

pada Unit Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (terdapat dalam Bagian Umum

Penyidikan Tindak Pidana Bidang Perpajakan)

d. Pajak Fiktif memiliki beberapa definisi dalam SE -29/PJ.53/2003, antara lain:

1) Pajak fiktif Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha yang belum

dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

2) Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha dengan menggunakan nama,

NPWP dan Nomor Pengukuhan PKP orang pribadi atau badan lain.

3) Faktur Pajak yang digunakan oleh PKP yang tidak diterbitkan oleh PKP

penerbit

4) Faktur Pajak yang secara formal memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5)

Undang-undang PPN, tetapi secara material tidak terpenuhi yaitu tidak ada

9

Barda Nawawi Arief. Op Cit. hlm. 23.

10

(14)

penyerahan barang dan atau uang atau barang tidak diserahkan kepada

pembeli sebagaimana tertera pada Faktur Pajak.

5) Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP yang identitasnya tidak sesuai

dengan keadaan yang sebenarnya.

e. Perusahaan, adalah istilah ekonomi yang dipakai dalam KUHD dan

perundang-undangan di luar KUHD.perusahaan adalah keseluruhan perbuatan

yang dilakukan secara terus menerus, bertindak keluar, untuk memperoleh

penghasilan, dengan cara memperdagangkan atau menyerahkan barang atau

mengadakan perjanjian perdagangan. 11

f. Perusahaan wajib pajak. Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena

Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan

Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya. (UU No

28 Tahun 2007)

E. Sistematika Penulisan

Guna memperoleh kemudahan pemahaman konteks skripsi ini, maka alur

penulisan dengan sistematika sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab pendahuluan memuat latar belakang dari permasalhan yang diselidiki,

masalah yang dijadikan focus studi, ruang lingkup permasalahan, tujuan

dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual yang

dipergunakan dan sistematika penulisan skripsi.

11

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab tinjauan pustkan berisikan materi-materi yang berhubungan dan

diperlukan untuk membantu pemahaman dan kejelasan permasalahan yang

diteliti. Dalamhal ini bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai

bahan studi perbandingan antara teori dengan kenyataan dalam praktek.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menjelaskan tentang cara memperoleh pemahaman dan jawaban

dari permasalahan yang diselidiki secara konstruktif dan sistematis, logis

dan konsisten yang meliputu cara pendekatan masalah, sumber dan jenis

data yang digunakan,penentuan sampel serta analisi data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan bab yang berisi uraian-uraian yang menjelaskan dan

menjawab permasalahan tentang penegakan hukum terhadap pajak fiktif di

Kota Bandar Lampung dan faktor-faktor yang menghambat penegakan

hukum terhadap pajak fiktif di Kota Bandar Lampung

V. PENUTUP

Bab penutup memuat kesimpulan dan saran dari permasalahan yang

(16)

I. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penegakan Hukum

1. Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan

hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila

berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan

dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di

dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai

pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan

untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana1

Penegakan hukum sendiri harus diartikan dalam kerangka tiga konsep, yaitu:

a. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept)

yang menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut

ditegakkan tanpa terkecuali

b. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept)

yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan

sebagainya demi perlindungan kepentingan individual

(17)

c. Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul

setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena

keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas sumber

daya manusianya, kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi

masyarakat2

Hal yang mendasari penegakan hukum adalah pemahaman bahwa setiap manusia

dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa dengan akal budi dan nurani yang

memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang

buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam

menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia

memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Selain

untuk mengimbangi kebebasan tersebut, manusia memiliki kemampuan untuk

bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya di hadapan hukum

yang diakui bersama.

Negara Indonesia adalah negara hukum (recht staats), maka setiap orang yang

melakukan tindak pidana harus mempertanggung jawabkan perbuatannya melalui

penegakan hukum. Hukum dalam hal ini merupakan sarana bagi penegakan

hukum. Penegakan hukum mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu

perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, di mana larangan tersebut

disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu sebagai

pertanggung jawabannya3

2Ibid. hlm.78

(18)

2. Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk

menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban

kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas

bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan

mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. 4

Sistem peradilan pidana merupakan pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan

hukum pidana yang melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki

fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan,

pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sistematik ini

tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya.

Instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan

wewenangnya. 5

Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut model kemudi

(stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memarahi orang yang melanggar

peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya

ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum.

Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut

seseorang di muka pengadilan. Ini semua adalah bagian-bagian dari kegiatan

dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime

(19)

control suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa

tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 6

Selanjutnya tampak pula, bahwa sistem peradilan pidana melibatkan penegakan

hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun

hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun

kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan

antar subsistem peradilan pidana yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan

dan lembaga pemasyarakatan.

3. Proses Hukum Yang Adil (Layak)

Satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu due

process of law yang dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses

hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan

layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara

pidana suatu negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due

process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau

perundang-undangan secara formil.7

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap

batin penghormatan terhadap hak-hak warga masyarakat meski ia menjadi pelaku

kejahatan, namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk

mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar

pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum

6 Sudarto. Loc Cit. hlm. 7

(20)

dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk

disidang di muka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak.

Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak tersebut ialah

sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana

sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak hukum

yang menghormati hak-hak warga masyarakat. Kebangkitan hukum nasional

mengutamakan perlindungan hak asasi manusia dalam sebuah mekanisme sistem

peradilan pidana. Perlindungan hak-hak tersebut, diharapkan sejak awal sudah

dapat diberikan dan ditegakkan. Selain itu diharapkan pula penegakan hukum

berdasarkan undang-undang tersebut memberikan kekuasaan kehakiman yang

bebas dan bertanggung jawab. Namun semua itu hanya terwujud apabila orientasi

penegakan hukum dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan

segenap unsur di dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling interrelasi dan

saling mempengaruhi satu sama lain.

4. Model Integrated Criminal Justice System

Sistem peradilan pidana merupakan arti seperangkat elemen yang secara terpadu

bekerja untuk mencapai suatu tujuan. Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga

pendekatan, yaitu:

a. Pendekatan Normatif

Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum

(kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai

(21)

keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

sistem penegakan hukum semata-mata.

b. Pendekatan administratif

Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum

sebagai suatu organisasi manajeman yang memiliki mekanisme kerja, baik

hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai

dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem

yang dipergunakan adalah sistem administrasi.

c. Pendekatan sosial

Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga

masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau

ketidak berhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam

melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan adalah sistem sosial.8

Komponen-komponen yang bekerja sama dalam sistem ini dikenal dalam lingkup

praktik penegakan hukum, terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan

lembaga pemasyarakatan. Empat komponen ini diharapkan bekerja sama

membentuk suatu integrated criminal justice system.

Integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserempakan dan

keselarasan yang dapat dibedakan dalam:

(22)

a. Sinkronisasi struktural adalah keserempakan dan keselarasan dalam kerangka

hubungan antar lembaga penegak hukum.

b. Sinkronisasi substansial adalah keserempakan dan keselarasan yang bersifat

vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif.

c. Sinkronisasi kultural adalah keserempakan dan keselarasan dalam maghayati

pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh

mendasari jalannya sistem peradilan pidana. 9

Keselarasan dan keterkaitan antara subsistem yang satu dengan yang lainnya

merupakan mata rantai dalam satu kesatuan. Setiap masalah dalam salah satu

subsistem, akan menimbulkan dampak pada subsistem-subsistem yang lainnya.

Demikian pula reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu

subsistem akan menimbulkan dampak kembali pada subsistem lainnya.

Keterpaduan antara subsistem itu dapat diperoleh bila masing-masing subsistem

menjadikan kebijakan kriminal sebagai pedoman kerjanya. Oleh karena itu

komponen-komponen sistem peradilan pidana, tidak boleh bekerja tanpa

diarahkan oleh kebijakan kriminal.

Komponen sistem peradilan pidana sebagai salah satu pendukung atau instrumen

dari suatu kebijakan kriminal, termasuk pembuat undang-undang. Oleh karena

peran pembuat undang-undang sangat menentukan dalam politik kriminal

(criminal policy) yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum

pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus menjadi tujuan dari

penegakan hukum. Dalam cakupannya yang demikian, maka sistem peradilan

(23)

pidana (criminal policy system) harus dilihat sebagai the network of court and

tribunals which deal with criminal law and it enforcement.

Pemahaman pengertian sistem dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik

sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu

bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system dalam arti

gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain

berada dalam ketergantungan.

Uraian di atas menunjukkan bahwa setiap sistem hukum menunjukkan empat

unsur dasar, yaitu: pranata peraturan, proses penyelenggaraan hukum, prosedur

pemberian keputusan oleh pengadilan dan lembaga penegakan hukum. Dalam hal

ini pendekatan pengembangan terhadap sistem hukum menekankan pada beberapa

hal, yaitu: bertambah meningkatnya diferensiasi internal dari keempat unsur dasar

system hukum tersebut, menyangkut perangkat peraturan, penerapan peraturan,

pengadilan dan penegakan hukum serta pengaruh diferensiasi lembaga dalam

masyarakat terhadap unsur-unsur dasar tersebut.

Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan

hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila

berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan

dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di

dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai

pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan

(24)

Faktor penegak hukum dalam hal ini menempati titik sentral, karena

undang-undang disusun oleh penegak hukum, penerapannya dilakukan oleh penegak

hukum, dan penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh

masyarakat. Penegakan hukum yang baik ialah apabila sistem peradilan pidana

bekerja secara obyektif dan tidak bersifat memihak serta memperhatikan dan

mempertimbangkan secara seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam

masyarakat. Nilai-nilai tersebut tampak dalam wujud reaksi masyarakat terhadap

setiap kebijakan kriminal yang telah dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum.

Dalam konteks penegakan hukum yang mempergunakan pendekatan sistem,

terdapat hubungan pengaruh timbal balik yang signifikan antara perkembangan

kejahatan yang bersifat multidimensi dan kebijakan kriminal yang telah

dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum.

B. Pajak

1. Pengertian Pajak

Beberapa pengertian pajak menurut beberapa ahli sebagaimana dikemukakan

adalah sebagai berikut:

a. Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan

oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang untuk menutup belanja

pemerintah.

b. Pajak adalah bantuan uang secara insidental atau secara periodik (dengan

tidak ada kontraprestasinya), yang dipungut oleh badan yang bersifat umum

(negara), untuk memperoleh pendapatan, dimana terjadi suatu tatbestand

(sasaran pemajakan), yang karena undang-undang telah menimbulkan hutang

(25)

c. Uang pajak digunakan untuk produksi barang dan jasa, jadi benefit diberikan

kepada masyarakat hanya tidak mudah ditunjukkannya apalagi secara

perorangan.

d. Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada

penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum) tanpa

adanya kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk menutupi

pengeluaran-pengeluaran umum.

e. Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalaui

norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan tanpa adakalanya kontraprestasi

yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual untuk membiayai

pengeluaran pemerintah.

f. Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh

penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi

barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.

g. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

(yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi)

yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar

pengeluaran umum.10

2. Fungsi Pajak

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara,

khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber

pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran

pembangunan. Pajak mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut:

(26)

a. Fungsi anggaran (budgetair)

Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara

dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini

dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk

pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan

lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari

tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran

rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai

kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini

terutama diharapkan dari sektor pajak.

b. Fungsi mengatur (regulerend)

Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan

pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk

mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal,

baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas

keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri,

pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.

c. Fungsi stabilitas

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan

kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat

dikendalikan, hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur

peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang

(27)

d. Fungsi redistribusi pendapatan

Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai

semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan

sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat

meningkatkan pendapatan masyarakat. 11

3. Syarat Pemungutan Pajak

Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu

tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak, namun bila terlalu rendah,

maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak

menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi

persyaratan yaitu:

a. Pemungutan pajak harus adil

Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk

menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam

perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya. Contohnya

adalah dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak, pajak

diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai

wajib pajak dan sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum

sesuai dengan berat ringannya pelanggaran

b. Pengaturan pajak harus berdasarkan undang-undang

Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan

yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang", ada

beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak,

(28)

yaitu pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara berdasarkan UU

tersebut harus dijamin kelancarannya

c. Jaminan hukum

Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara

umum. Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak

d. Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian

Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak

mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan,

maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan

masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak,

terutama masyarakat kecil dan menengah.

e. Pemungutan pajak harus efesien

Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus

diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada

biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan

pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan.

f. Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam

pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak

dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan

memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan

kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan

pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak. 12

(29)

C. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang

yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan

dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan

apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan

pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan13

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang

memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan

pidana, di mana penjatuhan pidana pada pelaku adalah demi tertib hukum dan

terjaminnya kepentingan umum.14

Tingkah laku yang jahat immoral dan anti sosial akan menimbulkan reaksi berupa

kejengkelan dan kemarahan di kalangan masyarakat dan jelas akan merugikan

masyarakat umum. Mengingat kondisi tersebut maka setiap warga masyarakat

keseluruhan secara keseluruhan, bersama-sama dengan lembaga-lembaga resmi

yang berwenang seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga

pemasyarakatan dan lain-lain wajib menanggulangi setiap tindak kejahatan atau

kriminal. Setiap kejahatan yang dilakukan seseorang akan menimbulkan suatu

akibat yakni pelanggaran terhadap ketetapan hukum dan peraturan pemerintah.

13 Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 19

(30)

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana

merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah

laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang

dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka

akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu

yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam

undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun

daerah. 15

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang

yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan

dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan

apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan

pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan16

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat diketahui bahwa tindak

pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki

unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di

mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum

dan terjaminnya kepentingan umum.

15Ibid. hlm. 7.

(31)

2. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, antara lain sebagai

berikut:

a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain

kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam

Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu

bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II

dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum

pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.

b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil

(formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak

pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang

dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362

KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah

pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan

akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana.

c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana

sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten).

Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara

lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja

menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan

sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat

(32)

matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan

Pasal 360 KUHP.

d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif

juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya

diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya

Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana

pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana

murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana

yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya

diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah

tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat

dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur

terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal

338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal17

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri

dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil

dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja

serta tindak pidana aktif dan pasif.

Beberapa pasal dalam KUHP yang menyebutkan beberapa jenis tindak pidana

adalah sebagai berikut:

1) Pasal 2 KUHP: Setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di

Indonesia

(33)

2) Pasal 4 KUHP: Setiap orang Indonesia yang melakukan kejahatan berdasarkan

pasal-pasal 104, 106, 107, 108, dan 131 KUHP

3) Pasal 4 KUHP: Setiap orang Indonesia yang melakukan kejahatan mengenai

mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun

mengenai meterai dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia

4) Pasal 4 KUHP: Setiap orang yang melakukan pemalsuan surat hutang atau

sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau

bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau

tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang

dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat

tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsu

5) Pasal 4 KUHP: Setiap orang yang melakukan salah satu kejahatan yang

tersebut dalam Pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut

dan Pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut

dan Pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan

hukum, Pasal 479 huruf I, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam

keselamatan penerbangan sipil.

6) Pasal 5 KUHP: Warga negara Indonesia yang berada di luar Indonesia yang

melakukan salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan

pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451 KUHP.

7) Pasal 5 KUHP: Warga negara Indonesia yang berada di luar Indonesia yang

melakukan salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam

perundang-undangan dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut

(34)

8) Pasal 55 KUHP: Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau

yang turut melakukan perbuatan pidana.

9) Pasal 55 KUHP: Orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah

memakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaan, ancaman atau tipu

karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja

menghasut supaya perbuatan itu dilakukan.

D. Tindak Pidana Bidang Perpajakan

Pada hakikatnya penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan merupakan salah

satu upaya untuk menegakkan ketentuan perundang-undangan perpajakan.

Penyidikan merupakan tindak lanjut dari hasil pemeriksaan bukti permulaan yang

oleh Direktur Jenderal Pajak diinstruksikan untuk dilakukan penyidikan.

Penyidikan dilaksanakan oleh Tim Penyidik Pajak yang terdiri dari para penyidik

pajak pada Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak dan atau para penyidik Kantor

Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan atau pada para penyidik Kantor Unit

Pelaksana Pemeriksaan. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang

dilakukan oleh Penyidik Pajak dengan sistematika sebagai berikut:

a. Persiapan Penyidikan; penyidikan.htm. di akses tanggal 10 April 2012

(35)

E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak pernah henti-hentinya

dibicarakan. Perkataan penegakan hukum mempunyai konotasi menegakkan,

melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat,

sehingga dalam konteks yang lebih luas penegakan hukum merupakan

kelangsungan perwujudan konsep-konsep abstrak yang menjadi kenyataan.

Hukum tidak bersifat mandiri, artinya ada faktor-faktor lain yang erat

hubungannya dengan proses penegakan hukum yang harus diikutsertakan, yaitu

masyarakat dan aparat penegak hukum. Untuk itu hukum tidak lebih hanya ide-ide

atau konsep-konsep yang mencerminkan didalamnya apa yang disebut keadilan,

ketertiban dan kepastian hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan

perundang-undangan dengan maksud untuk mencapai tujuan tertentu. Penegakan

hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun

terdapat juga faktor-faktor yang menghambat antara lain sebagai berikut:

1. Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi

pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan

konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan

kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif.

Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya

berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang

kebijakan atau tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Demikian

(36)

yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang

mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga

masyarakat yang diaturnya dan serasi antara ketentuan untuk menerapkan

peraturan dengan perilaku yang mendukung.

2. Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas

atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan

hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa

kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran

adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap

lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus

terasa dan terlihat serta harus diaktualisasikan.

3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang

berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,

keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan

hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin

menjalankan peranannya sebagaimana mestinya.

4. Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan

hukum. Sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk

mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan

(37)

kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan

hukum yang baik. Sebaliknya semakin rendah tingkat kesadaran hukum

masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum

yang baik. Adanya kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan

dilaksanakannya penegakan hukum, menurut Baharudin Lopa seseorang baru

dapat dikatakan mempunyai kesadaran hukum, apabila memenuhi hukum

karena keikhlasannya, karena merasakan bahwa hukum itu berguna dan

mengayominya. Dengan kata lain, hukum dipatuhi karena merasakan bahwa

hukum itu berasal dari hati nurani.

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat.

Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan

nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin

banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan

kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya.

Sebaliknya, apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau

bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk

melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum tersebut. 19

19

(38)

1

I. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus1

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini, terdiri dari:

1

(39)

2

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer bersumber dari:

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

(3)Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang melengkapi hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang sesuai dengan masalah dalam penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/ pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi, kamus hukum dan sumber dari internet.

C. Penentuan Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang memiliki karakteristik tertentu dan ditetapkan untuk diteliti.2 Berdasarkan pengertian di atas maka

yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penyidik Polresta

2

(40)

3

Bandar Lampung, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan PPNS pada Dirjen Pajak Kanwil DJP Bengkulu dan Lampung

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian3. Berdasarkan pengertian di

atas maka yang menjadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Penyidik Polresta Bandar Lampung = 1orang 2) Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung = 1 orang 3) PPNS Dirjen Pajak Kanwil DJP Bengkulu dan Lampung = 1 orang +

Jumlah = 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi lapangan sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

3

(41)

4

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan.4

4

(42)

5

(43)

UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PAJAK FIKTIF DI KOTA BANDAR LAMPUNG

(Skripsi)

Oleh

LUCY MAYASARI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(44)

DAFTAR ISI

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 6

E. Sistematika Penulisan ... 12

E. Faktor-Faktor yang Menghambat Penegakan Hukum ... 33

III METODE PENELITIAN ... 36

A. Pendekatan Masalah ... 36

B. Sumber dan Jenis Data ... 36

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 37

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 38

E. Analisis Data ... 39

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 41

A. Karakteristik Responden ... 41

B. Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pajak Fiktif .... 42

(45)

V PENUTUP ... 65 A. Kesimpulan ... 65 B. Saran ... 67

(46)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Badra Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Loqman, Loebby.2001. Kapita Selekta di Bidang Perekonomian. Datacom. Jakarta.

Susanto, F. Anton. 2004. Kepolisan dalam Upaya Penegakan Hukum di Indonesia

Rineka Cipta. Jakarta

Sutarto. 2002. Menuju Profesionalisme Kinerja Kepolisian. PTIK. Jakarta.

Raharjo, Satjipto. 1991. Polisi Pelaku dan Pemikir. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

R. Santoso Brotodihardjo. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Refika Aditama. Bandung.

Soekanto,Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. UI-PRESS. Jakarta. Waluyo, Bambang. 1987. Tindak Pidana Perpajakan. Pradnya Paramita. Jakarta. Surat edaran direktorat jendral pajak NOMOR SE - 12/PJ.7/1994 tentang Tindak

Lanjut LP2 Dan Pemeriksaan Wajib Pajak Perusahaan Go Public (Seri Pemeriksaan Direktur Jenderal Pajak)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Referensi

Dokumen terkait

Faktor penghambat upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak meruapakan tugas bersama untuk

Berdasarkan hal tersebut penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi dana penghapusan

Faktor-Faktor yang menghambat proses penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pengerjaan kawasan hutan secara tidak sah yaitu penyidik PPNS yang berpotensi

(2) Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat adalah: a) Faktor perundang-undangan,

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penegakan hukum lingkungan terhadap Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) reklamasi pantai di Kota Bandar Lampung,

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penegakan hukum lingkungan terhadap Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) reklamasi pantai di Kota Bandar Lampung,

(2) Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat adalah: a) Faktor perundang-undangan,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Penegakan hukum dalam suatu tindak pidana penyelundupan dan faktor-faktor penghambat didalam penegakan hukumnya.Penelitian ini dilaksanakan