• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Focus Group Discussion Terhadap Peningkatan Smoking Self Efficacy Pada Kelompok Pria Dewasa Awal Kategori Perokok Sedang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Efektivitas Focus Group Discussion Terhadap Peningkatan Smoking Self Efficacy Pada Kelompok Pria Dewasa Awal Kategori Perokok Sedang"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS FOCUS GROUP DISCUSSION TERHADAP

PENINGKATAN SMOKING SELF EFFICACY PADA KELOMPOK

PRIA DEWASA AWAL KATEGORI PEROKOK SEDANG

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Psikologi

Oleh

MAYKE DELLA FRISKA GINTING

107029007

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh:

Nama : Mayke Della Friska Ginting NIM : 107029007

Kekhususan : Klinis Dewasa

Judul Tesis : Efektivitas Focus Group Discussion Terhadap Peningkatan Smoking Self Efficacy Pada Kelompok Pria Dewasa Awal Kategori Perokok Sedang.

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi pada kekhususan Klinis Dewasa dalam Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara pada hari Selasa, 04 Februari 2014.

Dewan Penguji

Penguji I/Pembimbing (Arliza Juairiani Lubis, M.Si, psikolog) NIP. 197803252003122002

Penguji II (Josetta M.R. Tuapattinaja,M.Si, psikolog) NIP. 196212302000042001

Medan, 01 April 2014

Koordinator Magister Psikologi Profesi Dekan

Fakultas Psikologi USU Fakultas Psikologi USU

Dr. Wiwik Sulistyaningsih,M.Si, psikolog Prof. Dr. Irmawati, psikolog

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sesungguh-sungguhnya bahwa Tesis berjudul Efektivitas Focus Group Discussion Terhadap Peningkatan Smoking Self Efficacy

Pada Kelompok Pria Dewasa Awal Kategori Perokok Sedang sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi pada Kekhususan Klinis Dewasa dalam Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara adalah hasil karya saya sendiri.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan Tesis saya yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam Tesis ini, saya bersedia menerima sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 04 Februari 2014

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa yang telah memberikan karunia, kesehatan dan kekuatan sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis yang

berjudul “Efektivitas Focus Group Discussion Terhadap Peningkatan Smoking Self Efficacy Pada Kelompok Pria Dewasa Awal Kategori Perokok Sedang”. Tesis ini ditujukan untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari banyak pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Syahril Pasaribu, DTMH, MSc (CTM), SpA(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Irmawati, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

3. Kak Arliza Juairiani Lubis, M.Si, psikolog, selaku dosen pembimbing. Terima kasih atas segala ilmu, semangat, kesabaran dan kesediaan meluangkan waktu bagi penulis selama penyusunan tesis ini.

4. Ibu Josetta Maria R. Tuapattinaja, M.Si, psikolog selaku dosen penguji. Terima kasih karena telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji dan memberikan masukan serta saran yang sangat berarti bagi penyempurnaan tesis ini.

5. Orangtua tercinta, Ayahanda Sufirman Ginting, B.Sc dan Ibunda Ellyda Sitepu yang senantiasa memberikan doa, kasih sayang dan dukungan moril maupun materi sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan Magister Psikologi Profesi.

6. Suami terkasih, Budi Fani Tarigan ST yang senantiasa menjadi penyemangat sejak awal hingga akhir penyelesaian pendidikan Magister Psikologi Profesi.

7. Adik-adik yang sangat kubanggakan, Felix B. Ginting, S.Pd, Margaretha A. Ginting, SH, dan Yehezkiel L. Ginting yang selama ini telah memberikan doa dan dukungan. 8. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, khususnya Ibu Rodiatul

(5)

telah bersedia meluangkan waktu untuk diskusi pengolahan data secara statistik dalam tesis ini.

9. Seluruh responden dalam penelitian. Terima kasih karena telah bersedia menjadi responden dan meluangkan waktu selama intervensi.

10. Teman-teman seperjuangan angkatan V Magister Psikologi Profesi, Ernida, Elna, Vera, Kak Ella, Meity, Rosya, Kak Reni, Kak Hirmaningsih, Kak Wina, Kak Evi, Ayu, Indi dan Achi. Terima kasih atas kebersamaan, diskusi, dan semangat yang pernah kita bagi bersama selama proses pendidikan.

11. Teman-teman Magister Psikologi Profesi Kekhususan Klinis Dewasa yang saat ini sedang berjuang untuk menyelesaikan pendidikan: Irvan, Aline, Kak Reni dan Yustian semoga kalian bisa melakukan yang lebih baik dari angkatan sebelumnya.

12. Ni Putu Defi, S.Psi terima kasih untuk kebersamaan dan sudah mengajak penulis untuk menikmati bus lintas USU yang sangat menyenangkan dan menghibur hati.

13. Para staf dan pegawai di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, Pak Aswan, Kak Elly, Bang Echo dan Yudi. Terima kasih atas pelayanan terbaik yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan pendidikan.

14. Kepada semua pihak yang turut membantu namun tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis sepenuhnya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini. Oleh karenanya, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak guna menyempurnakan tesis ini dan masukan bagi penulis untuk penelitian dan penulisan karya ilmiah di masa yang akan datang. Akhir kata, penulis berharap tesis ini memberikan manfaat dan kiranya Tuhan yang Maha Kuasa berkenan membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.

Medan, 04 Februari 2014 Penulis

(6)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR FIGUR ... vi

DAFTAR BAGAN ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

ABSTRAK ... ix

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 13

1.3 Tujuan Penelitian ... 13

1.4 Manfaat Penelitian ... 13

1.5 Sistematika Penulisan ... 14

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Merokok ... 15

2.1.1 Definisi Merokok ... 15

2.1.2 Kategori Perokok ... 16

2.1.3 Tahapan Menjadi Perokok ... 16

2.1.4 Tipe-Tipe Perilaku Merokok ... 18

2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok ... 19

2.1.6 Efek Positif dan Negatif Merokok ... 20

2.2 Self Efficacy ... 21

2.2.1 Definisi Self Efficacy ... 21

2.2.2 Sumber Pembentuk Self Efficacy ... 22

2.2.3 Manfaat Self Efficacy ... 24

(7)

2.3 Focus Groups Discussion ... 29

2.3.1 Definisi Focus Groups Discussion ... 29

2.3.2 Tujuan Focus Groups Discussion ... 30

2.3.3 Manfaat Focus Groups Discussion ... 31

2.3.4 Proses Focus Groups Discussion ... 31

2.3.5 Kelebihan dan Keterbatasan Focus Groups Discussion ... 34

2.4 Efektivitas Focus Groups Discussion Terhadap Smoking Self Efficacy ... 36

2.5 Hipotesa ... 39

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Definisi Operasional... 41

3.2 Responden Penelitian ... 42

3.3 Lokasi Penelitian ... 44

3.4 Instrumen Penelitian... 44

3.5 Jadwal Intervensi ... 47

3.6 Prosedur Penelitian... 48

3.7 Metode Analisis Data ... 50

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Kegiatan ... 51

4.1.1 Data Diri Responden ... 51

4.1.2 Gambaran Aktifitas Meorkok ... 51

4.1.3 Smoking Self Efficacy ... 55

4.1.4 Focus Group Discussion ... 56

A. Hasil Pelaksanaan FGD Kelompok ... 56

B. Rekapitulasi Hasil Kelompok ... 74

C. Hasil Pelaksanaan FGD Individu ... 79

D. Rekapitulasi Hasil Individu ... 108

4.2 Pembahasan ... 113

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 121

5.2 Saran ... 122

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Jadwal Pelaksanaan Intervensi Kelompok ... 47

Tabel 2 Ketetapan Pemberian Reinforcemen dan Reward ... 49

Tabel 3 Data Diri Responden ... 51

Tabel 4 Rekapitulasi Gambaran Aktifitas Merokok ... 54

Tabel 5 Gambaran Smoking Self Efficacy Per Individu ... 55

Tabel 6 Gambaran Smoking Self Efficacy Per Kelompok ... 55

Tabel 7 Hasil Pengukuran Tahap Pre-test ... 57

Tabel 8 Rangkuman Diskusi Analisa Kasus ... 63

Tabel 9 Hasil Pengukuran Tahap Post-test ... 69

Tabel 10 Gain Score Post-test dan Pre-test ... 70

Tabel 11 Hasil Pengukuran Tahap Follow-up ... 73

Tabel 12 Hasil Pelaksanaan FGD Pada Jerry ... 79

Tabel 13 Hasil Pelaksanaan FGD Pada Nugrah ... 84

Tabel 14 Hasil Pelaksanaan FGD Pada Dedi ... 91

Tabel 15 Hasil Pelaksanaan FGD Pada Sepro ... 97

Tabel 16 Hasil Pelaksanaan FGD Pada Benggy ... 103

(9)

DAFTAR FIGUR

Halaman

(10)

DAFTAR BAGAN

Halaman

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Modul FGD

Lampiran 2 Handout Presentasi Lampiran 3 Informed Consent

(12)

ABSTRAK Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Februari 2014

Mayke Della Friska Ginting 107029007

Efektivitas Focus Group Discussion Terhadap Peningkatan Smoking Self Efficacy Pada Kelompok Pria Dewasa Awal Kategori Perokok Sedang

ix + 128 halaman, 17 tabel Daftar Pustaka, 54 (1987-2013)

Merokok berdampak negatif terhadap kesehatan dan lingkungan, namun berhenti merokok tidak mudah dilakukan (Sarafino, 2006). Konsep reciprocal determinism yang dikemukakan Bandura (1997) menunjukkan bahwa perilaku merokok memiliki hubungan timbal balik dengan person dan lingkungan. Salah satu aspek dalam person adalah self efficacy. Semakin tinggi smoking self efficacy maka semakin yakin seseorang akan kemampuannya untuk mengontrol keinginan merokok pada high risk situation yang memicu keinginan merokok.

Teknik yang digunakan adalah focus group discussion (FGD) yang diharapkan dapat memfasilitasi peningkatan smoking self efficacy melalui vicarious learning, mastery experiences, persuasi verbal dan affective state. Penelitian menggunakan desain mixed method. Perubahan smoking self efficacy diukur dengan smoking self efficacy questionnaire (SSEQ), observasi dan wawancara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa focus group discussion (FGD) efektif meningkatkan smoking self efficacy. Peningkatan yang terjadi bersifat menetap setelah sebulan kemudian. Setelah menjalani FGD, responden menyatakan lebih yakin terhadap kemampuannya untuk mengontrol keinginan merokok pada hampir seluruh high risk situation kecuali pada situasi saat bersama teman yang merokok dan saat minum kopi.

FGD memfasilitasi terjadinya vicarious learning sehingga responden yang satu menjadi model bagi responden lainnya berkaitan dengan mengontrol keinginan merokok. Dengan demikian disarankan untuk memanfaatkan teknik FGD untuk memfasilitasi peningkatan smoking self efficacy pada kelompok lainnya dari jenis kelamin, kelompok usia, situasi sosial dan tingkat keparahahan yang berbeda.

(13)

ABSTRACT Faculty of Psychology University of North Sumatra

February 2014

Mayke Della Friska Ginting 107029007

The Effectiveness of Focus Group Discussion to Enhance Smoking Self Efficacyin Early Adulthood Categories of Medium Smoker Men

ix + 128 pages, 17 tables Bibliography, 54 (1987-2013)

Smoking has a negative impact for health and the environment, but quitting smoking is not an easy task (Sarafino, 2006). The concept of reciprocal determinism proposed by Bandura (1997) explained that Smoking Behavior has a reciprocal relationship with Person and Environment. Self efficacy within the Person is one important aspect, in which the degree of Smoking Self Efficacy (SSE) have a role with the ability to control smoking desire at high risk situation.

This research uses a mixed method design in which utilize focus group discussion (FGD) as main technique to facilitate the enhancement of smoking self efficacy through vicarious learning, mastery experiences, verbal persuasion, and affective state. The respondents are 5 men age 20 – 22 with medium level of Smoking Behavior. Change on SSE was measured using Smoking Self Efficacy Questionnaire (SSEQ), along with observation and interviews.

The results showed that FGD is effective to increase SSE and it tend to settled even after a month later. After intervention, respondents claimed that they are more confident in the ability to control their desire to smoke in almost all high risk situation, except when they are together with friends who do smoke and when drinking coffee. Furthermore, FGD facilitates vicarious learning the most, respondent became models for other respondents about controlling the desire to smoke.

Therefore FGD is recommended to facilitate SSE enhancement in similar group of respondent. It also can be suggested to find out the effect on other groups based on gender, age, social situation, and different level of Smoking Behavior.

(14)
(15)

ABSTRAK Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Februari 2014

Mayke Della Friska Ginting 107029007

Efektivitas Focus Group Discussion Terhadap Peningkatan Smoking Self Efficacy Pada Kelompok Pria Dewasa Awal Kategori Perokok Sedang

ix + 128 halaman, 17 tabel Daftar Pustaka, 54 (1987-2013)

Merokok berdampak negatif terhadap kesehatan dan lingkungan, namun berhenti merokok tidak mudah dilakukan (Sarafino, 2006). Konsep reciprocal determinism yang dikemukakan Bandura (1997) menunjukkan bahwa perilaku merokok memiliki hubungan timbal balik dengan person dan lingkungan. Salah satu aspek dalam person adalah self efficacy. Semakin tinggi smoking self efficacy maka semakin yakin seseorang akan kemampuannya untuk mengontrol keinginan merokok pada high risk situation yang memicu keinginan merokok.

Teknik yang digunakan adalah focus group discussion (FGD) yang diharapkan dapat memfasilitasi peningkatan smoking self efficacy melalui vicarious learning, mastery experiences, persuasi verbal dan affective state. Penelitian menggunakan desain mixed method. Perubahan smoking self efficacy diukur dengan smoking self efficacy questionnaire (SSEQ), observasi dan wawancara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa focus group discussion (FGD) efektif meningkatkan smoking self efficacy. Peningkatan yang terjadi bersifat menetap setelah sebulan kemudian. Setelah menjalani FGD, responden menyatakan lebih yakin terhadap kemampuannya untuk mengontrol keinginan merokok pada hampir seluruh high risk situation kecuali pada situasi saat bersama teman yang merokok dan saat minum kopi.

FGD memfasilitasi terjadinya vicarious learning sehingga responden yang satu menjadi model bagi responden lainnya berkaitan dengan mengontrol keinginan merokok. Dengan demikian disarankan untuk memanfaatkan teknik FGD untuk memfasilitasi peningkatan smoking self efficacy pada kelompok lainnya dari jenis kelamin, kelompok usia, situasi sosial dan tingkat keparahahan yang berbeda.

(16)

ABSTRACT Faculty of Psychology University of North Sumatra

February 2014

Mayke Della Friska Ginting 107029007

The Effectiveness of Focus Group Discussion to Enhance Smoking Self Efficacyin Early Adulthood Categories of Medium Smoker Men

ix + 128 pages, 17 tables Bibliography, 54 (1987-2013)

Smoking has a negative impact for health and the environment, but quitting smoking is not an easy task (Sarafino, 2006). The concept of reciprocal determinism proposed by Bandura (1997) explained that Smoking Behavior has a reciprocal relationship with Person and Environment. Self efficacy within the Person is one important aspect, in which the degree of Smoking Self Efficacy (SSE) have a role with the ability to control smoking desire at high risk situation.

This research uses a mixed method design in which utilize focus group discussion (FGD) as main technique to facilitate the enhancement of smoking self efficacy through vicarious learning, mastery experiences, verbal persuasion, and affective state. The respondents are 5 men age 20 – 22 with medium level of Smoking Behavior. Change on SSE was measured using Smoking Self Efficacy Questionnaire (SSEQ), along with observation and interviews.

The results showed that FGD is effective to increase SSE and it tend to settled even after a month later. After intervention, respondents claimed that they are more confident in the ability to control their desire to smoke in almost all high risk situation, except when they are together with friends who do smoke and when drinking coffee. Furthermore, FGD facilitates vicarious learning the most, respondent became models for other respondents about controlling the desire to smoke.

Therefore FGD is recommended to facilitate SSE enhancement in similar group of respondent. It also can be suggested to find out the effect on other groups based on gender, age, social situation, and different level of Smoking Behavior.

(17)

BAB 1

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang Masalah

Merokok merupakan aktivitas menghirup atau menghisap asap rokok menggunakan pipa atau rokok (Sitepoe, 2000). Jenis rokok di Indonesia dibedakan berdasarkan bahan pembungkus (klobot, kawang, sigaret dan cerutu); bahan baku/ isi (putih, kretek dan kalembak); proses pembuatan (sigaret kretek tangan dan sigaret kretek mesin); penggunaan filter (filter dan nonfilter) (Sitepoe, 2000). Menurut Sitepoe (2000) perokok dapat dikategorikan berdasarkan jumlah konsumsi rokok harian yaitu: (a) perokok ringan (1 – 10 batang/ hari); (b) perokok sedang (11 – 20 batang/hari); dan (c) perokok berat (> 20 batang/ hari). Perokok yang mengkonsumsi rokok dalam jumlah yang lebih kecil memiliki kecenderungan lebih besar untuk berhenti merokok (Kwon Myung & Gwan Seo, 2011).

(18)

Rokok berbahan dasar tembakau yang mengandung lebih dari 4.000 komponen ataupun zat beracun yang berbahaya bagi tubuh (Floyd, Mimms & Yelding, 2003). Nikotin adalah kandungan tembakau yang berfungsi sebagai stimulan yang menyebabkan peningkatan detak jantung dan tekanan darah sehingga perokok lebih semangat, lebih mampu berkonsentrasi dan berespon lebih cepat (Floyd, Mimms & Yelding, 2003). Komponen ataupun zat beracun di asap rokok menyebabkan berbagai penyakit, antara lain: kanker paru, stroke, penyakit jantung, gangguan pembuluh darah, penurunan kesuburan, gangguan imunitas bayi pada wanita hamil dan peningkatan kematian prenatal (Soewarta, 2008). Dampak negatif lainnya adalah tubuh kekurangan nutrisi, penurunan kemampuan penciuman, penuaan dini pada kulit, osteoporosis, nyeri tulang punggung, cidera otot dan proses pemulihan kesehatan yang lebih lama dibandingkan dengan individu yang tidak merokok (Hahn & Payne, 2003).

Dampak negatif asap rokok tidak hanya dialami perokok aktif tetapi juga orang-orang di sekitar perokok yang diistilahkan dengan perokok pasif atau secondhand-smoke (Ogden, 2000). Perokok seringkali tidak mampu menahan keinginan merokok dan merokok di tempat umum sehingga individu di sekitar perokok (perokok pasif) merasa tidak nyaman dan terganggu. Pernyataan

pemerintahan Australia dalam artikel yang berjudul ”The Dangers of Passive

(19)

Merokok tidak hanya berdampak negatif terhadap kesehatan tetapi juga lingkungan karena menyebabkan pencemaran udara, tanah dan air. Meskipun perokok mengetahui dampak negatif asap rokok, namun merokok telah menjadi fenomena gaya hidup dan cukup dapat diterima secara sosial. Hal ini dipengaruhi oleh sulitnya untuk berhenti merokok akibat efek psychoactive nikotin yang mempengaruhi kognisi, perasaan dan perilaku (Sarafino, 2006). Laporan penelitian di Amerika juga menyatakan bahwa berhenti merokok sangat sulit dilakukan dan memandang ketergantungan nikotin sebagai suatu penyakit kronis. Selain itu merokok tidak hanya sekedar kebiasaan buruk karena mengakibatkan ketergantungan yang kompleks pada biologis, psikologis, perilaku dan sosial (Woerpel, Wright & Wetter, 2007).

Di Indonesia, beberapa usaha terus dilakukan pemerintah dan pihak swasta untuk melindungi masyarakat non-perokok dari paparan asap rokok, misalnya membuat pemisahan antara kawasan merokok dan bebas rokok. Selain itu, pemerintah juga turut berpartisipasi mengurangi dampak rokok dengan menaikkan cukai dan pajak rokok sejak Januari 2014. Kebijakan ini diberlakukan karena meningkatnya prevalensi merokok penduduk Indonesia berdasarkan data Kementerian Kesehatan sehingga kondisi kesehatan penduduk usia kerja terancam asap rokok (Kompas, 2012). Namun, usaha-usaha untuk melindungi masyarakat non-perokok dari paparan asap rokok tampaknya kurang berdampak karena tidak adanya sanksi dan ketegasan pemerintah.

(20)

melihat teman atau orang terdekat yang mengalami gangguan kesehatan sehingga harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit akibat merokok. Ia beranggapan bahwa hal yang sama juga dapat dialaminya dikemudian hari jika tidak segera mengontrol perilaku merokoknya. Fawzani & Tritarnawati (2005) mengatakan bahwa mayoritas perokok mengurangi konsumsi rokok karena telah mengalami gangguan kesehatan akibat merokok.

Hasil survei yang dilakukan LM3 (Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok) di Jawa, diperoleh data bahwa dari total 375 responden yang merupakan perokok dinyatakan 66,2% pernah mencoba berhenti merokok namun mengalami kegagalan. Faktor kegagalan, antara lain: 42,9% karena tidak tahu caranya; 25,7% karena merasa sulit berkonsentrasi jika tidak merokok dan 2,9% karena terikat oleh sponsor rokok. Sementara itu, ada yang berhasil berhenti merokok karena adanya kesadaran sendiri (76%); telah mengalami penyakit (16%) dan tuntutan profesi (8%) (Fawzani & Triratnawati, 2005). Kesulitan mengontrol keinginan merokok juga dapat dilihat dari hasil wawancara berikut:

Pernah sih nggak merokok selama satu minggu, waktu itu terpaksa karena memang lagi tinggal di tempat sodara dan cewek semua yang tinggal disana. Lingkungannya memang bukan perokok. Tapi setelah pindah dari sana kembali merokok karena lingkungan yang baru mayoritas perokok semua. Susah menahan keinginan merokok kalo udah ngeliat orang di dekat kita merokok. Kebayang aja nikmatnya merokok (Komunikasi Personal, Dd 22 tahun).

(21)

Penghentian atau pengurangan suplai nikotin berdampak terhadap fisiologis dan psikologis (Barber, 2001). Efek fisiologis antara lain: sakit kepala, nyeri otot, keram, mual, dan gangguan penglihatan yang biasanya terjadi selama seminggu setelah penghentian atau pengurangan suplai nikotin; sedangkan efek psikologis antara lain: cemas, mudah tersinggung, mudah marah dan kurang bersemangat atau mudah ngantuk. Gejala psikologis merupakan hal yang paling sulit untuk diatasi, khususnya selama 3 hingga 4 bulan penghentian ataupun pengurangan suplai nikotin (Floyd, Mimms & Yelding, 2003). Pendapat tersebut diakui oleh SY dan SR dalam komunikasi personal, sebagai berikut:

Susah untuk berhenti merokok karena sudah candu. Merasa pusing, gak bisa tidur dan dunia ini kurang tenang kalau gak merokok (Komunikasi Personal, SY 20 tahun).

Biasanya kalo nggak merokok aja selama 1 atau 2 jam gitu, udah gelisah aja itu bawaannya. Nggak tenang dan kadang emosi, pengen marah aja (Komunikasi Personal, SR 21 tahun).

(22)

penelitian yang dilakukan oleh Woerpel, Wright & Wetter (2007) adalah pentingnya memberikan edukasi mengenai simptom withdrawal, high risk situation serta strategi untuk mengatasi pemicu keinginan merokok dan strategi koping terhadap simptom withdrawal.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa mengurangi konsumsi rokok atau berhenti merokok bukan hal yang mudah karena terbentuknya perilaku merokok dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pada penelitian ini, terbentuknya perilaku merokok ditinjau menggunakan teori social learning yang dikemukakan Bandura. Bandura (1997) mengatakan bahwa perilaku terbentuk karena ada hubungan timbal balik antara person dan environment. Konsep ini dikenal dengan istilah reciprocal determinism. Terbentuknya perilaku merokok jika ditinjau dari konsep reciprocal determinism adalah hasil hubungan timbal balik antara environment dan person.

Bagan 1

Perilaku Merokok Berdasarkan Konsep Reciprocal Determinism

Berdasarkan bagan 1 di atas, dapat dilihat bahwa salah satu faktor yang Social influence

(Environmental Variabel) - Model

- Instruction - Feedback

Achievement Outcome (Behavior)

- Motivation

- Learning

Self Influence (Personal Variables) - Self Efficacy

- Self Reinforcement

- OutcomeExpectations

(23)

menyatakan bahwa lingkungan sosial yang turut mempengaruhi perilaku merokok antara lain: memiliki orang tua perokok, adanya tekanan teman sebaya, menjadi pemimpin dalam kegiatan sosial dan tidak adanya kebijakan sekolah terhadap larangan merokok (Ogden, 2000). Selain itu, iklan rokok juga meningkatkan keinginan untuk merokok (Sarafino, 2006). Pernyataan yang dikemukakan perokok dalam komunikasi personal mengenai pengaruh lingkungan sosial dalam perilaku merokok adalah sebagai berikut:

Merokok pertama kali waktu SMP kelas III, temen-temen di sekolah banyak yang merokok. Pas ngelihat teman merokok, kayaknya enak, ya dicoba dan ternyata nggak enak. Tapi karena teman di sekolah kebanyakan merokok jadi ikutan aja, dan keterusan sampe sekarang, ya karena lingkungan mayoritas perokok (Komunikasi Personal, EK 20 tahun).

Pertama kali merokok waktu SMA. Penasaran melihat kawan yang merokok, ya jadinya nyoba dan ikut-ikutan kawan aja. Padahal pening dan batuk-batuk waktu pertama merokok. Pokoknya rasanya nggak enaklah, tapi lama-lama ya terbiasa (Komunikasi Personal, JF 21 tahun).

(24)

(Etter & Bergman, 2000). High risk situation tersebut memunculkan dorongan yang besar untuk merokok sehingga perlu dikenali dan diantisipasi.

High risk situation yang digunakan peneliti adalah berdasarkan teori yang dikemukakan Fischer & Corcoran (1987), yaitu: saat merasa kecewa, mengalami kegagalan, perselisihan dengan orang terdekat, saat sedang santai, selesai makan, melihat teman-teman merokok, sedang bersama teman yang merupakan perokok berat, tiba di rumah setelah seharian mengalami hal yang tidak menyenangkan, duduk sendiri di rumah, menonton televisi, belajar, membaca novel atau majalah, menghadiri suatu acara olah raga/ hiburan, sedang minum kopi atau menikmati minuman nonalkohol lainnya, ngobrol dengan teman-teman, dan saat sedang bermain kartu. Responden dalam penelitian ini juga mengatakan bahwa merokok seringkali dipicu oleh situasi yang memunculkan keinginan yang besar untuk merokok, hal ini dapat dilihat dalam wawancara interpersonal sebagai berikut:

Kondisi paling sulit untuk tidak merokok itu ya pas waktu ada masalah. Rasanya beratlah kalo nggak merokok, pikiran bisa kacau, bingung. (Komunikasi Personal, Dd 21 tahun).

Merokok itu paling enak pas lagi santai, apalagi setelah selesai makan dan saat minum kopi. Nikmatlah rasanya. (Komunikasi Personal, NG 21 tahun).

Kalau udah kumpul sama kawan-kawan yang perokok ya pasti merokok. Kadang kita nggak punya rokok tapi ditawarkan jugak sama kawan, kan nggak mungkinlah kita tolak apalagi dia tau kalau kita juga perokok. (Komunikasi Personal, SR 22 tahun).

(25)

Terbentuk dan menetapnya perilaku merokok tidak hanya dipengaruhi lingkungan tetapi juga dipengaruhi self seperti yang tertera pada bagan 1. Self merupakan serangkaian proses dan struktur kognitif yang berhubungan dengan pemikiran dan persepsi. Self terdiri dari 2 aspek penting yaitu self efficacy dan self reinforcement (Schultz & Schultz, 1994). Self efficacy adalah persepsi individu terhadap kemampuan atau kompetensinya melakukan tugas atau kegiatan serta mengatasi hambatan, sedangkan self reinforcement adalah pemberian hadiah atau hukuman pada diri sendiri atas keberhasilan atau kegagalan mencapai harapan. Self efficacy diistilahkan dengan perilaku perantara karena semua perilaku dipengaruhi oleh self efficacy dan dapat digunakan sebagai prediktor keberhasilan dalam intervensi perilaku merokok (Bandura, 1997). Sedangkan self reinforcement dapat berwujud sesuatu yang nyata, misalnya makanan atau benda berharga dan dapat juga berbentuk perasaan misalnya bangga dan kepuasan yang diperoleh saat berhasil mencapai harapan. Dengan demikian, self efficacy dan self reinforcement merupakan faktor yang sangat penting untuk mengubah perilaku merokok (Schultz & Schultz, 1994).

(26)

keinginan merokok. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wismanto & Sarwo (2010) mengenai Konsistensi Niat dan Perilaku Berhenti Merokok pada Karyawan Sekretariat Daerah Kabupaten/ Kotamadya di Jawa Tengah, diperoleh kesimpulan bahwa keyakinan terhadap kemampuan mengontrol keinginan merokok (smoking self efficacy) merupakan sumber yang berpengaruh besar terhadap niat berhenti merokok.

Ada 4 sumber pembentuk dan peningkatan self efficacy, antara lain: mastery experiences, vicarious experiences, social/verbal persuasion dan physiological and affective state (Bandura, 1997). Feist & Brannon (2007) mengatakan bahwa sumber terbesar yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan smoking self efficacy adalah mastery experience (pengalaman keberhasilan). Pengalaman keberhasilan dapat membangun keyakinan terhadap kemampuan diri (peningkatan self efficacy) sedangkan pengalaman kegagalan dapat menurunkan keyakinan terhadap kemampuan diri. Demikian halnya dengan pengalaman keberhasilan perokok untuk mengontrol keinginan merokoknya yang berdampak terhadap peningkatan smoking self efficacy sedangkan pengalaman kegagalan mengontrol keinginan merokok berdampak terhadap penurunan smoking self efficacy.

(27)

keberhasilan, maka ia dapat bertahan menghadapi kesulitan dan cepat pulih dari kemunduran. Bentuk mastery experiences yang disarankan oleh Margolis & McCabe (2006) dalam artikelnya yang berjudul Improving Self Efficacy and Motivation adalah memberikan tugas dengan tingkat kesulitan pada level sedang agar individu memiliki pengalaman keberhasilan dan dapat menilai kesuksesannya tersebut sebagai hasil usahanya sendiri sehingga self efficacy meningkat.

Pada penelitian ini, peneliti memanfaatkan focus group discussion (FGD) sebagai tehnik untuk memfasilitasi perubahan pemikiran dan persepsi responden terhadap kemampuan untuk mengontrol keinginan merokok yang merupakan bagian dari self efficacy. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa self efficacy merupakan aspek penting dalam perubahan perilaku. Lennon (2005) mengatakan bahwa kegiatan focus group discussion dapat dimanfaatkan untuk mengubah persepsi dan menstimulasi munculnya ide-ide baru atau insight karena adanya interaksi dalam kelompok. Selain itu, melalui proses FGD dapat dilihat dinamika yang terjadi pada kelompok, antara lain: bagaimana suatu ide dihasilkan, bagaimana munculnya kesepakatan kelompok atau konflik serta pengaruh dari partisipan yang dominan atau pasif (Monique Hennink, 2007).

(28)

pembelajaran (berbagi informasi), responden merasa berperan saat memberikan masukan kepada kelompok, belajar sosialisasi, terjadi peniruan tingkah laku (modeling) dan terbentuknya kesadaran diri atas feedback yang diberikan oleh anggota kelompok.

Intervensi yang dilakukan secara berkelompok diharapkan dapat meningkatkan smoking self efficacy (keyakinan terhadap kemampuan untuk mengontrol keinginan merokok). Perubahan smoking self efficacy diukur menggunakan smoking self efficacy questionnaire (SSEQ) yang dikemukakan oleh Fischer & Corcoran (1987). SSEQ memiliki hubungan yang positif dengan persiapan berhenti merokok dan usaha untuk berhenti merokok (Kenney & Holahan, 2008). Peningkatan smoking self efficacy berperan dalam meningkatkan kemampuan perokok dalam mengontrol perilaku merokoknya pada high risk situation sebagai pemicu keinginan merokok. Selain itu, peningkatan smoking self efficacy akan meningkatkan keberhasilan dalam mengurangi perilaku merokok.

(29)

1. 2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti bermaksud mengetahui

“apakah focus group discussion efektif untuk meningkatkan smoking self efficacy

pada kelompok pria dewasa awal kategori perokok sedang”.

1. 3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah focus group discussion efektif terhadap peningkatan smoking self efficacy pada kelompok pria dewasa awal kategori perokok sedang.

1. 4 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan atau manfaat kepada disiplin ilmu psikologi, khususnya bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dengan topik substance yang berkaitan dengan nikotin.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan atau manfaat kepada:

(30)

2). Pada masyarakat luas, penelitian ini diharapkan meningkatkan pemahaman dan kesadaran mengenai pentingnya self efficacy sebagai pendukung keberhasilan untuk mengontrol keinginan merokok.

I. 5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab 1 Pendahuluan

Bab ini menguraikan secara umum mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan penelitian.

Bab 2 Landasan Teori

Bab ini menguraikan mengenai berbagai teori yang dapat memberikan penjelasan dan mendukung data penelitian.

Bab 3 Metode Penelitian

Bab ini menguraikan rangkaian penelitian yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan analisa data.

Bab 4 Hasil dan Pembahasan

Bab ini menguraikan mengenai hasil yang ditemukan dalam penelitian serta pembahasan hasil penelitian dan perbandingan hasil penelitian dengan teori.

Bab 5 Kesimpulan, dan Saran

(31)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Merokok

2.1.1 Definisi Merokok

Merokok merupakan aktifitas membakar tembakau kemudian menghisap asapnya menggunakan rokok maupun pipa (Sitepoe, 2000). Definisi yang hampir sama dikemukakan oleh Sari, Ari, Ramdhani, dkk (2003) yang mengatakan bahwa merokok merupakan aktifitas menghirup atau menghisap asap rokok menggunakan pipa atau rokok. Sumarno (dalam Mulyadi, 2007) menjelaskan 2 cara merokok yang umum dilakukan, yaitu: (1) menghisap lalu menelan asap rokok ke dalam paru-paru dan dihembuskan; (2) cara ini dilakukan dengan lebih moderat yaitu hanya menghisap sampai mulut lalu dihembuskan melalui mulut atau hidung.

(32)

2.1.2 Kategori Perokok

Sitepoe (2000) mengkategorikan perokok berdasarkan jumlah konsumsi rokok harian yaitu: (a) perokok ringan (1 – 10 batang/ hari), (b) perokok sedang (11 – 20 batang/ hari), (c) perokok berat (> 20 batang/ hari). Perokok yang mengkonsumsi rokok dalam jumlah yang lebih kecil memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk berhenti merokok (Kwon Myung & Gwan Seo, 2011). Taylor (2009) menyebut istilah chippers untuk menjelaskan perokok yang mengkonsumsi rokok kurang dari 5 batang/ hari dan biasanya chippers tidak menjadi perokok berat sehingga sangat kecil kemungkinan mengalami ketergantungan nikotin. Istilah lainnya pada perokok adalah social smoker yaitu individu yang merokok hanya pada situasi sosial atau situasi tertentu misalnya saat bertemu dengan teman lama di suatu acara atau pesta. Situasi sosial tersebut bertindak sebagai isyarat atau pemicu untuk merokok (Hahn & Payne, 2003).

2.1.3 Tahapan Menjadi Perokok

Merokok tidak terjadi dalam sekali waktu karena ada proses yang dilalui, antara lain: periode eksperimen awal (mencoba-coba), tekanan teman sebaya dan akhirnya mengembangkan sikap mengenai seperti apa seorang perokok (Taylor, 2009). Ada 4 tahapan yang merupakan proses menjadi perokok (Ogden, 2000) antara lain:

1. Tahap I dan II : Initiation dan Maintenance

(33)

Charlton (Ogden, 2000) mengatakan bahwa merokok biasanya dimulai sebelum usia 19 tahun dan individu yang mulai merokok pada usia dewasa jumlahnya sangat kecil. Faktor kognitif berperan besar ketika individu mulai merokok, antara lain: menghubungkan perilaku merokok dengan kesenangan, kebahagiaan, keberanian, kesetia-kawanan dan percaya diri. Faktor lainnya adalah memiliki orang-tua perokok, tekanan teman sebaya untuk merokok, menjadi pemimpin dalam kegiatan sosial dan tidak adanya kebijakan sekolah terhadap perilaku merokok.

2. Tahap III: Cessation

Cessation merupakan suatu proses dimana perokok pada akhirnya berhenti merokok. Tahap cessation terbagi 4, yaitu: precontemplation (belum ada keinginan berhenti merokok), contemplation (ada pemikiran berhenti merokok), action (ada usaha untuk berubah), maintenance (tidak merokok selama beberapa waktu). Tahapan tersebut bersifat dinamis karena seseorang yang berada di tahap contemplation dapat kembali ke tahap precontemplation.

3. Tahap IV : Relapse

(34)

Saat individu dihadapkan dengan high risk situation maka individu akan melakukan strategi coping behavior berupa perilaku atau kognitif. Bentuk perilaku misalnya menjauhi situasi atau melakukan perilaku pengganti (makan permen karet) sedangkan bentuk kognitif adalah mengingat alasan berhenti merokok. Positive outcome expectancies (misalnya merokok mengurangi kecemasan) dan negative outcome expectancies (misalnya merokok membuatnya sakit) dipengaruhi pengalaman individu. No lapse berhasil dilakukan jika individu memiliki strategi coping dan negative outcome expectancies serta peningkatan self efficacy yang mempengaruhi individu tetap bertahan untuk tidak merokok. Namun, jika individu tidak memiliki strategi coping dan memiliki positive outcome expectancies serta self efficacy yang rendah maka individu akan mengalami lapse (kembali merokok dalam jumlah kecil).

2.1.4 Tipe-Tipe Perilaku Merokok

Silvan Tomkins (dalam Sarafino, 2002) menyebutkan 4 tipe perilaku merokok, yaitu:

1. Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif (positif affect smoking). Tujuannya untuk mendapatkan/ meningkatkan perasaan positif, misalnya untuk mendapatkan rasa nyaman dan membentuk image yang diinginkan.

(35)

3. Perilaku merokok yang adiktif (addictive smoking). Individu yang sudah ketergantungan nikotin cenderung menambah dosis rokok yang akan digunakan berikutnya karena efek rokok yang dikonsumsi sebelumnya mulai berkurang sesaat setelah rokok habis dihisap sehingga individu mempersiapkan hisapan rokok berikutnya. Umumnya, individu dengan tipe perilaku merokok yang adiktif merasa gelisah bila tidak memiliki persediaan rokok.

4. Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan (habitual smoking). Dalam hal ini, tujuan merokok bukan untuk mengendalikan perasaannya secara langsung melainkan karena sudah terbiasa.

2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok

(36)

keinginan merokok sangat berpengaruh terhadap berlanjutnya perilaku merokok (Bandura, 1997).

2.1.6 Efek Positif dan Negatif Merokok

Efek positif merokok yaitu menimbulkan perasaan bahagia karena kandungan nikotin pada tembakau menstimulasi adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang terdapat pada area spesifik di otak (Hahn & Payne, 2003). Rose (Marks, Murray, et al, 2004) mengatakan bahwa nikotin yang dikonsumsi dalam jumlah kecil memiliki efek psikofisiologis, antara lain: menenangkan, mengurangi berat badan, mengurangi perasaan mudah tersinggung, meningkatkan kesiagaan dan memperbaiki fungsi kognitif. Istilah nicotine paradox digunakan oleh Nesbih (Marks, Murray, et al, 2004) untuk menjelaskan adanya pertentangan antara efek fisiologis nikotin sebagai stimulan dan menenangkan yaitu kondisi menenangkan diperoleh saat perokok kembali merokok setelah mengalami gejala withdrawal akibat pengurangan atau penghentian nikotin. Meskipun demikian, efek positif merokok sangat kecil dibandingkan dengan efek negatifnya terhadap kesehatan (Ogden, 2000).

(37)

signifikan, perokok memiliki kecenderung lebih besar mengkonsumsi obat-obatan terlarang dan meningkatkan resiko disfungsi ereksi sebesar 50% (Taylor, 2009).

Merokok tidak hanya berbahaya bagi perokok tetapi juga bagi orang-orang di sekitar perokok dan lingkungan (Floyd, Mimms & Yelding, 2003). Passive smokers memiliki kecenderungan yang lebih besar mengalami gangguan jantung karena menghirup tar dan nikotin 2 kali lebih banyak, karbonmonoksida 5 kali lebih banyak dan amonia 50 kali lebih banyak (Donatelle & Davis, 1999). Polusi lingkungan yang menyebabkan kematian terbesar adalah karena asap rokok dan dikategorikan sebagai penyebab paling dominan dalam polusi ruangan tertutup karena memberikan polutan berupa gas dan logam-logam berat (Donatelle & Davis, 1999). Gangguan akut dari polusi ruangan akibat rokok adalah bau yang kurang menyenangkan pada pakaian serta menyebabkan iritasi mata, hidung, dan tenggorokan. Bagi penderita asma, polusi ruangan akan menstimulasi kambuhnya penyakit asma (Sitepoe, 2000).

2.2 Self Efficacy

2.2.1 Definisi Self Efficacy

(38)

(1996) mengatakan bahwa self efficacy adalah bagaimana seseorang merasa mampu untuk melakukan suatu hal.

Self efficacy tidak hanya berfokus pada latihan mengontrol tindakan, tetapi juga berfokus pada mengontrol pola pikir, motivasi dan kondisi afektif serta fisiologis. Individu dapat gagal menampilkan hal terbaik yang dimilikinya meskipun sebenarnya ia tahu apa yang harus dilakukan dan memiliki kemampuan melakukannya. Hal ini dipengaruhi oleh perceived self efficacy yang tidak hanya berfokus pada kemampuan yang dimiliki, namun pada keyakinan untuk melakukannya dengan baik (Bandura, 1997).

Berdasarkan beberapa definisi self efficacy yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa self efficacy adalah keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk melakukan suatu tindakan dengan baik (meliputi pola pikir, motivasi dan afeksi serta fisiologis) sehingga individu berusaha menampilkan hal terbaik yang dimilikinya guna mencapai suatu hasil atau tujuan dengan maksimal.

2.2.2 Sumber Pembentuk Self Efficacy

Bandura (1997) mengatakan ada 4 sumber pembentuk self efficacy antara lain: mastery experiences, vicarious experiences, persuasi verbal serta kondisi fisiologis dan afektif (emotional arousal).

1. Mastery Experiences

(39)

keberhasilan. Keberhasilan akan meningkatkan harapannya untuk menguasai sesuatu hal, dan sebaliknya kegagalan yang berulang akan menurunkan harapan untuk menguasai sesuatu hal. Besarnya self efficacy yang terbentuk dalam diri individu bergantung pada beberapa hal, antara lain: (1) banyaknya kesuksesan dan kegagalan yang dialami; (2) persepsi terhadap tingkat kesulitan; (3) usaha yang dilakukan dalam mencapai tujuan; (4) pengalaman yang diingat dan direkonstruksi oleh daya ingat; dan (5) banyaknya bantuan eksternal dari lingkungan.

2. Vicarious Experiences

Self efficacy dapat ditingkatkan melalui pengalaman keberhasilan orang lain. Saat melihat keberhasilan orang lain yang memiliki kemampuan yang sama dengan individu, maka individu akan merasa yakin bahwa dirinya juga dapat berhasil. Peran vicarious experience terhadap self efficacy, sangat dipengaruhi oleh persepsi individu terhadap dirinya yang memiliki kesamaan dengan model. Semakin seseorang merasa dirinya mirip dengan model, maka kesuksesan dan kegagalan model akan semakin mempengaruhi self efficacy. Pengamatan terhadap perilaku dan cara berfikir model tersebut, akan memberi pengetahuan dan pelajaran mengenai strategi dalam menghadapi berbagai tuntutan lingkungan. 3. Persuasi Verbal

(40)

Meskipun demikian, pernyataan orang lain yang disampaikan secara terus menerus akan membentuk keyakinan yang relatif menetap.

4. Physiological and Affective State

Individu biasanya memandang stres dan kecemasan sebagai tanda ketidakmampuan diri. Level of arousal merupakan ambang ketergugahan emosi seseorang dalam menghadapi suatu keadaan atau situasi tertentu. Ambang ketergugahan emosi pada tingkat rendah mengakibatkan individu mudah cemas ketika menyelesaikan suatu masalah yang disebabkan oleh perasaan tidak mampu. Sebaliknya, individu yang memiliki ambang ketergugahan emosi yang tinggi lebih mampu bersikap tenang menghadapi suatu masalah serta berusaha untuk menyelesaikannya dengan baik. Selain itu, informasi mengenai kondisi fisiologis mempengaruhi penilaian individu terhadap kemampuannya.

2.2.3 Manfaat Self Efficacy

Self efficacy merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi perilaku. Selain itu, self efficacy juga memiliki manfaat yang cukup besar dalam kehidupan individu, diantaranya sebagai berikut (Bandura, 1997):

a. Pembentukan Perilaku

Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi akan selalu menerapkan apa yang dapat dilakukannya dalam menghadapi suatu tugas untuk mencapai tujuan yang diinginkannya.

(41)

Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi akan memiliki kualitas dan kuantitas yang baik dalam melakukan segala usahanya dan tidak mudah menyerah dalam mencapai keinginannya.

c. Pola Pikir

Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi, memiliki pola pikir yang positif. Saat menghadapi permasalahan ia mampu membuat perencanaan untuk penyelesaian masalah dan menganggap kegagalan sebagai keberhasilan yang tertunda serta tidak menyesali kegagalannya tersebut.

2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Efficacy

a. Cognitive Processes

Perilaku diatur oleh pemikiran yang berfungsi mewujudkan tujuan dan penetapan tujuan tersebut dipengaruhi oleh penilaian terhadap kemampuan diri. Semakin tinggi self efficacy, maka semakin tinggi tujuan yang ditetapkan dan ada komitmen untuk mencapainya. Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi mampu memvisualisasi kesuksesan yang memberikan petunjuk positif dan dukungan terhadap performa. Individu yang meragukan keberhasilan, memvisualisasikan skenario kegagalan dan sulit mencapai tujuan karena ada keraguan terhadap diri. Fungsi utama pemikiran adalah untuk memampukan individu memprediksi kejadian dan mengembangkan cara mengontrol hal-hal yang mempengaruhi kehidupan. b. Motivational Processes

(42)

tindakan antisipatori dengan melatih pemikiran. Individu yang memiliki efficacy yang tinggi, menghubungkan kegagalan dengan kurangnya usaha, sedangkan individu yang memiliki efficacy yang rendah menghubungkan kegagalan dengan kemampuan yang rendah. Dalam teori expectancy -value, motivasi diatur oleh harapan bahwa perilaku akan memberikan hasil dan manfaat. Namun, individu bertindak sesuai dengan keyakinan terhadap apa yang dapat dilakukan, serta pada keyakinan terhadap hasil tindakannya. Self efficacy berkontribusi terhadap motivasi dalam beberapa cara: menentukan tujuan yang ditetapkan individu pada dirinya, besarnya usaha serta kebertahanan menghadapi kesulitan dan kegagalan. Individu yang meragukan kemampuannya akan mengurangi usaha dan mudah menyerah saat dihadapkan dengan rintangan atau kegagalan.

c. Affective Processes

(43)

Perceived self efficacy yang berkaitan dengan mengontrol proses pemikiran adalah faktor terpenting untuk meregulasi pemikiran yang berkaitan dengan stres dan depresi. Semakin kuat perceived self regulatory efficacy yang dimiliki individu, maka semakin besar kesuksesan dalam mengurangi habit yang mengganggu kesehatan dan mengadopsi serta mengintegrasikan habit yang berkaitan dengan kesehatan menjadi gaya hidup rutin.

d. Selection Processes

Individu adalah bagian dari lingkungannya, sehingga keyakinan berpengaruh pada jenis kegiatan dan lingkungan. Individu menghindari kegiatan dan situasi yang diyakini melebihi kemampuan koping mereka, namun mereka siap melakukan kegiatan yang menantang dan memilih situasi yang diyakini dapat ditangani. Dengan pilihan yang mereka buat, individu mengembangkan kompetensi, minat dan jaringan yang berbeda dalam menentukan program hidup. Pilihan karir dan pengembangan adalah salah satu contoh kekuatan self efficacy untuk mempengaruhi jalan kehidupan melalui pilihan yang berkaitan dengan proses. Semakin tinggi perceived self efficacy maka semakin luas pilihan karir, semakin besar minat dan semakin baik persiapan diri melalui pendidikan untuk pengejaran karir yang dipilih dan semakin besar kesuksesan mereka.

2.2.5 Smoking Self Efficacy

(44)

Smoking self efficacy berpengaruh dan berperan penting terhadap keberhasilan mengurangi ataupun berhenti merokok. Smoking self efficacy diukur menggunakan kuisioner yaitu smoking self efficacy questionnaire (SSEQ) yang terdiri dari 17 aitem yang menggambarkan situasi pemicu keinginan merokok (high risk situation). Cara pengisian kuisioner smoking self efficacy dilakukan dengan memberikan skor untuk setiap aitem yang bergerak kontinum dari skor 10 hingga 100, sehingga skor minimal adalah 10 x 17 aitem = 170 dan skor maksimal adalah 100 x 17 aitem = 1.700 untuk masing-masing responden.

2.2.6 High Risk Situation

Merokok dipicu oleh high risk situation (HRS) yang merupakan situasi atau kondisi yang bersumber dari lingkungan (eksternal) maupun diri sendiri (internal). High risk situation tersebut biasanya memunculkan dorongan kuat untuk merokok sehingga perlu dikenali dan diantisipasi (Woerpel, Wright & Wetter, 2007). Pada penelitian ini, terdapat 17 high risk situation yang menjadi pemicu keinginan merokok yang dikemukakan oleh Fischer & Corcoran (1987), antara lain:

1) Mengikuti ujian yang penting dan merasa gagal mengerjakannya.

2) Merasa kecewa dan menyalahkan diri sendiri karena seorang teman tiba-tiba membatalkan janji ketemu yang sudah direncanakan jauh-jauh hari. 3) Bertengkar dengan pacar atau teman sehingga menjadi uring-uringan dan

sangat marah.

(45)

5) Selesai makan malam di sebuah restoran, lalu melihat teman-teman memesan kopi dan duduk-duduk sambil merokok.

6) Bersama teman yang perokok berat namun tidak ingin mereka tahu bahwa anda sedang berusaha mengurangi rokok.

7) Pulang dari sekolah atau tempat kerja dalam keadaan penat dan capek. Sepanjang hari tersebut anda merasa cemas, frustasi dan gagal.

8) Duduk sendirian di rumah dalam keadaan murung memikirkan masalah-masalah dan kegagalan yang dialami.

9) Menonton acara televisi. 10)Sedang belajar.

11)Sedang membaca buku cerita.

12)Menonton secara langsung pertandingan olah-raga atau suatu pertunjukan. 13)Mengobrol di telepon.

14)Minum kopi atau minuman ringan lainnya. 15)Baru selesai makan.

16)Mengobrol atau bersosialisasi dengan teman. 17)Bermain kartu.

2.3 Focus Groups Discussion (FGD)

2.3.1 Definisi Focus Groups Discussion

(46)

orang yang dipimpin seorang narasumber atau moderator yang secara halus mendorong peserta untuk berani berbicara terbuka dan spontan tentang hal yang dianggap penting dan berhubungan dengan topik diskusi saat itu.

Prawitasari (2011) mengatakan bahwa FGD biasanya terdiri dari 7 – 10 orang yang diseleksi karena memiliki karakteristik yang sama sehubungan dengan topik yang dibicarakan di dalam kelompok. Yang terpenting pada FGD adalah homogenitas anggota karena anggota yang homogen akan memudahkan kepemimpinan terapis, terutama terapis yang baru. Homogenitas disini berarti bahwa kelompok terdiri atas sekelompok orang yang mempunyai karakteristik tertentu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa FGD adalah proses pengumpulan data atau informasi secara sistematis pada sekelompok kecil individu yang memiliki karakteristik tertentu berkaitan dengan topik pembicaraan dan dipandu oleh seorang moderator yang bertugas mendorong peserta untuk terbuka mengemukakan pendapatnya selama proses diskusi berlangsung.

2.3.2 Tujuan Focus Groups Discussion

(47)

2.3.3 Manfaat Focus Groups Discussion

Gloria & Catherine (2007) mengemukakan beberapa manfaat penggunaan FGD, antara lain: (1) Proses FGD menyediakan metode yang terstruktur dan teroganisasi untuk mengumpulkan informasi dari beberapa partisipan. Selain itu, FGD merupakan cara yang cepat dan efektif untuk mendorong munculnya pemikiran baru dan secara bersamaan membangun ketertarikan dan komitmen terhadap perubahan. (2) Data yang terkumpul melalui FGD memberikan informasi yang lebih banyak dibandingkan survey. (3) FGD menyediakan data kualitatif yang rinci, sehingga topik yang didiskusian dapat dipahami lebih mendalam. (4) Proses FGD memungkinkan partisipan untuk berkontribusi memberikan pendapat tanpa persiapan atau usaha yang besar.

Morgan (dalam Monique Hennink, 2007) mengatakan bahwa proses pada FGD mendorong munculnya insight yang diperoleh karena adanya interaksi dalam kelompok. Selain itu juga dikatakan bahwa pada proses FGD, partisipan dapat merespon komentar partisipan lainnya dalam kelompok sehingga dapat memunculkan refleksi, perubahan pendapat dan pembenaran berkaitan dengan topik yang dibahas. Manfaat lainnya adalah FGD dapat digunakan untuk mempelajari dinamika yang terjadi pada kelompok, antara lain: bagaimana suatu ide dihasilkan, mengidentifikasi munculnya kesepakatan kelompok atau konflik serta pengaruh dari partisipan yang dominan atau pasif (Monique Hennink, 2007).

2.3.4 Proses Focus Groups Discussion

(48)

A. Persiapan

Persiapan yang pokok meliputi tersedianya moderator yang terampil. Menurut Hardon, Brudon-Jakobowicz, dan Reeler (dalam Prawitasari, 2011) moderator tidak perlu memiliki kualifikasi akademik tinggi, tetapi harus mengetahui tujuan diskusi dan memiliki keterampilan komunikasi. Keterampilan tersebut meliputi: mendorong seluruh partisipan untuk berdiskusi; memberikan stimulasi diskusi antara partisipan, terutama bila informasi baru diberikan, atau perspektif yang berbeda dikemukakan; membimbing kelompok dari topik satu ke topik lainnya. Selain pemandu yang terampil, tempat untuk diskusi juga harus ditentukan dan yang terpenting adalah tempat tersebut harus netral.

(49)

untuk penutup yang meliputi pernyataan terima-kasih atas partisipasi peserta diskusi dan pentingnya informasi yang telah mereka berikan.

Secara ringkas, Eko Budiarto (2003) mengemukakan tahapan persiapan dalam FGD yaitu menentukan tujuan dan penyusunan pedoman diskusi sesuai dengan pokok bahasan; menentukan kriteria peserta diskusi; menetukan jumlah peserta dalam suatu kelompok; mencari peserta diskusi yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan; mempersiapkan fasilitas lainnya (lokasi diskusi, alat perekam dan dokumentasi); mempersiapkan daftar pertanyaan yang akan digunakan; mengadakan perjanjian dengan peserta mengenai tempat dan waktu pelaksanaan diskusi.

B. Pelaksanaan

Dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan beberapa hal. Salah satunya adalah bahwa pemandu sudah harus berada di tempat sebelum kelompok dimulai. Setelah kelompok terkumpul, diskusi dapat dimulai dengan pengantar dan perkenalan. Di dalam pengantar, pemandu memperkenalkan diri serta mengemukakan tujuan diskusi. Konfidensialitas perlu ditekankan disini; siapa saja yang akan mempunyai akses terhadap rekaman perlu dikemukakan. Diskusi dapat dimulai setelah semua memperkenalkan diri.

C. Penyajian Data

(50)

hasil FGD juga perlu disesuaikan dengan tujuan penelitian dan biasanya hasil disajikan berupa narasi.

2.3.5 Kelebihan dan Keterbatasan Focus Groups Discussion

FGD memiliki kelebihan dan keterbatasan dalam penggunaannya. Berikut ini adalah penjelasan mengenai kelebihan FGD yang dikemukakan oleh Prawitasari (2011).

a) Kelompok terarah memberikan data yang berasal dari sekelompok orang dengan lebih cepat dan murah. Kelompok ini juga dapat dikumpulkan relatif lebih mudah dan cepat dibandingkan survey yang sistematis dan besar.

b)Dalam kelompok terarah, peneliti dan responden dapat berinteraksi secara langsung. Ini memberikan kesempatan untuk menanyai kembali, memperoleh penjelasan, dan tindak lanjut pertanyaan terdahulu. Kelompok juga memberi kesempatan peneliti untuk mengamati komunikasi non-verbal seperti ekspresi wajah, postur, gestur, maupun nada suara responden dalam menyampaikan pendapatnya.

c) Format terbuka dalam kelompok terarah memberikan kesempatan untuk memperoleh data yang banyak dan kaya dalam kalimat-kalimat responden sendiri. Peneliti dapat memperoleh arti yang dalam, membuat hubungan antara satu pernyataan dengan pernyataan lainnya.

(51)

dalam kelompok. Hal ini tidak mungkin terjadi dalam wawancara individual.

e) Hasil kelompok terarah mudah dimengerti. Peneliti dan pengambil keputusan dapat dengan cepat mengerti respon verbal responden. Hal ini tidak mungkin diperoleh dari instrumen lain yang mungkin membutuhkan analisis statistik yang rumit.

f) Kedalaman respons yang diperoleh melalui metode ini yang tidak dapat diperoleh melalui metode kuantitatif.

Diskusi kelompok terarah juga memiliki keterbatasan. Keterbatasannya adalah dibutuhkannya pemandu yang terampil dalam interaksi sosial. Ia perlu mempunyai karakteristik tertentu seperti pemimpin yang baik dalam terapi kelompok (Prawitasari, 1991). Syarat tersebut antara lain adalah penerimaan tanpa penilaian, empati, kepekaan terhadap komunikasi non-verbal, tegas tetapi halus dalam memotong anggota yang sangat dominan, mendorong anggota yang pasif untuk memberikan pendapatnya, mengarahkan diskusi pada topik yang telah ditentukan sebelumnya.

(52)

2.4 Efektifitas Focus Group Discussion Terhadap Smoking Self Efficacy

Bandura (1997) mengatakan bahwa self efficacy merupakan komponen yang sangat penting dalam perubahan perilaku. Penelitian yang dilakukan oleh DiClemente (Ogden, 2000) mengenai hubungan antara tahapan merokok dengan keberhasilan berhenti merokok, mempertimbangkan aspek self efficacy dengan cara mengukur smoking abstinence self efficacy untuk melihat tingkat keyakinan individu terhadap keberhasilannya tidak merokok dalam 20 situasi yang sulit. Individu yang memiliki keyakinan yang tinggi terhadap kemampuannya untuk berhenti merokok memiliki tingkat kesuksesan yang lebih besar untuk berhenti merokok. Selain itu juga dikatakan bahwa self efficacy merupakan konstruk psikologis yang penting dan memiliki keterkaitan serta keterlibatan langsung dengan berhenti merokok (Spek, Pouwer & Pop, 2012).

(53)

Peneliti memanfaatkan FGD sebagai intervensi pada penelitian ini untuk memfasilitasi perubahan pada pemikiran dan persepsi terhadap kemampuan untuk mengontrol keinginan merokok yang merupakan bagian dari self efficacy. Lennon et, al (2005) mengatakan bahwa FGD merupakan cara atau metode yang sangat efektif untuk mendapatkan ide baru dan sekaligus membangun ketertarikan serta komitmen terhadap perubahan. Selain itu, FGD bermanfaat untuk membentuk kesadaran dan memfasilitasi perubahan perilaku pada konteks pendidikan kesehatan (Puchta & Potter, 2004). Melalui kegiatan FGD, respoden dapat saling bertukar pendapat mengenai pengalaman keberhasilan dalam mengaplikasikan tindakan mengontrol keinginan merokok sehingga memperoleh pembelajaran baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu, kegiatan FGD dimanfaatkan untuk membentuk persepsi subjektif responden terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam mengontrol keinginan merokok pada high risk situation yang merupakan stimulus pemicu keinginan merokok.

(54)
(55)

2.5 HIPOTESA

(56)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan mixed method research (metode penelitian campuran) dimana peneliti mengkombinasikan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif dalam satu penelitian (Christensen, 2004). Penggunaan mixed method research dapat membantu untuk meningkatkan kualitas penelitian secara menyeluruh. Keuntungan lainnya antara lain: penggunaan penelitian kuantitatif dan kualitatif secara bersama-sama dapat menghasilkan pengetahuan yang lebih lengkap; dapat menjawab pertanyaan penelitian yang lebih luas dan lebih lengkap karena peneliti tidak terbatas pada satu metode atau pendekatan; dapat memberikan bukti yang kuat bagi kesimpulan serta dapat menambah wawasan dan pemahaman yang mungkin terlewatkan jika hanya menggunakan satu metode penelitian (Christensen, 2004). Rancangan penelitian yang digunakan peneliti adalah sebagai berikut:

Figur 1. Rancangan Penelitian

Pre-test Post-test

measure Treatment measure Follow-up Kelompok eksperimen O1 X O2 O3

Keterangan figur 1:

O1 : kategori level smoking self efficacy sebelum diberikan treatment

X : treatment berupa FGD

O2 : kategori level smoking self efficacy setelah diberikan treatment

(57)

3.1 Definisi Operasional

Solso & Maclin (2002) menyatakan bahwa sebelum proses penelitian dilakukan, seorang peneliti harus mendefinisikan secara operasional konsep yang akan digunakan dengan cara melakukan spesifikasi bagaimana konsep itu diukur atau dimanipulasi.

a. Focus Group Discussion (FGD)

FGD adalah metode atau tehnik yang dapat digunakan untuk mengubah persepsi dan menstimulasi munculnya ide-ide baru atau insight karena adanya interaksi atau dinamika pada sekelompok kecil individu yang memiliki karakteristik tertentu berkaitan dengan topik pembicaraan. FGD dipandu oleh seorang moderator yang bertugas mendorong peserta untuk terbuka mengemukakan pendapatnya selama proses diskusi berlangsung. Intervensi secara berkelompok memberikan manfaat positif, antara lain: memfasilitasi pembentukan harapan agar responden tetap terlibat dalam kelompok, responden merasa tidak sendirian dengan permasalahannya, adanya pembelajaran (berbagi informasi), responden merasa berperan saat memberikan masukan kepada kelompok, belajar sosialisasi, terjadi peniruan tingkah laku (modeling) dan terbentuknya kesadaran diri atas feedback yang diberikan oleh anggota kelompok.

b. Smoking Self Efficacy

(58)

berkaitan dengan high risk situation sebagai pemicu merokok. High risk situation tersebut antara lain: saat merasa kecewa; mengalami kegagalan; perselisihan dengan orang-orang terdekat; saat sedang santai; selesai makan; melihat teman-teman sedang merokok; sedang bersama teman yang merupakan perokok berat; tiba di rumah setelah seharian mengalami hal yang tidak menyenangkan; duduk sendirian di rumah; menonton televisi; sedang belajar; membaca novel atau majalah; menonton secara langsung kegiatan olah raga/ hiburan; sedang minum kopi atau menikmati minuman non-alkohol lainnya; ngobrol dengan teman-teman; dan saat sedang bermain kartu. Cara pengisian kuisioner smoking self efficacy dilakukan dengan memberikan skor untuk setiap aitem yang bergerak kontinum dari angka 10 hingga 100, sehingga skor minimal adalah 10 x 17 aitem = 170 dan skor maksimal adalah 100 x 17 aitem = 1.700 untuk masing-masing responden. Perubahan skor menunjukkan adanya perubahan smoking self efficacy. Perubahan yang positif menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan yaitu focus group discussion efektif meningkatkan smoking self efficacy. Perubahan positif diperoleh jika ada peningkatan level kategori smoking self efficacy dan sebaliknya perubahan negatif diperoleh jika ada penurunan level kategori smoking self efficacy.

3.2 Responden Penelitian

a. Karakteristik Populasi Penelitian

(59)

1. Berusia dewasa awal.

Masa dewasa awal dimulai sekitar usia 18 - 22 tahun dan berakhir pada usia 35 - 40 tahun (Papalia, Old & Feldman, 2005). Penetapan usia dewasa awal karena pertimbangan bahwa pada usia dewasa awal sudah mulai terbentuk pola merokok yang konsisten serta lebih mudah membentuk keyakinan terhadap kesehatannya (Feist & Brannon, 2007). Selain itu, tahap kognitif dewasa awal berada pada fase operasional formal (Santrock, 2002) sehingga memudahkan mereka untuk mengenali high risk situation yang merupakan situasi pemicu keinginan merokok dan mampu berpartisipasi aktif selama proses FGD.

2. Berjenis kelamin pria

Jenis kelamin memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku merokok pada masa dewasa awal karena pria memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mencoba merokok atau menjadi perokok tetap dibandingkan wanita (Devi, 2008). Meskipun demikian, pria memiliki kesulitan yang lebih sedikit untuk berhenti merokok dibanding wanita karena pria tidak mempertimbangkan peningkatan berat badan sebagai salah satu dampak pengurangan atau berhenti merokok (Feist & Brannon, 2007).

3. Perokok kategori sedang

Gambar

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Intervensi Kelompok
Tabel 2. Ketetapan Pemberian Reinforcement dan Reward
Tabel 3. Data Diri Responden
Tabel 4. Rekapitulasi Gambaran Aktifitas Merokok
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pangkur Jenggleng Ayom-ayem terdapat berbagai perbedaan dengan penyajian pada umumnya dan terkesan menyimpang dari pakem yang ada, akan tetapi keberadaannya masih

Penilaian faktor profil risiko merupakan penilaian terhadap risiko inheren dan kualitas penerapan manajemen risiko dalam akivitas operasional bank (Ikatan Bankir

Hasil besaran suhu pada saluran bersirip yang diambil mulai dari input, dinding saluran masuk (wall kiri), sirip 1 (wall 1) sampai sirip 6 (wall 6), dinding saluran output

diperjualbelikan  secara  barter  asalkan  memenuhi  syarat.  Bila  barter 

Pengertian keadilan menurut Aristoteles yang menggemukakan bahwa keadilan ialah tindakan yang terletak diantara memberikan terlalu banyak dan juga sedikit yang dapat diartikan

Adapun saran untuk peneliti selanjutnya berdasarkan hasil simulasi dan analisa Tugas Akhir ini yaitu, bagi penelitian lebih lanjutnya perlu dipikirkan lebih lanjut