• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Konvensi Jenewa 1949 Atas Dugaan Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Non Internasional di Suriah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Konvensi Jenewa 1949 Atas Dugaan Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Non Internasional di Suriah"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Arief, Barda Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: PT. Citra AdityaBakti

Arlina Permanasari, dkk. 1999. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: International Committe of The Red Cross

Awaludin, Hamid. 2012. HAM , Politik, Hukum, & Kemunafikan Internasional, Jakarta : Kompas Media Nusantara.

Bernad, Cornellius. 2014. Peran Komite Palang Merah Internasional Dalam Menangani Krisis Kemanusiaan Dalam Perang Di Timur Tengah (Studi Kasus Konflik Suriah).Universitas Mulawarman : Jurnal Ilmu Hubungan Internasional.

Black, Henry Campbell. 1979. Black’s Law Dictionary. West Publishing Company St. Paul Minn.

Boer Mauna. 2003. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Global dalam Era Dinamika Global. Bandung: Alumni.

Buyung Nasution, Adnan, A. Patra M. Zen. 2006. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Davidson, Scott. 1994. Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

De GaayFortman, Bas. 2006. Human Rights. UK, Edward Elgar Pub. LtD

Dirdjosisworo, Soedjono. 2000. Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Geoffrey Robertson QC, 2002. Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Gosita, Arif. 1993. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Akademika Pressindo Harry Purwanto, 2001. Persoalan di sekitar Hak Asasi Manusia yang Berat di

Indonesia, (Yogyakarta: Mimbar Hukum No. 38/VI/2001UGM).

(2)

Kusumaatmadja, Mochtar, 2003, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung.

Mauna, Boer. 2005. Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: PT Alumni.

Scott Davidson, 1994. Hak Asasi Manusia. Cetakan Pertama. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Shaw Malcolm N, 2008. International Law. Cetakan Kelima. New York: Cambridge University Press.

Sriwiyanti Eddyono. 2007. Tindak Pidana Hak Asasi Manusia dalam RKUHP. Jakarta: ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP.

Sumaryo Suryokusumo, 2008. Yurisdiksi Pengadilan HAM Nasional, Makalah disampaikan dalam Kelas Khusus Pidana Internasional FH-UGM pada tanggal 8 Mei 2008.

Wahyu Wagiman, 2005. Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia. Seri Bahan bacaan Khusus HAM untuk Pengacara. Bandung: Alumni.

Wayan Parthiana, I. 2006. Hukum Pidana Internasional. Bandung: Yrama Widya. Wayan Parthiana, I. 2003. Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi. Bandung:

Yrama Widya.

Usman Surur, 2008. Dasar-dasar HAM, bahan Kuliah Diklat HAM. Jakarta: Direktorat Jenderal HAM.

Ach. Tachir, 2013. Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia. Supremasi Hukum. Vol. 2, No. 2, Desember 2013.

Internet

M C Bassiouni, Crimes Against Humanity in International Criminal Law (1999) http://www.crimesofwar.org/thebook/crimes-against-humanity.html. Nuremberg Charter, http://www.currentconcerns.ch/index.php?id=148, diakses 4

Ferbuari 2014.

(3)

BAB III

DIMENSI PELANGGARAN HAM BERDASARKAN KONVENSI JENEWA 1949

3.1 Bentuk-Bentuk Pelanggaran Ham Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949

Tidak semua pelanggaran atas Konvensi-konvensi Jenewa diperlakukan setara. Kejahatan yang paling serius disebut dengan istilah pelanggaran berat (grave breaches) dan secara hukum ditetapkan sebagai kejahatan perang (war crime). Pelanggaran berat antara lain adalah tindakan-tindakan berikut ini jika dilakukan terhadap orang yang dilindungi oleh konvensi tersebut:

1. Pembunuhan sengaja, penyiksaan, atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologi.

2. Dengan sengaja menyebabkan penderitaan besar atau cedera serius terhadap jasmani atau kesehatan.

3. Memaksa orang untuk berdinas di angkatan bersenjata sebuah negara yang bermusuhan.

4. Dengan sengaja mencabut hak atas pengadilan yang adil (right to a fair trial) dari seseorang. (Pasal 50 Bab Tindakan Terhadap Penyalahgunaan dan Pelanggaran Konvensi Jenewa Pertama)

Tindakan berikut ini juga dianggap sebagai pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa:

1. Penyanderaan

(4)

3. Deportasi, pemindahan, atau pengurungan yang melawan hukum. (Pasal 3 Bab I Ketentuan Umum Konvensi Jenewa Pertama)

Dan ringkasan Konvensi Jenewa Pertama Bab IX - Tindakan Terhadap Penyalahgunaan dan Pelanggaran Pasal 49-54 adalah ketentuan-ketentuan terhadap kewajiban-kewajiban Pihak Peserta Agung dalam menerapkan ketentuan terhadap penyalahgunaan dan pelanggaran dalam hal mencari orang yang disangka telah melakukan atau memerintah untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran berat, dan harus mengadili orang-orang tersebut, dengan tidak memandang kebangsaannya, dan bagaimana Pihak Peserta Agung dalam mengambil tindakan-tindakan yang harus dilakukan. Dan dalam hal penyalahgunaan pula pemakaian lambang atau sebutan tiruan oleh Pihak Peserta Agung itu dilarang dan harus dipertanggungjawabkan.

(5)

oleh pelanggaran yang diduga telah terjadi.

Selama berlangsungnya konflik, hukuman atas pelanggaran Hukum Perang bisa berupa dilakukannya pelanggaran tertentu atas Hukum Perang dengan sengaja dan secara terbatas sebagai pembalasan (reprisal). Prajurit yang melanggar ketentuan tertentu dari Hukum Perang kehilangan perlindungan dan status sebagai tawanan perang tetapi hanya setelah menghadapi “mahkamah yang berkompeten” (Konvensi Jenewa III Pasal 5). Pada saat itu, prajurit yang bersangkutan menjadi kombatan yang tidak sah tetapi dia tetap harus “diperlakukan secara manusiawi dan, bilamana kasusnya adalah kasus pengadilan, haknya atas pengadilan yang adil dan reguler tidak boleh dicabut”, karena prajurit yang bersangkutan masih dicakup oleh Konvensi Jenewa III Pasal 5.

(6)

Ketentuan-ketentuan yang termuat baik dalam Konvensi Jenewa maupun dalam Protokol I hanya memberikan kerangka hukum yang umum saja, selanjutnya bagi negara penandatangan harus melengkapi ketentuan tersebut di tingkat nasional. Pelanggaran yang dinyatakan berat, terdaftar dalam Konvensi-Konvensi Jenewa akan tetapi daftar dari semua tindakan lainnya yang bertentangan dengan hukum tersebut tidak disusun. Namun demikian belum tentu suatu perbuatan yang melanggar hukum dan yang tidak terdaftar sebagai pelanggaran berat akan dilihat sebagai pelanggaran ringan, dalam hal ini perlu mempertimbangkan pula ketentuan hukum Konvensi lainnya serta peraturan adat internasional.

Perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat berdasarkan Konvensi Jenewa I, II, III dan IV antara lain Pembunuhan yang disengaja, Penganiayaan dan perlakuan yang tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis, Perbuatan yang menyebabkan penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan. Dalam Konvensi Jenewa I, II dan III menyatakan bahwa pengrusakkan dan tindakan pemilikan atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan yang akan dilaksanakan secara luas, dengan melawan hukum dan dengan sewenang-wenang.

Dalam Konvensi Jenewa III dan IV disebutkan bahwa :

1. Memaksa seorang tawanan perang atau orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa untuk berdinas dalam ketentaraan negara musuh.

(7)

Khusus dalam Konvensi Jenewa IV :

1. Deportasi dan pemindahan secara tidak sah. 2. Penahanan yang tidak sah.

3. Penyanderaan.

Dalam Protokol Tambahan I :

1. Setiap perbuatan yang dapat membahayakan kesehatan atau integritas fisik maupun mental.

2. Dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan kematian atau luka berat atas badan atau kesehatan, sebagai berikut :

a. Serangan terhadap masyarakat sipil.

b. Serangan membabi buta yang merugikan masyarakat sipil /obyek sipil. c. Serangan yang diarahkan pada instalasi yang berisi kekuatan yang

berbahaya.

d. Serangan yang diarahkan pada perkampungan yang tidak dipertahankan dan daerah di luar operasi militer.

e. Serangan terhadap orang yg tidak lagi ikut dalam pertempuran. f. Penyalahgunaan tanda pelindung.

4. Dengan sengaja melakukan perbuatan sebagai berikut :

a. Pemindahan sebagian dari masyarakat sipilnya oleh pihak yang menduduki ke dalam wilayah yang sedang diduduki, serta deportasi atau pemindahan sebagian atau seluruh masyarakat sipil yang diduduki.

b. Keterlambatan dlm repatriasi tawanan perang atau orang sipil.

c. Tindakan yang merendahkan martabat manusia dan diskriminasi berdasarkan atas perbedaan ras.

(8)

e. Tidak menghormati hak setiap orang yang dilindungi oleh Hukum Jenewa untuk menerima pengadilan yang wajar.

5. Pelanggaran juga dapat berupa tidak dipenuhinya kewajiban yang diberikan oleh Hukum Jenewa. Sedangkan pelanggaran yang dikategorikan tidak berat adalah setiap pelanggaran yang tidak dinyatakan sebagai pelanggaran berat namun yang disebabkan karena tidak dipenuhinya kewajiban untuk bertindak sesuai dengan Hukum Humaniter Internasional.

(9)

3.2 Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Anak Dan Perempuan

Kategori untuk kejahatan kemanusiaan terhadap anak dan perempuan terkait termasuk dalam kejahatan perang sebagai suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan hukum internasional, terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa orang, baik militer maupun sipil. Pelaku kejahatan perang ini disebut penjahat perang. Setiap pelanggaran hukum perang pada konflik antar bangsa merupakan kejahatan perang. Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal suatu negara, belum tentu bisa dianggap kejahatan perang.

(10)

Titik terbesar ke dua dalam sejarah HAM adalah proses pembentukannya yang dapat berasal dari hukum domestik dan konstitusi beberapa Negara untuk menjadi sistem universal yang menyediakan perlindungan minimum bagi siapa saja dan dimana saja, akan tetapi hal ini tidak bertahan lama yaitu karena adanya perang dingin antara blok-blok Negara yang berseteru. Amnesti Internasional sering kali tidak berfungsi sebagaimana mestinya terhadap korban kejahatan terhadap kemanusiaan, sedangkan pelanggaran tidak pernah kunjung berhenti melawan hak-hak kemerdekaan sipil di banyak Negara di dunia. Akhirnya pada tanggal 30 Juli 1998 di Roma, 120 Negara menyatakan mendukung statute yang menciptakan pengadilan Internasional untuk menghukum mereka yang bersalah karena pelanggaran terburuk atas kemerdekaan fundamental dimanapun kekerasan itu terjadi.

Menurut Bassiouni, hukum pidana Internasional adalah suatu hasil pertemuan pemikiran dua disiplin hukum yang telah muncul dan berkembang secara berbeda serta saling melengkapi dan mengisi. Kedua disiplin hukum ini adalah aspek hukum pidana dari hukum pidana Internasional dan aspek-aspek internasional dari hukum pidana. Sedangkan Schwarzenberger tidak memberikan definisi melainkan 6 pengertian tentang hukum pidana Internasional sebagai berikut :

(11)

kepada Yurisdiksi criminal Negara yang berkepentingan dalam batas-batas teritorial Negara tersebut.

2. Hukum pidana internasional dalam arti aspek Internasional yang ditetapkan sebagai ketentuan dalam hukum pidana Nasional menyangkut kejadian-kejadian dimana suatu Negara yang terikat pada hukum Internasional berkewajiban memperhatikan sanksi-sanksi atas tindakan perorangan sebagaimana ditetapkan di dalam hukum pidana Nasionalnya.

3. Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan Internasional yang terdapat di dalam hukum Pidana Nasional yaitu : Ketentuan-ketentuan di dalam hukum Internasional yang memberikan kewenangan atas Negara Nasional untuk mengambil tindakan atas tindak pidana tertentu dalam batas Yurisdiksi kriminilnya dan memberikan kewenangan pula kepada Negara nasional untuk menerapkan yurisdiksi kriminil di luar batas teritorialnya terhadap tindak pidana tertentu, sesuai dengan ketentuan-ketentuan di dalam hukum Internasional.

4. Hukum pidana Internasional dalam arti ketentuan hukum pidana Nasional yang diakui sebagai hukum yang patut dalam kehidupan masyarakat bangsa yang beradab adalah ketentuan-ketentuan di dalam hukum pidana Nasional yang dianggap sesuai atau sejalan dengan tuntutan kepentingan masyarakat Internasional.

(12)

6. Hukum pidana Internasional dalam arti kata materiil merupakan objek pembahasan dari hukum pidana Internasional yang telah ditetapkan oleh PBB sebagai kejahatan Internasional dan merupakan pelanggaran atas de iure gentium, seperti piracy, agresi, kejahatan perang, genocide, dan lalu lintas ilegal perdagangan narkotika.

Mengenai bentuk daripada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hukum pidana internasional dapat dikemukakan sebagai berikut

1. Berbentuk prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum Internasional umum atau universal, baik yang sudah dirumuskan dalam bentuk tertulis seperti dalam konvensi-konvensi Internasional umum, baik yang sudah berlaku secara sah, maupun yang masih belum berlaku yang berbentuk hukum yang tidak tertulis atau kebiasaan Internasional.

2. Berbentuk konvensi-konvensi Internasional umum yang memang dengan sengaja di buat dan dirancang untuk menetapkan prilaku kriminal tertentu sebagai suatu yang harus dicegah, diberantas dan dihapuskan.

3. Berbentuk peraturan perundang-undangan Nasional dari Negara-negara yang memang sudah mengatur di dalam hukum pidananya masing-masing atas suatu perilaku tertentu.

4. Berbentuk keputusan-keputusan badan-badan peradilan internasional.

Jenis-jenis tindak pidana Internasional menurut Bassiouni (2004:32) adalah sebagai berikut :

1. Aggression. 2. War crimes.

(13)

4. Crime against humanity. 5. Genocide.

6. Racial Discrimination and apartheid. 7. Slivery and related crimes.

8. Torture.

9. Unlawful human Experimentation. 10. Piracy.

11. Aircraft high jacking

12. Threat and use of force against internationally protected person 13. Taking of civilan hostages

14. Drug offences

15. International traffic in obscene publication 16. Destruction and\or theft of national treasures 17. Environmental protection

18. Theft of nuclear materials 19. Unlawful use of the mails

20. Interference of the submarine cables 21. Falsification and counterfeiting 22. Bribery of foreign public officials

Sedangkan Dautricourt (2010) di dalam karya tulisnya menyebutkan beberapa international crime sebagai berikut :

1. Terrorism. 2. Slavery.

(14)

4. Traffic in women and children (perdagangan wanita dan anak). 5. Traffic in narcotic drugs (perdagangan illegal narkotika). 6. Traffic in pornographic (peredaran publikasi pornografi) 7. Piracy ( pembajakan di laut).

8. Areal high jacking (Pembajakan di udara) 9. Counterfeiting ( Pemalsuan mata uang.)

10. The destruction of submarine cables (pengrusakan kabel-kabel di bawah laut).

(15)
(16)

kejahatan maka ruang lingkup kejahatan terhadap kemanusiaan juga semakin bertambah luas. Jadi, untuk sementara waktu dapat dikatakan, bahwa apa yang dinamakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) ini hanyalah merupakan himpunan atau kumpulan dari beberapa kejahatan yang dapat saling berkaitan satu sama lainnya, yang dipandang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan secara universal.

(17)

3.3 Perjalanan Konflik Dan Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Pelanggaran Ham Terhadap Anak Dan Perempuan Dalam Konflik Bersenjata Non Internasional Di Suriah

Tidak bisa dipungkiri bahwa perang Suriah terindikasi begitu banyak kepentingan di dalamnya. Suriah telah menjadi konflik sangat kompleks dan multipolar. Bagaikan potongan kue yang diperebutkan oleh banyak tangan. Suriah menjadi sebuah medan perang besar saat ini. Kubu oposisi terdiri dari lebih dari 1.000 kelompok oposisi bersenjata, dari seribu kelompok ini terbagi menjadi tiga kubu. Nasionalis, Sekuleris, dan Islamis. Dari tiga kubu ini pun jika dijabarkan lagi, maka akan ada perbedaan diantara mereka. Diantara mereka ada kelompok-kelompok kecil nasionalis dan kadang-kadang unit sekuler, mereka berjuang hanya untuk membebaskan rakyat Suriah. Kemudian, ada pula kelompok Brotherhood-salah satu jenis kelompok Muslim yang berjihad di Suriah yang belum dapat dipastikan kemana arah tujuannya setelah Bashar tumbang. Kemudian kelompok Salafi yang mengikuti jejak Arab Saudi. Dan yang terakhir adalah afiliasi al-Qaeda serta kelompok yang sealiran dengan Al-Qaeda, tujuan afiliasi ini jelas ingin mendirikan Daulah Islam.

(18)

diantaranya adalah Liwa At-Tauhid. Ini menunjukkan bahwa diantara mujahidin masih belum bisa menyatukan kekuatan untuk menghadapi musuh bersama, atau karena ada alasan lain dengan prasangka baik kelompok tersebut mundur akibat serangan angkatan udara Suriah yang bertubi-tubi. Salah satu komandan yang mundur dari pertempuran adalah Kolonel Abdul Jabbar Akaidi, kelompok Jihad sekuler yang dibantu AS dan Arab Saudi, meninggalkan Jabhat Al Nushra (JAN) dan ISIS bertempur sendirian. Ahrar Al Sham maju ke depan saat itu membantu JAN. Hal ini dimanfaatkan oleh milisi syiah Pro-Assad yang saat itu masuk merebut kota Safira, tenggara dari pusat Aleppo. Jatuhnya Safira berakibat terciptanya jalur penting pasokan senjata antara Damaskus dan Aleppo, dan pasukan Syiah Pro Assad bertahan di utara kota untuk pertahanan dari serangan Mujahidin.Beberapa kutipan pemberitaan dari VOA Islam (5/6/2013) menyatakan bahwa Saking bengisnya mereka (orang-orang Syi’ah –red) anak-anak itu banyak yang mereka bunuh. Perempuan-perempuan (kaum Sunni -red) itu banyak yang dinodai kehormatannya (diperkosa-red). Syukur-syukur setelah dinodai kehormatannya mereka itu masih hidup, banyak diantara mereka itu habis dinodai kehormatannya, dibunuh.

(19)

Lebanon, Israel, dan Propinsi Turki Hatay tetapi akibat imperialis Eropa menyebabkan Suriah kehilangan wilayahnya Yordania dan Israel dipisahkan dengan berada di bawah mandat Inggris. Lebanon diambil untuk melindungi minoritas Kristennya dan Hatay dikembalikan kepada Turki demi pertimbangan politik untuk Perancis. Perancis dengan politik devide et imperanya berhasil membagi Suriah sendiri menjadi empat wilayah antara lain: Damascus, Lebanon Raya, Allepo dan Lantakia. Tahun 1925 Damascus dan Allepo dikembalikan kepada Suriah. Prancis pada tanggal 28 September 1941 memberikan kemerdekaan kepada Suriah, dan diikuti dengan proklamasi kemerdekaan bagi Lebanon pada 26 November 1941.

(20)

kampanye pemberontakan melawan Tentara Suriah. Para pemberontak bersatu di bawah bendera Tentara Pembebasan Suriah dan berjuang dengan cara yang semakin terorganisir, namun komponen sipil dari oposisi bersenjata tidak memiliki kepemimpinan yang terorganisir. Pemberontakan memiliki nada sektarian, meskipun tidak faksi dalam konflik tersebut telah dijelaskan sektarianisme sebagai memainkan peran utama. Pihak oposisi didominasi oleh Muslim Sunni, sedangkan angka pemerintah terkemuka adala

(21)

Jatuh tidaknya Presiden Assad, sesungguhnya tidak lagi menjadi isu utama. Sebab kalau Assad dikeroyok oleh berbagai kekuatan, nasibnya dan negaranya kemungkinan besar akan sama dengan Muammar Khadafy (Lybia) dan Ben Ali (Tunisia).Tetapi yang paling dikuatirkan, jika perang saudara Suriah berlarut, konflik itu akan sama dengan persoalan Palestina-Israel. Setengah abad pun tidak selesai. Bahkan bukan mustahil, pecahannya akan lebih dahsyat dan dapat mengganggu keseimbangan perdamaian dunia. Sebab letak geografis Suriah sangat dekat dengan Palestina. Tanpa banyak diulas, sesungguhnya dalam perspektif diplomasi, perang saudara Suriah memiliki kesamaan dengan perang Palestina-Israel.

(22)

Di Lebanon, Iran mendukung kelompok Hisbullah yang sudah puluhan tahun terlibat perang dengan Israel. Jadi serangan tersebut dapat diartikan sebagai gangguan Israel terhadap Iran. Antara Suriah dan Israel sendiri terdapat konflik wilayah yaitu Dataran Tinggi Golan. Di perbatasan itu, Israel memantau setiap gerak Suriah, khususnya yang menuju ke Lebanon Selatan, tempat dimana kelompok Hisbullah bermarkas. Suriah yang berbatasan langsung dengan Israel, pada 1967 terlibat dalam peperangan sengit. Dalam perang itu Israel berhasil merebut Dataran Tinggi Golan. Kawasan yang merupakan salah satu daerah tersubur di wilayah Timur Tengah itu karena ada pepohonan seperti di daerah tropis serta menjadi pusat pengembangan berbagai produk pertanian, hingga sekarang tetap dikuasai Israel. Israel sekalipun mendapatkannya melalui perang, tetapi belakangan mengklaim Dataran Tinggi Golan sebagai salah satu wilayah yang memiliki status "Tanah Perjanjian" atau tanah yang dijanjikan sang Pencipta kepada Israel. Untuk memperkuat status itu, Israel mengerahkan sejumlah arkeolog, menggali berbagai tanah dan bebatuan sebagai alat bukti bahwa Dataran Tinggi Golan dulunya, ribuan tahun sebelumnya merupakan salah satu pusat pemukiman bangsa Yahudi. Sehingga dalam konteks perdebatan, cara Israel mengklaim kepemilikan Dataran Tinggi Golan, nyaris sama dengan apa yang dilakukannya atas wilayah Palestina.

(23)

periode 1958-1961, Suriah bergabung dengan Mesir membentuk perserikatan yang dikenal dengan RPA (Republik Persatuan Arab). Perserikatan itu berakhir karena terjadinya kudeta militer di Suriah. Sejak tahun 1963 hingga 2011, Suriah terus memberlakukan UU Darurat Militer, sehingga dengan demikian sistem pemerintahannya pun dianggap oleh pihak barat tidak demokratis. Presiden Suriah adalah Bashar al-Assad, yang telah mengambil tampuk pemerintahan dari ayahnya Hafez al Assad dengan penunjukan secara aklamasi. Serta telah berkuasa di negara itu mulai tahun 2000. Sejak era perang dingin, Suriah terkenal dengan kekuatan militernya di kawasan, dan identik dengan julukan Rusia Timur Tengah. Hal itu berkat kedekatan hubungan Suriah dengan Rusia, sehingga kerap mendapat suplai senjata modern dari negara digdaya itu. Alasan ini jualah yang membuat Israel sedikit segan untuk melakukan perang frontal menghadapi Suriah dalam persengketaan Dataran Tinggi Golan. Di samping itu, Suriah menjadi tumpuan beberapa negara kawasan dalam menyelesaikan konflik militer yang sering terjadi di Timur Tengah.

(24)

dimanfaatkan dengan sangat baik oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Padahal sebelumnya, presiden Suriah Bashar al Assad dengan sangat optimis telah mengungkapkan, bahwa badai Musim Semi Arab tidak akan menerpa Suriah, karena rakyat Suriah secara umum telah memperoleh hak-hak mereka secara adil, jadi tidak ada alasan bagi rakyat Suriah untuk melakukan revolusi di negara tersebut. Namun, kesempatan emas itu nampaknya tidak disia-siakan oleh pihak-pihak tertentu. Terbukti dengan merebaknya amunisi perlawanan rakyat yang dimotori oleh kelompok minoritas di negara tersebut. Yang menurut informasi dari pejabat Suriah, mereka pihak yang berkepentingan sengaja mendukung kelompok minoritas untuk melakukan perlawanan demi suksesnya target jahat dalam menghancurkan Suriah dari dalam.

(25)

BAB IV

UPAYA HUKUM INTERNASIONAL DALAM PENYELESAIAN KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL DI SURIAH

4.1 Upaya-Upaya Yang Telah Dilakukan Dalam Penyelesaian Konflik Bersenjata Non-Internasional Di Suriah

Jatuhnya ribuan korban jiwa dalam konflik Suriah yang mendorong peranan PBB untuk menghentikan konflik tersebut yang telah meluas tersebut. Syrian Observatory for Human Rights yang berkantor di London melaporkan, jumlah korban tewas sampai akhir Januari mencapai sedikitnya 136.227 orang. Kepala lembaga tersebut, Rami Abdel Rahman, mengatakan bulan Januari adalah salah satu bulan yang paling berdarah sejak konflik dimulai bulan Maret tahun 2011. Di informasi update lainnya terdapat korban tewas saat ini berada di angka 140.041 orang, menurut Observatorium yang berbasis di Inggris namun memiliki jaringan aktivis di seluruh wilayah Suriah. Di antara yang tewas adalah 7.626 anak-anak dan 5.064 perempuan.

Observatorium mengatakan semua kasus tersebut termasuk dalam hitungan yang mereka bisa dokumentasikan dengan nama dan dokumen identifikasi, atau gambar serta video. Menurut laporan mereka nasib puluhan ribu orang Suriah masih belum diketahui. Observatorium mengatakan jika dihitung lebih dari 30.000 pejuang tewas dan lebih dari 50.000 tewas dari pasukan pro-Assad. Namun direktur Observatorium, Rami Abdelrahman, mengatakan korban di kedua sisi sebenarnya cenderung jauh lebih tinggi.

(26)

“Observatorium ingin menunjukkan bahwa statistik ini tidak termasuk nasib lebih dari 180.000 orang yang hilang di dalam penjara rezim,” katanya dalam sebuah pernyataan. “Juga tidak termasuk lebih dari 7.000 yang ditahan oleh pasukan rezim dan kelompok bersenjata yang setia kepada Assad atau ratusan orang yang diculik oleh kelompok pejuang karena mereka diyakini loyalis rezim. Berita terakhir yang dilansir total korban jumlah korban tewas sudah menembus angka 162.000 orang. Kelompok yang bermarkas di Inggris itu mengatakan total korban tewas yang bisa mereka catat mencapai 162.402 sejak konflik pecah pada Maret 2011. “Angka ini bisa lebih banyak karena banyak korban yang tidak terdata,” kata direktur lembaga tersebut, Rami Abdel Rahman, seperti dilansir kantor berita Reuters. Rami mengatakan lembaganya mendapatkan data dari aktivis-aktivis Suriah. Jumlah korban dalam data ini terdiri atas 54.000 warga sipil, 42.700 pemberontak, dan 65.702 anggota militer Suriah. Selain itu, terdapat 62.800 korban dari milisi pro-Pesiden Bashar al-Assad dan warga asing yang berperang di pihak pemberontak.

(27)

Peranan PBB untuk menghentikan konflik tersebut yang telah meluas tersebut. Intervention on intrastate conflict menurut Patrick M. Regan adalah tindakan yang bersifat militer dan/ ekonomi pada permasalahan internal suatu negara, yang ditujukan kepada otoritas pemerintahan negara tersebut agar tercipta suatu perimbangan kekuatan (balance of power) antara pemerintah dan pihak oposisi. Menurut Ronald J. Fisher, ada enam tipe intervensi dari pihak-ketiga yang dapat berjalan tidak hanya di sistem internasional tapi juga sistem lainnya, seperti: konsiliasi, konsultasi, pure mediation, power mediation, arbitrasi, dan peacekeeping. Lebih lanjut peacekeeping adalah suatu keadaan dimana pihak ketiga menyediakan kekuatan militer untuk mengawasi gencatan senjata atau kesepakatan antar kelompok yang bermasalah dan dapat bergerak di bidang kemanusiaan. Peacekeeping sendiri dapat diartikan sebagai usaha bantuan kepada suatu negara atau wilayah yang terpecah akibat mengalami konflik atau perang, untuk menciptakan kembali keadaan yang kondusif bagi tercapainya perdamaian melalui intervensi pihak-ketiga dengan menggunakan kekuatan multinasional yang terdiri dari kaum sipil, polisi, serta militer..

(28)

pengiriman pasukan dan bantuan intelijen, sedangkan intervensi dari segi ekonomi bisa berupa embargo atau pembatalan dana bantuan.

Berdasarkan piagam pembentukannya, PBB mempunyai empat tujuan utama, yaitu:

1. Memelihara perdamaian dan keamanan dunia;

2. Membangun hubungan damai dan kerja sama antara negara-negara di dunia; 3. Bekerja sama dengan negara-negara anggotanya dalam pemecahan

masalah-masalah internasional, dan

4. Mendorong penghormatan hak asasi manusia

Dalam meredam konflik internasional yang terjadi, setiap tindakan yang dilakukan oleh PBB harus bertujuan:

1. Berusaha mengidentifikasi pada tahap sedini mungkin adanya situasi yang bisa menghasilkan konflik, dan mencoba menggunakan diplomasi sebagai cara untuk menghilangkan potensi konflik sebelum menyebabkan kekerasan. 2. Apabila konflik telah pecah, peacemaking ditujukan untuk memecahkan

masalah-masalah penyebab konflik.

3. Meskipun lemah, tindakan peacekeeping dimaksudkan untuk menghentikan peperangan, menciptakan situasi yang mendukung untuk membantu pelaksanaan kesepakatan perdamaian yang telah dicapai.

(29)

5. Untuk menangani penyebab konflik terdalam: keputusasaan ekonomi, ketidakadilan sosial dan penindasan politik.

Chapter V dari Piagam PBB menunjuk Dewan Keamanan sebagai badan utama yang bertanggungjawab untuk menjaga dan menstabilkan keamanan dan perdamaian internasional. Department of Peacekeeping Operation (DPKO) PBB terbentuk berdasarkan keinginan Sekjen PBB Boutros Boutros-Ghali untuk memperkuat peranan PBB di dalam preventive diplomacy dan peacekeeping, yang terdapat di laporannya yang dikenal dengan An Agenda for Peace. Pasal 11 ayat 1 Piagam PBB menyebutkan bahwa Majelis Umum dapat merumuskan prinsip-prinsip umum bagi kerjasama guna memelihara perdamaian dan keamanan internasional, termasuk prinsip-prinsip mengenai perlucutan senjata dan pengaturan persenjataan, dan dapat mengemukakan rekomendasi-rekomendasi yang bertalian dengan prinsip-prinsip itu kepada anggota-anggota atau kepada Dewan Keamanan atau kepada kedua-duanya.

Menurut United Nations Peacekeeping Operation: Principles and Guidelines atau yang biasa disebut dengan Capstone Doctrine, landasan normatifPBB dalam membentuk dan menjalankan operasi perdamaian ada empat,meliputi: piagam PBB, HAM, hukum humaniter internasional serta mandat DKPBB.Berbicara tentang PKO tidak dapat terlepas dari masalah HAM dan hukum humaniter internasional sebagai landasan normatif setiap tindakan peacekeeping yang dilakukan oleh DK PBB.

(30)

internasional dan memahami bahwa setiap langkah yang diambil akan selalu berhubungan dengan HAM, kesemuanya itu juga terdapat di dalam setiap mandat yang diberikan kepada tiap PKO yang dijalankan. Hukum humaniter internasional dikenal dengan sebutan lain yaitu “hukum perang” atau “hukum konflik bersenjata”. Hukum humaniter internasional yang dibuat untuk melindungi pihak-pihak/individu-individu yang tidak atau tidak lagi ikut di dalam peperangan dan menjaga hak-hak dasar dari kaum sipil, korban perang dan pihak-pihak yang tidak termasuk pasukan perang di dalam suatu konflik bersenjata. Hal ini yang menyebabkan hukum humaniter internasional sangat relevan bagi PKO yang seringkali ditempatkan pada masa pasca-konflik yang lebih banyak berhubungan dengan masalah-masalah humaniter. Keterlibatan PBB pada awalnya hanya sebatas mengirimkan tim monitoring konflik karena berkaitan dengan fungsi humanitarian assistance dan menjaga perdamaian internasional seperti yang tercantum pada Chapter I pasal 1 ayat 1 Piagam PBB: “to maintain international peace and security, and to that end: to take effective collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of acts of aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity with the principal of justice and international law, adjustment or settlement of international dispute or situation which might lead to a breach of the peace;”

(31)

badan-badan regional itu baik atas usaha negara-negara yang bersangkutan maupun atas anjuran Dewan Keamanan. Baru ketika konflik semakin memanas, PBB memberikan wewenang kepada Dewan Keamanan untuk mengirimkan pasukan perdamaian ke Suriah dan menjalankan proses perdamaian konflik, seperti yang tercantum pada pasal 24 ayat 1 Piagam PBB: “in order to ensure prompt and effective action by the United Nations, its Members confer on the Security Council primary responsibility for themaintenance of international peace and security, and agree that incarrying out its duties under this responsibility the Security Council actson their behalf.”.

(32)

Chapter VI yang berhubungan dengan langkah-langkah yang diambil oleh DK PBB pada konflik Suriah:

1. Pasal 33: Para pihak pada suatu sengketa, yang jika berkelanjutan memungkinkan untuk membahayakan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, harus, pertama-tama mencari jalan keluar melalui negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian hukum, cara-cara alternatif melalui badan regional atau kesepakatan-kesepakatan, atau cara-cara damai sesuai dengan pilihan sendiri.

2. Pasal 34: Dewan Keamanan dapat menyelidiki suatu sengketa atau apapun yang dapat menyebabkan terjadinya permasalahan internasional, untuk menentukan apakah sengketa atau situasi tersebut berkelanjutan dan dapat membahayakan pemeliharaan perdamaian atau keamanan internasional.

3. Pasal 36: Ayat 1; Dewan Keamanan dapat, pada setiap tahapan situasi seperti yang tercantum dalam pasal 33, merekomendasikan prosedur atau metode-metode penyelesaian yang sesuai. Ayat 2; Dewan Keamanan harus mempertimbangkan segala prosedur apapun untuk diterapkan pada penyelesaian sengketa yang telah diterima/dijalankan oleh semua pihak.

(33)

1. Pasal 41: Dewan Keamanan dapat mengambil tindakan tanpa penggunaan senjata apapun yang dinilai mampu memberikan pengaruh terhadap keputusannya, seperti gangguan hubungan ekonomi, laut, udara, telekomunikasi, radio hingga pemutusan hubungan diplomatik.

2. Pasal 42: Apabila tindakan-tindakan yang tercantum dalam Pasal 41 telah diambil dan dinilai tidak memadai, Dewan Keamanan mungkin mengambil tindakan melalui laut, udara dan pasukan darat yang diperlukan untuk memulihkan perdamaian dan keamanan internasional. Tindakan tersebut dapat mencakup demonstrasi, blokade, atau operasi lainnya melalui udara atau laut, serta pasukan darat anggota PBB.

(34)

4.2 Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Anak Dan Perempuan Di Suriah Ditinjau Dari Konvensi Jenewa 1949

Komite Penyelamatan Internasional (IRC) yang berpusat di Amerika dalam sebuah laporan dengan judul "Suriah Krisis Regional" memberitakan aksi pemerkosaan luas yang dilakukan terhadap perempuan Suriah. Berdasarkan laporan yang menyedihkan itu, perempuan dan gadis Suriah menjadi korban pemerkosaan seorang atau sekelompok teroris bersenjata di Suriah. Kebanyakan perempuan Suriah yang menjadi korban dalam wawancara yang dilakukan oleh komite ini mengatakan, "Dalam banyak kasus aksi pemerkosaan berkelompok atau sendiri dilakukan di jalan dan tempat umum di kota yang terlibat perang, bahkan dalam sebagian kasus para teroris menyerang sebuah rumah dan melakukan aksi pemerkosaan di hadapan anggota keluarganya."

(35)

Allawi. Namun apa yang dilakukan oleh kelompok Salafi selama dua tahun ini menunjukkan bahwa bukan hanya mereka tidak membantu rakyat Suriah, tapi justru melakukan kejahatan tidak berperikemanusiaan. Pembantaian rakyat dan militer Suriah serta pemerkosaan terhadap perempuan merupakan sedikit dari kejahatan yang dilakukan mereka. Yang lebih aneh lagi ketika kelompok Salafi Wahabi ini meyakini bahwa pemerkosaan terhadap seorang perempuan merupakan dosa besar, bahkan siapa yang melakukannya harus dihukum mati.

Perlu diketahui bahwa Muhammad al-Ariqi, Mufti Arab Saudi baru-baru ini mengeluarkan hukum yang membolehkan milisi penentang pemerintah Arab Saudi mengawini perempuan Suriah walaupun hanya beberapa jam saja! Ia mengatakan bahwa anak-anak gadis Suriah yang berusia 14 tahun ke atas termasuk dalam fatwa ini dan mereka harus melakukan akad sementara dengan para teroris Suriah. Tentu saja semua mengetahui bahwa mufti ekstrim Salafi dan anti Suriah ini mengeluarkan fatwa halal yang diharamkan dalam Ahli Sunnah dengan tujuan para teroris dapat melepaskan syahwatnya. Tapi fatwa ini telah memberikan warna agama atas tindakan perkosaan ini guna mengurangi terbukanya kedok siapa sebenarnya para teroris ini.

(36)

Dalam laporan delegasi bantuan kemanusiaan HAM PBB disebutkan ada sekitar 29 ribu warga Suriah yang hidup di kamp-kamp pengungsi di dekat perbatasan Turki. Dan selama penyusunan laporan, lebih dari 800 kasus pemerkosaan yang terjadi. Para pengungsi Suriah yang ada di kamp-kamp pengungsi ini berasal dari daerah perbatasan Suriah yang takut akan serangan orang bersenjata dan baku tembak antara militer Suriah dengan para teroris ini.

(37)

menyelidiki pelanggaran HAM di Suriah tidak lama setelah perang pecah bulan Maret 2011.

PBB berulangkali menuduh rezim Suriah bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Tetapi komisi yang beranggotakan empat orang itu tidak pernah menyebutkan nama atau langsung menuding Presiden Assad. Jaringan organisasi Hak Asasi Internasional kembali mengungkap kejahatan yang dilakukan oleh tentara Bashar Al Asad di Suriah. Jaringan yang tergabung dari 60 organisasi HAM di seluruh dunia itu mengatakan bahwa perempuan-perempuan Suriah mengalami pelecehan dan penyiksaan oleh tentara rezim. Sebanyak 6 ribu wanita mengalami pemerkosaan sejak meletusnya konflik Suriah. Bahkan, di antara mereka ada yang mengalami pemerkosaan masal oleh tentara rezim. Jaringan HAM yang didanai Uni Eropa tersebut menyandarkan laporannya itu dari wawancara langsung dengan para korban dan petugas medis selama semester pertama tahun ini di Suriah.

(38)

pasukan rezim sebagaimana disebutkan Lembaga Penelitan Oxford, Inggris. Lembaga itu menyebutkan bahwa kebanyakan anak-anak Suriah terbunuh oleh gempuran dan ledakan proyektil yang menghujani tempat tinggal mereka.

(39)

hakim PTC I mengeluarkan surat perintah penangkapan atas Ahmad Harun dan Ali Kushyab. Selanjutnya Jaksa Luis Moreno Ocampo pada tanggal 14 Juli 2008 meminta kepada PTC I untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Omar Hassan Ahmad Al-Bashir. Karenanya, berangkat dari dasar pijakan tersebut pada Konvensi Jenewa 1949 maka para pelaku kejahatan kemanusiaan terhadap anak dan perempuan pada konflik bersenjata non internasional di Suriah sudah selayaknya mendapatkan proses peradilan demi keadilan kemanusiaan untuk para korban konflik kemanusiaan yang terjadi di Suriah.

4.3 Perbuatan-Perbuatan Dalam Konflik Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Anak Dan Perempuan Di Suriah Yang Dapat Dibawa Ke Pengadilan HAM Internasional

Perbuatan-perbuatan dalam konflik kejahatan dalam sebuah peperangan, anak berada di baris terdepan sebagai korban. Mereka mengalami berbagai tindak kekejian. Tak banyak yang bisa lolos dan menemukan kehidupan baru. Sebagian besar bertahan dengan beban psikologis yang dipikul sampai mati. Laporan investigasi PBB mencatat, anak-anak korban perang di Suriah mengalami kekerasan seksual di rumah tahanan pemerintah dan dipaksa bertempur. Sebagian dari anak-anak itu juga disiksa dan digunakan sebagai perisai hidup warga sipil.

(40)

oposisi mengaku dan menyerah. Mereka mengalami ancaman dan tindakan pemerkosaan dan berbagai bentuk siksaan seksual, baik anak perempuan maupun laki-laki, serta siksaan fisik dan mental, termasuk dipaksa melihat kerabatnya disiksa.

Tentara Pembebasan Suriah (FSA) dari kelompok oposisi utama merekrut anak sebagai combatant. Tuduhan itu ditolak oleh juru bicara dewan militer tertinggi pihak oposisi, sebagai contoh Omar Abu Leila (nama samaran). Namun, dikatakan, mungkin saja hal itu dilakukan pemberontak lain. Laporan itu membuktikan, kekejian terhadap anak dalam perang tak pernah menjadi masa lalu. Data PBB mencatat, sedikitnya 300.000 anak di dunia saat ini dipaksa menjadi combatant. Menurut para aktivis hak anak, Konvensi Hak Anak ataupun optional protocol-nya tak tegas dalam soal ini, terutama istilah combatant yang harus didefinisikan ulang. Anak-anak yang terlibat di dalamnya harus diperlakukan sebagai korban. Belum lagi beberapa anak yang mengalami kasus cuci otak atas nama ideology ataupun agama untuk dipaksakan menjadi combatant dan diturunkan di barisan depan untuk bertempur melawan musuh.

(41)

Pada demonstrasi di kota Daraa di Suriah selatan kekerasan dilakukan oleh pemerintah dengan sedikitnya satu orang tewas dan lebih dari 100 orang terluka, termasuk dua orang dalam keadaan kritis, ketika pasukan keamanan menggunakan rentetan peluru tajam terhadap ribuan demonstran pada hari ketiga langsung demonstrasi di kota tersebut. Sekurangnya enam orang tewas setelah pasukan keamanan menembaki para demonstran di luar sebuah masjid di kota Deraa, Suriah, Rabu. 23 Maret 2011 dikarenakan demonstrasi massa yang berpusat di dalam mesjid yang menentang pemerintahan rezim yang berkuasa. Selama proses represif pemerintahan rezim Suriah setidaknya telah jatuh 8000 korban wanita selama proses konflik berlangsung dimana sebagian dari korban wanita tersebut masih belum dewasa dan bahkan masih dikategorikan anak dan balita.

Untuk kekerasan sipil yang berlangsung selama konflik bersenjata ini, setidaknya pemerintahan Suriah dikenakan pasal-pasal dalam Konvensi Jenewa Keempat yang mengatur mengenai perlindungan orang sipil di masa perang termasuk protocol tambahan II (1977) yang dengan jelas mengatur mengenai perlindungan korban konflik bersenjata non-internasional yang dengan sengaja telah dilanggar selama konflik bersenjata di Suriah berlangsung.

(42)

kota pada awal Agustus. Afif mengatakan ia melihat, Kolonel Ali Abdulkarim Sami, membakar pengunjuk rasa dari Kalashnikov dan membunuh satu orang berumur 16 tahun Omran Riad Salman. Human Rights Watch terakhir rekaman diposting di YouTube yang dimaksudkan untuk menunjukkan tubuh seorang pemuda yang kemudian diidentifikasi sebagai Omran Riad Salman yang terbunuh pada 3 Agustus di Nawa. Rangkaian tindakan pasukan keamanan dan militer Suriah di atas jelas dan pasti tidak dapat diterima oleh akal sehat dan nurani kemanusiaan.

Penganiayaan sistematis dilakukan tentara Suriah terhadap warga sipil di Homs, termasuk menyiksa dan membunuh. Ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan," tegas HRW dalam pernyataannya. HRW mengatakan, tentara Suriah telah menewaskan sedikitnya 104 orang di Homs sejak 2 November lalu. Padahal, saat itu Pemerintah Suriah yang dipimpin Presiden Bashar al-Assad seharusnya sudah menghentikan aksi kekerasan itu, sesuai proposal Liga Arab yang telah disepakatinya.

Beberapa fakta yang dipaparkan di atas memberikan kesimpulan bahwa semua tindakan itu adalah tergolong sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan. Dalam hukum internasional Kejahatan terhadap Kemanusiaan merupakan salah satu jenis/bentuk pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC).

(43)

ketentuan hukum internasional ini, sebab Suriah merupakan negara pihak dari beberapa konvensi HAM Internasional diantaranya Konvensi Internasional tentang hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial dan budaya, the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT); the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW); the International Convention on the Elimination of Al Forms of Racial Discrimination (ICERD); and the Convention on the Rights of the Child (CRC) and its Optional Protocol on the involvement of children in armed conflict, dan bahwa Suriah sebagai bagian dari masyarakat internasional seharusnya ikut serta dalam pengkampanyean, perlindungan dan penegakan HAM. Hal ini menurut penulis bahwa sudah seharusnya kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang dipaparkan di atas dibawa ke International Criminal Court (ICC) untuk diadili sesuai ketentuan yang berlaku.

(44)

Penuntut atas kejahatan yang terjadi di wilayah yang belum atau tidak meratifkasi Statuta.

(45)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan Rumusan Masalah dan Pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya maka kesimpulan yang dapat penulis simpulkan adalah sebagai berikut:

1. Bahwa dalam konflik Suriah telah terjadi Pelanggaran HAM berat (Gross Violation of Human Rights) yang dalam hal ini adalah Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity) sebagaimana diatur dalam pasal 7 ICC.

2. Selain melanggar hal tersebut para pelaku juga dengan sengaja melanggar pasal-pasal dalam Konvensi Jenewa Keempat yang mengatur mengenai perlindungan orang sipil di masa perang termasuk protocol tambahan II (1977) yang dengan jelas mengatur mengenai perlindungan korban konflik bersenjata non-internasional yang dengan sengaja telah dilanggar selama konflik bersenjata di Suriah berlangsung.

(46)

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan yang telah paparkan sebelumnya penulis merasa perlu untuk memberikan saran untuk ungkapan dan kesempurnaan penulisan skripsi ini. Adapun saran yang penulis berikan adalah sebagai berikut: 1. Oleh karena serangkaian tindakan pasukan keamanan dan intelijen dalam

konflik Suriah yang kemudian dikategorikan sebagai Kejahatan terhadap kemanusiaan bersifat sistematis dan meluas, baik dari segi korban dan tempatnya maka penulis menyarankan kepada PBB untuk menugaskan beberapa orang pemantau di Suriah, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Human Right Watch dan Amnesty Internasional.

2. Bahwa berhubung karena Suriah bukan merupakan Negara Pihak (State Party) dalam ICC maka Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations Security Council) wajib untuk mengeluarkan satu Resolusi untuk menyerahkan pengajuan para pelaku kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam konflik Suriah ke ICC oleh Jaksa Penuntut (The Prosecutor) ICC. 3. Agar seluruh Negara anggota PBB mendesak DK PBB untuk secepatnya

mengambil keputusan sebagaimana dimaksud oleh poin 2 di atas.

(47)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP PELANGGARAN HAM PADA KEJAHATAN KEMANUSIAAN

2.1. Pengertian HAM

HAM adalah hak fundamental yang tak dapat dicabut yang mana karena ia adalah seorang manusia. Jack Donnely, mendefinisikan hak asasi tidak jauh berbeda dengan pengertian di atas. Hak asasi adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia dan hak itu merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa. Sementara menurut John Locke, Hak Asasi Manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat. John Locke menjelaskan bahwa HAM merupakan hak kodrat pada diri manusia yang merupakan anugrah atau pemberian langsung dari Tuhan Yang Maha Esa. secara filosofis, pandangan menurut hak asasi manusia adalah, "jika wacana publik masyarakat global di masa damai dapat dikatakan memiliki bahasa moral yang umum, itu adalah hak asasi manusia." Meskipun demikian, klaim yang kuat dibuat oleh doktrin hak asasi manusia agar terus memunculkan sikap skeptis dan perdebatan tentang sifat, isi dan pembenaran hak asasi manusia sampai di jaman sekarang ini. Memang, pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan "hak" itu sendiri kontroversial dan menjadi perdebatan filosofis terus.14

14

Shaw Malcolm N, International Law. Cambridge University Press, New York, 2008. hal. 67.

(48)

Hak asasi manusia (HAM) sebagai hak dasar yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Hak-hak tersebut melekat pada dirinya sebagai makhluk insani. Hak asasi manusia adalah unsur yang amat penting yang tidak bisa ditawar-tawar lagi mengenai pelaksanaannya, baik hukum maupun politik tidak boleh melanggar martabat seseorang atau sekelompok orang sebagai manusia.

Hak asasi manusia memang merupakan unsur yang amat penting yang pelaksanaannya harus dilakukan baik oleh masyarakat sendiri ataupun oleh pemerintah atau Negara, tapi dengan hal tersebut bukan berarti tidak ada pelanggaran terhadap pelaksanaan hak asasi manusia. Pelanggaran hak asasi manusia terus berlangsung sepanjang kehidupan umat manusia.

Pelanggaran hak asasi manusia merupakan ancaman besar terhadap perdamaian, keamanan dan stabilitas Negara. Pelanggaran hak asasi manusia tidak hanya dilakukan oleh masyarakat baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat, tetapi pelanggaran tersebut juga bisa dilakukan oleh Negara maupun melalui aparat Negara atau pemerintahnya, biasanya pelanggaran oleh Negara sering mengarah ke pelanggaran Hak Asasi Manusia berat.

(49)

Pengertian Hak Asasi Manusia di Indonesia secara tertuang pada UU No 39/1999, “HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Kebebasan yang dimiliki manusia secara kodratnya melekat pada diri manusia dan membuat manusia sadar akan keinginannya untuk hidup bahagia. Akal budi dan nuraninya, mendapat kebebasan untuk memutuskan sendiri apa yang diinginkannya. Yang kemudian diimbangi rasa tanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut Hak Asasi Manusia yang secara kodratnya melekat pada diri manusia sejak manusia dalam kandungan yang membuat manusia sadar akan jatidirinya dan membuat manusia hidup bahagia. Setiap manusia dalam kenyataannya lahir dan hidup di masyarakat. Dalam perkembangan sejarah tampak bahwa Hak Asasi Manusia memperoleh maknanya dan berkembang setelah kehidupan masyarakat makin berkembang khususnya setelah terbentuk Negara.

(50)

manusia. Hak secara kodrati melekat dan tidak dapat dipisahkan dari manusia, karena tanpanya manusia kehilangan harkat dan kemanusiaan. Oleh karena itu, Republik Indonesia termasuk pemerintah Republik Indonesia berkewajiban secara hokum, politik, ekonomi, social dan moral untuk melindungi, memajukan dan mengambil langkah-langkah konkret demi tegaknya Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar manusia.

(51)

politica, yaitu konsepsi pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan dalam hukum du contract social Rousseau menyatakan bahwa Negara dilahirkan bebas yang tak boleh dibelenggu oleh manusia lain termasuk oleh raja. Pandangan demikian ini menmbulkan semangat bagi rakyat tertindas ,khususnya di prancis ,untuk memperjuangkan hak asasinya.

Pemerintahan raja yang sewenang-wenang dan kaum bangsawan yang feodalistik menimbulkan kebencian di kalangan rakyat Perancis. Pada masa pemerintahan Raja Louis XVI yang lemah, rakyat Perancis baru berani membentuk Assemblee Nationale, yaitu dewan nasional sebagai perwakilan bangsa Perancis. Pada masa pemerintahan Raja Louis XVI yang lemah, rakyat Perancis baru berani membentuk Assemblee Nationale, yaitu dewan nasional sebagai perwakilan bangsa Perancis. Masyarakat Perancis baru berani mengubah strukturnya dari feodalistis menjadi lama (kerajaan)n dihapuskan dan disusunlah pemerintah baru.

Istilah Hak Asasi Manusia merupakan terjemahan dari; droits de L’homme (Perancis), human rights (Inggris), dan menselijke rechten (Belanda). Di Indonesia, hak asasi umumnya lebih dikenal dengan istilah ‘hak-hak asasi’ sebagai terjemahan dari basic rights (Inggris), grond rechten (Belanda), atau bisa juga disebut sebagai hak-hak fundamental (fundamental rights, civil rights) Menurut Usman Surur,15

15

Usman Surur, Dasar-dasar HAM, bahan Kuliah Diklat HAM. Jakarta: Direktorat Jenderal HAM, 2008, hal. 29.

(52)

1. Hak berasal dari bahasa Arab yang artinya kebenaran, dalam kamus bahasa Indonesia juga diartikan dengan kebenaran, dan yang berkaitan dengan kepemilikan, kekuasaan atau kewenangan

2. Asasi berasal dari bahasa Arab Asasiyyun artinya bersifat prinsip, maksudnya sesuatu yang prinsip itu adalah hal yang amat mendasar dan tidak boleh tidak ada

3. Manusia dalam pengertian umum adalah makhluk yang berakal budi, orang Jawa menyebut Manungso (Manunggaling Raso), baru disebut manusia kalau memahami perasaan orang lain, atau dalam bahasa Arab digunakan Nas dari kata Anasa yang artinya melihat, mengetahui atau meminta ijin. Berdasarkan rangkaian kata tersebut, maka yang dimaksud Hak Asasi Manusia adalah sejumlah nilai yang menjadi ciri khas manusia yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi

Menurut Prof. Mr. Koentjoro Poerbapranoto (1976), hak asasi adalah hak yang bersifat asasi, artinya hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya suci. Jadi, hak asasi dapat dikatakan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Hak asasi itu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri

Berdasarkan pandangan Para tokoh seperti John Locke, Aristoteles, Montequieu dan J.J. Rousseau, dapat ditarik kesimpulan bahwa hak asasi mencakup :

(53)

3. Hak kemerdekaan berkumpul

4. Hak menyatakan kebebasan warga negara dari pemenjaraan sewenang-wenang (bebas dari rasa takut)

5. Hak kemerdekaan pikiran dan pers

Menurut Brierly, pada dasarnya hak asasi manusia dapat dibagi menjadi: 1. hak mempertahankan diri (self preservation)

2. hak kemerdekaan (independence) 3. hak persamaan pendapat (equality) 4. hak untuk dihargai (respect)

5. hak bergaul satu sama lain (intercourse)

Menurut Drs. H. Inu Kencana Syafiie, M.Si., beberapa macam hak asasi dibedakan menjadi sebagai berikut :

1. hak untuk diperlakukan dengan baik, biasanya dikenal dengan tata karma sesuai anutan budaya yang bersangkutan

2. hak untuk mengembangkan diri, biasanya dikenal dengan harkat untuk mewujudkan keberadaan

3. hak untuk memilih dan dipilih serta terpakai tenaganya dalam pemerintahan, biasanya dikenal dengan demokrasi

4. hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam penerapan peratuaran, biasanya dikenal dengan persamaan di dalam hukum

5. hak untuk memiliki, membeli, menjual dan memanfaatkan sesuatu, biasanya dikenal dengan persamaan di dalam perlakuan ekonomi

(54)

7. hak untuk menuntut ilmu dan melakukan penelitian serta pengembangan pengetahuan, biasanya dikenal dengan kebebasan ilmiah

8. hak untuk mengeluarkan keterangan pernyataan, biasanya dikenal dengan kebebasan berpendapat

Budiyanto menyimpulkan dan membedakan hak-hak asasi manusia, yaitu sebagai berikut : hak-hak asasi pribadi atau personal rights, yang meliputi ; kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak, dan sebagainya hak-hak asasi ekonomi atau property rights, yaitu hak untuk memiliki sesuatu, membeli, dan menjual, serta memanfaatkannya hak-hak asasi politik atau political rights, yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam suatu pemilihan umum, hak untuk mendirikan partai politik, dan sebagainya hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan atau rights of legal equality hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau social and culture rights, seperti hak untuk memilih pendidikan, hak untuk mengembangkan kebudayaan, dan sebagainya hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan atau procedural rights, seperti adanya peraturan dalam hal penggeledahan, penangkapan, penahanan, peradilan, dan sebagainya.

2.2. Kejahatan Kemanusiaan

(55)

menggambarkan "kejahatan terhadap umat manusia" sebagai tindakan yang sangat keji, pada suatu skala yang sangat besar, yang dilaksanakan untuk mengurangi ras manusia secara keseluruhan. Biasanya kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan atas dasar kepentingan politis, seperti yang terjadi di Jerman oleh pemerintahan Hitler serta yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia. Diatur dalam Statuta Roma dan diadopsi dalam Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Menurut UU tersebut dan juga sebagaimana diatur dalam pasal 7 Statuta Roma, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan ialah Perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terdapat penduduk sipil.

Kejahatan-kejahatan terhadap perikemanusiaan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 Statuta Roma tersebut adalah serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dengan tujuan:16

1. Pembunuhan 2. Pemusnahan 3. Perbudakan

4. Pengusiran atau pemindahan penduduk

5. Perampasan kemerdekaan / perampasan kebebasan fisik lain 6. Menganiaya;

16

(56)

7. Memperkosa, perbudakan seksual, memaksa seorang menjadi pelacur, menghamili secara paksa, melakukan sterilisasi secara paksa, ataupun bentuk kejahatan seksual lainnya ;

8. Penyiksaan terhadap kelompok berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan, etnis, kebudayaan, agama, jenis kelamin (gender) sebagaimana diatur dalam artikel 3 ICC ataupun dengan alasan-alasan lainnya yang secara umum diketahui sebagai suatu alasan yang dilarang oleh hukum internasional

9. Penghilangan seseorang secara paksa; 10. Kejahatan apartheid;

11. Perbuatan lainnya yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan secara sengaja sehingga mengakibatkan penderitaan, luka parah baik tubuh maupun mental ataupun kesehatan fisiknya.

Merujuk pendapat Bissouni:

The term of "crimes against humanity" is existed prior to World War II. It is because the 1868 Saint Petersburg Declaration has mentioned the limitation of the use certain explosive or incendiary projectiles in times of war, since they were declared contrary to the laws of humanity. Meanwhile, the expression of crimes against humanity was used for the first time in the 1915 Declaration by the governments of France, Great Britain and Russia denouncing the massacre of Armenians taking place in Turkey.17

Bassiouni menambahkan bahwa jenis kejahatan yang dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, adalah: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap penduduk sipil, sebelum atau selama perang, atau

17

(57)

penganiayaan atas dasar politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau dalam kaitannya dengan kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan, apakah atau tidak dalam pelanggaran hukum domestik dari negara di mana kejahatan tersebut dilakukan.18

Murder, extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts committed against any civilian population, before or during the war, or persecutions on political, racial, or religious grounds in execution of or in connection with any crime within the jurisdiction of the Tribunal, whether or not in violation of domestic law of the country where perpetrated.

Jenis kejahatan yang disebutkan oleh Bassiouni ini sebenarnya diambil dari jenis kejahatan yang telah disebutkan dalam Pasal 6 (c) dari Piagam Nuremberg (Nuremberg Charter). Oleh sebab itu, untuk membahas pengertian kejahatan kemanusiaan ini, maka pembahasan dapat dimulai dari bagaimana pengertian hukum yang berkembang dari pasal ini. Pasal 6 (c) mendefinisikan kejahatan kemanusiaan sebagai:

19

David Luban20

1. Kejahatan terhadap kemanusiaan biasanya dilakukan terhadap warga negara sendiri atau orang asing (Crimes against humanity are typically committed against fellow nationals as well as foreigners). Sesuai dengan sejarah Pasal 6(c) ini, pasal ini dibuat untuk mengisi kekosongan hukum kemanusiaan pada Tahun 1945, yang menyatakan bahwa kategori kejahatan perang terhadap

menyatakan bahwa pasal ini memberikan 5 unsur dalam pengertiannya sehingga ia dapat dimengerti dan dipakai dalam ketentuan hukum nasional tertentu:

18

Bassiouni, M. C. Crimes against Humanity, Ibid 19

Lihat Nuremberg Charter, http://www.currentconcerns.ch/index.php?id=148, diakses 4 Februari 2014.

20

(58)

penduduk sipil adalah pelanggaran hukum bilamana kejahatan itu dilakukan hanya terhadap orang asing. Sementara Nazi, dianggap melakukan kejahatan terhadap warga negara mereka yang beragama Yahudi serta orang asing di wilayah Austria.

Oleh sebab itu, pemikiran bahwa suatu negara dianggap bisa melakukan kejahatan untuk membunuh rakyatnya sendiri dapat dilihat dari contoh tersebut di atas sehingga pengertian crime against humanity ini perlu mengatur hal itu. Ini disebabkan karena pengertian kejahatan sebelumnya yang dipakai mengenai kejahatan kemanusiaan ini adalah aturan hukum perang, yang berorientasi pada masyarakat negara sendiri di satu pihak, dan lawan sebagai pihak lain. Dengan demikian, dengan pengertian ini, maka sebuah kejahatan kemanusiaan itu dapat saja terjadi baik bagi masyarakat sendiri maupun orang asing, serta yang terjadi di dalam maupun di luar perang. Selain itu, pengertian ini juga berarti bahwa kejahatan kemanusiaan dapat saja dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri maupun oleh musuh kepada rakyat.21

2. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan internasional (Crimes against humanity are international crimes). Pengertian dari Pasal 6 (c) Piagam Nuremberg ini memberikan makna luas bahwa suatu kejahatan kemanusiaan dianggap sebagai kejahatan internasional meskipun tindakan ini bukan dalam kategori tersebut pada ketentuan hukum suatu negara dimana

21

(59)

kejahatan atau tindakan itu dilakukan. Dalam Pasal 7 dan 8 dari Piagam Nuremberg memperlihatkan bahwa seorang kepala negara tidak akan dapat berlindung dibalik kekebalan otoritasnya atau seseorang tidak boleh berlindung di belakang alasan perintah atasan untuk bebas dari tuduhan kejahatan ini. Pasal 7 dan 8 menyatakan:

Article 7:

The official position of defendants, whether as Heads of State or responsible officials in Government Departments, shall not be considered as freeing them from responsibility or mitigating punishment.

Menurut Luban dari pengertian ini, kejahatan yang dilakukan sebelum dan selama masa perang juga dapat dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan, dan hal itu berarti bahwa tindakan kekejaman Nazi terhadap bangsa Yahudi Jerman sebelum tahun 1939, meskipun pada saat itu dalam keadaan damai merupakan kejahatan kemanusiaan.22

3. Kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh politik terorganisir kelompok bertindak dengan dasar kebijakan (Crimes against humanity are committed by politically organized groups acting under color of policy) Piagam Nuremberg mensyaratkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh agen negara. Pasal 6 (c) mensyaratkan bahwa kejahatan Meski tindakan ini adalah retrospektif karena dikategorikan sebagai tindakan masa lalu yang belum diatur oleh hukum, berdasarkan pengertian ini, kejahatan Nazi tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan.

22

(60)

terhadap kemanusiaan adalah bagian dari ‘eksekusi dari perintah atau ada hubungannya dengan "kejahatan terhadap perdamaian dan kejahatan perang’, yang mana keduanya dapat dilakukan oleh aparat negara, atau warga yang menempati posisi tinggi sesuai jabatan.

4. Kejahatan terhadap kemanusiaan terdiri dari kejahatan yang paling berat dan tindakan kekerasan dan penganiayaan yang mengerikan (Crimes against humanity consist of the most severe and abominable acts of violence and persecution). Pasal 6 (c) Piagam Nuremberg membedakan antara dua jenis kejahatan terhadap kemanusiaan. Yang pertama adalah kejahatan yang terdiri dari pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan ‘tidak manusiawi lainnya’. Kejahatan jenis pembunuhan adalah kejahatan yang mengandung nilai atau dimensi ‘kekejaman dan kebiadaban.23

5. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan yang diderita oleh korban berdasarkan keanggotaan mereka dalam populasi dan bukan sebagai karakter individu (Crimes against humanity are inflicted on victims based on their membership in a population rather than their individual characteristics). Menurut Luban, suatu ketentuan atau undang-undang mendefinisikan kejahatan terhadap kemanusiaan memasukkan populasi sebagai salah satu

(61)

persyaratan persyaratan dari unsur kejahatan pembunuhan, serta persyaratan niat diskriminatif sebagai unsur kejahatan penganiayaan. Kedua persyaratan ini menentukan bahwa pada dasarnya, bahwa kelakuan buruk dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan hanya jika kejahatan ini merupakan bagian dari serangan terhadap sebuah kelompok atau populasi, tanpa termasuk individualitas dari kelompok. Untuk menjawab pertanyaan tentang seberapa besar jumlah orang dalam kelompok sebagai korban yang dimaksud sehingga ia dapat dikatakan sebagai suatu penduduk. Luban menyatakan: “… how large a group must be to constitute a population. Does the population requirement mean that the crimes are committed on a large "population-size" scale-in other words, that to qualify as crimes against humanity, they must be not just atrocities but mass atrocities? To support this reading of the population requirement, it might be argued that nothing less than mass horror justifies internationalizing the crimes and making them matters of worldwide rather than domestic concern.

Dari rumusan kategori tindakan crime against humanity yang di berikan oleh Luban di atas, ada implikasinya terhadap kasus-kasus kejahatan berat yang terjadi:

(62)

akan membawa pengertian kejahatan sebagai kejahatan dalam pengertian hukum nasional pula. Dengan kata lain, institusi yang ada dalam hukum nasional mempunyai wewenang untuk mengartikan kejahatan mana dapat dianggap sebagai suatu kejahatan kemanusiaan berdasarkan penafsiran nasional, bukan berdasarkan penafsiran hukum internasional.

(63)

Piagam Nuremberg yang belum banyak dipakai sebagai pertimbangan dalam mendapatkan pengertian ini.

3. Pada persyaratan ketiga yang mengatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh kelompok terorganisir secara politik yang bertindak berdasarkan perintah, menjadi perdebatan penting dalam pengadilan HAM di Indonesia. Piagam Nuremberg mensyaratkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh agen negara. Pasal 6 (c) ini juga mensyaratkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah bagian dari ‘eksekusi dari perintah atau ada hubungannya dengan "kejahatan terhadap perdamaian dan kejahatan perang’, yang mana keduanya dapat dilakukan oleh aparat negara, atau warga yang menempati posisi tinggi sesuai jabatan. Dalam Pasal 42 UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, tanggungjawab komando telah diatur dimana pasal ini menentukan bahwa komandan bertanggung jawab terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh bawahan di lapangan, baik dengan sepengetahuan komandan militer saat itu, dengan bentuk pembiaran atas adanya suatu dugaan pelanggaran oleh anak buah. Ketentuan ini sesuai juga sesuai dengan Pasal 1 Protokol Tambahan II 1977 yang menegaskan tentang yurisdiksi pengertian tanggungjawab komando dalam angkatan bersenjata pemberontak (dissident armed forces) atau kelompok-kelompok bersenjata terorganisasi lainnya.

(64)

Jenis kejahatan ini juga masih menjadi perdebatan, sebab syarat yang ditentukan dalam kejahatan dari bentuk kejahatan itu, tidak jelas diungkapkan dalam perundang-undangan. Pasal 6 (c) Piagam Nuremberg memang membedakan dua jenis kejahatan utama terhadap kemanusiaan yakni kejahatan pembunuhan serta tindakan yang ‘tidak manusiawi. Meski pengertian ini masih harus dijabarkan lagi ke dalam pengertian yang nyata, ketentuan dalam Piagam Nuremberg ini juga dilengkapi dengan ketentuan dalam Statuta Roma mengenai gambaran tindakan yang dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan.

(65)

masih tidak jelas, dan dapat berakibat pada penentuannya pengertian yang disesuaikan sesuai keadaan politik, atau ditentukan oleh pihak-pihak yang menguasai proses pengadilan dimana kejahatan ini disidangkan. Salah satu contoh sidang kejahatan kemanusiaan yang membebaskan terdakwa dapat dilihat pada persidangan kasus HAM Abepur yang mengajukan terdakwa Brigjen Pol. Drs Johny Wainal Usman (mantan Dansat Brimobda Papua) dan Kombes. Daud Sihombing SH (mantan Kapolres Jayapura) yang diputuskan tidak bersalah. Dalam dissenting opinion, Hakim Kabul Supriyadhie menyatakan bahwa, apakah terdakwa adalah perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau bukan dapat dilihat dari kenyataan bahwa adanya pasukan yang digerakkan di bawah perintah atasan untuk melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap orang-orang yang diduga melakukan penyerangan terhadap Markas Kepolisian Sektor Abepura dan dilengkapi dengan senjata dan amunisi, tidak dapat disangkal sebagai perbuatan yang memperlihatkan ‘perintah di bawah komando’, meski pada tindakan ini tidak ditemukan adanya surat penangkapan dan penahanan atau laporan pelaksanaan. Selain itu, kenyataan bahwa secara de facto Terdakwa berada di tempat kejadian pada saat bawahan melakukan pengejaran dan penangkapan, dan tidak melakukan pencegahan yang mengakibatkan kematian menjadi dasar yang kuat untuk menghukum Terdakwa atas pertanggungjawaban komandan.24

24

Lihat ‘Pendapat Hukum (Dissenting Opinion),’

(66)

2.3. Sejarah Singkat Konvensi Jenewa 1949 Dan Hubungannya Terhadap Konflik Bersenjata Non Internasional

Sejarah Konvensi Jenewa dimulai pada tahun 1862, menerbitkan bukunya, Memoir of Solferino (Kenangan Solferino), mengenai ketidakmanusiawaian (kekejaman) perang. Pengalaman Dunant menyaksikan perang mengilhaminya untuk mengusulkan:

1. Dibentuknya perhimpunan bantuan yang permanen untuk memberikan bantuan kemanusiaan pada masa perang, dan

2. Dibentuknya perjanjian antar pemerintah yang mengakui kenetralan perhimpunan tersebut dan memperbolehkannya memberikan bantuan di kawasan perang.

Usulan yang pertama berujung pada dibentuknya Palang Merah (Red Cross) sedangkan usulan yang kedua berujung pada dibentuknya Konvensi Jenewa Pertama. Atas kedua pencapaian ini, Henry Dunant pada tahun 1901 menjadi salah seorang penerima pertama kalinya dianugerahkan. Kesepuluh pasal Konvensi Jenewa Pertama diadopsi untuk pertama kalinya pada tanggal 22 Agustus 1864 oleh dua belas negara. peratifikasian Konvensi Jenewa Pertama oleh Amerika Serikat, yang akhirnya meratifikasi konvensi tersebut pada tahun 1882.

(67)

Referensi

Dokumen terkait

Apabila dihubungkan dengan risiko kredit dengan melihat adanya kecenderungan NPL bank yang menjadi sampel penelitian itu menurun sebesar negatif 0.01

menciptakan suatu pemikiran yang baru karena kita memiliki pengetahuan- pengetahuan yang didapat dari bahasa(Kosasih, 2013). Bahasa sebagai alat kontrol sosial di

diuji menurunkan jumlah telur yang diletakkan pada bibit tanaman brokoli yang diberi perlakuan 2-22 kali dibandingkan dengan kontrol.. Persentase hambatan

Berdasarkan hasil tindakan pada siklus I menunjukkan bahwa hasil belajar yang didapat belum mencapai indikator yang ditentukan untuk hasil belajar (≥50% dari

Jumlah perusahaan dari tahun ke tahun semakin meningkat. Untuk mempertahankan perusahaan Sumber Daya Manusia dalam sebuah perusahaan menjadi perhatian yang sangat

Hasil daripada kajian ini, permasalahan pelaksanaan Operasi Lawat, Nasihat dan Bayar dapat diperoleh dan tindakan penambahbaikan boleh dilakukan agar operasi ini

 Semua kriteria pelayanan MIS memerlukan perbaikan dengan menghasilkan nilai di bawah 0 atau belum baik, serta secara keseluruhan pelayanan MIS menghasilkan

dapat diimplementasikan jika ada kelebihan anggaran. MoSCoW merupakan sebuah aturan untuk mengelompokkan kebutuhan perangkat lunak sehingga pihak pengembang mengetahui