• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman 1. Pengaruh ketebalan lapisan pengeringan terhadap kadar air

kultur Saccharomyces cerevisiae... 129

2. Pengaruh penggunaan kapur Api (CaO) pada proses pengeringan

kultur Saccharomyces cerevisiae dengan ketebalan lapisan

1.3 mm terhadap kadar air ... 129 3. Data hasil penimbangan kultur kering Saccharomyces cerevisiae

setelah penyimpanan dalam desikator pada berbagai RH ... 130 4. Data hasil penimbangan kultur kering Saccharomyces cerevisiae

+ 2% agar-agar setelah penyimpanan dalam desikator pada

berbagai RH... 131 5. Data hasil penimbangan kultur kering Saccharomyces cerevisiae

+ 2 % CMC setelah penyimpanan dalam desikator pada

berbagai RH ... 132 6. Total koloni kamir kering dari berbagai daerah air terikat, yang

ditumbuhkan pada media PDA dan PDA + 7.5% NaCl... 133 7. Total koloni kamir kering + 2% agar-agar dari berbagai daerah air

terikat, yang ditumbuhkan pada media PDA dan PDA + 7.5% NaCl 134 8. Total koloni kamir kering + 2% CMC dari berbagai daerah air terikat, yang ditumbuhkan pada media PDA dan PDA + 7.5% NaCl ... 135 9. Data pengukuran daya hantar listrik (DHL) dari air rendaman

sel yang bocor karena pengaruh berbagai aw ... 136 10.Data hasil analisis K+ dan Ca++ yang tertinggal dari sel yang

bocor karena pengaruh berbagai aw penyimpanan ... 136 11.Data absorbansi material yang keluar pada air rendaman sel yang

bocor dan terdeteksi pada panjang gelombang 260 dan 280

spektrofotometer uv ... 137 12.Penentuan air terikat primer dengan persamaan BET dari kurva

sorpsi isotermi ... 138 13.Penentuan air terikat sekunder dengan persamaan logaritma

kurva sorpsi isotermi ... 139 14.Penentuan air terikat tersier dengan menggunakan persamaan

polynomial kurva sorpsi isotermi pada ordo 2 ... 140

15.Penentuan air terikat tersier dengan menggunakan persamaan kuadrat 141

16.Komposisi kimia dari kapur api ... 142 17.Contoh perhitungan kadar protein dan asam nukleat berdasarkan

Hukum Beer (Penner, 1994) ... 143

Latar Belakang

Saccharomyces cerevisiae adalah salah satu jenis khamir yang cukup

banyak digunakan sebagai inokulum berbagai proses industri, antara lain dalam produksi roti, cake, minuman beralkohol, dan industri etanol. Penggunaan lainnya adalah untuk menghasilkan produk-produk seperti biomassa, ekstrak khamir, autolisat, komponen flavor, protein sel tunggal dan sebagainya. Kultur starter yang banyak digunakan untuk mendukung pertumbuhan industri-industri tersebut adalah dalam bentuk kering, karena akan memudahkan cara penanganan, penyimpanan, distribusi dan transportasi. Selanjutnya juga memungkinkan penggunaan starter baru pada setiap lot fermentasi, sehingga fermentasi lebih terkendali dan kualitas produk yang dihasilkan lebih terjamin.

Kebutuhan khamir kering untuk mendukung industri-industri tersebut cukup besar dan sampai sekarang produk khamir masih diimpor dari beberapa negara. Total impor Indonesia terhadap produk khamir kering aktif selama tahun 2003 adalah 2.277.538 kg dengan nilai 5.464.114 US$ (BPS 2004). Jumlah dan nilai impor ini dari tahun ketahun cenderung terus meningkat dengan berkembangnya industri makanan di Indonesia (data pada Tabel 1). Diantara negara-negara yang terbesar nilai impornya ke Indonesia adalah Hongkong, China, Australia, Amerika Serikat, Turki, Inggris, Belanda, Perancis, dan Belgia.

Metode pengeringan kultur pada saat ini telah semakin berkembang seperti perkembangan teknologi lainnya, diantaranya adalah metode pengeringan vakum (vacuum drying), pengeringan semprot (spray drying), pengeringan beku (freeze drying) dan metode fluidized. Metode pengeringan dengan suhu rendah atau pengeringan dingin seperti pengeringan beku dan pengering vakum mempunyai potensi cukup baik dalam mempertahankan viabilitas kultur mikroba, sehingga mutu dan kestabilan produk yang dihasilkan cukup tinggi. Pengeringan dingin juga dapat berlangsung dengan udara ambien di daerah yang beriklim sangat kering, namun proses pengeringannya sangat lama.

Salah satu metode pengeringan dingin yang cukup potensial tetapi belum diaplikasikan untuk pengeringan kultur, adalah metode pengeringan absorpsi

atau kemoreaksi. Prinsip pengeringan absorpsi adalah dengan menggunakan absorben yang akan menyerap uap air dari bahan basah, contoh absorben yang sering digunakan adalah gel silika. Sedangkan pengeringan kemoreaksi adalah dengan menggunakan kalsium oksida (CaO) yang terkandung didalam kapur api. Kalsium oksida (CaO) kemudian bereaksi dengan uap air didalam ruang pengering dan menghasilkan energi panas. Energi panas dipakai untuk meng-uapkan air dari bahan lembab, sehingga bahan menjadi kering. Selama proses pengeringan kemoreaksi berlangsung suhu udara didalam ruang pengering tetap rendah, sehingga tidak merusak bahan yang sensitif oleh panas.

Kajian tentang CaO pada kapur api telah diteliti di Institut Pertanian Bogor, diantaranya untuk pengeringan absorpsi terhadap biji lada (Halim 1996 dan Wulandari 2002), mempelajari karakteristik pengeringan dengan CaO (Fuadi 1999), pengeringan absorpsi benih tomat (Suzana 2000). Disamping itu juga digunakan untuk pengeringan brem padat di daerah lembab seperti Bogor (Hersasi 1996), laju pengeringan absorpsi dengan kapur api terhadap filet ikan (Asikin 1998), dan kajian perilaku pengeringan dengan CaO untuk materi hidup (Julianti 2003).

Menurut hasil penelitian Julianti (2003) diketahui CaO tidak memiliki isotermi sorpsi air, dan pengikatan air oleh CaO bukan secara absorpsi tetapi melalui reaksi kimia (kemoreaksi). Selanjutnya juga diketahui bahwa CaO merupakan bahan yang sangat reaktif terhadap air dan pada saat penentuan kadar air kesetimbangan dengan berbagai nilai RH dalam desikator, ternyata CaO bereaksi dengan semua air yang terdapat dalam desikator. Oleh sebab itu istilah pengeringan kemoreaksi lebih tepat digunakan dalam proses pengeringan yang menggunakan CaO (komponen utama pada kapur api).

Pengeringan kemoreaksi lebih ditujukan untuk mengeringkan bahan-bahan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan sangat sensitif oleh panas seperti kultur mikroba yang merupakan komponen hidup, pengeringan bahan volatil untuk mencegah kehilangan minyak atsiri, dan untuk mempertahankan viabilitas dalam pengeringan benih.

Proses pengeringan kultur mikroba menyebabkan sel kehilangan air yang cukup banyak. Dalam hal ini terjadi peningkatan konsentrasi mikrostruktur

di dalam sel sehingga proses metabolisme dan aktivitas seluler berhenti atau sel berada pada masa istirahat (dorman). Kondisi kering ini juga menyebabkan sel mengalami stres, tetapi bila dipindahkan pada medium tumbuh yang sesuai mikroba akan dapat tumbuh normal kembali. Disamping proses pengeringan, faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan stres pada mikroba adalah pemanasan, pembekuan, aktivitas air (aw) rendah, radiasi, senyawa anti mikroba, konsentrasi oksigen rendah dan sebagainya.

Sama dengan produk pangan kering lainnya, kultur kering bersifat sangat higroskopis sehingga kadar airnya akan meningkat. Hal ini terjadi karena kultur kering dapat menyerap uap air dari udara lembab dilingkungan penyimpanannya. Peningkatan kadar air dapat memulai reaksi-reaksi kimia dan biokimia didalam sel, sehingga kestabilan kultur kering dapat terganggu. Peningkatan kadar air yang semakin tinggi dapat merusak mikroba yang stres, sehingga mikroba akan mati.

Kerusakan kultur mikroba kering akibat peningkatan kadar air juga dapat menyebabkan kebocoran sel. Kebocoran terdeteksi dengan adanya ion-ion mineral seperti K+, Na+, Ca++, dan Mg++, serta bahan-bahan lain seperti protein dan nukleotida yang terdapat pada supernatan atau air rendaman sel (Hurst 1984; Bunduki et al. 1995; dan Park et al. 2003).

Berdasarkan hal diatas perlu diketahui kondisi kadar air kritikal dalam penyimpanan kultur kering, agar viabilitasnya dapat terjaga dan kerusakan sel akibat peningkatan kadar air dapat dihindari. Kadar air kritikal dapat ditentukan dari kurva isotermi sorpsi air dengan menganalisis kapasitas masing-masing daerah air terikat dari kurva isotermi tersebut.

Tujuan Penelitian

1. Mengkaji metode pengeringan kemoreaksi dengan kalsium oksida serta menganalisis parameter dalam proses pengeringan yang berpengaruh terhadap viabilitas kultur kering Saccharomyces cerevisiae yang dihasilkan. 2. Menerangkan pola isotermi sorpsi air dan menganalisis kadar air kritikal

3. Menerangkan pola stres dan kematian kultur kering Saccharomyces cerevisiae pada berbagai kondisi kadar air terikat.

4. Mengamati perubahan morfologi dan mikrostruktur serta kerusakan kultur kering.

5. Menganalisis terjadinya kebocoran sel yang mengalami stres dan kerusakan. Kegunaan Penelitian

1. Mengembangan teknologi pengeringan kemoreaksi dengan kalsium oksida untuk produksi kultur kering mikroba.

2. Memberikan data dasar tentang faktor-faktor yang berperan dalam proses pengeringan kemoreaksi dan dampaknya terhadap viabilitas kultur starter kering sehingga diperoleh efisiensi proses pengeringan dan viabilitas tetap terjaga.

3. Memberikan data dasar mekanisme stres kering pada kultur Saccharomyces cerevisiae dan menentukan teknik yang tepat untuk mengurangi stres, yang berdampak pada perubahan morfologi dan kerusakan serta proses biokimia sel kering.

TINJAUAN PUSTAKA

Dokumen terkait