STUDI PERBANDINGAN PEMETAAN RISIKO BENCANA
LONGSOR BERBASIS PENDEKATAN NORMATIF DAN
PENDEKATAN KUANTITATIF DI KABUPATEN GARUT
NURUL HIKMAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Perbandingan Pemetaan Risiko Bencana Longsor Berbasis Pendekatan Normatif dan Pendekatan Kuantitatif di Kabupaten Garut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
RINGKASAN
NURUL HIKMAH. Studi Perbandingan Pemetaan Risiko Bencana Longsor Berbasis Pendekatan Normatif dan Pendekatan Kuantitatif Di Kabupaten Garut. Dibimbing oleh BABA BARUS dan DWI PUTRO TEJO BASKORO.
Kabupaten Garut sering dipengaruhi tanah longsor. Berdasarkan data dari penelitian-penelitian sebelumnya, tanah longsor disebabkan oleh hujan, lereng, jenis tanah, penggunaan lahan, dan geologi. Beberapa metode untuk pemetaaan risiko longsor dibuat berdasarkan skor dan bobot yang dibuat BNPB. Sejauh ini, peta bahaya longsor hanya dibuat oleh RTRW Kabupaten Garut dan PVMBG.
Peta tersebut tidak mencerminkan data yang sebenarnya, banyak tanah longsor terjadi di kelas bahaya rendah. Oleh karena itu, penelitian perlu dilakukan untuk menemukan metode yang tepat dalam pemetaan bahaya longsor yang kemudian dilanjutkan dengan pembuatan peta kerentanan dan risiko longsor. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengevaluasi pemetaan bahaya longsor berbasis pola ruang dan pemetaan bahaya longsor berbasis normatif di Kabupaten Garut, (2) Mengevaluasi pemetaan bahaya longsor berbasis normatif level Kabupaten dan berbasis normatif level detil, (3) Mengevaluasi pemetaan bahaya longsor berbasis normatif level detil dan pemetaan bahaya longsor berbasis kuantitatif level detil, (4) Mengevaluasi pemetaan kerentanan berbasis batas administrasi Kabupaten Garut dan berbasis penggunaan lahan level detil dan (5) Mengevaluasi pemetaan risiko longsor berbasis normatif level kabupaten dan berbasis kuantitatif level detil.
Hasil penelitian menunjukkan formula berdasarkan skor dan bobot parameter yang dibuat BNPB (2012) untuk bahaya longsor dengan rumus (LH)=(0,25*Penggunaan Tanah dan Konservasi)+(0,35*Tanah)+(0,40*Lereng), dan berbasis pada skor dan bobot berdasarkan data aktual kejadian longsor di wilayah penelitian dengan cara Analisis Regresi Linier dengan rumus Bahaya Longsor (LH)= -2,059+(1,762*Penggunaan Lahan dan Konservasi)+(0,022* Tanah)+(0,002*Lereng). Formula untuk menilai kerentanan berbasis batas administrasi adalah V=wVf+wVs+wVe+wVl dan berbasis penggunaan lahan V=(0,5*Penggunaan Lahan dan Konservasi)+(0,2*Kepadatan Penduduk)+(0,3* Nilai Lahan). Rumus risiko longsor adalah R = H x V.
Evaluasi hasil pemetaan antara peta bahaya longsor level Kabupaten dengan pola ruang pada Peta RTRW Kabupaten Garut 2011-2030 memiliki nilai inkonsistensi 96,95 %. Evaluasi hasil pemetaan antara peta bahaya longsor metode normatif level Kabupaten pada Skala 1 : 10.000 dengan metode normatif level detil memiliki nilai inkonsistensi 89,06 %. Evaluasi hasil pemetaan antara peta bahaya longsor metode normatif level detil dengan metode kuantitatif level detil memiliki nilai inkonsistensi 57,78 %. Peta bahaya longsor metode kuantitatif lebih akurat ditunjukan dengan nilai determinasi yang tinggi sebesar R2 = 0,907. Hasil pemetaan kerentanan longsor berbasis penggunaan lahan menunjukan kelas sangat tinggi didominasi oleh tanaman wortel, kubis, teh dan kopi yang tidak memiliki konservasi, kepadatan penduduk 47,94 dengan nilai lahan sebesar Rp.1.617.000 - Rp.29.655.150,-/hektar. Evaluasi hasil pemetaan risiko longsor level detil menunjukan kelas risiko longsor tinggi memiliki luas area sebesar 30,62 %.
SUMMARY
NURUL HIKMAH. Comparative Study of Landslide Disaster Risk Mapping based on Normative and Quantitative Approaches in Garut District, West Java. Supervised by BABA BARUS and DWI PUTRO TEJO BASKORO.
Garut District is often affected by landslides. Based on data from researchs some landslides were induced by rainfall, slopes, type of soil, landuse, and geology. Some methods for a landslide risk zonation maps were created based on score and weight. So far only landslide hazard zonation maps created in Garut RTRW and PVMBG.
Some of the results do not reflect actual data, as many landslides occur in low hazard class. Therefore, it is needed to find what appropriate method to create land slide hazard and furthermore to vulnerability and risk map. This research aims to (1) Evaluate spatial planning based hazard mapping on RTRW and normative based hazard mapping (score and weight approach), (2) Evaluate normative based hazard mapping (score and weight approach) district level and normative based hazard mapping detailed level, (3) Evaluate normative based hazard mapping (score and weight approach) detailed level and quantitative (real data in research area) detailed level based in riset area, (4) Evaluate mapping based vulnerability-based land use, (5) Evaluate risk level in Garut.
The results showed that the formula for assessing hazard based on scores and weighting parameters following method of BNPB (2012) as Landslide Hazard = (0,25*Land Use and Conservation) + (0,35*Soil) + (0,40*Slope), and based on scores and weighting parameters from actual landslide extracted from Linear Regression Analysis as Landslide Hazard = -2,059 + (1,762*Land Use and Conservation) + (0,022*Soil) + (0,002*Slope). The formula for assessing vulnerability based administrative boundaries is V= wVf + wVs + wVe + wVl and
based land use is V = (0,5*Land Use and Conservation) + (0,2*Population Density) + (0,3*Land Rent). The formula of landslide risk is R = H x V.
Based on these formulas, evaluate spatial planning based hazard mapping on RTRW and normative based hazard mapping (score and weight approach) has an inconsistency value 85,52 %. Evaluate normative based hazard mapping (score and weight approach) district level and normative based hazard mapping detailed level has an inconsistency value 89,06 %. Evaluate normative based hazard mapping (score and weight approach) detailed level and quantitative (real data in research area) detailed level based in riset area has an inconsistency value 57,78 %. Evaluate landslide hazard map quantitative method has a correlation value of R2 = 0.907. The high vulnerability class dominated by carrot, cabbage, tea, and coffee with no conservation, population density 47,94, a land rent Rp.1.617.000 - Rp.29.655.150,-/hectares. The high landslide risk class has an area of 17.25 hectares or 30.62 % of research area.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan
STUDI PERBANDINGAN PEMETAAN RISIKO BENCANA LONGSOR
BERBASIS PENDEKATAN NORMATIF DAN PENDEKATAN
KUANTITATIF DI KABUPATEN GARUT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2016
Judul Tesis : Studi Perbandingan Pemetaan Risiko Bencana Longsor Berbasis Pendekatan Normatif dan Pendekatan Kuantitatif Di Kabupaten Garut
Nama : Nurul Hikmah NRP : A153130031
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Baba Barus, MSc Ketua
Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan
Dr Boedi Tjahjono, MSc
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang telah dilaksanakan sejak bulan September – Desember 2015 adalah Studi Perbandingan Pemetaan Risiko Bencana Longsor Berbasis Pendekatan Normatif dan Pendekatan Kuantitatif Di Kabupaten Garut.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Baba Barus, MSc dan Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc, MSc selaku komisi pembimbing yang telah memberikan motivasi, arahan kepada penulis selama menjalani penelitian tesis. Terimakasih kepada Dr Boedi Tjahjono, MSc selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR LAMPIRAN v
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Ruang Lingkup Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
Pengertian Longsor 5
Macam-Macam Longsoran 5
Faktor Penyebab Tanah Longsor 7
Karakteristik Area Rawan Longsor 9
Dampak dan Penanggulangan Longsor 10
Mitigasi Bencana 11
Risiko Bencana 11
Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis untuk Longsor 12
Penelitian Terdahulu 13
3 METODE PENELITIAN 15
Lokasi dan Waktu Penelitian 15
Jenis dan Sumber Data 16
Teknik Analisis Data 16
Evaluasi Pemetaan Bahaya Longsor 19
Pemetaan Bahaya Longsor Pendekatan Normatif Level Kabupaten 19 Pemetaan Bahaya Longsor Pendekatan Normatif Level Detil 20 Pemetaan Bahaya Longsor Berbasis Pendekatan Kuantitatif
Level Detil 23
Evaluasi Kerentanan Longsor 26
Pemetaan Kerentanan Longsor Berbasis Batas Administrasi 26 Pemetaan Kerentanan Longsor Berbasis Penggunaan Lahan
Level Detil 28
Analisis Risiko Longsor 30
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 31
Evaluasi Pemetaan Bahaya Longsor 31
Hasil Pemetaan Bahaya Longsor berbasis Normatif Level Kabupaten 31 Inkonsistensi Zonasi Bahaya Longsor berbasis Normatif Level
Kabupaten dan Zonasi Bahaya Longsor berbasis Pola Ruang 35 Hasil Pemetaan Bahaya Longsor berbasis Normatif Level Detil 37 Inkonsistensi Peta Bahaya Normatif Level Kabupaten Skala
DAFTAR ISI (Lanjutan)
Hasil Pemetaan Bahaya Longsor berbasis Kuantitatif Level Detil 41
Evaluasi Pemetaan Kerentanan 44
Hasil Pemetaan Kerentanan Longsor berbasis Batas Administrasi 44 Hasil Pemetaan Kerentanan Longsor berbasis Penggunaan Lahan 45
Evaluasi Pemetaan Risiko Longsor 48
Hasil Pemetaan Risiko Longsor berbasis Normatif 48 Hasil Pemetaan Risiko Longsor berbasis Kuantitatif 50
Ulasan Umum 51
5 SIMPULAN DAN SARAN 53
Simpulan 53
Saran 53
DAFTAR PUSTAKA 55
DAFTAR TABEL
1 Matriks Tujuan, Jenis dan Sumber data, Sumber, teknik analisis, dan
hasil yang diharapkan 17
2 Klasifikasi dan Nilai Skor Faktor Geologi 19
3 Klasifikasi dan Nilai Skor Faktor Penggunaan Lahan 19 4 Klasifikasi dan Nilai Skor Faktor Kemiringan Lereng 20 5 Klasifikasi dan Nilai Skor Jenis Tanah 20 6 Klasifikasi dan Nilai Skor Intensitas Hujan Harian Maksimun 20
7 Pembobotan Peta Parameter 21
8 Klasifikasi dan Nilai Skor Tekstur dan Warna Tanah 21 9 Klasifikasi dan Nilai Skor Faktor Penggunaan Lahan 22 10 Klasifikasi dan Nilai Skor Faktor Kemiringan Lereng 23
11 Pembobotan Peta Parameter 23
12 Klasifikasi dan Nilai Skor Kemiringan Lereng 24 13 Klasifikasi dan Nilai Skor Tekstur dan Warna Tanah 24 14 Klasifikasi dan Nilai Skor Konservasi dan Penggunaan Lahan 25
15 Pembobotan Peta Parameter 26
16 Indikator dalam menentukan Kerentanan Ekonomi 26 17 Indikator dalam menentukan Kerentanan Fisik 27 18 Indikator dalam menentukan Kerentanan Sosial 27 19 Indikator dalam menentukan Kerentanan Lingkungan 28
20 Pembobotan Peta Parameter 28
21 Nilai Skor Konservasi Penggunaan Lahan, dan Nilai Lahan 29 22 Skor Peta Parameter Kerentanan Kepadatan Penduduk 29
23 Pembobotan Peta Parameter 30
24 Klasifikasi Bahaya Longsor dan Persentase Luasan Skala Kabupaten 32 25 Persebaran Bahaya Longsor Berdasarkan Kecamatan 34 26 Matrik Inkonsistensi Zonasi Bahaya Longsor berbasis Normatif
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka Pikir Penelitian 4
2 Rayapan (Creep) 6
3 Luncuran (Slide) 6
4 Jatuhan (Fall) 6
5 Aliran (Flow) 7
6 Translasi 7
7 Pergerakan Blok 7
8 Peta Lokasi Penelitian 15
9 a. Peta Geologi 31
b. Peta Penggunaan Lahan 31
c. Peta Kemiringan Lereng 31
d. Peta Jenis Tanah 31
e. Peta Curah Hujan 31
10 Peta Bahaya Longsor Metode Normatif Kabupaten Garut 32
11. a. Peta Kawasan Rawan Bencana 35
b. Peta Pola Ruang pada RTRW 2011-2030 Kabupaten Garut 35
c. Peta Bahaya Longsor Metode Normatif 35
12. a. Peta Penggunaan Lahan 37
b. Peta Konservasi 37
c. Peta Tekstur Tanah 37
d. Peta Warna Tanah 37
e. Peta Kemiringan Lereng 38
13 Peta Bahaya Longsor Metode Normatif Level Detil 39 14 Klasifikasi Bahaya Longsor Metode Normatif Level Kabupaten 40 15 Klasifikasi bahaya longsor menggunakan metode kuantitatif 42 16 Frekuensi Densitas pada Kelas Bahaya Longsor 43 17 Peta Kerentanan Longsor Berbasis Batas Administrasi Kabupaten Garut 45 18 Klasifikasi Kerentanan Longsor berbasis Penggunaan Lahan 47 19 Peta Risiko Longsor Menggunakan Metode Normatif Kabupaten Garut 48 20 Peta Risiko Longsor Menggunakan Metode Kuantitatif 51
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil Cek Lapangan 59
2 Foto Lokasi Penelitian 61
3 Pedoman Wawancara 62
4 Hasil Wawancara 64
5 Hasil Perhitungan SPSS 66
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberadaan suatu wilayah yang memiliki potensi alam tidak bisa terlepas dari adanya potensi bencana. Indonesia memiliki kondisi alam yang tergolong rawan terhadap bencana seperti longsor, gempa, tsunami, kebakaran hutan, banjir, puting beliung dan gunungapi.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2015 menunjukan dari seluruh kejadian bencana alam di Indonesia tahun 2009-2014 tercatat 70 % adalah bencana banjir, longsor dan puting beliung. Berdasarkan data Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 2014 sekitar 45% luas lahan di Indonesia adalah lahan pegunungan berlereng yang peka terhadap longsor dan erosi yang disertai curah hujan yang tinggi.
Menurut data BNPB Provinsi Jawa Barat tahun 2011 terdapat 11 kabupaten di Jawa Barat yang masuk ke dalam kategori daerah rawan longsor tinggi, yakni Kabupaten Garut, Cianjur, Bandung, Bogor, Majalengka, Tasikmalaya, Cirebon, Ciamis, Kuningan, Purwakarta, Sukabumi, Kota Cimahi dan Sumedang. Dari data tersebut Kabupaten Garut merupakan salah satu kabupaten pada urutan pertama yang memiliki daerah rawan longsor tinggi.
Kabupaten Garut merupakan kawasan yang berada pada Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat dan Zona Bandung dengan topografinya berbukit-bukit dan bergunung-gunung. Karakteristik topografi Kabupaten Garut sebelah Utara terdiri dari dataran tinggi dan pegunungan, sedangkan bagian Selatan sebagian besar permukaannya memiliki tingkat kecuraman yang terjal dan di beberapa tempat labil terhadap bencana longsor. Data curah hujan menunjukan iklim daerah Kabupaten Garut mempunyai iklim tropika dengan curah hujan tahunan berkisar dari 2500 mm - 3000 mm sedangkan di sekeliling daerah pegunungan mencapai 3500 - 4000 mm (Pemda Garut, 2010).
Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Garut 2011-2030 dalam bentuk peta pola ruang menunjukan bahwa daerah ini dikategorikan zona gerakan tanah menengah hingga tinggi, sedangkan peta kawasan rawan bencana Kabupaten Garut yang diterbitkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) tahun 2014 menunjukan bahwa daerah ini memiliki kawasan rawan gerakan tanah rendah, menengah dan tinggi. Kondisi demikian menyebabkan Kabupaten Garut mempunyai riwayat kejadian longsor paling tinggi di Jawa Barat.
Metode yang telah dilakukan untuk membuat peta zonasi bahaya longsor pada pola ruang Kabupaten Garut maupun yang dibuat PVMBG hanya mengacu pada skor dan pembobotan yang telah dibuat oleh BNPB dimana kawasan rawan gerakan tanah tersebut dibuat hanya memasukan faktor bahaya saja, sedangkan informasi tentang risiko bencana longsor belum ada. Dalam kenyataannya, faktor sosial dan ekonomi setiap individu, keluarga, dan organisasi mempunyai tingkat kerentanan yang berbeda ke bahaya yang ada.
Peta zonasi bahaya longsor pada peta pola ruang dan yang dibuat PVMBG dilakukan uji akurasi dengan data titik kejadian longsor (Mukti, 2012) dan (BNPB, 2015), hasilnya menunjukan bahwa tidak semua wilayah yang terkena longsor berada pada zona kawasan gerakan tanah menengah hingga tinggi, artinya longsor juga terjadi di zona gerakan tanah rendah. Hal tersebut membuktikan bahwa metode penentuan bahaya longsor berbasis normatif masih belum tepat.
Berdasarkan identifikasi data tersebut, kemudian dilakukan ground check di salah satu wilayah yang memiliki daerah rawan longsor paling tinggi yaitu di Desa Tanjungjaya, Kecamatan Banjarwangi. Dari hasil pengamatan di lapangan didapatkan informasi mengenai lahan pertanian yang dikelola petani adalah milik Pemprov Jabar yang ditelantarkan. Sehingga petani mengelola dan secara tidak formal menyewa lahan tersebut kepada pengawas lapangan bukan pada Pemprov Jabar. Kuat dugaan potensi longsor yang tinggi terjadi selain kondisi fisik juga sudah pasti kondisi sosial dan ekonomi terkait pengelolaan lahan yang dilakukan petani di lokasi tersebut.
Melihat dampak dari bencana longsor terhadap keselamatan jiwa dan kerusakan bangunan fisik tersebut sudah selayaknya perencanaan tata ruang daerah memasukkan faktor risiko sebagai salah satu parameter pembangunan. Substansi tata ruang dalam konteks penanggulangan bencana sudah diamanatkan dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana dengan tujuan utamanya adalah untuk mengurangi risiko bencana dengan cara menyerap hasil kajian risiko bencana ke dalam rencana tata ruang.
Memperoleh pemahaman yang mendalam tentang kajian risiko bencana longsor tidak hanya melalui studi kepustakaan maupun berbasis normatif, dengan menemukenali karakteristik wilayah studi diharapkan analisis zonasi risiko longsor melalui pendekatan kerentanan fisik, sosial dan ekonomi yang mengarah pada peta Land Use atau Land Cover dilakukan dengan studi yang lebih detail, membuat data dasar secara historical, mencari dan memprediksi data sebelum bencana dengan membuat perkiraan dampak total bencana dan estimasinya.
Penilaian risiko dengan pendekatan berbasis normatif memiliki kelemahan, hasil uji akurasi dengan titik kejadian longsor menunjukkan bahwa skor yang ada belum tentu berlaku untuk semua wilayah yang menjadi parameter. Hal tersebut tidak membantu dalam memecahkan masalah, sehingga evaluasi perlu dilakukan untuk membandingkan metode yang paling baik antara pemetaan risiko longsor berbasis normatif dengan pemetaan risiko longsor berbasis kuantitatif.
Informasi mengenai wilayah risiko bencana tanah longsor menjadi penting dalam proses pembangunan sebagai upaya dalam manajemen bencana dengan ketersediaan informasi yang cukup detil dan komprehensif sehingga dampak negatif dari bencana alam dapat dihindari atau paling tidak diminimalisir.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka muncul beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
2. Bagaimana pemetaan bahaya longsor berbasis normatif level kabupaten skala 1 : 10.000 dan pemetaan bahaya longsor berbasis normatif level detil skala 1 : 10.000?
3. Bagaimana pemetaan bahaya longsor berbasis normatif level detil skala 1 : 10.000 dan pemetaan bahaya longsor berbasis kuantitatif level detil skala 1 : 10.000?
4. Bagaimana pemetaan kerentanan berbasis batas administrasi Kabupaten Garut 1 : 50.000 dan berbasis penggunaan lahan level detil skala 1 : 10.000?
5. Bagaimana pemetaan risiko longsor berbasis normatif level kabupaten skala 1 : 50.000 dan pemetaan risiko longsor berbasis kuantitatif level detil skala 1 : 10.000?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengevaluasi pemetaan bahaya longsor berbasis pola ruang dan pemetaan bahaya longsor berbasis normatif skala 1 : 50.000 di Kabupaten Garut.
2. Mengevaluasi pemetaan bahaya longsor berbasis normatif level kabupaten skala 1 : 10.000 dan pemetaan bahaya longsor berbasis normatif level detil skala 1 : 10.000.
3. Mengevaluasi pemetaan bahaya longsor berbasis normatif level detil skala 1 : 10.000 dan pemetaan bahaya longsor berbasis kuantitatif level detil skala 1 : 10.000.
4. Mengevaluasi pemetaan kerentanan berbasis batas administrasi Kabupaten Garut skala 1 : 50.000 dan berbasis penggunaan lahan skala 1 : 10.000.
5. Mengevaluasi pemetaan risiko longsor berbasis normatif level kabupaten skala 1 : 50.000 dan berbasis pemetaan risiko longsor berbasis kuantitatif skala 1 : 10.000.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan masukan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menentukan metode yang paling tepat untuk melakukan analisis bahaya, kerentanan, dan risiko longsor, sehingga informasi yang diperoleh masyarakat khususnya di Kabupaten Garut lebih spesifik dan akurat.
2. Memberikan masukan kepada pemerintah dan beberapa instansi terkait yang dapat digunakan untuk mengambil kebijakan dan keputusan dalam arahan pemanfaatan lahan serta manajemen risiko bencana di Kabupaten Garut.
Kerangka Pemikiran
mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan bencana longsor wilayah di Kabupaten Garut, baik dari segi teoritis atau empiris melalui studi kepustakaan dan melakukan cek lapangan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang faktor-faktor tersebut. Tahapan berikutnya adalah melakukan evaluasi dengan cara membandingkan metode yang paling tepat antara peta bahaya longsor berbasis normatif level kabupaten dengan peta zonasi bahaya longsor pada pola ruang Kabupaten Garut maupun yang dibuat PVMBG, peta bahaya longsor berbasis normatif level Kabupaten skala 1 : 10.000 dengan peta bahaya longsor berbasis normatif data detil dan peta bahaya longsor berbasis normatif data detil
dengan peta bahaya longsor berbasis kuantitatif.
Setelah menemukan metode yang paling tepat dalam pemetaan bahaya longsor, selanjutnya dilakukan pemetaan kerentanan yang mengarah pada peta Land Use berdasarkan pendekatan kerentanan fisik, sosial dan ekonomi dan pada bagian akhir dilakukan analisis risiko longsor. Adapun analisis deskriptif dilakukan untuk menggambarkan risiko longsor sebagai upaya mengurangi mitigasi bencana. Secara diagramatis, kerangka berpikir peneliti dapat dilihat pada Gambar 1.
Evaluasi Skala Evaluasi Metode yang lebih baik Level Kabupaten
Metode Normatif (BNPB) Metode Kuantitatif Level Detil
Pola Ruang dan PVMBG
2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Longsor
Longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng (BNPB, 2012). Para ilmuwan mengkategorikan tanah longsor sebagai salah satu bencana geologis yang paling bisa diperkirakan. Menurut Yulaelawati dan Syihab (2008) dalam buku Mencerdasi Bencana, ada beberapa parameter umum untuk memantau kemungkinan terjadinya perpindahan tanah dalam jumlah besar dalam bentuk longsor, yaitu :
1. Keretakan pada lantai dan tembok bangunan atau pada tanah;
2. Amblasnya sebagian lantai konstruksi bangunan ataupun amblasnya tanah pada lereng;
3. Terjadinya penggembungan pada tebing lereng atau dinding konstruksi; 4. Miringnya pohon-pohon atau tiang-tiang pada lereng;
5. Munculnya rembesan air pada lereng secara tiba-tiba; 6. Mata air pada lereng menjadi keruh secara tiba-tiba;
7. Muka air sungai naik beberapa sentimeter dan air sungai menjadi keruh secara tiba-tiba; dan
8. Runtuhnya bagian-bagian tanah dalam jumlah besar.
Secara umum kejadian Longsor disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor pendorong atau faktor pemicu. Faktor pendorong adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi material itu sendiri, sedangkan faktor pemicu adalah faktor yang menyebabkan bergeraknya material tersebut. faktor-faktor lainnya yang turut berpengaruh, yaitu :
1. Erosi yang disebabkan aliran air permukaan atau air hujan, sungai-sungai atau gelombang laut yang menggerus kaki lereng-lereng bertambah curam; 2. Lereng dari bebatuan dan tanah diperlemah melalui saturasi yang di
akibatkan hujan lebat;
3. Gempa bumi yang menyebabkan getaran tekanan pada partikel-partikel mineral dalam bidang lemah pada masa batuan dan tanah yang mengakibatkan longsornya lereng-lereng tersebut.
4. Gunung-api menciptakan simpanan debu yang lengang hujan lebat dan aliran-aliran debu;
5. Getaran dari mesin, lalu lintas, penggunaan bahan-bahan peledak dan bahkan petir; dan
6. Berat yang terlalu berlebihan, misalnya berkumpulnya hujan atau salju.
Macam-Macam Longsoran
Klasifikasi Longsoran dapat dibedakan dari tipe gerakan dan material tanah penyusunnya:
1. Tipe Gerakannya
lambat, kurang dari 1 meter/tahun. Jenis tanah longsor ini terjadi pada lereng landai (kemiringan 10o sampai dengan kemiringan kurang dari 20o) dan umumnya tidak menimbulkan korban jiwa tetapi merusak bangunan. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah.
Gambar 2. Rayapan (Creep) Sumber : Mencerdasi Bencana, 2008
b. Luncuran: bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung sehingga lebih sering terjadi pada lereng dengan kemiringan 20o hingga 40o. Kecepatan geraknya mencapai 25 meter/menit.
Gambar 3. Luncuran (Slide) Sumber : Mencerdasi Bencana, 2008
c. Jatuhan: sejumlah besar batuan atau materi lainnya bergerak kebawah dengan cara jatuh. Kondisi ini yang paling umum terjadi di sepanjang jalan dan pematang yang terjal atau tebing yang curam (lebih dari 40o) terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan parah.
Gambar 4. Jatuhan (Fall)
Sumber : Mencerdasi Bencana, 2008
sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai disekitar gunungapi. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak.
Gambar 5. Aliran (Flow) Sumber : Mencerdasi Bencana, 2008
e. Translasi: bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.
Gambar 6. Translasi
Sumber : Pengenalan Gerakan Tanah, Departemen ESDM
f. Pergerakan Blok: perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu.
Gambar 7. Pergerakan Blok
Sumber : Pengenalan Gerakan Tanah, Departemen ESDM 2. Material Yang Bergerak
a. Batuan Dasar (Bed Rock)
b. Lapisan Tanah dalam ukuran kasar dan halus.
Faktor Penyebab Tanah Longsor
Menurut Sari (2015) faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tanah longsor adalah sebagai berikut :
1. Hujan
terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Muncullah pori-pori atau rongga tanah, kemudian terjadi retakan dan rekahan tanah di permukaan. Pada saat hujan, air akan menyusup kebagian yang retak. Tanah pun dengan cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan, kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat. Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor karena melalui tanah yang merekah itulah air akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral. Apabila ada pepohonan dipermukaan, pelongsoran dapat dicegah karena air akan di serap tumbuhan. Akar tumbuhan juga berfungsi sebagai pengikat tanah.
2. Lereng Terjal
Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, laut dan angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 180° apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar.
3. Tanah yang kurang padat dan tebal
Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2, 5 meter dan sudut lereng >220. Tanah jenis ini memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor, terutama bila terjadi hujan. Selain itu, jenis tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanag karena menjadi lembek jika terkena air dan pecah jika udara terlalu panas.
4. Batuan yang kuat
Pada umumnya, batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran atara kerikil, pasir, lempung kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah jika mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan tehadap tanah longsor apabila terdapat pada lereng yang terjal.
5. Jenis Tata Lahan
Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata guna lahan persawahan, perladangan dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar pohon tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.
6. Getaran
Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan, getaran mesin dan getaran lalulintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkan adalah tanah, badan jalan, lantai dan dinding rumah menjadi retak.
7. Susut muka air danau atau bendungan
Akibat susutnya muka air yang cepat di danau maka gaya penahan lereng menjadi hilang, dengan sudut kemiringan waduk 220 mudah terjadi longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan.
8. Adanya beban tambahan
9. Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing
Selain itu akibat penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai, tebing akan menjadi terjal.
10. Bekas Longsoran lama
Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan material gunung-api pada lereng yang relatif terjal atau pada saat atau sesudah terjadi patahan kulit bumi. bekas longsoran lama memiliki ciri:
a. Adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda. b. Umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena
tanahnya gembur dan subur.
c. Daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai. d. Dijumpai longsoran kecil terutama pada tebing lembah.
e. Dijumpai tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas longsoran kecil pada longsoran lama.
f. Dijumpai alur lembah dan pada tebingnya di jumpai retakan dan longsoran kecil.
g. Longsoran lama ini cukup luas.
11. Adanya bidang diskontinuitas (bidang tidak sinambung) dengan ciri-ciri: a. Bidang perlapisan batuan.
b. Bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar.
c. Bidang kontak antara batuan yang retak-retak dengan batuan yang kuat. d. Bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan batuan
yang tidak melewatkan air (kedap air).
e. Bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat. f. Bidang-bidang tersebut merupakan bidang lemah dan dapat berfungsi
sebagai bidang luncuran tanah longsor. 12. Penggundulan Hutan
Tanah Longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif gundul dimana pengikatan tanah sangat kurang.
13. Daerah Pembuangan Sampah
Penggunaan lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan sampah dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan tanah longsor apalagi di tambah dengan guyuran hujan, seperti yang terjadi di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Leuwigajah Cimahi. Bencana ini menyebabkan lebih dari 120 orang meninggal.
Karakteristik Area Rawan Longsor
Berdasarkan Pedoman Pembuatan Peta Rawan Longsor dan Banjir Bandang Akibat Runtuhnya Bendungan Alam (Kementerian Pekerjaan Umum, 2012), area yang rawan terhadap longsor memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Memiliki intensitas hujan yang tinggi
bagian dasar lereng sehingga menimbulkan gerakan lateral dan terjadi longsoran. 2. Tergolong sebagai area lereng/tebing yang terjal
Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong sehingga dapat memicu terjadinya longsoran.
3. Memiliki kandungan tanah yang kurang padat dan tebal.
Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m. Tanah jenis ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena mudah menjadi lembek bila terkena air dan mudah pecah ketika hawa terlalu panas.
4. Memiliki batuan yang kurang kuat
Batuan endapan gunung-api dan batuan sedimen berukuran pasir dan merupakan campuran batuan antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya merupakan batuan yang kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan, sehingga pada umumnya rentan terhadap tanah longsor.
5. Jenis tata lahan yang rawan longsor
Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan dan perladangan. Pada lahan persawahan, akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah sehingga membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air, oleh sebab itu pada lahan jenis ini mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan, akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.
6. Adanya pengikiran/erosi
Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing. Selain itu, penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai menyebabkan tebing menjadi terjal dan menjadi rawan terhadap longsoran.
7. Merupakan area bekas longsoran lama yang memiliki ciri sebagai berikut : a. Adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda; b. Umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena tanahnya
gembur dan subur;
c. Adanya longsoran kecil terutama pada tebing lembah; d. Adanya tebing-tebing yang relatif terjal; dan
e. Adanya alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan dan longsoran kecil.
8. Merupakan bidang diskontinuitas (bidang yang tidak selaras)
Dampak dan Penanggulangan Longsor
Dokumen rencana penanggulangan bencana daerah tahun 2015 - 2019 Kabupaten Garut menunjukan bahwa di daerah yang terjal, kecepatan luncuran tanah longsor dapat mencapai 75 km/jam sehingga sulit bagi seseorang untuk menyelamatkan diri. Itulah sebabnya ketika tanah longsor terjadi banyak rumah dan penduduk, binatang dan fasilitas umum tertimbun longsor. Bencana ini pun banyak memakan korban jiwa.
hindari penyebab timbulnya tanah longsor. Caranya dengan tidak menebangi hutan, menanam tumbuhan berakar kuat seperti lamtoro, bambu, akar wangi dan tumbuhan lainnya pada lereng yang gundul, membuat saluran air hujan, memeriksa keadaan tanah secara rutin dan berkala, membangun tembik penahan di lereng yang terjal juga mengukur tingkat kederasan air hujan.
1. Menghindari Bencana Longsor
a. Membangun pemukiman yang jauh dari area yang rawan longsor (seperti di dekat tebing yang curam dan terjal).
b. Berkonsultasi pada orang paham sebelum membangun pemukiman. c. Melakukan deteksi dini pada area-area yang di curigai Rawan Longsor. 2. Tindakan yang harus dilakukan ketika tertimpa Longsor
a. Pindahlah ke daerah yang tanahnya stabil ketika longsor terjadi
b. Bila tidak mampu melarikan diri, lingkarkan tubuh seperti bola untuk melindungi kepala tertimpa atap.
3. Tindakan yang harus dilakukan setelah terjadi Longsor
a. Pergi dari daerah longsoran untuk menghindari terjadinya tanah longsor susulan.
b. Bantu arahkan SAR ke lokasi.
c. Bantu penduduk yang tertimpa longsoran, periksa lukanya, dan pindahkan ke tempat yang aman.
d. Waspada pada banjir dan aliran reruntuhan yang dapat terjadi setelah tanah longsor.
e. Laporkan fasilitas umum yang rusak kepada pihak yang berwenang. f. Periksa kerusakan fondasi rumah akibat longsor.
g. Tanamlah tumbuhan di daeray bekas longsoran untuk mencegah terjadinya erosi yang dapat menyebabkan banjir bandang.
Mitigasi Bencana
Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Menurut Susilawati (2007 : 36) mitigasi merupakan suatu upaya memperkecil korban manusia dan atau kerugian harta benda sebagai akibat dari bencana. Istilah mitigasi berlaku untuk cakupan yang luas dari aktivitas–aktivitas dan tindakan tindakan perlindungan yang mungkin diawali dari yang fisik sampai dengan prosedural. Jadi mitigasi bencana merupakan suatu aktivitas yang berperan sebagai tindakan pengurangan dampak bencana, atau usaha-usaha yang dilakukan untuk megurangi korban ketika bencana terjadi, baik korban jiwa maupun harta. Dalam melakukan tindakan mitigasi bencana, langkah awal yang harus lakukan adalah melakukan kajian risiko bencana terhadap daerah tersebut.
Risiko bencana
Namun selain faktor tersebut, eksposur (exposur) dan kemampuan (capacity) individu maupun kelompok juga menjadi penentu dalam penilaian risiko. Risiko bencana menunjukkan kemungkinan adanya pengaruh buruk dimasa yang akan datang yang disebabkan oleh proses interaksi sosial dan lingkungannya, sebagai kombinasi dari bahaya fisik dan elemen kerentanan (Cardona, 2012). Risiko bencana adalah kemungkinan dari satu bencana yang terjadi sehingga menyebabkan tingkat kerugian khusus. Risiko perlu dikaji sehingga dapat menetapkan besarnya kerugian yang sudah diestimasi dan dapat diantisipasi di suatu wilayah.
Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun ulah manusia (man-made disaster). Faktor-faktor yang meyebabkan bencana antara lain:
1. Bahaya (Hazard) alam adalah suatu peristiwa fisik yang berdampak pada masyarakat dan lingkungan mereka. Bahaya mengacu pada kemungkinan terjadinya peristiwa alami maupun ulah manusia, dan peristiwa fisik yang mungkin memiliki pengaruh buruk pada kerentanan dan elemen eksposur (Cardona, 2012).
2. Kerentanan (Vulnerability) adalah tingkat dimana sebuah masyarakat, struktur, layanan atau daerah geografis yang berpotensi terganggu oleh dampak bahaya tertentu. Kerentanan (vulnerability) adalah rangkaian kondisi yang menentukan apakah bahaya (baik bahaya alam maupun bahaya buatan) yang terjadi akan dapat menimbulkan bencana (disaster) atau tidak. Rangkaian kondisi, umumnya dapat berupa kondisi fisik, sosial dan sikap yang mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam melakukan pencegahan, mitigasi, persiapan dan tindak-tanggap terhadap dampak bahaya. Jenis-jenis kerentanan :
a. Kerentanan Fisik : Bangunan, Infrastruktur, Konstruksi yang lemah. b. Kerentanan Sosial : Kemiskinan, Lingkungan, Konflik, tingkat
pertumbuhan yang tinggi, anak-anak dan wanita, lansia.
c. Kerentanan Mental : ketidaktahuan, tidak menyadari, kurangnya percaya diri, dan lainnya.
3. Eksposur (Eksposure) adalah fungsi dari lokasi geografis dari penilainan risiko.
4. Kapasitas adalah kekuatan dan sumberdaya yang tersedia dalam suatu masyarakat atau organisasi yang dapat mengurangi risiko atau dampak dari bencana.
Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis untuk Longsor
Untuk itu, diperlukan informasi yang memadai yang bisa dipakai untuk pengambilan keputusan, termasuk diantaranya menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) yaitu melalui monitoring, pemetaan dan lain sebagainya. Informasi bila dilihat sebagai input dasar dari perumusan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, serta pengawasan dan evaluasi.
Sebagaimana diketahui, inventori dan monitoring merupakan dasar dari pengelolaan lahan yang baik. Kendala utama dalam inventori dan monitoring adalah keterbatasan dalam pengambilan data karena luasnya area, sulitnya mencapai area, panjang waktu yang diperlukan dan keterbatasan sumber daya manusia. Dengan SIG mampu menjangkau area yang luas dengan dukungan frekuensi yang cukup tinggi merupakan sebuah terobosan dalam aspek inventori dan monitoring dengan menggunakan SIG masih sangat jauh dari optimal.
SIG dapat membantu memonitoring dan atau memetakan zonasi rawan longsor di Kabupaten Garut. Masalah daerah rawan longsor dalam tahap penelitian dan pemetaan lokasi, tahap monitoring dan evaluasi dengan lima parameter yaitu penggunaan lahan, jenis tanah, geologi (bahan induk), curah hujan dan kemiringan lereng.
Penelitian Terdahulu
Penelitian yang terkait dengan topik penelitian ini sudah banyak di teliti di berbagai daerah sebelumnya. Akan tetapi dari berbagai macam topik ini memiliki teknis analisis yang berbeda tergantung dengan kondisi wilayah penelitian. Adapun penelitian-penelitian yang terkait dengan topik ini diantaranya adalah : 1. Mukti (2012) dalam penelitiannya yang berjudul pola sebaran titik longsor
dan keterkaitannya dengan faktor-faktor biogeofisik lahan (studi kasus : Kabupaten Garut Jawa Barat) menjelaskan bahwa, hasil penelitiannya terdapat beberapa titik longsor periode tahun 2000-2012. Kejadian longsor paling banyak terjadi adalah di bagian Selatan Kabupaten Garut.
2. Yunarto (2010) dalam penelitiannya yang berjudul penyusunan peta zona potensi bencana alam geologi gerakan tanah berbasis penginderaan jauh dan sistem informasi geografis wilayah Cianjur Selatan, Jawa Barat lebih fokus kepada faktor bahayanya saja dan menekankan kepada metode penelitian dengan menggunakan aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Iqkra (2012) melakukan studi geomorfologi Pulau Ternate dan penilaian risiko longsor hanya berbasis pendekatan normatif saja, berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan adalah berbasis data lapangan dengan pendekatan kuantitatif.
4. Alhasanah (2006) yang berjudul pemetaan dan analisa daerah rawan bencana tanah longsor serta upaya mitigasinya menggunakan SIG dalam penelitiannya hanya memfokuskan pada daerah bahayanya saja dan upaya mitigasi di kawasan rawan bencana longsor tersebut.
5. Silviani (2013) dalam penelitiannya hanya menganalisis bahaya dan risiko longsor di DAS Ciliwung Hulu dan keterkaitannya dengan penataan ruang.
dievaluasi antara lain peta bahaya longsor berbasis normatif level kabupaten dengan peta zonasi bahaya longsor pada Pola Ruang Kabupaten Garut maupun yang dibuat PVMBG, dilanjutkan dengan mengevaluasi peta bahaya longsor berbasis normatif level kabupaten skala 1 : 10.000 dengan peta bahaya longsor berbasis normatif data detil dan juga mengevaluasi peta bahaya longsor berbasis normatif data detil dengan peta bahaya longsor berbasis kuantitatif.
3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian pada level kabupaten berada di Kabupaten Garut yang terletak di Propinsi Jawa Barat bagian Selatan, secara Astronomis terletak antara 06º 56' 49'' - 07º 45' 00'' LS dan 107º 25' 8'' - 108º 7' 30'' BT. Kabupaten Garut memiliki luas wilayah administratif sebesar 306.519 Ha dengan batas-batas sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang Sebelah Barat : Kabupaten Tasikmalaya
Sebelah Selatan : Samudra Indonesia
Sebelah Timur : Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur
Lokasi penelitian pada level detil berada di Desa Tanjungjaya Kecamatan Banjarwangi Kabupaten Garut, secara Astronomis terletak antara 070 16’ 00” – 070 28’ 00” LS dan 1070 44’00” – 1070 56’ 00” BT. Lokasi penelitian ini diambil berdasarkan pemetaan dasymetric (pada batas area yang disurvei) yang memiliki luas 52,52 Ha dengan batas-batas sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kecamatan Bayongbong dan Cilawu Sebelah Timur : Kabupaten Tasikmalaya
Sebelah Selatan : Kecamatan Cihurip dan Singajaya Sebelah Barat : Kecamatan Cigedug dan Cikajang
Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai Desember 2015. Lokasi disajikan pada Gambar 8.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari survei langsung ke lapangan baik melalui wawancara maupun pengamatan langsung di lapangan, sedangkan sumber data sekunder didapatkan dengan cara menginventarisasi dan penelusuran data baik pada buku, peta, internet, perundang-undangan, penelitian terdahulu, maupun dari beberapa instansi terkait, baik instansi pemerintah di daerah maupun pusat, atau instansi/lembaga independen lainnya, data curah hujan, peta geologi, peta digital wilayah administrasi kabupaten, peta lereng, peta tanah, dan peta penggunaan lahan.
Gambaran mengenai kondisi fisik wilayah, khususnya mengenai penggunaan lahan aktual, diperoleh dari hasil survei/cek di lapangan. Pada data yang terkait dengan aspek spasial. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang sesuai standar agar dapat digunakan dalam proses pengolahan lebih lanjut. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Teknik Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini diantaranya analisis spasial, atribut, dan deskriptif. Analisis spasial dan atribut menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan cara pemberian skor untuk setiap kriteria dalam masing-masing parameter yang ditentukan. Setelah dilakukan skoring kemudian dilanjutkan dengan pembobotan dari setiap parameter yang menjadi acuan. Dalam hal ini semakin tinggi skor dan bobot dari parameter maka pengaruhnya akan semakin besar terhadap bahaya atau risiko longsor dan begitu juga sebaliknya.
Tabel 1. Hubungan antara Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, Metode Analisis, dan Output yang Diharapkan
No Tujuan Penelitian
Pemetaan Bahaya Longsor berbasis Pendekatan Pola Ruang Skala 1 : 50.000
Pemetaan Bahaya Longsor berbasis Pendekatan Normatif Skala 1 : 50.000
Jenis Data Input Sumber Data
Metode
Analisis Data Jenis Data Input Sumber Data
Metode Pemetaan Bahaya Longsor berbasis Pendekatan Normatif
Skala 1 : 10.000
Pemetaan Bahaya Longsor berbasis Pendekatan Normatif Level Detil Skala 1 : 10.000 3.Peta Tekstur dan Warna
Tanah
Pemetaan Bahaya Longsor berbasis Pendekatan Normatif Level Detil Skala 1 : 10.000
Tabel 1. Hubungan antara Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, Metode Analisis, dan Output yang Diharapkan (Lanjutan) No Tujuan Penelitian
Pemetaan Kerentanan berbasis Batas Administrasi Kabupaten Garut Skala 1 : 50.000
Pemetaan Kerentanan berbasis Penggunaan Lahan Level Detil Skala 1 : 10.000
Jenis Data Input Sumber Data
Metode Analisis Data
Output yang
di harapkan Jenis Data Input Sumber Data
Metode Analisis
Pemetaan Risiko Longsor berbasis Normatif Level Kabupaten Skala 1 : 50.000
Evaluasi Pemetaan Bahaya Longsor (LH)
Evaluasi dilakukan dengan cara membandingkan peta yang dibuat oleh pemerintah, peta bahaya longsor metode normatif dan kuantitatif. Perbandingan dilakukan dengan cara uji konsistensi pada peta yang dibuat pemerintah (peta pola ruang maupun peta kawasan rawan bencana yang dikeluarkan PVMBG) dengan peta bahaya longsor berbasis normatif level kabupaten, peta bahaya longsor berbasis normatif level kabupaten skala 1 : 10.000 dengan metode normatif level detil dan peta bahaya longsor berbasis normatif level detil dengan peta bahaya longsor berbasis kuantitatif yang diawali dengan proses overlay.
Selain overlay, evaluasi juga dilakukan dengan cara uji akurasi titik kejadian longsor aktual pada peta bahaya longsor metode normatif level detil dan peta bahaya longsor berbasis kuantitatif untuk membandingkan metode yang paling tepat. Metode yang memiliki nilai akurasi yang paling tinggi, ditunjukan dengan korelasi yang besar merupakan metode yang terbaik.
Pemetaan Bahaya Longsor Pendekatan Normatif Level Kabupaten (1 : 50.000)
Pemetaan berbasis pendekatan normatif adalah pemetaan yang dilakukan dengan metode konvensional mengacu pada pedoman yang dikeluarkan oleh BNPB dan Puslitanak yaitu skor dan pembobotan pada setiap parameter. Skor adalah penentuan nilai untuk masing-masing kriteria dalam setiap parameter.
Nilai skor dikalikan dengan masing-masing bobot parameter untuk mendapatkan nilai total yang ditetapkan untuk zonasi. Parameter yang digunakan adalah Geologi, Penggunaan Lahan, Kemiringan Lereng, Jenis Tanah, dan Curah Hujan. Nilai skor dan bobot untuk setiap kelas pada masing-masing parameter disajikan pada Tabel 2 sampai dengan Tabel 7.
Tabel 2 Klasifikasi dan Nilai Skor Faktor Geologi
Sumber : Hasil Penelitian Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Tahun 2004
Jenis batuan dikategorikan secara umum menjadi lima yaitu vulkanik yang mencakup tuf dan pasir memiliki skor paling tinggi, sedimen yang mencakup liat dan napal yang diberi skor sedang, dan terakhir aluvial yang diberi skor 1 karena memiliki tingkat kerawanan yang paling rendah.
Tabel 3 Klasifikasi dan Nilai Skor Faktor Penggunaan Lahan
Jenis Batuan Nilai Skor
Aluvial 1
Liat 2
Napal 3
Tuf 4
Pasir 5
Penggunaan Lahan Nilai Skor
Waduk, perairan, danau, rawa 1
Pemukiman 2
Hutan, kebun campuran, perkebunan 3
Semak Belukar 4
Tegalan, sawah, lahan terbuka 5
Jenis penggunaan lahan yang diberi skor paling tinggi yaitu kolam/tambak, tegalan, sawah, dan lainnya memiliki bahaya yang rendah hingga sedang.
Tabel 4 Klasifikasi dan Nilai Skor Faktor Kemiringan Lereng
Kemiringan Klasifikasi Nilai Skor
0-8 Datar 1
8-15 Landai 2
15-25 Agak Curam 3
25-40 Curam 4
>40 Sangat Curam 5
Sumber : Dasar-dasar Informasi Geografis (2010)
Kemiringan lereng dengan klasifikasi datar (0 – 8) hingga landai (8 – 15) dinilai paling rendah kerentannya terhadap longsor. Kemudian nilai bahaya meningkat menjadi sedang pada kemiringan 15 – 25 dengan klasifikasi agak curam dan bahaya paling tinggi terletak pada kemiringan 25 – 45 atau curam hingga > 40 atau sangat curam.
Tabel 5 Klasifikasi dan Nilai Skor Jenis Tanah
Jenis Tanah Klasifikasi Nilai Skor Aluvial, Planosol, Hidromorf Tidak ada 1
Lotosol Kurang Peka 2
Brown Forest Soil, Non Calcic, Brown, Mediteran Agak peka 3 Andosol, Laterit, Grumusol, Podsolik Peka 4 Regosol, Litosol, Organosol, Renzina Sangat Peka 5 Sumber : Hasil Penelitian Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Tahun 2004
Skor paling tinggi yaitu peka hingga sangat peka terhadap longsor dengan jenis tanah Regosol, Litosol, Andosol, Laterit, dan lain-lain. Jenis tanah Brown Forest Soil, Non Calcic Brown dan Mediteran diklasifikasikan agak peka terhadap longsor. Sedangkan tanah Aluvial, Glei, Latosol dan lainnya memiliki skor paling rendah atau kurang peka terhadap longsor.
Tabel 6 Klasifikasi dan Nilai Skor Intensitas Hujan Harian Maksimun Intensitas Curah Hujan Klasifikasi Nilai Skor
13,60 Sangat Rendah 1
13,61 – 20,70 Rendah 2
20,71 – 27,70 Sedang 3
27,71 – 34,80 Tinggi 4
>34,81 Sangat tinggi 5
Sumber : MAFF-Japan (Hermon,2009)
Pada pendekatan normatif, dilakukan pemberian skor pada masing-masing parameter yang diikuti dengan pembobotan setiap parameter yang menjadi acuan. Bobot paling tinggi dan berarti paling berpengaruh diantara parameter yang lain.
Tabel 7 Pembobotan Peta Parameter
Paramater Bobot
Geologi 20 %
Penggunaan lahan 15 %
Kemiringan lereng 15 %
Tanah 20 %
Curah hujan 30 %
Sumber : BNPB, 2012
Setelah selesai melakukan pembobotan selanjutnya dilakukan fungsi overlay. Bobot paling tinggi terdapat pada Curah Hujan (CH), diikuti oleh Geologi (GEO) dan Jenis Tanah (TNH) serta Kemiringan Lereng (LRG) dan Penggunaan Lahan (LU). Formula yang dibuat adalah sebagai berikut:
Zonasi ditentukan berdasarkan pada kriteria, dimana kriteria diperoleh dari hasil nilai maksimum dikurangi nilai minimum dibagi 4 kelas, sehingga diperoleh selang nilai untuk mengetahui kelas bahaya longsor (LH) paling rendah hingga paling tinggi.
Pemetaan Bahaya Longsor Pendekatan Normatif Level Detil
Pemetaan normatif di wilayah penelitian adalah pemetaan yang dilakukan dengan metode yang telah dilakukan atau konsep yang dikeluarkan oleh BNPB yaitu dengan metode skor dan pembobotan. Data yang diperoleh berasal dari data aktual di lapangan agar menghasilkan pemetaan bahaya yang lebih detil. Nilai skor dan bobot untuk setiap kelas pada masing-masing parameter disajikan pada Tabel 8 sampai dengan Tabel 11.
.
Tabel 8 Klasifikasi dan Nilai Skor Tekstur dan Warna Tanah
Jenis Tanah Tekstur Warna Skor
Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat Lempung Berdebu Coklat Kekuningan 4
Latosol Coklat Lempung Berdebu Coklat Kekuningan 3
Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat Lempung Berdebu Coklat Kemerahan 3 Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat Lempung Berdebu Coklat 3,5
Latosol Coklat Lempung Berdebu Coklat Kekuningan 3
Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat Lempung Coklat Kemerahan 2,5
Latosol Coklat Lempung Berdebu Coklat 2,5
Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat Lempung Berdebu Coklat Kemerahan 3
Latosol Coklat Lempung Berdebu Coklat 2,5
Latosol Coklat Lempung Berdebu Coklat 2,5
Latosol Coklat Lempung Berdebu Coklat 2,5
Latosol Coklat Lempung Berdebu Coklat 2,5
Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat Lempung Coklat 3
Latosol Coklat Lempung Berdebu Coklat Kekuningan 3
Latosol Coklat Lempung Coklat 2
Untuk parameter jenis tanah diklasifikasikan menurut jenis, tekstur dan warna tanah. Skor didapatkan dari rata-rata skor jenis tanah menurut Puslitanak dengan nilai skor tekstur dan warna tanah berbasis data aktual kejadian longsor di lokasi penelitian. Teknik pengambilan sampel tanah dilakukan dengan cara mengambil tanah di area longsoran yang mengacu pada penggunaan lahan, warna tanah ditentukan dengan cara membandingkan dengan warna buku yang terdapat pada Munsell Soil Color Chart. Tekstur tanah ditentukan dengan menggunaan perasaan, dilakukan dengan meletakan tanah diantara ibu jari dengan jari telunjuk dan kemudian saling ditekan dan dirasakan.
Tabel 9 Klasifikasi dan Nilai Skor Jenis Konservasi dan Penggunaan Lahan FID Jenis Konservasi Penggunaan Lahan Skor
0 Tidak ada konservasi Jalan 1
10 Contour Strip Cropping Kentang dan Kubis 3
11 Strip Cropping Wortel 3
22 Contour Strip Cropping Kentang dan Wortel 3
23 Tidak ada Konservasi Pemukiman 2
24 Tidak ada Konservasi Pemukiman 2
25 Tidak ada Pemukiman 2
26 Contour Strip Farming Wortel 3
27 Guludan Kentang 3
28 Guludan Kopi 3
29 Contour Strip Cropping Wortel. Kentang dan Kubis 3
Jenis penggunaan lahan yang diberi skor paling tinggi yaitu tanah kosong sedangkan perkebunan memiliki bahaya yang sedang dan lainnya memiliki bahaya yang paling rendah terhadap longsor.
Tabel 10 Klasifikasi dan Nilai Skor Faktor Kemiringan Lereng
Gridcode Lereng (%) Skor
1 20 3
2 30 4
3 40 4
4 50 5
5 60 5
6 70 5
7 80 5
8 90 5
9 100 5
10 150 5
Pada pendekatan normatif, dilakukan pemberian skor pada masing-masing parameter yang diikuti dengan pembobotan setiap parameter yang menjadi acuan. Bobot paling tinggi dan berarti paling berpengaruh diantara parameter yang lain.
Tabel 11 Pembobotan Peta Parameter
Paramater Bobot
Penggunaan lahan 25 %
Tanah 35 %
Kemiringan lereng 40 %
Proses penentuan bobot parameter bahaya ini berdasarkan pengaruh parameter terhadap bencana longsor dengan menggunakan try and error sehingga didapatkan komposisi yang cenderung mendekati dengan kondisi di lapangan.
Setelah selesai melakukan pembobotan selanjutnya dilakukan fungsi overlay. Bobot paling tinggi terdapat pada peta kemiringan lereng (KL), diikuti oleh peta warna dan tekstur tanah (TNH) serta penggunaan lahan dan jenis konservasi (LU dan Konservasi). Formula yang dibuat adalah sebagai berikut:
Zonasi ditentukan berdasarkan pada kriteria, dimana kriteria diperoleh dari hasil nilai maksimum dikurangi nilai minimum dibagi 4 kelas, sehingga diperoleh selang nilai untuk mengetahui kelas bahaya longsor (LH) paling rendah hingga paling tinggi.
Pemetaan Bahaya Longsor (LH) Berbasis Pendekatan Kuantitatif Level Detil Skala 1 : 10.000
Pemetaan dengan metode kuantitatif adalah pemetaan yang dilakukan dengan metode skor dan pembobotan berdasarkan data aktual kejadian longsor di wilayah penelitian. Evaluasi dilakukan dengan uji akurasi pada masing-masing peta parameter. Semakin banyak titik longsor pada setiap parameter penyebab longsor, maka semakin tinggi skor yang diberikan.
Pemberian skor dalam pembuatan peta bahaya longsor metode kuantitatif yaitu berdasarkan data aktual kejadian longsor sebelumnya. Nilai skor dan bobot untuk setiap kelas pada masing-masing parameter disajikan pada Tabel 12 sampai dengan Tabel 15.
Tabel 12 Klasifikasi dan Nilai Skor Kemiringan Lereng Gridcode Lereng (%) Titik Longsor Skor
1 20 1 1 sedang (50 – 70%) hingga tinggi (90% dan 150%) dinilai paling rendah terhadap longsor karena masing-masing hanya memiliki satu titik longsor. Kemudian nilai bahaya meningkat pada kemiringan 40 %, memiliki empat titik longsor, sedangkan kemiringan lereng dengan klasifikasi curam hingga sangat curam (80% dan 100%) dinilai paling tinggi terhadap longsor karena memiliki titik longsor paling banyak yaitu 14 titik longsor.
Tabel 13 Klasifikasi dan Nilai Skor Tekstur dan Warna Tanah
Tekstur Warna Titik
Longsor
Luas m2 % Skor
Lempung Berdebu Coklat Kekuningan 15 153214,30 28,807 4 Lempung Berdebu Coklat Kekuningan 1 57412,66 10,795 4 Lempung Berdebu Coklat Kemerahan 2 4270,71 0,803 2 Lempung Berdebu Coklat 3 82003,78 15,418 3 Lempung Berdebu Coklat Kekuningan 2 16397,82 3,083 4 Lempung Coklat Kemerahan 2 8611,18 1,619 1 Lempung Berdebu Coklat 2 1725,76 0,324 3 Lempung Berdebu Coklat Kemerahan 3 10372,46 1,950 2 Lempung Berdebu Coklat 3 2147,20 0,404 3 Lempung Berdebu Coklat 3 12319,85 2,316 3 Lempung Berdebu Coklat 2 5752,56 1,082 3 Lempung Berdebu Coklat 1 5404,68 1,016 3
Lempung Coklat 1 50051,42 9,411 2
Lempung Berdebu Coklat Kekuningan 3 121678,10 22,878 4
Lempung Coklat 1 495,37 0,093 2
Teknik pengambilan sampel tanah dilakukan dengan cara mengambil tanah di area longsoran yang mengacu pada penggunaan lahan, warna tanah ditentukan dengan cara membandingkan dengan warna buku yang terdapat pada Munsell Soil Color Chart. Tekstur tanah ditentukan dengan menggunaan perasaan, dilakukan dengan meletakan tanah diantara ibu jari dengan jari telunjuk dan kemudian saling ditekan dan dirasakan.
memiliki skor paling rendah.
Tabel 14 Klasifikasi dan Nilai Skor Konservasi dan Penggunaan Lahan Konservasi Penggunaan Lahan Longsor Luas m2 Skor
Tidak ada konservasi Jalan 0 13981,28 1
Guludan Kentang 0 7613,83 1
Tidak ada Konservasi Tanah Kosong 0 10342,28 1 Guludan Wortel, Kubis. dan Kentang 2 41998,84 2
Contour Strip Farming Kubis 1 45593,46 2
Guludan Kubis 1 6032,17 2
Jalan (tidak ada konservasi) Kentang 2 4199,75 2 Tidak ada Konservasi Wortel dan Kubis 3 32446,57 3 Contour Strip Farming Wortel dan Kubis 3 8727,59 3 Tidak ada Konservasi Tanah Kosong 1 10334,27 2 Contour Strip Cropping Kentang dan Kubis 0 5965,45 1
Strip Cropping Wortel 3 11160,49 3
Strip Cropping Wortel 3 12066,71 3
Tidak ada Konservasi Wortel 0 3583,01 1
Tidak ada Konservasi Teh 2 65261,00 2
Strip Cropping Kentang 1 7376,28 2
Strip Cropping Wortel 3 4296,72 3
Teh (tidak ada konservasi) Teh dan Kopi 3 22925,86 3
Tidak ada Konservasi Wortel 1 7110,12 2
Strip Cropping Wotel dan Kubis 2 2298,52 2
Tidak ada Konservasi Kubis 6 12864,00 4
Strip Cropping Kubis 1 3455,29 2
Contour Strip Cropping Kentang dan Wortel 2 33490,61 2 Tidak ada Konservasi Pemukiman 0 4839,07 1 Tidak ada Konservasi Pemukiman 0 3283,81 1
Tidak ada Pemukiman 0 37633,20 1
Contour Strip Farming Wortel 1 36807,76 2
Guludan Kentang 1 9324,19 2
Guludan Kopi 0 11360,79 1
Contour Strip Cropping Wortel. Kentang dan Kubis 0 54256,61 1
Tabel 14 menunjukan bahwa jenis penggunaan lahan yang diberi skor paling tinggi yaitu pada tanaman kubis, wortel, teh dan kopi dengan jenis konservasi pada tanaman wortel adalah strip cropping sedangkan kubis, teh dan kopi tidak ada konservasi. Wortel, kubis. dan kentang memiliki bahaya yang sedang dengan jenis konservasi berupa guludan, contour strip farming, strip cropping, dan contour strip cropping dan lainnya memiliki bahaya yang paling rendah terhadap longsor seperti jalan, pemukiman, dan tanah kosong.
Coefficientsa
Tabel 15 Pembobotan Peta Parameter
Sumber : Hasil Analisis SPSS, 2016
Setelah selesai melakukan pembobotan selanjutnya dilakukan fungsi overlay. Analisis zonasi diawali dengan perhitungan skor dikalikan dengan bobot kemudian diikuti dengan analisis zonasi yang dimaksud. Bobot terdiri dari kemiringan lereng (KL), diikuti oleh peta warna dan tekstur tanah (TNH) serta penggunaan lahan dan jenis konservasi (LU dan Konservasi). Formula yang dibuat adalah sebagai berikut:
Zonasi ditentukan berdasarkan pada kriteria, dimana kriteria diperoleh dari hasil nilai maksimum dikurangi nilai minimum dibagi 4 kelas, sehingga diperoleh selang nilai untuk mengetahui kelas bahaya longsor (LH) paling rendah hingga paling tinggi.
Evaluasi Kerentanan Longsor (V)
Pemetaan Kerentanan Longsor Berbasis Batas Administrasi Kabupaten Garut
Kerentanan longsor berbasis batas administrasi merupakan pemetaan
yang dilakukan dengan metode skor dan pembobotan yang dikeluarkan oleh BNPB. Sumber data yang digunakan berasal dari data BPS, Bappeda dan peta administrasi Kabupaten Garut. Penentuan nilai untuk setiap kriteria disajikan pada Tabel 16 sampai dengan Tabel 20.
Tabel 16. Indikator dalam menentukan Kerentanan Ekonomi di Lokasi Penelitian
Indikator Keterangan Kelas Indeks
Tabel 17. Indikator dalam menentukan Kerentanan Fisik di Lokasi Penelitian
Indikator Sub-indikator Keterangan
Fasilitas umum Kesehatan,
Fasilitas transportasi Bandara, Terminal,
Stasiun Kereta Api, Jaringan
Penggunaan lahan Lahan terbangun (permukiman)
Tabel 18. Indikator dalam menentukan Kerentanan Sosial
Indikator Keterangan Kelas Indeks
Jumlah penduduk Semakin banyak jumlah penduduk yang tinggal pada suatu wilayah penduduk wanita dan pria dalam suatu wilayah. Penduduk wanita
menggambarkan kemampuan yang relatif rendah atau lebih rentan dalam menghadapi suatu bencana.
Rendah >100 Sedang =100 Tinggi <100
Rasio kemiskinan Persentasi perbandingan jumlah penduduk prasejahtera dalam Suatuwilayah. Semakin tinggi
persentase penduduk miskin dalam suatu wilayah maka akan menambah
Persentase jumlah penduduk usia anak (<15 tahun) dan usia lanjut (>65 tahun) dengan jumlah penduduk pada usia produktif (15–65 tahun). Tingginya persentase penduduk usia anak dan usia lanjut menggambarkan
Tabel 19. Indikator dalam menentukan Kerentanan Lingkungan
Indikator Keterangan Kelas Indeks
Hutan
Setelah dilakukan pemberian skor pada masing-masing parameter diikuti dengan pembobotan setiap parameter yang menjadi acuan. Bobot paling tinggi dan berarti paling berpengaruh diantara parameter yang lain.
Tabel 20 Pembobotan Peta Parameter
Paramater Bobot
Kerentanan Sosial 32 %
Kerentanan Ekonomi 15 %
Kerentanan Fisik 38 %
Kerentanan Lingkungan 15%
Sumber : Hasil Analisis, 2014
Pengolahan data tabular untuk menghasilkan peta kerentanan dilakukan dengan menggunakan batas administrasi. Bobot (w) paling tinggi terdapat pada kerentanan fisik (Vf ), diikuti oleh kerentanan sosial (Vs ) serta kerentanan ekonomi (Ve ) dan lingkungan (Vl ). Formula yang dibuat adalah sebagai berikut :
Zonasi ditentukan berdasarkan pada kriteria, dimana kriteria diperoleh dari hasil nilai maksimum dikurangi nilai minimum dibagi 4 kelas, sehingga diperoleh selang nilai untuk mengetahui kelas kerentanan longsor (V) paling rendah hingga paling tinggi.
Pemetaan Kerentanan Longsor Berbasis Penggunaan Lahan Level Detil Menurut Cardona (2012) kerentanan mengacu pada kecenderungan manusia, mata pencaharian dan hak miliknya yang mengalami dampak buruk ketika dipengaruhi oleh bahaya, sehingga pemetaan kerentanan longsor berbasis penggunaan lahan dilakukan dengan metode skor dan pembobotan berbasis penggunaan lahan yang mengacu pada peta bahaya sebelumnya.
Parameter yang digunakan adalah Jenis Konsevasi dan Penggunaan Lahan, Kepadatan Penduduk dan Nilai Lahan. Area yang berada pada bahaya longsor rendah, maka nilai kerentanan semakin rendah, sebaliknya area yang berada pada bahaya longsor tinggi, maka semakin tinggi pula skor yang diberikan. Penentuan nilai untuk masing-masing kriteria pada setiap parameter disajikan pada Tabel 21 sampai dengan Tabel 23.
Tabel 21 Nilai Skor Konservasi, Penggunaan Lahan dan Nilai Lahan FID Konservasi Penggunaan
Lahan 24 Contour Strip Cropping Kentang 2,78 131600000 2 25 Contour Strip Cropping Kentang 1,32 62469000 2 menunjukan skor paling tinggi ada pada jenis konservasi contour strip cropping, penggunaan lahan detil berupa kubis dengan nilai lahan sebesar Rp.6.546.750,-
Tabel 22 Skor Peta Parameter Kerentanan Kepadatan Penduduk LU Luas (m2) Jumlah
Sumber : Hasil Analisis, 2015