• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola akumulasi kurkuminoid rimpang induk temulawak, Curcuma xanthorriza Roxb) pada berbagai masa tanam dan perlakuan budidaya tanam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pola akumulasi kurkuminoid rimpang induk temulawak, Curcuma xanthorriza Roxb) pada berbagai masa tanam dan perlakuan budidaya tanam"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

POLA AKUMULASI KURKUMINOID RIMPANG INDUK

TEMULAWAK (

Curcuma xanthorriza

Roxb) PADA

BERBAGAI MASA TANAM DAN PERLAKUAN

BUDIDAYA TANAM

M AGUNG ZAIM ADZKIYA

PROGRAM STUDI BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITU T PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

M AGUNG ZAIM ADZKIYA. Pola Akumulasi Kurkuminoid Rimpang Induk

Temulawak (

Curcuma xanthorriza

Roxb) Pada Berbagai Masa Tanam dan Perlakuan

Budidaya Tanam. Dibimbing oleh EDY DJAUHARI PK dan LATIFAH K

DARUSMAN

Temulawak (

Curcuma xanthorriza

Roxb) merupakan salah satu tumbuhan obat

suku

Zingiberaceae

yang banyak tumbuh dan dipakai sebagai obat di Indonesia (Sidik

et al

1992). Kurkuminoid merupakan hasil metabolit sekunder yang berkhasiat

menetralkan racun, menghilangkan rasa nyeri sendi, menurunkan kadar kolesterol dan

trigliserida darah, dan antibakteri. Penanaman temulawak dengan perlakuan budidaya

dan masa tanam yang berbeda bertujuan untuk mengetahui pola akumulasi kurkuminiod

rimpang induk temulawak.

(3)

ABSTRACT

M AGUNG ZAIM ADZKIYA. Pattern acumulations curcuminoid mains rhizome

temulawak (

Curcuma xanthorriza

Roxb) in planting period and cultivation. Under the

direction of EDY DJAUHARI PK and LATIFAH K DARUSMAN

Temulawak (

Curcuma xanthorriza

Roxb) representing one of plant medicine the

family Zingiberaceae which is a lot of growing and wearied as drug in Indonesia (Sidik

et al

1992). Curcuminoid represent the result of secondary metabolism which can

neutralize the poison, eliminating to feel the pain in bone joint, degrading rate of

cholesterol and triglyceride blood, and antibacteria l. Cultivation Temulawak with the

treatment and a period of planting different is to know the pattern accumulate the

curcuminoid rhizome of mains temulawak.

(4)

POLA AKUMULASI KURKUMINOID RIMPANG INDUK

TEMULAWAK (

Curcuma xanthorriza

Roxb) PADA

BERBAGAI MASA TANAM DAN PERLAKUAN

BUDIDAYA TANAM

M AGUNG ZAIM ADZKIYA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Program Studi Biokimia

PROGRAM STUDI BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Pola Akumulasi Kurkuminoid Rimpang Induk Temulawak (

Curcuma

xanthorriza

Roxb) Pada Berbagai Masa Tanam dan Perlakuan

Budidaya Tanam

Nama

: M Agung Zaim Adzkiya

NIM

: G44101055

Disetujui

Komisi Pembimbing

Drs. Edy Djauhari P.K., M.Si.

Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman

Ketua

Anggota

Diketahui

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S.

NIP 131473999

(6)

Sesungguhnya shalatku, ibadatku,

hidupku, dan matiku hanyalah untuk AL L AH ,

Tuhan semesta alam

K arya ilmiah ini saya persembahkan untuk

(7)

PRAKATA

Tiada kata terindah selain Alhamdulillahirobil’alamin sebagai ungkapan rasa

syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan nikmat dan karunia-Nya sehingga karya

ilmiah ini berhasil diselesaikan. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada

Nabi Muhammad SAW, dan juga kepada keluarga dan para sahabatnya.

Karya ilmiah yang berjudul Pola Akumulasi Kurkuminoid Rimpang Induk

Temulawak (

Curcuma Xanthorriza

Roxb) Pada Berbagai Masa Tanam dan Perlakuan

Budidaya Tanam disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis di Desa

Kelurahan, Kecamatan Jambu, Kabupaten Ambarawa, Jawa Tengah dan dilanjutkan

analisis kimia di Laboraturium Pusat Studi Biofarmaka, Taman Kencana, Bogor dari

bulan September 2004 sampai November 2005.

Terima kasih penulis sampaikan untuk Bapak Drs Edy Djauhari PK,M.Si dan

Ibu Prof. Dr. Ir Latifah K Darusman selaku dosen pembimbing atas saran dan

perhatiannya selama penelitian sampai karya ilmiah ini selesai. Terima kasih kepada

Mbak Salina, Mas Fajar, Waras, Om Eman, anton, dan Pak Arya atas semua bantuan

yang diberikan selama penelitian ini berlangsung. Kepada staf Laboratorium Pusat Studi

Biofarmaka, staf Laboratorium dan tata usaha Biokimia dan juga para petani yang telah

membantu penalitian ini penulis juga mengucapkan terima kasih atas semua bantuan

yang diberikan.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ayah, Ibu, Arivia, Om Pof dan

seluruh keluarga yang telah memberikan motivasi dan kasih sayang kepada penulis.

Kepada semua pihak yang tidak dapat dituliskan satu persatu penulis ucapkam terima

kasih.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Januari 2006

M Agung Zaim Adzkiya

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Genteng Banyuwangi pada tanggal 22 Juli 1982 dari Ayah

Drs Dardiri dan Ibu Enny Sutatiningsih. Penulis merupakan anak pertama dari dua

bersaudara.

Tahun 1988 penulis lulus dari TK ABA 9 Genteng, kemudian masuk SD Negeri

Genteng I dan lulus pada tahun 1994, selanjutnya masuk SMP Negeri I Genteng tahun

1994 dan lulus tahun 1997, dan masuk SMU Negeri I Genteng tahun 1997 dan lulus

tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Teknologi Sepuluh

November Surabaya. Akan tetapi satu tahun berikutnya penulis diterima di Institut

Pertanian Bogor pada program studi Biokimia, Departemen Kimia, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi

Negeri (UMPTN).

(9)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pola Akumulasi Kurkuminoid

Rimpang Induk Temulawak (

Curcuma Xanthorriza

Roxb) Pada Berbagai Masa Tanam

dan Perlakuan Budidaya Tanam

adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam

bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi

ini.

Bogor, Januari 2006

M Agung Zaim Adzkiya

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA

Temulawak... 1

Pupuk ... 2

Komposisi Kimia Temulawak... 3

Biosintesis Kurkuminoid... 4

Analisis Kuantitatif kurkuminoid ... 5

METODE PANELITIAN

Waktu dan Tepat Penelitian ... 5

Alat dan Bahan... 5

Metode ... 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi umum ... 7

Penentuan kadar kurkuminoid ... 8

SIMPULAN DAN SARAN... 10

DAFTAR PUSTAKA ... 10

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Struktur kurkuminoid ... 4

2 Biosintesis kurkuminoid ... 5

3 Grafik hubungan tinggi tanaman dengan masa tanam ... 7

4 Grafik hubungan diameter batang dengan masa tanam... 7

5 Grafik hubungan biomassa rimpang induk dengan masa tanam ... 8

6 Persen rerata kadar air rimpang induk temulawak... 8

7 Konsentrasi kurkuminoid rimpang induk basah temulawak... 8

8 Produktivitas kurkuminoid rimpang induk temulawak... 8

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1

Skema persiapan lahan... 13

2

Skema penanaman temulawak... 13

3

Skema pemupukan... 13

4

Skema pemeliharaan ... 14

5

Skema pemanenan... 14

6

Preparasi bahan baku ... 15

7

Penentuan kadar kurkuminoid ... 15

8

Rekapitulasi data pertumbuhan tanaman temulawak... 16

9

Regresi linier standar kurkuminoid ... 16

10

Rekapitulasi data rimpang induk temulawak... 17

11

Analisis sidik ragam biomassa rimpang induk temulawak... 17

12

Analisis sidik ragam kadar air rimpang temulawak... 18

(13)

PENDAHULUAN

Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) merupakan salah satu tumbuhan obat suku Zingiberaceae

yang banyak tumbuh dan dipakai sebagai obat di Indonesia (Sidik et al 1992). Temulawak diketahui memiliki banyak manfaat antara lain sebagai antihepatitis, antikarsinogenik, antimikroba, antioksidan, antihiperlipidemia, antiviral, antiinflamasi, dan detoksifikasi (WHO 1999) . Selain itu, temulawak merupakan sumber bahan pangan, pewarna, bahan baku industri seperti kosmetika), maupun dibuat makanan atau minuman segar (Dalimarta 2000)

Tanaman menghasilkan metabolit yang berasal dari metabolisme primer dan metabolisme sekunder selama pertumbuhan. Hasil metabolisme primer adalah senyawa-senyawa yang digunakan untuk pertumbuhan seperti karbohidrat, lemak, da n protein. Senyawa-senyawa tersebut berada dalam jumlah yang besar pada tanaman mengingat fungsinya yang pokok bagi tumbuhan. Senyawa-senyawa yang termasuk hasil dari metabolit sekunder adalah kelompok senyawa alkaloid, terpenoid, dan flavonoid. Senyawa-s enyawa inilah yang digunakan oleh manusia sebagai obat. Metabolit tersebut tidak digunakan bagi pertumbuhan tanaman, akan tetapi salah satu fungsinya yaitu sebagai pertahanan terhadap mikroorganisme patogen dan juga terhadap herbivora maupun omnivora (H eldt 1997). Berdasarkan fungsinya ini maka metabolit sekunder biasanya banyak dihasilkan tanaman pada saat kondisi lingkungan pertumbuhannya tidak optimal (kondisi tanaman tercekam) atau pada saat ada ancaman yang mengancam pertumbuha nnya.

Komponen utama yang berkhasiat sebagai obat dalam rimpang temulawak adalah kurkuminoid dan minyak atsiri yang merupakan hasil metabolisme sekunder dari tanaman ini. Kurkuminoid memberikan warna kuning pada rimpang temulawak dan mempunyai khasiat medis (Suwiyah 1991). Zat ini berkhasiat menetralkan racun, menghilangkan rasa nyeri sendi, menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida darah, antibakteri, dan sebagai antioksidan penangkal senyawa-senyawa radikal bebas yang berbahaya. Sedangkan minyak atsiri pada temulawak berkh asiat sebagai cholagogum, yaitu bahan yang dapat merangsang pengeluaran cairan empedu yang berfungsi sebagai penambah nafsu makan dan anti

spasmodicum, yaitu menenangkan dan mengembalikan kekejangan otot (Liang et al 1985).

Menurut Sidik et al (1995) prod uksi rimpang dipengaruhi oleh tempat tumbuh. Pada dataran rendah (240 meter di atas permukaan laut) produksi rimpang segar lebih tinggi. Kadar pati di dataran rendah juga lebih tinggi dan kadar tersebut makin berkurang pada dataran tinggi. Sebaliknya kadar minyak atsiri tertinggi diperoleh pada ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut.

Pertumbuhan temulawak dipengaruhi oleh iklim, media tanam, dan ketinggian tempat. Dengan kondisi penanaman dan pemupukan yang berbeda sangat dimungkinkan akan menghasilkan senyawa kurkuminoid dalam jumlah yang berbeda pula.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pola akumulasi kurkuminoid pada tanaman temulawak dengan taraf perlakuan budidaya dan berbagai masa tanam yaitu 6, 7, 8, 9, dan 10 bulan setelah penanaman. Hipotesis penelitian ini adalah ketersediaan nutrisi atau pupuk di dalam tanah dan masa tanam akan mempengaruhi pola akumulasi kurkuminoid rimpang induk temulawak. Manfaat penelitian ini adalah untuk memperoleh budidaya tanam temulawak yang efektif dan efi sien.

TINJAUAN PUSTAKA

Temulawak

(Curcuma xanthorrhiza Roxb)

Temulawak merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu. Di Indonesia temulawak dikenal dengan berbagai nama daerah, misalnya temulawak (Sumatra), koneng gede, temu raya, temu besar, aci koneng, koneng tegel, temulawak (Jawa), temulobak (Madura), tommo (Bali), tommon (Sulawesi Selatan) atau Ternate dengan nama karbaga (Dalimartha 2000).

(14)

laut. Dengan perakaran yang dangkal, temulawak cepat menguruskan lapisan tanah atas. Walaupun temulawak tidak terlalu memilih jenis tanah untuk tempat hidupnya, namun temulawak akan tumbuh sangat baik pada tanah yang subur dan gembur (Djakamiharja 1985; Wahid 1985).

Temulawak merupakan tumbuhan tahunan yang tumbuh tegak dengan tinggi hingga lebih dari 1 m tetapi kurang dari 2 m, berwarna hijau atau coklat gelap. Akar rimpang terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat, berwarna hijau gelap. Tiap batang mempunyai daun 2-9 helai dengan bentuk bundar memanjang sampai bangun lanset, warna daun hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap, panjang daun 31-84 cm dan lebar 10-18 cm, panjang tangkai daun termasuk helaian 43-80 cm. Daun termasuk tipe daun sempurna, artinya tersusun dari pelepah daun, tangkai daun, dan helai daun. Perbungaan lat eral, tangkai ramping dan sisik berbentuk garis, panjang tangkai 9-23 cm dan lebar 4-6 cm, berdaun pelindung banyak yang panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga. Kelopak bunga berwarna putih berbulu, panjang 8-13 mm, mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan 4.5 cm, helaian bunga berbentuk bundar memanjang berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah, panjang 1.25-2 cm dan lebar 1 cm (Sidik et al 1995).

Rimpang adalah bagian batang di bawah tanah. Rimpang disebut juga umbi akar, umbi batang atau umbi tinggal. Rimpang temulawak berukuran paling besar di antara semua rimpang genus Curcuma dengan diameter sampai 6 cm. Rimpang temulawak terdiri dari rimpang induk (empu) dan rimpang anakan (cabang). Rimpang induknya berbentuk bulat seperti telur dan berwarna kuning tua atau coklat kemerahan. Bagian dalamnya berwarna jingga kecoklatan (Afifah & Tim Lentera 2003).

Dari rimpang induk ini keluar rimpang kedua yang lebih kecil. Arah pertumbuhannya kesamping, berwarna lebih muda dengan bentuk yang bermacam-macam, jumlahnya sekitar 3-7 buah. Jika dibiarkan tumbuh lebih dari satu tahun, akan tumbuh banyak rimpang lagi. Rimpang ini aromanya tajam dan rasanya pahit agak pedas (Afifah & Tim Lentera 2003).

Produk yang diambil dari tanaman tersebut adalah rimpang induk yang tumbuh dekat permukaan tanah dengan kedalaman 5-8 cm (Wahid & Soediarto 1985). Pemanenan dilakukan dengan cara membongkar rimpang dengan menggunakan garpu atau cangkul. Tanda tibanya panen adalah jika bagi an-bagian tumbuhan yang ada di atas tanah sudah mulai mengering dan mati. Umur panen biasanya di atas 9 bulan (Wahid 1985).

Pupuk

Pupuk didefinisikan sebagai meterial yang ditambahkan ke dalam tanah atau tajuk tanaman dengan tujuan untuk melengkapi ketersediaan unsur hara (Novizan 2002). Menurut Sarief (1986) pupuk adalah setiap bahan yang diberikan ke dalam tanah atau disemprotkan pada tanaman dengan maksud menambah unsur hara yang diperlukan tanaman. Pengertian lain dari pupuk adalah suatu bahan yang di berikan sehingga dapat mengubah keadaan fisik, kimiawi, dan hayati tanah sehingga sesuai dengan tuntutan tanaman.

Pemupukan adalah setiap usaha yang bertujuan untuk menambah persediaan unsur -unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk meningkatkan produksi dan mutu tanaman (Sarief 1986). Menurut Poerwowidodo (1999) pemupukan adalah suatu tindakan menambah sejumlah unsur hara yang dibutuhkan tanaman ke dalam tubuh tanah atau tanaman, karena keadaan unsur hara ditempat tumbuhnya tidak mampu merangsang pertumbu han tanaman dengan memadai.

Novizan (2002) menjelaskan bahwa pupuk digolongkan menjadi dua jenis yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk organik adalah pupuk yang terbuat dari sisa-sisa makhluk hidup dan diolah melalui proses pembusukan oleh bakter i pengurai maupun mikroorganisme pengurai lainnya. Pupuk organik memiliki kandungan unsur hara yang lengkap, tetapi dalam jumlah yang rendah. Sesuai namanya, kandungan bahan organik pupuk ini termasuk tinggi. Pupuk anorganik adalah pupuk yang dibuat oleh pabrik dengan cara meramu berbagai bahan kimia sehingga dapat memiliki persentase kandungan hara yang tinggi. Pupuk anorganik banyak beredar dipasaran diantaranya pupuk urea yang sangat luas penggunaanya pada bidang pertanian dan juga pupuk SP-36 dan KCl yang kurang luas penggunaanya.

(15)

Pup uk SP-36 merupakan pupuk yang mengandung fosfor. Fosfor merupakan bagian esensial dari gula fosfat yang berperan dalam nukleotida seperti RNA dan DNA, disamping itu fosfor merupakan bagian dari fosfolipid membran dan berperan pula dalam metabolisme energi karena keberadaanya dalam ATP, ADP, AMP, dan Pi. Bentuk fosfor diserap tanaman dalam bentuk H2PO4¯ Diangkut ke seluruh bagian tanaman melalui xilem tetap dalam bentuk H2P O4¯. Interakasi yang antara Pi dengan adenosin akan membentuk ATP, ADP, dan AMP (Heldt 1997). Hidrolisis bent uk tersebut akan memberikan energi yang dapat digunakan tanaman untuk pertumbuhannya.

Penambahan unsur N dan P yang merupakan unsur hara makro untuk tumbuhan akan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Jika tanaman semakin sedikit menyerap N dan P makan juml ah asam amino dan energi yang dapat digunakan oleh tanaman untuk melakukan pertumbuhan akan terbatas. Sedangkan penambahan pupuk kandang sangat baik untuk memperbaiki struktur tanah dan kesetimbangan hara tanah. Penelitian yang dilakukan oleh Sutanto dan Utami (1995) pada lahan kritis dengan memanfaatan beberapa jenis kompos untuk tanaman kacang tanah dan jagung ternyata diperoleh hasil yang lebih baik daripada menggunakan pupuk kimiawi sesuai dengan dosis yang dianjurkan.

Komposisi Kimia Temulawak

Kandungan kimia rimpang temulawak sebagai sumber bahan pangan, bahan baku industri atau bahan baku obat dapat dibedakan atas beberapa fraksi, yaitu fraksi pati, fraksi kurkuminoid, dan fraksi minyak astiri (Sidik et al 1992).

Fraksi pati dalam rimpang temulawak merupakan fraksi dalam jumlah terbesar, berbentuk bubuk warna putih kekuningan karena mengandung kurkuminoid, memiliki bentuk bulat sampai lonjong dengan salah satu ujungnya persegi. Pati temulawak dapat dikembangkan sebagai sumber karbohidrat yang digunakan untuk bahan makanan atau campuran bahan makanan (Dalimartha 2000) . Kadar pati dalam rimpang temulawak bervariasi antara 48 -54 % tergantung pada ketinggian tempat tumbuh, makin tinggi tempat tumbuh, makin rendah kadar patinya (Sidik et al 1995). Suwiah (1991) menguraikan komposisi rimpang temulawak seperti Tabel 1.

Fraksi kurkuminoid (C25H3 2O3) merupakan komponen yang memberi warna kuning berbentuk serbuk dengan rasa pahit, larut dalam aseton, alkohol, asam glasial, alkohol hidroksida, memiliki aroma yang khas, dan tidak bersifat toksik. Kurkuminoid rimpang temulawak terdiri dari desmetoksikurkumin dan kurkumin (Gambar 1) . Hal ini berbeda dengan kandungan kurkuminoid pada rimpang kunyit (Curcuma domestica Vahl.) selain mengandung kedua komponen di atas, masih terdapat satu komponen lain yaitu bisdemetoksikurkumin. Sifat menarik dari bisdesmetoksikurkumin ini adalah aktivitas kerjanya terhadap sekresi empedu yang antagonis dengan kurkumin dan desmetoksikurkumin. Memperhatikan hal tersebut, penggunaan rimpang temulawak sebagai sumber kurkuminoid lebih menguntungkan dibandingkan dengan rimpang kunyit (tidak mengandung bisdesmetoksikurkumin) walaupun kandungan kurkuminoid pada rimpang temulawak lebih rendah dari rimpang kunyit. Kandungan kurkuminoid dalam rimpang temulawak kering berkisar 3.16 % sedangkan kandungan kurkuminoid rimpang kunyit sebesar 6.9 %. Tabel 1 Komposisi rimpang temulawak

Komponen Besaran (%)

Pati Lemak Kurkumin Serat kasar Abu Protein Minyak atsiri 27,62 5,38 1,93 6,89 3,96 6,44 10,96

Sumber: Suwiah (1991). Berdasarkan rimpang kering dengan kadar air 10 %

OCH3

HO

O OH

O CH3

OH

(16)

H HO O OH OCH3 OH b Keterangan: a.Kurkumin b.Desmetoksikurkumin Gambar 1. Sruktur kurkuminoid

Temulawak merupakan salah satu tumbuhan yang rimpangnya mengandung minyak astiri dalam kadar yang cukup besar yaitu berkisar antara 3-12 %. Kandungan minyak astirinya merupakan yang paling tinggi diantara jenis Curcuma sp (Herman 1985). Minyak astiri berupa cairan berwarna kuning atau kuning jingga, dan berbau aromatik tajam. Oei Ban Liang (1985) dengan menggunakan metode kromatografi gas mendeteksi 31 komponen yang terkandung dalam temulawak. Beberapa di antaranya merupakan komponen khas minyak astiri temulawak, yaitu isofuranogermaken, alloaromadendren, trisiklin, germaken, dan xanthorrizhol. Minyak atsiri dari rimpang temulawak banyak digunakan sebagai obat-obatan tradisional adalah xanthorrizol yang merupakan senyawa khas dari rimpang temulawak. Xanthorrizol ini secara efisien dapat menghambat infeksi pada gigi dan penyakit kulit. Dapat dimanfaatkan pada berbagai produk misalnya digunakan sebagai agen antibakteri, pasta gigi, sabun, pembersih mulut, permen karet, dan kosmetik yang memerlukan aktifitas antibakter i.

Biosintesis Kurkuminoid

Kurkuminoid merupakan senyawa golongan flavonoid apabila ditinjau dari struktur dasarnya. Kurkuminoid merupakan turunan senyawa dari heptanoid dan ternyata senyawa yang paling sederhana menunjukkan pola (3)5 oksigenasi pada rantai heptana dan 1,2 (6,7) ikatan tidak jenuh pada rantai yang sama. Dari Pola tersebut menggambarkan bahwa biosintesis kurkumin melibatkan serangkaian reaksi biokimiawi melalui jalur fenilpropanoid. Jalur ini merupakan jalur yang umum untuk pembentukan senyawa-senyaw a metabolit sekunder khususnya flavonoid. Pra zat biosintesis flavonoid dihasilkan dari jalur sikimat dan asam mevalonat (Markham 1988). Pra zat tersebut adalah asam amino fenilalanin.

Ketersediaan fenilalanin sangat dipengaruhi oleh kandungan senyawa nit rogen, air dan karbondioksida sebagai senyawa pembangun asam amino. Air dan karbondioksida dapat langsung diambil dari udara melewati daun maupun akar tanah tanpa mengalami perubahan struktur. Nitrogen tidak dapat langsung diambil di udara dan harus melewati serangkaian proses fiksasi nitrogen dengan bantuan beberapa bakteri yang bersimbiosis dengan akar tanaman tertentu. Jalur lain yang dapat dilakukan tumbuhan yaitu menyerap nitrogen dalam bentuk nitrat yang terdapat pada tanah. Kemudian diubah menjadi NH4+ di kloroplas dan diubah menjadi asam amino. Asam amino fenilalanin dibentuk melalui lintasan sikimat (shikimate pathway) yang merupakan prekursor yang luas digunakan oleh tumbuhan bukan hanya sebagai pembangun asam amino bergugus aromatik saja tetapi juga sebagai prekursor untuk lintasan fenilpropanoid seperti flavonoid dan lignin (Heldt 1997).

Menurut Rougley (1973) dan Manito (1981) jalur biosintesis fenilpropanoid pada suatu saat akan mengalami percabangan ke arah jalur pembentukan lignin dan ke arah jalur pembentukan flavonoid. Perbedaan kedua jalur tersebut terletak pada tahap substitusi cincin aromatis. Pada jalur lignin gugus hidroksil akan diapit oleh gugus alkil. Sedangkan pada jalur flavonoid gugus hidroksil terletak berdampingan dengan gugus alkil. Percabangan ini terjadi setelah pembentukan asam p-hidroksil kumarat akibat adanya kerja berbeda dari dua macam isoenzim 4-kumarat CoA ligase, yaitu isoenzim 4-kumarat CoA ligase-1 yang berperan pada jalur pembentukan lignin, dan isoenzim 4-kumarat CoA ligase-2 yang berperan pada jalur pembentukan flavonoid (Gambar 2)

Analisis Kuantitatif Kurkuminoid

(17)

Gambar 2 Biosintesis kurkuminoid menurut Rougley (1973) dan Manito (1981)

Fenilalanin Asam Sinamat

COOH

HO HO

Asam Kafeat

COOH

HO H3CO

Asam Ferulat

OCH3 HO

S.CoA

O

COOH

H

2

CoSCoA

OCH3 HO

O COOH OCH3

HO

O O

OCH3 OH

OCH3 HO

O OH

(18)

asetat, aseton, etanol, metanol, etilasetat, dan tetrahirofuran. T etrahidrofuran digunakan sebagai pengekstrak kurkuminoid yang paling baik jika dibandingkan dengan etanol, aseton, dan etilasetat. Hal ini didasarkan penelitian oleh Batubara I et al (2004) yang melakukan pemisahan ekstrak temulawak menggunakan kromatografi lapis tipis. Ekstrak tetrahidrofuran memunculkan 5 noda pada plat kromatografi lapis tipis yang berarti memiliki jenis zat yang lebih banyak dibandingkan ekstrak etilasetat yang hanya berjumlah 4 noda. Selain itu intensitas warna kurkuminoid terbentuk pada pelat kromatografi lapis tipis pada ekstrak THF .

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan mulai bulan September 2004 sampai bulan Oktober 2005 bertempat di Desa Kelurahan, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah dan dilanjutk an analisis kimia di Laboratorium Pusat StudiBiofarmaka, Taman Kencana, Bogor.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul, garpu, clurit, scrop, alat -alat kaca (gelas piala, gelas ukur, pipet mohr, pipet volumetrik, pip et tetes, erlenmeyer, labutakar), eksikator, evaporator, pisau pemotong, pemanas, alat ekstraksi, pengaduk, kontrol suhu, gilingan, dan spektrofotometer.

Bahan-bahan yang digunakan adalah benih temulawak, pupuk kandang, pupuk SP-36, pupuk KCl, pupuk urea, rimpang temulawak, metanol, tetrahidrofuran (THF), standar kurkuminoid, aquades, dan bahan-bahan analisis lainnya.

Metode Penanaman Teknik pelaksanaan Penanaman

Persiapan lahan. Persiapan lahan dilakukan meliputi pengolahan tanah, pembuatan guludan dan pemeriksaan pengairan . Pengolahan lahan dilakukan dengan cara mencangkul dengan kedalaman 30 cm sampai gembur. Kemudian pembuatan guludan dilakukan dengan memperkirakan jarak tanam yaitu antara 40 -60 cm x 50-75 cm.

Penanaman temulawak. Persiapan penanaman temulawak diawali dengan persemaian bibit temulawak. Bibit temulawak dibagi menjadi 4 jenis sesuai dengan perlakuan pemupukan yaitu BPTO, Pusat Studi Biofarmaka (PSB), BALITRO, dan LOKAL. Pada semua perlakuan kecuali LOKAL dilakukan persemaian bibit ± 3 minggu sebelum siap tanam. Sedangkan untuk LOKAL, bibit langsung ditanam di lahan tanpa ada persemaian. Penanaman dilakukan dengan menanam 1 stek (2-3 tunas) pada setiap lubang dan diberi mulsa jerami. Kemudian dilakukan penyulaman setelah umur 2 bulan setelah tanam (BST) untuk semua perlakuan kecuali LOKAL.

Pemupukan. Pemupukan dibagi menjadi 2 bagian yaitu pemupukan dasar dan pemupukan susulan. Pemupukan dasar dilakukan pada saat sebelum penanaman. Komposisi pemupukan berbeda untuk setiap perlakuan. Pada perlakuan BPTO pemberian pupuk meliputi pupuk kandang 15 ton/ha dan SP -36 180 kg/ha, PSB pemberian pupuk meliputi pupuk kandang 15 ton/ha, SP -36 250 kg/ha, dan urea 70 kg/ha, BALITRO pemberian pupuk meliputi pupuk kandang 15 ton/ha, SP -36 200 kg/ha d an KCl 200kg/ha, dan untuk lokal pemberian pupuk hanya pupuk kandang 7 ton/ha. Pemupukan susulan dilakukan bervariasi yaitu perlakuan BPTO diberikan pada umur 2 dan 4 BST meliputi urea 250 kg/ha dan KCl 150 kg/ha, perlakuan P SB diberikan pada umur 4 BST meliputi urea 70 kg/ha, perlakuan BALITRO diberikan pada umur 1, 2, dan 3 BST meliputi urea 70 kg/ha, dan LOKAL tidak dilakukan pemberian pupuk susulan (lampiran 3).

(19)

Pembumbunan dilakukan setiap bulan sejak 3 bulan setelah tanam. Pengguludan dilakukan khusus untuk perlakuan PSB setiap bulan sejak 2 bulan setelah tanam.

Pemanenan. P emanenan dilakukan setelah temulawak berumur 6, 7, 8, 9, dan 10 bulan setelah tanan. Pemanenan dilakukan dengan memperhatikan standar cara pemanenan temulawak. Pemanenan dilakukan dengan cara penggalian rimpang temulawak dan diusahakan tidak melukai rimpang temulawak. Pemilihan tanaman yang akan dipanen dilakukan dengan metode pengambilan acak.

Metode Analisis Temulawak Preparasi Bahan Baku

Preparasi bahan baku dilakukan dengan cara rimpang temulawak yang sudah dipanen dilakukan beberap a tahap preparasi awal meliputi pencucian dan penyortiran basah yaitu untuk memisahkan rimpang dari kotoran berupa tanah, sisa tanaman, dan gulma. Pencucian dilakukan dengan air bersih, setelah pencucian selesai, sampel ditempatkan dalam wadah yang bersih dan kering. Kemudian dilakukan penimbangan bobot basah temulawak.

Perajangan rimpang dilakukan melintang dengan ketebalan 5 mm menggunakan pisau stainless steel. Hasil rajangan ini dikeringkan dalam oven pada suhu 60 °C sampai berbobot konstan. Rimpang kering ini dihaluskan dengan menggunakan penggilingan dan disaring dengan ukuran 20-80 mesh.

Penentuan kadar Air

Botol timbang dikeringkan pada suhu 105 °C selama 30 menit lalu didinginkan di dalam eksikator dan kemudian ditimbang. Sebanyak ± 3 g sampel ditimbang dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C sampai diperoleh bobot yang tetap. Setelah itu didinginkan dan ditimbang dengan neraca analitik, pekerjaan tersebut dilakukan rangkap tiga. Kadar air dihitung dengan persamaan

Kadar air = (a-b)/a x 100%

a = bobot bahan sebelum dikeringkan b = bobot bahan setelah dikeringkan

Analisis kurkuminoid

Preparasi standar kurkuminoid. Standar kurkuminoid dibuat dengan cara melarutkan standar kurkumin dengan konsentarsi 1000 ppm dan kemudian dilakukan pengenceran hingga didapatkan konsentarsi 1, 2.5, 5, 7.5, dan 10 ppm. Setelah itu dilakukan pengukuran serapan menggunakan spektrofotometer denagn panjang gelombang 420 nm.

Penentuan kadar kurkuminoid temulawak. Sebanyak 0.3 g sampel kurkuminoid ditimbang, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml. Setelah itu ditambahkan tetrahidrofuran (THF) sampai tanda batas dan disimpan selama 24 jam pada suhu kamar. Campuran dikocok secara periodik. Setelah 24 jam penyimpanan dilakukan supernatan temulawak diambil dan dien cerkan hingga 100 kali dengan volume 10 ml . Kemudian dikocok sampai larut sempurna dan larutan tersebut diukur serapannya pada panjang gelombang 420 nm.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi umum

Kegiatan di lapang dilaksanakan di kebun terbuka di Desa Kelurahan, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Penanganan lahan dilakukan dengan cara pengolahan lahan, pengguludan, dan pemeriksaan pengairan. Kemudian dilakukan penanaman dengan terlebih dahulu dilakukan persemaian. Penyulaman dilakukan setelah 2 b ulan setelah tanam.

(20)

LOKAL memiliki kecenderungan meningkat sampai bulan kelima dan pada bulan keenam memiliki kecenderungan menurun (G ambar 3). Perlakuan PSB memiliki pertumbuhan pesat pada bulan kelima apabila dibandingkan dengan perlakuan lain yaitu 234.56 cm.

0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00

2 3 4 5 6

Bulan setelah tanam

Tinggi tanaman (cm)

BALITRO BPTO PSB LOKAL

Gambar 3 Grafik hubungan t inggi tanaman dengan masa tanam.

Pertumbuhan pesat dikarenakan pada bulan keempat perlakuan PSB ditambahkan pupuk susulan sehingga mampu menaikkan tinggi tanaman. Perlakauan BPTO pada bulan kelima tidak mengalami peningkatan tinggi tanaman meskipun dilakukan pemupukan susulan. Hal ini dikarenakan mungkin penambahan pupuk susulan melebihi daya serap tanaman sehingga tidak dapat diserap dengan baik oleh tanaman.

Diameter tanaman diukur pada bulan kedua sampai dengan bulan keenam. Dari hasil pengukuran didapatkan kecenderungan peningkatan diameter tanaman sampai pada bulan keempat sedangkan pada bulan kelima dan keenam memiliki kecenderungan penurunan (G ambar 4). Pemupukan susulan yang dilakukan pada perlakuan BPTO dan PSB pada bulan keempat tidak berpengaruh pada diameter tanaman karena pada satu bulan setelah pemupukan atau bulan kelima terjadi penurunan diameter tanaman. Hal ini terjadi karena pada bulan kelima daun terluar telah mengalami kekeringan sehingga tidak dilakukan pengukuran pada daun yang telah kering .

Pertambahan tinggi dan diameter tanaman terjadi akibat adanya pembelahan dan perpanjangan sel-sel jaringan meristematik pada titik tumbuh batang. Pembelahan sel memerlukan karbohidrat sebagai sumber

energi yang cukup untuk membentuk dinding

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00

2 3 4 5 6

Bulan setelah tanam

Diameter batang

BALITRO BPTO P S B LOKAL

G ambar 4 Grafik hubungan diameter batang dengan masa tanam.

sel dan protoplasma. Kecepatan pembelahan sel bergantung pada ketersediaan karbohidrat yang dihasilkan dari fotosintesis (Harjadi, 1979; Edmond et al., 1983). Hal ini akan berpengaruh pada biomass a rimpang temulawak. Dari hasil penimbangan biomassa rimpang induk temulawak perlakuan BALITRO memiliki suatu kecenderungan lebih tinggi daripada perlakuan yang lain sampai pada 9 bulan setelah tanam dan pada bulan 10 setelah tanam terjadi penurunan biomassa rimpang (Gambar 5). Sedangkan untuk perlakuan LOKAL memiliki biomassa rimpang induk temulawak paling rendah apabila dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Setelah dilakukan uji statistik didapatkan hasil biomassa rimpang induk temulawak tidak berbeda nyata terhadap perlakuan pemupukan yang berarti pemberian pupuk tidak berpengaruh nyata terhadap biomassa rimpang induk temulawak (Lampiran 11).

(21)

(Tonnesen dan K arlsen 1985). Lama pengeringan menggunakan oven lampu listrik ini memakan waktu 2-3 hari.

Setelah rimpang temulawak kering (simplisia).dilakukan penyimpanan dengan menggunakan kantong plastik kedap udara agar tidak terjadi perubahan kadar air maupun sifat bahan apabila disimpan dalam waktu yang lama.

Kadar air pada bulan ke 6 berkisar antara 87.86 % sampai dengan 89.39 % dan mengalami penurunan setiap bulannya (Gambar 6). Nilai kadar air terendah pada bulan ke 10 sebesar 73.53 % pada

0 50 100 150 200 250 300

6 7 8 9 10

Bulan setelah tanam

Bobot(gram/rumpun) BALITRO BPTO PSB LOKAL

Gambar 5 Grafik hubungan biomassa rimpang dengan masa tanam.

70.00 72.00 74.00 76.00 78.00 80.00 82.00 84.00 86.00 88.00 90.00

6 7 8 9 10 Bulan setelah tanam

% kadar air

BALITRO BPTO P S B LOKAL

Gambar 6 Persen rerata kadar air rimpang temulawak.

perlakuan LOKAL dan ter besar pada perlakuan PSB sebesar 73.88 % (Lampiran 10).

Setelah dilakukan pengujian statistik didapatkan hasil analisis kadar air setiap bulan tidak berbeda nyata terhadap perlakuan pemupukan yang berarti pemberian pupuk tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air rimpang temulawak (Lampiran 12). Nilai kadar air yang mengalami penurunan ini seiring dengan berkurangnya jumlah air yang diserap oleh tanaman temulawak dikarenakan musim kemarau yang datang pada bulan Juni sampai dengan bulan Oktober pada saat pemanenan dilakukan.

Penentuan kadar kurkuminoid

Analisis kadar kurkuminoid dilaksanakan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 420 nm. Panjang gelombang ini merupakan panjang gelombang maksimum yang diserap oleh kurkuminoid. Pengukuran sampel rimpang temulawak dilakukan pengenceran 100 kali dari konsentasi semula karena absorbansi dari sampel tidak masuk dalam jarak (range) dari standar antara 1 sampai dengan 10 ppm. Konsentrasi kurkuminoid sampel rimpang temulawak didapatkan dengan cara menghitung menggunakan kurva standar (Lampiran 9) .

Setelah dilakukan konversi terhadap bobot basah didapatkan hasil kandungan kurkuminoid rimpang induk temulawak. Konversi terhadap bobot basah ini bertujuan untuk mengetahui kandungan kurkumi noid rimpang induk pada saat basah atau belum dikeringkan. Kandungan terbesar kurkuminoid pada bulan kesembilan untuk perlakuan PSB (0.23gram/rumpun), LOKAL (0.22 gram/rumpun) , dan BALITRO (0.21 gram/rumpun. Sedangkan untuk perlakuan BPTO pada bulan kesepuluh masih mengalami kecenderungan peningkatan kandungan kurkuminoid. Produktivitas kurkuminoid merupakan kemapuan tanaman temulawak dalam memproduksi kurkuminoid. Produktivitas terbesar dicapai pada perlakuan BALITRO (0.57 gram/rumpun) pada bulan kesembi lan dan terkecil pada bulan keenam pada perlakuan LOKAL (0.07 gram/rumpun .

(22)

gram/rumpun, kemudian BPTO 0.0 9 gram/rumpun, LOKAL 0.06 gram/rumpun, dan terkecil pada BALITRO sebesar 0.05 gram/rumpun(Gambar 7) . Apabila dihitung berdasarkan produktivitas rimpang induk terhadap kurkuminoid setiap rumpun, perlakuan PSB memiliki produktivitas yang paling tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lain (G ambar 8). Setelah dilakukan uji statistik didapatkan hasil tidak berbeda nyata sehingga perlakuan pemupukan pada bulan ini tidak berpengaruh terhadap kandungan kurkuminoid.

Pada bulan ketujuh terjadi kecenderungan peningkatan kandungan kurkuminoid rimpang temulawak kecuali pada perlakuan PSB terjadi penurunan kandungan kurkuminoid . Kecenderungan ini juga terjadi pada produktivitas kurkuminoid. Produktivitas kurkuminoid tiap rumpun meningkat untuk perlakuan BPTO (0.26 gram/rumpun), BALITRO (0.21 gram/rumpun), dan LOKAL (0.21 gram/rumpun) akan tetapi menurun untuk perlakuan PSB (0.18 gram/rumpun). Pada bulan ini perlakuan PSB, BALITRO, dan BPTO telah mengalami kekeringan pada bagian tanaman yang berada di atas tanah,

0.0000 0.0500 0.1000 0.1500 0.2000 0.2500

6 7 8 9 10 Bulan setelah tanam

konsentrasi (gram/rumpun

BALITRO BPTO P S B LOKAL

Gambar 7. Konsentrasi kurkuminoid rimpang induk basah temulawak.

0.0000 0.1000 0.2000 0.3000 0.4000 0.5000 0.6000 0.7000

6 7 8 9 10 Bulan setelah tanam

kurkumin (gram/rumpun)

BALITRO BPTO P S B LOKAL

Gambar 8 Produktivitas kurkuminoid rimpang induk temulawak.

sedangkan pada LOKAL tidak mengalami kekeringan. Hal ini mungkin disebabkan oleh penambahan pupuk yang menyebabkan pertumbuhan tanaman dipercepat dan berakibat masa tanam yang semakin singkat.

Pada kedelapan bagian atas tanaman telah mengalami kekeringan dan mati sehingga menyulitkan dalam pengambilan sampel. Pada bulan ini terjadi peningkatan kandungan kurkuminoid dibandingkan dengan bulan ketujuh maupun keenam yang mungkin diakibatkan oleh berkurangnya jumlah air yang diserap oleh tanaman meskipun tidak ada pertumbuhan vegetatif. Akan tetapi terdapat kecenderungan yang berbeda untuk produktivitas kurkuminoid. Produktivitas kurkuminoid bulan ini mengalami penurunan untuk perlaku an BPTO, PSB, dan LOKAL sedangkan untuk BALITRO terus mengalami kecenderungan peningkatan sebesar 0.27 gram/rumpun menjadi 0.57 gram/rumpun. Hal ini terjadi karena pada bulan ini biomassa rimpang induk temulawak juga mengalami penurunan yang berakibat pada penurunan produktivitas kurkuminoid.

(23)

kesepuluh kandungan maupun produktivitas kurkuminoid mengalami penurunan kecuali pada perlakuan BPTO yang memperlihatkan kecenderungan terus meningkat.

Waktu aplikasi dan komposisi pemupukan tidak dapat dicerminkan dengan kadar kurkuminoid secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat dari kandungan kurkuminoid yang hampir sama dengan perlakuan kontrol atau LOKAL. Uji statistik memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata pada setiap bulan kecuali bulan kesembilan . Sehingga memperkuat dugaan bahwa metabolit sekunder hanya diproduksi pada saat tumbuhan terdesak atau lingkungan tumbuh tidak menguntungkan (Heldt 1997).

Ketersediaan pupuk denga n terus menerus dijaga keberadaanya juga tidak dapat meningkatkan kandungan kurkuminoid pada bulan-bulan awal pemanenan. Pada bulan awal pemanenan yaitu bulan keenam dan ketujuh perlakuan BALITRO yang memiliki kandungan kurkuminoid rendah dan sebaliknya tanpa adanya pemupukan atau dengan pemupukan standar terjadi kenaikan akumulasi kurkuminoid yang terjadi pada perlakuan pemupukan LOKAL.

SIMPULAN DAN SARAN

Komposisi dan waktu aplikasi pemupukan tidak mempengaruhi kadar kurkuminoid yang signifikan. Sedangkan masa tanam akan berpengaruh signifikan terhadap kandungan kurkuminoid temulawak. Perlakuan budidaya yang baik untuk memperoleh produktivitas terbesar adalah perlakuan budidaya BALITRO, sedangkan umur panen yang baik adalah pada umur 9 bulan setelah t anam.

Sebagai saran perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui pengaruh pemupukan secara parsial pada masing-masing pupuk anorganik dan distribusi kurkuminoid pada rimpang temulawak.

DAFTAR PUSTAKA

Afifah E, Tim Lentera. 2003. Khasiat dan Manfaat Temulawak Rimpang Penyembuh Aneka Penyakit. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Anang SF R. 1992. Pengaruh Curcuma Komplek Plus terhadap kerusakan hati mencit yang diinduksi dengan karbon tetraklorida [skripsi]. Bandung: Fakultas Matematika dan Ilmu Penge tahuan Alam, Universitas Padjadaran.

Batubara I, Yusnira, Darusman KL. 2004. Penentuan kadar kurkuminoid pada temulawak menggunakan metode spektroskopi dan kromatografi cair kinerja tinggi. Di dalam: Seminar Nasional Hasil Penelitian MIPA 2004; Semarang: FMIPA Universitas Diponegoro. Hlm 57-60

Dalimarta S. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid 2. Jakarta: Trubus agriwidya.

Darwis SN, Hiyah S, Madjo Indo ABD.1991. Tumbuhan Obat Famili Z ingeberaceae. Bogor: Pusat Pengembangan Tanaman Industri.

Iswadi Y. 2004. Studi pengaruh dosis pupuk kandang ayam dan larutan NaCl terhadap pertumbuhan, hasil, dan kualitas tanaman seledri (Apium graveolens.L.) yang ditanam dengan teknik vertikultur. Bogor: Budidaya P ertanian. Institut Pertanian Bogor.

Harjadi SS. 1996. Pengantar Agronomi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama..

Heldt HW. 1997. Plant Biochemistry and Molecular Biology. New York: Oxford University Pers. Herman AS. 1985. Drying and Storage of Agricultural Corps. Conneccicut: Avi Publishing. Khopkar SM . 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik; penerjemah; Saptoraharjo. Jakarta: UI -Press. Liang OB, Widjaja Y, Puspa S. 1985. Beberapa aspek isolasi, identifikasi, dan penggunaan

komponen-komponen Curcuma xanthorriza Roxb dan Curcuma domestika Val. Di dalam: Symposium Nasional Temulawak. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadaran.

(24)

Montgomery CD. 1995. Data Analysis of Experiment, 3thed. New York: John Willey and sons. Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Jakarta:Agro Media Pustaka.

Poerwowidodo. 1999. Konservasi tanah di kawasan hutan. Bogor: Laboratorium Pengaruh Hutan, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Rougley PJ , Witing DA. 1973. Experiment on the biosintesis of curcumin. J ChemSoc. 2379-2388 Sarief ES. 2000. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Jakarta: Pustaka Buana.

Sidik, Mulyono MW, M utadi A. 1995. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb). Jakarta: Phyto Medika. Sinambela JM. 1985. Fitoterapia, fitostandar dan temulawak. Prosiding Simposium Nasional Temulawak.

Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadaran.

Sutanto R, Utami NH. 1995. Potensi bahan organik sebagai komponen teknologi masukan rendah dalam meningkatkan produktivitas lahan kritis di DIY. Dalam Prosiding Lokakarya dan Ekspose Teknologi Sistem Usaha Tani dan Alsintan.

Suwiah A. 1991. Pengaruh perlakuan bahan dan jenis pelarut yang digunakan pada pembuatan temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) instan terhadap rendeman dan mutunya [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Wahid P, Sudiarto. 1985. Pembudidayaan Tanaman Temulawak. Prosiding symposium nasional temulawak. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadaran.

Wijaya HK. 2002. Tumbuhan Berkhasiat Khas Indonesia, jilid 2. Jakarta:. Milenia Populer.

(25)
(26)

Lampiran 1. Persiapan lahan

Lampiran 2. Penanaman temulawak

Lampiran 3. Pemupukan

Pemupukan

BPTO

PSB

BALITRO

LOKAL

a. Pupuk

Dasar

Pupuk kandang

15 ton/ha, SP-

36: 180 kg/ha

Pupuk kandang 15

ton/ha,

SP- 36: 250 kg/ha

KCl 125 kg/ha

Urea 70 kg/ha

Pupuk kandang

15 ton/ha,

SP- 36: 200 kg/ha

KCl 200 kg/ha

Pupuk

kandang 7

ton/ha,

b. Pupuk

Susulan

2, 4 BST : Urea

@ 250 kg/ha,

KCl 150 kg/ha

4 BST : Urea @ 70

kg/ha

1,2,3,BST : Urea

@ 70 kg/ha

Tidak ada

Lahan

Penggemburan lahan

Pembuatan guludan

Jarak antara 40-60 cm x 60-75 cm

Lahan siap tanam

Persemaian

(27)

Lampiran 4. Pemeliharaan

Lampiran 5. Pemanenan

Penyiangan

Pembumbunan

Pengguludan

Pemeriksaan orga nisme

patogen

Setelah 6 bulan

Pengambilan dengan penggalian atau

penggarpuan

(28)

Lampiran 6. Preparasi Bahan Baku

Lampiran 7. Penentuan kadar kurkuminoid temulawak

Dibersihkan, dirajang (5 mm),

Dioven (60ºC) sampai bobot konstan,

Diblender dan disaring (20-80 mesh)

Rimpang kotor

Simplisia

0.6 g Sampel kurkuminoid

+ THF sampai 10 ml

Filtrat 1

Disimpan 24 jam

Supernatan

Pengenceran 100 kali dengan

metanol

(29)

y = 0.1602x + 0.0679 R2 = 0.9952

0 0.5 1 1.5 2

0 2 4 6 8 10 12

[konsentrasi ]

absorbansi

Lampiran 8. Rekapitulasi data pertumbuhan tanaman temulawak.

Umur (BST) SOP TT (cm) Ø PB (mm) Biofarmaka 108.46 30.68 Balitro 113.41 32.38 BPTO 99.81 29.37 2

Lokal 92.42 23.74 Biofarmaka 171.28 48.10 Balitro 171.28 48.10 BPTO 175.62 45.74 3

Lokal 155.84 42.30 Biofarmaka 203.13 51.91 Balitro 183.11 47.43 BPTO 199.08 45.08 4

Lokal 180.97 46.51 Biofarmaka 230.40 46.02 Balitro 198.99 46.55 BPTO 196.52 38.84 5

Lokal 205.74 36.92 Biofarmaka 234.56 36.43 Balitro 196.75 36.42 BPTO 202.64 37.16 6

Lokal 187.15 33.36 Biofarmaka Balitro BPTO 7 Lokal REBAH SEMUA

Keterangan: TT = Tinggi tanaman

ØPB = Diameter batang

Lampiran 9. Regresi linier standar kurkumin

Konsentrasi [ppm] absorbansi 1 0.198 2.5 0.464 5 0.908 7.5 1.313 10 1.622

(30)

Lampiran 10. Rekapitulasi data rimpang induk temulawak

Per Rumpun Kode Bobot

Basah Bobot Simplisia Kadar Air Total Kadar Air Simplisia Kurkumi noid Kurkumi noid (%-Bobot Basah) Produktivi tas Kurkumin oid TL-6 TRO 257.3684 34.3233 87.8558 9.4033 4.1800 0.0560 0.1442 TL-6 PTO 166.0000 22.4500 87.9892 10.0233 6.5800 0.0878 0.1458 TL-6 BIO 211.6842 28.3867 87.9225 9.7133 5.3800 0.1007 0.2132 TL-6 LOK 117.5965 15.6167 89.3843 8.8367 5.1500 0.0600 0.0706

TL-7 TRO 245.0917 32.9583 87.4194 9.7167 6.0267 0.0874 0.2142 TL-7 PTO 168.5917 31.7333 82.8082 8.7333 8.3233 0.1569 0.2644 TL-7 BIO 231.1917 36.2417 86.2619 8.9100 5.1400 0.0774 0.1789 TL-7 LOK 172.9917 28.8583 84.2636 7.4967 7.1933 0.1228 0.2125

TL-8 TRO 219.8519 43.2778 82.2497 9.7633 7.1833 0.1409 0.3098 TL-8 PTO 185.3611 35.5648 82.3407 8.3933 6.4200 0.1237 0.2293 TL-8 BIO 140.4444 26.3148 83.0522 9.5467 6.6400 0.1243 0.1746 TL-8 LOK 117.1035 21.8796 82.8765 9.4833 6.7900 0.1271 0.1489 TL-9 TRO 265.5119 73.2143 74.4933 7.7833 7.7900 0.2155 0.5722 TL-9 PTO 200.8571 55.9405 74.3359 8.2000 7.0100 0.1960 0.3936 TL-9 BIO 229.5119 61.0000 75.0618 7.6433 8.6500 0.2336 0.5362 TL-9 LOK 221.7807 59.8860 74.8556 6.8900 8.4400 0.2279 0.5055

TL-10 TRO 209.3667 59.9667 73.8143 8.7833 6.7167 0.1924 0.4028 TL-10 PTO 188.3111 54.6422 73.7114 9.2000 7.2267 0.2080 0.3917 TL-10 BIO 258.7000 73.5444 73.8823 8.6400 6.4867 0.1851 0.4788 TL-10 LOK 145.6083 41.7750 73.5328 7.8867 7.1433 0.2052 0.2988

Lampiran 11. Analisis sidik ragam biomassa rimpang induk temulawak

Masa tanam

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. 6 BST Between Groups 47404,579 3 15801,526 4,097 ,049 Within Groups 30852,210 8 3856,526

Total 78256,789 11

7 BST Between Groups 13926,922 3 4642,307 1,407 ,310 Within Groups 26401,873 8 3300,234

Total 40328,795 11

8 BST Between Groups 18955,340 3 6318,447 3,660 ,063 Within Groups 13809,742 8 1726,218

Tot al 32765,081 11

9 BST Between Groups 6530,490 3 2176,830 ,454 ,722 Within Groups 38381,519 8 4797,690

Total 44912,009 11

10 BST Between Groups 19882,564 3 6627,521 2,895 ,102 Within Groups 18316,294 8 2289,537

(31)

Lampiran 12. Analisis sidik ragam kadar air rimpang temulawak

Masa

tanam Squares Sum of df Mean Square F Sig. Between Groups 4,887 3 1,629 ,180 ,907 Within Groups 72,392 8 9,049

6 bst

Total 77,279 11

Between Groups 37,950 3 12,650 2,736 ,113 Within Groups 36,989 8 4,624

7 bst

Total 74,939 11

Between Groups 1,402 3 ,467 ,104 ,956 Within Groups 36,081 8 4,510

8 bst

Total 37,483 11

Between Groups ,989 3 ,330 ,241 ,865 Within Groups 10,932 8 1,367

9 bst

Total 11,921 11

10 bst Between Groups ,208 3 ,069 ,041 ,988 Within Groups 13,401 8 1,675

Total 13,609 11 * The mean difference is significant at the .05 level

Lampiran 13. Analisis sidik ragam kandungan kurkumin oid temulawak

Masa

Tanam Squares Sum of df Mean Square F Sig. 6 bst Between Groups ,004 3 ,001 4,214 ,046 Within Groups ,003 8 ,000

Total ,007 11

7 bst Between Groups ,012 3 ,004 4,032 ,051 Within Groups ,008 8 ,001

Total ,020 11

8 bst Between Groups ,001 3 ,000 ,641 ,610 Within Groups ,002 8 ,000

Total ,003 11

9 bst Between Groups ,003 3 ,001 7,677 ,010* Within Groups ,001 8 ,000

Total ,003 11

10 bst Between Groups ,001 3 ,000 ,724 ,565 Within Groups ,004 8 ,000

Gambar

Tabel 1 Komposisi rimpang temulawak
Gambar 1. Sruktur kurkuminoid
Gambar 2 Biosintesis kurkuminoid menurut Rougley (1973) dan Manito (1981)
Gambar 4 Grafik hubungan diameter batang dengan masa tanam.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya dilakukan pencarian di Google Scholar dan Mendeley untuk menemukan paper yang berhubungan dengan input paper yang dimasukkan dengan parameter atribut

Tahu adalah suatu produk makanan berupa padatan lunak yang dibuat melalui proses1. pengolahan kedelai ( Glycine species ) dengan cara pngendapan proteinnya

kelahiran, atau sampai ibu dan bayi dalam keadaan stabil. 2.) Kunjungan kedua 6 hari pasca

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari proses degradasi selulose, pengaruh waktu, suhu dan konsentrasi katalis terhadap proses degradasi selulose, mempelajari

Penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati tahun 2014 juga menunjukkan hasil yang sama yaitu tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian anemia pada

Ada juga masyarakat yang ingin melakukan perjalanan wisata dan telah memiliki perencanaan perjalanannya tetapi takut pergi sendirian karena takut dengan masalah

Berangkat dari hal tersebut maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kemampuan penalaran matematis, kemampuan menyelesaikan masalah dan efikasi diri

Tujuan kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini adalah menumbuhkan kesadaran akan pentingnya akuntansi bagi dan membekali keterampilan dalam pengelolaan keuangan atau