ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYUAPAN PADA PENERIMAAN ANGGOTA SATUAN
POLISI PAMONG PRAJA LAMPUNG BARAT Oleh
Beni Pramiza, Mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Email: beni.pramiza92@gmail.com, Tri Andrisman, Deni Achmad. Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung Jalan Soemantri Brojonegoro Nomor 1 Bandar Lampung 35145.
Abstrak
Penegakan hukum dilaksanakan untuk menjamin bahwa hukum dilaksanakan secara benar, adil, dan tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satuan Polisi Pamong Praja Lampung Barat. (2) Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satuan Polisi Pamong Praja di Pemerintahan Daerah.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Penegakan hukum terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat meliputi: a) Penyidikan dilakukan Kepolisian Resor Lampung Barat setelah menerima laporan dari korban dan tindakan penyidikan disusun dalam Berita Acara Pemeriksaan. b) Dakwaan dilakukan Kejaksaan Negeri dan dituangkan dalam surat dakwaan. c) Pengadilan dilakukan oleh hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, untuk menegakkan keadilan berdasarkan bukti-bukti secara sah dan meyakinkan. (2) Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat adalah: a) Faktor perundang-undangan, yaitu adanya landasan hukum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan KUHAP. b) Faktor penegak hukum, yaitu adanya profesionalisme aparat penegak hukum dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap pelaku penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat. c) Faktor sarana dan fasilitas, yaitu adanya dukungan sarana dan fasilitas yang dibutuhkan dalam penyidikan sampai dengan putusan pengadilan d) Faktor masyarakat, yaitu adanya peran aktif dan kesadaran hukum oleh masyarakat. e) Faktor kebudayaan, yaitu adanya nilai dan norma bahwa tindak pidana penyuapan merupakan pelanggaran dan harus diberi hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku.
ANALYSIS OF CRIMINAL LAW ENFORCEMENT AGAINST CRIME OF BRIBERY IN RECEIPT OF MEMBERS CIVIL SERVICE POLICE
UNIT OF WEST LAMPUNG REGENCY
ABSTRACT
Law enforcement was implemented to guaranted that the law was implemented with properly, honest and no abuse of power. The issue in this research are: (1) How to enforce the law for bribery crime in civil Service Poice Recruitment in West Lampung (2) What are the factors which influence tyo criminal law enforcement for bribery crime in Civil Service Poice Recruitment in Iocal Goverment.
The results of this research and study show that: (1) Law enforcement for bribery crime in Civil Service Police recruitment in West Lampung include: a) Investigation Police conducted by district of West Lampung police after they receive the report from victim and investigation action was arranged in examination report. b) it conducted by district attorney of West Lampung then it was implemented in indictment Tanjung Karang. c) The trial it conducted by tanjung karang district court to do law enforcment based on the evidence by legitimacy and ensure. (2) Factors with infuence law enforcement for bribery crime in civi service police recruitment in west lampung are: a) the statutory factors, it is UU No. 2 of 2002 on the Police and Criminal Procedure Code. b) Factors law enforcement, who enforcement officer for implemented law profesional enforcement to the suspect of bribey crime in Civil Service Police recruitment in West Lampung. c) Factors of facilities, there are support of facilities needed in the investigation until the court decision d) civilian factors, there is the role of civilian for legal awareness. e) cultural factors, there are values and norms that the crime of bribery and it should be punished by the rule of law. Keywords: Criminal Law Enforcement, Bribery, Civil Service Police
I. Pendahuluan
Penyelenggara pemerintahan berperan penting dalam tatanan (konstelasi) ketatanegaraan. Hal ini tersirat dalam Amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan antara
lain bahwa tujuan dibentuknya
pemerintah negara Indonesia dan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa. Dalam implementasinya,
penyelenggaraan Negara tidak boleh menyimpang dari kaidah-kaidah yang digariskan, namun demikian dalam perkembangannya, pembangunan di berbagai bidang berimplikasi terhadap perilaku penyelenggara negara yang memunculkan rasa ketidakpercayaan masyarakat.
Untuk menjamin penegakan hukum dapat dilaksanakan secara benar, adil, tidak ada kesewenang-wenangan, tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, ada beberapa asas yang harus selalu tampil dalam setiap penegakan hukum, yaitu asas tidak berpihak (impartiality), asas
kejujuran dalam memeriksa dan
memutus (fairness), asas beracara benar (prosedural due process), asas menerapkan hukum secara benar yang menjamin dan melindungi hak-hak
substantif pencari keadilan dan
kepentingan sosial (lingkungan), asas jaminan bebas dari segala tekanan dan
kekerasan dalam proses peradilan.1
Tindak pidana suap atau penyuapan merupakan salah satu modus tindak
1 Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana
dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2001. hlm. 22.
pidana korupsi yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang pada umumnya
memiliki posisi penting dalam
pemerintahan. Menurut Victor M. Situmorang tindak pidana penyuapan adalah kejahatan yang dilakukan oleh
pegawai negeri/pejabat dalam
pekerjaannya dan kejahatan mana termasuk salah satu perbuatan pidana yang tercantum dalam Pasal 209 Ayat
(1), Pasal 210 dan Pasal 419 KUHP2
Salah satu perkara tindak pidana
penyuapan di wilayah hukum
Kabupaten Lampung Barat adalah penyuapan dalam penerimaan anggota Satuan Polisi Pamong Praja. Menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, Satpol PP merupakan bagian perangkat daerah di bidang penegakan Perda, ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat (Ayat 1) Satpol PP dipimpin oleh seorang kepala satuan dan berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah. Setiap pelaku tindak pidana korupsi
dengan modus menyalahgunakan
jabatan diancam dengan pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan
2 Victor M. Situmorang, Tindak Pidana oleh
Pegawai Negeri Sipil, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hlm.38.
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana merupakan proses penegakan
hukum. Penegakan hukum dapat
menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah merupakan keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana
yang berlaku di Indonesia.3
Dalam Surat Dakwaan Nomor
Reg.Perk: PDS-05/LIWA/1211, Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Liwa mendakwa Drs. Farid Wijaya Bin Bahiki selaku Pegawai Negeri Sipil yang dalam hal ini menjabat sebagai Sebagai Kepala Kantor Satuan Polisi Pamong Praja telah meminta uang kepada Saksi Puji Widodo sebesar
Rp.20.000.000,- (dua puluh juta
rupiah), Riza Bangsawan, Rizani dan Damrin sebesar Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Terdakwa didakwa
3 Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana
Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm.44
melanggar Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 sebagaimana diubah dan
ditambah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Majelis Hakim Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi Tanjung Karang
menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp.50.000.000,- dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak
dapat dibayarkan diganti dengan
pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. Permasalahan penelitian ini adalah: a. Bagaimanakah penegakan hukum
pidana terhadap tindak pidana
penyuapan pada penerimaan
anggota Satuan Polisi Pamong Praja Lampung Barat
b. Apakah faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana
penyuapan pada penerimaan
anggota Satuan Polisi Pamong Praja di Pemerintahan Daerah Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis
empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
II. Pembahasan
A. Penegakan Hukum Pidana
Terhadap tindak pidana penyuapan pada Penerimaan Anggota Satuan Polisi Pamong Praja Lampung Barat.
Penegakan hukum pidana adalah upaya aparat penegak hukum untuk
menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum
pada era modernisasi dan
globalisasi saat ini dapat
terlaksana, apabila berbagai
dimensi kehidupan hukum selalu
menjaga keselarasan,
keseimbangan dan keserasian
antara moralitas sipil yang
didasarkan oleh nilai nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi
berbagai pihak termasuk
masyarakat dalam kerangka
pencapaian tujuan adalah
keharusan untuk melihat
penegakan hukum pidana sebagai
sistem peradilan pidana4
Penegakan hukum pidana
dilaksanakan melalui beberapa
tahap kebijakan yaitu : 1. Tahap Formulasi
Tahap formulasi merupakan tahap
penegakan hukum pidana in
absracto oleh badan pembuat undang-undang. Dalam tahap ini
pembuat undang undang
melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang
akan datang, kemudian
merumuskannya dalam bentuk
perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil yang paling baik
dalam arti memenuhi syarat
keadilan dan daya guna. Tahap ini
juga disebut tahap kebijakan
legislatif.
4
Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan Dan
Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas
Toleransi, Pusat Keadilan Dan Pengabdian Hukum, Jakarta,1994,hlm.76.
Peraturan perundang-undangan
terkait dengan penegakan hukum tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggotya Satuan Polisi Pamong Praja Lampung Barat, yaitu pasal 209 ayat (1) kuhp, pasal 419 KUHP, Pasal 12 huruf e jo pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. 2. Tahap Aplikasi
Tahap aplikasi merupakan tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan. a. Penyidikan
Menurut Pasal 1 Ayat (13)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, penyidikan
adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Menurut Pasal 1 Ayat (10)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, penyidik
adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan.
Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian yang diangkat oleh
Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi
wewenang tertentu dalam
melakukan tugas penyidikan yang
diatur dalam undang-undang.
(Pasal 1 Ayat 12).
Penyidikan dilakukan untuk
mencari serta mengumpulkan
bukti-bukti yang pada tahap
pertama harus dapat memberikan
keyakinan, walaupun sifatnya
masih sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau tentang tindak pidana yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya.
Tujuan penyidikan secara konkrit
tindakan penyidikan dapat
diperinci sebagai tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mendapatkan keterangan tentang tindak pidana apa yang dilakukan, kapan tindak pidana dilakukan,
dengan apa tindak pidana
dilakukan, bagaimana tindak
pidana dilakukan, mengapa tindak
pidana dilakukan dan siapa
pembuatnya atau yang melakukan tindak pidana penyuapan dalam penerimaan anggota Satpol PP.
Berdasarkan hasil wawancara
dengan Agus Sudarno,5 diketahui
bahwa penyidikan terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat
merupakan bagian dari tugas
kepolisian sebagai penegak hukum
yang berupaya semaksimal
mungkin dalam melakukan
berbagai langkah strategis dan
konstruktif dalam rangka
mewujudkan keamanan dalam
5
Penyidik Tipikor di Kepolisian Daerah Lampung
negeri yang meliputi terpeliharanya
keamanan dan ketertiban
masyarakat, tertib dan tegaknya
hukum. Penyelidikan dan
penyidikan terhadap tindak pidana
penyuapan pada penerimaan
anggota Satpol PP Lampung Barat,
dilaksanakan setelah menerima
laporan dari masyarakat tentang adanya tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat. Atas dasar
laporan tersebut maka
dilaksanakanlah tindakan awal,
yaitu penyelidikan, karena laporan tersebut harus didukung oleh bukti-bukti yang kuat untuk menentukan apakah termasuk sebagai tindak
pidana atau bukan. Dalam
penyelidikan ini, rangkaian
tindakan penyelidik bertujuan
untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana, guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.
b. Dakwaan
Menurut Ahmad Attamimi,6 setelah
bukti-bukti dikumpulkan dan yang diduga tersangka telah ditemukan maka penyidik menilai dengan cermat, apakah cukup bukti untuk
dilimpahkan kepada Penuntut
Umum (kejaksaan) atau ternyata bukan tindak pidana. Jika penyidik
berpendapat bahwa peristiwa
tersebut bukan merupakan tindak pidana maka penyidikan dihentikan
demi hukum. Pemberhentian
penyidikan ini dibertahukan kepada
Penuntut Umum dan kepada
tersangka atau keluarganya.
Berdasarkan pemberhentian
penyidikan tersebut, jika Penuntut
Umum atau pihak ketiga yang berkepentingan, dapat mengajukan praperadilan kepada Pengadilan Negeri yang akan memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan. Jika Pengadilan Negeri sependapat dengan penyidik maka penghentian penyidikan sah, tetapi
jika Pengadilan Negeri tidak
sependapat dengan penyidikan,
maka penyidikan wajib dilanjutkan. Setelah selesai penyidikan, berkas diserahkan pada penuntut Umum sebagaimana diatur Pasal 8 Ayat
(2) KUHAP. Penyerahan ini
dilakukan dua tahap:
a. Tahap pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas perkara. b. Dalam hal penyidik sudah
dianggap selesai, penyidik
menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum. Apabila pada penyerahan tahap
pertama, Penuntut Umum
berpendapat bahwa berkas kurang
lengkap maka ia dapat
mengembalikan berkas perkara
kepada penyidik untuk dilengkapi disertai petunjuk dan yang kedua
melengkapi sendiri. Menurut
sistem KUHAP, penyidikan selesai atau dianggap selesai dalam hal: a. Dalam batas waktu 14 hari
penuntut umum tidak
mengembalikan berkas perkara,
atau apabila sebelun
berakhirnya batas waktu
tersebut penuntut umum
memberitahukan pada penyidik bahwa hasil penyidikan sudah lengkap.
b. Sesuai dengan ketentuan Pasal 110 Ayat (4) KUHAP jo Pasal
8 Ayat (3)
huruf b, dengan penyerahan tanggung jawab atas tersangka
dan barang bukti dari penyidik kepada penuntut umum.
c. Dalam hal penyidikan
dihentikan sesuai dengan
ketentuan Pasal 109 Ayat (2), yakni karena tidak terdapatnya cukup bukti, atau peristiwa
tersebut bukan merupakan
suatu tindak pidana, atau
penyidikan dihentikan demi hukum.
Menurut Ahmad Attamimi, hasil penyidikan oleh Kepolisian disusun dalam satu berkas yang selanjutnya
diserahkan kepada pihak
kejaksanaan untuk ditindak lanjuti sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, yaitu dibuat surat
dakwaan dan dilaksanakan
persidangan terhadap terdakwa. c. Pengadilan
Menurut Sutaji,7 setelah berkas perkara tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat dilimpahkan oleh penuntut umum ke pengadilan maka, sesuai dengan waktu yang
telah ditetapkan maka
dilaksanakanlah proses pengadilan terhadap terdakwa pelaku tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat.
Pengadilan Negeri semaksimal
mungkin menegakkan keadilan
melalui proses pengadilan, di mana berdasarkan bukti-bukti secara sah
dan meyakinkan, hakim
menjatuhkan hukuman kepada
terdakwa tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat .
BAP berguna sebagai bahan
pertimbangan atau alat bukti yang
dapat membantu Hakim dalam
menjatuhkan pidana kepada
terdakwa pelaku penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat. Menurut Pasal 183 KUHAP dinyatakan bahwa dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa, seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,
sehingga hakim memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
terdakwalah yang bersalah
melakukannya Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c).
Surat; (d). Petunjuk; (e).
Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan. Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup
untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan
kepadanya, sedangkan dalam ayat 3 dikatakan ketentuan tersebut
tidak berlaku apabila disertai
dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat 3, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana
penyuapan pada penerimaan
anggota Satpol PP Lampung Barat. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tanjung Karang
menjatuhkan pidana penjara
kepada Terdakwa selama 2 (dua)
tahun dan denda sebesar
Rp.50.000.000,- dengan ketentuan
apabila denda tersebut tidak dapat dibayarkan diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. Menurut Sutaji, ketika hakim dihadapkan pada suatu perkara maka dalam dirinya berlangsung suatu proses pemikiran untuk
kemudian memberikan
keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. Keputusan mengenai
peristiwanya, yaitu apakah
terdakwa telah melakukan
perbuatan yang dituduhkan
kepadanya, kemudian;
b. Keputusan mengenai
hukumannya, yaitu apakah
perbuatan yang dilakukan
terdakwa tersebut merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana, akhirnya;
c. Keputusan mengenai pidananya
apabila terdakwa memang
dapat dipidana.
Semua berkas penyidikan yang
dilakukan pihak kepolisian ini
kemudian dilimpahkan kepada pihak kejaksaan untuk proses hukum lebih lanjut kepada pelaku tindak pidana. BAP dalam hal ini dapat berguna sebagai salah satu alat bukti dan acuan bagi institusi penegak hukum yang
akan memproses tindak pidana
selanjutnya setelah penanganan kasus di pihak kepolisian selesai, yaitu pihak kejaksaan dan pengadilan.
3. Tahap Eksekusi
Tahap eksekusi merupakan tahap penegakan (pelaksanaan) hukum secara konkret oleh aparat-aparat
pelaksana pidana. Pemidanaan
bertujuan untuk mencegah
menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarat;
menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan tindak pidana;
memulihkan kesimbangan;
mendatangkan damai pada
masyarakat.
Eksekusi terhadap pelaku tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satuan Polisi Pamong Praja di Kabupaten Lampung Barat dilaksanakan dengan pemidanaan
sesuai vonis yang dijatuhkan
hakim, yaitu menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp.50.000.000,- dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dapat dibayarkan diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa,
yang untuk itu Penitera
mengirimkkan salinan surat
putusan kepada jaksa (Pasal 270
KUHAP). Eksekusi putusan
pengadilan baru dapat dilakukan oleh jaksa, setelah jaksa menerima salinan surat putusan dari panitera. B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Faktor-faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum pidana terhadap
tindak pidana penyuapan pada
penerimaan anggota Satuan Polisi Pamong Praja di Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut:
1. Faktor perundang-undangan
(substansi hukum)
Menurut Agus Sudarno, faktor perundang-undangan atau substansi
hukum yang mempengaruhi
penegakan hukum terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat adalah pihak kepolisian memiliki
landasan hukum dalam
melaksanakan penyidikan.
Landasan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian,
sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 1 Ayat (13), yang
menyatakan bahwa penyidikan
adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Sementara itu menurut Sutaji, faktor substansi hukum dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat adalah adanya ketentuan Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa faktor
substansi hukum yang
mempengaruhi penegakan hukum terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat adalah adanya landasan hukum bagi polisi dalam melaksanakan penyidikan yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian dan
KUHAP.
Menurut Agus Sudarno, faktor
penegak hukum yang
mempengaruhi penegakan hukum terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol
PP Lampung Barat adalah
profesionalisme petugas penyidik dan petugas penyidikan dalam melaksanakan penyidikan. Petugas yang telah terlatih dan terbiasa melaksanakan tugas penyidikan
sesuai kapasitasnya selaku
penyidik akan memperlancar
proses penyidikan.
Menurut penjelasan Heni
Siswanto,8 profesionalisme
dilaksanakan dalam melakukan
pemeriksaan tempat kejadian
perkara setelah menerima laporan dari masyarakat tentang adanya tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat, pemanggilan atau penangkapan tersangka, penahanan sementara, penyitaan barang bukti, pemeriksaan di muka pejabat penyidik, pembuatan Berita Acara, sampai pada pelimpahan perkara kepada penuntut umum untuk dilakukan tindakan hukum lebih lanjut sesuai dengan hukum yang berlaku.
Profesionalisme petugas dalam
proses penyidikan ini selaras
dengan tujuan pokok penyidikan, yaitu utuk menemukan kebenaran dan menegakkan keadilan, bukan mencari-cari kesalahan seseorang.
Dengan demikian, seseorang
penyidik dituntut untuk bekerja secara obyektif, tidak sewenang-wenang. Selain itu, pofesionalisme
8
Dosen Hukum Pidana di Fakutas Hukum Universitas Lampung
petugas dalam melaksanakan
penyidikan dilaksanakan untuk
mencapai tujuan yaitu mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib
dan tegaknya hukum,
terselenggaranya perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat, serta
terbinanya ketenteraman
masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
Sementara itu menurut Sutaji, hakim sebagai aparat penegak
hukum juga memiliki
profesionalisme dalam
melaksanakan tugasnya. Dalam memutuskan suatu perkara hakim harus cermat, teliti, hakim juga
dapat menggunakan teori
pembuktian didasarkan keyakinan
dengan alasan logis, yaitu
memutuskan suatu perkara
berdasarkan kepada keyakinan
hakim sampai batas tertentu,
maksudnya keyakinan itu harus disertai dengan suatu kesimpulan yang bersarkan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi putusan hakim didasarkan pada suatu motivasi yang disebut sistem pembuktian bebas, karena hakim bebas untuk menyebutkan alasan-alasan keyakinannya.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa faktor
penegak hukum yang
mempengaruhi penegakan hukum terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat adalah adanya profesionalisme aparat penegak
hukum mulai dari kepolisian
sampai pengadilan, sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya
masing-masing dalam sistem peradilan pidana.
3. Faktor sarana dan fasilitas
Menurut Agus Sudarno, faktor
sarana dan fasilitas yang
mempengaruhi penegakan hukum terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol
PP Lampung Barat adalah
ketersediaan sarana dan fasilitas
yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan penyidikan sehingga memungkinkan penyidikan dapat
dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya. Adapun peralatan teknis yang secara langsung dipergunakan dalam penyidikan seperti peralatan
komunikasi, transportasi dan
teknologi informasi seperti
komputer, faximili, internet dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa kemajuan
sarana dan prasara, berupa
teknologi komunikasi dan
informasi dapat membantu aparat
penegak hukum dalam
melaksanakan tugas, mulai dari proses penyidikan sampai dengan putusan pengadilan.
4. Faktor masyarakat
Menurut Agus Sudarno, faktor masyarakat yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat
adalah adanya kesadaran
masyarakat, terutama pendaftar
anggota Satpol PP dalam
melakukan pencegahan terhadap
potensi penyuapan pada
penerimaan anggota Satpol PP
Lampung Barat yaitu dengan
menerapkan prinsip kejujuran
dalam penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat.
Menurut penjelasan Heni Siswanto, faktor masyarakat yang membantu hakim dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol
PP Lampung Barat adalah
kesediaan atau kemauan
masyarakat untuk menjadi saksi dalam persidangan. Adanya saksi
dalam persidangan merupakan
salah satu alat bukti yang dapat
membantu hakim dalam
menjatuhkan pidana kepada
terdakwa sesuai kesalahan yang dilakukannya.
Berdasarkan uraian di atas maka
dapat dinyatakan bahwa
masyarakat dapat membantu proses penegakan hukum terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat, yaitu pendaftar anggota Satpol PP
yang berupaya mencegah
terjadinya tindak pidana dengan
menerapkan kehati-hatian atau
kewaspadaan terhadap calon
konsumen dan masyarakat yang bersedia menjadi saksi dalam
persidangan, sehingga dapat
membantu hakim dalam
menjatuhkan hukuman kepada
terdakwa sesuai dengan kesalahan
atau tindak pidana yang
dilakukannya. 5. Faktor kebudayaan
Menurut Sutaji, faktor kebudayaan yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap tindak pidana
penyuapan pada penerimaan
anggota Satpol PP Lampung Barat
adalah nilai-nilai dan norma
budaya yang diakui secara umum oleh masyarakat di Indonesia
bahwa tindakan penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP
Lampung Barat merupakan
pelanggaran terhadap norma dan nilai-nilai kebudayaan, sehingga pelakunya harus diberi hukuman yang setimpal karena mengambil hak milik orang lain. Penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat dalam tatanan
kebudayaan masyarakat di
Indonesia adalah hal yang tidak dibenarkan, sehingga penegakan
hukum oleh pihak kepolisian
terhadap para pelaku penyuapan pada penerimaan anggota Satpol
PP Lampung Barat dengan
sendirinya akan mendapatkan
dukungan dari kebudayaan yang ada dan diakui oleh masyarakat. Sementara itu menurut Sutaji,
kebudayaan Indonesia sangat
menghormati hak milik orang lain sehingga apapun alasan orang lain untuk mengambil hak tersebut
tanpa izin atau tanpa
sepengetahuan yang bersangkutan
adalah kejahatan yang harus
diberikan sanksi atau hukuman.
III. Kesimpulan
1. Penegakan hukum terhadap tindak
pidana penyuapan pada
penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat meliputi:
a. Penyidikan tindak pidana
penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat, dilakukan Kepolisian Resor Lampung Barat setelah menerima laporan dari korban
dan tindakan penyidikan
disusun dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
b. Dakwaan terhadap tindak
pidana penyuapan pada
penerimaan anggota Satpol PP
Lampung Barat, dilakukan
Kejaksanaan Negeri dan
dituangkan dalam surat
dakwaan dengan tuntutan
hukum sesuai dengan Pasal Pasal 12 huruf e jo Pasal 18
Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana
diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
c. Pengadilan terhadap tindak
pidana penyuapan pada
penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat, dilakukan oleh
hakim Pengadilan Negeri
Tanjung Karang, untuk
menegakkan keadilan
berdasarkan bukti-bukti secara sah dan meyakinkan.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat adalah sebagai berikut:
a. Faktor perundang-undangan
(substansi hukum), yaitu
adanya landasan hukum
Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian
dan KUHAP bagi aparat
penegak hukum dalam
melaksanakan penegakan
hukum terhadap pelaku
penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat.
b. Faktor penegak hukum, yaitu adanya profesionalisme aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan
penegakan hukum terhadap
pelaku penyuapan pada
penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat .
c. Faktor sarana dan fasilitas, yaitu adanya dukungan sarana dan fasilitas yang dibutuhkan
dalam penyidikan sampai
dengan putusan pengadilan, seperti peralatan komunikasi,
transportasi dan teknologi
informasi (komputer, faximili, internet dan sebagainya).
d. Faktor masyarakat, yaitu
adanya kesadaran masyarakat
untuk tidak memberikan
sejumlah uang kepada pejabat
atau pihak tertentu yang
mengaku dapat meluluskan
peserta tes Satpol PP dan kesediaan masyarakat menjadi saksi dalam pengadilan.
e. Faktor kebudayaan, yaitu
adanya nilai dan norma bahwa penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat merupakan pelanggaran terhadap hak milik orang lain yang harus diberi hukuman setimpal sesuai dengan hukum yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rifai. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika,
Jakarta.2010.
Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. Barda Nawawi Arief dan Muladi.,
Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni.Bandung. 1992
Eddy Mulyadi Soepardi. Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi. Fakutals Hukum Universitas Pakuan Bogor. 2009.
Abdul Halim. Pemberantasan Korupsi. Rajawali Press. Jakarta. 2004. Lilik Mulyadi. Kekuasaan Kehakiman,
Bina Ilmu, Surabaya.2007. P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996.
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993.
Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi). Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta. 1994. Soerjono Soekanto. Pengantar
Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983.
Syed Husein Alatas., Sosiologi
Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, LP3ES. Jakarta. 1983
pidana. Rineka Cipta. Jakarta. 2001
Edi Setiadi. Permasalahan Dan Asas -Asas Pertanggungjawaban Pidana.Alumni.Bandung.1997 Satjipto Rahardjo. Hukum Dalam
Perspektif Sejarah Dan Perubahan Sosial Dalam Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Politik Hukum Nasional.
Rajawali.Jakarta.1996
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 4
Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman
Republik Indonesia
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1983 Tentang Pedoman
Pelaksaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Pemberlakuan Kitab
Undang-Undang Hukum
Pidana
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1982 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana