• Tidak ada hasil yang ditemukan

Study of Chemoreaction Drying with Calcium Oxide and Its Impact on the Stress and Damage of Saccharomyces cerevisiae Culture

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Study of Chemoreaction Drying with Calcium Oxide and Its Impact on the Stress and Damage of Saccharomyces cerevisiae Culture"

Copied!
298
0
0

Teks penuh

(1)

DENGAN KALSIUM OKSIDA SERTA DAMPAKNYA

TERHADAP STRES DAN KERUSAKAN KULTUR

Saccharomyces cerevisiae

N O V E L I N A

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

NOVELINA. Kajian Pengeringan Kemoreaksi dengan Kalsium Oksida Serta

Dampaknya terhadap Stres dan Kerusakan Kultur Saccharomyces cerevisiae.

Dibawah bimbingan : Soewarno T. Soekarto, Betty Sri Laksmi Jenie, Susono

Saono, dan Maggy T. Suhartono.

Penelitian ini bertujuan menghasilkan kultur Saccharomyces cerevisiae kering

yang mempunyai viabilitas tinggi. Proses pengeringan didasarkan pada reaksi kimia

antara CaO dengan air yang menghasilkan panas, kemudian dimanfaatkan dalam proses

pengeringan. Proses pengeringan terjadi pada suhu kamar dalam ruangan yang kedap

udara dari luar, sehingga diharapkan kultur kering yang dihasilkan mempunyai viabilitas

tinggi. Demikian pula dengan mengurangi faktor penyebab stres dan kerusakan sel

selama penyimpanan, maka viabilitas kultur kering tetap terjaga. Parameter-parameter

dalam penentuan stres dan kerusakan kultur kering adalah meliputi penentuan pola

isotermi sorpsi kultur kering, penentuan pola stres dan kematian, perobahan morfologi

dan mikrostruktur sel serta analisis kebocoran dan kerusakan sel.

Hasil pengeringan menunjukkan faktor ketebalan lapisan dan rasio CaO yang

digunakan akan mempengaruhi kecepatan laju pengeringan. Ketebalan lapisan krim

khamir 1.3 mm dan penggunaan CaO sebanyak 10:1 (w/w) akan menurunkan kadar air

dari 80 % (berat basah) menjadi 4.42 % (berat kering) dalam waktu 24 jam. Viabilitas

kultur kering yang dihasilkan adalah 72 %.

Hasil penentuan isotermi sorpsi air (ISA) dari kultur khamir kering pada RH

(11-97%), diperoleh kurva yang identik dengan pola ISA makanan kering, yaitu sigmoidal

dan terdiri dari 3 area air terikat (primer, sekunder dan tersier). Di daerah air terikat

primer (a

w

0-0.25), kebanyakan dari sel kering dalam keadaan dorman. Sementara itu di

daerah air terikat sekunder (a

w

0.25-0.77), kebanyakan sel dalam keadaan stres,

sedangkan pada daerah air terikat tersier (a

w

diatas 0.77) kebanyakan sel sudah mati.

Pengamatan morfologi dan mikrostruktur dengan SEM dan TEM, mengungkapkan

bentuk sel dari kultur segar adalah bulat telur dan mempunyai permukaan halus. Dinding

sel bening dan menyatu dengan membran sitoplasma, serta inti sel terlihat jelas. Di

daerah air terikat primer bentuk sel kering berubah dari bulat telur sampai bulat, dinding

sel tebal dan padat, permukaan halus dan inti sel terlihat jelas. Di daerah air terikat

sekunder, bentuk sel adalah bulat, permukaan keriput, dinding sel tipis dan rusak pada

beberapa bagian, dan inti tidak jelas. Di daerah air terikat tersier, sel menempel satu

sama lain dan, tidak berbentuk. Sebagian besar sel rusak, dan sel yang masih utuh

sitoplasmanya berongga dan inti sel tidak terlihat.

Analisa kerusakan dan kebocoran sel dilakukan terhadap tingkat daya hantar

listrik, kadar protein, asam amino, nukleat dan nukleotida serta kadar ion K

+

dan Ca

++

dari sel khamir. Hasil analisa menunjukkan terjadi peningkatan kebocoran dan

kerusakan sel akibat peningkatan kadar air dari kultur kering. Analisis daya hantar

listrik menunjukkan total ion-ion yang dilepas sel yang rusak kedalam supernatan sel.

Protein dan asam amino komponen utama penyusun sel. Nukleat dan nukleotida

komponen dari inti. Sedangkan K

+

dan Ca

++

menunjukkan terjadi kebocoran pada

dinding sel dan membran. Kerusakan ini akan mengurangi viabilitas kultur.

(3)

NOVELINA. Study of Chemoreaction Drying with Calcium Oxide and Its Impact on the Stress and Damage of Saccharomyces cerevisiae Culture.

Advisor : Soewarno T. Soekarto, Betty Sri Laksmi Jenie, Susono Saono and Maggy T. Suhartono

The objective of the research was to study the parameters of the drying process and their effects on the viability of dried Saccharomyces cerevisiae culture. These parameters include the pattern of water isotherm sorption, the critical water contents, stress and mortality on a variety of bound water conditions, as well as morphological and micro-structural changes of damaged and leaked stressed cells.

Layer thickness of the sample and high ratio used of calcium oxide speed up the drying process. Using a calcium oxide to sample ratio of 10:1 (w/w) for drying, 1.3 mm thickness of sample with 78-80% water content required 24 hours to dry to a final 4.42 % water content. The viability and cell content of the final product were 72% and 109 cells per g dried sample respectively.

A sigmoid curve sorption isotherm pattern consist of 3 bound water regions of the dried yeast culture was similar to that of common dried foods. In the primary area most of the dried cells were dormant, in the secondary area the majority of the cells were under stress condition, while in the tertiary area a lot of them died. Likewise, the viability curve up to aw 0.2 was very low as due to high number of dormant cells, in between aw 0.2 - 0.6 sharply increased due to decreasing number of dormant cells, in between aw 0.6-0.75 sharply decreased due to increasing number of dying cells, and above 0.75 the cells was dying off to totally died.

As shown by SEM observation, normal cells were oval-shaped with a smooth surface. In the primary region the dried cells showed and oval to round shape and small number of deformed cells, in the secondary region wrinkled surface and some number of deformed cells, while in the tertiary region the cells were sticky with wrinkled surface and most cells were damage. Meanwhile, TEM observation showed that the cells in the primary region had a well-defined, thick and solid cell wall with smooth surface with visible nuclei. In the secondary region the cells showed a wrinkled surface with less visible nuclei, while the wall was thin and cracked in some places. In the tertiary region the most number of cells were damaged, the remaining defined cells were flat, empty, irregular shape and no nuclei were visible.

(4)
(5)

KAJIAN PENGERINGAN KEMOREAKSI

DENGAN KALSIUM OKSIDA SERTA DAMPAKNYA

TERHADAP STRES DAN KERUSAKAN KULTUR

Saccharomyces cerevisiae

NOVELINA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Disertasi : Kajian Pengeringan Kemoreaksi dengan Kalsium

Oksida Serta Dampaknya Terhadap Stres dan

Kerusakan Kultur

Saccharomyces cerevisiae Nama : Novelina

NIM : 975039

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Soewarno T. Soekarto, MSc Prof. Dr.Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS K e t u a A n g g o t a

Dr. Susono Saono, APU Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono A n g g o t a A n g g o t a

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto,MSc

(7)

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, dengan selesainya penulisan disertasi yang

berjudul : Kajian Pengeringan Kemoreaksi Dengan Kalsium Oksida dan Dampaknya

Terhadap Stres dan Kerusakan Kultur Saccharomyces cerevisiae, sebagai salah satu

syarat untuk memperoleh gelar doktor di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pasca

Sarjana IPB.

Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih yang mendalam

disertai penghargaan yang setinggi-tingginya kepada tim pembimbing yaitu Bapak

Prof. Dr. Soewarno Tjokro Soekarto, MSc, sebagai ketua; ibu Prof. Dr. Ir. Betty Sri

Laksmi Jenie, MS; bapak Dr. Susono Saono, APU; dan ibu Prof. Dr. Maggy T.

Suhartono sebagai anggota. Segala saran, petunjuk, perhatian bapak dan ibu sejak dari

perencanaan dan pelaksanaan penelitian hingga proses penulisan disertasi ini telah

memperkaya pengetahuan penulis pada umumnya dan bidang pangan pada khususnya.

Terima kasih kepada bapak Prof. Dr. Rizal Syarief, DSAE, sebagai penguji luar

komisi pada ujian tertutup, bapak Dr. Ir. Ridwan Tahir, MS dan ibu Wellyzar

Syamsuridzal, Ph.D, sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka. Atas saran,

komentar dan masukan yang diberikan, saya pahami sebagai bentuk lain dari

pembimbingan menuju kesempurnaan disertasi ini.

Terima kasih kepada orang tua Bapak Syafri Irsal, BA (Alm) dan ibu Halimah

yang telah menghantarkan penulis untuk dapat menempuh pendidikan S3 ini, serta

kepada adik-adik atas dukungan moril dan doa yang penulis terima. Kepada suami Ir.

Rory Sutanto, MS, terima kasih atas segala dukungan dan semangat yang telah

diberikan selama menempuh pendidikan S3 ini. Kepada putri-putriku yang selalu

menjadi semangat dalam semua kegiatan : Mirsa, Citra, Sinta, dan sikecil Raina yang

hadir diakhir penyelesaian studi ini, terima kasih atas perhatian, dukungan kasih

sayang, pengorbanan, dan doa yang selalu kalian berikan selama ini.

Terima kasih kepada Rektor Universitas Andalas, Dekan Fakultas Pertanian

(8)

Penulis dilahirkan pada tanggal 7 November 1957 di kota Padang, Sumatera Barat, merupakan anak ke empat dari sepuluh putra-putri bapak Syafri Irsal, BA (almarhum) dan ibu Halimah.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri VIII Padang pada tahun 1971, sekolah menengah pertama di SMP Yos Sudarso Padang pada tahun 1974 dan sekolah menengah atas SMA Negeri I Padang pada tahun 1977. Pada tahun 1977 penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang dan selesai pada tahun 1983. Pada tahun 1989 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang magister sains program studi Teknologi Pasca Panen, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan selesai pada tahun 1993 dibawah bimbingan Prof. Dr. Soewarno Tjokro Soekarto, Prof. Dr. Ir. Wahjuddin Tjiptadi (almarhum) dan Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, MSc. Selanjutnya ada tahun 1997 penulis melanjutkan ke proram doktor pada program studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(9)

menempuh pendidikan pada jenjang S3.

Terima kasih pada BPPS Departemen Pendidikan Nasional atas dukungan

pembiayaan selama masa studi. Terima kasih pada pimpinan dan staf laboratorium

dilingkungan Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fateta IPB, PAU Pangan dan Gizi

IPB, PAU Bioteknologi IPB atas bantuan fasilitas dalam pelaksanaan penelitian.

Terima kasih pada pimpinan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Jakarta dan

khususnya pimpinan dan staf laboratorium Mikroskop Elektron atas bantuan fasilitas,

kepercayaan dan kesempatan yang diberikan dalam mempelajari persiapan sampel

hingga penggunaan Mikroskop Elektron Transmisi (TEM). Juga terima kasih pada

pimpinan laboratorium Mikrobiologi dan laboratorium Mikroskop Elektron

US-NAMRU 2 Jakarta atas bantuan fasilitas dan kesempatan mempelajari TEM dan SEM.

Terima kasih kepada bapak dan ibu teknisi yang telah banyak membantu selama

berlangsungnya penelitian, khususnya bapak Mulyono, mbak Ari, mbak Vivi dan juga

rekan-rekan IPN yang banyak memberi dukungan selama masa studi serta kepada

semua pihak yang belum sempat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga bantuan, dukungan dan perhatian bapak dan ibu yang penulis terima,

mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata semoga disertasi

ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Juni 2005

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Proses Pengeringan ... Pengeringan Kultur Mikroba ... 11

Kultur Mikroba Kering ... 15

Stres Kering pada Mikroba ... 19

Khamir Saccharomyces cerevisiae ... 25

Kesetimbangan Kadar Air dan Sorpsi Isotermi Air ... 31

BAHAN DAN METODE ... 38

Tempat dan Waktu ... 38

Bahan dan Alat ... 38

Pelaksanaan Percobaan ... 41

Analisis dan Pengamatan ... 53

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

Produksi kultur Saccharomyces cerevisiae ... 56

Pengeringan Kemoreaksi dengan Kalsium Oksida ... 57

Isotermi Sorpsi Air dan Pengaruh Bahan Pelindung ... 67

Pola Stres dan Kematian Kultur Kering ... 76

Perubahan Morfologi dan Mikrostruktur Kultur Kering ... 86

Kebocoran Sel ... 95

PEMBAHASAN UMUM ... 109

KESIMPULAN DAN SARAN ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 117

LAMPIRAN ... 128

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Total impor khamir kering aktif, khamir kering tidak aktif dan

otolisat khamir dari tahun 1998-2003 (BPS 1999 s/d 2004) ... 31

2. Tahapan penelitian, tujuan dan hasil yang diharapkan dari setiap

tahap penelitian ... 44 3. Ringkasan percobaan dari setiap tahap penelitian ... 45 4. Beberapa jenis larutan garam jenuh dan nilai RH yang dihasilkan .... 49 5. Pengaruh tebal lapisan pengeringan terhadap kadar air akhir setelah

pengeringan 48 jam dan viabilitas kultur kering yang dihasilkan ... 62 6. Pengauh rasio pemakaian CaO dan contoh yang dikeringkan terhadap

kadar air akhir dan viabilitas kultur kering yang dihasilkan ... 64 7. Karakteristik khamir kering aktif komersial dan hasil penelitian ... 66 8. Hasil perhitungan kadar air kesetimbangan kultur kering

Saccharomyces cerevisiae pada berbagai pada berbagai nilai aw... 68 9. Perhitungan air terikat primer pada kultur kering kamir dengan model

BET ... 71 10.Perhitungan air terikat sekunder pada kultur kering kamir dengan

model analisis logaritma ... 73 11.Hasil perhitungan air terikat primer, sekunder dan tersier dari kultur

kering Saccharomyces cerevisiae ... 75 12.Hasil pengamatan pertumbuhan kultur kering Saccharomyces

cerevisiae pada berbagai nilai aw ... 78

13.Hasil pengamatan terhadap daya hantar listrik, total ion K dan Ca serta senyawa protein dan asam nukleat yang dilepas dari sel khamir

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kurva pengeringan khamir secara mekanis dengan metode

terowongan : Wk1, kandungan air terikat (%); Wp , kadar air khamir setelah pengeringan (%); periode I menunjukan perpindahan air bebas, periode II menunjukan perpindahan

air terikat (Beker dan Rapoport 1987) ... 6

2. Kesetimbangan kadar air khamir tanpa kemasan terhadap kelembaban relatif pada suhu ruang (Dobbs et al. 1982) ... 19

3. Kebocoran dinding sel dan membran plasma S. cerevisiae akibat perlakuan detergen (Y-PER) pembesaran 12 000X (Nowicki dan Liermann, 2002) ... 21

4. Jumlah S. aureus yang tumbuh dari contoh makanan pada aw berbeda setelah 32 hari penyimpanan pada 21.7 0C (Soekarto, 1979)... 22

5. Saccharomyce cerevisiae dengan askus berisi spora dewasa, SW adalah dinding spora, PrM adalah promembran dan N adalah inti (Anonymous, 2004a) ... 24

6. A. Skema sel khamir (Van der Rest et al. 1995), B. struktur dinding dan membran sel khamir (Watson et al. 1987) ... 27

7. Struktur dinding dan membran sel bakteri, (a) Gram positif, (b) Gram negative, (c) lapisan peptidoglikan (Cano dan Calome, 1986) ... 28

8. Peta stabilitas bahan makanan (Labuza et al. 1970)... 34

9. Klasifikasi kurva isotermi sorpsi air Labuza, 1984)... 35

10.Bentuk umum kurva ISA dengan tiga zona air terikat (Chaplin, 2004) ... 37

11.Kontruksi lemari pengering kemoreaksi dengan 5 rak beserta bagian-bagiannya (Modifikasi Julianti, 2003)... 40

12.Diagram alir produksi sel khamir ... 43

13.Diagram alir penelitian ... 46

14.Diagram Alir pengeringan kemoreaksi ... 47

15.Kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae ... 56

16.Penurunan kadar air dari kultur khamir dengan tiga tingkat ketebalan selama pengeringan kemoreaksi. Lama pengeringan untuk mencapai kadar air 5 % pada ketebalan 1.3 mm adalah t1 dan ketebalan 2.6 adalah t2. ... 56

17. Isotermi sorpsi air kultur khamir kering (Saccharomyces cerevisiae) 69

18.Plot isotermi BET dari kurva isotermi air kltur kering khamir Saccharomyces cerevisiae ... 71

19.Bentuk linear dari isotermi sorpsi kultur kering khamir, terdiri dari air terikat sekunder dan tersier ... 73

20.Jumlah koloni(log N) kultur kering khamir pada daerah air terikat primer, sekunder dan tersier, setelah ditumbuhkan pada media PDA. 79

21.Pola stress dan kematian kultur kering Saccharomyces cerevisiae terhadap aw... 81

(13)

23.Log jumlah stres (N) khamir kering pada kadar air kesetimbangan

masing-masing daerah air terikat ... 85 24.Persentase stres khamir kering pada kadar air kesetimbangan

masing-masing daerah air terikat ... 85 25.Perubahan morfologi sel dari kultur kering Saccharomyces

cerevisiae pada masing-masing fraksi air, berturut-turut (A) kultur segar, (B) kultur kering pada fraksi air terikat primer,

(C) pada air teikat sekunder, dan (D) pada air terikat tersier ... 88 26.Dinding sel khamir yang pecah dan terbuka ... 89 27.Perubahan mikrostruktur pada kultur kering S. cerevisiae (A) kultur

segar, (B) kultur kering pada fraksi air terikat primer, (C) pada air

teikat sekunder, dan (D) pada air terikat tersier ... 92 28.Penampakan ultra struktur sel kering Saccharomyces cerevisiae

dengan TEM, pembesaran 145 000 kali. Keretakan membrane

plasma (tanda panah) (Beker dan Rapoport, 1987) ... 94 29.Hubungan linear peningkatan daya hantar listrik dengan kadar air

kesetimbangan dari kulutr kering khamir ... 99 30.Hubungan daya hantar listrik dengan viabilitas kultur kering

Saccharomyces cerevisiae... 100 31.Pengaruh berbagai air terikat pada kultur kering Saccharomyces

cerevisiae terhadap jumlah ion-ion K+dan Ca++ yang dilepas... 102 32.Hubungan jumlah ion-ion K+ dan Ca++ yang dilepas terhadap

viabilitas kultur kering Saccharomyces cerevisiae ... 103 33.Pengaruh kondisi air terikat terhadap kebocoran material yang

keluar dari sel yang bocor dan terdeteksi pada panjang gelombang

260 nm dan 280 nm spektrofotometer uv ... 106 34.Hubungan viabilitas kultur kering Saccharomyces cerevisiae

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Pengaruh ketebalan lapisan pengeringan terhadap kadar air

kultur Saccharomyces cerevisiae... 129 2. Pengaruh penggunaan kapur Api (CaO) pada proses pengeringan

kultur Saccharomyces cerevisiae dengan ketebalan lapisan

1.3 mm terhadap kadar air ... 129 3. Data hasil penimbangan kultur kering Saccharomyces cerevisiae

setelah penyimpanan dalam desikator pada berbagai RH ... 130 4. Data hasil penimbangan kultur kering Saccharomyces cerevisiae

+ 2% agar-agar setelah penyimpanan dalam desikator pada

berbagai RH... 131 5. Data hasil penimbangan kultur kering Saccharomyces cerevisiae

+ 2 % CMC setelah penyimpanan dalam desikator pada

berbagai RH ... 132 6. Total koloni kamir kering dari berbagai daerah air terikat, yang

ditumbuhkan pada media PDA dan PDA + 7.5% NaCl... 133 7. Total koloni kamir kering + 2% agar-agar dari berbagai daerah air

terikat, yang ditumbuhkan pada media PDA dan PDA + 7.5% NaCl 134 8. Total koloni kamir kering + 2% CMC dari berbagai daerah air terikat, yang ditumbuhkan pada media PDA dan PDA + 7.5% NaCl ... 135 9. Data pengukuran daya hantar listrik (DHL) dari air rendaman

sel yang bocor karena pengaruh berbagai aw ... 136 10.Data hasil analisis K+ dan Ca++ yang tertinggal dari sel yang

bocor karena pengaruh berbagai aw penyimpanan ... 136 11.Data absorbansi material yang keluar pada air rendaman sel yang

bocor dan terdeteksi pada panjang gelombang 260 dan 280

spektrofotometer uv ... 137 12.Penentuan air terikat primer dengan persamaan BET dari kurva

sorpsi isotermi ... 138 13.Penentuan air terikat sekunder dengan persamaan logaritma

kurva sorpsi isotermi ... 139 14.Penentuan air terikat tersier dengan menggunakan persamaan

polynomial kurva sorpsi isotermi pada ordo 2 ... 140 15.Penentuan air terikat tersier dengan menggunakan persamaan kuadrat 141 16.Komposisi kimia dari kapur api ... 142 17.Contoh perhitungan kadar protein dan asam nukleat berdasarkan

Hukum Beer (Penner, 1994) ... 143

(15)

Latar Belakang

Saccharomyces cerevisiae adalah salah satu jenis khamir yang cukup

banyak digunakan sebagai inokulum berbagai proses industri, antara lain dalam

produksi roti, cake, minuman beralkohol, dan industri etanol. Penggunaan

lainnya adalah untuk menghasilkan produk-produk seperti biomassa, ekstrak

khamir, autolisat, komponen flavor, protein sel tunggal dan sebagainya. Kultur

starter yang banyak digunakan untuk mendukung pertumbuhan industri-industri

tersebut adalah dalam bentuk kering, karena akan memudahkan cara

penanganan, penyimpanan, distribusi dan transportasi. Selanjutnya juga

memungkinkan penggunaan starter baru pada setiap lot fermentasi, sehingga

fermentasi lebih terkendali dan kualitas produk yang dihasilkan lebih terjamin.

Kebutuhan khamir kering untuk mendukung industri-industri tersebut

cukup besar dan sampai sekarang produk khamir masih diimpor dari beberapa

negara. Total impor Indonesia terhadap produk khamir kering aktif selama tahun

2003 adalah 2.277.538 kg dengan nilai 5.464.114 US$ (BPS 2004). Jumlah dan

nilai impor ini dari tahun ketahun cenderung terus meningkat dengan

berkembangnya industri makanan di Indonesia (data pada Tabel 1). Diantara

negara-negara yang terbesar nilai impornya ke Indonesia adalah Hongkong,

China, Australia, Amerika Serikat, Turki, Inggris, Belanda, Perancis, dan Belgia.

Metode pengeringan kultur pada saat ini telah semakin berkembang seperti

perkembangan teknologi lainnya, diantaranya adalah metode pengeringan vakum

(vacuum drying), pengeringan semprot (spray drying), pengeringan beku (freeze

drying) dan metode fluidized. Metode pengeringan dengan suhu rendah atau

pengeringan dingin seperti pengeringan beku dan pengering vakum mempunyai

potensi cukup baik dalam mempertahankan viabilitas kultur mikroba, sehingga

mutu dan kestabilan produk yang dihasilkan cukup tinggi. Pengeringan dingin

juga dapat berlangsung dengan udara ambien di daerah yang beriklim sangat

kering, namun proses pengeringannya sangat lama.

Salah satu metode pengeringan dingin yang cukup potensial tetapi belum

(16)

atau kemoreaksi. Prinsip pengeringan absorpsi adalah dengan menggunakan

absorben yang akan menyerap uap air dari bahan basah, contoh absorben yang

sering digunakan adalah gel silika. Sedangkan pengeringan kemoreaksi adalah

dengan menggunakan kalsium oksida (CaO) yang terkandung didalam kapur api.

Kalsium oksida (CaO) kemudian bereaksi dengan uap air didalam ruang

pengering dan menghasilkan energi panas. Energi panas dipakai untuk

meng-uapkan air dari bahan lembab, sehingga bahan menjadi kering. Selama proses

pengeringan kemoreaksi berlangsung suhu udara didalam ruang pengering tetap

rendah, sehingga tidak merusak bahan yang sensitif oleh panas.

Kajian tentang CaO pada kapur api telah diteliti di Institut Pertanian

Bogor, diantaranya untuk pengeringan absorpsi terhadap biji lada (Halim 1996

dan Wulandari 2002), mempelajari karakteristik pengeringan dengan CaO

(Fuadi 1999), pengeringan absorpsi benih tomat (Suzana 2000). Disamping itu

juga digunakan untuk pengeringan brem padat di daerah lembab seperti Bogor

(Hersasi 1996), laju pengeringan absorpsi dengan kapur api terhadap filet ikan

(Asikin 1998), dan kajian perilaku pengeringan dengan CaO untuk materi hidup

(Julianti 2003).

Menurut hasil penelitian Julianti (2003) diketahui CaO tidak memiliki

isotermi sorpsi air, dan pengikatan air oleh CaO bukan secara absorpsi tetapi

melalui reaksi kimia (kemoreaksi). Selanjutnya juga diketahui bahwa CaO

merupakan bahan yang sangat reaktif terhadap air dan pada saat penentuan kadar

air kesetimbangan dengan berbagai nilai RH dalam desikator, ternyata CaO

bereaksi dengan semua air yang terdapat dalam desikator. Oleh sebab itu istilah

pengeringan kemoreaksi lebih tepat digunakan dalam proses pengeringan yang

menggunakan CaO (komponen utama pada kapur api).

Pengeringan kemoreaksi lebih ditujukan untuk mengeringkan bahan-bahan

yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan sangat sensitif oleh panas seperti

kultur mikroba yang merupakan komponen hidup, pengeringan bahan volatil

untuk mencegah kehilangan minyak atsiri, dan untuk mempertahankan viabilitas

dalam pengeringan benih.

Proses pengeringan kultur mikroba menyebabkan sel kehilangan air yang

(17)

di dalam sel sehingga proses metabolisme dan aktivitas seluler berhenti atau sel

berada pada masa istirahat (dorman). Kondisi kering ini juga menyebabkan sel

mengalami stres, tetapi bila dipindahkan pada medium tumbuh yang sesuai

mikroba akan dapat tumbuh normal kembali. Disamping proses pengeringan,

faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan stres pada mikroba adalah

pemanasan, pembekuan, aktivitas air (aw) rendah, radiasi, senyawa anti mikroba,

konsentrasi oksigen rendah dan sebagainya.

Sama dengan produk pangan kering lainnya, kultur kering bersifat sangat

higroskopis sehingga kadar airnya akan meningkat. Hal ini terjadi karena kultur

kering dapat menyerap uap air dari udara lembab dilingkungan penyimpanannya.

Peningkatan kadar air dapat memulai reaksi-reaksi kimia dan biokimia didalam

sel, sehingga kestabilan kultur kering dapat terganggu. Peningkatan kadar air

yang semakin tinggi dapat merusak mikroba yang stres, sehingga mikroba akan

mati.

Kerusakan kultur mikroba kering akibat peningkatan kadar air juga dapat

menyebabkan kebocoran sel. Kebocoran terdeteksi dengan adanya ion-ion

mineral seperti K+, Na+, Ca++, dan Mg++, serta bahan-bahan lain seperti protein

dan nukleotida yang terdapat pada supernatan atau air rendaman sel (Hurst 1984;

Bunduki et al. 1995; dan Park et al. 2003).

Berdasarkan hal diatas perlu diketahui kondisi kadar air kritikal dalam

penyimpanan kultur kering, agar viabilitasnya dapat terjaga dan kerusakan sel

akibat peningkatan kadar air dapat dihindari. Kadar air kritikal dapat ditentukan

dari kurva isotermi sorpsi air dengan menganalisis kapasitas masing-masing

daerah air terikat dari kurva isotermi tersebut.

Tujuan Penelitian

1. Mengkaji metode pengeringan kemoreaksi dengan kalsium oksida serta

menganalisis parameter dalam proses pengeringan yang berpengaruh

terhadap viabilitas kultur kering Saccharomyces cerevisiae yang dihasilkan.

2. Menerangkan pola isotermi sorpsi air dan menganalisis kadar air kritikal

(18)

3. Menerangkan pola stres dan kematian kultur kering Saccharomyces

cerevisiae pada berbagai kondisi kadar air terikat.

4. Mengamati perubahan morfologi dan mikrostruktur serta kerusakan kultur

kering.

5. Menganalisis terjadinya kebocoran sel yang mengalami stres dan kerusakan.

Kegunaan Penelitian

1. Mengembangan teknologi pengeringan kemoreaksi dengan kalsium oksida

untuk produksi kultur kering mikroba.

2. Memberikan data dasar tentang faktor-faktor yang berperan dalam proses

pengeringan kemoreaksi dan dampaknya terhadap viabilitas kultur starter

kering sehingga diperoleh efisiensi proses pengeringan dan viabilitas tetap

terjaga.

3. Memberikan data dasar mekanisme stres kering pada kultur Saccharomyces

cerevisiae dan menentukan teknik yang tepat untuk mengurangi stres, yang

berdampak pada perubahan morfologi dan kerusakan serta proses biokimia

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Proses Pengeringan

Pengeringan merupakan proses pengurangan kadar air bahan sampai

mencapai kadar air tertentu sehingga dapat menghambat laju kerusakan bahan

makanan sebelum bahan diolah atau dimanfaatkan. Selanjutnya menurut Fellows

(1990) definisi pengeringan adalah proses pengeluaran sebagian besar air yang

secara normal terdapat dalam bahan pangan, melalui proses penguapan atau

sublimasi dengan kondisi yang terkendali.

Parameter-parameter yang mempengaruhi waktu pengeringan adalah suhu,

kelembaban udara, laju aliran udara, kadar air awal dan kadar air bahan kering.

Tujuan utama dari pengeringan adalah untuk memperpanjang umur simpan

bahan pangan melalui penurunan aktivitas air (Fellows 1990).

Batasan umum pengeringan, yaitu suatu proses mengeluarkan air dari

bahan pangan dengan cara penguapan atau sublimasi, hingga terjadi penurunan

kandungan air bahan sampai batas enzim dan reaksi-reaksi yang menyebabkan

kerusakan pada bahan dapat dihambat aktivitasnya, dan bahan menjadi lebih

awet. Proses penguapan air dari bahan dapat dilakukan dengan menggunakan

energi panas (pada pengeringan dengan suhu tinggi) atau dengan cara

dehumi-fikasi (penurunan RH) ruangan sehingga terjadi keseimbangan antara bahan dan

lingkungannya.

Prinsip Pengeringan

Prinsip utama pengeringan adalah pengeluaran air dari bahan berdasarkan

pindah massa internal (Chirifie 1983 didalam Barbosa-Canovas dan

Vega-Mecado 1996). Laju perpindahan uap air dari bahan ke udara tergantung pada

sifat fisik bahan, komposisi bahan, kadar air awal, kelembaban udara, laju aliran

udara, dan tekanan pada permukaan bahan yang langsung berhubungan dengan

udara (Okos et al. 1992).

Selanjutnya menurut Barbosa-Canovas dan Vega-Mercado (1996)

mekanisme fisik untuk menjelaskan gerakan air di dalam bahan terdiri dari 6

(20)

cairan karena adanya perbedaan konsentrasi, 3) difusi permukaan, 4) difusi uap

air di dalam pori-pori yang berisi udara, 5) aliran karena adanya perbedaan

tekanan, dan 6) aliran karena terjadinya penguapan dan kondensasi.

Sedangkan mekanisme penguapan air dari bahan pangan menurut Brooker

et al. (1982), meliputi proses : 1) pelepasan ikatan air dari bahan pangan, 2)

difusi air dan uap air ke permukaan, 3) perubahan fase dari air menjadi uap air,

4) perpindahan uap air dari permukaan ke udara sekitar dan 5) perpindahan uap

air di udara.

Menurut Beker dan Rapoport (1987) bentuk kurva pengeringan secara

umum terlihat pada Gambar 1. Laju pengeringan cepat ditunjukkan pada

periode I yang dihubungkan dengan kehilangan air bebas, sedangkan laju

pengeringan lambat pada periode II dihubungkan dengan kehilangan air terikat.

Kecepatan pengeringan dapat dipengaruhi oleh suhu dan kecepatan udara

pengering, kadar air, ukuran dan bentuk granula khamir yang dikeringkan.

Gambar 1. Kurva pengeringan khamir secara mekanis dengan metode tero- wongan: Wk1, kandungan air terikat (%); Wp, kadar air dari khamir

(21)

Pengeringan bahan-bahan yang peka terhadap suhu tinggi seperti kultur

mikroba, enzim, vaksin dan bahan-bahan volatil, diperlukan proses pengeringan

pada suhu rendah supaya viabilitas kultur mikroba dan mutu bahan-bahan

tersebut tetap terjaga. Proses pengeringan suhu rendah yang dapat dilakukan

adalah pengering vakum, pengering beku dan pengering absorpsi atau

pengeringan kemoreaksi.

Pengeringan Absorpsi

Proses pengeringan absorpsi adalah proses pengeringan dimana air dalam

bahan diserap oleh suatu material yang bersifat sangat higroskopis yang disebut

absorben. Dalam proses pengeringan absorbsi sejumlah bahan dan absorben

diletakkan dalam suatu ruangan yang tertutup rapat. Absorben yang digunakan

memiliki tekanan uap air yang sangat rendah dibandingkan dengan bahan yang

akan dikeringkan.

Mekanisme yang terjadi adalah proses penarikan air oleh absorben dari

dalam bahan pangan dengan prinsip penyerapan uap air dari bahan tersebut. Air

yang diserap oleh absorben tidak hanya pada bagian permukaan absorben

tersebut, tetapi terdistribusi secara merata keseluruh bagian absorben (Hall

1979). Proses pengeringan absorbsi tidak menggunakan aliran udara pengering

dengan suhu tinggi, tetapi faktor yang mempengaruhi proses pengeringan adalah

kelembaban udara (RH) di dalam ruang pengering.

Menurut Henderson dan Perry (1976) proses pengeringan diterangkan

melalui teori tekanan uap. Air yang diuapkan terdiri dari air bebas dan air

terikat, dalam hal ini air bebas adalah air yang berada di permukaan bahan dan

yang pertama kali mengalami penguapan. Bila air permukaan telah habis, maka

terjadi migrasi air dan uap air dari bagian dalam bahan secara difusi. Migrasi air

dan uap terjadi karena perbedaan konsentrasi atau tekanan uap antara bagian

dalam dan bagian luar bahan.

Material yang sering digunakan sebagai absorben untuk pengeringan

dapat berbentuk gel padat atau cairan, contohnya gel silika, CaCl2, kalsium

sulfat, CaO dan sebagainya. Gel silika adalah absorben berbentuk padat yang

banyak digunakan untuk menjaga kelembaban dalam ruang penyimpanan

(22)

digunakan sebagai bahan yang dapat menjaga kestabilan kadar air bahan yang

disimpan dalam desikator. Selama ini penggunaan absorben untuk pengeringan

terutama adalah dalam pengeringan biji-bijian dan produk-produk yang

mempunyai aroma khas seperti kopi dan tembakau.

Berdasarkan percobaan Hu et al. (1998) pengeringan absorpsi

mengguna-kan gel silika terhadap viabilitas benih barley, oat, dan kenaf pengaruhnya

hampir sama dengan pengeringan beku. Keuntungan lainnya yaitu dapat

mencapai kadar air yang lebih rendah dan biayanya jauh lebih murah dari

pengeringan beku, walaupun laju pengeringan absorpsi sedikit lebih lambat.

Bentonit (CaCl2) sering digunakan sebagai desikan dalam proses

pengeringan maupun sebagai dehumidifier udara selama penyimpanan terutama

di malam hari, karena dapat memberi aerasi pada biji-bijian kering serta

mempertahankan kadar air yang seragam dan suhu selama penyimpanan

biji-bijian (Thorruwa et al. 1998). Zeolit digunakan untuk pengeringan biji-biji-bijian

seperti jagung (Alikhani et al. 1992). Kalsium sulfat digunakan untuk

pengeringan kopi beraroma tinggi seperti kopi instan (Cormaci 1994) serta pada

pembuatan anhydrous trehalose (Mandai et al. 1994). Glikol, gliserol dan

polihidrik alkohol lainnya secara rutin digunakan sebagai desikan dan humektan

untuk mengendalikan RH pada sistem gas alam, bahan pangan dan tembakau

(James 1973). Selanjutnya desikan cair dari campuran CaCl2 dengan litium

klorida (LiCl2) dengan perbandingan yang sama, juga digunakan oleh Ertas et

al. (1997) untuk pengeringan kacang tanah.

Kalsium oksida (CaO) merupakan bahan aktif dari kapur api yang selama

ini juga dipakai sebagai absorben atau desikan dalam pengeringan dan

penyimpanan beberapa produk pangan. Sedangkan hasil penelitian Julianti

(2003) menyatakan bahwa CaO tidak memiliki isotermi sorpsi air, dan CaO

merupakan bahan yang sangat reaktif terhadap air, oleh karena itu kemampuan

kapur api untuk menyerap uap air dari lingkungan sekitarnya didasarkan pada

reaktivitas kimia dan bukan melalui absorpsi fisik seperti halnya absorben

lainnya. Oleh karena itu pengeringan dengan kapur api atau CaO lebih tepat

(23)

Pengeringan Kemoreaksi

Pengeringan kemoreaksi adalah proses pengeringan yang juga

menggunakan absorben, tetapi melalui mekanisme reaksi kimia antara uap air

dari bahan yang dikeringkan dengan absorben, karena reaktivitas absorben yang

tinggi terhadap air. Kapur api yang mengandung bahan aktif CaO merupakan

absorben yang banyak digunakan dalam proses pengeringan ini. CaO bereaksi

secara kimia dengan uap air yang terdapat di dalam bahan yang dikeringkan

sehingga kadar air bahan akan berkurang.

Mackenzie dan Sharp (1970) menyatakan bahwa CaO terbentuk apabila

batu kapur (CaCO3) dipanaskan pada suhu diatas 650 0C. Sebaliknya reaksi

pembentukan CaO dari CaCO3 merupakan reaksi endoterm yang bersifat

reversibel. Menurut Chang dan Tikkanen (1989) reaksi CaO dengan air

merupakan reaksi eksoterm yang akan melepaskan energi panas sebagai berikut :

CaO (S) + H2O (1) Ca (OH)2 (S) + ∆H = - 64.8 KJ

Kapur api mempunyai kandungan CaO sekitar 96.8% - 97% dan

bahan-bahan lainnya seperti SiO2, R2O3 (gabungan oksida-oksida), MgO dan

bahan-bahan lain yang hilang saat pembakaran. Hasil penelitian (Sucofindo 1991 di

dalam Julianti 2003) diketahui juga bahwa kapur api yang baru keluar dari

pembakaran tidak mengandung air. Oleh karena itu kapur api ini bersifat sangat

higroskopis dan sangat baik digunakan sebagai absorben dalam pengeringan

kemoreaksi.

Kalsium oksida ( CaO) juga dikenal sebagaiQuicklime atau kapur mentah

dan mempunyai kapasitas penyerapan uap air yang lebih besar pada RH rendah

dibanding absorben atau desikan lainnya. Kapasitas penyerapan uap air oleh

CaO minimal adalah 28.5% dari beratnya. Sebagian besar digunakan dalam

pengemasan makanan kering, tetapi penggunaan kemasan makanan harus

diperhatikan karena sifat CaO yang dapat hancur selama penyimpanan (Anonim

2004b).

Menurut Soekarto (2000), prinsip pengeringan dengan CaO di dalam

lemari pengering absorpsi berlangsung melalui proses penting sebagai berikut :

(1) CaO menyerap dan bereaksi dengan uap air dalam ruangan pengering; (2)

(24)

pengering; (3) energi panas diserap bahan untuk menguapkan kandungan air

meninggalkan bahan; (4) uap air dari bahan mengalir ke ruang pengering untuk

kemudian diserap CaO. Proses tersebut berlangsung secara terus menerus

sampai tercapai kondisi kesetimbangan atau ekuilibrium.

Antara CaO dan air bereaksi secara eksotermik untuk membentuk

Ca(OH)2. Peningkatan reaksi yang bersifat eksotermik tersebut, menghasilkan

peningkatan suhu selama pengeringan berlangsung konstan (Soekarto 2000).

Reaksi kimia yang terjadi antara CaO dan uap air selama pengeringan adalah :

CaO+ H2O Ca(OH)2 - • H (Joule)

Bahan lembab + • H Produk kering + H2O

CaO + Bahan lembab Produk kering + Ca (OH)2

Keuntungan Pengeringan Kemoreaksi

Beberapa peneliti sebelumnya telah menggunakan teknik pengeringan

dengan CaO dari kapur api untuk mengeringkan berbagai produk, dan hasilnya

ternyata cukup menguntungkan. Diantaranya oleh Halim (1996) untuk

penge-ringan biji lada, dimana penggunaan kapur api sebagai bahan pengering, dapat

menekan penguapan minyak atsiri dari lada segar menjadi 2.8% - 3.1%.

Dibandingkan pengeringan dengan sinar matahari penurunan kadar minyak atsiri

adalah sebanyak 10.65% dan pengeringan dengan oven penurunan minyak atsiri

sebanyak 17.80%.

Wulandari (2002) juga menggunakan kapur api untuk pengeringan lada

pada suhu ruang (29 0C). Selama pengeringan penurunan kadar minyak atsiri

lada relatif kecil yaitu 1.74% - 4.87%. Sedangkan pengeringan dengan metode

oven dan penjemuran, penurunan kadar minyak atsiri berturut-turut adalah 17.8

% (metode oven) dan 10.65% (penjemuran). Rasio (berat/berat) kapur dan lada

R 2 (1:2); R 5 (1:5); dan R 20 (1:20) dapat digunakan untuk mengeringkan lada

sampai kadar air 12 % basis basah. Semakin besar tingkat R waktu pengeringan

semakin singkat yaitu berturut-turut 89 jam (untuk R 20), 92.3 jam (untuk R 5)

dan 119.5 jam (untuk R 2).

Pengeringan terhadap biji pala bertempurung dengan kapur api, waktu

(25)

dengan penjemuran yaitu 7 hari (rata-rata penjemuran 3 jam / hari). Rendemen

minyak atsiri kedua metode tersebut juga tidak berbeda nyata, yaitu sebesar 11,

78% pada pengeringan dengan kapur api, dan 10.92% pada penjemuran.

Walaupun demikian, biji pala yang dikeringkan dengan pengeringan

menggunakan kapur api memiliki penampakan yang paling baik (Suryani 1999).

Penggunaan kapur api untuk pengeringan benih tomat selama satu hari

dapat menghasilkan benih tomat kering dengan kadar air 5.5% basis basah. Uji

viabilitas menunjukkan daya kecambah yang cukup baik yaitu antara 70%

sampai 94.5% (Suzana 2000). Sedangkan pengeringan benih cabe oleh Julianti

(2003), diperoleh perbandingan kapur dan benih yang optimal untuk

menghasilkan mutu yang tinggi adalah 3 :1. Kadar air akhir benih cabe yang

dihasilkan adalah sekitar 3.8% (bk) dengan lama pengeringan 45 jam, dan

viabilitas benih yang dihasilkan adalah 100%. Disamping itu terdapat hubungan

yang jelas antara fase laju pengeringan dengan fraksi-fraksi air terikat pada

benih cabe, yaitu periode (1) air yang dikeluarkan air bebas murni, periode (2)

air terikat tersier dan sebagian air terikat sekunder, periode (3) air terikat

sekunder dan air terikat primer, serta periode (4) air terikat primer.

Penggunaan CaO juga dilakukan untuk pengeringan brem padat di daerah

Bogor yang kelembapannya cukup tinggi. Waktu yang diperlukan untuk

mengeringkan brem padat secara tradisional (pada suhu kamar), biasanya

membutuh-kan waktu 18 jam untuk mencapai kadar air 16%. Sedangkan dengan

menggunakan CaO diperlukan waktu 12 jam, disamping itu brem yang

dihasilkan berwarna cerah dan tidak mudah patah (Hersasi 1996).

Pengeringan Kultur Mikroba

Pengeringan kultur mikroba terutama bertujuan untuk menyediakan kultur

starter dalam jumlah banyak yang diperlukan oleh industri produk fermentasi,

seperti industri minuman beralkohol, industri roti, obat-obatan dan sebagainya.

Berbagai metode pengeringan kultur telah banyak dilakukan oleh peneliti,

dimana proses pengeringan kultur pada prinsipnya hampir sama dengan

(26)

Metode pengeringan yang umum digunakan untuk pengeringan mikroba

adalah dengan metode terowongan, pengeringan fluidized bed, pengeringan

vakum dan pengeringan semprot, sedangkan untuk pengawetan kultur murni

mikroba digunakan pengeringan beku dan pengeringan vakum.

Pengeringan Vakum

Menurut Tamine dan Robinson (1985) proses pengeringan vakum terhadap

spesies bakteri asam laktat, meliputi penambahan starter cair dengan laktosa dan

Ca-karbonat (untuk menetralkan kelebihan asam), pemisahan whey dan proses

pengeringan dalam kondisi vakum.

Proses pengeringan starter yoghurt dengan metode oven vakum pada suhu

50 0C, tekanan vakum 29 mmHg dan lama pengeringan 4 jam menghasilkan

viabilitas yang lebih tinggi dibandingkan metode pengeringan dengan oven

biasa. Pada pengeringan menggunakan oven vakum diperoleh viabilitas 79%

yang kadar airnya adalah 4.44% hingga 9.05% (Nuraida et al. 1994).

Jenie et al. (1996) menggunakan metode pengeringan vakum pada suhu 40

0

C selama 4 jam untuk produksi kultur starter kering Lactococcus lactis.

Viabilitas sel yang dicapai adalah 58 % yaitu dari perlakuan media pertumbuhan

dengan ekstrak sawi dan pencampuran bahan pengisi tepung beras dan kultur

dengan perbandingan 1:2. Selanjutnya untuk pengeringan kultur Lactobacillus

plantarum dengan metode pengeringan vakum menggunakan suhu 50 0C selama

4 jam, dihasilkan viabilitas tertinggi (87%) dari kultur dengan penambahan

bahan pengikat berupa campuran tepung beras dan tepung onggok sebesar 2 :1.

Kadar air kultur kering yang diperoleh adalah 4.62% - 6.79% berat kering.

Pengeringan Beku (Freeze-drying)

Pengeringan beku berbeda dengan pengeringan biasa, dimana bahan yang

akan dikeringkan terlebih dahulu dibekukan, kemudian dalam keadaan hampa

udara air langsung dikeluarkan dari bahan secara sublimasi. Proses pengeringan

dengan pengeringan beku memerlukan kondisi dibawah suhu kritis yaitu suhu

dibawah 0 0C dan tekanan di dalam ruang pengering berada dibawah 1.0 – 2.0

(27)

To dan Etzel (1997) menggunakan metode pengeringan beku untuk

menge-ringkan beberapa spesies bakteri asam laktat. Proses pengeringan beku

diawali dengan pembekuan kultur dalam es kering pada suhu -20 0C selama +

12 jam, kemudian dilanjutkan ke pengering beku yang dioperasikan pada 9000

g/cm dan suhu -53 0C selama 24 jam menghasilkan viabilitas sekitar 60% -

70%. Viabilitas yang dihasilkan ini lebih tinggi dari pada hasil pengeringan

semprot.

Menurut Tamime dan Robinson (1985), selama proses pembekuan dan

pengeringan beku dapat terjadi kerusakan pada sel mikroba. Kerusakan ini dapat

diminimumkan dengan penambahan senyawa-senyawa kriogenik atau senyawa

protektan. Kelemahan pengeringan beku adalah dikhawatirkan penambahan

senyawa kriogenik dapat memberikan efek samping terhadap aktivitas sel serta

mutu produk fermentasi yang dihasilkan. Disamping itu metode pengeringan

beku memerlukan biaya yang tinggi dalam produksi. Diantara senyawa protektan

yang biasa ditambahkan dalam media pengeringan beku mikroba adalah Pepton,

Laktosa, Trehalosa, dan Whey-sukrosa (Anonim 2004d).

Husna (1998) juga meneliti pengeringan beku terhadap kultur starter

yoghurt dan dihasilkan kultur starter kering yang mengandung bakteri asam

laktat cukup tinggi yaitu ± 106 - 107. Bakteri asam laktat yang dihasilkan adalah Lactobacillus dengan total (1.2 - 4.2) x 106 koloni/ gram berat kering, dan

Streptococcus dengan total 8.2 x 105 sampai 1.0 x 106 koloni/gram berat kering.

Kadar air yang dihasilkan pada penelitian ini masih sangat tinggi, yaitu 29.76%

(bb) - 50.47% (bb). Sedangkan penambahan 10% sukrosa menghasilkan kultur

kering dengan kadar air yang lebih besar, karena sukrosa mengikat air sehingga

sulit dilepaskan sewaktu proses pengeringan.

Pengeringan Semprot

Proses utama dalam pengeringan semprot adalah pembentukkan

butiran-butiran halus (droplets) dari cairan yang akan dikeringkan dengan semprotan,

kemudian dikontakkan dengan udara. Langkah pengabutan dalam bentuk butiran

halus yang dihasilkan dengan percikan atau semprotan adalah untuk

(28)

spesifik. Pengabutan diakibatkan oleh semprotan cairan yang dicurahkan dalam

bentuk butiran-butiran kecil (Barbosa-Canovas dan Vega-Mercado 1996).

Metode pengeringan semprot dilakukan dengan alat pengering semprot

yang dilengkapi dengan pompa peristaltik untuk membawa suspensi mikroba

kedalam siklon pengering. Udara masuk dipanaskan dengan pemanas elektrik

dan suspensi mikroba dialirkan dengan semprotan kedalam siklon pengering,

sedangkan hasil pengeringan terkumpul pada bagian bawah siklon. Proses

pengeringan semprot untuk mengeringkan beberapa spesies bakteri asam laktat

dengan suhu udara masuk 220 0C dan suhu udara keluar 70 0C – 90 0C selama 30

menit, menghasilkan viabilitas hanya 15 - 34% (To dan Etzel 1997).

Menurut Salgado-Cervantes (2003), penggunaan khamir kering

Saccharo-myces cerevisiae yang diproses dengan pengeringan semprot dalam pembuatan

bir, menunjukkan aktivitas fermentasi yang lebih rendah. Kadar alkohol yang

diperoleh adalah 1.4 – 1.8%, sedangkan dengan khamir segar kadar alkohol yang

diperoleh adalah 5.5%. Selanjutnya juga dilaporkan khamir kering yang

dihasilkan banyak terkontaminasi dengan mikroba lain.

Pengeringan tipe Fluidized-bed

Proses pengeringan Fluidized-bed biasa dilakukan untuk produksi khamir

roti secara komersial dalam bentuk instant. Pada proses ini bahan awal dalam

bentuk krim dengan kadar air sekitar 80 %, dirobah ke dalam bentuk

partikel (diameter 0.2 – 0.5 mm) dengan suatu tekanan, kemudian

partikel-partikel dikeringkan dengan hembusan udara panas 100 0C- 150 0C. Waktu

pengeringan adalah 2 – 4 jam, suhu yang tertinggal pada partikel khamir adalah

sekitar 25 0C - 42 0C, dan kadar air produk akhir adalah 4 – 6% (Reed dan

Nagodawithana 1991).

Menurut Anonim (2004c), proses pengeringan untuk khamir kering instan

hanya menggunakan sistem fluidized-bed. Proses pembuatannya yaitu dengan

memampatkan krim khamir melalui pelat berlubang (alat ekstruder) sehingga

diperoleh bentuk seperti spageti tipis atau partikel-partikel massa khamir dengan

diameter 0.5 – 1 mm, lalu dikeringkan. Sebelumnya krim khamir ditambah

asam askorbat untuk membantu memperkuat adonan dan penambahan sorbitan

(29)

massa khamir kering instant lebih kecil dari khamir kering aktif dan untuk

pembuatan khamir kering aktif tidak ditambahkan asam askorbat dan emulsifer.

Sedangkan untuk pembuatan khamir kering aktif proses pengeringannya selain

dengan sistem fluidized-bed dapat juga dengan metoda lain seperti metoda

pengeringan terowongan melalui suatu rangkaian kamar pengering pada

tingkatan suhu berbeda. Pengeringan juga dapat dilakukan dengan alat

pengering tipe drum, yaitu pada drum yang berputar.

Kultur Mikroba Kering

Bentuk Kultur Kering

Berdasarkan proses pengeringannya kultur kering dibedakan atas : 1)

kultur starter yang dikeringkan dengan menambahkan media tumbuh atau bahan

lain yang berperan dalam proses pengeringan. Kultur kering yang dihasilkan

disebut dengan ragi, 2) kultur starter yang dikeringkan tanpa media tumbuh,

tetapi dapat ditambahkan bahan lain dengan jumlah maksimal 2%. Bahan

tambahan tersebut dapat berupa emulsifier atau rehydrating agent, kultur kering

yang dihasilkan adalah berupa kultur kering murni, contohnya kultur kering aktif

dan kultur kering aktif instan.

a. Ragi

Di Indonesia dikenal ragi tape yang dibuat secara tradisional dari tepung

beras. Pertumbuhan mikroba seperti kapang, khamir dan bakteri diperoleh

secara alamiah melalui infeksi dari lingkungan, peralatan yang digunakan dan

melalui seleksi akibat ditambahkannya bermacam-macam bumbu kedalam

tepung beras. Spesies kapang, khamir dan bakteri dalam ragi tersebut dapat

memproduksi gula, asam serta alkohol dari substrat karbohidrat.

Menurut Saono (1982) mikroflora yang lazim terdapat didalam ragi yang

sangat berperan dalam fermentasi tape biasanya didominasi oleh kapang dari

genus Mucor, Rhizopus dan Amylomyces, dan dari khamir yang termasuk

kedalam genus endomycopsis, Saccharomyces, Hansenula dan Candida.

Sedangkan bakteri yang sering terdapat pada ragi adalah dari genus Pediococcus

(30)

Fungsi dari masing-masing mikroba adalah: kapang berfungsi sebagai

pemecah pati, serta penghasil enzim-enzim alpha amilase, beta amilase dan

glukoamilase. Khamir berfungsi sebagai penghasil alkohol selama proses

fermentasi, serta dapat menghasilkan enzim-enzim invertase, karboksilase,

maltase dan melibiase. Sedangkan bakteri berfungsi sebagai penghasil asam

laktat dan sakarida (Saono 1982).

b. Kultur Murni Kering

Penyediaan kultur starter dalam bentuk kultur kering, selain ditujukan

untuk pemeliharaan kultur murni, juga untuk menghasilkan kultur kering aktif

secara komersial. Berbeda dengan ragi, kultur starter kering lebih spesifik untuk

satu spesies tertentu atau galur tertentu. Dalam proses pengeringan kultur murni

ini hanya boleh ditambahkan bahan kimia yang berfungsi sebagai pelindung sel,

seperti metil selulosa atau kaboksilmetil selulosa dalam jumlah 1-2% (Langejan

1980). Disamping itu juga dapat ditambahkan bahan pengemulsi seperti

mono-gliserida, gliserol polyester dan sorbitan ester dalam jumlah 0.2-1% (Hill 1987).

Proses pembuatan khamir kering aktif adalah dengan memampatkan

padatan sel khamir pada plat berlubang alat ekstrusi, untuk menghasilkan

butiran-butiran sangat kecil dari massa khamir. Selanjutnya proses pengeringan

dilakukan menggunakan pengering tipe terowongan pada suhu sekitar 60 0C,

selama 2 – 4 jam. Kadar air yang tersisa dalam bahan kering adalah sekitar 7.5 –

8.3%. Pengeringan juga dapat dilakukan dengan metoda fluidized-bed atau

metoda lainnya (Reed dan Nagodawithana 1995).

Untuk menghasilkan krim khamir, padatan sel khamir pada akhir

fermen-tasi sekitar 5%, dipisahkan dengan menggunakan sentrifus pada kecepatan 4000

rpm. Tahap awal pemisahan konsentrasi padatan sel dalam cairan dapat

ditingkatkan menjadi 20 %. Sentrifus kedua akan menghasilkan cairan

supernatan yang bebas sel khamir. Padatan sel yang diperoleh kemudian dicuci

dan dilakukan penyaringan dengan menggunakan tekanan pada 125 - 150 lb/in2 (

646 - 775 cm Hg), sehingga kadar padatan menjadi 27 – 32%. Padatan sel yang

diperoleh disebut krim khamir (yeast cream) dalam bentuk plastis semi padat.

Krim khamir ini dapat disimpan pada suhu 0 0C selama 2 minggu, atau

(31)

Menurut Beker dan Rapoport (1987) dalam pengeringan khamir roti

dengan metoda pengering terowongan, titik inversi pengeringan terdapat pada

kadar air 20%. Diatas titik ini perubahan viabilitas sel dan permiabilitas dinding

sel adalah kecil. Kadar air dibawah 20% respirasi berhenti dan unsur sel lepas

jika kultur kering khamir direhidrasi dalam air. Pengeringan dapat dilanjutkan

sampai batas kadar air 7.5-8.5% untuk khamir kering aktif dan 4-6% untuk

khamir kering aktif instan.

Beberapa bentuk khamir roti yang diperdagangkan di Indonesia masih

merupakan produk impor, diantaranya dikenal dengan nama fermipan yang

(diimpor dari Amerika) dan saf-instant (Perancis). Komposisi kedua produk

tersebut terdiri dari khamir instan Saccharomyces cerevisiae, bahan pengemulsi

(emulsifer) dan rehydrating agent.

Kegunaan Kultur Kering

Produksi kultur khamir kering aktif terkait dengan industri-industri besar

makanan dan minuman hasil fermentasi serta industri obat-obatan, karena

umumnya industri ini menggunakan kultur murni dalam bentuk kering aktif.

Jenis-jenis khamir kering aktif yang digunakan adalah khamir untuk industri roti,

khamir untuk industri bir, khamir untuk produksi etanol, khamir untuk

fermentasi sake, dan khamir untuk makanan ternak (Peppler dan Perlman 1979).

Menurut Nuraida et al. (1995) penyediaan kultur starter dalam bentuk

kering akan memudahkan cara penanganan, memungkinkan penggunaan kultur

starter baru pada setiap lot fermentasi, sehingga fermentasi lebih terkontrol dan

kualitas produk lebih terjamin. Disamping itu ketersediaan kultur starter kering

akan mempermudah distribusi dan transportasi, karena kultur starter kering dapat

ditransportasikan dalam jarak jauh tanpa kehilangan aktivitas yang nyata.

Selanjutnya menurut Malik dan Hoffmann (1993) kultur kering khamir

lebih stabil dan tidak terjadi mutasi atau kehilangan sifat-sifatnya yang

diperlukan selama proses pengeringan dan penyimpanan. Dengan demikian

metode pengeringan lebih dipilih sebagai cara untuk pengawetan kultur untuk

(32)

Penyimpanan Kultur Kering

Umumnya kultur kering aktif tidak membutuhkan penyimpanan suhu

rendah, bagaimanapun umur simpan dapat bervariasi dari 1-12 bulan, pada

kondisi penyim-panan suhu ruang. Stabilitas kultur kering adalah berbanding

terbalik dengan suhu penyimpanan dan kadar air. Demikian juga jumlah oksigen

dalam udara berakibat buruk terhadap stabilitas kultur kering Kultur khamir

kering aktif konvensional yang mempunyai kadar air 8% dapat disimpan 1-2

bulan, atau bila disimpan dalam kemasan yang diberi nitrogen atau vakum dapat

disimpan 1 tahun pada suhu kamar. Pengeringan kultur kering aktif sampai

kadar air yang lebih rendah (4-6%) meningkatkan stabilitas terhadap panas,

tetapi tidak dapat menghilangkan pengaruh kerusakan oleh oksigen.

Cara penyimpanan dan pendistribusian khamir roti digunakan kantong

kemasan yang kedap udara atau udara dihilangkan dengan memasukan gas.

Kemasan juga dapat berupa kantong aluminium foil dengan permeabilitas

rendah terhadap uap air dan gas oksigen. Aluminium foil harus bebas dari

lobang-lobang penjepit, dilaminasi dengan plastik film yang direkatkan dengan

menggunakan panas seperti saran atau pliofilm. Hill (1987) telah memberikan

komposisi dari empat lapis film komposit sebagai berikut : poliester 20 µ ;

aluminium , 12 µ ; polyester, 12 µ ; polyethylen, 8 µ . Plastik film cocok untuk

kemasan vakum berukuran 500 g dan 10 kg. Ukuran kecil 907 g juga digunakan

kemasan vakum. Kemasan lebih besar 10 kg dengan kaleng harus diberi

nitrogen untuk mencegah pengempisan dibawah kondisi vakum. Bila kemasan

dibuka kultur harus cepat digunakan karena udara dengan kelembaban yang

tinggi akan mempengaruhi stabilitas dari kultur. Hubungan antara kadar air dan

kelembaban terhadap beberapa khamir dapat dilihat pada Gambar 2.

Hasil penelitian Nuraida et al. (1995) terhadap kultur starter yoghurt yang

dikeringkan dengan metode pengeringan beku, dan perlakuan pencampuran

kultur dengan tapioka atau maizena (rasio tepung/kultur 1:2) serta penambahan

media skim 16 % + MSG 1.5%, menghasilkan viabilitas tertinggi. Aktivitasnya

tetap bertahan setelah disimpan 1 bulan pada suhu 7 0C dalam kemasan kantong

(33)
[image:33.612.129.513.93.367.2]

Gambar 2. Keseimbangan kadar air khamir tanpa kemasan terhadap kelembaban relatif pada suhu ruang (Dobbs et al. 1982)

Stres Kering pada Mikroba

Stres pada mikroba merupakan tekanan biologi akibat terganggunya proses

metabolisme penting didalam sel. Stres kering terjadi karena kehilangan air

dari sel, sehingga mengurangi turgor sel dan mempengaruhi tekanan osmotik.

Hal ini dapat mempengaruhi kestabilan makromolekul, sehingga menimbulkan

kekakuan membran dan merusak struktur protein (Brown 1990 dan Wiggins

2001). Disamping itu perubahan aktivitas air intrasellular juga menyebabkan

berkurangnya kekuatan ikatan hidrogen dan interaksi elektrostatik lainnya,

sehingga mengganggu struktur dan fungsi makromolekul termasuk asam

nukleat, protein, dan lemak (Brown 1990).

Stres dan Kerusakan Mikroba

Kebanyakan mikroorganisme untuk dapat tumbuh haruslah kontak

dengan air, karena sel hidup memperoleh semua atau sebagian kebutuhan

(34)

yang tidak menguntungkan dapat menyebabkan terjadinya stres pada mikroba.

Stres akibat perubahan potensial air ini disebut ‘solute stress’ dan ’dilution

stress’. Solute stress disebabkan oleh peningkatan konsentrasi atau aktivitas dari

larutan ekstraselular dalam lingkungan zat cair. Sedangkan dilution stress

disebabkan karena rendahnya aktivitas larutan ekstraselular (Brown 1990).

Teixeira et al. (1995) dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa sel

mikroba yang berada pada kondisi stres menunjukkan telah terjadi kerusakan

membran sitoplasma. Hal ini diketahui dengan peningkatan sensitivitas terhadap

NaCl, peningkatan aktivitas β galaktosidase dan kebocoran isi sel pada fase stasioner. Selanjutnya menurut Bunduki et al. (1995) kebocoran dari substansi

intraseluler juga dapat diketahui dengan menguji material intraseluler yang

dikeluarkan seperti protein dan asam nukleat dengan metoda penyerapan pada

280 dan 260 nm pada spektofotometer. Demikian juga Hurst et al. (1984)

sebelumnya melakukan penelitian pemanasan terhadap S. aureus dan

menyatakan bahwa penyebab utama kerusakan pada sel akibat stres pemanasan

adalah karena kehilangan Mg++ dari sel mikroba. Kehilangan ion-ion mineral

dari sel mikroba ini menandakan telah terjadi kerusakan membran sel, dan

jumlah ion mineral yang hilang dapat diukur dengan menggunakan Atomic

absorption spectroscopy (AAS).

Salah satu bentuk kerusakan membran sel mikroba ditunjukkan dengan

menurunnya atau hilangnya permiabilitas sel, akibatnya terjadi kebocoran dari

komponen-komponen sel. Dalam hal ini Niven dan Mulholland (1998) telah

mengembangkan suatu metode untuk mengukur tingkat permiabilitas sel,

prinsipnya adalah dengan pemberian suatu senyawa marker DNA yang bila

kontak dengan DNA akan berfluoresensi, kemudian fluoresensinya diukur

dengan spektrofluorimeter. Tetapi cara ini hanya efektif tehadap organisme

prokariotik, sedangkan eukariotik letak DNAnya pada inti sel yang terlindung

oleh membran.

Pengamatan secara visual juga dapat dilakukan untuk mengetahui bentuk

kerusakan sel yaitu dengan menggunakan mikroskop elektron scaning (SEM)

untuk mengamati perubahan morfologi sel dan mikroskop elektron transmisi

(35)

kebocoran dinding sel dan membran plasma Saccharomyces cerevisiae akibat

perlakuan dengan detergen. Terlihat bentuk dinding sel yang retak atau robek,

dan membran plasmanya hancur, sedangkan mikrostruktur sel yang lainnya tidak

kelihatan. Tanda panah pada Gambar 3 menunjukan sel yang bocor dan dinding

sel yang rusak.

Gambar 3. Kebocoran dinding sel dan membran plasma Saccharomyces cerevisiae akibat perlakuan dengan detergen (Y-PER) pembesaran 12 000X, (Nowicki dan Liermann 2002)

Kematian Mikroba Akibat Kekeringan

Secara garis besar antara stres dan kematian sulit didefinisikan. Umumnya

stres dapat disebabkan oleh peningkatan sensitivitas terhadap adanya inhibitor.

Inhibitor ini pada mikroba tertentu seperti bakteri gram negatif dapat

menyebabkan kerusakan pada membran sitoplasma, sehingga sel kehilangan

cairan, dan terjadi beberapa perubahan biokimia pada organisme. Perubahan ini

dapat memulai stres dan akhirnya menyebabkan kematian (Hurst 1984).

Kematian dinilai, bila tidak ada koloni dalam medium optimal (kompleks).

Medium optimal adalah medium yang dapat ditumbuhi oleh mikroba yang stres

maupun tidak stres (sehat). Sedangkan stres dinilai dengan menghitung koloni

yang terbentuk pada medium optimal, tetapi tidak ada pada medium yang

(36)

dapat ditoleransi oleh mikroba yang tidak stres. (Hurst 1984), dalam hal ini

garam sering digunakan sebagai media selektif untuk mikroba.

Menurut Soekarto (1979) kondisi aw makanan selama penyimpanan dapat

mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Staphylococcus aureus adalah salah satu

mikroba yang sangat toleran pada aw rendah. Pada Gambar 4 dapat dilihat

Staphylococcus aureus dari contoh makanan pada berbagai aw yang disimpan

selama 32 hari, jumlah sel yang hidup (pada media TSAY) masih tinggi pada aw

yang sangat rendah (aw primer), demikian pula dengan sel yang tidak stres (pada

[image:36.612.132.482.288.548.2]

media TSAYS).

Gambar 4. Jumlah Staphylococcus aureus yang tumbuh dari contoh makanan pada aw berbeda setelah 32 hari penyimpanan, pada suhu 21.70 C

(Soekarto 1979)

Meningkatnya aw selama penyimpanan (pada daerah sekunder) maka

jumlah sel yang tidak stres menurun tajam hingga aw mendekati 0.8, disamping

itu juga terlihat menurunnya jumlah mikroba yang hidup. Sedangkan pada aw >

0.8 (aw tersier) jumlah sel yang tidak stres meningkat dengan tajam, dan

viabilitasnya lebih tinggi dari viabilitas pada aw primer. Hal ini disebabkan

(37)

meningkatkan kadar air contoh makanan pada penelitian ini atau media tumbuh

lainnya. Kondisi sangat menunjang untuk pertumbuhan dan perkembang biakan

mikroba.

Dormansi Mikroba

Dormansi adalah suatu fenomena kehidupan organisme secara luas yang

sebagian besar ditandai dengan berhentinya sintesa protein dan pembelahan sel.

D idalam protista banyak jenis parasit mengubah bentuk menjadi kista sebagai

respon terhadap kondisi lingkungan (Taurancheau et al. 1999).

Sel mikroorganisme yang kondisinya dorman tetap masih hidup atau tidak

mati, tetapi juga tidak dapat tumbuh karena tidak melakukan proses

metabolisme. Dormansi pada mikroba dapat disebabkan oleh beberapa faktor,

diantaranya adalah faktor lingkungan dan pengolahan. Mikroba dikatakan

dorman apabila mengalami masa istirahat, yaitu dengan membentuk spora. Masa

istirahat ini dapat berlangsung relatif lama dan mungkin diperlukan suatu cara

tertentu untuk mengakhiri masa istirahat ini. Seperti halnya benih, untuk

mempersingkat masa dormannya diperlukan perlakuan khusus, misalnya dengan

menaikan kelembaban secara perlahan-lahan (Julianti 2003).

Kondisi dorman dapat terjadi benih apabila benih yang disimpan

mempunyai kadar air dibawah 4%. Benih dikatakan dorman apabila benih

mengalami istirahat total, dimana benih tidak menunjukkan gejala atau

fenomena pertumbuhan meskipun dalam keadaan media pertumbuhan yang

optimum. Benih dorman dapat dilihat melalui proses perkecambahan. Apabila

benih tidak mengalami imbibisi, bearti benih dorman, yang ditandai dengan

volume benih yang tidak berubah sampai akhir proses perkecambahan atau biji

tetap keras (Saenong et al. 1989 di dalam Julianti 2003).

Beberapa teori mengemukakan faktor kunci mengenai mekanisme

dormansi pada spora bakteri adalah pertahanan terhadap dehidrasi di pusat

protoplasma. Dalam hal ini inti sel dijaga dalam kondisi air yang sangat rendah,

tetapi air tetap ada. Korteks peptidoglikan dilibatkan dalam mengelilingi inti sel

dan berfungsi untuk menekan air keluar, atau sebagai osmoregulatory organelle

(38)

Menurut Algie (1980) dormansi adalah tindakan perlawanan terhadap

inti yang tertutup atau tumbuh secara radial supaya menekan air tidak ke luar

dari inti, terutama oleh reverse osmoses atau kebalikan osmosa. Sedangkan

menurut Warth (1983) pengurangan aktivitas air (aw) yang efektif di dalam inti

mendekati 0.75 menyebabkan mikroba akan lebih tahan terhadap panas, yakni

dengan membentuk spora, sehingga enzim didalam mikroba akan tahan

terhadap panas.

Pembentukan spora oleh khamir merupakan suatu proses survival di

lingkungan kurang baik, atau perlawanan terhadap proses pengawetan pada

makanan. Spora Saccharomyces cerevisiae adalah askospora yang dibentuk

oleh konjugasi dua sel khamir yang diakibatkan oleh penggabungan sel induk

dengan sel tunas. Banyaknya spora yang dibentuk di dalam suatu askus

bervariasi menurut jenis khamir. Pada lingkungan yang sesuai masing-masing

spora tumbuh kembali menjadi sel khamir.

Bentuk askus yang berisi spora dewasa dari Saccharomyces cerevisiae

dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan elektron mikrograf (Gambar 5)

bagian dalam atau lapisan yang jernih adalah manan dan glukan, sedangkan

lapisan sebelah luar yang lebih gelap adalah kitosan dan ditirosin. Material

dinding spora ( SW) dibentuk di dalam lumen pada kompartemen membran

prospora (Prm) (Anonim 2004a).

Gambar 5. Saccharomyce cerevisiae dengan askus berisi spora dewasa, SW adalah dinding spora, PrM adalah promembran dan N adalah inti sel

(39)

Dinding spora berfungsi memberi ketahanan pada spora terhadap stres

lingkungan. Setelah penutup prospora membran, sel membangun dinding spora

di dalam lumen antara kedua membran derivat yang diperoleh dari membran

prospora. Dinding dewasa terdiri dari empat lapisan berbeda: satu predominan

manoprotein (lapisan manan); satu residu ikatan beta-1,3 glukosa (lapisan

glukan); satu residu ikatan 1,4 alfa glukosamin ( lapisan kitosan); dan suatu

lapisan struktur indeterminan yang unsur utamanya adalah tirosin ikatan silang

dimers (lapisan ditirosin). Lapisan dinding spora diatur, dari paling dalam ke

paling luar sebagai berikut: manan, glukan, kitosan, dan ditirosin. Manan dan

glukan juga ditemukan di dalam dinding sel tumbuh-tumbuhan. Adanya kitosan

dan ditirosin adalah sangat unik pada spora (Anonim 2004a dan Wagner et al.

1999).

Saccharomyces cerevisiae

Saccharomyces cerevisiae termasuk dalam Filum Ascomycota, Kelas

Hemiascomycetes; Subkelas Hemiascomycetidae; Ordo Endomycetales; Famili

Saccharomycetaceae; Subfamili Saccharomyces. Saccharomyces berasal dari

nama Yunani yaitu sakehar dan mykes. Sakehar artinya gula dan mykes artinya

fungi. Setengah abad yang lalu konsep awal penamaan jenis-jenis khamir

berdasarkan pada penelitian pelopor mengenai teknik pemurnian kultur oleh

Emil Christian Hansen di Carlsberg Laboratories. Hansen membedakan dan

mengelompokan kultur kamir yang diisolasinya dalam bentuk murni

berdasarkan perbedaan morfologi selular dan askospora, asimilasi gula dan

karakteristik fermentasi, serta toleransi khamir terhadap suhu berbeda (Reed dan

Nagodawithana 1991).

Morfologi dan Struktur Sel

Sel khamir berbentuk bulat, lonjong, oval, silinder, ogival yaitu bulat

panjang dengan salah satu ujung runcing, segitiga melengkung (triangular),

bentuk apikulat atau lemon dan sebagainya. Ukuran dari sel khamir sangat

(40)

tersebut, tetapi secara umum panjang sel adalah 1– 50 ì m dan lebar adalah 1 – 10 ì m (Miller 1982).

Menurut Pelczar et al. (1977) mikrostruktur sel khamir terdiri dari dinding

sel, membran sitoplasma, matriks sitoplasma, inti sel, vakuola, retikulum

endoplasma, mitokondria, ribosom dan globula lemak. Bagian luar dinding sel

khamir secara umum ditutupi oleh lapisan transparan yang merupakan

polisakarida, termasuk fosfomanan (polimer yang menyerupai pati) dan

heteropolisakarida yaitu polimer yang mengandung lebih dari satu macam unit

gula seperti pentosa, heksosa dan asam glukuronat.

Komponen dinding sel pada Saccharomyces cerevisiae terdiri dari 15 –

30% berat kering sel, penyusun dinding sel terutama adalah manoprotein, β-1,3

glukan, β-1,6 glukan dan kitin dalam jumlah sangat kecil, tetapi berperan sangat

penting. Kompleks β-1,3 glukan-kitin adalah unsur utama dinding sel bagian

dalam, β-1,6 glukan menghubungkan

Gambar

Gambar 2.  Keseimbangan kadar air  khamir tanpa kemasan terhadap  kelembaban relatif pada suhu ruang  (Dobbs  et al
Gambar 4.  Jumlah  Staphylococcus aureus yang tumbuh dari contoh makanan           pada aw berbeda setelah 32 hari penyimpanan, pada suhu 21.70 C          (Soekarto 1979)
Gambar 6.  A. Skema sel khamir (Van der Rest  et al. 1995), B. struktur dinding           dan  membran sel khamir (Watson et  al
Gambar 7.  Struktur dinding dan membran sel bakteri (a) Gram positif, (b) Gram
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini diuraikan hasil dan analisis dari penelitian berupa temuan hasil dari pengolahan data citra landsat 7 ETM+ dengan metode supervised classification,

Pada hari Jum'at tanggal 28 September 2012 , kami Panitia Pengadaan Barang dan Jasa yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Dinas Bina Marga dan Pengairan Kab. 719-

“ PENGARUH SERVICE ENCOUNTER TERHADAP KEPUASAN TAMU DI HARRIS RESORT WATERFRONT BATAM” (Survey Pada Tamu Individu Mancanegara yang Menginap di HARRIS Resort

[r]

If all you have is a direct wired connection to the internet -- no WIFI -- then the intranet is just your cable modem and your computer and your problems are small.. As soon as you

sanad untuk melacak apakah hadis tersebut diriwayatkan seorang perawi saja atau ada perawi lain yang meriwayatkannya dalam setiap t}abaqa>t/tingkatan perawi dengan tujuan

Setelah penjelasan dari paragraf-paragraf di atas dapat diketahui bahwasanya Islam memiliki peraturan-peraturan tersendiri sebagaimana ketentuan al-qur’an dan hadis, namun pada

mempunyai nilai SEDANG. Rimba Karya Rayatama telah memiliki bukti dokumen/Laporan mengenai pelaksanaan distribusi manfaat kepada para pihaknamun belum lengkap dan