• Tidak ada hasil yang ditemukan

Valuasi ekonomi hutan kota berdasarkan pendekatan biaya kesehatan (studi kasus Taman Margasatwa Ragunan Jakarta)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Valuasi ekonomi hutan kota berdasarkan pendekatan biaya kesehatan (studi kasus Taman Margasatwa Ragunan Jakarta)"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

VALUASI EKONOMI HUTAN KOTA BERDASARKAN PENDEKATAN

BIAYA KESEHATAN

(Studi Kasus Taman Margasatwa Ragunan Jakarta)

ASYRAFY

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

RINGKASAN

ASYRAFY. Valuasi Ekonomi Hutan Kota Berdasarkan Pendekatan Biaya Kesehatan (Studi Kasus Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta). Dibimbing oleh Ir. Tutut Sunarminto, MSi dan Ir. Rachmad Hermawan MScF.

Pencemaran udara dari kendaraan bermotor diantaranya berdampak pada gangguan kesehatan bagi masyarakat di Jakarta. Salah satu upaya untuk mengatasi pencemaran udara di Jakarta adalah dengan membangun hutan kota, karena hutan kota mampu memberikan manfaat dalam hal penyerapan atau penjerapan gas pencemar udara. Pembangunan ini terkendala karena hutan kota sering tidak mampu ”bersaing” dalam kerangka ekonomi, sehingga hutan kota atau taman yang ada banyak dialih-fungsikan menjadi kawasan pemukiman, kawasan industri, dan komplek perdagangan. Berdasarkan hal tersebut maka valuasi ekonomi hutan kota menjadi suatu langkah strategis dan mendesak untuk dilakukan agar hutan kota yang tersisa bisa terselamatkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi kemampuan Hutan Kota Taman Margastwa Ragunan (TMR) dalam mereduksi pencemaran udara dan mengetahui nilai ekonominya berdasarkan pendekatan biaya kesehatan.

Penelitian dilakukan di Taman Margasatwa Ragunan dan Kecamatan Pasar Minggu tepatnya di sekitar lingkungan warga Kelurahan Ragunan dan Kelurahan Pasar Minggu. Taman Margasatwa Ragunan berdiri resmi pada Tahun 1966 dengan luas keseluruhan 135 ha, memiliki 14957 inidividu tumbuhan dari berbagai jenis.

Penghitungan potensi kemampuan Hutan Kota TMR dalam mereduksi pencemaran udara dilakukan dengan pendekatan kemampuan pohon yang terdapat di TMR dalam menyerap atau menjerap gas pencemar dan debu. berdasarkan penghitungan yang dilakukan didapatkan potensi kemampuan pohon di TMR antara lain: menjerap timbal di udara sebesar 1.407.244,38 µg, menyerap timbal sebesar 29.359.647 µg, menjerap debu 417.602.217 mg, menyerap NO2 sebesar 6.684.445.733 µg, serta menyerap CO oleh tajuk pohon TMR sebesar 19.094.004,21 µg/jam dan SO2 sebesar 301.097.758,7 µg/jam.

Valuasi ekonomi Hutan Kota TMR didekati dengan pendekatan biaya kesehatan sebagai dampak yang diduga akibat pencemaran udara. Berdasarkan hasil data puskesmas Kecamatan Pasar Minggu didapatkan gangguan kesehatan yang terjadi diantaranya ISPA, hipertensi, jantung dan ISPL sementara dari hasil wawancara antara lain gangguan pernafasan, sakit kepala, sukar konsentrasi, iritasi mata dan stress. Berdasarkan gangguan kesehatan tersebut, maka valuasi ekonomi Hutan Kota TMR yang diduga akibat pencemaran udara sebesar Rp.1.519.475.000 (data puskesmas) atau Rp.1.400.466.084 (data wawancara). Pembangunan Hutan Kota TMR menjadi rasional bila manfaat yang diberikan hutan kota ini lebih besar dari biaya pembangunannya. Biaya pembangunan Hutan Kota TMR yang dihitung dari pendekatan biaya Gerhan didapatkan sebesar Rp.194.345.764, hal ini berarti pembangunan Hutan Kota TMR rasional karena mafaatnya lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan (korbanannya)

(3)

SUMMARY

ASYRAFY. Economic Valuation of Urban Forest Based on Health Cost Approach (Case Study at Ragunan Zoo, Jakarta). Supervised by Ir. Tutut Sunarminto, MSi. and Ir. Rachmad Hermawan, MSc.F.

Air pollution in Jakarta which come from motor vehicle can affect trouble of health for society. Developing urban forest is one way to reduce air pollution in Jakarta because urban forest could give benefit by absorption and adsorption pollutant gases and particles. In the other hand, the development of urban forest was often unable to ”compete” if been faced with the opposite situation in the frame of economic. It cause, some of the urban forest converted into residence area, industrial area and trade area. Based on that problem, economic valuation of urban forest was an effort and urgent step in order to save the remained urban forest in Jakarta. The objectives of this research are to gain the potency of urban forest at Ragunan Zoo in reducing air pollution; and its economic value based on health cost approach.

This research was held at district of Ragunan Zoo and Pasar Minggu, exactly in district of Ragunan and Pasar Minggu. Ragunan Zoo was legally stain up in 1966 with 135 ha, has a 14.957 indvidual trees from various species.

The enumeration of urban forest ability potency in reducing air pollution was conducted by measuring the ability of trees at Ragunan Zoo in absorb and adsorb the pollutant gases and particles. Based on the calculation, the trees at Ragunan Zoo can adsorb Pb was equal to 1.407.244,38 µg, absorbing Pb was equal to 29.359.647 µg, adsorbing dust was equal to 417.602.217 mg, absorbing NO2 was equal to 6.684.445.733 µg, absorbing CO (by tree leaves) was equal to 19.094.004,21 µg/hour, and SO2 (by tree leaves) was equal to 301.097.758,7 µg/hour.

Economic valuation of urban forest at Ragunan Zoo could be conducted by health cost approach as impact from air pollution. Based on data gained from the health centre (Puskesmas) at district of Pasar Minggu, people unhealthiness result like ISPA, hypertension, heart disease and ISPL. Data from interview such as: breath trouble, headache, hard to concentrate, eyes irritation and stress. According to that diseases, so the economic valuation of urban forest at Ragunan Zoo was equal to Rp 1.519.475.000 (data from Puskesmas) or Rp 1.400.466.084 (data from interview). The developing of urban forest at Ragunan Zoo is become rational if the urban forest give higher benefit than developing cost. Cost of developing urban forest at Ragunan Zoo by Gerhan (Act of Land Rehabilitation) cost approach was equal to Rp 194.345.728. It can be inferred that the developing urban forest at Ragunan Zoo was rational because the benefit is higher than the cost (the opportunity cost).

(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Valuasi

Ekonomi Hutan Kota Berdasarkan Pendekatan Biaya Kesehatan (Studi

Kasus Taman Margasatwa Ragunan) adalah benar-benar hasil karya saya

sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah

digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga

manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan

dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi

ini.

Bogor, Maret 2008

Asyrafy

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah

memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut

Pertanian Bogor.

Skripsi dengan judul “Valuasi Ekonomi Hutan Kota Berdasarkan

Pendekatan Biaya Kesehatan (Studi Kasus Taman Margasatwa Ragunan)”

dibimbingan oleh Bapak Ir. Tutut Sunarminto MSi, dan Bapak Ir. Rachmad

Hermawan MSc.F. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai ekonomi hutan

kota dari pendekatan biaya kesehatan yang diduga akibat pencemaran udara.

Hal ini didasari dari ketidaksadaran manusia akan perlunya lingkungan alam

yang sehat serta keinginan manusia yang selalu mengarah pada ekonomi

“jangka pendek”, menyebabkan hutan dan taman yang ada sebagai peninggalan

sejarah banyak dialih-fungsikan menjadi kawasan pemukiman, kawasan industri,

jalan raya dan komplek perdagangan. Oleh karena itu penghitungan nilai atau

valuasi ekonomi hutan kota dari salah satu aspek seperti kesehatan menjadi

suatu langkah strategis dan mendesak untuk dilakukan agar hutan kota yang

tersisa bisa terselamatkan.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para

pengambil keputusan dalam melakukan pengalih-fungsian lahan khususnya

Ruang Terbuka Hijau (RTH). Penulis berharap semoga dengan penelitian awal

ini dapat berguna bagi mahasiswa, masyarakat, pemerhati lingkungan maupun

bagi aparat pemerintah pusat dan daerah.

Bogor, Maret 2008

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini banyak pihak yang

telah membantu memberikan bimbingan, bantuan, dukungan dan doa yang akan

selalu penulis kenang dan syukuri. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah

SWT, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak, Ibunda, dan Kakakku tersayang yang telah mencurahkan kasih

sayang, doa yang tulus, dukungan moril dan materil s serta adik-adiku

yang selalu memberikan motivasi.

2. Ir. Tutut Sunarminto, MSi sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Ir.

Rachmad Hermawan, MSc F sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang

telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi serta waktu yang sangat

berharga kepada penulis selama penyusunan skripsi.

3. Dr. Ir. Dodik R Nurochmat, MSc F.Trop sebagai dosen penguji perwakilan

Departemen Manajemen Hutan dan Ir. Sucahyao, MS sebagai dosen

penguji perwakilan Departemen Hasil Hutan.

4. Kepala Taman Margasatwa Ragunan (TMR) atas izin yang diberikan

untuk melakukan penelitian di TMR

5. Bapak Lurah dan Sekertaris Kelurahan Ragunan dan Pasar Minggu atas

izin yang diberikan untuk melakukan penelitian di lingkungan warga

setempat

6. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jakarta (BPLHD), atas izin

penggunaan data

7. Yanti, Adi, Ferianto, adikku Okan dan Ardhi yang telah membantu

pengambilan data, peminjaman fasilitas serta masukkannya dalam

penulisan skripsi ini

8. Teman-teman KSHE angkatan 40 (Angkatan Komodo) atas

kebersamannya dan kekeluargannya,

Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada Tanggal 5 November 1984 sebagai anak

kedua dari lima bersaudara dari pasangan M Rais dan Sri Mulyana. Penulis telah

menempuh pendidikan di SD Negeri 12 Grogol Utara, Jakarta lulus pada Tahun

1997, kemudian melanjutkan sekolah di SLTP Negeri 16 Jakarta lulus pada

Tahun 2000. Pada Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 47 Jakarta dan

selanjutnya melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Fakultas Kehutanan Departemen

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

Penulis juga aktif dalam kegiatan Kelompok Pemerhati Kupu-kupu (KPK)

”Sarpedon” HIMAKOVA sebagai ketua periode 2004. Penulis mengikuti kegiatan

Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Cagar Alam Leuweung

Sancang dan Cagar Alam Kamojang, Garut, Jawa Barat sedangkan Praktek

Pengelolaan Hutan dilaksanakan di KPH Ciamis, Perum Perhutani Unit III Jawa

Barat dan Banten pada Tahun 2006. Pada Tahun 2007 penulis mengikuti

kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) Departemen Konservasi

Sumberdaya Hutan dan Ekowisata di Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera.

Kegiatan lapang yang pernah diikuti adalah Eksplorasi Keanekaragaman Hayati

”SURILI” HIMAKOVA di Taman Nasional Betung Kerihun Kalimantan Barat

(2005) dan di Taman Nasional Way Kambas Sumatera Selatan (2006).

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan

skripsi dengan judul “Valuasi Ekonomi Hutan Kota Berdasarkan Pendekatan

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 3

1.3. Manfaat Penelitian... 3

1.4. Kerangka Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran ... 5

2.1.1. Pengertian pencemaran udara ... 5

2.1.2. Sumber pencemaran udara... 5

2.1.3. Dampak pencemaran udara ... 6

2.2. Hutan Kota... 8

2.2.1. Pengertian Hutan Kota ... 8

2.2.2. Fungsi Hutan Kota... 9

2.2.3. Tipe Hutan kota ... 10

2.2.4. Bentuk Hutan Kota ... 12

2.3. Pengertian Nilai ... 12

2.4. Penetuan Nilai Hutan Kota ... 13

2.5. Analisis Sumberdaya Dalam Daur Kebijakan... 16

III. KONDISI UMUM 3.1. Taman Margasatwa Ragunan ... 19

3.1.1. Sejarah ... 19

3.1.2. Letak dan Luas ... 19

(9)

3.1.4 Fungsi TMR ... 21

3.2 Kelurahan Ragunan dan Pasar Minggu ... 21

3.2.1 Letak dan Luas ... 21

3.2.2 Fisik Kelurahan... 21

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi ... 23

4.2. Alat dan Bahan ... 23

4.3. Jenis dan Cara pengumpulan Data ... 23

4.3.1. Dampak pencemaran udara ... 23

4.3.2. Potensi Kemampuan hutan kota dalam menurunkan pencemaran udara... 25

4.3.3. Presepsi masyarakat tentang mafaat hutan kota dalam menurunkan pencemaran udara... 26

4.3.4. Biaya pembuatan dan pemeliharaan hutan kota ... 26

4.3.5. Valuasi ekonomi hutan kota ... 26

4.4. Analisis Data... 26

4.4.1. Dampak pencemaran udara ... 26

4.4.2. Potensi kemampuan hutan kota dalam menurunkan pencemaran udara... 28

4.4.3. Presepsi masyarakat tentang mafaat hutan kota dalam menurunkan pencemaran udara... 29

4.4.4. Biaya pembuatan dan pemeliharaan Hutan Kota ... 29

4.5.5. Valuasi ekonomi Hutan Kota ... 30

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Dampak Pencemaran Udara ... 31

5.1.1. Pencemaran udara yang terjadi ... 31

5.1.2. Dampak pecemaran udara terhadap kesehatan ... 32

5.1.3. Biaya pengobatan/biaya kesehatan yang harus dikeluarkan sebagai dampak pencemaran udara ... 36

5.2. Potensi Kemampuan Hutan Kota TMR ... 38

5.3. Presepsi Masyarakat tentang Mafaat Hutan Kota dalam Menurunkan Pencemaran Udara... 41

(10)

5.5. Valuasi Ekonomi Hutan Kota TMR ... 43

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan... 45

6.2. Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA

(11)

VALUASI EKONOMI HUTAN KOTA BERDASARKAN PENDEKATAN

BIAYA KESEHATAN

(Studi Kasus Taman Margasatwa Ragunan Jakarta)

ASYRAFY

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(12)

RINGKASAN

ASYRAFY. Valuasi Ekonomi Hutan Kota Berdasarkan Pendekatan Biaya Kesehatan (Studi Kasus Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta). Dibimbing oleh Ir. Tutut Sunarminto, MSi dan Ir. Rachmad Hermawan MScF.

Pencemaran udara dari kendaraan bermotor diantaranya berdampak pada gangguan kesehatan bagi masyarakat di Jakarta. Salah satu upaya untuk mengatasi pencemaran udara di Jakarta adalah dengan membangun hutan kota, karena hutan kota mampu memberikan manfaat dalam hal penyerapan atau penjerapan gas pencemar udara. Pembangunan ini terkendala karena hutan kota sering tidak mampu ”bersaing” dalam kerangka ekonomi, sehingga hutan kota atau taman yang ada banyak dialih-fungsikan menjadi kawasan pemukiman, kawasan industri, dan komplek perdagangan. Berdasarkan hal tersebut maka valuasi ekonomi hutan kota menjadi suatu langkah strategis dan mendesak untuk dilakukan agar hutan kota yang tersisa bisa terselamatkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi kemampuan Hutan Kota Taman Margastwa Ragunan (TMR) dalam mereduksi pencemaran udara dan mengetahui nilai ekonominya berdasarkan pendekatan biaya kesehatan.

Penelitian dilakukan di Taman Margasatwa Ragunan dan Kecamatan Pasar Minggu tepatnya di sekitar lingkungan warga Kelurahan Ragunan dan Kelurahan Pasar Minggu. Taman Margasatwa Ragunan berdiri resmi pada Tahun 1966 dengan luas keseluruhan 135 ha, memiliki 14957 inidividu tumbuhan dari berbagai jenis.

Penghitungan potensi kemampuan Hutan Kota TMR dalam mereduksi pencemaran udara dilakukan dengan pendekatan kemampuan pohon yang terdapat di TMR dalam menyerap atau menjerap gas pencemar dan debu. berdasarkan penghitungan yang dilakukan didapatkan potensi kemampuan pohon di TMR antara lain: menjerap timbal di udara sebesar 1.407.244,38 µg, menyerap timbal sebesar 29.359.647 µg, menjerap debu 417.602.217 mg, menyerap NO2 sebesar 6.684.445.733 µg, serta menyerap CO oleh tajuk pohon TMR sebesar 19.094.004,21 µg/jam dan SO2 sebesar 301.097.758,7 µg/jam.

Valuasi ekonomi Hutan Kota TMR didekati dengan pendekatan biaya kesehatan sebagai dampak yang diduga akibat pencemaran udara. Berdasarkan hasil data puskesmas Kecamatan Pasar Minggu didapatkan gangguan kesehatan yang terjadi diantaranya ISPA, hipertensi, jantung dan ISPL sementara dari hasil wawancara antara lain gangguan pernafasan, sakit kepala, sukar konsentrasi, iritasi mata dan stress. Berdasarkan gangguan kesehatan tersebut, maka valuasi ekonomi Hutan Kota TMR yang diduga akibat pencemaran udara sebesar Rp.1.519.475.000 (data puskesmas) atau Rp.1.400.466.084 (data wawancara). Pembangunan Hutan Kota TMR menjadi rasional bila manfaat yang diberikan hutan kota ini lebih besar dari biaya pembangunannya. Biaya pembangunan Hutan Kota TMR yang dihitung dari pendekatan biaya Gerhan didapatkan sebesar Rp.194.345.764, hal ini berarti pembangunan Hutan Kota TMR rasional karena mafaatnya lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan (korbanannya)

(13)

SUMMARY

ASYRAFY. Economic Valuation of Urban Forest Based on Health Cost Approach (Case Study at Ragunan Zoo, Jakarta). Supervised by Ir. Tutut Sunarminto, MSi. and Ir. Rachmad Hermawan, MSc.F.

Air pollution in Jakarta which come from motor vehicle can affect trouble of health for society. Developing urban forest is one way to reduce air pollution in Jakarta because urban forest could give benefit by absorption and adsorption pollutant gases and particles. In the other hand, the development of urban forest was often unable to ”compete” if been faced with the opposite situation in the frame of economic. It cause, some of the urban forest converted into residence area, industrial area and trade area. Based on that problem, economic valuation of urban forest was an effort and urgent step in order to save the remained urban forest in Jakarta. The objectives of this research are to gain the potency of urban forest at Ragunan Zoo in reducing air pollution; and its economic value based on health cost approach.

This research was held at district of Ragunan Zoo and Pasar Minggu, exactly in district of Ragunan and Pasar Minggu. Ragunan Zoo was legally stain up in 1966 with 135 ha, has a 14.957 indvidual trees from various species.

The enumeration of urban forest ability potency in reducing air pollution was conducted by measuring the ability of trees at Ragunan Zoo in absorb and adsorb the pollutant gases and particles. Based on the calculation, the trees at Ragunan Zoo can adsorb Pb was equal to 1.407.244,38 µg, absorbing Pb was equal to 29.359.647 µg, adsorbing dust was equal to 417.602.217 mg, absorbing NO2 was equal to 6.684.445.733 µg, absorbing CO (by tree leaves) was equal to 19.094.004,21 µg/hour, and SO2 (by tree leaves) was equal to 301.097.758,7 µg/hour.

Economic valuation of urban forest at Ragunan Zoo could be conducted by health cost approach as impact from air pollution. Based on data gained from the health centre (Puskesmas) at district of Pasar Minggu, people unhealthiness result like ISPA, hypertension, heart disease and ISPL. Data from interview such as: breath trouble, headache, hard to concentrate, eyes irritation and stress. According to that diseases, so the economic valuation of urban forest at Ragunan Zoo was equal to Rp 1.519.475.000 (data from Puskesmas) or Rp 1.400.466.084 (data from interview). The developing of urban forest at Ragunan Zoo is become rational if the urban forest give higher benefit than developing cost. Cost of developing urban forest at Ragunan Zoo by Gerhan (Act of Land Rehabilitation) cost approach was equal to Rp 194.345.728. It can be inferred that the developing urban forest at Ragunan Zoo was rational because the benefit is higher than the cost (the opportunity cost).

(14)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Valuasi

Ekonomi Hutan Kota Berdasarkan Pendekatan Biaya Kesehatan (Studi

Kasus Taman Margasatwa Ragunan) adalah benar-benar hasil karya saya

sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah

digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga

manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan

dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi

ini.

Bogor, Maret 2008

Asyrafy

(15)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah

memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut

Pertanian Bogor.

Skripsi dengan judul “Valuasi Ekonomi Hutan Kota Berdasarkan

Pendekatan Biaya Kesehatan (Studi Kasus Taman Margasatwa Ragunan)”

dibimbingan oleh Bapak Ir. Tutut Sunarminto MSi, dan Bapak Ir. Rachmad

Hermawan MSc.F. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai ekonomi hutan

kota dari pendekatan biaya kesehatan yang diduga akibat pencemaran udara.

Hal ini didasari dari ketidaksadaran manusia akan perlunya lingkungan alam

yang sehat serta keinginan manusia yang selalu mengarah pada ekonomi

“jangka pendek”, menyebabkan hutan dan taman yang ada sebagai peninggalan

sejarah banyak dialih-fungsikan menjadi kawasan pemukiman, kawasan industri,

jalan raya dan komplek perdagangan. Oleh karena itu penghitungan nilai atau

valuasi ekonomi hutan kota dari salah satu aspek seperti kesehatan menjadi

suatu langkah strategis dan mendesak untuk dilakukan agar hutan kota yang

tersisa bisa terselamatkan.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para

pengambil keputusan dalam melakukan pengalih-fungsian lahan khususnya

Ruang Terbuka Hijau (RTH). Penulis berharap semoga dengan penelitian awal

ini dapat berguna bagi mahasiswa, masyarakat, pemerhati lingkungan maupun

bagi aparat pemerintah pusat dan daerah.

Bogor, Maret 2008

(16)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini banyak pihak yang

telah membantu memberikan bimbingan, bantuan, dukungan dan doa yang akan

selalu penulis kenang dan syukuri. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah

SWT, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak, Ibunda, dan Kakakku tersayang yang telah mencurahkan kasih

sayang, doa yang tulus, dukungan moril dan materil s serta adik-adiku

yang selalu memberikan motivasi.

2. Ir. Tutut Sunarminto, MSi sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Ir.

Rachmad Hermawan, MSc F sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang

telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi serta waktu yang sangat

berharga kepada penulis selama penyusunan skripsi.

3. Dr. Ir. Dodik R Nurochmat, MSc F.Trop sebagai dosen penguji perwakilan

Departemen Manajemen Hutan dan Ir. Sucahyao, MS sebagai dosen

penguji perwakilan Departemen Hasil Hutan.

4. Kepala Taman Margasatwa Ragunan (TMR) atas izin yang diberikan

untuk melakukan penelitian di TMR

5. Bapak Lurah dan Sekertaris Kelurahan Ragunan dan Pasar Minggu atas

izin yang diberikan untuk melakukan penelitian di lingkungan warga

setempat

6. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jakarta (BPLHD), atas izin

penggunaan data

7. Yanti, Adi, Ferianto, adikku Okan dan Ardhi yang telah membantu

pengambilan data, peminjaman fasilitas serta masukkannya dalam

penulisan skripsi ini

8. Teman-teman KSHE angkatan 40 (Angkatan Komodo) atas

kebersamannya dan kekeluargannya,

Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada Tanggal 5 November 1984 sebagai anak

kedua dari lima bersaudara dari pasangan M Rais dan Sri Mulyana. Penulis telah

menempuh pendidikan di SD Negeri 12 Grogol Utara, Jakarta lulus pada Tahun

1997, kemudian melanjutkan sekolah di SLTP Negeri 16 Jakarta lulus pada

Tahun 2000. Pada Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 47 Jakarta dan

selanjutnya melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Fakultas Kehutanan Departemen

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

Penulis juga aktif dalam kegiatan Kelompok Pemerhati Kupu-kupu (KPK)

”Sarpedon” HIMAKOVA sebagai ketua periode 2004. Penulis mengikuti kegiatan

Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Cagar Alam Leuweung

Sancang dan Cagar Alam Kamojang, Garut, Jawa Barat sedangkan Praktek

Pengelolaan Hutan dilaksanakan di KPH Ciamis, Perum Perhutani Unit III Jawa

Barat dan Banten pada Tahun 2006. Pada Tahun 2007 penulis mengikuti

kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) Departemen Konservasi

Sumberdaya Hutan dan Ekowisata di Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera.

Kegiatan lapang yang pernah diikuti adalah Eksplorasi Keanekaragaman Hayati

”SURILI” HIMAKOVA di Taman Nasional Betung Kerihun Kalimantan Barat

(2005) dan di Taman Nasional Way Kambas Sumatera Selatan (2006).

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan

skripsi dengan judul “Valuasi Ekonomi Hutan Kota Berdasarkan Pendekatan

(18)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 3

1.3. Manfaat Penelitian... 3

1.4. Kerangka Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran ... 5

2.1.1. Pengertian pencemaran udara ... 5

2.1.2. Sumber pencemaran udara... 5

2.1.3. Dampak pencemaran udara ... 6

2.2. Hutan Kota... 8

2.2.1. Pengertian Hutan Kota ... 8

2.2.2. Fungsi Hutan Kota... 9

2.2.3. Tipe Hutan kota ... 10

2.2.4. Bentuk Hutan Kota ... 12

2.3. Pengertian Nilai ... 12

2.4. Penetuan Nilai Hutan Kota ... 13

2.5. Analisis Sumberdaya Dalam Daur Kebijakan... 16

III. KONDISI UMUM 3.1. Taman Margasatwa Ragunan ... 19

3.1.1. Sejarah ... 19

3.1.2. Letak dan Luas ... 19

(19)

3.1.4 Fungsi TMR ... 21

3.2 Kelurahan Ragunan dan Pasar Minggu ... 21

3.2.1 Letak dan Luas ... 21

3.2.2 Fisik Kelurahan... 21

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi ... 23

4.2. Alat dan Bahan ... 23

4.3. Jenis dan Cara pengumpulan Data ... 23

4.3.1. Dampak pencemaran udara ... 23

4.3.2. Potensi Kemampuan hutan kota dalam menurunkan pencemaran udara... 25

4.3.3. Presepsi masyarakat tentang mafaat hutan kota dalam menurunkan pencemaran udara... 26

4.3.4. Biaya pembuatan dan pemeliharaan hutan kota ... 26

4.3.5. Valuasi ekonomi hutan kota ... 26

4.4. Analisis Data... 26

4.4.1. Dampak pencemaran udara ... 26

4.4.2. Potensi kemampuan hutan kota dalam menurunkan pencemaran udara... 28

4.4.3. Presepsi masyarakat tentang mafaat hutan kota dalam menurunkan pencemaran udara... 29

4.4.4. Biaya pembuatan dan pemeliharaan Hutan Kota ... 29

4.5.5. Valuasi ekonomi Hutan Kota ... 30

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Dampak Pencemaran Udara ... 31

5.1.1. Pencemaran udara yang terjadi ... 31

5.1.2. Dampak pecemaran udara terhadap kesehatan ... 32

5.1.3. Biaya pengobatan/biaya kesehatan yang harus dikeluarkan sebagai dampak pencemaran udara ... 36

5.2. Potensi Kemampuan Hutan Kota TMR ... 38

5.3. Presepsi Masyarakat tentang Mafaat Hutan Kota dalam Menurunkan Pencemaran Udara... 41

(20)

5.5. Valuasi Ekonomi Hutan Kota TMR ... 43

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan... 45

6.2. Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA

(21)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Pengaruh Pencemaran... 7

2. Standar kesehatan... 8

3. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian ... 22

4. Kualitas Udara Ambien Jakarta 2006 ... 22

5. Jumlah warga yang diduga terkena dampak pencemaran udara hasil penelusuran data di Puskesmas ... 24

6. Jumlah warga yang diduga terkena dampak pencemaran udara hasil wawancara ... 24

7. Data flora di Hutan Kota ... 25

8. Pendugaan jumlah warga yang terkena dampak pencemaran udara... 27

9. Biaya pengobatan penyakit akibat pencemran udara... 28

10. Kemampuan beberapa pohon di TMR... 29

11. Biaya pembangunan hutan kota ... 29

12. Perhitungan emisi kendaraan di Kelurahan Ragunan dan Pasar Minggu... 31

13. Pengaruh gas pencemar dari kendaraan bermotor tehadap kesehatan manusia... 32

14. Hasil wawancara mengenai penyakit yang didertita di Kelurahan Ragunan dan Pasar Minggu... 33

15. Pendugaan jumlah warga yang diduga terkena dampak pencemaran udara... 34

16. Jumlah warga yang diduga terkena dampak pencemaran udara... 35

17. Biaya pengobatan penyakit akibat pencemaran udara di Kelurahan Ragunan dan Kelurahan Pasar Minggu... 37

18. Biaya pengobatan penyakit akibat pencemaran udara di Kelurahan Ragunan dan Kelurahan Pasar Minggu... 37

19. Kemampuan beberapa pohon di TMR dalam menjerap timbal ... 39

20. Kemampuan beberapa pohon di TMR menyerap timbal ... 39

21. Kemampuan beberapa pohon di TMR menjerap debu... 40

22. Kemampuan beberapa pohon di TMR menyerap NO2 ...40

(22)
(23)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Diagram Alir Kerangka Penelitian... 4

2. Kategori Nilai Ekonomi Total dari Sumberdaya Hutan ... 14

3. Dimensi ekonomi proses pembauatan keputusan penetapan kawasan

Hutan Kota... 17

4. Taman Margasatwa Ragunan ... 20

5. Pemukiman warga di Kelurahan Ragunan dan Pasar Minggu ... 22

6. Persentase hasil wawancara warga di Kelurahan Ragunan ... 33

7. Persentase hasil wawancara warga di Kelurahan Pasar Minggu... 34

(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Kuisioner Pengaruh Hutan Kota terhadap kesehatan masyarakat... 51

2. Inventarisasi flora di Taman Margasatwa Ragunan (TMR) ... 53

3. Data kendaraan bermotor... 57

4. Data emisi kendaraan bermotor ... 57

5. Biaya pengobatan penyakit/orang ... 58

6. Data luas tajuk pohon di TMR ... 59

7. P Harga bibit pohon di Pasaran Umum ... 61

(25)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perubahan kualitas lingkungan hidup di daerah perkotaan seperti DKI

Jakarta, umumnya dikarenakan pesatnya perkembangan kota yang tidak diikuti

pengelolaan daya dukung kota yang memadai. Pertambahan populasi penduduk

sebagai akibat meningkatnya jumlah kelahiran dan menurunnya jumlah kematian

serta arus urbanisasi dari daerah sekitar kota adalah beberapa faktor penyebab

perubahan kualitas lingkungan hidup di Jakarta. Pertambahan populasi ini akan

mengakibatkan peningkatan kebutuhan konversi lahan untuk pembangunan

seperti pembuatan prasarana jalan, daerah perkantoran, rumah sakit, mall, daerah industri, pemukiman dan peruntukan lain, khususnya yang memiliki nilai

ekonomi tinggi.

Perubahan yang menyebabkan penurunan kualitas lingkungan hidup di

Jakarta akan berdampak pada penduduk kota tersebut, seperti meningkatnya

pencemaran udara yang dapat mengakibatkan terganggunya kesehatan. Jakarta

sendiri merupakan salah satu kota tercemar nomor tiga di dunia setelah Meksiko

dan Bangkok. Menurut data, sejak Tahun 2002 hanya terdapat 21 hari baik

berkaitan dengan pencemaran udara, artinya dari 1 tahun di Jakarta hanya ada

21 hari yang udaranya layak untuk dihirup, hari sedang 223 hari, dan hari tidak

sehat 96 hari. Ada juga hari sangat tidak sehat selama 4 hari Anonim (2007).

Data tersebut sangat beralasan karena pencemaran udara yang disebabkan

emisi kendaran bermotor dari tahun ketahun terus meningkat.

Pada Tahun 2005 jumlah motor menembus angka 4,2 juta lebih, jumlah

ini lebih besar dibanding kendaraan roda empat yang hingga kini mencapai 2 juta

lebih (Bappenas 2005) dalam Santosa (2005). Data lainnya menyatakan 79 %

kendaraan di Jakarta berbahan bakar bensin, 20 % memakai bahan bakar solar,

dan 1% lagi berbahan bakar gas yang berpotensi menghasilkan emisi pencemar

udara Santosa (2005) .

Meningkatnya pengguna kendaraan bermotor akan menyebabkan emisi

buangan dari kendaraan juga meningkat, akibatnya pencemaran udara di Jakarta

menjadi semakin parah. Beberapa komponen hidrokarbon dari gas buang

(26)

Karbon monoksida (CO) yang banyak ditemukan dalam konsentrasi tinggi di

perkotaan, diketahui dapat memperburuk penyakit jantung dengan cara

mengganggu kapasitas darah dalam mengangkut oksigen. Kemudian penelitian

epidemiologi terkini menemukan bahwa partikulat diesel bertanggung jawab

terhadap peningkatan gangguan penyakit paru-paru dan jantung bahkan di

tingkat pencemaran yang relatif rendah.

Timbal yang digunakan sebagai peningkat oktan dalam bensin bertimbal

diketahui pula sebagai penyebab kerusakan susunan syaraf dan menurunkan

tingkat kecerdasan (IQ). Pajanan timbal dalam jangka panjang menunjukkan

pada setiap peningkatan 10 sampai 20 µg/dl timbal dalam darah menyebabkan

kehilangan IQ 2,5 poin. Selain itu dalam studi-studi laboratorium, sudah sejak

lama diketahui bahwa SO2 menyebabkan batuk pada pajanan konsentrasi tinggi

dalam jangka pendek, terutama terhadap mereka yang menderita asma (Colville,

et al., 2001)

Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup di

Jakarta adalah dengan mencipta-wujudkan kota di dalam hutan ataupun hutan di

dalam kota, yang umum disebut dengan hutan kota (urban forest). Berdasarkan hasil penelitian, hutan kota dengan vegetasi yang terdapat didalamnya mampu

memberikan manfaat sebagai penjerap serta penyerap partikel logam dan debu,

memproduksi oksigen, memproduksi air tanah, ameliorasi iklim, penyerap gas

beracun serta memiliki manfaat lainnya (Dahlan 2004). Untuk itu pemerintah

menggalakkan pembangunan hutan kota dalam rangka meningkatkan kualitas

lingkungan hidup di perkotaan. Keseriusan pemerintah ini telah dituangkan dalam

PP No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, namun dalam kenyataannya

pembangunan hutan kota terus mengalami benturan dengan kepentingan lain.

Upaya Pemrintahan Provinsi DKI Jakarta membuat beberapa hutan dan taman

atau mempertahankan hutan dan taman yang ada sangat jauh dari tatanan ideal.

Menurut laporan Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota, ruang terbuka hijau di

Jakarta kini hanya terdapat 9%, sementara berdasarkan pemantauan Wahana

Lingkungan Hidup (WALHI) karena banyak pengalih-fungsian lahan dalam lima

tahun terakhir, ruang terbuka hijau itu hanya tinggal 6-7 % Anonim (2007).

Ketidaksadaran manusia akan perlunya lingkungan alam yang sehat serta

keinginan manusia yang selalu mengarah pada ekonomi “jangka pendek”,

(27)

dialih-fungsikan menjadi kawasan pemukiman, kawasan industri, jalan raya, dan

komplek perdagangan.

Menilai manfaat hutan kota dengan suatu harga yang bernilai ekonomi

sangat perlu dilakukan sebagai bahan pertimbangan untuk meningkatkan posisi

tawar, khususnya ketika terjadi benturan peruntukan dengan penggunan lahan

lainya seperti: hotel, mall, rumah sakit, lapangan terbang dan lain sebagainya. Apabila hutan kota dianggap tidak bernilai ekonomi atau manfaat ekonominya

rendah maka dengan posisi tersebut menjadikan prioritas terhadap

pembangunan dan pengembangan hutan kota menjadi sangat rendah. Hal ini

berakibat pada alokasi dana untuk pembangunan dan pemeliharaan hutan kota

dikalahkan untuk kepentingan lain yang dapat mendatangkan keuntungan

ekonomi secarar nyata .

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kemampuan Hutan Kota Taman Margasatwa Ragunan

(TMR) dalam mereduksi pencemaran udara akibat kendaraan bermotor

2. Mengetahui nilai ekonomi Hutan Kota TMR berdasarkan pendekatan

biaya kesehatan

1.3. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah

1. Penelitian ini diharapkan mampu memberi kontribusi informasi kepada

masyarakat mengenai nilai hutan kota, sehingga masyarakat dapat

menyadari dan berpartisipasi dalam pemeliharaannya.

2. Penelitian ini merupakan data awal yang dapat dimanfaatkan sebagai

(28)

1.4. Kerangka Penelitian

Kota dengan jumlah kendaraan bermotor yang banyak memberikan

kontribusi, sangat besar terhadap pencemaran udara yang terjadi. Pencemaran

yang terjadi dapat mengakibatkan gangguan kesehatan bagi masyarakat.

Adanya hutan kota memberikan manfaat ekologis bagi masyarakat sekitar hutan

kota tersebut, karena hutan kota dengan vegetasi yang terdapat didalamnya bisa

mereduksi pencemaran udara sehingga gangguan kesehatan dapat dikurangi.

Atas dasar pemikiran tersebut maka suatu hutan kota dapat dinilai secara

ekonomi dengan kerangka pemikiran penelitian seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Penelitian. KOTA

Kendaraan bermotor

Emisi/gas buangan

Pencemaran udara

Gangguan kesehatan masyarakat kota Vegetasi

Mereduksi dampak pencemaran

udara

Hutan kota Biaya yang dibutuhkan

untuk membangun dan memelihara HK

Nilai Hutan kota

Rasional

• manfaat HK > biaya pemb HK

Tidak rasional

• manfaat HK < biaya pemb HK

Biaya yang dikeluarkan

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Pencemaran

2.1.1. Pengertian Pencemaran Udara

Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk

hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh

kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke titik tertentu yang

menyebabakan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan

peruntukannya (UU RI No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup). Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999

tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yang dimaksud dengan pencemaran

udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen

lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien

turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat

memenuhi fungsinya. Udara ambien sendiri dapat diartiakan sebagai udara

bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir yang berada di dalam wilayah

yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan

manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya.

Pencemaran udara dapat pula diartikan sebagai adanya bahan-bahan

atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan

(komposisi) udara dari keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing

didalam udara dalam jumlah tertentu serta berada diudara dalam waktu yang

cukup lama, akan dapat mengganggu kehidupan manusia, hewan dan

tumbuhan. Bila keadaan itu terjadi maka udara dikatakan telah tercemar (Pohan

2002).

2.1.2. Sumber Pencemaran Udara

Dahlan (2004), mangatakan kendaraan bermotor dan industri

mengeluarkan gas-gas beracun dari hasil pembakaran minyak bumi yang berupa

bensin dan solar. Gas-gas beracun yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor

antara lain : SOx, NOx, O3, Hidrokarbon (HC), Karbon monoksida (CO) dan gas

lainnya. Data yang disampaikan Gabungan Industri Kendaraan Indonesia

(Gaikindo 2007) menyebutkan, setidaknya terdapat 20 juta kendaraan bermotor

di Indonesia pada Tahun 2005 dan dari jumlah itu 60% adalah sepedamotor.

(30)

20% memakai bahan bakar solar, dan 1% lagi berbahan bakar gas. Berdasarkan

data dari Kementerian Lingkungan Hidup dalam Badan Pengelolaan lingkungan

Hidup (BPLHD) Jawa Barat (2007) menyebutkan, polusi udara dari kendaraan

bermotor bensin (spark ignition engine) menyumbang 70% CO, 100% Pb, 60% (HC), dan 60% NOx.

Di sisi lain, terdapat dua sumber pencemar udara di Jakarta, yakni dari

sumber bergerak dan sumber tidak bergerak. Sumber bergerak ialah kendaraan

bermotor, baik roda dua maupun roda empat, baik kendaraan pribadi maupun

kendaraan umum, sedangkan yang disebut sebagai sumber tidak bergerak ialah

pabrik dan pembakaran sampah. Kontribusi sumber bergerak terhadap terjadinya

pencemaran udara mencapai 70%, sedangkan dari sumber tidak bergerak

sebanyak 30%. Dari sumber bergerak, kendaraan pribadi menjadi penyumbang

terbesar terciptanya pencemaran udara yakni 55%, sepedamotor 26%, bus 10%,

serta truk 9%. Sumber bergerak lainnya, yakni sepedamotor memberikan

kontribusi HC dan CO masing-masing sebesar 39% dan 21%, sedangkan bus

dan truk menjadi penyumbang komponen pencemar udara SOx karena

menggunakan bahan bakar solar sebesar masing-masing 35 % Anonim (2007)

2.1.3. Dampak Pencemaran Udara

Menurut WHO (1947) sehat adalah suatu keadaan yang sempurna baik

fisik, mental dan sosial tidak hanya bebas dari kelemahan, penyakit, cacat atau

kekurangan. Definisi ini hendak melihat kesehatan secara menyeluruh, bukan

hanya dari segi fisik saja, sementara menurut UU No 23 Tahun 1992 tentang

Kesehatan yang dimaksud Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa

dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan

ekonomis, maka dengan merujuk dari definsis UU manusia selalu dilihat sebagai

suatu kesatuan yang utuh.

Perhatian masyarakat terhadap kualitas udara semakin besar ketika

mengetahui dampaknya terhadap kesehatan terutama anak-anak. Berdasarkan

studi Bank Dunia (1994) dalam Santosa (2005), pencemaran udara merupakan pembunuh kedua bagi anak balita di Jakarta, 14% bagi seluruh kematian balita

seluruh Indonesia dan 6% bagi seluruh angka kematian penduduk Indonesia.

Dampak terhadap kesehatan yang disebabkan oleh pencemaran udara

akan terakumulasi dari hari ke hari. Pemaparan dalam jangka waktu lama akan

(31)

dan kanker paru-paru. Dampak kesehatan yang diakibatkan oleh pencemaran

udara berbeda-beda antar individu, populasi yang paling rentan adalah kelompok

individu berusia lanjut dan balita. Menurut penelitian di Amerika Serikat dalam

Mughniyah (2001), kelompok balita mempunyai kerentanan 6 kali lebih besar

dibandingkan orang dewasa. Kelompok balita lebih rentan karena mereka lebih

aktif dan dengan demikian menghirup udara lebih banyak, sehingga mereka lebih

banyak menghirup zat-zat pencemar. Pada Tabel 1 disajikan beberapa gas

[image:31.595.117.511.255.706.2]

pencemar dan dampaknya terhadap kesehatan.

Tabel 1. Pengaruh Pencemaran Udara Terhadap Kesehatan

No. Parameter pencemar

Dihasilkan dari Jenis Bahan

Bakar Pengaruh

1 Karbon Monoksida

(CO) • Bensin / Premix BBM 2 Tak

• Gas

• Menurunkan kapasaitas darah untuk membawa oksigen • Melemahkan kemampuan

berpikir

• Memperberat penyakit jantung dan pernapasan

• Menyebabkan sakit kepala (pusing)

2 Karbon Dioksoda (CO2)

• Bensin/Premix • BBM 2 Tak

• Gas

• Mempengaruhi iklim dunia • Melalui “green house effect”

3 Nitrogen Dioksida

(NO2) • Bensin/Premix Solar • BBM 2 Tak

• Memperberat penyakit jantung dan pernapasan

• Iritasi paru-paru

• Menyebabkan hujan asam • Menghambat pertumbuhan • Menurunkan visualitas atmospir

4 Hidrokarbon (HC) Bensin/Premix • Solar

• BBM 2 Tak

• Melalui sistem pernapasan, beberapa senyawa hidrokarbon dapat menyebabkan kanker

5 Partkel debu,

jelaga, asap • BBM 2 Tak Solar Menyebabkan kanker Memperberat penyakit jantung dan pernapasan

• Mengganggu fotosintesa tanaman • Menurunkan visualitas atmosfir

(32)

Gas-gas pencemar di udara memiliki standar atau ambang batas yang

diperbolehkan di udara bebas karena gas pencemar dalam konsentrasi tertentu

berpengaruh terhadap kesehatan. Untuk itu dibuat batas (Standar Kesehatan)

sebagai pengontrol. Pada Tabel 2 disajikan data mengenai standar yang

dipebolekan dan sumber pencemarnya.

[image:32.595.114.506.207.367.2]

Tabel 2. Standar Kesehatan.

PENCEMAR SUMBER KETERANGAN

Karbon monoksida (CO)

Buangan kendaraan bermotor; beberapa

Standar kesehatan: 10 mg/m3 (9 ppm)

Sulfur dioksida (S02)

Panas dan fasilitas pembangkit listrik Standar kesehatan: 80 ug/m3 (0.03 ppm)

Timbal (Pb)

Buangan kendaraan bermotor Standar kesehatan: 2 ug/Nm3 selama 24 Jam

Partikulat Matter Buangan kendaraan bermotor; beberapa proses

Standar kesehatan: 50 ug/m3 selama 1 tahun; 150 ug/m3 Nitrogen dioksida

(N02)

Buangan kendaraan bermotor; panas dan fasilitas

Standar kesehatan: 100 pg/m3 (0.05 ppm) selama 1 jam Ozon (03) Terbentuk di atmosfir Standar kesehatan: 235 ug/m

3

(0.12 ppm) selama 1 jam Catalan: 1 kubik meter (1m3) setara dengan 35.3 cu ft; 1 milligram (1 mg) setara dengan 0.00004 oz; 1 mikrogram (1ug) setara dengan 0.00000004 oz

Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup RI dalam BPLHD (2007)

2.2. Hutan kota

2.2.1. Pengertian Hutan kota

Definisi hutan kota (urban forest) menurut Fakuara (1987) adalah tumbuhan atau vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat

lingkungan yang sebesar-besarnya dalam kegunaan-kegunaan proteksi, estetika,

rekreasi dan kegunaan-kegunaan khusus lainnya, sedangkan menurut hasil

rumusan Rapat Teknis Departemen Kehutanan (1991) dalam Dahlan (2004), hutan kota didefinisikan sebagai suatu lahan yang bertumbuhan pohon-pohonan

di dalam wilayah perkotaan di dalam tanah negara maupun tanah milik yang

berfungsi sebagai penyangga lingkungan dalam hal pengaturan tata air, udara,

habitat flora dan fauna yang memiliki nilai estetika dan dengan luas yang solid

yang merupakan ruang terbuka hijau pohon-pohonan, serta areal tersebut

ditetapkan oleh pejabat berwenang sebagai hutan kota.

Fakultas Kehutanan (1988), mendefenisikan hutan kota sebagai sebuah

areal yang ditumbuhi berbagai tegakan yang merupakan suatu unit ekosistem

yang berfungsi dan berstruktur sebagai hutan dalam wilayah perkotaan yang

memberikan manfaat lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk kota bagi

(33)

PP RI No 63 Tahun 2002, hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang

bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan

baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota

oleh pejabat yang berwenang. Jadi secara keseluruhan pengertian mengenai

hutan kota menyangkut beberapa hal yaitu:

1. Areal diperkotaan yang ditunjuk peruntukannya

2. Ditumbuhi berbagai tegakan/vegetasi

3. Tegakan/vegetasinya memiliki fungsi ekologis bagi lingkungan perkotaan

2.2.2. Fungsi dan Manfaat Hutan kota

Fakuara (1986) menyatakan fungsi hutan kota antara lain untuk

konservasi tanah dan air, sarana kesehatan, olahraga, wadah rekreasi dan

wisata, kesegaran dan keindahan, sarana pendidikan dan penyuluhan, menahan

dan meredam suara, karbon monoksida, produksi oksigen, menahan serangan

angin, mengendalikan sinar langsung dan pantulan sinar matahari, meredam

kebisingan dan produksi terbatas. Menurut Grey dan Deneke (1978) dalam

Dahlan (2004) fungsi hutan kota yaitu untuk perbaikan iklim, kegunan

engineering, arsitektural dan kegunaan estetik. Grey dan Deneke (1978) dalam

Dahlan (2004) juga menyebutkan bahwa elemen-elemen pokok seperti

penyinaran matahari, kelembaban udara mempengaruhi kenyamanan hidup

manusia dan penghuni lainya di bumi, lebih lanjut dinyatakan pula hutan kota

memberikan keuntungan dalam hal modifikasi suhu, peresapan air hujan,

pengendali polusi udara, pengelolaan limbah air dan memperkecil pantulan sinar

matahari serta cahaya menyilaukan. Dahlan (2004), menyebutkan beberapa

fungsi yang dimiliki hutan kota antara lain:

1. Fungsi penyehatan lingkungan ; sebagai penyerap dan penjerap partikel

logam, timbal, dan debu (semen), mengurangi bahaya hujan asam, penyerap

gas beracun dan CO2.

2. Fungsi pengawetan; sebagai tempat pelestarian plasma nutfah, sebagai

habitat burung dan satwa lainya.

3. Fungsi estetika; untuk meningkatkan citra suatu kota dan menutupi bagian

kota yang kurang baik.

4. Fungsi perlindungan; sebagai peredam kebisingan, ameliorasi iklim mikro,

penepis cahaya silau, penahan angin, penyerap dan penepis bau, mengatasi

(34)

5. Fungsi produksi; penyedia air tanah, kayu, kulit, oksigen.

6. Fungsi lainya; identitas wilayah, pengelolaan sampah, pendidikan dan

penelitian, mengurangi stress, penunjang rekreasi dan pariwisata, dll.

2.2.3. Tipe Hutan kota

Hutan kota yang dibangun tentunya harus memiliki tujuan dan

keselarasan dengan tipe hutan kota yang akan dibangun. Keselarasan ini akan

memberikan kontribusi yang besar akan manfaat yang diharapakan dengan

dibangunnya hutan kota. Beberapa tipe hutan kota menurut Dahlan (2004) antara

lain:

1. Tipe Pemukiman

Hutan kota yang dibangun pada areal pemukiman bertujuan utama untuk

pengelolaan lingkungan pemukiman, maka yang harus dibangun adalah hutan

kota dengan tipe pemukiman. Hutan kota tipe ini lebih dititik-beratkan kepada

keindahan, penyejukan, penyediaan habitat satwa khususnya burung, serta

tempat bermain dan bersantai. Hutan kota di daerah pemukiman dapat berupa

taman dengan komposisi tanaman pepohonan yang tinggi dikombinasikan

dengan semak dan rerumputan.

2. Tipe Kawasan Industri

Suatu wilayah perkotaan pada umumnya mempunyai satu atau beberapa

kawasan industri. Limbah dari industri dapat berupa partikel, aerosol, gas dan

cairan yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Di samping itu juga dapat

menimbulkan masalah kebisingan dan bau yang dapat mengganggu

kenyamanan, maka harus dibangun hutan kota dengan tipe kawasan industri

yang mempunyai fungsi sebagai penyerap pencemar, tempat istirahat bagi

pekerja, tempat parkir kendaraan dan keindahan.

3. Tipe Pelestarian Plasma Nutfah

Hutan konservasi mengandung tujuan untuk mencegah kerusakan

perlindungan dan pelestarian terhadap sumberdaya alam. Bentuk hutan kota

yang memenuhi kriteria ini antara lain : kebun raya, hutan raya dan kebun

binatang. Ada dua sasaran pembangunan hutan kota untuk pelestarian plasma

nutfah yaitu :

(35)

2. Sebagai habitat, khususnya untuk satwa yang akan dilindungi atau

dikembangkan

Hutan kota dapat diarahkan kepada penyediaan habitat burung dan satwa

lainnya. Suatu kota sering kali mempunyai kekhasan dalam satwa tertentu,

khususnya burung yang perlu diperhatikan kelestariannya. Untuk melestarikan

burung tertentu, maka jenis tanaman yang perlu ditanam adalah yang sesuai

dengan keperluan hidup satwa yang akan dilindungi atau ingin dikembangkan,

misalnya untuk keperluan bersarang, bermain, mencari makan ataupun untuk

bertelur.

4. Tipe Perlindungan

Selain dari tipe yang telah disebutkan di atas, areal kota dengan mintakat

ke lima yaitu daerah dengan kemiringan yang cukup tinggi yang ditandai dengan

tebing-tebing yang curam ataupun daerah tepian sungai perlu dijaga dengan

membangun hutan kota agar terhindar dari bahaya erosi dan longsoran. Hutan

kota yang berada di daerah pesisir dapat berguna untuk mengamankan daerah

pantai dari gempuran ombak laut yang dapat menghancurkan pantai. Untuk

beberapa kota masalah abrasi pantai ini merupakan masalah yang sangat

penting.

Untuk kota yang memiliki kuantitas air tanah yang sedikit dan atau

terancam masalah intrusi air laut, maka fungsi hutan yang harus diperhatikan

adalah sebagai penyerap, penyimpan dan pemasok air, maka hutan yang cocok

adalah hutan lindung di daerah tangkapan airnya.

5. Tipe Pengamanan

Hutan kota dengan tipe pengamanan adalah jalur hijau di sepanjang tepi

jalan bebas hambatan, dengan menanam perdu yang liat dan dilengkapi dengan

jalur pohon pisang serta tanaman yang merambat dari legum secara

berlapis-lapis, akan dapat menahan kendaraan yang keluar dari jalur jalan. Sehingga

bahaya kecelakaan karena pecah ban, patah setir ataupun karena pengendara

mengantuk dapat dikurangi.

Pada kawasan ini tanaman harus betul-betul cermat dipilih yaitu yang

tidak mengundang masyarakat untuk memanfaatkannya. Tanaman yang tidak

(36)

2.2.4. Bentuk Hutan kota

Hutan kota memilik berbagai bentuk mulai dari jalur hijau sampai tempat

pemakaman umum. Bentuk-bentuk tersebut tentunya memiliki fungsi sesuai

dengan peruntukkannya agar tujuan dibangunnya hutan kota dapat tecapai

secara maksimal. Adapun bentuk-bentuk hutan kota yang umum dalam

mengatasi masalah lingkungan hidup di perkotaan antara lain :

1. Jalur hijau, biasanya dibangun di tepi jalan raya, di bawah kawat listrik

tegangan tinggi, di tepi jalan kereta api, dan di tepi sungai. Bentuk Jalur hijau

baik di dalam atau di luar kota dapat dibangun dan dikembangkan sebagai

suatu hutan kota. Ruang Terbuka Hijau (RTH) berupa jalur, dibangun untuk

diperoleh manfaatnya untuk meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan

yang baik.

2. Taman kota, dapat diartikan sebagai areal RTH diperkotaan yang sebagian

maupun seluruh tanamannya ditanam dan atau ditata sedemikian rupa, dan

merupakan hasil rekayasa manusia untuk mendapatkan komposisi tertentu

yang indah.

3. Kebun dan halaman, dapat memberikan prestise tertentu. Oleh sebab itu

halaman rumah ataupun kebun dapat ditata apik sedemikian rupa untuk

mendapatkan citra, kebanggaan dan keindahan tertentu, sekaligus dapat

memberikan kontribusi dalam peningkatan kualitas lingkungan hidup di

perkotaan.

4. Kebun raya, hutan raya dan kebun binatang dapat dimasukkan ke dalam

salah satu bentuk hutan kota, karena mampu memberikan kontribusi secara

ekologis bagi peningkatan kualitas lingkungan hidup perkotaan. Adapun

bentuk lain dapat berupa hutan lindung, kuburan dan taman makam

pahlawan yang banyak ditumbuhi vegetasi.

2.3. Pengertian Nilai

Hutan dengan karateristik yang ada sebagai suatu ekosistem hutan tentu

merupakan aset sumberdaya alam (natural capital) yang secara potensial bersifat permanen. Nilai aset mereflesikan nilai ekonomi yang dimiliki oleh suatu

sumberdaya, dalam hal ini adalah ekosistem hutan di daerah tertentu (Bahruni,

2001), sedangkan nilai sendiri menurut Bahruni (2001), merupakan persepsi

manusia, tentang makna sesuatu objek (sumberdaya hutan), bagi orang

(37)

ungkapan, pandangan, prespektif seseorang (individu) tentang atau terhadap

suatu benda, dengan proses pemahaman melalui panca indera yang diteruskan

ke otak untuk proses pemikiran yang berpadu dengan harapan ataupun

norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat.

Pengertian nilai ekonomi menurut konsep ekonomi bahwa kegunaan,

kepuasan atau kesenangan yang diperoleh individu atau masyarakat tidak

terbatas kepada barang dan jasa yang diperoleh melalui jual-beli (transaksi) saja

tetapi semua barang dan jasa yang akan memberikan manfaat kesejahteraan

bagi masyarakat (Bahruni 2001).

2.4. Penentuan Nilai Hutan kota

Penentuan nilai lingkungan (hutan kota) dari suatu kegiatan yang

berdampak pada kehidupan sangat diperlukan. Hal ini menjadi penting karena

program konservasi untuk penyehatan lingkungan seperti hutan kota sering tidak

mampu ”bersaing”, bila dihadapkan pada kondisi yang mempertentangkannya,

ketidakmampuan bersaing ini juga didasari karena hutan kota tidak diketahui

manfaat (nilai ekonominya). Berbagai hal yang menyebabkan manfaat (nilai

ekonomi) hutan kota tidak diketahui, yaitu karena faktor-faktor khusus

(karakteristik) hutan kota yang dalam hal ini adalah barang dan jasa yang dimiliki

hutan kota. Terdapat dua kategori barang dan jasa yaitu privat dan publik. Pada

barang dan jasa privat orang yang mau mendapatkan barang tersebut harus

melalui proses jual–beli, sedangkan terhadap barang publik, individu masyarakat

dapat memperoleh kegunaan dan kepuasan tanpa harus membayar. Menurut

Bahruni (2001), barang publik ini memilki ciri:

1. Barang dan jasa tidak bersifat non rival, joint supply atau indivisible (tidak dapat dibagi), yaitu penggunaan oleh seseorang tidak mengurangi

ketersediaannya untuk dimanfaatkan bagi orang lain, tidak menjadi langka.

2. Barang dan jasa tidak bersifat nonexcludability atau non exclusive, sehingga pemilik tidak terjamin hak kepemilikannya, karena orang lain dapat

memperoleh manfaat tanpa memberikan korbanan (membayar/ membeli).

Kebanyakan barang dan jasa sudah memiliki harga di pasar yang terjadi

melalui proses jual-beli. Namun tidak demikian halnya dengan barang dan jasa

lingkungan, kebanyakan dari manfaat hutan kota yang berupa jasa lingkungan

(38)

Nilai Ekonomi Total (Total Ekonomii Value)

Nilai guna (Use value) Nilai bukan guna (Non-use value)

Nilai guna tak langsung (Indirect use value) Nilai pillihan (Optoin value) Nilai guna langsung (Dierect use value) Nilai keberadaan (Existence value) Manfaat regional Nilai langsung dan tak langsung

yang akan datang • Kayu • Makanan • Biomassa • Rekreasi Nilai pengetahuan

• Fungsi ekologis

• Resapan air

• Produksi oksigen

• Keanekaragaman hayati

• Perlindungan habitat

• Habitat • Spesies langka Hasil yang dapat dikonsumsi Nilai bukan guna langsung Other non-use value

misalnya, dipercaya sebagai hal yang sangat penting tetapi justru kerap sangat

sulit dinilai dalam suatu moneter.

Penting dikemukakan bahwa penilaian hutan kota bukan berusaha untuk

mengadakan nilai yang tidak ada, tetapi suatu upaya bagaimana mengukur nilai

yang sesungguhnya dimiliki oleh hutan tersebut, yang secara nyata dirasakan

manfaatnya oleh masyarakat. Beranjak dari pemaparan konsep nilai ini, berbagai

elemen mencoba mengklasifikasikan nilai ini atas berbagai macam

pengelompokan (klasifikasi), sesuai dengan cara pengelompokannya. Pearce

dan Turner (1990) dalam Bahruni (2001), membuat klasifikasi manfaat yang menggambarkan Nilai Ekonomi Total (Total Ekonomi Value), atas dasar klasifikasi menurut cara atau proses manfaat itu diperoleh. (Gambar 2)

[image:38.595.120.501.308.625.2]

Sumber: Paerce (1992) dalam Bahruni (2001)

Gambar 2. Kategori Nilai Ekonomi Total dari Sumberdaya Hutan

Penilaian ekonomi adalah proses kuantifikasi nilai biofisik dan fenomena

sosial budaya untuk setiap indikator nilai menjadi nilai ekonomi (moneter) dengan

metode tertentu sesuai dengan sifat setiap indikator tersebut. Pemilihan metode

(39)

setiap jenis nilai yang diklasifikasikan atas nilai guna langsung dan nilai guna

tidak langsung.

Nilai guna langsung merupakan nilai yang bersumber dari penggunaan

secara langsung oleh masyarakat atau perusahaan terhadap komoditas hasil

sumberdaya hutan, berupa flora, fauna dan komoditas dari proses ekologis

(ekosistem hutan). Jenis manfaat penggunaan langsung ini dikelompokan atas 1)

Bahan baku industri, 2) Bahan bangunan, 3) Sumber energi, 4) Pangan

(makanan), 5) Flora fauna untuk hiasan dan peliharaan, 7) Air konsumsi rumah

tangga Fakultas Kehutanan IPB (1999) dalam Bahruni (2001).

Nilai guna tidak langsung merupakan manfaat yang diperoleh

individu/masyarakat melalui penggunaan secara tidak langsung terhadap

sumberdaya hutan yang memberikan jasa (pengaruh) pada aktivitas/produksi

atau mendukung kehidupan makhluk hidup. Jasa hutan dihasilkan dari suatu

proses ekologis, dari komponen biofisik ekosistem hutan. Nilai sumberdaya hutan

yang termasuk dalam kategori nilai guna tidak langsung (indirect use value) adalah berbagai fungsi jasa hutan berupa manfaat hutan seperti pengendalian

banjir, produksi oksigen, penyerap CO2, mereduksi pencemar udara, daerah

resapan air dan ameliorasi iklim.

Berbagai metode penilaian terhadap lingkungan telah banyak dipraktikan

dalam banyak proyek di berbagai negara. Metode-metode tersebut pada

dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga macam metode: 1) metode secara

langsung didasarkan pada nilai pasar atau produksivitas; 2) metode yang

menggunakan nilai pasar pengganti atau barang pelengkap; 3) metode yang

didasarkan hasil survei. Sementara menurut Bahruni (2001), metode penilaian

tersebut antara lain:

1. Metode nilai sosial bersih (net social benefit) : metode ini digunakan jika ada data demand dan supply yang lengkap (series) sehingga dapat dibuatkan kurva demand dan supply.

2. Metode harga pasar (market price) : metode ini digunakan jika barang/jasa hutan yang akan dinilai terdapat harganya di pasar (lokal, regional, nasional)

sehingga ada harganya seperti kayu bulat. Dalam menilai atau memberikan

harga terhadap dampak lingkungan, selama ada harga pasar untuk produk

atau jasa yang hilang atau yang timbul terhadap dari adanya suatu proyek

(40)

3. Metode harga pengganti (subtitute price) : jika barang yang akan dinilai memiliki barang subtitusi dan barang subtitusi tersebut terdapat harganya.

Maka nilai barang terrsebut didekati dari harga barang subtitusinya.

4. Metode biaya perjalanan : pendekatan ini biasanya dilakukan untuk menilai

jasa hutan berupa rekreasi. Nilai rekreasi diperoleh dari besarnya biaya yang

dikeluarkan oleh seluruh orang yang ber-rekreasi ke tempat tersebut.

5. Metode valuasi kontingensi : metode ini dilakukan dengan cara menanyakan

langsung kepada responden (menggunakan kuisioner/daftar pertanyaan)

tentang kesedian membayar (willingnes to pay)/kesediaan dibayar (wilingnes to accept) kepada/oleh pihak lain sebagai kompensasi telah memelihara keadaan hutan sehingga nilai pilihan dan nilai keberadaan hutan tersebut

tetap terpelihara.

2.5. Analisis Ekonomi Sumberdaya dalam Daur kebijakan

Manfaat-manfaat sosial sering menjadi pertimbangan dalam proses

pembuatan keputusan mengenai aloksi sumberdaya nasional untuk kepentingan

pendidikan, kesehatan, kesenian dan sebagainya. Sulitnya membuat justifikasi

politis bagi penetapan kawasan yang dalam hal ini adalah hutan kota, bukan saja

karena adanya kesulitan dalam penilaian serta campur aduknya manfaat yang

dimiliki, melainkan karena yang lebih tampak adalah ”biaya jangka panjangnya”.

Oleh karena itu pembangunan hutan kota sering menempati peringkat bawah

dibandingkan dengan pembangunan ekonomi yang menghasilkan manfaat

rupiah secara nyata.

Begitu suatu kawasan yang dalam hal ini ”Hutan kota” direncanakan

untuk dilindungi, kelompok-kelompok penentang juga akan segera terbentuk.

Daerah industri, daerah pemukiman, ataupun pelebaran jalan yang umumnya

lebih memiliki potensi ekonomis akan memiliki akses yang lebih besar dalam

proses pembuatan keputusan, dengan kekuatan politis dan argumen yang kuat,

suatu hutan kota dapat berubah peruntukannya. Untuk itulah dibutuhkan suatu

argumen dan dasar ekonomi yang cukup kuat dalam suatu proses pembuatan

keputusan mengenai kawasan yang akan dijadikan hutan kota, karena selama ini

proses pembuatan keputusan hanya berlandaskan argumen ekologis, hal ini

menyebabkan penentuan kawasan sering kalah oleh argumen yang bersifat

(41)

Evaluasi kontribusi kawasan bagi sistem perlindungan Menentukan penggunaan yang konsisten dengan tujuan Penentuan tujuan perlindungan Hutan kota berdasarkan pertimbangan biologi, sosial, dan ekonomi

Jika (3) kecil pembangunan Hutan kota diteruskan Perkiraan manfaat kualitatif (2)

Jika (3) besar tetapi lebih kecil dari (1) pembangunan Hutan kota diteruskan Mentukan kebutuhan anggaran untuk mencapai tujuan (1)

Jika (3) > (1) evaluasi ((3) - (1)) vs (2) keputusan politis diperlukn

Jika (1) + (2) kecil Hutan kota dibatalkan

Jika (1) + (2) besar, evaluasi manfaat penggunan alternatif (3)

Perkiraan manfaat kuantitatif (1)

Analisis ekonomi sumberdaya sebenarnya memiliki peran yang lebih

besar dalam proses pembuatan keputusan. Sebelum suatu kawasan hutan kota

ditetapkan, pertama-tama harus dibuat kejelasan mengenai tujuan perlindungan

kawasan. Begitu tujuan tersebut ditetapkan, selanjutnya dievaluasi untuk

menentukan kontribusinya sehingga ditetapkan sebagai kawasan hutan kota.

Dibutuhkan penilaian terhadap sumberdaya hutan kota dan estimasi

manfaat-manfaat yang dapat diberikan dari hutan tersebut, semuanya harus dijelaskan

sepraktis mungkin, dengan teknik penilaian ekonomi yang paling tepat. Secara

sederhana dapat digambarkan seperti Gambar 3

[image:41.595.115.512.265.595.2]

Sumber : Dixon dan Sherman (1990) dalam Wiratno dkk (2004)

Gambar 3. Dimensi ekonomi proses pembauatan keputusan penetapan kawasan hutan kota.

Jika manfaat perlindungan relatif kecil, maka tidak ada kebutuhan untuk

meneruskan analisis namun sebaliknya, jika manfaat perlindungan cukup besar,

maka langkah berikutnya adalah menentukan nilai dari pemanfaatan lain

(pemanfaatan alternatif). Jika nilai dari pemanfaatan alternatif yang terbaik masih

(42)

harus ditetapkan sebagai hutan kota, namun jika pemanfaatan alternatif lebih

besar maka keputusannya menjadi lebih sulit, pada kasus ini manfaat bersih dari

hutan kota akan dibandingkan dengan manfaat bersih dari pemanfaatan.

Jika ternyata nilai bersih manfaat kuantitatif hutan kota masih lebih besar

dari manfaat untuk pemanfaatan alternatif maka kawasan tersebut termasuk

dalam kategori ”kawasan dengan manfaat sosial” dan karenanya harus dijadikan

hutan kota, tetapi jika manfaat penggunaan alternatif lebih besar dari manfaat

kuantitatif hutan kota maka keputusannya akan menjadi lebih sulit lagi. Pada

kondisi ini, perbedaan manfaat kuantitatif dan kedua macam penggunaan

(43)

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITTIAN

3.1. Taman Margasatwa Ragunan 3.1.1. Sejarah

Kebun binatang pertama di Jakarta bernama "Planten En Dierentuin" dibuka secara resmi pada Tahun 1864 di daerah Cikini, Jakarta Pusat (Anonim

2007). Kebun Binatang tersebut dikelola oleh Perhimpunan Penyang Flora dan

Fauna Jakarta (Culture Veriniging Plenten en Dierentuin at Batavia) dengan luas 10 hektar. Setelah Indonesia merdeka, pada Tahun 1949 namanya dirubah

menjadi Kebun Binatang Cikini. Tempat di daerah Cikini menjadi terlalu kecil dan

tidak cocok untuk peragaan satwa. Kemudian pada Tahun 1964 Pemerintah DKI

Jakarta menghibahkan tanah seluas 30 hektar di pinggiran Selatan Jakarta,

Ragunan, Pasar Minggu. Kebun Binatang Ragunan dibuka secara resmi,

Tanggal 22 Juni 1966 oleh Gubernur DKI Jakarta dengan nama Taman

Margasatwa Ragunan (TMR). Pengelolaan Kebun Binatang Ragunan diwariskan

oleh seorang pecinta satwa, Benjamin Gaulstaun yang juga sebagai direktur

pertama TMR (Anonim 2007).

3.1.2. Letak dan Luas

Taman Margasatwa Ragunan terletak pada posisi 106o48 BT dan 06o15'

LS dan berjarak 20 km dari pusat Kota Jakarta (Tata lingkungan TMR 2006).

Secara administrstif TMR termasuk dalam wilayah Kelurahan Ragunan,

Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan dengan batas wilyah sebagai berikut :

1. Sebelah Barat berbatasan dengan Jl. Kav POLRI dan Jl. Jati

Padang

2. Sebelah Timur berbatsan dengan Jl. Jati Padang

3. Sebelah Utara berbatsan dengan Jl Harsono

4. Sebelah Selatan berbatsan dengan Jl. Sagu

Luas keseluruhan 135 ha. Tata guna lahan TMR meliputi lahan yang telah

terbangun 52%, kantor dan kandang 32 ha, taman 15 ha, danau 7 ha, lapangan

parkir 5 ha dan saluran air 10 ha.

3.1.3. Fisik Taman Margasatwa Ragunan

Taman Margasatwa Ragunan merupakan dataran rendah dengan

(44)

harian berkisar antara 22.5o-28.5o dan kelembaban udara sebesar 85% serta

curah hujan 2291 mm per tahun dengan jenis tanah Latosol Merah (Tata

Lingkungan TMR 2006). Dibangun menurut rancangan konsep kebun binatang

terbuka. Koleksi satwanya lebih dari 3000 ekor, terdiri dari 270 jenis, dimana 90%

nya adalah satwa asli Indonesia. Setiap satwa diperagakan dalam kandang

menurut habitat aslinya. Selain itu terdapat sekitar 14957 individu tanaman

dengan 169 jenis dari 49 famili yang tersebar di lahan seluas 135 ha yang

memberikan kesejukkan dan kenyamanan baik untuk satwa maupun pengunjung.

Sumber : Tata Lingkungan TMR 2006 Keterangan :

1. Parkir Mobil Utara 14. Kandang Binturong 27. Loket Barat 2. Children Zoo 15. Parkir Motor Utara 28. Areal Kesehatan

3. Pusat Informasi 16. Terarium III 29. Gudang baru, Nursery

4. Kandang Burung Jalak Bali 17. Terarium II 30. Kesehatan lama, Kand. Kuda 5. TSIK 18. Kandang Singa/Orang Utan 31. Kand. Gorila, Orang Utan

6. Samping TSIK 19. Kandang Unggas lam 32. Pulau

7. Kandang gajah Peragaan 20. Kand.Mamalia,Beruang 33. Kandang Onta, Kand. Banteng 8. Dokenel 21. Jembatan Kuda Nil 34. Kebun Rumput Timur

9. Kantor lama Sahabat Satwa 22. Kandang Simpanse 35. Kandang Harimau Putih 10. kantor Pusat Gedung lama 23. Kand. Burung Onta, Komodo, Gajah

11. Stand Pengunjung 24. Safari Gajah Tunggang 36. Hutan wisata 12. Relief 25. Kand. Jerapah 37. Sumur Nila

[image:44.595.125.501.242.564.2]
(45)

Gambar

Tabel 1. Pengaruh Pencemaran Udara Terhadap Kesehatan
Tabel 2. Standar Kesehatan.
Gambar 2. Kategori Nilai Ekonomi Total dari Sumberdaya Hutan
Gambar 3. Dimensi ekonomi proses pembauatan keputusan penetapan kawasan hutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian tahan III yaitu pengujian sampel yang dilakukan setelah mendapatkan perlakuan peredaman rebusan kayu secang selama 10 menit dan dibiarkan terbuka pada

“Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan, baik yang melakukan pembayaran pajak sendiri maupun yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut Pajak Penghasilan, Pajak

Pada tahap ini, peneliti melakukan pengkajian kembali kegiatan pembelajaran dengan penggunaan media puzzle yang telah dilaksanakannya dengan memproses data hasil pengamatan dan

Guru harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang tinggi dalam berbagai aspek. Tuntutan semacam itu tidak dapat ditawar-tawar lagi, karena perubahan gaya belajar

Terdapat beberapa pembaruan termasuk juga penambahan beberapa fitur dalam seluler versi ini yakin kemampuan merekam dan meneonton video dengan modus kamera,

Oleh karena itu penelitian ini bersifat kritikal, yaitu melihat bahwa teks sebagai salah bentuk wacana yang dikonstruksikan dalam pemberitaan akan selalu bersifat

Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang telah dilakukan di Puskesmas Kramat melalui wawancara dengan petugas kesehatan menunjukkan dari ke lima desa wilayah kerja Puskesmas