• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMAMPUAN MENENTUKANRELASI MAKNA PADA SISWA KELAS XI SMA N 1 BANJIT WAY KANAN TAHUN PELAJARAN 2012/2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEMAMPUAN MENENTUKANRELASI MAKNA PADA SISWA KELAS XI SMA N 1 BANJIT WAY KANAN TAHUN PELAJARAN 2012/2013"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

KEMAMPUAN MENENTUKAN RELASI MAKNA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 BANJIT WAY KANAN

TAHUN PELAJARAN 2012/2013

Oleh

YETNI HALIMAH

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

pada

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

KEMAMPUAN MENENTUKANRELASI MAKNA PADA SISWA KELAS XI SMA N 1 BANJIT WAY KANAN

TAHUN PELAJARAN 2012/2013

Oleh

Yetni Halimah

Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kemampuan menentukan relasi makna pada siswa kelas XI SMA N 1 Banjit Way Kanan tahun pelajaran 2012/2013. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan kemampuan siswa kelas XI SMA N 1 Banjit Way Kanan dalam menentukan relasi makna. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi. Teknik untuk mengumpulkan data pada penelitian ini yaitu tes tertulis dengan menggunakan isntrumen.

(3)
(4)
(5)
(6)

DAFTARISI

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

RIWAYAT HIDUP ... iv

MOTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

SANWACANA ... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GRAFIK ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Ruang Lingkup ... 5

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Relasi Makna ... 6

2.2 Jenis-Jenis Relasi Makna ... 7

2.2.1 Sinonim ... 8

2.2.2 Antonim ... 15

2.2.3 Homonim ... 20

2.2.4 Hiponim dan Hipernim ... 25

2.2.5 Polisemi ... 27

2.7 Perbedaan Homonim dan Polisemi ... 30

2.7 Kemampuan Menentukan Relasi Makna ... 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 36

3.2 Populasi ... 36

3.3 Sampel ... 37

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 38

(7)

4.1.2 Data Skor Kemampuan Menentukan Relasi Makna Keantoniman ... 47

4.1.3 Data Skor Kemampuan Menentukan Relasi Makna Kehomoniman ... 49

4.1.4 Data Skor Kemampuan Menentukan Relasi Makna Kehiponiman ... 50

4.1.5 Data Skor Kemampuan Menentukan Relasi makna Kepolisemian ... 51

4.2 Pembahasan Hasil ... 53

4.2.1 Kemampuan Menentukan Relasi Makna Kesinoniman ... 54

4.2.2 Kemampuan Menentukan Relasi Makna Keantoniman ... 58

4.2.3 Kemampuan Menentukan Relasi Makna Kehomoniman... 63

4.2.4 Kemampuan Menentukan Relasi Makna Kehiponiman ... 67

4.2.5 Kemampuan Menentukan Relasi makna Kepolisemian... 70

4.2.6 Perbandingan Kemampuan Menentukan Relasi Makna Per Aspek ... 74

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 76

5.2 Saran ... 77

(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Manusia berkomunikasi menggunakan bahasa. Manusia berkomunikasi untuk mengungkapkan persepsi pikirannya pada orang lain menggunakan kata atau kalimat. Kegiatan tersebut dilakukan untuk mengemukakan pendapat, melakukan kerja sama, bertukar pikiran dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Keraf dalam Suyanto (Keraf, 2011: 21), sebagai alat komunikasi bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Hal tersebut merupakan bukti bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang sangat membutuhkan bahasa untuk berkomunikasi.

Bahasa mempunyai dua aspek, yaitu aspek bentuk dan aspek makna. Aspek bentuk merujuk pada wujud visual suatu bahasa, sedangkan aspek makna merujuk pada pengertian yang ditimbulkan oleh wujud visual bahasa itu (Mustakim,1994: 24).

(9)

bergantung pada pemahaman lawan bicara. Kemampuan memahami suatu kata dilihat dari pengalaman seseorang itu dalam berbahasa. Misalnya, seseorang mengatakan nyari jahe „minum sari jahe‟ lawan bicaranya kurang mempunyai pengalaman mendengarkan atau mengetahui kata nyari jahe itu sehingga lawan bicara tidak memberikan respon atau malah kembali bertanya mengenai kata nyari jahe? Pemahaman lawan bicara juga sangat berperan dalam komunikasi.

Kemampuan berkomunikasi berhubungan erat dengan keterampilan berbahasa, yaitu mendengar, berbicara, membaca dan menulis. Di sekolah, dalam

pembelajaran bahasa Indonesia tidak lepas dari empat keterampilan tersebut. Hal itu dilakukan untuk menunjang kemajuan siswa dalam berbahasa. Baik secara lisan maupun tulisan. Setiap keterampilan berbahasa selalu berhubungan dengan kata dan maknanya. Siswa dikatakan menguasai keterampilan berbahasa apabila kosakata yang dimilikinya semakin banyak dan terus bertambah. Hal ini sesuai dengan pendapat Tarigan (1993: 2) yang mengungkapkan bahwa kualitas

keterampilan berbahasa seseorang jelas bergantung kepada kuantitas dan kualitas kosakata yang dimilikinya, semakin kaya kosakata yang dimiliki, semakin besar kemungkinan seseorang akan terampil berbahasa, semakin cerah dan jelas pula jalan pikiran orang itu.

Setiap bahasa memiliki relasi makna antara sebuah kata dengan kata. Chaer (1994: 82) berpendapat bahwa relasi makna menyangkut tentang kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan

(10)

Penelitian tentang relasi makna telah dilakukan oleh Lilis Suryani dengan judul “Kemampuan Memahami Relasi Makna Siswa Kelas VIII SMP Negeri Satu Atap

I Jati Agung Lampung Selatan tahun Pelajaran 2007/2008”, mahasiwa Program

Studi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Lampung. Simpulan dari penelitian tersebut bahwa kemampuan siswa kelas VII SMP Negeri Satu Atap I Jati Agung Lampung Selatan dalam memahami relasi-relasi makna secara total sebesar 67,86 dikategorikan cukup.

Subjek Penelitian yang sudah dilakukan adalah siswa kelas VII SMP Negeri Satu Atap I Lampung Selatan tahun pelajaran 2007/2008, sedangkan subjek penelitian yang digunakan oleh penulis adalah siswa kelas XI SMA Negeri 1 Banjit Wai Kanan. Penulis ingin mengetahui kemampuan siswa dalam menentukan relasi maka pada jenjang sekolah yang lebih tinggi, yaitu SMA.

Pada kurikulum KTSP 2006 mata pelajaran Bahasa Indonesia, pengajaran relasi makna tidak dituliskan di dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pengajaran mengenai relasi makna disisipkan pada kompetensi yang

berhubungan dengan kosakata, seperti standar kompetensi membaca, kompetensi dasar membaca cepat 250 kata per menit, disisipkan materi dengan tujuan siswa dapat menggunakan kata berpolisemi dan homonim.

(11)

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian menge-nai kemampuan menentukan relasi makna pada siswa kelas XI SMA Negeri 1 Banjit Wai Kanan. Penulis ingin mengetahui bagaimanakah kemampuan siswa da-lam menentukan relasi makna yang merupakan salah satu faktor penunjang penguasaan kosakata siswa.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, penulis merumuskan masalah dalam pene-litian ini adalah “Bagaimanakah kemampuan menentukan relasi makna pada sis -wa kelas XI SMA Negeri 1 Banjit tahun pelajaran 2012/2013?”

1.3Tujuan Penelitian

Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian di kelas XI SMA Negeri 1 Banjit tahun pelajaran 2012/2013 bertujuan untuk mendiskripsikan tingkat kemampuan siswa menentukan relasi makna

.

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian inis mempunyai dua manfaat, yaitu: 1) Praktis

a) menginformasikan kepada sekolah tentang tingkat kemampuan siswa menentukan relasi makna;

(12)

2) Teoretis

Bahan referensi untuk penelitian yang sejenis pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

1.5Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) subjek penelitian adalah siswa kelas XI SMA Negeri 1 Banjit tahun pelajaran 2012/2013;

2) objek penelitian adalah kemampuan menentukan relasi makna; 3) tempat penelitian di SMA N 1 Banjit Way Kanan;

(13)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Relasi Makna

Djajasudarma (1993: 5) berpendapat bahwa makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Artinya. setiap pertau-tan unsur-unsur bahasa menimbulkan makna tertentu. Makna sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar sesuai dengan kesepakatan pemakainya sehingga dapat saling mengerti. Sejalan dengan pendapat di atas, Soedjito (1990: 63) mengemu-kakan bahwa makna ialah hubungan antara bentuk bahasa dan barang (hal) yang diacunya.

Semantik leksikal adalah kajian semantik yang lebih memusatkan pada pembaha-san sistem makna yang terdapat dalam kata. Semantik leksikal memperhatikan makna yang terdapat di dalam kata sebagai satuan mandiri (Pateda, 1996: 74). Sejalan dengan Pateda, Keraf (2002: 34) mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan struktur leksikal adalah bermacam-macam relasi semantik yang terdapat pada kata. Hubungan antara kata itu dapat berwujud sinonim, polisemi, homonim, hiponim,dan antonim.

(14)

intensional, (d) analisis komponensial, (e) makna dan pemakaiannya, (f) kesinoniman, keantoniman, kehomoniman, dan kehiponiman. Secara umum hubungan antara satu makna dan makna yang lain secara leksikal dibedakan atas sinonim, antonim, penjamin makna, hipernim, dan hiponim (superordinal atau subordinal), homonim, dan polisemi (Parera, 2004: 60).

Penjamin makna adalah sebuah pernyataan XI menjamin makna dari pernyataan Y jika kebenaran pernyataan Y merupakan akibat dari kebenaran pernyataan XI. Contohnya, jika mengatakan “mawar”, maka sudah ada jaminan bahwa ia sebuah

bunga karena dalam makna “mawar” ada komponen “bunga”. Akan tetapi, jika

seorang berujar “Adik memetik bunga”, sudah tentu ada jaminan bahwa “Adik

memetik mawar”. Jika seorang berujar “Adik memetik mawar‟, maka sudah ada jaminan makna bahwa “Adik memetik bunga”.

Dari keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa relasi makna adalah hubungan atau pertalian antara bentuk bahasa dan barang (hal) yang telah disepakati bersa-ma oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti.

2.2 Jenis-Jenis Relasi Makna

(15)

(ambiguitas) (Chaer, 1994: 82). Pendapat lain menyebutkan bahwa relasi makna terbagi atas lima jenis, yaitu (1) sinonim, (2) antonim, (3) homonim, (4) polisemi, (5) hiponim (Soedjito, 1990: 76).

Berdasarkan pendapat di atas, dalam penelitian ini penulis mengacu pada pembe-daan jenis-jenis relasi makna menurut Soedjito. Pembagian jenis-jenis relasi mak-na yang diungkapkan Soedjito, sesuai dengan aspek relasi makna yang dipelajari di SMA. Aspek relasi makna yang dipelajari di SMA adalah sinonim, antonim, homonim, homofon, dan homograf, hiponimdan hipernim, serta polisemi.

2.2.1 Sinonim

Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno,yaitu onama yang berarti „nama‟, dan syn yang berarti „dengan‟. Maka secara harfiah kata sino-nimi

berarti „nama lain untuk benda atau hal yang sama‟. Secara semantik Verhaar dalam

(Chaer, 2002: 82) mendefinisikan sinonim sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ung-0kapan lain.

Sinonim ialah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain; kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata, atau kalimat, walaupun umumnya yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja (Kridalaksana, 2001: 198). Parera (2004: 61) menyatakan bahwa sinonim ialah dua ujaran, apakah ujaran dalam ben-tuk morfem terikat, kata, frase, atau kalimat yang menunjukan kesamaan makna.

(16)

satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, penulis mengacu pada pendapat Verhaar yang mengungkapkan bahwa si-nonim adalah ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.

Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Pada dasarnya, dua buah kata yang bersinonim itu kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja, kesamaannya tidak bersifat mutlak. Kata-kata bersinonim maknanya tidak benar-benar sama. Meskipun kecil, tentu ada perbedaannya. Pen-dapat Soedjito (1990: 77) mengenai perbedaan makna sinonim Pen-dapat dilihat de-ngan memperhatikan antara lain: (a) makna dasar dan makna tambahannya, (b) nilai rasanya (makna emotifnya), (c) kelaziman pemakaiannya (kolokasinya), dan (d) distribusinya.

a. Makna Dasar dan Makna Tambahan

Kata-kata yang bersinonim seperti kata menatap, mengintai, mengintip, dan kata menculik, menyerobot, merampas, serta kata menjinjing, membimbing,menuntun, dan sebagainya dapat dilihat bedanya berdasarkan makna dasar dan makna tamba-hannya. Makna dasar bersifat umum (lebih luas), sedangkan makna tambahan ber-sifat khusus.

(17)

Tabel 2.1 Contoh Makna Dasar dan Makna Tambahan

Jelas terlihat bahwa kata-kata bersinonim pada contoh 1, mengandung makna da-sar melihat. Makna dasar (umum) melihat ini terangkum dalam makna menatap,

Sinonim Makna Dasar Makna Tambahan

1. menatap mengintai mengintip Melihat melihat melihat dekat-dekat dengan teliti atau seksama dengan sembunyi-sembunyi bermaksud hendak mengetahui gerak-gerik orang melalui lubang kecil, cela-cela, semak-semak, dan sebagainya 2. menculik menyerobot merampas Mengambil mengambil mengambil

orang degan niat jahat (menculik tokoh/ pemimpin politik) dengan sewenang-wenang hak orang lain (sepedahnya diserobot orang di depan toko) dengan paksa (merampas barang dagangan, merampas hakorang lain) 3. menjinjing membimbing menuntun Membawa membawa membawa

(18)

mengintai, mengintip, dan sebagainya. Pada contoh 2, mengandung makna dasar mengambil. Makna dasar (umum) mengambil ini terangkum dalam makna menculik, menyerobot, merampas, dan sebagainya. Begitu pula dengan contoh 3, mengandung makna dasar membawa. Makna dasar (umum) membawa ini terang-kum dalam makna menjinjing, membimbing, menuntun, dan sebagainya. Perbeda-an kata-kata bersinonim seperti contoh di atas terletak pada cara melakukannya.

b. Nilai Rasanya (Makna Emotifnya)

Kata-kata bersinonim seperti mati, meningga, mangkat, tewas, gugur, dan mam-pus dapat dilihat bedanya berdasarkan nilai rasanya. Nilai rasa yang berbeda me-nyebabkan perbedaan dalam kelaziman konteks wacana yang dimaksudkan.

Contoh:

mati

XImeninggal XImampus XIgugur meninggal XImati XImangkat XItewas

mangkat XImati XImeninggal XIgugur XItewas

tewas XImati XImeninggal XImangkat XIgugur 1. Anjingnya tertabrak mobil.

2. Ayahnya akibat serangan darah tinggi.

3. Raja Hayam Wuruk pada tahun 1962 dalam

(19)

Pada suatu tempat kita mungkin dapat menukar kata mati, meninggal, mangkat, tewas, gugur, dan mampus; tetapi di tempat lain tidak dapat. Hal ini sesuai dengan nuansa intensionalitas yang diberikan kata mati, meninggal, mangkat, tewas, gugur, dan mampus. Kalau Ali, kucing, dan pohon bisa mati; tetapi yang bisa meninggal hanya Ali, sedangkan kucing dan pohon tidak bisa. Gelandangan tak bernama. Misalnya, andai detak jantugnya berhenti selamanya, cukup disebut mati, sementara mereka yang memiliki kelas sosial menengah ke atas, dinyatakan meninggal atau wafat.

c. Kelaziman Pemakaiannya

Kata-kata bersinonim seperti besar, raya, agung, akbar, dan raksasa dapat dilihat bedanya berdasarkan kelaziman pemakaiannya. Maksudnya, untuk dapat menggu-nakannya tidak ada jalan lain kecuali menghafalkannya.

Contoh:

Sinonim: besar, raya, agung, akbar, dan raksasa

Kata besar, raya, agung, akbar, dan raksasa bisa digunakan untuk mengatakan: jalan

hari rumah kota

jalan hari kaya tamu jaksa mahkamah

1. besar

2. raya

(20)

akan tetapi, menurut kelazimannya kata besar, raya, agung, akbar, dan raksasa tidak dapat untuk mengatakan:

*rumah *kota *jaksa *rumah *jalan *kaya *jaksa besar

Sinonim: bagus, cantik, molek, dan indah.

Kata cantik, bagus, indah, molek, dan elok sudah tentu kita bisa atau biasa menggunakan dan mengatakan:

bagus indah

cantik molek elok

Akan tetapi, menurut kelazimannya (kebiasaan, yang sudah umum), kata bagus, indah, molek, dan elok tidak dapat menggunakan atau tidak bisa mengatakan:

cantik molek elok

bagus indah Keterangan tanda

* = tidak lazim

d. Distribusinya raya

agung

1. tulisan

2. gadis yang

* tulisan

(21)

Kata-kata bersinonim dapat dilihat dari distribusinya, yaitu posisi yang mungkin diduduki oleh unsur bahasa.

Contoh:

Sinonim Distribusi Sama Distribusi Tidak Sama

(dapat saling menggantikan) (tidak dapat saling menggantikan)

1. Sinonim untuk, buat, bagi, dan guna bagi buat untuk guna

Kata buat dan untuk dapat menggantikan kata bagi, sedangkan kata guna terasa ganjil.

untuk buat * bagi * guna

Kata buat dapat menggantikan kata untuk, sedangkan kata bagi dan guna tidak dapat.

2. Sinonim sudah dan telah

sudah sudah

telah * telah

kata sudah dan telah berdistribusi sama (dapat saling menggantikan) jika kedua-nya terletak di depan kata yang diterangkan. Kata sudah dapat teletak di belakang kata yang diterangkan, sedangkan kata telah tidak dapat. Jadi, kata sudah yang terletak di belakang kata yang diterangkan tidak lazim dapat digantikan dengan kata telah. Keterangan tanda

* = tidak lazim

... bermanfaat nelayan

Ayah membeli pena Ani.

(22)

? = diragukan ketepatannya XI = tidak tepat atau salah

2.2.2 Antonim

Kata antonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti „nama‟, dan anti yang berarti „melawan‟. Maka secara harfiah kata antonimi berarti „nama lain untuk benda lain pula‟. Secara semantik menurut Verhaar dalam (Chaer, 2002:

88) mendefinisikan antonimi sebagai ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Sementara itu, Kridalaksana (2001: 15) mengungkapkan bahwa antonimi adalah leksem yang berpasangan secara antonim.

Seperti halnya sinonim, antonim pun tidak bersifat mutlak. Ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya di-anggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Jadi, hanya didi-anggap kebalikan bu-kan mutlak berlawanan (Chaer, 1994: 89).

Berdasakan pendapat para ahli di atas, penulis mengacu pada pendapat Chaer yang mengungkapkan bahwa antonim adalah ungkapan (biasanya berupa kata, te-tapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebali-kan dari makna ungkapan lain. Jadi, hanya dianggap kebalikan bukan mutlak ber-lawanan. Kata-kata yang berlawanan dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu: (a) berlawa-nan kembar, (b) berlawanan bertingkat, (c) berlawanan kebalikan (Soedjito, 1990: 83).

(23)

Antonim berlawanan kembar maksudnya terbatas pada dua unsur saja. Di sini ter-dapat pertentangan makna secara mutlak. Pada umumnya yang tergolong kata-kata berlawanan kembar berupa kata benda.

Contoh:

laki-laki XI perempuan jantan XI betina

hidup XI mati gerak XI diam

Pada contoh kata laki-laki dan perempuan, hubungan komplementer ataupun dikotomi mutlak sepenuhnya dapat berlaku karena yang tidak memiliki ciri perem-puan adalah laki-laki. Jadi, proses berpikir dalam oposisi ini meliputi: (1) laki-laki adalah bukan perempuan, (2) bukan perempuan adalah laki-laki, (3) perempuan adalah bukan lai-laki, serta (4) bukan laki adalah perempuan, sedangkan un-tuk yang bukan laki-laki dan bukan perempuan sulit untuk menemukan lawan da-lam oposisi, sehingga mereka tetap saja berkumpul dalam kelompoknya sendiri. Pada contoh kata jantan dan betina hubungan komplementer ataupun dikotomi mutlak dan proses berpikir yang sama dapat berlaku karena jantan berarti „bukan betina‟, betina berarti „bukan jantan‟, dan bukan jantan berarti „betina‟.

Contoh lain oposisi mutlak ini adalah kata hidup dan mati. Antara hidup dan mati terdapat batas yang mutlak, sebab sesuatu yang hidup tentu tidak (belum) mati; sedangkan sesuatu yang mati tentu sudah tidak hidup lagi. Memang menuru ke-dokteran ada keadaan yang disebut “koma”, yaitu keadaan seseorang yang hidup

(24)

sudah tidak dapat berbuat apa-apa seperti manusia hidup. Yang tersisa sebagai bukti hidup hanyalah detak jantungnya saja. Begitu juga dengan contoh kata gerak dan diam. Sesuatu yang (ber) gerak tentu tidak dalam keadaan diam; dan sesuatu yang diam tentu tidak dalam keadaan (ber) gerak. Kedua proses ini tidak dapat berlangsung bersamaan, tetapi secara bergantian.

b. Berlawanan Bertingkat

Antonim berlawanan bertingkat maksudnya antara dua kata yang berlawanan ma-sih terdapat tingkatan-tingkatan. Pertentangan makna tidak secara mutlak, tetapi bersifat garadasi (terdapat tingkatan-tingkatan makna pada kata tersebut). Pada u-mumnya yang tergolong kata-kata berlawanan bertingkat berupa kata sifat.

Contoh:

kaya XI miskin panas XI dingin besar XI kecil tua XI muda

(25)

yang tidak panas itu berarti dingin, sebab yang tidak panas da-pat berarti agak dingin, cukup dingin, dingin, serta sangat dingin atau dingin seka-li, dan tidak dikembangkan (2) yang tidak dingin adalah panas, karena tidak di-ngin dapat berarti agak panas, cukup panas, panas, dan sangat panas atau panas sekali. Dengan kata lain, ketidakmutlakan makna dalam oposisi ini tampak dari adanya gradasi seperti agak dingin, cukup dingin, dingin, sangat dingin, atau di-ngin sekali. Serta agak panas, cukup panas, panas, dan sangat panas atau panas sekali.

Contoh lain, yaitu kata besar dan kecil. Dalam deretan gajah, banteng, dan kele-dai, maka keledai menjadi yang paling kecil. Dalam deretan gajah, kambing, dan keledai, keledai bukan yang pling kecil, dan dalam deretan kucing, kambing, dan keledai, keledai menjadi yang paling besar. Sedangkan yang paling kecilnya ada-lah kucing. Begitu pula pada contoh kata tua dan muda. Dapat dikatakan bahwa tua artinya „tidak muda‟ dan muda artinya „tidak tua‟, tetapi tidak muda tidak se-lalu berarti „tua‟. Tua

dan muda dapat berlaku bersamaan pada satu subjek, ber-gantung pada penerapannya. Ayah saya sudah tua bila dibandingkan dengan saya, anaknya, yang masih muda. Tetapi ayah saya masih muda bila dibandingkan de-ngan kakek yang sudah tua. Jadi, tua atau mudanya ayah dapat dibandingkan dari sudut saya, anaknya, atau dari kakek. Tua dan muda dapat dianggap ujung dan pangkal suatu jenjang yang bertaraf dapat diukur. Jadi, jelas batasan pada oposisi ini relatif sekali.

c. Berlawanan Kebalikan

(26)

yang satu karena ada kata yang lain yang menjadi oposisinya. Pada u-mumnya yang tergolong kata-kata berlawanan kebalikan berupa kata benda atau kata kerja.

Contoh:

menjual XI membeli memberi XI menerima suami XI istri

buruh XI majikan

Kata menjual beroposisi dengan kata membeli. Kata menjual dan membeli walau-pun maknanya berlawanan, tetapi proses kejadiannya berlaku serempak. Proses menjual dan proses membeli terjadi pada waktu yang bersamaan, bisa dikatakan tak akan ada proses menjual jika tak ada proses membeli. Begitu pula pada contoh kata memberi dan menerima. Kata memberi dan menerima walaupun maknanya berlawanan, tetapi proses kejadiannya berlaku serempak. Proses memberi dan pro-ses menerima terjadi pada waktu yang bersamaan, bisa dikatakan tak akan ada proses memberi jika tak ada proses menerima.

Contoh lain, kata suami beroposisi dengan kata istri. Kedua kata ini hadir serem-pak, tak akan ada seorang disebut sebagai suami jika dia tidak mempunyai istri. Begitu pula sebaliknya, tidak mungkin seorang wanita disebut seorang istri jika dia tidak mempunyai suami. Andai kata suaminya meninggal, maka status “keis-trian”nya sudah tidak ada lagi. Dia mungkin masih bisa disebut “bekas istri”; te-tapi yang tepat

(27)

tak akan ada seorang disebut sebagai buruh jika dia tidak mempunyai majikan. Begitu pula sebaliknya, tidak mungkin seorang disebut seba-gai majikan jika dia tidak mempunyaiseorang buruh.

2.2.3 Homonim

Istilah homonim (Inggris: homonymy) berasal dari bahasa Yunani Kuno, onama = nama dan homos = sama). Secara harafiah homonim adalah nama sama untuk benda yang berlainan (Pateda, 2001: 211). Homonim adalah kata-kata yang bentuk atau bunyinya sama atau mirip dengan benda lain tetapi maknanya berbeda (Sudaryat, 2008: 42). Parera (2004: 81) mengemukakan bahwa homonim adalah dua ujaran dalam bentuk kata yang sama lafalnya dan atau sama jaannya/ tulisan-nya. Sedangkan, Putrayasa (2010: 118) mengemukakan bahwa homonim adalah dua buah kata atau lebih yang sama bentuknya, tetapi maknanya berlainan. De-ngan demikian, bentuk homonim dapat dibedakan berdasarkan lafalnya dan berda-sarkan tulisannya.

(28)

“kebetulan” sama; maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupa-kan

kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Berdasarkan beberapa penda-pat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa homonim adalah ungkapan (kata atau frasa) yang sama bentuk tetapi memiliki makna yang berbeda.

Contoh kata homonim

(1) Bisa I : bisa menulis„dapat‟ Bisa II : bisa ular „racun‟

(2) Buku I : buku kaki/tangan „tulang sendi‟ Buku II : buku tulis „kitab‟

(berasal dari bahasa Inggris: book)

Pada contoh (1) antara kata bisa yang berarti „dapat‟ dengan bisa yang berarti „ra -cun‟, contoh (2) antara buku yang berarti „tulang sendi‟ dengan buku yang berarti „kitab‟ disebut homonim. Jadi, kata bisa yang pertama berhomonim dengan kata bisa

yang kedua, kata buku yang pertama berhomonim dengan kata buku yang kedua.

Berkaitan dengan homonim, ada yang disebut homofon dan homograf. Homofon merupakan homonim yang sama bunyinya tetapi beda tulisannya dan maknanya, sedangkan homograf merupakan homofon yang sama tulisannya tetapi beda bunyi dan maknanya. Oleh karena itu, terdapat beberapa jenis homonim seperti homo-nim homograf, homonim yang homofon, dan homonim yang homograf dan homo-fon yang dipaparkan berikut ini.

a. Homonim yang Homograf

(29)

(Ensiklopedi, 2007: 326). Sedangkan, Homonim homograf adalah homonim yang sama tulisannya tetapi berbeda ucapan dan maknanya (Sudaryat, 2008: 42).

Homografi berasal dari kata homo yang berarti „sama‟ dan kata grafi yang berarti „tulisan‟. Maka, homograf dapat diartikan dua bentuk bahasa yang sama ejaannya,

tetapi berbeda lafalnya (Parera, 2004: 81). Sementara itu, Chaer (2007: 303) mengungkapkan bahwa homograf adalah mengacu pada bentuk ujaran yang sama otografinya atau ejaannya, tetapi ucapan dan maknanya tidak sama. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat diisimpulkan bahwa homograf adalah kata-kata yang dalam bentuk tulisannya sama tetapi beda dalam pelafalannya dan beda pula maknanya.

Contoh:

(3) teras : „bagian kayu yang keras‟ „intisari‟ teras : „lantai rumah di depannya‟

(4) mental : „terpelanting‟ mental : „batin, jiwa, pikiran‟

Contoh (3) disebut homograf karena pada contoh di atas memiliki tulisan yang sama tetapi lafal atau bunyinya tidak sama. Kata teras yang dilafalkan [təras] dan berarti „hati‟ „inti kayu‟ dengan kata teras yang dilafalkan [tϵ ras] dan berarti „lan-tai yang

agak ketinggian di depan rumah‟. Contoh (4) kata mental yang dilafalkan [məntal] dan berarti „terpelanting‟ dengan kata mental yang dilafalkan [mϵ ntal] dan berarti „batin, jiwa‟.

(30)

Homofoni berasal dari kata homo yang berarti „sama‟ dan kata fon yang berarti „bunyi‟, maka homofon dapat diartikan homonim yang sama bunyinya, tetapi ber

-beda tulisan dan makna (Sudaryat, 2008: 42). Adapun yang berpendapat bahwa homofon berasal dari istilah Inggris homophone yang bermakna kata yang lafal-nya sama dengan kata yang lain, tetapi ejaan dan artinya berbeda (Ensiklopedi, 2007: 326). Sejalan dengan itu, Parera (2004: 81) mengemukakan homofon adalah dua ujaran dalam bentuk kata yang sama lafalnya, tetapi berlainan tulisannya. Se-mentara itu, Chaer (2007:303) menyatakan bahwa homofon merupakan adanya kesamaan bunyi antara dua buah ujaran, tanpa memperhatikan ejaannya, apakah ejaannya sama ataukah berbeda. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa homonim yang homofon adalah kata yang sama bunyi (pelafalan) tetapi berbeda tulisannya.

Contoh:

(5) bang I : BangAnton „kakak laki-laki‟

bank II : BankBNI „tempat simpan pinjam uang‟

(6) sanksi I : sanksi „akibat, konsekuensi‟ sangsi II : Saya sangsi„ragu‟

Contoh (5) adalah kata bang dan bank, bang adalah bentuk singkat dari kata a-bang yang berarti „kakak laki-laki‟, sedangkan bank adalah nama lembaga yang mengurus

lalu lintas uang atau tempat simpan pinjam uang. Contoh (6) adalah kata sanksi yang berhomofon dengan kata sangsi. Sanksi berarti „akibat, konse-kuensi‟ seperti dalam kalimat Apa sanksinya kalau belum membayar SPP? Se-dangkan kata sangsi yang berarti „ragu‟ seperti dalam kalimat Saya sangsi apakah dia akan menyelesaikan

(31)

c. Homonim yang Homograf dan Homofon

Homonim yang homograf dan homofon yakni homonim murni yang sama bunyi dan tulisannya tetapi berbeda maknanya (Sudaryat, 2008: 42). Dapat disimpulkan bahwa homonim yang homograf dan homofon adalah homonim itu sendiri.

Contoh:

(7) beruang : „nama binatang‟

beruang : „memiliki uang‟

beruang : „memiliki ruang‟

Ketiga kata di atas akan tampak berbeda bila dimasukkan pada sebuah kalimat. Beruang kutub itu berwarna putih, kata beruang pada kalimat tersebut nampak bermakna nama binatang. Dan pada kalimat, orang kaya itu adalah orang yang beruang banyak. Beruang pada kalimat tersebut bermakna orang yang mempunyai banyak uang. Sedangkan kata beruang berikutnya akan bermakna banyak ruang bila dibuat kalimat seperti berikut, sekolah itu beruang sepuluh.

2.2.3.1 Faktor Penyebab Terjadinya Homonim

Menurut Chaer (2009: 95) ada dua kemungkinan sebab terjadinya homonim ini, yaitu sebagai berikut.

(32)

bahasa Melayu/dialek Jakarta. Kata asal yang berarti „pangkal, permu-laan‟ berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata asal yang berarti „kalau‟ berasal dari dialek Jakarta.

2) Bentuk-bentuk yang berhomonim ini terjadi sebagai hasil proses morfologi. Umpamanya, kata mengukur dalam kalimat Ibu sedang mengukur kelapa di dapur adalah berhomonim dengan kata mengukur dalam kalimat Petugas agraria itu mengukur luasnya kebun kami. Jelas, kata mengukur yang perta-ma terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata kukur (me + kukur = mengukur); sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me + ukur = mengu-kur).

2.2.4 Hiponim dan Hipernim

Kata hiponim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti „nama‟ dan hypo berarti „di bawah‟. Maka secara harfiah kata hiponim berarti „nama yang termasuk di

bawah nama lain‟. Secara semantik Verhaar dalam (Chaer, 2002: 98) menyatakan

hiponim ialah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian makna sesu-atu ungkapan lain.

(33)

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, penulis mengacu pada pendapat Soedjito yang mengungkapakan bahwa hiponim adalah adalah kata-kata yang tingkatnya ada di bawah kata yang menjadi superordinatnya atau hipernim (kelas atas). Se-dangkan hipernim adalah kata-kata yang maknanya melingkupi makna kata-kata yang lain (Chaer, 1998: 387).

Contoh:

a. Kata warna merupakan superordinat/hipernim, sedangkan merah, jingga, hijau, biru, dan sebagainya merupakan hiponim.

b. Kata buah-buahan merupakan superordinat/hipernim, sedangkan mangga, jeruk, apel, pisang, dan sebagainya merupakan hiponim.

Konsep hiponim dan hipernim mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas a-tasan, adanya makna sebuah kata yang berada di bawah kata lainnya. Oleh karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernim terhadap sejumlah kata lain, akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang hirarkial berada di atas-nya. Hal ini dapat dilihat pada skema di bawah ini.

Makhluk

Binatang manusia

(34)

Merpati gelatik nuri pelet perkutut

Pada skema di atas, kata burung yang merupakan hipernim terhadap merpati, ge-lati, nuri, pelet, perkutut, dan sebagainya akan menjadi hiponim terhadap kata binatang. Hal tersebut terjadi karena yang termasuk binatang bukan hanya bu-rung, tetapi juga ikan, kambing, gajah, dan sebagainya. Selanjutnya, binatang itu pun merupakan hiponim terhadap kata makhluk, sebab yang termasuk makhluk bukan hanya binatang tetapi juga manusia (Chaer, 1994: 100).

2.2.5 Polisemi

(35)

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa polisemi adalah satu kata mempunyai makna lebih dari satu yang masih memiliki hubungan dan kaitan dengan makna dasarnya. Pada umumnya sebuah kata mengandung sebuah arti, tetapi pada polisemi kita berhadapan dengan sebuah kata yang mengandung arti lebih dari satu atau makna ganda walaupun masih memiliki hubungan dengan makna dasarnya. Misalnya, kata terang yang mengandung makna cerah, siang ha-ri, bersih, nyata, sah, bercahaya dsb, frase orang tua yang mengandung makna ayah-ibu, orang yang sudah tua, orang yang dihormati atau dituakan.

Contoh:

(8) Kepalanya luka kena pecahan kaca. (9) Kepala kantor itu bukan paman saya.

(10) Kepala surat biasanya berisi nama dan alamat kantor. (11) Kepala jarum itu terbuat dari plastik.

(12) Yang duduk di kepala meja itu tentu orang penting.

Pada contoh di atas kata kepala yang setidaknya mempunyai makna (1) bagian tu-buh manusia, seperti pada contoh kalimat (8); (2) ketua atau pemimpin, seperti pada contoh kalimat (9); (3) sesuatu yang berada di sebelah atas, seperti pada con-toh kalimat (10); (4) sesuatu yang berbentuk bulat, seperti pada contoh kalimat (11); (5) sesuatu atau bagian yang sangat penting, seperti pada kalimat (12).

2.2.5.1 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Polisemi Menurut Pateda (2001:214), polisemi terjadi karena:

(36)

2) faktor gramatikal, misalnya kata pemukul dapat bermakna alat yang digu-nakan untuk memukul atau orang yang memukul;

3) faktor leksikal, misalnya kata makan yang biasanya dihubungkan dengan kegiatan manusia atau binatang memasukkan sesuatu ke dalam perut, teta-pi kini kata makan dapat digunakan pada benda tak bernyawa sehingga

muncullah urutan kata makan sogok, makan angin, makan riba, dan seba-gainya;

4) faktor pengaruh bahasa asing, misalnya kata item, kini digunakan kata bu-tir atau unsur;

5) faktor pemakaian bahasa yang ingin menghemat penggunaan kata. Mak-sudnya, dengan satu kata, pemakai bahasa dapat mengungkapkan berbagai ide atau perasaan yang terkandung dalam hatinya. Misalnya, dalam bahasa

Indonesia ada kata mesin yang biasa dihubungkan dengan mesin jahit. Ma-nusia membutuhkan kata yang mengacu kepada mesin yang menjalankan pesawat terbang, mobil, motor, maka muncullah urutan kata mesin pesa-wat terbang, mesin mobil, dan mesin motor.

6) faktor pada bahasa itu sendiri yang terbuka untuk menerima perubahan, baik

perubahan bentuk, maupun perubahan makna. Maksudnya, pada sua-tu ketika

sesuatu kata tertentu hanya XI lalu pada perkembangan berikut-nya akan

bertambah dengan makna Y, dan seterusnya. Makna dasar ber-kembang dan

bertambah. Hal ini terjadi karena perkembangan pemikiran manusia sebagai

(37)

tetapi saji sekarang pemakaiannya lebih luas, misal-nya, saji balik ‟playback‟,

saji ulang „replay‟, dengan makna saji „menghi-dangkan‟ atau „hidangan‟.

2.3 Perbedaan Homonim dan Polisemi

Satu persoalan lagi yang berkenaan dengan polisemi adalah bagaimana kita bisa

membedakan dengan bentuk-bentuk yang disebut homonim, karena polisemi se-ring

dikacaukan dengan hominim. Perbedaan homonim dan polisemi menurut Chaer

(2009: 104) adalah sebagai berikut.

Tabel 2.2 Perbedaan Homonim dan Polisemi No

(1)

Homonim (2)

Polisemi (3)

1 Homonim bukanlah satu buah kata,

melainkan dua buah kata atau lebih yang kebetulan bentuknya sama.

(38)

2 Karena bukan satu buah kata, maka maknanya pun berbeda. Di dalam kamus bentuk-bentuk yang

homonim didaftarkan sebagai entri-entri yang berbeda.

Di dalam kamus didaftarkan sebagai sebuah entri.

3 Makna-makna pada bentuk

homonim tidak ada kaitannya atau hubungannya sama sekali antara yang satu dengan yang lain. Contoh:

buku I bermakna „tulang sendi‟ buku II bermakna „kitab‟ antara makna I dan II tidak ada hubungannya sama sekali.

Makna-makna pada bentuk polisemi masih ada hubungan karena memang dikembangkan dari komponen-komponen makna kata-kata tersebut. Namun, kadangkala, dalam beberapa kasus, kita sukar membedakan secara tegas antar polisemi dan homonim itu.

Contoh:

Kata kaki yang memiliki komponen makna, antara lain:

1) anggota tubuh manusia (juga binatang);

(1) (2) (3)

2) terletak di sebelah bawah;

(39)

Komponen makna (1) adalah makna asal, yang sesuai dengan referen atau juga makna leksikal dari kata itu. Dalam perkembangan selanjutnya, komponen makna (2) berkembang menjadi makna tersendiri untuk menyatakan bagian dari segala sesuatu yang terletak di sebelah bawah seperti dalam frase kaki gunung dan kaki bukit. Komponen makna (3) juga berkembang menjadi makna sendiri untuk menyatakan segala sesuatu yang berfungsi sebagai penopang seperti dalam frase kaki meja dan kaki kamera.

Selain perbedaan yang telah disebutkan di atas, terdapat perbedaan homonim dan polisemi menurut Sudaryat (2009:43) adalah sebagai berikut.

No Homonim Polisemi

(40)

2 Maknanya tidak berkaitan dengan makna dasar.

Maknanya masih berkaitan dengan makna dasar.

Berdasarkan dua pendapat diatas dapat ditarik simpulan mengenai perbedaan homonim dan polisemi adalah sebagai berikut.

No Homonim Polisemi

1 Berasal dari dua kata atau lebih Berasal dari satu kata 2 Maknanya tidak berkaitan

dengan makna dasar

Maknanya berkaitan dengan makna dasarnya

3 Biasanya bermakna denotasi Biasanya bermakna konotasi

4 Dalam kamus dijadikan dua entri Dalam kamus satu entri

2.3.1 Cara untuk Membedakan Polisemi dari Homonim

Palmer (dalam Parera, 2004:83) mengemukakan cara untuk membedakan polisemi dari homonim. Cara itu, adalah sebagai berikut.

(41)

2) Kemungkinan kedua ialah penelitian apakah ujaran dan bentuk kata itu di-pergunakan dalam makna harfiahnya dan dalam makna metaforis; dalam hal ini kita akan dapat meramalkan polisemi daripada homonim.

3) Usaha ketiga untuk menentukan polisemi atau homonim ialah mencari se-buah makna inti; misalnya kata cetak bahasa Indonesia dalam ujaran men-cetak buku, menmen-cetak batu bata, menmen-cetak gol,menmen-cetak sarjana.

4) Usaha yang keempat ialah melakukan ujia ambiguitas/kedwimaknaan; mi-salnya, dalam bahasa Inggris diberikan kalimat I went to the bank; bank bahasa Inggris dapat bermakna „tepi sungai‟ dan „tempat simpan pinjam uang‟.

2.4 Kemampuan Menentukan Relasi Makna Relasi Makna

Sinonim Antonim Homonim Hipernim Polisemi

Homograf Homofon Hiponim

Relasi makna adalah hubungan makna antar kata, frasa, klausa ataupun kalimat. Relasi makna dibagi menjadi lima yaitu,

(1)sinonim adalah ungkapan (bisa berupa kata, frasa, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.

(42)

(2) antonim adalah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam ben-tuk frasa ataupun kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain.

Contoh: laki-laki >< perempuan hidup >< mati

(3) Hominim adalah dua buah kata atau lebih yang sama bentuknya, tetapi makna-nya berlainan. Contoh : bisa I, bisa II. Homonim mempunyai jenis lain yaitu, (a) homograf adalah kata-kata yang dalam bentuk tulisannya sama tetapi bbeda dalam pelafalannya dan beda pula maknanya, contoh : teras I, teras II. (b) Homofon ada-lah kata yang sama bunyi (pelafalannya) tetapi berbeda tulisannya dan beda pula maknanya, contoh : bang I, bank II.

(4) Hiponim adalah kelas atasan sedang hipernim adalah kelas bawahan. Contoh : warna (Hipernim)

Merah Kuning Hijau Biru (Hiponim)

(5) Polisemi adalah kata-kata yang mengandung makna lebih dari satu, tetapi makna itu masih berhubungan dengan makna dasarnya (kata beraneka).

Contoh : kepala : bagian atas tubuh manusia, Kepala sekolah : pimpinan sekolah, Kepala polisi : pimpinan polisi.

(43)
(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif . Metode deskriptif yaitu meng-gambarkan dengan kata-kata menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan (Arikunto,2002:213). Sementara Nawawi (1994:74) berpendapat bahwa metode deskriptif adalah memusatkan perhatiannya pada penemuan fakta-fakta sebagai-mana keadaan sebenarnya.

Melalui Beberapa pendapat di atas penulis menyimpulkan bahwa metode deskrip-tif adalah semua gejala atau fenomena yang tampak atau diperoleh dicatat berdas-arkan kenyataan dilapangan. Hal yang dideskripsikan adalah kemampuan siswa kelas XI SMA N 1 tahun pelajaran 2012/2013 dalam memahami relasi makna yang meliputi sinonim, antonim, homonim, hiponim, dan polisemi.

3.2 Populasi

(45)

3.3 Sampel

Pengambilan dan penetapan sampel dilakukan dengan cara Random Sampling

yakni teknik pemilihan sampel secara acak tanpa memeperhatikan strata yang ada dalam populasi itu. Artinya, setiap populasi mempunyai peluang yang sama untuk dijadikan anggota sampel (Sugiyono, 2009:74). Karena jumlah populasi kurang dari 500 (populasi kecil) sehingga tidak dilakukan uji statistik. Sampel hanya di-ambil sebesar 15% dari jumlah siswa setiap kelas sehingga sampelnya berjumlah 25 siswa. Adapun langkah-langkah pengambilan sampel adalah sebagai berikut:

1) membuat daftar nama subjek anggota populasi dan diberi nomor urut sebagai kode;

2) membuat nomor undian pada kertas lalu digulung, dan dimasukkan dalam gelas kemudian dikocok;

3) nama yang keluar diambil sebagai sampel penelitian, hal ini dilakukan disetiap kelas hingga mencapai sampel yang diinginkan, yaitu 20 siswa. Tabel 3.1 Jumlah dan Sampel Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Banjit

Tahun Pelajaran 2011/2012

No Kelas Jumlah Siswa Sampel

1. 2. 3. 4. 5. .

XI IPA 1 XI IPA 2 XI IPS 1 XI IPS 2 XI IPS 3

27 30 35 37 35 5 5 5 5 5

(46)

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah tes. Tes adalah merupakan a-lat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana, dengan cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan (Arikunto, 2007:53).

[image:46.595.115.517.412.749.2]

Jenis tes yang digunakan adalah tes tertulis. Instrumen tes adalah tes objektif yang berbentuk pilihan ganda, isian singkat dan menjodohkan. Tes pilihan ganda ber-jumlah 30 soal dengan empat butir jawaban (A), (B), (C), dan (D). Tes isian sing-kat berjumlah 10 soal dan tes menjodohkan berjumlah 10 soal dengan 15 alter-natif pilihan jawaban. Aspek yang diuji melalui instrumen ini meliputi (1) sino-nim, (2) Antosino-nim, (3)Homosino-nim, (4)Hiponim dan (5) polisemi.

Tabel 3.2 Kisi-kisi Soal Kemampuan Menentukan relasi makna

Indikator

Jumlah soal Skor per

butir Pilihan Ganda(1) Menjodoh-kan (2) Isian Singkat (1)&(2) 1.Sinonim

a. Makna dasar dan tambahan

b. Nilai rasa (makna emotif)

c. Kelaziman pemakainya d. Distribusinya 2 2 1 1 -1 1 1 1 -1 2.Antonim

a. Berlawanan Kembar b. Berlawanan Bertingkat c. Berlawanan Kebalikan

2 2 2 1 1 -1 -1 1 3.Homonim a. homonim b. homofon c. homograf 2 2 2 -1 1 1 -1 1 1.Hiponim a. Hiponim b. Hipernim 3 3 1 1 1 1 1

5. Polisemi 6 2 2 1

(47)

Aspek yang dinilai Skor Tabel 3.4 Indikator Penilaian Isian Singkat

(1) (2)

Deskripsi (3)

1. Sinonim a. Nilai rasa

b. Makna dasar dan tambahan 3 2 1 3 2 1

Siswa tepat menjawab pertanyaan dengan benar yaitu kata pembantu rumah tangga.

Siswa kurang tepat menjawab pertanyaan yakni selain kata pembantu rumah tangga tetapi masih dalam relasi sinonim kata pramuwima.

Siswa tidak tepat dalam

menjawab pertanyaan yakni kata yang tidak masuk dalam relasi sinonim kata pramuwisma. Siswa tepat menjawab pertanyaan dengan benar yaitu menuntun. Siswa kurang tepat menjawab pertanyaan yakni selain kata menuntun tetapi masih dalam relasi sinonim.

Siswa tidak tepat dalam

menjawab pertanyaan yakni kata yang tidak masuk dalam relasi sinonim kata membimbing 2. Antonim

a. Berlawanan kembar

3

2

Siswa tepat menjawab pertanyaan dengan benar yaitu berlawanan kembar

[image:47.595.113.515.113.785.2]

Siswa kurang tepat menjawab pertanyaan dengan benar yakni kata selain berlawanan kembar tetapi masih dalam jenis pebedaan antonim

Tabel Lanjutan

(1) (2) (3)

1 Siswa tidak tepat dalam

(48)

kebalikan

2

1

dengan benar yaitu kata bujang Siswa kurang tepat menjawab pertanyaan dengan benar yakni kata selain bujang tetapi masih dalam relasi makna keantoniman kata dara.

Siswa tidak tepat dalam

menjawab pertanyaan yakni kata yang dipilih bukan termasuk dalam relasi makna keantoniman kata dara.

3. Homonim a.homonim b.homograf 3 2 1 3 2

[image:48.595.106.521.81.751.2]

Siswa tepat menjawab pertanyaan dengan benar yaitu homonim. Siswa kurang tepat menjawab pertanyaan dengan benar yakni selain homonim tetapi masih dalam jenis homonim. Siswa tidak tepat dalam menjawab pertanyaan yakni bukan dalam jenis-jenis homonim. Siswa tepat menjawab pertanyaan dengan benar yaitu homonim. Siswa kurang tepat menjawab pertanyaan dengan benar yakni selain homonim tetapi masih dalam jenis homonim. Tabel lanjutan

(1) (2) (3)

1 Siswa tidak tepat dalam

menjawab pertanyaan yakni bukan dalam jenis-jenis homonim.

4. Hiponim

a. Hipernim 3

2

Siswa tepat menjawab pertanyaan dengan benar yaitu baju/pakaian atas.

(49)

b.Hiponim

1

3

2

1

tetapi masih dalam telasi makna kehiperniman dari kata kaos, kemeja, jas.

Siswa tidak tepat dalam

menjawab pertanyaan yakni siswa menjawab selain kata yang tidak termasuk dalam relasi makna kehiperniman kata kaos, baju, jas. Siswa tepat menjawab 2 poin jawaban dengan benar yaitu hewan berjenis unggas. Siswa kurang tepat menjawab hanya 1 poin jawaban tepat yakni hewan berjenis unggas dan yang lain bukan jenis unggas.

Siswa tidak tepat dalam menjawab pertanyaan yakni hewan bukan berjenis unggas.

5. Polisemi 3 Siswa tepat menyebutkan kata

[image:49.595.108.523.83.627.2]

berpolisemi yang terdapat dalam kalimat.

Tabel lanjutan

(1) (2) (3)

2

1

Siswa kurang tepat menyebutkan kata berpolisemi yang terdapat dalam kalimat.

Siswa tidak tepat menyebutkan kata berpolisemi yang terdapat dalam kalimat

Skor Keseluruhan 30

(50)

antara 0,20—0,39 tergolong sangat sukar berjumlah 15 soal (30%), indek kesu-karan 0,40—0,72 tergolong sedangberjumlah 20 soal (40%) dan indek kesukaran antara 0,73—0,80 tergolong sangat mudah berjumlah 15 soal (30%). Sedangkan kriteria indek daya beda adalah≠0,0 atau≠min (-) berjumlah 50 soal (100%).

Berdasarkan hasil analisis tes uji coba terdapat 6 soal yang perlu direvisi dan 2 soal diganti, sedangkan 42 soal layak dan dapat digunakan. Diketahui besar relia-bilitas tes objektif adalah 0,962. Skor rttmelebihi skor taraf signifikan 1% yaitu 0,403, jadi dapat disimpulkan bahwa instrumen layak digunakan sebagai instru-men pengumpul data penelitian.

3.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data bertujuan mengetahui data tingkat kemampuan siswa kelas XI SMA Negeri 1 Banjit menentukan relasi makna.

Langkah-langkah pengolahan data penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. mengoreksi dan menghitung jumlah jawaban yang benar dari tes objektif; 2. memberi skor pada hasil pekerjaan siswa dengan cara:

Jumlah Jawaban Benar

Jumlah Skor Keseluruhan

3. menabulasikan data;

X 100

(51)
[image:51.595.143.486.196.281.2]

5. mengukur tingkat kemampuan siswa menentukan relasi makna pada kalimat berdasarkan tolok ukur penilaian Kusumah dan Dwitagama (2011:159) .

Tabel 3.3 Tolok Ukur Penilaian

Rentang Skor Predikat

85—100

70—84

55—69

40—54

< 40

(52)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan analisis data, diketahui bahwa nilai rata-rata kemampuan siswa kelas XI SMA N 1 Banjit Way Kanan tahun pelajaran 2012/2013 dalam menentukan re-lasi makna sebesar 69. Berdasarkan tolok ukur yang digunakan, kemampuan sis-wa tersebut tergolong cukup. Rata-rata kemampuan siswa menentukan relasi mak-na per aspek adalah sebagai berikut.

1. Nilai rata-rata kemampuan menentukan relasi makna kesinoniman sebesar 70 yang tergolongbaik.

2. Nilai rata-rata kemampuan menentukan relasi makna keantoniman sebesar 67 yang tergolongcukup.

3. Nilai rata-rata kemampuan menentukan relasi makna kehomoniman sebesar 66 yang tergolongcukup.

4. Nilai rata-rata kemampuan menentukan relasi makna kehiponiman dan kehipernimansebesar 79 yang tergolongbaik.

(53)

5.1 Saran

Berdasarkan hasil penelitian, kemampuan siswa dalam menentukan relasi makna sudah mencapai nilai standar ketuntasan sekolah yakni 67, karena dari hasil pene-litian diketahui nilai rata-rata siswa sebesar 69. Dan dapat dikemukakan saran se-bagai berikut.

1. Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia diharapkan lebih banyak memberikan pelajaran tentang polisemi dalam pembelajaran di dalam kelas agar pemaha-man siswa tentang polisemi bertambah, sehingga siswa dapat memahami dan menggunakan kata-kata berpolisemi dengan tepat ketika berkomunikasi baik secara tertulis maupun secara lisan. Dari penelitian ini, penulis menemukan masih sering terjadi kesalahan dalam penggunaan kata berpolisemi. Skor rata-rata untuk aspek ini lebih kecil dibanding dengan aspek yang lain.

2. Siswa diharapkan lebih banyak memahami kata berpolisemi dalam kegiatan

(54)

Arikunto, Suharsimi. 2007. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Djajasudarma, T. Fatimah. 1999.Semantik: Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: Refika.

Dewan Redaksi. 2007. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu. Kusumah, Wijaya &Dedi Dwitagama. 2011. Mengenal Penelitian Tindak Kelas

Kelas. Jakarta: PT Indeks

Majid, Abdul. 2007. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosyadakarya. Mustakim. 1994. Membina Kemampuan Berbahasa. Jakarta: Gramedia.

Nawawi, Hadari. 1994. Penelitian Pendidikan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Parera, J.D. 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.

Pateda, Mansoer. 2001.Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Bandung: Yrama Widya.

(55)

Suryani, Lilis. 2008.”Kemampuan Memahami Relasi Makna Siswa Kelas VIII SMP Negeri Satu Atap 1 Jati Agung Lampung Selatan Tahun Pelajaran

2007/2008”(Skripsi). Bandarlampung: Universitas lampung.

Suyanto, Edy. 2011. Bahasa Indonesia Secara Benar. Yogyakarta: Ardana Media. Universitas, Lampung. 2011. Format Penulisan Karya Ilmiah. Bandar Lampung:

Universitas Lampung.

(56)

No Siswa

No

Soal

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 0 1 1 1 0 0 0

2 1 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0

3 1 0 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 0 0 1 1 0 1 0 0 1

4 1 0 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 0 1 1 0 0 1

5 1 0 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 0 0 1 1 0 1 1

6 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 1

7 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0

8 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 0 0 1

9 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 0

10 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 1

11 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1

12 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 0

13 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1

14 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 0 1 0

15 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 0 1 1

16 0 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 0

17 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 0 1 0 1 0 0 1

18 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1

19 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 0 1 1

20 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 0 1 1 0 1 0 0

21 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 0 1

22 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1

23 1 0 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1

24 1 1 1 0 0 1 0 0 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 0 1 1

[image:56.595.122.583.141.688.2]
(57)

2 1 0 1 0 0 3 3 3 3 3 2 3 3 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 56 80

3 0 1 1 0 1 3 1 3 1 1 3 1 3 3 1 1 1 0 1 0 1 1 0 0 0 44 63

4 0 0 1 1 0 3 1 3 1 1 3 3 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 46 66

5 0 1 1 0 0 3 1 1 1 3 3 1 2 3 3 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 47 67

6 0 0 0 1 0 1 3 1 3 3 1 3 1 3 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 48 69

7 1 0 1 1 0 2 1 3 1 1 2 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 44 63

8 0 1 0 1 0 3 1 1 1 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 48 69

9 0 1 1 1 1 2 1 3 3 1 3 3 3 1 3 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 54 77

10 0 0 1 1 0 3 1 1 1 3 2 3 1 3 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 46 66

11 0 1 1 1 0 3 1 3 1 3 3 1 1 3 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 45 64

12 1 1 1 0 1 1 3 3 3 2 3 3 3 1 3 0 1 1 1 0 0 1 1 1 0 52 74

13 0 1 1 1 0 1 2 3 2 3 3 3 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 55 79

14 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 1 1 3 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 43 61

15 0 0 1 0 1 1 3 3 1 3 3 3 1 3 1 1 1 0 1 1 1 1 0 0 1 49 70

16 1 1 1 1 1 1 3 2 3 3 3 3 3 3 1 1 1 0 0 0 1 1 1 1 0 54 77

17 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 3 1 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 43 61

18 0 1 0 1 1 3 3 3 3 3 1 1 3 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 52 74

19 0 0 1 0 1 1 3 3 1 1 3 3 3 3 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 49 70

20 1 0 1 1 0 1 1 3 1 1 3 1 3 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 46 66

21 1 1 1 1 0 2 1 1 3 1 2 1 1 3 3 0 1 0 1 1 1 1 0 0 0 44 63

22 0 0 1 0 1 1 1 1 3 1 1 3 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 47 67

23 0 1 1 1 0 1 3 1 1 1 3 3 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 49 70

24 1 0 1 0 0 1 3 3 1 1 3 3 1 3 3 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 48 69

25 1 0 1 1 1 0 3 1 3 3 1 3 1 3 1 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 43 61

(58)

Kemampuan Menentukan Relasi Makna Bidang studi : Bahasa Indonesia

Kelas/semester : XI/II

Waktu : 60 Menit

PETUNJUK UMUM

1. Tulislah terlebih dahulu nama dan kelas Anda di sudut kanan atas pada lembar jawaban yang tersedia.

2. Periksa dan bacalah soal dengan teliti sebelum mengerjakannya. 3. Apabila ada jawaban yang salah dan ingin memperbaiki, coretlah

dengan dua garis lurus mendatar pada tanda silang (X).

4. Setelah menjawab keseluruhan soal, periksalah kembali pekerjaan Anda dan serahkan jawaban serta lembar soal kepada pengawas.

A.PILIHAN GANDA

Berilah tanda silang (X) pada huruf a, b, c, atau d di depan jawaban yang benar!

1. Ayah melihat pertandingan sepak bola antar kecamatan tadi malam. Sinonim dari kata yang dicetak miring pada kalimat di atas adalah...

a. mengintai c. menyaksikan

b. menonton d. menatap

2. Berikut ini kalimat yang mengandung antonim bertingkat adalah ... a. Ibu membeli ayam jantan dan betina untuk dikembangbiakan.

b. Pria wanita datang menghadiri acara seminar pendidikan di GSG Unila. c. Ibu membeli perhiasan sedangkan Ibu Rani menjual perhiasannya. d. Kaya miskin tidak ada bedanya dimata Allah.

3. Rumah itu beruang lima.

Beruang

Gambar

Tabel 2.1 Contoh Makna Dasar dan Makna Tambahan
Tabel 3.2 Kisi-kisi Soal Kemampuan Menentukan relasi makna
Tabel Lanjutan
Tabel lanjutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

dalam kegiatan tersebut dan juga santri yang menjadi daya dongrak keberhasilan pemberdayaan masyarakat. Faktor penghambat pemberdayaan masyarakat meliputi : tidak

Penelitian menggunakan metode retrospektif, sedangkan banyak pasien yang berisiko terkena retinitis (misalnya pasien dengan CD4 &lt; 50 sel/µL, pasien HIV / AIDS

Ukuran atau statistik lain yang dapat kita hitung pada data adalah proporsi p. Penaksir proporsi adalah ˆ p = X/n, dengan X menyatakan banyaknya

Bacillus thuringiensis serotype H-14 yang dikemas dalam bentuk cairan (wdc) dengan nama Sandoz 402 I dan dalam bentuk tepung (wdp) dengan nama Bac- timos adalah

Penelitian ini bertujuan untuk menguji kembali pengaruh Laba Bersih, Arus Kas Operasi dan Pertumbuhan Penjualan terhadap Kebijakan Dividen pada perusahaan

Setelah dilakukan kategorisasi berdasarkan nilai median (data berdistribusi tidak normal) yakni puas dan tidak puas maka diperoleh hasil bahwa tingkat kepuasan pasien terhadap

Ranai, 09 November 2017 Pejabat Pengadaan Barang dan Jasa Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang.. HOKLI SIMAMORA Tahun

Secara garis besar dicikan : Kehidupan keagamaan sudah mencapai kemantapan, cenderung mulai menerima pendapat keagamaan, mulai timbul pengakuan akan adanya kehidupan setelah