• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Hasil Akhir Pengobatan Pasien TB Paru BTA Positif Yang Menggunakan Strategi DOTS Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Di RSUP H. Adam Malik Medan Pada Tahun 2004-2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Hasil Akhir Pengobatan Pasien TB Paru BTA Positif Yang Menggunakan Strategi DOTS Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Di RSUP H. Adam Malik Medan Pada Tahun 2004-2012"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP  

Nama : Fitriyani S.

Tempat, tanggal lahir : Silaen, 6 April 1992 Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jalan Berdikari No.52 pasar 1 Padang Bulan

Riwayat pendidikan :

1. S1 Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan (2010-sekarang)

2. SMAN-2 Balige, Sumatera Utara (2007-2010)

3. SMP SW. Budhi Dharma Balige, Sumatera Utara (2004-2007) 4. SDN 173564 Silaen, Sumatera Utara (1998-2004)

Riwayat Pelatihan :

1. Seminar KTI dan Update Kedokteran Riwayat Organisasi :

1. UKM KMK (Kebaktian Mahasiswa Kristen ) Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun (2010 – sekarang).

(2)

DATA INDUK PENELITIAN  jenis kelamin responden

Frequency Percent 91 65.0 49 35.0 140 100.0  

Hasil pengobatan 

           

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Sembuh 72 51.4 51.4 51.4

Gagal 22 15.7 15.7 67.1

Pindah 19 13.6 13.6 80.7

Default 20 14.3 14.3 95.0

Meninggal 1 .7 .7 95.7

pengobatan lengkap 6 4.3 4.3 100.0

(3)

jenis kelamin responden * hasil pengobatan Crosstabulation

      hasil pengobatan

Total

     

sembuh gagal pindah default meninggal

pengob

(4)

% of Total 51.4% 15.7 %

(5)

     

Total sembuh Gagal pindah default gal lengkap

umur

100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

(6)

DAFTAR PUSTAKA

Addis, Z., Birhan, W., Alemu, A., Mulu, A., Ayal, G., Negash, A. 2013.Treatment

Outcome of Tuberculosis Patients in Azezo Health Center, North West

Ethiopia. International Journal of Biomedical And Advance Research. 4:169.

Alatas, H., Karyomanggolo, W.T., Musa, D.A., Boediarso, A., Oesman, I.N., Idris

N.S. Desain Penelitian. Dalam : Sastroasmoro S. dan Ismael S..

Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Ed.4. Jakarta : Sagung Seto, 112-113.

Alsagaf, H., Mukty, A. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.Ed.7. Surabaya : Airlangga University Press, 73-109.

Amin, Z., Bahar, A. 2009. Tuberkulosis Paru. Dalam : Buku Ajar Penyakit Dalam,

Ed.2. Jakarta: Internapublishing, 2230-2239.

Caetona, M.P., Carvalho, A., Valente, I., Braga, R., Duarte, R. 2012. Predictors of

Delayed Sputum Smear and Culture Conversion Among a Portuguese

Population with Pulmonary Tuberculosis. Journal Revista Portuguesa de

Pneumologia. [online]18:72-79. Available From

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22277838 [Accessed 7 Mei 2013].

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Data TB 2010. Subdit TB Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Firdous, U., Rahardjo, E., Roselinda. 2006. Faktor-faktor Penderita TB paru Putus

Berobat. Media litbang XVI : 4 : 20.

Fortun J, Marti´n-D.P., Molina, A., Navas E., Hermida, J., Cobo J, Go´mez-M.E.,

Moreno S.2007. Sputum Conversion Among Patients with Pulmonary

Tuberculosis: Are There Implications for Removal of Respiratory

(7)

Gebretsadik, Berhe, Fikre, E., Abraham, A. 2011. Treatment Outcome of

Smear-Positive Pulmonary Tuberculosis Patients in Tigray Region, Northern

Ethiopia. 21.

Hertiyana, R., Rohani, Aandirini, F. 2012. Karakteristik Pasien Tuberkulosis Paru

Kasus Baru dengan BTA Positif Di RSUD Arifin Achmad Periode Januari

2009 Sampai Desember 2012: Bagian Ilmu Paru Kedokteran Universitas Riau: 4-5.

International Tuberculosis Lung Disease Research Institute. 2001. TB Manual

National Tuberculosis Programme Guidelines. Warsaw.

Jawetz, Melnick, Adelsberg’s. 2005. Mikrobiologi Kedokteran,Ed 1. Mudihardi E.,

Kuntaman, dan Warto E.B. Jakarta: Salemba Medika, 453-464.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Ringkasan Eksekutif Data dan

Informasi Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Pusat Data Dan Informasi

Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.2009. Pedoman Penanggulangan

Tuberkulosis. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Kenyorini, Suradi, Eddy, S. 2006. Uji Tuberkulin. JTI. 3(2): 7-15.

Kurbatova, E.V., Gammino, V.M., Bayona, J.,Becerra, M.C., Danilovitz, M.,

Falzon, D., Gelmanova, I., Keshavjee, S., Mitnick, C.D., Quelapio, M.I.,

Riekstina, V., Taylor, A., Viiklepp, P., Zignol, M.,Cegielski, J.P. 2012.

Predictors of sputum culture conversion among patients treated for

multidrug-resistant tuberculosis : Int J Tuberc Lung Dis.16(10) :1335–1343.

MacDonald, R.,J.,Reichman, L.B.2003. Tuberculosis. In: Capro J.D., Karlinsky J.,

(8)

Munir, S.M., Nawas, A., Soetoyo,Dianiati, K. 2010. Pengamatan Pasien

Tuberkulosis Paru dengan Multidrug Resistant (TB-MDR) di Poliklinik Paru RSUP Persahabatan : J Respir Indo. 30(2) : 92-104.

Pajankar, S., Khandekar, R.,Amri, M.A.,Lawati, M.R. 2008. Factors Influencing

Sputum Smear Conversion at One and Two Months of Tuberculosis

Treatment. Oman Medical Journal. [Online] Volume 23( 4): 263-268. Available from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3273921/

[Accessed 7 Mei 2013].

PDPI. 2011. Tuberkulosis. Ed.2. Jakarta : PDPI, 3-66.

Pengobatan TBC. 2012. [Online Image]. Available from

http://medicastore.com/tbc/pengobatan_tbc.htm [Accessed 4 Mei 2013].

Raviglione, M.C., O’brien T.J. 2008. Mycobacterial Disease. In: Fauci, A.S.,

Kasper, L., Braunwald, E., and Hausen, S.L. (eds) . Harrison’s Principal Of

Internal Medicine, Ed.17. Newyork: Mc Graw Hill Medical, 1006-1020.

Sjahrurachman, Agus. 2010. Diagnosis Multi Drug Resistant Mycobacterium

tuberculosis. Jurnal Tuberculosis Indonesia. Vol 7 : 13-15.

Su, W-J., Feng, J-Y., Chiu, Y-C., Huang, S-F., Lee, Y-C.2011. Role of 2-Month

Sputum Smears in Predicting Culture Conversion in Pulmonary

Tuberculosis: Eur Respir J. 37: 376–38.

Tabrani, Irma. 2008. Konversi Sputum BTA pada Fase Intensif TB Paru Kategori I

antara Kombinasi Dosis Tetap (KDT) dan Obat Anti Tuberculosis (OAT)

Generic di RSUP. H.Adam Malik Medan. Tesis, Universitas Sumatera

Utara.

Tatalaksana pasien TB. 2012. [Online Image]. Available from

http://medicallinkgo.wordpress.com/2012/04/12/tatalaksana-pasien-tb/

(9)

Triyani,Y., Parwati, I.,Sjahid, I., Gunawan, J.E. 2007. Peralihan (Konversi) Sputum

BTA Antara Pemberian Dosis Baku (Standar) dan Tinggi Rifampicin pada

Pengobatan (Terapi) Anti Tuberkulosis Kelompok (Kategori) I. Indonesian

Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. Vol. 14(1): 1-10.

World Heath Organization. 2009. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for

National Programmes,[Online]. Available from

http://www.who.int/tb/publications/tb_treatmentguidelines/en/ [Accessed 5

Mei 2013].

(10)

BAB 3

KERANGKA KONSEP

3.1. Kerangka Konsep

Dilihat dari tujuan penelitian, maka kerangka konsep penelitian ini adalah :

Skema 3.1. Kerangka Konsep

3. 2. Variabel dan Defenisi Operasional 1. BTA Positif

a. Defenisi Operasional : BTA positif adalah jika bila minimal

satu kali dari sekurang-kurangnya dua kali pemeriksaan sputum

pada pagi hari menunjukkan hasil positif atau dikatakan positif

bila dua atau lebih pemeriksaan sputum positif, atau satu kali

sputum positif didukung hasil pemeriksaan foto toraks sesuai Pasien TB paru BTA positif

yang tidak mengalami konversi sputum setelah 2 bulan pengobatan

Hasil pengobatan pasien TB paru BTA positif yang tidak mengalami konversi sputum setelah 2 bulan pengobatan 

Sembuh

(11)

dengan gambaran TB oleh klinikus, atau satu kali pemeriksaan

dahak BTA positif ditambah hasil kultur M.tuberculosis. b. Cara Ukur : Dilihat dari rekam medis

c. Alat Ukur : Rekam medis

d. Hasil Ukur : Pada pemeriksaan mikrokopik ditemukan

kuman BTA, radiologi gambaran TB paru aktif dan kultur

ditemukan M.tuberculosis. e. Skala Pengukuran : nominal

2. Tidak mengalami konversi sputum

a. Defenisi operasional : jika pada pemeriksaan sputum setelah 2

bulan pengobatan tetap positif

b. Cara ukur : Dilihat dari hasil konversi pada rekam

medis

c. Alat ukur : rekam medis

d. Hasil ukur : Konversi sputum tetap positif

e. Skala pengukuran: nominal

3. Hasil pengobatan TB paru

a. Defenisi operasional : Hasil pengobatan adalah hasil yang

didapatkan dari pengobatan TB paru dari konversi sputum

b. Cara ukur : Dilihat dari rekam medis

c. Alat ukur : Rekam medis

d. Hasil ukur : Sembuh setelah 7 bulan dan Tidak sembuh

atau gagal

(12)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain studi Cross

Sectional. Penelitian ini dilakukan dengan satu kali pengukuran atau pengambilan

data (Ghazali et al, 2011). Dan selanjutnya dilihat gambaran hasil pengobatan TB Paru BTA positif yang menggunakan strategi DOTS setelah 2 bulan pengobatan

tidak mengalami konversi pada pemeriksaan sputum.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah di RSUP H. Adam Malik. Waktu pelaksanaan

penelitian dimulai pada Juli-November 2013.

4. 3. Populasi dan Sampel Penelitian 4. 3. 1. Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah semua TB paru BTA positif di RSUP

H. Adam Malik pada tahun 2004- 2012.

4.3.2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian diambil dengan menggunakan metode total sampling. Sampel yang akan diteliti adalah sampel yang memenuhi kriteria penelitian.

Adapun kriteria penelitian adalah :

a. Kriteria Inklusi

1. Pasien TB paru BTA positif

2. Mengikuti pengobatan dengan lengkap

3. Pasien TB paru BTA positif yang tidak mengalami konversi

(13)

b. Kriteria Eksklusi

1. Pasien TB paru BTA positif yang setelah 2 bulan menjalani

pengobatan sudah menjadi negatif pada pemeriksaan sputum

2. Pasien TB yang mengalami efek samping sehingga OAT

diberhentikan sebagian atau semuanya.

4.4. Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder.

Data sekunder adalah data yang telah tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen.

Bentuk data sekunder yang digunakan adalah rekam medis dari RSUP H. Adam

Malik. Dari rekam medis didapatkan data tentang jenis kelamin, usia dan

persentasi pasien yang sembuh setelah pengobatan dan pasien yang tidak sembuh.

4.5. Metode Analisis Data

Pada penelitian ini, data yang didapat diolah dan dianalisis menggunakan

(14)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini diadakan di sub bagian rekam medis Rumah Sakit Umum

Pusat Haji Adam Malik Medan. Rumah Sakit ini beralamat di Jalan Bunga Lau

No. 17 Kecamatan Medan Tuntungan Kotamadya Medan Provinsi Sumatera

Utara. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik merupakan rumah sakit kelas

A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990. Berdasarkan SK

Menkes No. 502/Menkes /SK/IX/1991, RSUP H. Adam Malik Medan juga

sebagai pusat rujukan wilayah Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera

Utara, Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat dan Riau.

5.1.2. Deskripsi Data Penelitian

Proses pengambilan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan

data sekunder yaitu rekam medis. Dengan cara mengumpulkan data berupa nama,

usia, jenis kelamin, hasil konversi bulan kedua, dan hasil pengobatan. Data

tersebut dianalisis untuk akhirnya dapat disimpulkan melalui paparan di bawah

ini.

Penelitian ini dilakukan dengan melihat data TB elektronik untuk tahun

2004-20012. Data tahun 2009-2012 dapat dilihat juga dalam rekam medis. Dari

data tersebut didapatkan sebanyak 3353 pasien TB paru yang datang berobat ke

Poliklinik Paru. Dari 3353 pasien hanya 140 pasien yang setelah dua bulan

pengobatan tidak mengalami konversi sputum. Jadi, yang dapat dianalisis hanya

(15)

5.1.2.1. Distribusi Jumlah Penderita TB Paru

Distribusi jumlah penderita TB Paru dari tahun 2004-2012 dapat dilihat

pada tabel berikut.

Tabel 5.1. Distribusi Jumlah Pasien TB Paru Tah

Dari tabel di atas didapatkan bahwa dari 3353 pasien TB paru, terdapat

2675 pasien yang hasil sputum positif. Terdapat 2539 pasien yang setelah 2 bulan

pengobatan mengalami konversi sputum dari 2675 pasien BTA positif. Dengan

begitu angka konversi sputum untuk 9 tahun adalah 2539/2675 (94.9%). Dari

2675 pasien BTA positif terdapat 140 pasien yang tidak mengalami konversi

sputum. Angka konversi sputum tertinggi terdapat pada tahun 2008 yaitu 99.4%.

(16)

Skema 5.1. Grafik Angka Konversi TB paru BTA Positif Tahun

2004-2012

Grafik di atas menunjukkan angka konversi TB paru BTA positif dari

tahun 2004-2012. Dari grafik di atas terlihat bahwa terjadi peningkatan dan

penurunan angka konversi sputum tiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa

terjadi peningkatan dan penurunan keberhasilan pengobatan TB paru BTA positif.

5.1.2.2. Distribusi Penderita TB Paru yang Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi penderita TB Paru berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada

tabel berikut. 75.0% 80.0% 85.0% 90.0% 95.0% 100.0% 105.0%

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Angka Konversi Sputum

Tahun

(17)

Tabel 5.2. Distribusi Penderita TB Paru yang Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis kelamin N (orang) %

Laki-laki 91 65

Perempuan 49 35

Total 140 100

Dari tabel 5.2., menunjukkan bahwa berdasarkan jenis kelamin, terdapat

91 orang (65%) laki-laki yang menderita TB paru BTA positif dan tidak

mengalami konversi sputum setelah dua bulan pengobatan. Sementara, perempuan

sebanyak 49 orang (35%).

5.1.2.3. Distribusi Penderita TB Paru yang Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Berdasarkan kelompok Usia

Distribusi penderita TB Paru berdasarkan kelompok usia dapat dilihat pada

tabel berikut.

Tabel 5.3. Distribusi Penderita TB Paru yang Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Berdasarkan Kelompok Usia

Dari tabel di atas didapatkan bahwa kelompok usia terbanyak yang

menderita TB paru BTA positif dan tidak mengalami konversi sputum setelah dua

bulan pengobatan adalah kelempok usia 15-35 tahun sebanyak 81 orang (57.9%).

Diikuti Kelompok usia 36-56 tahun sebanyak 46 orang (32.9%), dan kelompok

usia 57-77 tahun sebanyak 13 orang (9.3%).

Kelompok usia N (orang) %

15-35 81 57.9

36-56 46 32.9

57-77 13 9.3

(18)

5.1.2.4. Distribusi Penderita TB Paru yang Tidak Mengalami Konversi sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Berdasarkan Hasil Pengobatan

Tabel 5.4. Distribusi Penderita TB Paru yang Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Berdasarkan Hasil Pengobatan

Hasil pengobatan N %

Sembuh 72 51.4

Gagal 12 15.7

Pindah 19 13.6

Putus berobat 20 14.3

Meninggal 1 0.7

Pengobatan lengkap 6 4.3

Total 140 100

Tabel di atas menunjukkan dari 140 orang ada 72 orang (51.4%) yang

sembuh, 12 orang (15.7%) gagal, 19 orang ( 13.6%) pindah, 20 orang ( 14.3%)

putus berobat, 1 orang (0.7%) meninggal, dan 6 orang (4.3%) pengobatan

lengkap.

(19)

Tabel 5.5. Distribusi Hasil Akhir Pengobatan Pasien TB Paru yang Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Berdasarkan Jenis Kelamin

Hasil Akhir Pengobatan

Laki-laki Perempuan

N % N %

Sembuh 46 50.5 26 53.1

Gagal 16 17.6 6 12.2

Pindah 12 13.2 7 14.3

Putus berobat 14 15.4 6 12.2

Meninggal 0 0 1 2

Pengobatan lengkap 3 3.3 3 6.1

Total 91 100 49 100

Dari tabel di atas didapatkan ada 91 orang pasien laki-laki dan 49 orang

perempuan. Dari 91 orang laki-laki, 46 orang (50.5%) sembuh, 16 orang (17.6%)

gagal, 12 orang (13.2%) pindah, 14 orang (15.4%) putus berobat, dan 3 orang

(3.3%) pengobatan lengkap. Sementara dari 49 orang perempuan didapatkan, 26

orang (53.1%) sembuh, 6 orang (12.2%) gagal, 7 orang (14.3%) pindah, 6 orang

(12.2%) putus berobat, 1 orang (2%) meninggal, dan 3 orang (6.1%) pengobatan

lengkap.

(20)

Tabel 5.6. Distribusi Hasil Akhir Pengobatan Pasien TB Paru yang Tidak Mengalami Konversi Sputum Setelah 2 Bulan Pengobatan Berdasarkan Usia

Dari tabel di atas didapatkan 81 orang pada usia 15-35 tahun. Dari 81

orang didapatkan ada 43 orang (53.1%) sembuh, 10 orang (12.3%) gagal, 14

orang (17.3%%) pindah, 13 orang (16%) putus berobat, tidak ada yang meninggal,

dan 1 orang (1.2%) pengobatan lengkap.

Terdapat 46 orang usia 35-56 tahun. Dari 46 orang didapatkan, 23 orang

sembuh (50%), 11 orang (23.9%) gagal, 2 orang (4.3%) pindah, 7 orang (15.2%)

putus berobat, 1 orang (2.2%) meninggal, 2 orang (4.3%) pengobatan lengkap.

Terdapat 49 pasien usia 57-77 tahun, dari 49 orang, 6 orang (46.2%) sembuh, 1

orang (7.7%) gagal, 3 orang (23.1%) pindah, tidak ada pasien yang putus berobat

(21)

5.2. Pembahasan

Hasil pengobatan TB paru setelah dua bulan dapat dilihat dari hasil

konversi sputum. Pemeriksaan sputum merupakan indikator untuk melihat

respon pengobatan. Sehingga konversi sputum adalah hal yang sangat penting

untuk menilai keefektifan penggunaan obat (Pajankar et al, 2008 )

Kegagalan atau keterlambatan konversi sputum lebih dari 2 bulan akan

memberikan hasil pengobatan yang tidak baik. Konversi sputum BTA adalah

salah satu indikator yang digunakan untuk memantau dan menilai pengobatan.

Yaitu dengan menentukan angka konversi sputum. Konversi sputum BTA adalah

mengubah hasil pemeriksaan hapusan sputum BTA penderita TB paru dari BTA

positif menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan (terapi intensif)

selama 2 bulan (Pajankar et al, 2008). Dari hasil konversi ditemukan adanya pasien-pasien yang pemeriksaan sputum BTA positif tidak mengalami konversi.

Banyak kepustakaan telah mencantumkan penjelasan bahwa konversi sputum

BTA diharapkan terjadi dalam dua bulan setelah pengobatan fase intensif.

Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa selama sembilan tahun

terdapat 3353 pasien TB paru, 2675 pasien BTA positif, dan 2539 pasien

mengalami konversi sputum. Sementara ada 140 orang yang tidak mengalami

konversi sputum. Dengan kata lain angka konversi dari penelitian ini selama

sembilan tahun adalah 2539/2675 (94.9%). Seperti penjelasan sebelumnya bahwa

konversi sputum adalah salah satu indikator untuk memantau atau menilai

(22)

5.2.1. Jenis kelamin

Dari status rekam medis didapatkan jumlah pasien laki-laki yang

menderita TB paru dan tidak mengalami konversi sputum setelah 2 bulan

pengobatan adalah 91 orang (65%), perempuan sebanyak 49 orang (35%). Hasil

yang sama juga didapatkan pada penelitian Pajankar et.al. (2008) yaitu laki-laki 21 orang (54%) dan 18 orang (46%) perempuan. Hal yang sama juga didapatkan

dari penelitian Tabrani (2008) dengan laki-laki 22 orang (64%) dan perempuan 12

orang (36%). Menurut penelitian Tsukamura dalam Munir et.al. (2010) juga mendapatkan hal yang sama yaitu laki-laki 12 orang (63%) dan perempuan 7

orang (37%). Dari penelitian Hertiyana et.al. (2013) hasil didapatkan jenis kelamin pasien tuberkulosis paru kasus baru dengan BTA positif lebih banyak

laki-laki yaitu berjumlah 60 orang (63.8%) dibandingkan perempuan dengan

jumlah 34 orang (36.2%). Namun berbeda dengan hasil penelitian

Balasubramanian, lebih banyak terjadi pada perempuan dibanding laki-laki

dengan perbandingan (6,5:1). Begitu juga dengan penelitian oleh Thorson dalam

Hertiyana et.al. (2013) pasien tuberkulosis paru dengan BTA positif paling banyak terjadi pada perempuan dibanding laki-laki, dengan perbandingan (1,2:1).

Secara epidemiologi dibuktikan terdapat perbedaan antara laki-laki dan

perempuan dalam hal penyakit infeksi, progresivitas penyakit, insidens dan

kematian akibat TB. Berdasarkan WHO Tuberculosis Control in South East Asia

Region tahun 2012, pasien tuberkulosis kasus baru dengan BTA positif sering

terjadi pada perempuan (81%) dibandingkan laki-laki yang hanya 75%.

Perkembangan penyakit juga mempunyai perbedaan antara laki-laki dan

perempuan yaitu perempuan mempunyai penyakit lebih berat pada saat datang ke

rumah sakit. Perempuan lebih sering terlambat datang ke pelayanan kesehatan

dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini mungkin berhubungan dengan aib dan rasa

malu lebih dirasakan pada perempuan dibanding laki-laki. Perempuan juga lebih

sering mengalami kekhawatiran akan dikucilkan dari keluarga dan lingkungan

(23)

Menurut Nagawa dalam Munir et.al, (2010) melaporkan pada perempuan ditemukan diagnosis yang terlambat sedangkan pada laki-laki cenderung pergi ke

pelayanan kesehatan ketika mereka mengetahui pengobatan TB gratis sedangkan

perempuan tidak.

5.2.2. Usia

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan kelompok usia

didapatkan kelompok usia terbanyak yang menderita TB paru BTA positif dan

tidak mengalami konversi sputum setelah dua bulan pengobatan adalah kelompok

usia 15-35 tahun sebanyak 81 orang (57.9%). Kelompok usia 36-56 tahun

sebanyak 46 orang (32.9%), dan kelompok usia 57-77 tahun sebanyak 13 orang

(9.3%). Penelitian Pajankar et.al, (2008), kelompok usia terbanyak adalah usia 21-40 tahun, penelitian Tabrani (2008) usia terbanyak yaitu 15-49 tahun. Penelitian

Hertiyana et.al, (2013) mengatakan bahwa kelompok usia terbanyak adalah usia 35-44 tahun.

Berdasarkan WHO Tuberculosis Control in South East Asia Region tahun 2012, pasien tuberkulosis kasus baru dengan BTA positif terbanyak terjadi pada

usia produktif antara 15-34 tahun. Umur produktif sangat berbahaya terhadap

tingkat penularan karena pasien mudah berinteraksi dengan orang lain, mobilitas

yang tinggi dan memungkinkan untuk menular ke orang lain serta lingkungan

sekitar tempat tinggal.

5.2.3. Hasil Akhir Pengobatan

Dari hasil penelitian ini terdapat 72 orang (51,4%) yang sembuh yaitu

pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan hasil pemeriksaan

ulang dahak (follow-up) negatif pada akhir pengobatan dan minimal satu pemeriksaan follow-up sebelumnya negatif. Terdapat 12 orang (15,7%) yang gagal kemungkinan karena ketidaktahuan pasien dengan penyakitnya, efek

samping obat, dan ketidakpatuhan pasien. Terdapat 19 orang ( 13,6%) pindah

(24)

hasil pengobatannya tidak diketahui. Terdapat 20 orang ( 14,3%) putus berobat

yaitu pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa

pengobatannya selesai, 1 orang (0,7%) meninggal, dan 6 orang (4,3%) pengobatan

lengkap. Pasien ini sudah menjalani pengobatan dengan hasil akhir pemeriksaan

sputum BTA negatif Keputusan pasien dikatakan selesai pengobatan apabila

pasien tersebut telah berobat tetapi tidak memenuhi syarat sembuh atau gagal.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Addis et.al. (2011) di North West Ethiopia. Dari seluruh pasien yang berobat terdapat 299 orang (62%) pengobatan

lengkap , 89 orang (18.5%) sembuh, 41 orang meninggal (8.5%), 1 orang (0.21%)

gagal, 44 orang (9.13%) pindah, dan 8 orang (1.7%) putus berobat. Dengan

tingkat keberhasilan 80.5%.

Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Gebretsadik et.al. (2011) di negara Etiopia memaparkan dari seluruh pasien terdapat 343 orang (85.5%)

sembuh, 18 orang (4.4%) pengobatan lengkap, 6 orang pindah (1.47%), gagal 15

orang (3.2%), 13 orang (3.2%)putus berobat, dan 16 orang (3.9%) meninggal.

Penelitian yang dilakukan di Indonesia didapatkan bahwa terdapat 88

orang (88%) sembuh dan gagal 12 orang (12%) (dengan rincian pengobatan

lengkap 9 orang, pindah 2 orang, dan 1 orang meninggal. Hasil pengobatan

tersebut dipengaruhi oleh 2 faktor yang penting yaitu, pelayanan kesehatan yang

memadai dan adanya volunter dalam hal ini PMO yang memperhatikan pasien.

Selain itu dipengaruhi oleh penanganan TB dengan strategi DOTS yang

(25)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai “Gambaran Hasil

Akhir Pengobatan TB Paru BTA Positif yang Menggunakan Strategi DOTS

Setelah 2 Bulan Pengobatan Tidak Mengalami Konversi Sputum pada Tahun

2004-2012 di RSUP H. Adam Malik” serta pembahasan yang telah dilakukan

maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

a. Terdapat 140 orang dari pasien TB paru yang tidak mengalami

konversi sputum setelah 2 bulan pengobatan dari 3353 pasien dan

2675 yang BTA positif, 2539 yang mengalami konversi sputum.

Dengan demikian angka konversi TB paru tahun 2004-2012

adalah 2539/2675 (94.9%).

b. Tingkat keberhasilan pengobatan TB paru tiap tahunnya mulai

tahun 2004-2012 mengalami kemajuan dan kemunduran terlihat

dari hasil konversi sputum tiap tahunnya yaitu, tahun 2004

(95.4%), tahun 2005 (85.7%), tahun 2006 (94%), tahun 2007

(90.2%), tahun 2008 (99.4%), tahun 2009 (97%), tahun 2010

(90.9%), tahun 2011 (98.9%), tahun 2012 (94.1%).

c. Laki-laki lebih banyak yang hasil sputumnya tidak mengalami

konversi yaitu 91 orang (65%) sementara perempuan sebanyak 49

orang (35%).

d. Usia terbanyak menderita TB paru BTA positif adalah usia 15-35

tahun sebanyak 81 orang (57.9%)

e. Pengobatan TB paru dengan strategi DOTS sudah baik terlihat

dari jumlah pasien yang sembuh setelah 2 bulan tidak konversi

sebanyak 72 orang (51.4%) yang sembuh, 12 orang (15.7%)

(26)

berobat, 1 orang (0.7%) meninggal, dan 6 orang (4.3%)

pengobatan lengkap.

f. Dari 91 orang laki-laki, 46 orang (50.5%) sembuh, 16 orang

(17.6%) gagal, 12 orang (13.2%) pindah, 14 orang (15.4%) putus

berobat, dan 3 orang (3.3%) pengobatan lengkap.

g. Dari 49 orang perempuan didapatkan, 26 orang (53.1%) sembuh,

6 orang (12.2%) gagal, 7 orang (14.3%) pindah, 6 orang (12.2%)

putus berobat, 1 orang (2%) meninggal, dan 3 orang (6.1%)

pengobatan lengkap.

h. Hasil pengobatan yang sembuh terbanyak pada usia 15-35 tahun

didapatkan ada 43 orang (53.1%) sembuh, 10 orang (12.3%)

gagal, 14 orang (17.3%%) pindah, 13 orang (16%) putus berobat,

tidak ada yang meninggal, dan 1 orang (1.2%) pengobatan

lengkap.

i. Pada usia 35-56 tahun, 23 orang sembuh (50%), 11 orang

(23.9%) gagal, 2 orang (4.3%) pindah, 7 orang (15.2%) putus

berobat, 1 orang (2.2%) meninggal, 2 orang (4.3%) pengobatan

lengkap.

j. Usia 57-77, 6 orang (46.2%) sembuh, 1 orang (7.7%) gagal, 3

orang (23.1%) pindah, tidak ada pasien yang putus berobat dan

meninggal, dan 3 orang (23.1%) pengobatan lengkap.

6.2. Saran

a.

Rekam Medis sebagai sumber data penelitian sebaiknya lebih lengkap dalam melampirkan data-data pasien, keluhan pasien, pelaporan

pemeriksaan, hasil pemeriksaan dan follow up serta pengobatan yang dilakukan sehingga memudahkan peneliti dalam pengolahan data.

b.

Penelitian tentang keberhasilan pengobatan TB Paru perlu dilakukan lagi melihat angka konversi TB Paru BTA Positif yang masih meningkat dan

(27)

c.

Sehubungan dengan masih tingginya angka kejadian TB paru, sebaiknya tindakan-tindakan dalam upaya pencegahan, diagnosis dini harus secara

intensif dilakukan sehingga dapat mencegah terjadinya TB paru

(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Defenisi TB Paru

TB paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil

Mycobacterium tuberculosis (Alsagaf dan Mukty, 2010).

TB paru adalah kasus TB yang menegenai parenkim paru (PDPI,2011).

TB paru merupakan penyakit akibat infeksi yang menular melalui udara

yang membutuhkan kombinasi banyak obat dan membutuhkan waktu yang lama

(Su et al,2011).

2. 2. Klasifikasi TB Paru

Sampai sekarang belum ada kesepakatan di antara para klinikus, ahli

radiologi, mikrobiologi, dan ahli kesehatan masyarakat tentang keseragaman

klasifikasi tuberkulosis. Namun, menurut PDPI tahun 2011, berdasarkan hasil

pemeriksaan dahak, TB paru dapat dilasifikasikan menjadi:

1. TB Paru BTA positif adalah bila minimal satu kali dari

sekurang-kurangnya dua kali pemeriksaan sputum pada pagi hari menunjukkan

hasil positif pada laboratorium yang memenuhi syarat External

Quality Assurance (EQA). Atau pada negara yang belum memiliki

laboratorium syarat EQA dikatakan positif bila dua atau lebih

pemeriksaan sputum positif, atau satu kali sputum positif didukung

hasil pemeriksaan foto toraks sesuai dengan gambaran TB oleh

klinikus, atau satu kali pemeriksaan dahak BTA positif ditambah hasil

kultur M.tuberculosis.

2. TB paru negatif adalah apabila hasil pemeriksaan sputum negatif tetapi

hasil kultur positif, atau dua kali pemeriksaan sputum negatif tetapi

(29)

2. 3. Faktor Resiko Terinfeksi TB Paru

a. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of

Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko

terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh)

orang di antara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia

bervariasi antara 1-3%. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan

menjadi sakit TB. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000

penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100

orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah

pasien TB BTA positif.

b. Terpapar dengan sumber infeksi, orang yang terpapar langsung dengan

seseorang yang sudah terinfeksi dengan TB paru akan lebih beresiko

terjadinya TB paru. Pasien yang batuk lebih dari 48 kali/malam akan

menginfeksi 48% dari orang yang kontak dengan pasien. Sementara pasien

yang batuk kurang dari 12 kali/malam menginfeksi 28% dari kontaknya

dan jumlah basil sebagai penyebab infeksi.

c. Virulensi yang tinggi dari basil tuberculosis, setelah ditemukannya gen

pada Mycobacterium tuberculosis yaitu katG gene, rpoV, dan erp gene. d. Umur , pada anak-anak berumur lebih dari 4 tahun lebih sering terinfeksi

primary tuberculosis, pada wanita lebih sering terinfeksi pada umur 25-34

tahun.

e. Daya tahan tubuh yang menurun, ditentukan oleh : faktor genetika, faktor

faal (umur ), faktor lingkungan ( nutrisi, perumahan, dan pekerjaan), bahan

toksik (alkohol, rokok, kortikosteroid), faktor imunologis (infeksi primer,

(30)

Tabel 2. 1 Faktor Resiko TB Paru Karena Penyakit Lainnya:

Factor Relative Risk / Odds

Recent Infection (<1 Year ) 12,9

Fibrotic Lesions (Spontaneously

Inhaled)

2-20

Comorbidity

HIV Infection 100

Silicosis 30

Chronic Renal Failure 10-25

Diabetic 2-4

Intravenous Drug Use 10-30

Imunosupressive Treatment 10

Gastrectomy 2-5

Jejoineal By Pass 30-60

Post Transplantation Period (Renal,

Cardiac)

20-70

Malnutrition And Severe Underweight 2

2. 4. Etiologi

TB paru adalah penyakit menular karena infeksi basil Mycobacterium

tuberculosis yang bersifat patogen pada manusia. Mycobacteria tergolong kepada

family mycobacteriaceae dan ordo actynomycetales. Ditemukan Dr. Robert Koch

sehingga sering disebut dengan Koch's disease yang dikenal dengan penyakit Tuberkulosis (TB, TBC) (McDonald dan Reichman, 2003). Bakteri ini terutama

menginfeksi paru-paru (80%) yang menular melalui saluran pernafasan

(Raviglione dan O’Brien, 2008)

Dalam jaringan, basil tuberkel adalah bakteri batang lurus dengan ukuran

sekitar 0,4 – 3 µm. Pada media buatan, bentuk kokoid dan filamentous dan tidak

(31)

gram positif. Setelah diwarnai dengan dengan pencelup dasar tidak dapat

didekolorisasi dengan alkohol. Basil tuberkel ini dapat ditandai dengan pencepat

asam (acid fast bacilli). Hal ini tergantung pada integritas lilin pembungkus,

mycolat acid, dan dinding sel lainnya yng bersifat lipid.

Pewarnaan teknik Ziehl Neelsen digunakan untuk mengidentifikasikan

bakteri cepat asam. Melalui pewarnaan ini didapatkan bakteri tuberkulosis

berwarna merah dengan latar belakang biru. Mycobacterium dapat dikultur pada media Lowenstein-Jansen dengan suhu optimum 37C, bersifat obligat aerob dan

tumbuh sangat lamban dengan lama inkubasi 4-8 minggu, koloni kering, kasar,

dan berwarna kekuningan. Selain itu, bakteri ini lebih resisten terhadap faktor

kimia daripada bakteri lain. Seperti resisten terhadap pengeringan, sebagian besar

disinfektan, asam dan basa, serta sensitif terhadap panas (Jawetz et al, 2005).

2. 5. Patogenesis dan Imunitas

Penyakit TB paru merupakan penyakit menular yang penularannya terjadi

melalui terinhalasinya droplet infection dari pasien yang mengalami TB paru. Penularan lebih mudah terjadi bila ada hubungan yang dekat dan lama dengan

penderita TB paru aktif yaitu golongan penderita yang disebut dengan open case. Bentuk penularan lain adalah melalui debu yang beterbangan di udara yang

mengandung basil tuberkulosis.

Perjalanan basil tuberkulosis dalam saluran pernapasan akan mengaktifkan

sistem imun sebagai pertahanan tubuh. Dari mulai saluran pernapasan atas sampai

saluran pernapasan bawah tubuh akan melakukan pertahanan melalui peran sel

silia pada sel mukosa saluran pernapasan. Sementara itu, makrofag alveolar belum

diaktivasi untuk memfagositosis basil tersebut. Setelah diaktifkannya makrofag,

maka bakteri akan berinteraksi dengan molekul-molekul pada permukaan

makrofag seperti, reseptor komplemen, reseptor manose, reseptor gamma

immunoglobulin GFc, dan reseptor scavenger tipe A. Proses fagositosis akan

meningkatkan aktivasi komplemen yaitu C3 dan mengaktifkan C3b sebagai

(32)

tergantung pada kemampuan asidifikasi bakteri tersebut. Komplek kejadian

tersebut dipengaruhi oleh glycolipid lipoarabinomannan ( LAM ) sehingga kalmodulin terganggu dan basil dapat bertahan. Pertahanan dari basil tersebut

mengakibatkan rupturnya fagosom dan basil akan terlepas.

Selain itu, proses tersebut akan mengaktifkan sistem imun baik seluluer

maupun humoral. Pada tahap ini, penderita masih belum menunjukkan gejala.

Setelah 2-4 minggu akan terlihat respon penderita yaitu, respon CMI dan

kerusakan jaringan yang merusak makrofag yang tidak aktif dan membentuk

nekrosis kaseosa yang akan menghambat pertumbuhan mycobacterium.

Imunitas spesifik juga berperan penting untuk mempertahankan tubuh dari

basil tuberkulosis yang terus bertumbuh. Melalui sistem imun spesifik, akumulasi

limfosit dan akumulasi sejumlah makrofag yang teraktivasi akan terbentuk

granulomatous lessions atau tuberkel. Lesi ini, akan membentuk epiteloid dan

giant cell. Hal ini mengaktifkan berbagai produk mycobacterium untuk merusak

makrofag dan membentuk neksoris jaringan yang padat di tengah tuberkel.

Namun terbentuknya tuberkel dan nekrosis akan mencegah pertumbuhan bakteri

karena oksigen dan pH yang rendah. Beberapa bentuk lesi akan sembuh dengan

terbentuknya fibrosis dan bentuk kalsifikasi (Raviglione dan O’Brien, 2008).

2. 6. TB Paru Primer dan Post Primer

TB paru dapat dikategorikan sebagai TB paru primer dan post primer. TB

paru primer merupakan keradangan paru yang disebabkan oleh basil tuberkulosis

pada tubuh penderita yang belum pernah mempunyai kekebalan terhadap basil

tersebut. Pada daerah yang transmisi TB paru masih sangat tinggi, TB paru primer

akan terlihat pada anak-anak (Alsagaf dan Mukty, 2010)

Pada permulaan infeksi, basil tuberkulosis masuk ke dalam tubuh yang

belum memiliki kekebalan akan mengadakan perlawanan dengan cara infiltrasi

(33)

dengan uji tuberkulin kulit masih negatif. Namun setelah 3-7 minggu sudah

terbentuk zat anti sehingga terjadi reaksi spesifik yaitu tanda-tanda umum dan

tuberkulin positif.

Pada tahap permulaan, fokus primer dapat memberikan keluhan atau

tanda-tanda seperti :

a. Suhu badan meningkat

b. Malaise, anoreksia, nafsu makan menurun

c. Uji tuberkulin negatif

Setelah <12 minggu, terjadi reaksi tubuh seperti di atas ditambah

tanda-tanda di bawah ini yaitu:

a. Batuk karena pembesaran kelenjar yang menekan pernapasan dan uji

tuberkulin positif

b. Pada foto toraks tampak pembesaran kelenjar limfa di daerah hilu, trakea,

dan leher

c. Infiltrat halus yang menyebar pada seluruh lapangan paru (TB paru milier)

Pada umumnya, TB paru primer dapat sembuh sendiri tetapi dapat kambuh

di kemudian hari. Selain itu dapat sembuh dengan meninggalkan bekas, atau

berkomplikasi dengan cara menyebar secara perkontinuitatum, lymfogen, dan

bronkogen. Selain itu, TB paru primer dapat berakhir dengan sembuh

meninggalkan sequele atau meninggal dunia.

TB paru post primer atau disebut dengan post primary tuberculosis,

progressive tuberculosis, adult type, reactivation atau secondary tuberculosis

merupakan reaktivasi dari endogen dan interaksi eksogen. Interaksi eksogen yaitu

infeksi ulang pada tubuh yang pernah menderita TB. Reaktivasi endogen berasal

dari basil yang sudah pernah ada dalam tubuh yang aktif kembali. Namun,

sebagian besar terjadi karena infeksi ulang yang ditandai dengan permulaan

(34)

Pada pemeriksaan patologi akan terdapat gambaran berikut :

a. Pneumonia lobuler dalam perjalanan lebih lanjut dapat sembuh sendiri

secara sempurna, sembuh dengan ada perkapuran, perkejuan dengan

terbentuknya rongga atau kavitas , aneurisma Ramussen, batuk darah, dan

fistula bronkopleura terbuka dan tertutup.

b. Fokus asinus sebagai akibat penyebaran basil secara bronkogen atau

karena proses penyembuhan yang meninggalkan jaringan ikat atau fibrosis.

2. 7. Diagnosis TB Paru

Untuk menegakkan diagnosis TB paru perlu dilakukan beberapa

pemeriksaan seperti: pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiologik dan pemeriksaan

laboratorium (mikrobiologik).

2.7. 1. Pemeriksaan Klinis

Pada pemeriksaan klinis dibagi atas pemeriksaan gejala klinis dan

pemeriksaan jasmani. Pada pemeriksaan didapatkan gejala klinis seperti :

1. Gejala respiratorik

a. Batuk merupakan gejala yang paling paling sering dikeluhkan.

Batuk timbul oleh karena bronkus sudah terlibat. Batuk-batuk yang

berlangsung ≥3 minggu harus dipikirkan adanya tuberkulosis paru.

b. Batuk darah. Darah yang dikeluarkan dapat berupa garis-garis,

bercak-bercak atau bahkan dalam jumlah banyak. Batuk darah

dapat juga terjadi pada bronkiektasis dan tumor paru.

c. Sesak napas dijumpai jika proses penyakit sudah lanjut dan

terdapat kerusakan paru yang cukup luas.

d. Nyeri dada timbul apabila sistem persarafan yang terdapat di

pleura sudah terlibat.

2. Gejala Sistemik

a. Demam merupakan gejala yang paling sering dijumpai, biasanya

(35)

b. Gejala sistemik lain seperti keringat malam, anoreksia, malaise,

berat badan menurun serta nafsu makan menurun.

Selain itu dilihat dari pemeriksaan jasmani. Pemeriksaan jasmani sangat

tergantung pada luas lesi dan kelainan struktural paru yang terinfeksi. Pada

permulaan penyakit sulit didapatkan kelainan pada pemeriksaan jasmani. Suara

atau bising napas abnormal dapat berupa suara bronkial, amforik, ronki basah,

suara napas melemah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.

Sedangkan limfadenitis yang disebabkan oleh M.tuberculosis dapat menyebabkan pembesaran kelenjar limfe dalam beberapa minggu atau bulan dan selalu disertai

nyeri tekan pada nodul yang bersangkutan. Lesi umumnya terletak di sekitar

perjalanan vena jugularis, belakang leher ataupun di daerah supra klavikula.

2.7.2. Pemeriksaan Laboratorium

2.7.2.1. Pemeriksaan Darah Rutin

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang spesifik untuk tuberkulosis paru.

Laju endapan darah sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endapan darah

yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositosis juga kurang spesifik.

2.7.2.2. Pemeriksaan Bakteriologik

Untuk pemeriksaan bakteriologik ini spesimen dapat diambil dari sputum,

bilasan lambung, jaringan, baik lymph node atau jaringan reseksi operasi, cairan pleura, cucian lambung, cairan serebrospinalis, pus / aspirasi abses, urine, apusan

laring.

Pada pemeriksaan mikroskopik biasa dapat dilihat adanya basil tahan

asam. Dibutuhkan paling sedikit 5000 batang kuman per cc sputum untuk

mendapatkan kepositifan. Pewarnaan yang umum dipakai adalah pewarnaan Ziehl

Nielsen dan pewarnaan Kinyoun-Gabbett. Cara pengambilan sputum tiga kali

dengan cara:

1. Spot (sputum saat kunjungan pertama)

2. Sputum pagi (keesokan harinya)

(36)

Untuk penilaian terhadap pemeriksaan mikroskopis, WHO

merekomendasikan pembacaan dengan menggunakan skala IUATLD.

Tabel 2.2. Penilaian Sputum BTA

Jumlah Basil Tahan Asam Penilaian

Tidak dijumpai BTA/ 100 lapangan

pandang

0

Dijumpai 1-9 BTA / 100 lapangan

pandang

catat jumlah yang ada

Dijumpai 10-99 BTA / 100 lapangan

pandang

1+

Dijumpai 1-10 BTA / lapangan

pandang dalam 50 lapangan pandang

2+

Dijumpai >10 BTA /lapangan pandang

dalam 20 lapangan pandang

3+

Interpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik yaitu:

bila 2x positif : mikroskopik (+)

bila 1x positif,2x negatif : ulang BTA 3x

bila 1x positif : mikroskopik positif

bila 3x negatif : mikroskopik negatif

Selain itu dapat diperiksa dengan mikroskop fluorescens. Gambaran basil

tahan asam yang terlihat lebih besar dan lebih jelas karena daya pandang

diperluas dan adanya fluorescens dari zat warna auramin-rhodamin.

Pada pemeriksaan kultur dibutuhkan paling sedikit 10 kuman tuberkulosis

yang hidup. Jenis-jenis pemeriksaan kultur sputum ini antara lain : metode

konvensional seperti Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh, Middlebrook 7H-10 dan

7H-11 dan metode Radiometrik seperti BACTEC. Dengan teknik ini waktu yang

(37)

2.7.2.3. Pemeriksaan Sitologi pada Tuberkulosis Kelenjar

Pemeriksaan biopsi aspirasi untuk diagnosis penyakit ini adalah aman,

mudah dan murah untuk dikerjakan meskipun pasiennya anak-anak. Secara

makroskopik nodul mula-mula berisi zat yang berwarnah abu-abu dan jernih tapi

lama kelamaan warnah bisa berubah menjadi kekuningan seperti keju. Penglihatan

di bawah mikroskop terhadap sekret tampak tuberkel-tuberkel yang khas dengan

sel datia langerhans. Jika terjadi perkejuan yang lama dan meluas maka struktur

kelenjar dapat hilang sama sekali dan digantikan dengan struktur yang atipik.

Pada proses penyembuhan dapat terjadi fibrosis dan pengapuran. Bahayanya dari

penyakit ini ialah meskipun kelihatannya penyakit sudah tenang akan tetapi

terkadang dapat menyebar ke tempat lain seperti tulang, otak dan lain-lain.

Dengan ditemukannya sel epiteloid, datia langerhans ataupun massa nekrosis

perkejuan maka pemeriksaan sitologi dikatakan positif.

2.7.2.4. Imunologi/Serologi

Pemeriksaan imunologi dilakukan dengan uji tuberkulin. Di Indonesia

dengan prevalensi TB yang tinggi pemeriksaan ini kurang berarti apalagi pada

orang dewasa. Uji ini akan bermakna jika didapatkan konversi dari uji yang

sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau timbul

bula. Tes tuberkulin berguna dalam menentukan diagnosis penderita (terutama

pada anak-anak yang mempunyai kontak dengan seorang penderita tuberkulosis

yang menular). Namun penderita tersebut harus diperiksa oleh dokter yang

berpengalaman. Uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk

menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan dalam "Screening TBC " (Kenyorini et al, 2006).

Reaksi uji tuberkulin yang dilakukan secara intradermal akan

menghasilkan hipersensitivitas tipe IV atau delayed-type hypersensitivity (DTH). Masuknya protein TB saat injeksi akan menyebabkan sel T tersensitisasi dan

menggerakkan limfosit ke tempat suntikan. Limfosit akan merangsang

terbentuknya indurasi dan vasodilatasi lokal, edema, deposit fibrin, dan penarikan

(38)

Protein tuberkulin yang disuntikkan di kulit, kemudian diproses dan

dipresentasikan ke sel dendritik/langerhans ke sel T melalui molekul MHC-II.

Sitokin yang diproduksi oleh sel T akan membentuk molekul adhesi endotel.

Monosit keluar dari pembuluh darah dan masuk ke tempat suntikan yang

berkembang menjadi makrofag. Produk sel T dan makrofag menimbulkan edema

dan bengkak. Test kulit positif maka akan tampak edema lokal atau infiltrat

maksimal 48-72 jam setelah suntikan. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC

dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Uji tuberkulin dibaca setelah 48-72

jam (saat ini dianjurkan 72 jam) setelah penyuntikan. Indurasi diperiksa dengan

cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi, ditandai dengan alat tulis, kemudian

diukur dengan alat pengukur transparan, diameter transversal indurasi yang terjadi

dan dinyatakan hasilnya dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi sama sekali

hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm ( PPTI, 2006 ).

Menurut McDonald dan Reichman, 2003, interpretasi ukuran indurasi

reaksi tuberkulin adalah:

1. Indurasi 5 mm artinya:

a. Suspek terinfeksi HIV dan Imunocompromised

b. Close contacts dengan orang yang terinfeksi TB

c. Orang dengan foto toraks tidak normal dengan gambaran TB paru

yang sudah pernah diobati

2. Indurasi 10 mm:

a. Datang dari daerah dengan prevalensi tinggi TB

b. Individu dengan HIV negatif tetapi pengguna NAPZA

c. Konversi uji tuberkulin menjadi 10 mm dalam 2 tahun, Individu

dengan kondisi klinis yang merupakan resiko tinggi TB : DM ,

Malabsorbsi, CRF, Tumor di leher dan kepala, Leukemia,

lymphoma, Penurunan BB > 10% , Silikosis

3. Indurasi ≥15 mm

a. Bukan resiko tinggi tertular TB

(39)

ELISA (Enzyme Linked Immmunosorbent Assay) merupakan test serologi yang dapat mendeteksi respons humoral berupa proses antigen-antibodi yang

terjadi. Dengan cara ini maka dapat ditentukan kadar antibodi terhadap basil

tuberkulosis pada serum penderita. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa IgG

saja yang memberikan kenaikan diatas normal secara bermakna. Sayangnya uji

serologis ini hanya memberikan sensitifitas yang sedang saja (62%).

2.7.3. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan rutin adalah foto toraks PA. Tuberkulosis memberikan

gambaran bermacam-macam pada foto toraks. Gambaran radiologik yang

ditemukan dapat berupa bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan

posterior lobus atas paru dan segmen superior bawah, kavitas lebih dari satu

dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular, bayangan bercak milier dan

efusi pleura unilateral (PDPI,2011)

Menurut Hood Alsagaf dan Abdul Mukty (2010), berdasarkan luasnya

proses yang tampak pada foto toraks dapat dibagi sebagai berikut:

a. Lesi minimal (minimal lesion) adalah bila proses tuberkulosis paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih

dengan volume paru yang terletak diatas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus

vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas.

b. Lesi sedang (moderately advanced lesion) adalah bila proses penyakit lebih luas dari lesi minimal dan dapat menyebar dengan densitas sedang,

tetapi luas proses tidak boleh lebih luas dari satu paru, atau jumlah dari

seluruh proses yang ada paling banyak seluas satu paru atau bila proses

tuberkulosis tadi mempunyai densitas lebih padat, lebih tebal maka proses

tersebut tidak boleh lebih dari sepertiga pada satu paru dan proses ini dapat

/tidak disertai kavitas. Bila disertai kavitas maka luas (diameter) semua

kavitas tidak boleh lebih dari 4 cm.

(40)

Gambar 2. 1. Alur Diagnosis TB

Sumber : http://medicallinkgo.wordpress.com/2012/04/12/tatalaksana-pasien-tb/ 

2.8. Pengobatan TB Paru

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang

penting untuk menyembuhkan pasien TB dan menghindari MDR TB (Tabrani,

(41)

Menurut PDPI tujuan pengobatan TB paru adalah :

a. Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan

produktivitas

b. Mencegah kematian karena penyakit TB aktif atau efek lanjutan

c. Mencegah kekambuhan

d. Mengurangi transmisi atau penularan kepada yang lain

e. Mencegah terjadinya resistensi obat serta penularannya

Menurut Depkes, Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip - prinsip

sebagai berikut:

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,

dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori

pengobatan.

b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan

pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif)

dan lanjutan.

Tahap awal (intensif) :

a. Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan

perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi

obat.

b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,

biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun

waktu 2 minggu.

c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif

(konversi) dalam 2 bulan.

Tahap lanjutan :

a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,

namun dalam jangka waktu yang lebih lama

(42)

Tabel 2. 3. Paduan OAT Alternatif

Kategori

Pengobatan

Penderita TB Panduan Obat Alternatif

Intensif Lanjutan

I Kasus baru, BTA (+)

Kasus baru, BTA (-)

Kelainan luas

Kasus baru, TB diluar paru

yang berat

2RHZE (RHZS) 6HE

4RH

4R3H3

II Kasus kambuh, gagal

Putus berobat, BTA (+)

2RHZES/1RHZE

IV Kasus kronik Rujuk ke Spesialis Paru

Tabel 2.4. Jenis dan dosis OAT lini pertama :

Rifampisin 10-20 (maks. 600

(43)

Tabel 2.5. Cara Kerja OAT Lini Pertama

INH Bakterisidal melawan basil intraseluler dan ekstraseluler

Rifampisin Bakterisidal intraseluler dan ekstraseluler , dan sterilisasi

terutama memetabolisme organism secara perlahan-lahan

Pirazinamid Bakterisidal terutama memetabolisme organism secara

perlahan-lahan organism intaseluler, Aktif pada suasana pH

asam, dan sinergis dengan baik dengan INH dan obat lain

Etambutol Bakterisidal dengan melawan basil intaseluler dan

ekstraseluler pada dosis 25 mg/kg BB dan bakteristatik pada

dosis 15 mg/kg BB

Jenis obat lini kedua:

a. Kanamisin

b. Kapreomisin

c. Amikasin

d. Kuinolon

e. Sikloserin

f. Etionamid dan Para-amini salisilat

Kombinasi dari 4 OAT akan mampu mengurangi resitensi kuman

TB terhadap obat TB karena kemungkinan penderita kecil untuk memilih salah

satu obat untuk diminum (Tabrani,2008).

2.9. TB MDR (Multi Drug Resistance)

Tuberkulosis resisten obat anti tuberkulosis merupakan satu fenomena

buatan manusia sebagai akibat pengobatan yang tidak adekuat. TB MDR adalah

adalah M. tuberculosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Karena rifampisin dan INH adalah 2 obat yang sangat

penting pada pengobatan TB yang diterapkan pada strategi DOTS.

TB MDR disebabkan oleh banyak faktor. Dari faktor mikrobiologi, TB

(44)

oleh keterlambatan diagnosis, pengobatan tidak mengikuti guideline, penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang kurang atau

karena lingkungan tersebut telah terdapat resitensi yang tinggi terhadap OAT yang

digunakan misal rifampisin atau INH, tidak ada / kurangnya pelatihan TB, tidak

ada pemantauan pengobatan , fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu paduan yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena

kuman tuberkulosis telah resisten pada paduan yang pertama maka “penambahan”

1 jenis obat tersebut akan menambah panjang daftar obat yang resisten, dan

organisasi program nasional TB yang kurang baik. Selain itu, TB MDR juga

disebabkan oleh faktor obatnya. Hal itu dikarenakan pengobatan TB jangka

waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga membosankan pasien, obat toksik

menyebabkan efek samping sehingga pengobatan kompllit atau sampai selesai

gagal, obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah

makan, atau ada diare, kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat

kombinasi dosis tetap yang mana bioavibiliti rifampisinnya berkurang, regimen /

dosis obat yang tidak tepat, harga obat yang tidak terjangkau dan pengadaan obat

terputus. Faktor pasien juga dapat menjadi penyebab TB MDR. Hal itu dapat

dilihat dari PMO tidak ada/kurang baik, kurangnya informasi atau penyuluhan,

kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll, efek samping obat, sarana

dan prasarana transportasi sulit / tidak ada, masalah sosial, dan gangguan

penyerapan obat. Selain itu, dari faktor programnya, terlihat dari tidak ada

fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan , program DOTS belum berjalan dengan

baik memerlukan biaya yang besar (PDPI, 2011).

Kasus MDR pengobatannya jauh lebih sukar daripada kasus TB biasa,

tidak hanya membahayakan dirinya tetapi juga menular bagi masyarakat

sekitarnya. Karena itu kasus tersebut harus diidenfikasi dengan benar dan cepat

agar pengobatan dapat dilakukan dengan tepat dan secepatnya. Mengingat bahwa

diagnos TB MDR adalah bukanlah diagnosis klinis, maka pemeriksaan uji

kepekaan menjadi sangat penting dalam tatalaksana kasus MDR. Apalagi

pernyataan kesembuhan juga didasarkan atas hasil pemeriksaan biakan

(45)

Secara umum menurut PDPI pada tahun 2011 resitensi terhadap obat anti

tuberkulosis dibagi menjadi :

a. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah

mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT

kurang dari 1 bulan

b. Resistensi initial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien

sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah

c. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat

pengobatan OAT minimal 1 bulan

Prinsip Umum Pengobatan TB-MDR menurut WHO adalah :

a. Penggunaan paling tidak 4 obat-obatan sangat mungkin tidak

efektif

b. Jangan menggunakan obat yang mempunyai resitensi silang (cross resistance)

c. Singkirkan obat yg tidak aman untuk pasien.

d. Harus siap mencegah, memantau dan menangulangi efek samping

obat

e. Gunakan obat dari grup 1-5 dengan urutan yang berdasarkan

kekuatannya.

Strategi yang digunakan untuk pengobatan TB MDR dikenal dengan

strategi DOTS PLUS. Hierarki pengobatan dengan strategi DOTS-PLUS adalah

dengan memberikan OAT lini pertama yaitu, ZE (HR) karena efek dan

toleransinya bagus.

2.10. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short Course)

Organisasi kesehatan dunia (WHO) mengatakan bahwa keberhasilan

program penanggulangan TB adalah dengan menerapkan strategi DOTS yang juga

telah diterapkan di Indonesia. Oleh karena itu, pemahaman tentang DOTS

merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.

Strategi ini, merupakan strategi yang efektif untuk memastikan kepatuhan berobat

(46)

Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014, probabilitas terjadinya resistensi obat

TB lebih tinggi di rumah sakit dan sektor swasta yang belum terlibat dalam

program pengendalian TB nasional sebagai akibat dari tingginya ketidakpatuhan

dan tingkat drop out pengobatan karena tidak diterapkannya strategi DOTS yang tinggi.

Komponen DOTS terdiri dari :

1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional

2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis

3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung dikenal

dengan istilah Directly Observed Therapy 4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan

5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku / standar

Selain itu ada 6 elemen kunci dalam strategi stop TB yang

direkomendasikan WHO :

1. Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan

penemuan kasus dan penyembuhan melalui pendekatan yang efektif

terhadap seluruh pasien terutama pasien tidak mampu.

2. Memberikan perhatian khusus pada TB-HIV, MDR-TB dengan

aktivitas gabungan TB-HIV, DOTS-PLUS, dan pendekatan lain yang

relevan.

3. Kontribusi pada sistem kesehatan dengan kolaborasi bersama program

kesehatan yang lain dan pelayanan umum.

4. Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan

nonpemerintah dengan pendekatan berdasarkan public primary mix untuk mematuhi International Standars of TB Care.

5. Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengaruh untuk

berkontribusi pada pemeliharaan kesehatan yang efektif.

6. Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan

obat baru, alat diagnostik, dan vaksin.

Untuk mencapai tersebut, hal yang penting adalah adanya PMO. Dimana

(47)

hadir di poliklinik untuk mendapatkan penjelasan tentang DOT. PMO tersebut

adalah orang yang sukarela membantu pasien sampai sembuh dan diutamakan

petugas kesehatan. Tetapi dapat juga kader kesehatan, kader dasawisma, kader

PPTKI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien.

Selain itu melalui strategi DOTS diadakan penyuluhan tentang TB. Baik

penyuluhan perorangan dapat dilakukan di unit rawat jalan, di apotik dan

penyuluhan kelompok .

Di Indonesia pengendalian TB dengan strategi DOTS menyatakan bahwa

laju penurunan prevalensi dan mortalitas TB belum cukup cepat untuk menjadi

setengah pada tahun 2015 sesuai target Millenium Development Goals (MDGs).

Keberhasilan strategi DOTS diukur dengan angka kesembuhan minimal 85

%. Angka kesembuhan tersebut menyatakan persentasi penderita TB paru BTA

positif yang sembuh setelah pengobatan selesai dari jumlah penderita TB paru

yang tercatat. Di Sumatera Utara angka keberhasilan penobatan dengan strategi

DOTS sudah mencapai 89 % (Kemenkes,2013). Hal itu menunjukkan

keberhasilan yang baik pada pengobatan TB paru BTA positif.

2.11. Hasil Akhir Pengobatan

Hasil pengobatan TB paru setelah fase intensif dapat dilihat dari hasil

konversi sputum. Pemeriksaan sputum merupakan indikator untuk melihat

respon pengobatan. Sehingga konversi sputum adalah hal yang sangat penting

untuk menilai keefektifan penggunaan obat (Pajankar et al, 2008 ; Kurbatova et al, 2012)

Kegagalan atau keterlambatan konversi sputum lebih dari 2 bulan akan

memberikan hasil pengobatan yang tidak baik. Mengetahui faktor-faktor yang

mengakibatkan hal tersebut sangat penting untuk mengetahui pengobatan

selanjutnya (Fortune et al, 2007; Su et al, 2011; Caetano, 2012).

Banyak kepustakaan telah mencantumkan penjelasan bahwa konversi

(48)

(terapi fase intensif), tetapi belum ada publikasi yang menjelaskan pada minggu

ke berapa konversi sputum BTA mulai terjadi pada penderita TB (Triyani et al, 2007).

Banyak faktor yang mengakibatkan tidak terjadinya konversi sputum

setelah fase intensif. Hal itu disebabkan keterlambatan konversi sputum dan

terjadinya MDR. Faktor yang mengakibatkan tersebut telah dibahas pada

penjelasan TB- MDR. Menurut penelitian yang dilakukan Pajankar dkk tahun

2008, hal itu disebabkan pengobatan yang tidak adekuat di negara berkembang,

usia yang semakin tua, faktor- faktor penyulit dari penderita yang memiliki

penyakit lain, dan kavitas yang persisten di dalam paru.

Hasil akhir pengobatan TB paru ada yang sembuh yaitu pasien telah

menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak

(follow-up) hasilnya negatif pada akhir pengobatan dan minimal satu pemeriksaan

follow-up sebelumnya negatif. Pengobatan lengkap dalah pasien yang telah

menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan

sembuh atau gagal. Disebut meninggal jika pasien yang meninggal dalam masa

pengobatan karena sebab apapun. Pasien pindah adalah pasien yang pindah

berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak

diketahui. Default (putus berobat) adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. Dikatakan pasien

gagal yaitu yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi

positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan (Kemenkes, 2009).

Pada penderita TB paru yang tidak mengalami konversi setelah 2 bulan

pengobatan dilakukan intervensi yaitu OAT Sisipan (HRZE). Paduan OAT ini

diberikan kepada pasien BTA positif yang pada akhir pengobatan intensif masih

tetap BTA positif. Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk

tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari) sebagaimana

(49)

Tabel. 2.6. Dosis KDT fase sisipan : HRZE

Berat Badan Tahap Intensif Tiap Hari Selama 28 Hari

RHZE (150/75/400/275)

30 – 37 Kg 2 Tablet 4KDT

38 – 54 Kg 3 Tablet 4 KDT

55 – 70 Kg 4 Tablet 4 KDT

≥71 Kg 5 Tablet 4 KDT

Paket sisipan Kombipak adalah sama seperti paduan paket untuk tahap

intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 2.7. OAT Kombipak Sisipan HRZE

Tahap

Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya

kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru

tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada

OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko

(50)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

TB paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil

Mycobacterium tuberculosis (Alsagaf dan Mukty, 2010). TB paru masih

merupakan masalah kesehatan utama di dunia. 95 % TB paru terjadi di negara

berkembang. Laporan WHO pada tahun 2010 menyatakan bahwa angka kejadian

TB di dunia sebesar 9,4 juta (antara 8,9 juta hingga 9,9 juta jiwa). Prevalensi

kasus TB di seluruh dunia sebesar 14 juta (berkisar 12 juta sampai 16 juta). Saat

ini Indonesia berada pada peringkat kelima di dunia. Hal ini dikarenakan jumlah

penderita TB di Afrika Selatan dan Nigeria melebihi dari jumlah penderita TB di

Indonesia.

Menurut Global Tuberculosis pada tahun 2009, diperkirakan prevalensi

TB di Indonesia untuk semua tipe TB adalah 505.614 kasus pertahun, 244 per

10.000 penduduk dan 1.550 perhari. Insidensi penyakit TB 528.063 kasus

pertahun, 228 kasus per 10.000 penduduk dan 1.447 perhari. Insidensi kasus baru

236.029 pertahun, 102 kasus per 10.000 penduduk, dan 647 perhari. Insidensi

kasus TB yang mengakibatkan kematian 91.369 pertahun, 30 kasus per 10.000

penduduk, dan 250 perhari.

Di Sumatera Utara, penemuan kasus baru terdapat 14.158 pertahun

(Indonesia Health Profile, 2008). Sementara, Case Detection Rate TB paru

Sumatera Utara 41,44 per Juni 2012 dan Sucsess rate 89 % dari target

keberhasilan 87% ( Kemenkes , 2013 ).

Karena permasalahan TB yang masih menjadi perhatian yang serius, maka

pada tahun 1994 Indonesia bekerjasama dengan WHO untuk mengadakan

evaluasi bersama (WHO-Indonesia Joint Evaluation) yang menghasilkan perlunya

perubahan yang lebih mendasar lagi pada strategi penanggulangan TB di

Indonesia. Dikenal dengan Strategi DOTS. Strategi ini, merupakan strategi yang

(51)

Dengan strategi DOTS diharapkan dapat mengurangi biaya pengobatan TB paru,

mengurangi frekuensi resistensi obat, kasus kambuh, kasus gagal pengobatan dan

meningkatkan angka kesembuhan. Di Indonesia pengendalian TB dengan strategi

Direct Observed Treatment Shortcourse (DOTS) untuk laju penurunan prevalensi

dan mortalitas belum cukup cepat untuk menjadi setengah pada tahun 2015 sesuai

target Millenium Development Goals (MDGs). Padahal, stategi DOTS sudah

sangat bagus dirumuskan. Hal itu terlihat dari masih ada pasien TB paru yang

belum berhasil.

Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia yang

dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010

menyatakan bahwa pengobatan TB paru ditentukan berdasarkan temuan kuman

BTA dalam sputum. Dalam hal ini, peran laboratorium dalam memantau

pengobatan TB orang dewasa adalah sangat penting. Pemeriksaan tersebut

dilakukan dengan memeriksa ulang sputum BTA secara mikroskopis.

Pemeriksaan hapusan sputum BTA dengan mikroskop cahaya merupakan

pemeriksaan penunjang diagnostik utama di negara yang sedang berkembang.

Karena pemeriksaan dengan sarana tersebut paling berhasil (efisien), mudah,

murah, dan cepat. Sedangkan pemeriksaan biakan merupakan pemeriksaan baku

emas (gold standard) untuk menetapkan diagnosis TB. Namun, pemeriksaan

tersebut memiliki beberapa kendala yaitu: biaya, teknik, dan waktu yang cukup

lama untuk mendapatkan hasil positif.

Konversi sputum BTA adalah salah satu indikator yang digunakan

untuk memantau dan menilai pengobatan. Yaitu dengan menentukan angka

konversi sputum. Konversi sputum BTA adalah mengubah hasil pemeriksaan

hapusan sputum BTA penderita TB paru dari BTA positif menjadi BTA negatif

setelah menjalani masa pengobatan (terapi intensif) selama 2 bulan (Pajankar et

al, 2008). Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa waktu mulai dan lama

terjadinya konversi sputum dipengaruhi oleh banyak faktor. Dari hasil konversi

ditemukan adanya pasien-pasien yang pemeriksaan sputum BTA positif tidak

mengalami konversi. Padahal, banyak kepustakaan telah mencantumkan

Gambar

Tabel 5.1. Distribusi Jumlah Pasien TB Paru
Grafik di atas menunjukkan angka konversi TB paru BTA positif dari
Tabel 5.2. Distribusi Penderita TB Paru yang Tidak Mengalami
Tabel 5.5.  Distribusi Hasil Akhir Pengobatan Pasien TB Paru yang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pasien TB paru yang merokok memiliki risiko lebih besar untuk tidak mengalami konversi sputum setelah pengobatan fase intensif di Wilayah Kerja Puskesmas

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi konversi sputum dengan peningkatan berat badan sesudah pengobatan TB paru fase intensif. Penelitian

penelitian pengaruh rokok terhadap konversi pada penderita TB paru kategori I di. Kota Medan dengan subjek penelitian penderita TB paru kategori I

Hasil: penelitian menunjukkan adanya efektifitas batuk efektif dalam pengeluaran sputum untuk penemuan BTA pasien TB paru di ruang rawat inap RS Mardi Rahayu Kudus

Keteraturan minum obat tidak berhubungan dengan kegagalan konversi pasien TB Paru BTA positif pada akhir pengobatan fase intensif kategori 1 di Kota Surabaya

Disimpulkan dari penelitian bahwa tidak ada hubungan antara luas lesi foto toraks dengan kepositifan BTA pada pasien TB paru kategori 1 di Medan.. Penelitian ini

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Gagal Konversi Pada Penderita Baru TB Paru BTA Positif Akhir Pengobatan Tahap Intensif Di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM)

Metode: Penelitian ini dengan menggunakan studi cross sectional. Sampel penelitian ini adalah 168 orang pasien TB paru BTA positif kategori I tahun 2014 di Puskesmas wilayah