• Tidak ada hasil yang ditemukan

Political Economy and Environmental Law Analysis on Batam City Coastal Zone due to the Sustainable Development

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Political Economy and Environmental Law Analysis on Batam City Coastal Zone due to the Sustainable Development"

Copied!
315
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EKONOMI POLlTlK DAN HUKUM LINGKUNGAN

WILAYAH PESlSlR DAN LAUTAN KOTA BATAM

DALAM RANGKA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Oleh

:

EGG1 SUDJANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

A B S T R A K

EGG1 SUDJANA. Analisis Ekonomi Politik dan Hukum Lingkungan Wilayah Pesisir dan Lautan Kota Batam Dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan. Dibimbing oleh KOOSWARDHONO MUDIKDJO, DIDIN S. DAMANHURI, ROKEMIN DAHUFU, ASEP SAEFUDDIN, dan SIT1 SUNDARI RANGKUTI.

Potensi pembangunan Kota Batam sebagai salah satu kawasan pengembangan wilayah pesisir dan lautan yang menglami pertumbuhan sangat cepat, dapat menjadi penghela utama @rime mover) perekonomian bangsa. Namun, dari potensi pengembangan yang dimiliki, Kota Batam dihadapkan pada posisi dilematis, yaitu antara potensi strategis dan prospek cerah dengan kendala dan kecenderungan yang mengancam kapasitas berkelanjutan (sustainable capacity) kawasan tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu strategi pembangunan alternatif yang tidak hanya memperhatikan kepentingan generasi masa kini tetapi juga generasi yang akan datang atau yang dikenal dengan konsep pembangunan berkelanjutan (susfainable developnze~tt).

Penelitian ini bertujuan (1) menemukan kendala-kendala aspek ekonomi politik yang terdiri dari kondisi ekologis, sosial ekonomi budaya, dan sosial politik; dan aspek hukum lingkungan yang terdiri dari kondisi penegakan hukum lingkungan dan kelembagaan wewenang pengelolaan wilayah pesisir dan lautan Kota Batam dalam pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan, (2) Menemukan adanya pengaruh I

hubungan kebijakan ekonomi politik dan hukum lingkungan wilayah pesisir dan lautan Kota Batam terhadap pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan.

Keberhasilan kondisi ekologis ditentukan oleh tiga persyaratan yang harus tejamin, yaitu (1) keharmonisan spasial, (2) kapasitas asimilasi, dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Aspek ekonomi politik ditentukan oleh dua hal, yaitu kebijakan pembangunan yang dipilih oleh pemerintah, dalam ha1 ini adalah pengelola wilayah pesisir dan lautan Kota Batam, dan kultur birokrasi yang mewujudkan tata pemerintahan yang baik (goodgovernance). Sementara itu, aspek hukum lingkungan ditentukan oleh dua indikator, yaitu penegakan hukum lingkungan dan kelembagaan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu (I~liegrafed Coastal Management).

Keseimbangan zonasi Kota Batam yang hanya menyisakan 26% lahan tidak dibangun, tingkat pencemaran yang tinggi, dan penurunan kualitas air telah menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 30 tahun pembangunan di Kota Batam telah mengakibatkan kerusakan lingkungan.

Kerusakan lingkungan tersebut terkait dengan kebijakan pembangunan yang diambil, yaitu pertumbuhan ekonomi tinggi tidak diimbangi dengan pemerataan dan kultur birokrasi yang masih kental dengan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) serta tumbuhnya gejala Kompradorisasi. Di samping itu, lemahnya penegakan hukum lingkungan yang ditandai dengan minimnya kasus pelanggaran hukum lingkungan yang diproses secara administratif, pidana, maupun perdata (penyelesaian sengketa lingkungan), dan tejadinya duplikasi wewenang antara Otorita Batam dengan Pemerintah Kota Batam, ha1 itu semua menunjukkan bahwa pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam belum dapat diwujudkan atau dilaksanakan.

(3)

ABSTRACT

EGG1 SUDJANA. Political Economy and Environmental Law Analysis on Batam City Coastal Zone due to the Sustainable Development. Under Supervision of

KOOSWARDHONO MUDIKDJO, ROKEIMIN DAHURI, DlDIN S.

DAMANHURI, ASEP SAEFUDDIN, and SIT1 SUNDARI RANGKUTI

Potential development of Batam City as a Coastal Development Zone which undergoes very fast growth may act as a primary mover of the national economy. However, based on its potential, Batam City faces a dilemmatic position, between its strategic potential and bright prospects or constraints and tendencies threatening the sustainable capacity of the area. Hence,

an

alternative development strategy that fulfills the need of current and future generation, called the sustainable development, is required.

The purpose of this research were. 1). To determine constraints in political economy aspects consisting of ecological conditions, socio economy culture, and politic social, and environmental law aspects consisting of condition of environmental law enforcement and institutionalization of the authority to manage Batam City coastal zone for the implementation of sustainable development concept, 2) Determine the influence or association of policy in economy politic and environmental law of Batam City coastal zone toward the implementation of sustainable development concept

The success of ecological conditions was determined by three assured prerequisites, these were. (1) spatial harmony, (2) assimilation capacity, and (3)

sustainable exploitation. Political economy aspect was determined by two matters, which is the development policy chosen by government, in this case the authority of Batam City Coastal Zone, and the bureaucracy culture which produces good governance. Meanwhile, environmental legal aspect was determined by two indicators, that is environmental law enforcement and institutional of integrated coastal zone management.

The imbalance of Batam City zoning which only sets aside 26% of non utilized land, high pollution level, and decrease of water quality indicated that within 30 years period of Batam City development, serious environmental degradation had taken place

The environmental degradation was related to the inaccurate implementation of development policy which was characterized by high economy growth but was not accompanied by equal distribution and by the running of bureaucracy with high level of corruption, collusion, and nepotism, as well as by the development of Kontpradorisasi symptom. In addition to that, weak environmental law enforcement indicated by the limited number of cases of environmental law violation being legally processed (environmental lawsuit accomplishment), and the existence of ambiguous authority between Batam Authority and Batam City Local Government had shown that sustainable development of Batam City had not been undertaken or implemented yet.

(4)

SURAT

PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benamya bahwa segala pemyataan dalam disertasi saya yang bejudul : Analisis Ekonomi Politik dan Hukurn Lingkungan Wilayah Pesisir dan Lautan Kota Batam Dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan, merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan mjukannya Disertasi ini belum pemah diajukan untuk

memperoleh gelar pada program sejenis di perguman tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya

Bogor, April 2004

(5)

ANALISJS EKONOMI POLlTlK DAN HUKUM LINGKUNGAN

WlLAYAH PESlSlR DAN LAUTAN KOTA BATAM

DALAM RANGKA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

OLEH

:

EGG1

SUDJANA

Disertasi

Salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Disertasi : Analisis Ekonomi Politik dan Hukum Lingknngan

Wilayah Pesisir dan Lautan Kota Batam

Dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan

Nama Mahasiswa : EGG1 SUDJANA

Nomor Pokok : 975052

Program Studi : Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkuugau

Meuyetujui, 1. Komisi Pembimbiug

Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdio. M.Sc.

Prof.Dr.Didin S. Damanhuri. MS. DEA Prof.Dr.Ir.Rokbmin Daburi, MS

Anggota Anggota

Dr. Ir. A s e ~ Saefuddin. M.Sc. Prof. Dr. Siti Sundari Rangknti. S.H.

Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 3 Desember 1959 sebagai anak ke-6 (enam) dari 8 (delapan) bersaudara yaitu kakak : Etty Suharti, Elly Suhartini, Evi Suharlina, Neny Suharsih (almarhumah), Teuis Suharmini, adik : Ita Sukmayati dan Iis Siti Zuraedah dari pasangan Bapak H.A. Sukarna dan Ibu Hj. Djuju Arsanah.

Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta, lulus pada tahun 1985. Pernah belajar Sosiologi di Techniche Universeteit Berlin, Jerman pada tahun 1990-1991. Pada tahun 1994 penulis menamatkan pendidikan Program Pascasarjana S2 di Institut Pertanian Bogor (IPB), pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (PSL).

Penulis selain sebagai Dosen Tetap di F.H. Ibn Khaldun Bogor, dan Dosen Luar Biasa di Universitas Syahid Jakarta, juga pendiri sekaligus Presiden Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) periode 1998-sekarang. Penulis pernah menjabat ketua Umum PB HMI MPO periode 1986-1988, serta Kepala Departemen Lingkungan Hidup & HAM CIDES tahun 1995-1997. Kini menjabat Managing Partners Law Firm Eggi Sudjana and Partners (ES & Partners Law Firm) dan anggota Majelis Pakar DPP PPP periode 2003-2008, juga sebagai Tim Ahli Menakertrans R.I. sejak tahun 2004.

(8)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Swt., karena atas rahmat dan kanmia-Nya, penelitian yang dilaksanakan sejak Mei 2000, dengan judul: A~lalisis E k o ~ ~ o m i Politik dan Hukum Lingkungan Wilayah Pesisir d a n Lautan Kota Batam dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan dapat diselesaikan.

Peneliti menyampaikan terima kasih yang sebesar-besamya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing; Prof Dr. Didin S. Damanhuri, MS., DEA selaku Anggota Komisi Pembimbing> Prof Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing; Dr. Ir. Asep Saefbddin, M.Sc. selaku Anggota Komisi Pembimbing; Prof. Dr. Siti Sundari Rangkuti, S.H. selaku Anggota Komisi Pembimbing; yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan, serta tak lupa juga untuk Dr. Ir. Su jo n o Hadi Sutjahjo selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan yang telah banyak membantu kelancaran untuk selesainya perkuliahan saya ini, serta Prof Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc. dan Dr. Henry Bastaman selaku Dosen Penguji Luar Komisi Pembimbing, semoga amal kebaikan beliau mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah Swt.

2. Otorita Batam dan semua staff yang telah memberikan bantuan berbagai fasilitas, data, dan kemudahan selama penelitian.

3. Pemerintah Kota (Pemkot) Batam dan semua staff yang telah memberikan bantuan berbagai fasilitas, data, dan kemudahan selama penelitian.

(9)

5 Mereka yang memberikan bantuan dengan ikhlas baik berupa materi maupun teknis operasional penelitian disertasi in^, yaitu Bapak Imbang Djaya, Bapak Hariman Siregar, Bapak Ake Arif, Bapak Yansen Wiraatmaja, Bapak Mukhtar Wijaya, Bapak Trihatma Kaliman, Bapak Burhanudin, Bapak Ade Suhari, Bapak Sofyan Wanandi, Bapak Ismeth Abdullah. Bapak Joiner Kahar, dan Bapak Yunus Efendi Habibie

6 Mereka yang telah memberikan bantuan teknis operasional, yang tak terasa begitu besar bantuan yang diberikannya, yaitu Bapak Achyar Eldine, Bapak Muhammad Nuskhi, Bapak Alamsyah, Bapak Pungky, Bapak Dandi, Bapak Muhammad Fajar Rahardjo, Bapak Djoko Trijono, Muhammad Fachri, Abdul Azis Alhakim, Mohammad Subarkah, Khatimi Bahri, Agung Wibowo, Gunawan, Arafat Nasrullah, Rachmat Djatnika, Husein Assholeh, Bi Isem, dan Bi May.

7 Istri dan anak-anak tercinta, Asmini Budiani, Muhammad Alfath Tauhidillah, Hizbullah Assidiqi, Atikah Asysyahidah,Yusuf Mukhlisin, dan Jihar Gifari, atas semua pengorbanan perhatian, dan pengertiannya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan

Semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat bagi saya dan berbagai pihak yang memerlukan untuk pengembangan dan pembangunan berkelanjutan di masa yang akan datang.

Bogor, April 2004

(10)

DAFTAR IS1

Halaman

DAFTAR IS1

. . .

.

.

.

.

. . .

.

. . .

.. . . .

. . .

. .

. .

. . .

. . . .

. . .

.

. .

. . .

. .

.

iii

DAFTAR TABEL

.

.

.

. . .

.

. .

. . .

. . . .

..

. .

. . .

. . .

. . .

..

. . .

. . . .

,

.

.

. .

. . . . .. .. .

vii

DAFTAR GAMBAR

. .

....

. .

. . ....

..

..

. . . .

. . . .

. ... .

.

. . .

. . .

...

...

xii

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

.

. . .

.

-

.

. . .

. .

. . . .

. . . - - . . .

. .

. . . . .. .

1

1.2 Perumusan Masalah

. . .

.

. . .

.

. . .

. . .

.

.

.. . . .

5

1.3 Kerangka Pemikiran

. . .

.

.

.

. . .

. .

. . .

.

..

. . .

9

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

. . . .

.

. . .

. .

.

.

. . .. . . .

13

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian (Scope and Lintitation of The Study)

. . .

. .

. . .

. ..

.. . .

.

14

2. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Ekonomi Politik

. . .

.

.

.

. . .

.

. . .

.

. . .

. .

15

2.2 Hukum Lingkungan

. . .

. .

. . .

.

. . . .

. . .

47

2.2.1 Penegakan Hukum Lingkungan

. . . .

. . . .. .

. .

.

47

2.2.2 Kelembagaan Wewenang Pengelolaan

...

60

2.3 witayah pesisir dan ~~~t~~

...

63

2.4 Pembangunan Berkelanjutan

...

..

67
(11)

...

3.2 Metode Penelitian

3.3 Sumber Data dan Bahan Hukum

...

...

3.4 Teknik Pengumpulan Data dan Bahan Hukum

3.5 Pengolahan dan Analisis Data serta

Bahan Hukum

...

4

.

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

...

4.1 Luas. Posisi. dan Kondisi Geografis

4.2 Indikator Pembangunan Berkelanjutan

...

4.2.1 Dimensi Ekologis

...

4.2.1.1 Ekosistem Kota Batam

...

....

4.2.1.2 Produksi Pertanian dan Peternakan

...

4.2.1.3 Potensi Industri

...

4.2.1.4 Zonasi Kota Batam

...

4.2.2 Dimensi Sosial Ekonomi Budaya

4.2.2.1 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi

...

4.2.2.2 Laju Pertumbuhan Penduduk

...

...

4.2.2.3 Ketenagakerjaan

...

4.2.2.4 Problema Sosial

...

4.2.3 Dimensi Sosial Politik

4.2.3.1 Kebijakan Pembangunan

...

Kota Batam

4.2.3.2 Kultur Birokrasi Kota Batam

...

...

(12)

5

.

IIASlL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

...

5.1 Analisis Dimensi Ek~iogis

...

5.1.1 Zonasi Kota Batam

...

5.1.2 Kondisi Ekosistem Kota Batam

...

5.1.2.1 Hutan Dataran Rendah

...

5.1.2.2 Sungai

...

5.1.2.3 Hutan Rawa Air Tawar

...

5.1.2.4 Waduk

...

5.1.2.5 Muara dan IIutaii Payau

5.1.2.6 Pantai

...

...

5.1.2.7 Rentang Lumpur Pasang

...

5.1.2.8 Perairan Paiitai

5.1.2.9 Padang Lamu11 dan Terembu Karang

....

...

5.2 Analisis Dimensi Sosial Ekonomi Budaya

5.2.1 Pertumbuhan Ekonomi Versus

...

Pemerataan Ekonomi

...

5.2.2 Problema Sosial Budaya

...

5.2.2.1 Pemukiman Liar

...

5.2.2.2 Kesenjangan Sosial

...

5.3 Analisis Dimensi Sosial Politik

...

5.4 Analisis Dimensi Hulcum Lirigkurigan

...

5.4.1 Penegakan Hukum

(13)

Wilayah Pesisir dan Lautan Kota Batam

...

285 5.5 Pengaruh Kebijakan Ekonomi Politik dan

Hnkum Lingkungan Terhadap Pelaksanaan Konsep Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah

Pesisir dan Lautan Kota Batam

...

289

6. SIMPULAN DAN SARAN

...

6.1 Simpulan 291

6.2 Saran

...

292 D A ~ A R PUSTAKA

...

296

...

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman Perbedaan Pembangunan Berkelanjutan dengan

Pembangunan Konvensional

. . .

.

. .

.

.

. . . .. . . .

.

Nama-nama Pulau Besar di Kota Batam

. . . .

. . .

Nama-nama Jembatan dan Pulau-pulau

Yang Dihubungkan

. . .

.

. . .

.

.

. . .

. .

. .

. . .

Klasifikasi Habitat dari Segi Fungsinya

-.--.-...--

Lokasi dari Habitat Kota Batam yang Penting

...

Luas Hutan dan Persentase Hutan

Menurut Fungsinya

...

Nama-nama Sungai di Kota Batam

...-...--...

Nama Waduk di Kota Batam

...

Produksi Tanaman Palawija Dirinci menurut Jenis Tanaman Periode 1998-2002 (Ton)

. . . .

. . . .

. . .

.

Produksi Tanaman Sayur-sayuran Dirinci menurut Jenis Tanaman Periode 1998-2002 (Ton)

.

.

. .

. . . .

.

Produksi Tanaman Buah-buahan Dirinci menurut Jenis Tanaman Periode 1998-2002 (Ton)

.

.

. . .

.

. . .

Produksi Perikanan (Ton) dan Nilai Produksi

(Jutaan Rupiah) Menurut Jenisnya

(15)

Banyaknya Pekerja Pada Perusahaan Industri Pengolahan Dirinci Menurut Sub Sektor 2002

...

Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Batam

...

1996-2001

Perkembaugan Jumlah Tenaga Kerja menurut Sektor Ekonomi Yang Terdaftar di Disnaker

Kota Batam Keadaan Akhir Tahun 1998-2001

...

Persentase Penduduk Berumur 15 tahun ke atas Yang Bekerja menurut Tiugkat Pendidikan di

Kota Batam Hasil Sensus Pendudnk 2000

...

Nama-nama Pejabat Walikota dan Camat

...

Tahun 2002

Banyaknya Pegawai Negeri Sipil Pusat di Kota Batam yang Gajinya Dibayarkan melalni KPKN Batam Dirinci menurut Lembaga I

...

Departemen 1998-2002

Banyaknya Pegawai Negeri Sipil Pusat di Kota Batam yang Diperbantukan pada

Otorita Batam 2002

...

Banyaknya Pemilih yang Terdaftar dan

Perolehan Suara per Kecamatan dan

...

OPP Pada Pemilu 1999

(16)

Perbandingan Daerah Dibangun dan

...

Tidak Dibangun di Kota Batam

Physical and Chemical Parameters in Nearshore

...

Water Barelang Coastal Zone Profile Metals in Nearshore Water

...

Barelang Coastal Zone Profile Hasil Pengukuran Kualitas Air di

...

Perairan Kota Batam

Uraian Hasil Pengukuran yang Bersumber

dari PRC (1997)

...

Uraian Hasil Pengukuran yang Bersumber dari

Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam & Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan - Universitas Riau (2000) """"-'

Parameter Kualitas Perairan Kota Batam

yang Melebihi Standar

...

Persentase Cover Terumbu Karang yang Masih Hidup di Lokasi Karang yang Berkualitas Baik

...

Jenis-jenis Habitat yang Mengalami Degradasi di Wilayah Pesisir dan Lautan Kota Batam

...

Laju pertumbuhan Ekonomi Kota Batam,

...

(17)

Menurut Lapangan Usaha Tahun 1998-2001

...

ProliI Ekonomi Kota Batam

. . .

.. . .

.

.

Laju pertumbuhan Ekonomi Kota Batam, Rian, dan

Nasional 1996-2001(0h)

...

Perbandingan Inflasi Kota Batam, Riau,

dan Nasional 1996-2001

. . .

.

. . .

.

. . . ..

.

. . .

Perkembangan Inflasi Kota Batam menurut

Kelompok Pengelnaran Tahun 1996-2001

.

. .

. . .

.

Profil Investasi di Kota Batam

... ...-...-...

Kronologi Kebijakan Pemerintah di

Kota Batam

- .

.

. . . .

. .

. . .

.

. . .. . .

.

.

.

. . .. . .

. .

. . .

. . . .

. . .

. . .

Pendapatan Distribusi Pendapatan Per Kapita

Sebulan Tahun 1996

... .... ...

...

...

Pendapatan Distribusi Pendapatan Per Kapita Sebulan Tahun 1999

.-

...

Pendapatan Distribusi Pendapatan Per Kapita Sebulan Tahun 2002

....

...

-... ... - ...

.

...

Gini Ratio Riau dan Nasional

.

. . .

.

.

.

. . .

. .

Perubahan Distribusi (Persentase) Pembagian

"Pengeluaran" 1996/1999/2002

. .

.

. . .

.

.

. . .

Pendapatan Rata-Rata Penduduk di

Daerah Hinterland tahun 1996

. .

.

. . . .

.

. . . . .. . .

.

. .

. .

(18)

...

....

Otorita Batam tahun 1996 " 227

46 Perbedaan Pendapatan Berdasarkan Lapangan Usaha antara Luar Kawasan

...

Kota Batam dan Dalam Kawasan 228

47 Perkembangan Rumah Liar di Kota Batam

...

233 48 Struktur Perekonomian Kota Batam Menurut

Lapangan UsahaISektor Ekonomi 1996-2000

...-

238 49 Klasifikasi dan Kondisi Partisipasi

Aparat Pengambil Kebijakan terhadap

Kepedulian Lingkungan

...

250 50 Perusahaan dan Volume Produksi Penggalian Pasir

...

di Sekitar Pulau Batam 259

...

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Kerangka Pemikiran Penelitian : Pembangunan

Berkelanjutan Wilayah Pesisir dan Lautan Kota Batam Melalui Analisis Ekonomi Politik

...

dan Hukum Lingkungan

Gejala Kompradorisasi Pembangunan

...

di Kota Batam

Pets Kota Batam

...

Korelasi Antar Penentu dan yang Ditentnkau dalam

Pelaksanaan Konsep Pembangunan Berkelanjutan

...

Di Wilayah Pesisir dan Lautan Kota Batam

...

Metodologi Penelitiau

...

Habitat yang ada di Kota Batam

Proyeksi Pertumbuhau Ekonomi dan Pendapatan Regional Bruto (PDRB)

...

Di Kota Batam, 1995-2020

Penyebaran Penduduk Kota Batam Tahun 2000

...

Jnmlah Pencari Kerja di Kota batam 1997-2002

...

...

Rnmah Liar (Ruli) di Kota Batam
(20)

di Kota Batam

..

...

...

...

266

12 Pengaruh I Hnbungan Kebijakan Ekonomi Politik dan Huknm Lingkungan Terhadap Pembangunan

Berkelanjutan di Wilayah Pesisir dan

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kondisi Lahan Dibangun dan h h a n

...

Tidak Dibangun sebelum Penelitian (1994) 307

2 Kondisi Lahan Dibangun dan Lahan

(22)

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebuah fakta yang tidak terbantahkan bahwa Bangsa Indonesia memiliki kekayaan laut yang luar biasa. Secara fisik, Indonesia mempakan negara maritim terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau, dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, yakni 81.000 km. Wilayah lautannya meliputi 5,8 juta km2 atau 7 0 persen dari luas total teritorial Indonesia (Dahuri e f al. 1996).

Potensi pembangunan wilayah pesisir dan lautan Indonesia tersebut dapat menjadi penghela utama @rime mover) perekonomian bangsa, mulai dari sumberdaya alam yang dapat diperbarui (renewable) sampai yang tidak dapat diperbami (tion reilewable). Jasa-jasa lingkungan (e~n~irotrntental sen~ices) bempa pemandangan pantai dan laut yang indah serta menyejukkan, jasa-jasa lingkungan lainnya dari ekosistem wilayah pesisir dan lautan juga sangat potensial untuk membangun kembali perekonomian Indonesia yang saat ini terpumk.

(23)

Kenyataan tersebut membuktikan bahwa sektor perikanan yang mempakan salah satu dari sekian potensi wilayah pesisir dan lautan memiliki dasar yang kuat sebagai penghela utama (prime mover) perekonomian nasional, karena ditunjang oleh kekuatan yang bersumber dari potensi sumberdaya alam yang sangat besar.

Di sisi lain, dibalik peran strategis dan prospek cerah potensi wilayah pesisir dan lautan Indonesia tersebut, terdapat berbagai kendala dan kecendemngan yang mengancam kapasitas berkelanjutan (sustainable capacity) wilayah pesisir dan lautan dalam menunjang keberhasilan pembangunan. Kendala utama tersebut adalah ketidakmampuan pemerintah dan masyarakat dalam mengoptimalisasi potensi wilayah pesisir dan lautan Kota Batam. Akibatnya, sumbangan ekonomi dari sumberdaya pesisir dan lautan di Indonesia masih rendah dibandingkan negara-negara lain yang memiliki garis panjang pantai lebih kecil dari Indonesia.

Dapat dijadikan contoh, dengan garis panjang pantai sekitar 2.713 km, sektor kelautan Korea Selatan mampu menyumbangkan sekitar 37 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) negaranya. Sektor kelautan Jepang menghasilkan 54 persen dengan garis panjang pantai sekitar 34.386 km. Indonesia, dengan garis panjang pantai terpanjang di dunia setelah Kanada, yakni mencapai 81.000 km memberikan kontribusi ekonomi terhadap PDB hanya mencapai sekitar 20,06 persen.

'

Selain itu, disadari atau tidak antara pembangunan dan pelestarian lingkungan mempunyai titik perhatian yang berbeda. Kebanyakan model pembangunan bertumpu pada pertumbuhan ekonomi yang akhirnya menghasilkan

(24)

damp& yang tidak terduga (Rachbini,l996). Sementara itu, biaya sosial atau biaya lingkungan (social and erzi~ironmental cost) yang ditimbulkan tidak diperhitungkan dengan cemat.

Tarik menarik yang dilematis, antara peran strategis dan prospek cerah dari ekosistem wilayah pesisir dan lautan di Indonesia dengan kecendemngan pembangunan yang mengancam kapasitas berkelanjutan (sustainable capacity) ditengarai akibat pendekatan dan kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan selama ini dilakukan secara terpilah-pilah dan sektoral,( di samping tujuan pembangunan yang hanya mengejar "ecor~omic growth"). Padahal sifat (the nahfre) dari ekosistem wilayah pesisir dan lautan itu bercin integral (terpadu) oleh sebuah keterkaitan ekologis yang sangat dinamis serta kompleks, sehingga mengharuskan perencanaan dan pengelolaan pembangunan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan yang integratif dan terpadu (ail irrtegrated approach), sehingga kepentingan pembangunan dan pelestarian lingkungan bisa sinergis dan berjalan secara simultan menuju pembangunan berkelanjutan.

(25)

ditemukan pola yang tepat sesuai dengan kebutuhan mendesak pada saat ini (Rachbini, 1996).

Konsep pembangunan berkelanjutan di Indonesia menghadapi kendala utarna bempa pemerintahan yang tidak memiliki unsur-unsur "transparet~cy", '>public participation", "accountability", dan "respot~sibility", yang secara keselumhan disebut sebagai tata pemerintahan yang baik (good governance). Padahal, salah satu syarat utarna dari pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan adalah pemerintahan yang demokratis, di mana terdapat mekanisme peranserta masyarakat dan pengawasan setara.

Faktor lain yang juga penting dalam menyokong pembangunan berkelanjutan adalah adanya kepastian hukum dan kelembagaan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Saat ini, Indonesia memiliki Undang-undang Nomor 9 tahun 1985 tentang Perikanan, tetapi titik beratnya adalah perikanan dan belum mengatur tentang pengelolaan habitatnya, yaitu wilayah pesisir dan lautan sebagaimana digariskan oleh Agenda 21 (global) hasil KTT Bumi di Rio de Janeiro (1992).

(26)

Oleh sebab itu, dibutuhkan solusi konkret terhadap pilihan-pilihan sulit (trade o m antara pembangunan dan pelestarian lingkungan menuju terlaksananya konsep pembangunan berkelanjutan, maka diupayakan penemuan solusinya dalam disertasi ini melalui aspek ekonomi politik dan hukum lingkungan. Kedua aspek ini dijadikan dasar analisis karena tenvujudnya konsep pembangunan berkelanjutan sangat ditentukan oleh kedua aspek tersebut.

Salah satu kawasan pengembangan wilayah pesisir dan lautan yang mengalami pertumbuhan di segala bidang dengan sangat cepat adalah Kota Batam. Tipologi wilayah Kota Batam (disebut dengan nama "Kota Batam" berdasarkan Undang-undang Nomor : 53 tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Batam dan Undang-undang Nomor : 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah) yang progresif sangat menarik untuk dijadikan objek dan lokasi penelitian, khususnya berkaitan dengan upaya mewujudkan konsep pembangunan berkelanjutan (s~tstai~~able dew lop me^^) wilayah pesisir dan lautan, dilihat dari aspek ekonomi politik dan hukum lingkungan.

1.2 Perurnusan Masalah

(27)

visinya dengan menjadikan Batam sebagai Bandar Dunia yang madani (Pemkot Batam, 2001).

Perkembangan pembangunan ekonomi di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam yang meliputi juga wilayah Pulau Rempang dan Pulau Galang cukup menakjubkan. Dengan penduduk sekitar 400.000 jiwa dan GDP per kapita mencapai 4.039 US$ dibandingkan dengan rata-rata nasional yang hanya 1.000 US$ per kapita pada akhir 1997, angka ini tentu saja cukup tinggi dibandingkan wilayah-wilayah pembangunan lainnya (TPLH Otorita Batam, 2001).

Bahkan, menurut Ketua Otorita Batam Isrneth Abdullah, pertumbuhan ekonomi Kota Batam mencapai 13% yang berarti tempat dengan pertumbu'han ekonomi tertinggi di ~ndonesia.~

Akan tetapi, cita-cita besar wilayah pesisir dan lautan Kota Batam dalam menghadapi era millenium ketiga Abad XXI ini dihadapkan pada kendala dan permasalahan lingkungan, sosial, ekonomi dan budaya. Semua ini sebagai konsekuensi logis dari pesatnya pembangunan di Kota Batam, terutama bidang industri, perdagangan dan pariwisata yang kurang mengindahkan aspek kelestarian lingkungan dan pemerataan kesejahteraan. Lebih bunk lagi, "conipetitii~eness Batam dibandingkan Singapura, Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam, semakin turun."

Industrialisasi sebagai motor pembangunan wilayah pesisir dan lautan Kota Batam mempunyai kecendemngan menimbulkan pencemaran lingkungan yang tinggi daripada upaya-upaya pengendaliannya. Arah pembangunan yang selama ini dijalankan oleh pengelola wilayah pesisir dan lautan Kota Batam, yakni

- - -

Ismet Abdullah, Kepala Badan Olorita Baram,

(28)

Badan Otorita Batam (BOB) sangat berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (economic growth).

Menurut Rachbini (1996) pangkal dari distorsi alokasi sumber-sumber ekonomi tidak lain adalah situasi politik dan ekonomi politik yang dijalankan oleh Orde Ban, selama ini. Meskipun pertumbuhan dan 'keajaiban' ekonomi berhasil dikembangkan, tetapi pola korporatisme ekonomi secara bersamaan muncul ke permukaan, dengan ciri : a) sumber-sumber ekonomi dinikmati oleh hanya segelintir pelaku ekonomi yang dekat dengan kekuasaan, b) kepentingan ekonomi dan kepentingan politik menyatu di dalam format kolusi ekonomi, c) kekuasaan menjadi medium yang subur bagi reciistribtrtrve conibrrle di antara segelintir orang, d) perburuan rente semakin subur dalam situasi politik dan ekonomi yang tertutup.

Kebijakan ekonomi yang diambil oleh para policy makers bangsa ini pernah sampai pada satu kondisi yang oleh Robinson (1977) disebut sebagai kapitalisme birokrasi, yakni produk dari kekuasaan birokrasi patrimonial di mana demarkasi antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi sangat kabur.

Dapat disederhanakan, kebijakan ekonomi yang dipilih dalam pembangunan adalah konsep ekonomi konvensional. Dalam ha1 ini, konsep ekonomi konvensional memperlakukan barang modal buatan dan sumberdaya alam sebagai sesuatu yang sepenuhnya dapat saling menggantikan (rully substittrtable) (Constanza and Daly, 1992).

(29)

konsewasi sumberdaya alam, sepanjang hasil dari pemanfaatan sumberdaya alam dapat memperbesar barang modal dengan finansial lebih besar.

Sementara itu, pemanfaatan potensi wilayah pesisir dan lautan Indonesia begitu mendesak dan harus terus berlangsung, demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara proporsional. Pembangunan tidak hams berhenti. Pembangunan bukanlah sesuatu yang hams dan mesti mendatangkan kerusakan dan problem bagi umat manusia. Artinya, pembangunan juga bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak. Tentunya tergantung dari konsep atau dijadikan model pembangunan yang digunakan dan para pengambil kebijakan serta pelaku di dalamnya.

Saat ini, konsep pembangunan yang mampu menyelaraskan antara aktivitas ekonomi dan ketersediaan sumberdaya alam adalah pembangunan berkelanjutan, yakni sebuah konsep pembangunan yang tidak hanya mernperhatikan kepentingan generasi kini tapi juga generasi yang akan datang (Yakin, 1997).

Berdasarkan latar belakang yang telah diungkap inilah, dipandang sangat penting diteliti realisasi konsep pembangunan berkelanjutan di Kota Batam dalam mengelola potensi wilayah pesisir dan lautan, dengan analisis ekonomi politik dan hukum lingkungan.

(30)

Selanjutnya, rumusan masalah tersebut dapat dijabarkan dalam masalah- masalah berikut

.

a. Bagaimanakah realisasi pengelolaan wilayah pesisir dan lautan Kota Batam dari aspek ekonomi politik dalam kaitannya dengan dimensi ekologis, dimensi sosial ekonomi budaya, dan dimensi sosial politik, serta dari aspek hukum lingkungan dalam kaitannya dengan dimensi penegakan hukum lingkungan dan dimensi kelembagaan wewenang pengelolaan wilayah pesisir dan lautan ?

b Apakah terdapat p e n g a ~ h I hubungan yang signifikan antara kebijakan ekonomi politik dan hukum lingkungan terhadap pelaksanaan konsep pengelolaan wilayah pesisir dan lautan Kota Batam dalam rangka pembangunan berkelanjutan ?

1.3 Kerangka Pemikiran

(31)

Aspek ekonomi politik mencakup dua komponen. Pertama, adalah kebijakan ekonomi yang dipilih oleh pemerintah, dalam ha1 ini adalah pengelola Kota Batam.

Komponen aspek ekonomi politik yang kedua adalah kultur birokrasi. Kultur Birokrasi yang baik ( g o d goverrimice) adalah yang mengkondisikan ekonomi politik sehat dan mengantarkan kepada tenvujudnya pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan di wialayah pesisir dan lautan Kota Batam.

Jika kebijakan ekonomi yang diterapkan adalah kebijakan ekonomi yang fungsional, yakni kebijakan pembangunan yang tetap memperhatikan aspek lingkungan dan pemerataan selain mengejar aspek keuntungan, maka pembangunan berkelanjutan dapat diwujudkan di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam.

Sebaliknya, jika kebijakan ekonomi yang diterapkan adalah kebijakan ekonomi yang konvensional, yaitu kebijakan pembangunan yang hanya mengejar keuntungan materi semata dan mengabaikan aspek lingkungan, maka pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan tidak akan terwujud di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam.

Di sisi lain, aspek hukum lingkungan berperan penting dalam mewujudkan pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan, terutama sebagai dasar hukum kebijakan lingkungan dan sebagai dasar penegakan hukum lingkungan.

(32)

akan terlaksana dengan baik, sehingga pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan dapat dicapai.

Kebalikannya, jika penegakan hukum lingkungan dalam pembangunan Kota Batam terdapat kelemahan, atau dipengaruhi ketidakmampuan aparatur dan kesenjangan perangkat peraturan, maka dapat dipastikan pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan tidak akan tenvujud di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam.

Indikator kedua dari penegakan hukum lingkungan yang fungsional adalah kelembagaan wewenang pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu (Integrated Coastal Mariagement). Kelembagaan inilah yang benvenang mengelola pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (ern~iro~m~entl sert~ices) yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam secara menyeluruh (conprehensiw assessment).

Dengan demikian, aspek ekonomi politik dan hukum lingkungan merupakan penentu tenvujudnya pembangunan berkelanjutan di Kota Batam. Artinya, jika kedua aspek ini, yakni ekonomi politik dan hukum lingkungan memenuhi syarat yang telah ditentukan indikator-indikatornya, maka pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan akan t e w j u d di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam. Sebaliknya, jika ekonomi politik dan hukum lingkungan tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan, maka pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam tidak dapat diwujudkan

(33)

sistem ekologi dan sistem sosial dalam suatu ekosistem wilayah pesisir dan lautan Kota Batam dengan output pembangunan : pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan pemerataan kesejahteraan dan kelestarian lingkungan.

Berdasarkan uraian pemikiran tersebut, maka kerangka pemikiran penelitian ini yang sekaligus behngsi sebagai gambaran pengelolaan wilayah pesisir dan lautan Kota Batam secara skematis terlihat pada Gambar 1.

Keterangan :

I

- J

EKONOMI POLITM

b Kebijakan Ekonomi b Kultur Birokrasi

OUTPUT

PEMBANGUNAN

1. Pertumbuhan

SISTEM SOSIAL Ekonomi

2. Pemerataan Kesejallteraan

Penentu yang Diteliti

Aspek Keberhasilan Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Pesisir dan Lautan Kota Batam

. .

Alur Hubungan Antar Penentu

3. Kelestarian Lingkungan

:

[image:33.619.85.567.75.826.2]

-

- -

-

- -

-

+

Umpan Balik (feed back) HUKUM LINGKUNGAN

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian : Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Pesisir dan Lautan Kota Batam

Melalui Analisis Ekonomi Politik dan Hukum Lingkungan ?

b Penegakan Hukum

Lingkungan Wilayah Pesisir dan

b Keleinbagaan Lautan Kota Batam

Pengelolaan Wilayah Pesisir clan Lautan

(34)

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang, permasalahan, dan kerangka pemikiran, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Menemukan kendala-kendala aspek ekonomi politik yang terdiri dari kondisi ekologis, sosial ekonomi budaya, dan sosial politik; dan aspek hukum lingkungan yang terdiri dari kondisi penegakan hukum dan kelembagaan wewenang pengelolaan wilayah pesisir dan lautan Kota Batam dalam pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan.

2. Menemukan adanya pengaruh 1 hubungan kebijakan ekonomi politik dan hukum lingkungan wilayah pesisir dan lautan Kota Batam terhadap pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan.

Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat teoritik dan praktis:

1. Secara teoritik, pengkajian tentang pengelolaan wilayah pesisir dan lautan Kota Batam dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan disiplin ilmiah, khususnya ilmu ekonomi politik dan hukum lingkungan.

(35)

3. Sebagai referensi bagi peneliti berikutnya yang berminat terhadap masalah pengelolaan wilayah pesisir dan lautan ditinjau dari aspek lain.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbstasan Penelitian (Scope and Lintitation of the Sturly)

Ruang lingkup dan keterbatasan penelitian dimaksudkan untuk menyederhanakan dan mengarahkan penelitian yang dilakukan.

Batasan-batasan yang diberikan dalam Disertasi ini adalah mengacu kepada dua ha1

1. Deskriptif analisis terhadap Ekonomi Politik dan Hukum Lingkungan untuk wilayah pesisir dan lautan Kota Batam

(36)

2.

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Ekonomi Politik

Pendekatan ekonomi politik (polifical ecoiioniy) adalah suatu cara pandang perubahan sosial dimana inti dinamika perkembangan ekonomi secara sistematis dikaitkan dengan perubahan sosial dan politik, dan semua itu dikembalikan pengaruhnya pada proses ekonomi (Rahardjo, 1997).

Menurut Rachbini (1996) ekonomi politik biasanya diartikan sebagai analisis terhadap proses-proses politik yang berkaitan dengan bidang ekonomi politik. Batasan lainnya mengatakan bahwa ekonomi merupakan telaah sistematis terhadap hubungan antara proses ekonomi dan proses politik.

Pendekatan ekonomi politik dalam ha1 ini merupakan sebuah keniscayaan mengingat dalam masalah-masalah pembangunan atau perkembangan ekonomi akan selalu menyangkut peranan pemerintah, yaitu seberapa jauh dan dengan cara bagaimana pemerintah tersebut menjalankan model pembangunannya

Clark (1998) mengemukakan bahwa untuk memahami ekonomi politik, perlu dikemukakan perbedaan karakteristik politik dan ekonomi dengan mengacu pada hal-ha1 berikut :

(37)

mencapai kemakmuran, ekonomi mempunyai tiga dimensi tujuan utama, yaitu . efisiensi, pertumbuhan, dan stabilitas.

Di sisi lain, politik senantiasa dikaitkan dengan upaya-upaya untuk menetapkan dan melindungi hak-hak warga negara, sehingga warga negara tersebut dapat menerima dan mempertahankan hak-haknya (keadilan). Seperti halnya ekonomi, maka untuk mencapai keadilan, politik mempunyai tiga dimensi tujuan, yaitu: kebebasan individu, keadilan dalam distribusi manfaat dan beban, dan ketertiban sosial

Namun demikian, Clark (1998) rupanya menyadari bahwa membuat perbedaan antara ekonomi dan politik dengan semata-mata mengacu pada tujuan- tujuannya, adalah tidak memuaskan karena kemakmuran dan keadilan mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan sama sekali Hal tersebut diungkapkan dengan jelas oleh Clark sebagai berikut .

Holvever, distinguishing between econonrics and politics solely by referring to their respectise gods is ultinrately unsatisfactory because prosperity and justice are inextricably linked

(38)

Sebaliknya, suatu masyarakat yang adil dengan sendirinya akan memunculkan kemakmuran melalui penyediaan peluang-peluang, imbalan yang wajar, dan jaminan keamanan untuk mendorong produksi dan akumulasi kesejahteraan.

Dengan demikian, secara faktual, kemakmuran dan keadilan adalah saling terkait dan saling menguatkan. Oleh karena itu, membedakan antara proses ekonomi dan politik dengan mengacu pada perbedaan-perbedaan tujuannya, tidaklah konklusif Sebagaimana diketahui, baik ekonomi maupun politik keduanya terkait dengan upaya memajukan manusia dengan jalan mempertahankan kemakmuran dan keadilan Dalam konteks pembangunan Indonesia, tujuan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, pada hakikatnya merupakan refleksi dari keterkaitan yang sangat erat antara ekonomi dan politik, yang sekaligus merupakan proses dari ekonomi politik.

Dengan pemahaman sederhana, politik dapat diasosiasikan sebagai kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pemerintah. Sedangkan ekonomi senantiasa merujuk kepada kegiatan-kegiatan yang dilakukan di pasar. Pembedaan ini dapat didukung dengan fakta sederhana, misalnya kegiatan-kegiatan seperti kampanye, pemilihan umum, pembuatan peraturan, dikategorikan sebagai kegiatan politik (political activity), sedangkan kegiatan jual beli yang umumnya tejadi di p a w , merupakan kegiatan ekonomi (economrc activity).

(39)

Hal ini dapat dilihat misalnya pada konsep "transaksi" yang selalu berkonotasi ekonomik, namun kenyataannya kegiatan politik juga sering merupakan wujud dari transaksi atau saling tukar menukar manfaat dalam masyarakat. Misalnya, masyarakat sepakat mentaati peraturan-peraturan, sebagai konsekuensi dan prestasi atas perlindungan yang diberikan oleh pemerintah atas hak-hak masyarakat tersebut. Politisi memberikan program-program khusus atau memperjuangkan peraturan-peraturan yang menguntungkan sebagai imbalan atas pemberian suara oleh masyarakat konstituennya. Bahkan, dalam tahap-tahap tertentu, kegiatan pemerintah dapat dipandang sebagai serangkaian "tukar menukar" di sebuah pasar politik. Selanjutnya, pemerintah juga befingsi sebagai lembaga yang melakukan ekonomisasi ketika berusaha untuk mencapai tujuan- tujuan publik dengan menggunakan biaya minimum dan mengarahkan sumber daya kepada penggunaan yang optimal.

(40)

korporasi seringkali diterapkan untuk mernpengamhi kebijakan pemerintah, misalnya dalam konsepsi rancangan peraturan-peraturan ketenagakerjaan. Selain itu, banyak kegiatan pasar mempunyai konsekuensi publik dan menjadi isu politis yang menarik perhatian selumh masyarakat. Akhirnya, ketika pendapatan dan kesejahteraan telah terkonsentrasikan, kekuasaan orang kaya untuk memerintah orang lain menyerupai kekuasaan seorang diktator politik.

Berdasarkan yang tersebut sebelumnya, maka Clark menyimpulkan :

"sole reliatlce on disfiticf iinsiit~tfio~?al areas does not proi~ide at1 adequate

basis for drstitigliishitlg betweeti ecotiomics atidpolifics".

Dalam perspektif pelaku-pelaku utama, kegiatan ekonomi melibatkan orang-orang yang bertindak selaku individu yang otonom, sementara kegiatan politik mencerminkan upaya-upaya dari suatu masyarakat seluruhnya untuk secara kolektif berusaha mencapai tujuan-tujuannya. Perbedaan ini dapat diamati pada asal usul kata "ekonomi" dan "politik". Ekonomi berasal dari bahasa Yunani

(41)

Sebaliknya, kata "politik" berasal dari kata Yunani polis, artinya masyarakat. Menurut Aristoteles, kehidupan publik dari suatu masyarakat adalah arena di mana kebebasan yang benar dan pembangunan manusia dilakukan. Meskipun kegiatan ekonomi penting bagi kehidupan manusia, namun gaga1 untuk mengikat manusia untuk bekerjasama dan membuat keputusan kolektif yang didasarkan atas argumentasi, dialog, persuasi, dan kompromi.

Membedakan antara ekonomi dan politik dengan mengacu pada pelaku utama adalah bersifat problematik karena cairnya batas yang memisahkan antara iklim publik dan privat. Dalam masyarakat demokratik, pilihan kolektif masyarakat hams mencerminkan akumulasi pilihan individu. Banyak di antara tujuan publik justm dipilih individu misalnya lewat voting atau pengambilan suara Selanjutnya pilihan publik seringkali mencerminkan pengaruh individu- individu secara pribadi dan kelompok yang digunakan melalui lobi, kontribusi kampanye, dan kontrol terhadap seleksi calon untuk jabatan publik

Sebaliknya, kualitas kehidupan publik mempengamhi tujuan-tujuan yang dipilih atau dapat diraih oleh individu-individu. Lingkungan sosial dan material membentuk bahasa, citra, keinginan-keinginan, dan tujuan-tujuan orang yang hidup di dalamnya. Berdasarkan interaksi antara iklim privat dan publik, perbedaan antara individu dan masyarakat sebagai pelaku utama tidak sepenuhnya dapat dipertahankan.

(42)

dan pengaturan sumberdaya, pengelola konflik, pengalokasian beban dan manfaat, dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia. Namun demikian, meskipun terdapat tumpang tindih antara politik dan ekonomi, keduanya masih dapat dianalisis sebagai proses yang berbeda.

Pendekatan ekonomi politik sangatlah dibutuhkan untuk mengetahui gambaran pembangunan yang akan diterapkan di sebuah kawasan. Hal ini dikarenakan masalah pembangunan pasti melibatkan pemerintah dan para pengusaha. Perbedaannya hanya terletak pada seberapa jauh dan dengan cara bagaimana. Untuk masalah tersebut, paling tidak terdapat dua aliran utama, yaitu yang ingin mempertahankan sejauh mungkin keterbatasan peranan pemerintah dan menyerahkan perkembangan pada masyarakat sendiri, terutama dunia bisnis, dan yang lain menghendaki peranan cukup aktif dari pemerintah dalam melakukan intervensi yang efektif guna mengatur perekonomian demi kepentingan umum.

Aliran pertama lebih menekankan kebijakan pemerintah dalam mengatur peredaran uang yang disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan ekonomi serta membatasi peranannya sebagai 'polisi lalu lintas' dan penegak hukum yang melindungi kebebasan individu dan kemerdekaan ekonomi sesuai dengan prinsip

Lnissez faire laissez passer.

(43)

untuk menciptakan atau mempertahankan stabilitas ekonomi dan kesempatan ke j a penuh.

Kedua aliran ini, maupun aliran ketiga (campuran antara yang pertama dan kedua) menjadi pilihan bagi negara-negara berkembang dalam menjalankan roda pembangunan di negerinya masing-masing. Untuk itu, analisis pendekatan ekonomi politik sangat dibutuhkan untuk mengetahui gambaran pembangunan yang dipilih oleh sebuah negara

Dalam pandangan Rachbini (1996) analisis ekonomi politik lebih ditandai oleh dua kubu pemikiran, yakni versi yang liberalis dengan penekanan terhadap bekerjanya mekanisme pasar karena alasan-alasan logika ekonomi yang rasional. Sementara itu, kelompok Marxis lebih menekankan pada telaah terhadap kekuasaan, yang banyak mempengaruhi hasil-hasil proses politik, yang berkaitan dengan ekonomi

Menurut Staniland (1985), proses pembangunan di suatu negara mungkin bisa mengikuti salah satu di antara kelompok bawah ini

I . Orthodox liberalism, yang sangat mengagungkan individualisme, baik perilaku dan kepentingannya. Pandangan terhadap individu seperti ini bersifat sangat fundamental sehingga masyarakat hanya dipandang sebagai agregasr dan sintesis seluruh kepentingan individu masyarakatnya.

(44)

juga sangat membentuk individu-individu di dalamnya, baik dari sifat, kepentingan, dan perilakunya

3. Economisnt, yang pandangannya lebih mirip pada liberalisme, yang melihat bahwa proses politik mempakan hasil dari proses-proses non politik. Jika kelompok liberal memandang proses politik sebagai h a i l dari sintesis proses interaksi individu, maka economism melihat proses politik tersebut mempakan muara dari kekuatan-kekuatan yang ada (socral forces). Kekuatan-kekuatan tersebut mungkin adalah kelompok kelas-kelas

(classes), seperti dalam pandangan Marxisme atau kepentingan kelompok (interest ofgrotip) dalam pandangan teorisi pluralis.

4. Polrticrsnt yang melihat bahwa stmktur politik lebih menjadi penentu yang membangun kepentingan-kepentingan tertentu dan dapat memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomi tertentu.

Untuk kasus Indonesia, wajah Indonesia masa Orde Baru sangat ditentukan oleh Soeharto dan gaya pemerintahannya sebagai kepala negara Mengingat pengamhnya yang demikian besar menjadikan para pengagumnya menempatkan Soeharto di luar proporsinya, yaitu pada posisi kerangka teori tertentu. Sehingga ekonomi politik yang melingkupi era pembangunan di kawasan manapun di negeri ini, termasuk wilayah pesisir dan lautan Kota Batam, tidak bisa lepas dari pengamh ekonomi politik yang diterapkan selama masa Orde Bam tersebut.

(45)

2000). Hal ini terutama dalam periode Rehabilitasi Ekonomi (1966-1969). Dalam berjibaku memperbaiki ekonomi Indonesia pasca Pemerintahan Soekamo, Orde Baru menetapkan Industrialisasi Substitusi Impor (ISI) untuk menggerakan pembangunan di Indonesia. Misi ini nampaknya membuahkan hasif optimal dengan berdatangannya negara-negara maju untuk mengalirkan utang luar negeri berbunga lunak dengan jangka pengembalian yang panjang. Semua itu untuk keperluan pembangunan ekonomi secara berkesinambungan. Dalam catatan Dawam Rahardjo, selama Pelita I, rata-rata bantuan luar negeri yang dipakai mencakup 70.7% dari anggaran pembangunan (Mubyarto, ed. 1981).

Keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia yang selalu ditandai dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi dan harapan terhadap 'tetesan rejeki' ternyata tidak mampu mensejahterakan rakyat kebanyakan. Aktivitas pembangunan ekonomi yang dipilih oleh Orde Baru, yakni liberalisasi ekonomi terbukti menghasilkan tingkat kesenjangan yang tinggi Selain itu, aktivitas pembangunan ekonomi yang dipilih Orde Baru cenderung menciptakan praktik- praktik penyimpangan ekonomi, seperti KKN, "kompradorisasi", kalangan penguasa parasit, dan sejenisnya. Aktivitas pembangunan ekonomi seperti ini terkategorikan sebagai model pembangunan konvensional, lawan dari model pembangunan hngsional.

(46)

sehingga memungkinkan pemerintah untuk mengurangi defisit APBN secara drastis. Kemudian pemerintah mengendalikan tingkat inflasi dari 600% lebih pada akhir tahun 1966 menjadi 15% dua tahun kemudian. Namun, strategi ekonomi yang "berorientasi ke luar" ini mengharuskan berbagai penyesuaian yang tidak menguntungkan bagi rakyat. Program stabilisasi yang drastis (yakni APBN berimbang, kredit ketat, penyesuaian harga, dan lain-lain) mengakibatkan kenaikan harga yang luar biasa hampir pada setiap jenis barang dan jasa serta kemacetan sektor-sektor produktif selama periode 196711968,

Penggunaan barang-barang impor dalam program stabilisasi telah menyingkirkan barang-barang produksi dalam negeri dari pasar, dan pada gilirannya menyebabkan banyak kebangkrutan dalam masyarakat bisnis pribumi. Kesemuanya ini akhirnya menjadi awal krisis-krisis berkepanjangan di rezim Orde Baru yang mencapai klimaks pada krisis moneter di tahun 1997 dan akhirnya pada tahun 1998 mengakibatkan tumbangnya rezim Orde Baru tersebut.

Masih dalam studi Mas'oed, rezim Orde Baru dikatakannya dipimpin oleh militer sebagai suatu lembaga bekerjasama dengan para "teknokrat" sipil. Selama periode 1966-1971, rezim Orde Barn dipimpin oleh Angkatan Darat, sebagai inti lembaga militer. Sampai pertengahan 1970-an, Departemen Pertahanan dan Keamanan (Hankam) mempunyai peranan yang dominan dan menentukan dalam proses politik.

(47)

belum sepenuhnya dapat mensejahterakan seluruh lapisan masyarakat. "Politik Benteng" di zaman kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Muhammad Nasir dengan Menteri Perdagangan Sumitro Djojohadikusumo malah menimbulkan praktik perkoncoaan yang disebut "Pengusaha Ali-Baba", "Pengusaha Konco" yang malah menguntungkan segelintir orang saja, yakni pengusaha keturunan Cina (Damanhuri, 2000).

"Politik Integrasi" Orde Baru yang berkelimpahan dana hutang luar negeri, PMA (penanaman modal asing) dan rezeki Migas (minyak bumi dan gas) hanya bisa dimanfaatkan pengusaha keturunan Cina akibat praktik birokrasi yang tidak sehat. Kebijakan ekonomi Orde Baru secara sadar atau tidak sadar telah memberikan peluang dan menyuburkan konglomerasi dan kompradorisasi.

Pemerintah Orde Baru juga mengizinkan beberapa pengusaha (tipe birokrat, klien maupun Cina) mendominasi perekonomian Indonesia selama Orde Baru. Didukung oleh hak-hak khusus yang diberikan oleh pemerintah, para wiraswastawan tersebut mengendalikan setiap sektor utama perekonomian Indonesia. Lebih dari itu, hubungan khusus mereka dengan negara mernbuat menarik para investor asing yang menjalankan usaha di Indonesia dan mudah menciptakan kerja sama dengan kapitalis internasional dalam bentuk proyek patungan. Secara bertahap, terbentuklah hubungan segitiga "negara-kapital internasional-usahawan domestik" di Indonesia (Mas'oed, 1989).

(48)

inilah yang hams direvisi demi mewujudkan kehidupan yang lebih baik, yakni dengan mewujudkan aktivitas pembangunan ekonomi yang fungsional Vitrzctional

acti~~ity de~~elopmenl) yakni dengan menerapkan pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan.

Dalam konsep pembangunan fungsional, seluruh ekosistem dianggap sebagai faktor penentu dalam pembangunan. Konsep pembangunan fingsional dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan menggunakan empat macam barang modal yang kesemuanya menentukan pembangunan ekonomi (kemajuan dan kemakmuran) suatu bangsa, yaitu: (a) barang modal buatan, (b) sumberdaya alam, (c) sumberdaya manusia, dan (d) modal sosial (social capilaf). Barang modal buatan (mais~ac/r~red capital) mencakup benda-benda (barang) hasil rakitan (buatan manusia), seperti kapal penangkap ikan, pabrik, irigasi tambak, dan lainnya (Dahuri, 2003).

Konsep pembangunan fungsional menganggap sumberdaya alam bukan hanya lahan (larld), tetapi sebagai suatu kesatuan ekosistem yang terdiri atas sumberdaya alam (seperti lahan, air bersih, hutan, sumberdaya ikan, dan mineral) beserta segenap fingsi-fingsi lingkungan yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian. konsep pembangunan hngsional yang menggunakan pendekatan berkelanjutan mensyaratkan agar keempat barang modal tersebut dimanfaatkan secara sinergis agar mampu dimanfaatkan secara maksimal tanpa mengurangi kelestarian ekosistem kawasan tersebut.

(49)

Dalam sebuah masyarakat jelas kegiatan dari suatu pelaku ekonomi tidak mungkin dapat tedepas dari pelaku ekonomi yang lain

Dalam sebuah aktivitas pembangunan ekonomi akan selalu ada dampak baik positif maupun negatif, yang timbul dan diterima oleh pihak lain sebagai konsekuensi logis dari adanya kegiatan suatu pihak atau suatu pelaku ekonomi. Hal inilah yang dalam perbendaharaan ilmu ekonomi dikenal dengan istilah "eksternalitas" (Irawan & Suparmoko, 1999)

Dalam perkembangan aktivitas pembangunan ekonomi yang begitu pesat, dampak yang disebut eksternalitas ini menjadi perhatian yang serius yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perorangan swasta-pun, eksternalitas ini sudah mulai diperhitungkan, apalagi aktivitas pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar, khususnya yang bergerak dalam bidang industri. Hal itu dikarenakan telah munculnya kecenderungan masyarakat untuk ikut mengawasi aktivitas pembangunan ekonomi, di samping pemerintah

Sementara itu, industrialisasi didefinisikan sebagai pembangunan kegiatan pengolahan bahan baku dan bahan penolong untuk dijadikan barang jadi (produk) (Irawan & Suparmoko, 1999)

(50)

jasa, dihasilkan pula limbah produksi yang berupa sisa-sisa bahan yang tidak dapat diolah dan juga limbah lain yang berupa produk sampingan seperti air limbah, bau busuk dan zat-zat kimia yang mencemari tanah, udara, dan air. Selain limbah produksi yang membahayakan kehidupan manusia tersebut, industrialisasi yang tidak terkendali juga akan menimbulkan keresahan-keresahan sosial sebagai dampak atau apa yang dikenal dengan eksternalitas.

Sifat pokok dari perekonomian di negara sedang berkembang adalah "ekonomi dualistis", yaitu industri ekspor yang terpadu dengan perekonomian dunia, yang sudah menggunakan sistem modern, dan di samping itu ada kegiatan- kegiatan yang masih mempunyai tingkat subsisten (pertanian tradisional dan kerajinan). Kedua sektor kegiatan ini memprodusir barang-barang untuk pasar lokal dan terpisah dari perekonomian pasar modem.

Adapun. asal mula ekonomi dualistis ini tidak terlepas dari adanya perluasan pasar yang dilakukan oleh negara-negara industri pada akhir abad ke-

19. Kecuali Jepang yang sekarang ini telah menjadi negara industri, seluruh Asia, Afiika, dan Amerika Latin pada saat lalu merupakan daerah koloni dari negara- negara Barat dan USA yang mula-mula mereka peruntukkan untuk berdagang tetapi kemudian semakin memperluas daerah kekuasaan ekonominya. Kondisi ini diperparah dengan penguasaan modal dan teknologi di tangan negara-negara maju.

(51)

dari pengaruh paham ekonomi konvensional yang saat itu begitu dominan diterapkan.

Sementara itu, menurut Sasono & Arif (1984), dalam pandangan kaum Neo-Mamis, proses modernisasi yang terjadi biasanya berlangsung karena adanya jaringan kerjasama antara elite lokal dan elite luar, baik yang memiliki modal maupun kekuasaan. Dalam kerjasama inilah muncul suatu kelas yang disebut dengan "kelas komprador", yakni sebuah jalinan kejasama antara elite luar dengan elite lokal yang memiliki kekuasaan demi menjaga kelangsungan investasi para pemilik modal.

Kompradorisasi atau upaya pelancaran dan perlindungan terhadap modal dari luar oleh elite yang berkuasa merupakan salah satu gejala yang muncul akibat te rjadinya aktivitas pembangunan ekonomi yang tidak hngsional (disfinlctior~al actMfy deitelopnten~t) akibat pengamh pembangunan ekonomi konvensional. Gejala lain yang juga muncul adalah konglomerasi, dan praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme Dalam proses modernisasi yang menggunakan pendekatan ekonomi konvensional kelas komprador seringkali hadir akibat budaya politik dan kultur birokrasi yang melindungi para pemilik modal demi sebuah pembangunan yang seringkali memgikan masyarakat domestik dan lingkungan hidup

Kehadiran kaum komprador ini tidak jauh berbeda dengan kehadiran konglomerat, "pengusaha Ali-Baba" di masa Orde Baru dan sejenisnya.

(52)

maupun unsur yang tak sengaja (by chance) selama pejalanan dari pola PJP (Pembangunan Jangka Panjang) I (1964-1994). Disebut secara sengaja, karena alasan hampir satu-satunya pada masa awal Orde Barn - karena keterbatasan pemerintah kala itu - maka tesisnya adalah 'siapa yang paling siap' maka kepada merekalah diberikan pelbagai fasilitas, yakni berupa kemudahan kredit, lisensi impor, perlindungan tarif dan non tarif, subsidi, monopoli, dan seterusnya. Dalam kondisi demikian, maka akhirnya kita menyaksikan lahirnya 200-300 konglomerat yang sama sekali tidak ditopang oleh lapisan pelaku menengah yang memadai di bawahnya.

Kebijakan ekonomi Orde

Baru

dengan pendekatan ekonomi konvensional secara sadar maupun tidak sadar telah memberikan peluang kepada hanya 200

orang pelaku konglomerat yang sebelum krisis menguasai sekitar 76% aset atau sekitar 62% omzet ekonomi nasional. Kondisi ini bisa terjadi karena proses /rade

08

yakni terjadinya alokasi sebagian besar sumber-sumber daya nasional baik sumber finansial (anggaran pusat dan daerah, kredit perbankan, proyek-proyek PMA, dan dana yang berasal dari utang luar negeri) maupun lainnya (manajemen, teknologi, informasi, lahan, SDM) terhadap para pelaku big brrsirress dan bersifat mega-proyek. Sementara itu para pelaku yang lain, yakni sekitar 99,8% mengalami misalokasi dan dislokasi sumberdaya nasional (Damanhuri, 2000).
(53)

Jadi, dalam ha1 ini terdapat praktik "kongkalikong" atau kolusi di antara para pejabat benvenang dengan para pengusaha "nakal" untuk mengeksploitasi sumberdaya alam secara ilegal atau seolah-olah legal dengan memanfaatkan potensi lokal atau rakyat kecil. Praktik perekonomian semacam ini termasuk pada kategori aktivitas pembangunan yang disfungsional

Sebagaimana diungkapkan Robinson (1997) bahwa kelas kapitalis (baca : klien) sangat tergantung kepada penguasa (patron) karena penguasa itulah yang memberikan berbagai fasilitas seperti proteksi, subsidi, serta terciptanya ~ t ~ k t u r pasar yang monopolistik dan oligopolistik yang sangat menguntungkan pengusaha atau kelas kapitalis tersebut. Sementara itu, keuntungan yang dinikmati penguasa adalah berupa imbalan atau rente dari kelas kapitalis. Inilah yang oleh Budiman (1995) disebut dengan negara otoriter birokratik rente

Dengan demikian, secara ringkas dapat dikatakan bahwa kapasitas negara untuk mengelola urusan bersama dan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat banyak, sesungguhnya telah dilucuti oleh kepentingan privat kelompok-kelompok bisnis kuat tertentu, akibat iklim yang mendukungnya

(54)

komprador ini tetap lancar dan mendapat perlindungan. Gejala kompradorisasi pembangunan tersebut dapat ditunjukkan oleh G a m b a r 2.

I

Masyarakat Sekitar

(Stakeholder)

I

-

Kerunkan lingkungan

-

T u m ~ y a Pcnglwsilan

-

KeSenjangan sosial

Elite Investasi Proses Hasil

Pe~nodal Pembangunan Pernbangunan

Batam

Profit (Keuangan)

Surplus

*

Pejabat Pernerintah

(Birokrasi) Ko~nisi

*

Aparat Penegak Hukuln

*

Elite Pengusalla Lokal

G a m b a r 2. Gejala Kompradorisasi Pembangunan d i Kota Batam

[image:54.613.81.542.104.747.2]
(55)

penguasa dan masyarakat Hal ini ditandai dengan tingginya tingkat kompsi di hampir seluruh jajaran birokrasi. Akhirnya, budaya korupsi dan suap ini menumbuhsuburkan praktik-parktik kompradorisasi yang hanya akan menghasilkan kaum komprador yang mengemk kekayaan sumberdaya alam dan menyisakan kemsakan lingkungan dan kemiskinan pada masyarakat sekitar (stakeholders)

Kompradorisasi juga dipersubur dengan kultur ekonomi politik yang diwarnai oleh Polrlrsasr Brrokrnsr yang berwujud pengkaplingan departemen- departemen oleh partai-partai berkuasa. Tentu saja politisasi birokrasi semacam ini berakibat langsung pada kinerja birokrasi Profesionalisme birokrasi tidak dapat berjalan kerena keseluruhan organnya sendiri sudah menjadi lembaga politik. Lebih kacau lagi, karena setiap departemen dikuasai partai politik tertentu dan mempunyai orientasi politik berbeda-beda, Akhirnya perekonomian akan berjalan sesuai dengan kepentingan-kepentingan para pemilik modal dengan dukungan dan perlindungan para elite politik lokal yang berkuasa

(56)

seharusnya menjadi potensi luar biasa untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan bangsa Indonesia hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang saja. Rakyat kebanyakan hanya disisakan dampak akibat kerusakan lingkungan yang tejadi.

Buruknya kultur birokrasi dalam mengelola sumberdaya wilayah pesisir dan lautan juga ditandai dengan tidak adanya keterpaduan antar pelaku pembangunan sekaligus pengelola di kawasan tersebut, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat. Tidak adanya keterpaduan antar pelaku pengelola terlihat dalam berbagai kegiatan pembangunan di kawasan pesisir dan lautan yang dilakukan secara sektoral oleh masing-masing pihak, bahkan sering tejadi tumpang tindih antar pelaku pengelola. Lemahnya keterpaduan ini, diakibatkan belum adanya sistem atau lembaga yang mampu mengkoordinasikan setiap kegiatan pengelolaan sumberdaya kelautan dalam satu kewenangan. Akibatnya, potensi wilayah pesisir dan lautan tidak tumbuh dan berkembang secara optimal. Selain itu, akibat kebijakan sektor perekonomian tidak berjalan secara sinergis dengan sektor kelautan, maka sektor perekonomian lain yang terkait juga tidak mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara optimal dan berkelanjutan.

Sementara itu. Kamarsyah (2003) dalam pandangan yang lebih komprehensif, mengemukakan 6 (enam) ha1 kondisi aktual birokrasi nasional yang selama ini berada pada proporsi yang tidak menggembirakan, yaitu (1).

(57)

mempejuangkan kenaikan anggaran setiap tahun (acapkali mengesampingkan target hngsional) karena kenaikan anggaran tersebut berkorelasi positif dengan keberhasilan pimpinan instansi; (5) lembaga birokrasi kurang efektif dan kurang melayani kepentingan publik; (6) selama 32 tahun berada di bawah bayang- bayang "single majority," dimana birokrasi pemerintahan tidak berkesempatan membangun dirinya, sehingga tidak peka terhadap lingkungannya dan gaga1 dalam merespon perubahan.

Berkaitan dengan kondisi aktual birokrasi nasional tersebut, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah menetapkan paradigma baru dalam penataan birokrasi pemerintahan yaitu " c i ~ i l seriice reform" dimana reformasi birokrasi tersebut diarahkan pada strategi (1) Penataan peranan dan kelembagaan pemerintah, (2) Penataan Ketatalaksanaan; (3) Penataan sistem dan mekanisme pengawasan, dan (4) Penataan pelayanan pemerintah kepada publik (Kamarsyah, 20

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian : Pembangunan Berkelanjutan
Gambar 2. Gejala Kompradorisasi Pembangunan di Kota Batam
Tabel 1. Perbedaan Pembangunan Berkelanjutan dengan
Gambar 5. Metodologi Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Par cons´equent, pour prouver qu’il s’agit d’une alg`ebre d’octonions (d´eploy´ee), il suffit de montrer que la forme quadratique q permet la composition.. Ce dernier point

Loa Janan Ilir di Kota Samarinda (Jl. Bung Tomo Gg. Samarinda Seberang) , kami Pokja ULP pada kegiatan di lingkungan Pemerintah Kota Samarinda, mengundang Perusahaan

Seluruh pertanyaan telah dijawab dan penjelasan yang bersifat merubah dokumen pengadaan atau belum tercantum dalam dokumen pengadaan akan dituangkan ke dalam

Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Tengah Bidang Pengembangan Standar Nasional Pendidikan (PSNP) mengadakan Pelelangan Jasa Konstruksi dengan Pascakualifikasi

Tulisan ini secara garis besar mendiskusikan kehadiran sarana transportasi kereta api yang menggantikan alat transportasi lokal untuk mendukung kegiatan eksploitasi

“I thought maybe the Grool was chasing you,” he confessed, his face turning red.. “Daniel, don’t worry,”

Bentuk kata yang menggunakan kata dasar bahasa Indonesia dengan prefiks di- yang seharusnya menggunakan kata dasar dalam bahasa Jawa dengan konfiks di-1-i,

paling penting melakukan tugasnya sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki. Inquiri berasal dari suatu ide yang komplek, yang berarti banyak hal bagi banyak