• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Ketamine 0.5 mg/kgBB/IV Dan Propofol 1 mg/kgBB/IV Untuk Mencegah Agitasi Paska Anestesi Sevoflurane Pada Pasien Pediatri Dengan General Anestesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Ketamine 0.5 mg/kgBB/IV Dan Propofol 1 mg/kgBB/IV Untuk Mencegah Agitasi Paska Anestesi Sevoflurane Pada Pasien Pediatri Dengan General Anestesia"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN KETAMINE 0.5 mg/kgBB/IV DAN

PROPOFOL 1 mg/kgBB/IV UNTUK MENCEGAH AGITASI

PASKA ANESTESI SEVOFLURANE PADA PASIEN

PEDIATRI DENGAN GENERAL ANESTESIA

TESIS Anna Millizia NIM : 107114002

PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS

DEPARTEMEN / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA /

(2)

PERBANDINGAN KETAMINE 0.5 mg/kgBB/IV DAN

PROPOFOL 1 mg/kgBB/IV UNTUK MENCEGAH AGITASI

PASKA ANESTESI SEVOFLURANE PADA PASIEN

PEDIATRI DENGAN GENERAL ANESTESIA

TESIS

Anna Millizia 107114002

PEMBIMBING I :

dr. Chairul M. Mursin, Sp. An, KAO

PEMBIMBING II

dr.Hasanul Arifin, Sp. An, KAP, KIC

Untuk memperoleh gelar Magister Klinik di bidang Anestesiologi dan

Terapi Intensif / M.Ked (An) pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS

DEPARTEMEN / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA /

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan Rahmat dan Karunia-Nya saya berkesempatan membuat penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh tanda keahlian dalam bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi–tingginya kepada yang terhormat : dr. Chairul M. Mursin Sp.An, KAO dan dr. Hasanul Arifin Sp.An, KIC, KAP atas kesediaannya sebagai pembimbing penelitian saya, serta dr. Putri C Eyanoer, Ms. Epi sebagai pembimbing statistik penelitian saya, walaupun di tengah kesibukan masih dapat meluangkan waktu.

Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Prof.DR. Dr. H. Syahril Pasaribu DTM&H, Msc(CTM), Sp.A(K). Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar Sp.PD (KGEH) atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis (PPDS) I dan magister klinik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Yang terhormat Prof. dr. H. Achsanuddin Hanafie Sp.An, KIC, KAO sebagai Kepala Departemen/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, dr. Hasanul Arifin Sp.An, KAP, KIC sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, Dr. dr. Nazaruddin Umar Sp.An, KNA sebagai Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, dr. Akhyar H. Nasution Sp.An, KAKV sebagai Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, yang telah banyak memberikan petunjuk, pengarahan serta nasehat dan mendidik selama saya menjalani penelitian ini.

(4)

Shinta Irina SpAn. dr Rommy F Nadeak SpAn., yang telah banyak memberikan bimbingan dalam bidang ilmu pengetahuan di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif, baik secara teori maupun keterampilan sehingga menimbulkan rasa percaya diri dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya yang kiranya sangat bermanfaat bagi saya di kemudian hari.

Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, Bapak Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan, Karumkit Tk. II Putri Hijau Medan, Direktur RS Haji Medan, yang telah mengizinkan dan memberikan bimbingan serta kesempatan kepada saya untuk belajar menambah keterampilan.

Kepada para perawat / paramedis dan seluruh Karyawan / Karyawati RSUP H. Adam Malik Medan, RSUD dr.Pirngadi Medan, RS Haji Medan, dan Rumkit Tk. II Putri Hijau Medan yang telah banyak membantu dan bekerja sama dengan baik selama ini dalam menjalani tugas pendidikan dan pelayanan kesehatan, serta kesempatan yang diberikan sehingga saya dapat melaksanakan penelitian ini, saya juga mengucapkan terima kasih yang setulusnya.

Sembah sujud dan rasa syukur saya persembahkan kepada yang tercinta kedua orang tua saya, ayahanda; H. Anwar Iska dan ibunda; Hj. Zarlina saya sampaikan rasa hormat dan terima kasih saya yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas doa dan perjuangannya yang tiada henti serta dengan siraman kasih sayang yang luar biasa yang telah diberikan kepada saya.

Kepada adik kandung saya, yaitu S. Abul Khairi terima kasih tak terhingga dan setulusnya atas dorongan dan inspirasinya selama saya menjalani masa pendidikan spesialis ini.

Yang saya hormati dan cintai Bapak mertua dr. H. Einil Rizar, Sp. OG(K) dan Ibu mertua Hj. Dwi Satellita yang juga telah mendukung dan memberikan doa dan restu untuk saya agar dapat menuntut ilmu dan mengejar cita-cita saya.

Kepada suami yang sangat saya cintai dan kasihi, dr. M. Bayu Rizaldy yang selalu menyayangi saya, dengan cinta kasihnya yang luar biasa selalu memberikan dorongan, dan tidak pernah bosan selalu memberikan waktu dan tenaganya untuk mendengarkan keluh kesah saya dengan penuh perhatian. Terima kasih yang tak terhingga atas kesabaran dan keikhlasan selama saya menjalani pendidikan ini, semoga usaha saya ini juga dapat menjadi dasar dalam setiap aspek kehidupan kami kedepannya.

(5)

dukungan moral maupun materil, serta doanya yang tulus sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan ini, saya mengucapkan terima kasih.

Kepada yang tercinta teman-teman satu angkatan saya dalam penerimaan Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran USU yaitu: dr. Mufti Andri, dr Benni Antomy dan dr. Wahyu Satria Kencana, yang telah bersama-sama sejak mulai penerimaan masuk, berbagi dalam suka maupun duka, tak lupa saya haturkan terima kasih. Begitu juga dengan dr. Ahmad Yafiz Hasby, dr. Rusdian Nurmadi, dr. Kiki Prayogi dr. Andri Yunafri dan dr. Wulan Fadinie, M. Ked (An), Sp. An, yang telah memberikan saran serta sarana diskusi dalam perencanaan penelitian ini.

Terima kasih saya ucapkan kepada relawan saya yang telah bersedia meluangkan waktu dan menolong dalam pelaksanaan penelitian yaitu dr Metty Savitri dan dr. Fahmi Sani. Dan juga kepada teman-teman saya tercinta, baik di tingkat senior maupun junior yang terlibat langsung dalam membantu dan menginspirasi saya selama saya mengerjakan penelitian ini baik dari departemen anestesiologi dan terapi intensif maupun dari departemen lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu disini terima kasih saya ucapkan atas bantuan dan kerja samanya baik secara moril, tenaga, pikiran, dan perhatiannya selama saya menjalankan penelitian ini.

Dan akhirnya izinkan dan perkenankanlah saya dalam kesempatan yang tertulis ini memohon maaf atas segala kekurangan saya selama mengikuti masa pendidikan di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang saya cintai.

Medan, Januari 2015

Penulis

(dr. Anna Millizia)

(6)

KATA PENGANTAR

(7)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Agitasi Paska Anestesi………. ... 2.1.1 Etiologi………... 2.1.2 Obat adjuvant pada anestesi untuk mengurangi agitasi paska anestesi ………. 2.1.3 Penilaian agitasi paska anestesi... 2.2. Propofol………..……….

2.3.4 Penggunaan klinis ketamine …………...…...………..

(8)
(9)
(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1-1 : Respon fisiologis terhadap kecemasan….……….. 13

Gambar 2.2-1 : Rumus bangun propofol ……….. …... 17

Gambar 2.3-1 : Rumus bangun ketamine….. ………..… 22

Gambar 2.3-2 : Reseptor NMDA (N Methyl D Aspartate) …..……..… 24

Gambar 2.4-1 : Rumus bangun sevoflurane……… 29

Gambar 2.5-1 : Kerangka Teori ……….………….….. 34

Gambar 2.6-1 : Kerangka Konsep ……….………..….. 35

Gambar 3.14-1 : Alur Penelitian………... 47

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED) Scale… 17

Tabel 2 Distribusi propofol bebas dan total propofol………….…… 19

Tabel 3 Equivalen MAC dalam Oksigen dan O2/N2O………..……. 31

Tabel 4. Karakteristik Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Umur………. 48

Tabel 5 Karakteristik Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin……….... 49

Tabel 6 Karakteristik Umum Subjek Penelitian berdasarkan PS ASA………49

Tabel 7 Karakteristik Umum Subjek Penelitian berdasarkan Jenis Operasi………. 50

Tabel 8 Karakteristik Umum Subjek Penelitian berdasarkan Lama Pembedahan……… 50

Tabel 9 Karakteristik Umum Subjek Penelitian berdasarkan Lama Anestesi……… 51

Tabel 10 Nilai PAED antara kelompok Ketamine dan Propofol Menit 5, 15 dan 25………. 51

Tabel 11 Nilai PAED antara kelompok Ketamine dan Propofol Menit 10,20,30,35,40,50,55 dan 60………. 52

Tabel 12 Agitasi Pada Kedua Kelompok……….. 53

Tabel 13 Penambahan Injeksi Propofol……….54

(12)

Tabel 15 Lama Rawatan di Ruang Pemulihan (PACU)………... 55 Tabel 16 Kejadian Mual dan Muntah………55 Tabel 17 Kejadian Agitasi antara Ketamine (Experimental)

dan Propofol (Control)……… 57 Tabel 18 Kejadian Agitasi dihubungkan dengan Umur………. 58

(13)

DAFTAR SINGKATAN

ARR = Absolute Risk Reduction BMI = Body Mass Index

CBF = Cerebral Blood Flow CER = Control Event Rate

CMRO2 = Consumption Metabolic Rate Oxygen

ED = Effective Dose

EER = Experimental Event Rate GABA = Gamma Amino Butyric Acid HFIP = Hexafluoroisopropanolol ICP = Intracranial Pressure LCT = Long Chain Triglycerides

MAC = Minimum Alveolar Concentration MCT = Medium Chain Triglycerides MRI = Magnetic Resonance Imaging NMDA = N Methyl D Aspartate (reseptor) NNH = Number Need To Harm

OAINS = Obat Anti Inflamasi Non Steroid PACU = Pediatric Anesthesi Care Unit

PAED = Pediatric Anesthesia Emergence Delirium RRR = Relative Reduction Rate

(14)

RINGKASAN

Tujuan: Untuk mengamati apakah pemberian ketamin dan propofol pada akhir pembedahan dapat mencegah agitasi paska anestesi dengan sevoflurane.

Metode: Setelah mendapat izin dari komisi etik penelitian bidang kesehatan Fakultas Kedokteran USU dan Rumah Sakit Haji Adam Malik, Uji klinis acak

tersamar ganda pada 48 pasien pediatrik, 2 sampai 10 tahun, PS-ASA 1 dan 2

yang akan menjalani operasi elektif dengan anestesi umum sevoflurane di Rumah

Sakit Haji Adam Malik. Sampel dibagi menjadi dua kelompok masing-masing

terdiri dari 24 orang. Kelompok A menerima Ketamin 0,5 mg/kgBB IV dan

kelompok B menerima Propofol 1 mg/kgBB IV 10 menit sebelum pembedahan

berakhir. Seluruh pasien diinduksi dan menggunakan agen inhalasi rumatan

sevoflurane.Paska operasi seluruh pasien mendapatkan injeksi ketorolac 0.5

mg/kgBB/iv. Kejadian agitasi dicatat dengan skor PAED mulai dari pasien sudah

dipindahkan ke ruang pemulihan (PACU). Nilai PAED > 10 dianggap sebagai

kejadian agitasi. Komplikasi seperti mual muntah, lama ekstubasi dan lama

rawatan PACU dicatat.

Hasil: Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa kejadian agitasi lebih banyak pada kelompok propofol dibandingkan ketamine namun secara statistik berbeda tidak

bermakna (p > 0.05). Tidak terjadi perbedaan lama ekstubasi dan lama rawatan di

ruang pemulihan diantara dua kelompok. Pada seluruh sampel penelitian tidak

dijumpai efek mual dan muntah.

Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang tidak bermakna secara statistik antara kedua kelompok dalam hal terjadinya agitasi paska anestesi sevoflurane. Sehingga

ketamine 0.5 mg/kgBB/iv dapat menjadi obat alternatif selain propofol 1

mg/kgBB/iv untuk mencegah agitasi paska anestesi sevoflurane pada pasien

pediatrik.

(15)

ABSTRACT

Objective: To observe whether the injection of ketamine and propofol in the end of surgery could prevent emergence agitation in sevoflurane anesthesia

Method: After getting the approval from the Ethic Committe of USU Medical School and Haji Adam Malik General Hospital, Double blinded, a randomized clinical trial on 48 pediatric patients, 2 to 10 years, physical state ASA-1 and 2 who underwent elective surgery with general anesthesia with sevoflurane in Haji Adam Malik General Hospital. The sample are divided into two groups each with 24 subjects. Group A received Ketamine 0,5 mg/kgBW IV 10 minute before the surgery ended and group B recieved Propofol 1 mg/kgBW IV 10 minute before the surgery ended . All patient receive induction and maintained with sevoflurane. All patients receive post operative pain management ketorolac injection 0.5 mg/kgBW/IV.This study observed the agitation that occurred during the stay at PACU. The agitation was observed with PAED Score. PAED score above 10 considered as agitation. An incidence of any side effects were also recorded.

Result: The study reveals that the agitation occurred more frequently in propofol than ketamine grup, statistically no significant difference between groups (p >

0.05) On the whole sample we did not found prolonged extubation, prolonged

length of stay in PACU, nausea and vomit effect during the postoperative time in

PACU.

Conclusion: There were no significant statistical differences between the two groups incidence of agitation. Furthermore, ketamine 0.5 mg/kgBW/iv can be an alternate drug beside propofol 1 mg/kgBW/iv to reduce emergence agitation in pediatric patients.

(16)

ABSTRACT

Objective: To observe whether the injection of ketamine and propofol in the end of surgery could prevent emergence agitation in sevoflurane anesthesia

Method: After getting the approval from the Ethic Committe of USU Medical School and Haji Adam Malik General Hospital, Double blinded, a randomized clinical trial on 48 pediatric patients, 2 to 10 years, physical state ASA-1 and 2 who underwent elective surgery with general anesthesia with sevoflurane in Haji Adam Malik General Hospital. The sample are divided into two groups each with 24 subjects. Group A received Ketamine 0,5 mg/kgBW IV 10 minute before the surgery ended and group B recieved Propofol 1 mg/kgBW IV 10 minute before the surgery ended . All patient receive induction and maintained with sevoflurane. All patients receive post operative pain management ketorolac injection 0.5 mg/kgBW/IV.This study observed the agitation that occurred during the stay at PACU. The agitation was observed with PAED Score. PAED score above 10 considered as agitation. An incidence of any side effects were also recorded.

Result: The study reveals that the agitation occurred more frequently in propofol than ketamine grup, statistically no significant difference between groups (p >

0.05) On the whole sample we did not found prolonged extubation, prolonged

length of stay in PACU, nausea and vomit effect during the postoperative time in

PACU.

Conclusion: There were no significant statistical differences between the two groups incidence of agitation. Furthermore, ketamine 0.5 mg/kgBW/iv can be an alternate drug beside propofol 1 mg/kgBW/iv to reduce emergence agitation in pediatric patients.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1LATAR BELAKANG

Dengan ditemukannya agen inhalasi yang baru, desflurane dan sevoflurane,

muncul permasalahan baru yang dikenal dengan agitasi pulih sadar. Agitasi pulih

sadar didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana kesadaran anak paska operasi

gelisah, tidak dapat dibujuk, pemarah dan tidak kooperatif. 1

Agitasi pada anak yang menjalani anestesi dengan sevoflurane prevalensinya

masih tinggi berkisar 10-67%, padahal sevoflurane mempunyai sifat yang

menguntungkan oleh karena toleransi induksi yang baik dan cepat pada

anak-anak, hemodinamik yang stabil, hepatotoksisitas yang rendah serta pemulihannya

yang cepat.2,3 Pemulihan yang cepat dari sevoflurane dan nyeri paska operasi

merupakan faktor yang berperan terhadap timbulnya agitasi pada anak. 2

Eckonhoff et al adalah yang pertama mendeskripsikan terjadinya agitasi pada

tahun 1961. Pada penelitiannya ditemukan bahwa ada 4 faktor yang berperan

penting dalam terjadinya agitasi yaitu anak umur 3-9 tahun, pembiusan dengan

eter, tonsilektomi dan premedikasi dengan barbiturate. 4Cole dkk mengestimasi

13% dari 260 anak (umur 10 bulan hingga 6 tahun) mengalami periode terjadinya

disorientasi dan gelisah di ruang pemulihan dan kemudian menurun hingga 8% 20

menit kemudian. Aono et al menemukan bahwa agitasi paska anestesi terlihat

lebih sering pada sevoflurane dibandingkan dengan halothan pada anak umur 3-6

tahun (40% vs 10%). Voepel Lewis, Malviya dan Tait mengaudit 521 anak (umur

3 hingga 7 tahun) dan 18% mengalami agitasi paska anestesi. Dari jumlah ini,

42% dikekang oleh 2 atau lebih perawat, kemudian 48% pasien menjadi tenang

sebelum diberikan obat, dan 52% pasien diberikan opioid.5

Berdasarkan data pada Agustus 2010, terdapat pasien anak berusia 2-12 tahun

yang menjalani tindakan operasi dengan anestesi umum di Instalasi Bedah Pusat

RSUP H. Adam Malik Medan sekitar 11% setiap bulannya dan sekitar 90%

(18)

di Afrika Barat sekitar 34 pasien anak dari 625 pasien setiap bulannya, dan di

Gambia sekitar 11,3%.7 Insidensi terjadinya agitasi paska operasi setelah

penggunaan halotan, isoflurane, sevoflurane dan desflurane berkisar 5-55%.1

Anak-anak akan segera memberikan tanda jika mereka bangun merasakan

sakit atau perasaan tidak senang. Anestetis yang baik akan memastikan pasien

anak sudah teranalgesia dengan cukup pada saat dibangunkan. Pasien anak akan

mengalami agitasi pada saat dibangunkan karena berbagai macam alasan. Namun

sangat penting untuk mengeksklusikan nyeri sebelum mempertimbangkan kausa

lainnya. Pasien anak yang mengalami agitasi akan menangis dan sedih, namun

dapat dihibur, mengenali orang tua dan biasanya dapat berkomunikasi.8 Delirium

paska pulih sadar merupakan disorientasi yang disebabkan oleh obat. Pasien anak

biasanya menangis atau menjerit, dapat berhalusinasi, tidak kooperatif, tidak dapat

dihibur dan melempar semua barang yang terletak disekitarnya. Dalam keadaan

seperti ini, pasien anak sering terlepas selang infus dan drain sehingga semakin

menyulitkan perawatan paska bedah. Hal ini sering terjadi pada pasien anak umur

pra sekolah yang menjalani tindakan anestesi dengan sevoflurane dan desflurane.

Pulih sadar yang cepat setelah anestesi merupakan salah satu penyebabnya dan

pemberian propofol dapat mengurangi insidensi terjadinya agitasi dan delirium.

Delirium mulai terjadi pada saat anak terbangun dan biasanya berlangsung selama

30 menit, walaupun hal ini biasanya dapat bertahan lebih lama.8

Dosis kecil dari propofol 0.5-2 mg/kgBB/iv (dengan peralatan jalan nafas

yang sudah tersedia jika pasien mengalami henti nafas), klonidine intravena (0.5-1

mikrogram/kgBB/iv), atau fentanyl 0.5-1 mikrogram/kgBB/iv. Ketamine atau

dexmedetomidine merupakan pilihan obat anestesi yang dapat mengurangi angka

kejadian agitasi pada pasien anak, namun tidak sama halnya dengan pemberian

midazolam. Beberapa kasus menunjukkan terjadinya perbaikan jika pasien anak

ini tersedasi selama 10-15 menit dan dibangunkan secara bertahap. 8

Propofol adalah obat yang bekerja relatif memodulasi reseptor gamma

(19)

interaksi pada reseptor GABA. GABA pada prinsipnya menghambat

neurotransmitter pada susunan saraf pusat. Ketika reseptor GABA diaktivasi,

maka konduktansi transmembran klorida akan meningkat, yang akan

menyebabkan hiperpolarisasi dari membran sel post sinaps dan inhibisi fungsional

dari neuron post sinaps. 9Propofol telah menjadi obat pilihan untuk induksi oleh

karena efek pulih sadarnya yang sempurna dan cepat. Propofol juga dapat

digunakan sebagai obat sedasi intravena oleh karena masa kerjanya yang cepat,

memiliki efek anti emetik pada pembiusan umum dan biaya yang efektif, mudah

diberikan dan dapat dititrasi pemberiannya. 10

Propofol dan ketamine telah diteliti sebelumnya dapat mengurangi insidensi

terjadinya agitasi paska anestesi dengan sevoflurane. Agitasi pulih sadar

dievaluasi dengan menggunakan skala Pediatric Anesthesia Emergence Delirium

(PAED). 11

Bruno Locatelli dkk melakukan penelitian tentang delirium paska anestesi,

perbandingan antara sevoflurane dan desflurane menggunakan skala Pediatric

Anesthesia Emergence Delirium (PAED). Penelitian ini memperlihatkan

sevofluran dan desflurane memiliki insidensi terjadinya delirium paska anestesi

yang hampir sama pada pasien anak yang menjalani operasi daerah sub

umbilical.11

Kim S dkk melakukan penelitian tentang perbandingan antara propofol 1

mg/kgBB dengan fentanyl 1 µg/kgBB/iv yang diberikan pada akhir anestesi untuk

mencegah agitasi paska anestesi sevoflurane pada pasien pediatrik. Penelitian

tersebut menunjukkan bahwa propofol dan fentanyl menurunkan terjadinya agitasi

paska anestesi. Namun propofol lebih baik daripada fentanyl karena efek mual

muntahnya yang lebih sedikit. 12

Rashad Manal dkk melakukan penelitian tentang efek berbagai obat untuk

mencegah agitasi paska anestesi dengan sevoflurane pada 80 pasien pediatrik

yang menjalani operasi revisi hipospadia. Penelitian ini membandingkan antara

(20)

Normal saline sebagai plasebo. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa

penggunaan propofol atau fentanyl sebelum sevoflurane dihentikan ternyata

menurunkan insidensi terjadinya agitasi paska anestesi pada pasien pediatrik lebih

baik dari grup ketamine, dimana penggunaan fentanyl menunjukkan masa rawatan

di ruang pemulihan yang lebih lama dan insidensi terjadinya mual muntah lebih

besar.13

Zahi Almajali dkk melakukan penelitian pemberian intravena ketamine 1

mg/kgBB/iv, fentanyl 1µg/kgBB/iv atau propofol 1 mg/kgBB/iv yang diberikan

pada akhir pembedahan untuk menurunkan agitasi paska anestesi. Pada penelitian

ini agen inhalasi yang digunakan adalah isoflurane. Penelitian dilakukan pada 273

pasien anak yang akan menjalani tonsilektomi. Penelitian ini menunjukkan

fentanyl dan propofol yang diberikan pada akhir pembedahan akan menurunkan

frekuensi dan agitasi paska operasi yang lebih baik. 14

Ashraf Arafat dkk melakukan penelitian efek ketamine versus fentanyl pada

insidensi terjadinya agitasi paska anestesi dengan sevoflurane pada pasien anak

yang menjalani tonsilektomi tanpa atau dengan adenoidektomi. Pada penelitian ini

dibandingkan ketamin 0,5 mg/kgBB/iv, fentanyl 1 µg/kgBB/iv dan normal saline

sebagai grup kontrol yang diberikan pada akhir anestesi. Hasilnya menunjukkan

bahwa kedua obat mampu menurunkan terjadinya agitasi paska anestesi dengan

sevoflurane tanpa memperpanjang masa pulih sadar dan lama rawatan di ruang

pemulihan. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal menurunkan angka

agitasi antara grup ketamin dan fentanyl. Namun efek mual muntah terlihat

signifikan lebih banyak di grup fentanyl. 15

Eghbal MH dkk melakukan penelitian pada 66 pasien anak yang menjalani

adenotonsilektomi yang dibagi kedalam 2 grup. Pasien di grup kontrol akan

mendapatkan normal saline 5 ml sementara pasien pada grup ketamine akan

mendapat ketamin dengan dosis 0.25 mg/kgBB/iv yang diberikan selama induksi

anestesi. Penelitian ini memperlihatkan bahwa ketamine dengan dosis rendah

(21)

operasi setelah adenotonsilektomi pada pasien anak. Tidak terlihat perbedaan

yang signifikan dalam menurunkan insidensi terjadinya mual muntah paska

operasi diantara kedua grup. 16

Jeong et al melakukan penelitian terhadap 60 pasien anak yang menjalani

operasi mata dan dibagi kedalam 3 grup. Pasien di grup kontrol akan mendapat

normal saline, grup K1 mendapatkan ketamine 1 mg/kgBB/iv yang diberikan

intravena sebelum memasuki kamar operasi, dan grup K0.5 yang diberikan

ketamine 0.5 mg/kgBB/iv 10 menit sebelum pembedahan berakhir. Hasilnya

menunjukkan bahwa ketamine 1 mg/kgBB/iv yang diberikan sebelum memasuki

ruang operasi akan menurunkan kecemasan sebelum berpisah dari orang tua, nyeri

paska operasi dan insidensi agitasi paska anestesi tanpa masa pemulihan yang

panjang. 17

Lee YS dkk melakukan penelitian efek penambahan ketamine yang dievaluasi

pada 93 pasien anak yang menjalani tonsilektomi. Pasien dialokasikan menjadi 3

grup, grup kontrol diberikan saline, grup K0.25 yang diberikan ketamin 0.25

mg/kgBB/iv dan grup K0.5 yang diberikan ketamin 0.5 mg/kgBB/iv. Tidak

terlihat perbedaan yang signifikan dari terjadinya agitasi, lamanya waktu

ekstubasi dan insidensi terjadinya mual muntah pada kedua grup. Namun grup

K0.5 menunjukkan skor nyeri yang lebih rendah dibandingkan dengan grup

K0.25.18

Beberapa obat memang sudah digunakan untuk menurunkan insidensi dan

intensitas agitasi paska operasi seperti fentanyl, ketamine, propofol dan alfa 2

adrenergik agonis. Sampai sekarang, potensi antara satu obat dengan lainnya

belum jelas diketahui. 14. Ketamine memiliki keuntungan di mana obat ini lebih

mudah didapatkan bahkan didaerah perifer, dengan kemasan dan sediaan yang

dapat digunakan untuk beberapa pasien sehingga menghemat biaya (cost).

Berdasarkan studi kepustakaan dan hasil penelitian terkait serta

mempertimbangkan kemampuan obat untuk mencegah agitasi, efek samping dan

(22)

mg/kgBB/iv dan propofol 1 mg/kgBB/iv yang diberikan pada akhir anestesi untuk

mencegah agitasi paska anestesi dengan sevoflurane pada pasien pediatri dengan

general anesthesia. Dimana dosis ketamine dinaikkan dengan harapan efek sedasi

dan analgetik yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan efektivitas untuk

mencegah agitasi pada pasien pediatrik umur 2-10 tahun dan intervensi kedua

obat ini belum pernah diuji secara head to head dengan dosis yang diinginkan

peneliti.

1.2RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian

sebagai berikut: apakah ada perbedaan dari pemberian ketamine 0.5 mg/kgBB/iv

dibandingkan dengan propofol 1 mg/kgBB/iv untuk mencegah terjadinya agitasi

paska anestesi sevoflurane

1.3 HIPOTESA

Ada perbedaan dari pemberian ketamine 0.5 mg/kgBB/iv dibandingkan dengan

propofol 1 mg/kgBB/iv untuk mencegah terjadinya agitasi paska anestesi

sevoflurane

1.4TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini dibedakan atas tujuan umum dan tujuan khusus

1.4.1 TUJUAN UMUM

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan obat alternatif yang

dapat mencegah agitasi paska anestesi sevoflurane pada pasien anak yang

menjalani pembedahan dengan general anestesi.

1.4.2 TUJUAN KHUSUS

Tujuan khusus penelitian ini adalah :

a. Mengetahui distribusi frekuensi dari : jenis kelamin, umur, BMI, lama

(23)

b. Mengetahui perbedaan karakteristik dari PAED score menit ke 5 hingga

60 antara kelompok propofol dan ketamine

c. Mengetahui proporsi terjadinya agitasi paska anestesi sevoflurane pada

pasien anak dengan pemberian propofol 1 mg/kgBB/iv yang diberikan

pada akhir anestesi.

d. Mengetahui proporsi terjadinya agitasi paska anestesi sevoflurane pada

pasien anak dengan pemberian ketamine 0.5 mg/kgBB/iv yang diberikan

pada akhir anestesi.

e. Mengetahui perbedaan pencegahan agitasi paska anestesi sevoflurane

antara propofol dan ketamine yang diberikan pada akhir anestesi.

f. Mengetahui perbedaan lama waktu ekstubasi setelah pemberian propofol

dan ketamine pada akhir anestesi

g. Mengetahui perbedaan lama waktu rawatan di ruang pemulihan (PACU)

setelah pemberian propofol dan ketamine pada akhir anestesi

h. Mengetahui perbedaan terjadinya mual muntah setelah pemberian

propofol dan ketamine pada akhir anestesi

1.5MANFAAT PENELITIAN 1.5.1 Bidang Akademis

a. Sebagai sumber informasi dan bahan referensi untuk penelitian

selanjutnya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan acuan

untuk pencegahan agitasi paska anestesi sevoflurane pada pasien anak

yang menjalani pembedahan dengan general anestesi.

1.5.2 Bidang Pelayanan Masyarakat

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dalam pelayanan masyarakat

sebagai landasan dalam pencegahan agitasi paska anestesi sevoflurane pada

anak yang menjalani pembedahan dengan general anestesi, terutama untuk :

(24)

b. Mendapatkan obat pilihan yang dapat digunakan untuk mencegah agitasi

paska anestesi dengan sevoflurane.

1.5.3 Bidang Penelitian

Dalam bidang penelitian, hasil penelitian ini diharapkan memberikan data

untuk penelitian selanjutnya dalam bidang pencegahan agitasi paska anestesi

sevoflurane pada pasien anak yang menjalani pembedahan dengan general

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 AGITASI PASKA ANESTESI

Pembedahan dan anestesi dapat menimbulkan stress emosional pada anak dan

orang tua. Hal ini dapat terjadi pada saat preoperatif dan post operatif. Untuk

meminimalisasi stress emosional anestesi dan pembedahan, anestesiologis harus

memahami perkembangan mental anak dan bagaimana caranya untuk mengatasi

hal ini. 19-24

Senyawa inhalasi telah menjadi tulang punggung anestesi umum pada

pasien pediatrik sejak anestesi umum pertama kali diberikan kepada pasien

pediatrik pada pertengahan abad ke-19.1 Karena baunya yang menyenangkan,

iritabilitas saluran nafas minimal dan menjadikan sevoflurane sangat baik untuk

induksi inhalasi. Induksi dan pemulihan yang cepat, serta mudahnya pengendalian

kedalaman anestesi membuatnya sebagai obat anestesi yang ideal untuk anestesi

pediatrik. Pemulihan dari anestesi umum lebih cepat dengan sevoflurane dan telah

terbukti pada sebagian besar penelitian, karena kelarutan yang rendah dan

eliminasi sevoflurane lebih cepat daripada obat anestesi inhalasi lainnya. 1,25

Saat pemulihan anestesi diidentifikasi adanya agitasi dan merupakan

masalah pada anak. Manifestasinya bisa berupa perubahan perilaku, mulai dari

menangis, iritabel sampai kehilangan kendali yang berat, dan keadaan ini pada

puncaknya bisa beresiko melukai diri sendiri. Prevalensi terjadinya agitasi

berkisar antara 10-67%. Agitasi adalah suatu tingkat kesadaran yang mengalami

disosiasi sehingga anak menjadi tidak tenang, iritatif, tidak bisa diatur, atau tidak

bisa bekerja sama. Secara karakteristis, anak ini tidak mengenali atau

mengidentifikasi orang atau beda yang telah dikenal baik olehnya. Para orang tua

yang menyaksikan keadaan ini biasanya menyatakan bahwa perilaku ini tidak

(26)

Kejadian agitasi lebih besar pada anak yang diberi anestesi dengan

sevoflurane dibandingkan dengan anak yang diberi anestesi dengan halotan.

Sevoflurane dapat mempredisposisi pasien tertentu ke paranoid. Faktor-faktor

yang menyebabkan agitasi pada anak ini di antaranya adalah usia, obat inhalasi,

perilaku sebelum operasi, cemas, peranan orang tua saat bangun dari anestesi,

obat-obatan tambahan, nyeri dan jenis operasi. 3,25,26

2.1.1 Etiologi

Etiologi terjadinya agitasi belum dapat diketahui dengan pasti. Namun ada

beberapa hal yang mungkin dapat mempengaruhi terjadinya agitasi.

2.1.1.1 Faktor Yang Berhubungan Dengan Anestesi

a. Pulih sadar yang cepat

Agitasi paska anestesi terlihat lebih sering terjadi pada anestesi inhalasi yang baru,

solubilitas lebih rendah seperti desflurane dan sevoflurane. Ada satu postulasi

yang menyatakan bahwa pulih sadar yang cepat setelah penggunaan anestesi

inhalasi dengan solubilitas rendah menginisiasi terjadinya agitasi paska anestesi di

mana pasien anak biasanya tidak mengenali lingkungan sekitarnya sehingga

terjadi perubahan perilaku yang agresif. Anak yang sudah besar dan dewasa dapat

berorientasi terhadap perubahan lingkungan dengan baik, namun anak yang belum

memasuki usia sekolah (preschool-aged) lebih rentan terhadap stress dalam

menghadapi perubahan lingkungan, cenderung menjadi agitasi dan delirium. 25,26

b. Karakteristik Intrinsik dari Anestetik

Banyak peneliti mendokumentasikan bahwa agitasi/delirium paska anestesi

setelah sevoflurane lebih banyak daripada paska anestesi dengan halotan. Sangat

sedikit studi yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan di

antara ke dua agen inhalasi tersebut.25

Beberapa peneliti berpendapat ada 2 karakteristik unik dari sevofluran

(27)

memberikan efek samping yang mengiritasi susunan syaraf pusat. Yang kedua,

walaupun produk degradasi sevoflurane tidak menimbulkan kerusakan organ,

namun masih sangat sedikit data yang memperlihatkan interaksi obat dengan

medikasi lainnya. Aktivitas gelombang epilepsi telah dilaporkan terdapat pada

pasien yang menghirup sevoflurane. Namun kasus yang terjadi masih sangat

sedikit dan sporadik.25,27,28

Agitasi paska anestesi tidak hanya terdapat pada sevoflurane dan

desflurane namun juga isoflurane walaupun dengan jumlah yang lebih sedikit.

Anak yang mendapat anestesi inhalasi dengan sevoflurane/isoflurane untuk

induksi maupun rumatan akan mendapatkan kemungkinan terjadinya agitasi paska

anestesi 2 kali lipat daripada menggunakan anestesi regimen lain. Dengan

pertimbangan adanya perubahan gelombang EEG yang diakibatkan sevoflurane

yang mirip dengan gelombang EEG yang diakibatkan isoflurane dan desflurane,

namun berbeda dengan gelombang EEG yang diperlihatkan oleh halothan. Oleh

karena itu agitasi paska pulih sadar ini mungkin berhubungan dengan efek CNS

yang mirip di antara ketiga agen inhalasi ini dan dapat mempengaruhi aktivitas

otak dengan mengganggu keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi sinaps di

susunan syaraf pusat.25

2.1.1.2 Faktor Yang Berhubungan Dengan Pembedahan

a. Nyeri

Nyeri paska operasi menjadi variabel yang penting dalam menilai perubahan

perilaku agitasi paska anestesi, apalagi pada operasi singkat di mana masa puncak

kerja dari analgetik itu belum tercapai hingga anak bangun dari anestesi. 25

Agitasi paska anestesi diobservasi pada tindakan yang menimbulkan nyeri

maupunyang tidak. Weldon et al meneliti 80 anak yang dipremedikasi dengan

diazepam per oral umur 12 bulan hingga 6 tahun yang menjalani operasi hernia

inguinal, di mana pasien sudah mendapatkan analgetik paska operasi dengan

anestesi kaudal. 5 menit setelah kedatangan pasien di ruang pemulihan, agitasi

(28)

halothan. Insidensi agitasi yang lebih tinggi juga terlihat pada pasien yang

mendapatkan anestesi sevoflurane untuk intervensi tanpa nyeri, seperti

pemeriksaan radiologis magnetic resonance imaging (MRI) dan pemeriksaan

mata. Sebaliknya, untuk prosedur yang sama pasien anak yang dianestesi dengan

propofol dan halotan ternyata tidak mengakibatkan agitasi. Penemuan ini yang

memperlihatkan bahwa agitasi paska anestesi adalah hal yang terpisah dari rasa

nyeri.2,25

b. Jenis operasi

Prosedur pembedahan yang melibatkan tonsil, tiroid, telinga bagian tengah dan

mata dilaporkan memiliki insidensi agitasi paska operasi yang lebih tinggi.

Namun belum ada data ilmiah terbaru yang dapat mendukung pernyataan ini.29,30

2.1.1.3 Faktor yang berhubungan dengan Pasien

a. Umur

Aono et al menemukan bahwa agitasi paska anestesi terlihat lebih sering pada

sevoflurane dibandingkan dengan halothan pada anak umur 3-6 tahun (40% vs

10%). Peneliti mengemukakan bahwa hal ini terjadi oleh karena fase pulih sadar

yang cepat dan psikologis yang immatur. Di sisi lain, ada sejumlah peneliti yang

mengemukakan peran maturitas dari otak dan perkembangan psikologis dari anak

merupakan salah satu penyebab terjadinya agitasi paska anestesi. Otak anak

memiliki lebih sedikit asetilkolin, NAdr, GABA dan dopamine.25,28

b. Kecemasan Preoperasi

Keadaan sebelum masuk ke kamar operasi dapat memberikan ketidaknyamanan

dan rasa cemas pada anak-anak yang berpengaruh terhadap mental anak. Hal ini

akan berpengaruh terhadap respon tubuh untuk melepaskan katekolamin sehingga

dapat mengakibatkan peningkatan laju jantung, kontraksi otot jantung,

vasokonstriksi arteri, peningkatan kadar gula darah dan lain; keadaan tersebut

(29)

Prevalensi kecemasan pada anak-anak sewaktu preoperative sangat sulit

diperkirakan. Hal ini berhubungan dengan pengukuran dan perkembangan mental

anak yang bervariasi. Namun, dapat diperkirakan lebih dari 75% anak-anak

dilaporkan mengalami kecemasan preoperatif.18

Kecemasan preoperatif yang tinggi dari anak dihubungkan dengan agitasi

pulih sadar paska anestesi. Penelitian Kain et al menunjukkan pada sebuah studi

yang melibatkan 241 anak bahwa kecemasan preoperatif berhubungan dengan

nyeri paska operasi dan perubahan perilaku. Namun tidak bisa ditentukan secara

pasti apakah ini berhubungan ataupun merupakan efek-kausa.25

(30)

c. Temperamen Anak

Anak-anak yang lebih emosional, impulsif, kurang bersosial dan tidak dapat

beradaptasi baik dengan lingkungan akan beresiko mengalami agitasi pulih sadar

paska anestesi. 25

2.1.2 Obat Adjuvant Pada Anestesi Umum Untuk Mengurangi Agitasi Paska Anestesi

Penatalaksanaan Agitasi biasanya dimulai dengan mengeliminasi penyebab lain

termasuk hipoksia (walaupun sulit untuk mendapatkan pembacaan pulse oximetry

yang akurat pada anak yang gelisah) dan nyeri. Yakinkan orang tua, yang

biasanya sangat tertekan melihat perilaku anak yang gelisah, untuk menghindari

anak melukai dirinya sendiri. Sebagian besar anak-anak hanya butuh waktu dan

observasi sampai dia tenang, namun intervensi farmakologis memberikan efek

yang menguntungkan.8

Beberapa obat telah digunakan sebagai adjuvant pada anestesi umum yang

ditujukan untuk menurunkan agitasi paska anestesi.

Propofol memperlama pulih sadar dan menurunkan agitasi paska anestesi

tergantung dari waktu pemberiannya. Oleh karena obat ini bekerja dalam durasi

yang singkat, maka propofol yang diberikan pada saat induksi tidak mampu

mencegah agitasi paska anestesi. Aouad et al dan berbagai studi lainnya

memperlihatkan penurunan insidensi agitasi pulih sadar paska anestesi jika

propofol 1 mg/kgBB/iv diberikan pada akhir pembedahan, sehingga plasma

konsentrasi dari propofol dapat tercukupi dan efektif.4,25,27,28,31

Fentanyl, α agonis termasuk klonidin dan dexmedetomidine, ketamine

menunjukkan bahwa obat ini efektif dalam menurunkan insidensi terjadinya

agitasi paska anestesi.4,31

Fentanyl adalah opioid yang poten, yang dapat menurunkan agitasi paska

anestesi sevoflurane dan desflurane dengan efikasi yang tinggi sebagai analgesia

(31)

µg/kgBB IV yang diberikan 10 menit sebelum anestesi dihentikan pada pasien

yang menjalani prosedur bebas nyeri yaitu MRI (Magnetic Resonance Imaging)

dapat menurunkan angka agitasi hingga 12%-56%. Inomata et al meneliti efek

fentanyl pada pasien anak yang diberi sevoflurane untuk mencegah agitasi paska

anestesi. Peneliti merekomendasikan pemberian bolus 2 µg/kgBB/iv diikuti

dengan infus kontinyu 1µg/kgBB/iv untuk proses pulih sadar yang nyaman.

Intrasanal fentanyl 2 µg/kgBB/iv pada prosedur dengan nyeri sedang juga dapat

menurunkan agitasi.4,31

Dexmedetomidine, suatu α2 agonis selektif memiliki efek sedasi dan

ansiolitik melalui pemberian intravena. Isik et al dan 2 studi lainnya

memperlihatkan adanya penurunan insidensi dari agitasi paska anestesi berkisar

antara 4.8% dan 17% tanpa efek hemodinamik dengan pemberian intravena dosis

0.3-1 µg/kgBB/iv setelah induksi anestesi.4,31

Oleh karena efek sedasi dan analgesinya, klonidin 2-3 µg/kgBB/iv setelah

induksi menurunkan agitasi paska anestesi hingga 10% seperti yang telah

didokumentasikan oleh Bock et al dan Kulka et al. Bock et al juga mencatat

bahwa efek dari klonidin tidak bergantung pada rute pemberian obat, baik kaudal

maupun intravena. Bahkan α2 agonis menurunkan agitasi paska anestesi oleh

karena efek analgesia serta kemampuannya dalam mengurangi kebutuhan obat

anestesi lainnya.4,31

Ketamine yang merupakan antagonis reseptor dari N-Methyl-D-Aspartate,

menghasilkan efek analgesia dan efek mengurangi dosis opioid pada dosis rendah.

Dalens et al menunjukkan bahwa pemberian ketamine 0.25 mg/kgBB/iv pada

akhir anestesi dengan sevoflurane pasien anak yang menjalani MRI dapat

menurunkan agitasi tanpa ada penundaan pulih sadar. Bahkan, Lee et al

membandingkan ketamine 0.25 mg/kgBB/iv dan 0.5 mg/kgBB/iv yang

menunjukkan insidensi agitasi yang sama namun dengan skor nyeri yang lebih

(32)

secara antagonis non kompetitif pada reseptor NMDA. Pada pasien dewasa,

diketahui bahwa ketamine mempunyai efek analgesik dan efek antisensitisasi.15

Tropisetron sebagai 5HT3 antagonis juga menurunkan agitasi paska

anestesi jika dibandingkan dengan placebo (32% vs 62%). Namun, mekanisme

kerjanya belum jelas sebagaimana dikemukakan oleh Lankinen et al. 2,4,31

Obat analgesik juga sudah banyak diteliti khasiatnya untuk mencegah

agitasi paska anestesi dengan sevoflurane. Termasuk di dalamnya adalah anestesi

lokal, obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dan antagonis reseptor

N-Methyl-D-Aspartate (NMDA). Anestesi lokal dan OAINS berhubungan dengan

vasokonstriksi dan peningkatan resiko perdarahan pada daerah operasi. 15

2.1.3 Penilaian Agitasi Paska Anestesi

Sikich dan Lerman mengembangkan “Pediatric Anesthesia Emergence Delirium

Scale” atau PAED untuk mendefinisikan terjadinya agitasi paska anestesi.

Skornya berkorelasi dengan umur, lama bangun dan penggunaan sevoflurane.

Berbagai skala lainnya telah dikembangkan dan hal ini menyebabkan sulitnya

menilai hasil akhir dari semua studi yang telah dilakukan. Fakta bahwa adanya

sistem skoring yang banyak menunjukkan bahwa agitasi paska anestesi sulit untuk

didefinisikan.32

Aouad et al yang menilai agitasi paska anestesi dengan menggunakan dua

skala yang berbeda menemukan bahwa ambang batas dari skor PAED yaitu >10

(33)

Tabel 1. Pediatric Anaesthesia Emergence Delirium (PAED) Scale31

2.2 PROPOFOL

Propofol, 2,6-di-isopropylphenol, diperkenalkan pada praktek klinis pada

awal tahun 1980 an. Saat ini propofol merupakan obat pilihan induksi dan sedasi

anestesi yang populer, berhubungan dengan waktu tidur yang cepat, waktu pulih

yang cepat, dan kejadian mual dan muntah paska bedah lebih sedikit.33,34

2.2.1 Struktur fisik dan kimia

Propofol, dengan struktur kimia C12H18O, terdiri dari cincin fenol dengan dua

ikatan kompleks isopropil dengan stabilitas kimiawi yang tinggi dengan

biotoksisitas yang rendah. Perubahan pada panjang rantai ikatan mengubah

karakteristik dari potensi, induksi dan pemulihan.35,65 Bagaimanapun, seperti fenol yang lain, propofol dapat mengiritasi kulit dan membran mukosa.36

(34)

Formula ini menyebabkan nyeri saat penyuntikan yang dapat dikurangi

dengan penyuntikan pada vena besar dan pemberian lidokain sebelum

penyuntikan propofol. Propofol tidak larut dalam air.33,37

2.2.2 Propofol MCT/LCT

Propofol merupakan gugus fenol yang mempunya berat molekul 178 Da.

Senyawa yang menyerap sinar ultraviolet dalam kisaran spektrum

elektromagnetik (λmax = 275nm) .38

Propofol pertama kali diperkenalkan dengan konsentrasi 2 % dalam 16 %

kremofor EL, namun karena kromofor menyebabkan reaksi alergi dan nyeri yang

hebat, maka komposisi ini diperbaharui dalam formula lemak emulsi yang

mengandung 10 % Long-Chain Triglycerides (LCT) minyak soybean, gliserol,

dan lesitin telur. Tetapi, sejak tahun 1995 propofol juga tersedia dalam bentuk

emulsi Medium-Chain Triglycerides / Long-Chain Triglycerides (MCT/LCT).

Konsentrasi propofol bebas dalam MCT/LCT formula 26% - 40% lebih rendah

dibandingkan dengan LCT formula, atau 0,2% - 0,14% dari total konsentrasi

propofol (lihat tabel 2) pH propofol 6-8.5 dan pKa dalam air adalah 11.38 Tabel 2. Distribusi propofol bebas dan total propofol

Walaupun plasma konsentrasi trigliserida selama sedasi tidak ada

(35)

setelah pemberian formula MCT/LCT lebih cepat dibandingkan dengan formula

LCT.35

2.2.3. Sediaan propofol

Sediaan propofol dipersiapkan secara asepsis untuk segera digunakan, sejak

emulsi larutan ini menyebabkan promosi profilerasi mikrobakterial yang cepat

setelah terkontaminasi bakteri.35,36

2.2.4 Mekanisme kerja

Propofol adalah modulator selektif dari reseptor Gamma Amino Butiric Acid A

(GABAA) dan tidak terlihat memodulasi saluran ion ligand lainnya pada

konsentrasi yang relevan secara klinis. Propofol memberikan efek sedatif hipnotik

melalui interaksi reseptor GABAA. GABA adalah neurotransmiter penghambat

utama dalam susunan saraf pusat. Ketika reseptor GABAA diaktifkan, maka

konduksi klorida transmembran akan meningkat, mengakibatkan hiperpolarisasi

membran sel postsinap dan hambatan fungsional dari neuron postsinap. Interaksi

propofol dengan komponen spesifik reseptor GABAA terlihat mampu

meningkatkan laju disosiasi dari penghambat neurotransmiter, dan juga mampu

meningkatkan lama waktu dari pembukaan klorida yang diaktifkan oleh GABA

dengan menghasilkan hiperpolarisasi dari membran sel.34

2.2.5. Farmakokinetik

Pemberian propofol 1.5 – 2.5 mg/kg IV (setara dengan tiopental 4-5 mg/kg IV

atau metoheksital 1.5 mg/kg IV) sebagai injeksi IV (<15 detik), mengakibatkan

ketidaksadaran dalam 30 detik. Sifat kelarutannya yang tinggi di dalam lemak

menyebabkan mulai masa kerjanya sama cepatnya dengan tiopental (satu siklus

sirkulasi dari lengan ke otak) konsentrasi puncak di otak diperoleh dalam 30 detik

dan efek maksimum diperoleh dalam 1 menit. Pulih sadar dari dosis tunggal juga

cepat disebabkan waktu paruh distribusinya (2-8) menit. Lebih cepat bangun atau

sadar penuh setelah induksi anestesia dibanding semua obat lain yang digunakan

(36)

cepat dengan residu minimal dari sistem saraf pusat (SSP) adalah salah satu

keuntungan yang penting dari propofol dibandingkan dengan obat alternatif lain

yang diberikan untuk tujuan yang sama,33,39

Konsentrasi dalam darah meningkat cepat setelah penyuntikan dosis bolus

intravena, sementara peningkatan konsentrasi serebral propofol sangat lambat

(T1/2 = 2,9 menit). Waktu untuk sadar ditentukan oleh jumlah dosis yang

diberikan.35

Klirens propofol dari plasma melebihi aliran darah hepatik, menegaskan

bahwa ambilan jaringan (mungkin kedalam paru), sama baiknya dengan

metabolisme oksidatif hepatik oleh sitokrom P-450, dan ini penting dalam

mengeluarkan obat ini dari plasma. Dalam hal ini, metabolisme propofol pada

manusia dianggap bersifat hepatik dan ekstrahepatik. Metabolisme hepatik cepat

dan luas, menghasilkan sulfat yang tidak aktif dan larut dalam air serta metabolit

asam glukuronik yang diekskresikan oleh ginjal. Propofol juga menjalani

hidroksilasi cincin oleh sitokrom P-450 membentuk 4-hidroksipropofol yang

kemudian di glukuronidasi atau sulfat. Meskipun glukuronida dan konjugasi sulfat

dari propofol terlihat tidak aktif secara farmakologi, 4-hidroksipropofol memiliki

sepertiga aktivitas hipnotik dari propofol. Kurang dari 0.3% dari dosis yang

diekskresikan tidak berubah dalam urine. 33,34,39

2.2.6 Sedasi Intravena

Oleh karena propofol memiliki masa paruh waktu yang singkat, bahkan jika

diberikan infus kontinyu, dengan efek samping yang minimal menjadikan

propofol sebagai obat ideal untuk sedasi dan dapat dititrasi. Pulih sadar yang cepat

tanpa ada sisa sedasi dan rendahnya angka mual muntah menjadikan propofol

sebagai obat yang tepat digunakan untuk tekhnik sedasi minimal pada prosedur

ambulatory. Dosis yang biasa digunakan adalah 25 – 100 µg/kg/menit yang

menghasilkan analgetik minimal dan efek amnesia. Dosis efektif median propofol

(37)

2.2.7. Farmakodinamik 2.2.7.1 Sistem saraf pusat

Seperti barbiturat, propofol berikatan dengan reseptor GABAA tetapi juga bekerja

dengan mekanisme kerja yang melibatkan variasi reseptor protein yang lain.

Mempunyai efek serebral berupa sedasi. Propofol mengurangi laju metabolik otak

untuk oksigen (CMRO2), aliran darah ke otak (CBF), dan tekanan intrakranial

(ICP). Pemberian propofol untuk menghasilkan sedasi pada pasien dengan SOL

(space occupying lesion) intrakranial tidak meningkatkan ICP. Autoregulasi

serebrovaskular sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah sistemik dan

reaktivitas aliran darah ke otak untuk merubah PaCO2 tidak dipengaruhi oleh

propofol. Dalam hal ini kecepatan aliran darah ke otak akan berubah seiring

dengan perubahan pada PaCO2 dengan adanya propofol dan midazolam.40

2.2.7.2Sistem kardiovaskular

Propofol menghasilkan penurunan tekanan darah sistemik yang lebih besar

dibandingkan dosis tiopental pada saat induksi. Pada keadaan tidak ada gangguan

kardiovaskuler. Penurunan tekanan darah ini berhubungan dengan perubahan

curah jantung dan resistensi vaskular sistemik. Hal ini berhubungan dengan

relaksasi otot polos vaskular yang dihasilkan oleh propofol karena adanya

hambatan aktivitas saraf simpatis vasokonstriktor. Efek inotropik negatif dari

propofol dapat dihasilkan dari penurunan kalsium intraselular akibat hambatan

influks kalsium trans sarkolema. Efek tekanan darah akibat propofol dapat

diperburuk pada pasien hipovolemi, pasien lanjut usia dan pasien dengan

gangguan fungsi ventrikel kiri yang berkaitan dengan penyakit arteri koroner.

Propofol mendepresi refleks baroreseptor kontrol denyut jantung. Bradikardi dan

asistol juga telah diamati setelah induksi anestesia dengan propofol, meskipun

(38)

2.3 KETAMIN

Semenjak ditemukan adanya N-methyl-D-aspartate (NMDA) reseptor yang

berperan dalam persepsi nyeri menyebabkan saat ini banyak para klinis khususnya

praktisi nyeri untuk memulai

penelitian baru terhadap ketamin

yang saat ini digunakan sebagai

multimodal analgesia dalam

penanganan nyeri.41

Gambar 2.3.1. Struktur ketamin

2.3.1. Farmakologi ketamin

Ketamine, 2-(o-chlorophenyl)-2-(methylamine)-cycloexanone pertama kali

disintesis pada tahun 1963 dan pertama sekali digunakan pada manusia pada tahun

1965 oleh Corssen dan Domino. Obat ini larut dalam lemak dengan berat molekul

238 dalton, pKa 7,5 dan digunakan dalam bentuk rasemik atau isomer levogyrous

S(+) ketamin.S(+) ketamin 3 sampai 4 kali lebih poten dari isomer (R-ketamin)

untuk penanganan nyeri, sedikit menimbulkan agitasi dari pada yang bentuk

rasemik dan dextrogyrous. S(+) ketamin dua kali lebih poten dari rasemik dalam

mencegah sensitisasi central spinal cord.42

Ketamin dapat diberikan melalui oral, intramuskular, intravena bahkan

saat ini berkembang penelitian ketamin epidural. Ketamin memiliki bioavaibilitas

93% dan waktu paruh sampai 186 menit. Volume distribusi besar diperkirakan

mencapai 3L/kg.41 Plasma puncak setelah pemberian intravena terjadi dalam

waktu 1 menit, intramuskular dalam waktu 5 menit dan pemberian secara oral

dalam waktu 30 menit.43 Ketamin terdistribusi ke organ yang memiliki perfusi

yang tinggi seperi otak dengan empat sampai lima kali dari kadar plasma dengan

eliminasi obat melalui redistribusi obat dari organ yang perfusinya baik ke tempat

(39)

enzim sitokrom P45.44 Norketamin adalah hasil metabolit ketamin yang masih

aktif, tetapi potensiasinya sepertiga sampai seperlima dari ketamin dan pada

akhirnya metabolit tadi dikonjugasikan menjadi larut air dan pada akhirnya

diekskresikan melalui urin.45 Ketamin memiliki kelarutan lemak yang tinggi

sehingga obat ini gampang masuk melewati sawar darah otak. Ketamin memiliki

ikatan dengan protein plasma 12% dan waktu paruh tercapai dalam 10 menit.43

2.3.2. Mekanisme kerja ketamin

Ketamin bekerja pada susunan saraf pusat dan menurut beberapa penelitian

ketamin memiliki aktivitas perifer. Efek kerja ketamin bekerja pada reseptor

NMDA (N-methyl-D-aspartate) pada bagian kutub kalsium. Aktivasi reseptor

NMDA menyebabkan influx kalsium ekstraseluler ke intraseluler. Peran kalsium

adalah sebagai second messanger untuk reaksi nyeri selanjutnya melalui

pelepasan neurotransmitter nyeri yang lain.46,47 Blok pada NMDA reseptor adalah

cara kerja utama dari ketamin di susunan saraf pusat dan medulla spinalis. Sebagai

tambahan bahwa ketamin juga menghambat pelepasan dari glutamat yang

bertindak sebagai neurotransmiter eksitatori yang berperan sebagai

neurotransmiter nyeri. Mekanisme lainnya adalah ketamin berikatan dengan

reseptor opioid yaitu mu dan kappa.44 Interaksi ini terjadi sangat kompleks.

Afinitas ketamin terhadap reseptor opioid ini 10 kali lebih lemah dari ikatannya

terhadap reseptor NMDA dengan adanya bukti bahwa naloxon yang merupakan

antagonis opioid tidak mengantagonis efek analgetik dari ketamin.44,45 Ada bukti

juga bahwa reseptor seperti monoaminergik, muskarinik dan nikotinik menjadi

tempat ikatan ketamin sekaligus ketamin menimbulkan efek takikardi dan

(40)

Gambar 2.3.2. Reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate)

2.3.3. Efek ketamin pada fungsi organ

Ketamin memiliki kombinasi unik dari efek kardiovaskular, biasanya dikaitkan

dengan takikardia, peningkatan tekanan darah, dan cardiac output meningkat.

Mekanisme yang tepat munculnya respon simpatik masih belum diketahui.

Namun, dengan tidak adanya kontrol otonom, ketamin memiliki efek depresi

miokard langsung, yang biasanya diganti oleh respon sentral ini. Hal ini

dimungkinkan untuk mengurangi efek yang tidak diinginkan dari kardiovaskular

sehingga pemberiannya dengan memberikan ketamin sebagai kontinu infus dan

penggunaan benzodiazepin.44

Ketamin memiliki efek minimal pada pusat pernapasan, meskipun

penurunan sementara ventilasi dapat terjadi setelah pemberian bolus. Ketamin

menyebabkan relaksasi otot polos bronkus, sehingga memiliki peran khusus pada

pasien asma. Ketamin meningkatkan sekresi saliva, yang dapat menghasilkan

potensial masalah pada anak-anak dengan menyebabkan obstruksi jalan nafas

(41)

dengan ketamin, tetapi aspirasi dapat terjadi selama pasien terbius dengan

ketamin. Sering dilaporkan adanya bunyi nyaring pada penggunaan ketamin

disangkakan laringospasme. Hal ini sebenarnya terjadi karena posisi saluran

napas yang tidak bebas, dan masalah tersebut dapat dikelola hanya dengan

reposisi kepala pasien. Spasme laring dapat terjadi pada penggunaan ketamin yang

disebabkan oleh stimulasi dari pita suara oleh instrumentasi atau sekresi. Sekret

dapat dikurangi dengan memberikan premedikasi glycopyrrolate.44

Emergence reaction merupakan sensasi psikis setelah penggunaan

ketamin, sensasi mengambang, mimpi atau ilusi dan sesekali delirium.33

Mimpi-mimpi dan ilusi biasanya menghilang pada saat sadar penuh. Namun penting

untuk mendiskusikan dengan pasien efek dari ketamin itu dan efek ini muncul

5-30%.46Emergence reaction lebih tinggi terkait dengan faktor-faktor seperti

meningkatnya usia, perempuan, pasien yang biasanya bermimpi, pemberian

intravena yang cepat dan dosis besar.27,33 Ketamin telah diamati dapat

mengaktifkan psikosis pada pasien dengan skizofrenia. Namun, belum terlihat

adanya reaksi psikotik jangka panjang pada pasien tanpa penyakit kejiwaan yang

dikenal. Premedikasi dapat diberikan untuk mengurangi emergence reaction

seperti midazolam ( 0,07-0,1 mg kg/bb ), diazepam ( 0,15 - 0,3 kg/bb ), dan

lorazepam ( 2-4 mg) intravena telah terbukti efektif. Insiden ini juga menurun bila

digunakan bersama dengan hipnotik sedatif lain dan anestesi umum.44

Ketamin menghasilkan apa yang disebut 'disosiatif' anestesia yang telah

digambarkan sebagai disosiasi fungsional dan elektrofisiologi antara sistem

thalamo-neokorteks dan limbik. EEG menunjukkan aktivitas beta yang dominan

dengan penghapusan irama alfa. Keadaan klinis yang unik yang dihasilkan oleh

ketamin adalah biasanya keadaan ayan di mana mata tetap terbuka dengan

memperlambat tatapan nystagmus, sedangkan refleks kornea dan cahaya tetap

utuh. Berbagai tingkat hipertonus dan sesekali tujuan gerakan yang tidak terkait

dengan stimulus yang menyakitkan dicatat di hadapan anestesi bedah yang

memadai. Studi telah menunjukkan rangsang aktivitas baik di thalamus dan sistem

(42)

demikian, ketamin tidak akan mungkin menyebabkan kejang pada pasien dengan

gangguan kejang, dan pada kenyataannya, data eksperimen menunjukkan bahwa

ketamin memiliki antikonvulsif dan bahkan proteksi saraf.44

Analgesia terjadi pada konsentrasi darah lebih rendah daripada dosis

induksi atau menghilangkan kesadaran. Hal ini berlaku untuk ketamin yang

rasemik dan untuk S-(+)-ketamin. Ketamin meningkatkan metabolisme otak,

aliran darah otak (CBF), dan tekanan intrakranial (ICP).45 Pengaruh S-(+)-ketamin

pada ICP belum diketahui. Tanggapan dari cerebral autoregulasi ke ketamin

rasemik belum diteliti, namun S-(+)-ketamin tidak mempengaruhi autoregulasi

ini. Pupil dilatasi, nistagmus, air liur, dan lakrimasi yang umum.44

Ketamin belum terbukti memiliki efek buruk pada hati dan sistem ginjal.

Tekanan intraokular sedikit meningkat setelah pemberian ketamin. Ketamin

menghasilkan peningkatan tonus otot dan kadang-kadang kejang otot, meskipun

telah digunakan dengan aman pada miopati dan hipertermia ganas. 44

2.3.4. Penggunaan klinis ketamin

Solusi rasemik komersial ketamin adalah campuran R (-) dan S (+) isomer dalam

jumlah yang sediaan, tersedia sebagai 10, 50, dan 100 mg/ml dengan pengawet,

benzathonium hidroklorida. Isomer optik S-(+)-ketamin tersedia dalam 5 dan 25

mg/ml (tidak berlisensi di Inggris, saat ini). Ketamin dapat diberikan iv, im, oral,

rektal, dan sediaan bebas pengawet epidural. Dosis tergantung pada rute

pemberian dan efek terapi yang diinginkan. Benzodiazepine dapat diberikan baik

secara oral (diazepam 10-30 mg, lorazepam 2-5 mg) 60-90 menit sebelum induksi

atau dosis yang lebih kecil i.v. segera sebelum induksi.28 Induksi anestesi dengan

dosis 0.5–1.5 mg kg/bb intravena or 4–10 mg/kgbb/im. Dosis pemeliharaan untuk

anestesi 10-30 ug/kgbb/menit intravena. Sedasi analgesia 0.2–0.75 mg kgbbi.v

atau 2–4 mg/kgbb intramuskular diikuti infus berkala 5–20 mg kgbb/menit.44

Ketamin dapat digunakan untuk sedasi sekaligus analgesia pada

prosedur-prosedur singkat. Munculnya reaksi pada anak-anak yang kurang intens, sehingga

(43)

kateterisasi jantung, radioterapi, radiologi investigasi, dan luka bakar. Sayangnya,

tidak ada informasi mengenai berapa kali ketamin dapat digunakan secara aman,

meskipun sering digunakan berulang kali pada individu yang sama . Umumnya,

dosis subanaesthetic diperlukan untuk prosedur minor. Ketamin sering

dikombinasikan dengan premedikasi (misalnya benzodiazepin) untuk mengurangi

kebutuhan dosis dan reaksi munculnya emergence reaction , dan antisialogogue

(misalnya glycopyrrolate) untuk mengurangi sekresi saliva. Ketamin dapat

digunakan sebagai suplemen (i.v. atau i.m) selama anestesi regional. Hal ini juga

dapat diberikan melalui rute epidural sebagai tambahan untuk anestesi lokal untuk

memperpanjang durasi analgesia. Dosis rendah ketamin juga telah digunakan

bersama dengan propofol untuk meningkatkan kualitas sedasi. NMDA antagonis

mencegah sensitisasi sentral terhadap rangsangan yang menyakitkan. Ketamin

adalah satu-satunya NMDA antagonis, penelitian telah menunjukkan bahwa dosis

kecil ketamin dapat megurangi kebutuhan analgetik opioid.44

Ketamin telah banyak digunakan pada unit luka bakar untuk pembiusan

terutama untuk pencucian luka dan prosedur pencangkokan kulit pada anak-anak

dan orang dewasa. Ketamin dosis rendah (1,5-2 mg/kgbb/im) tersebut tampaknya

memiliki mula kerja yang cepat dan menghasilkan operasi yang baik meliputi

amnesia, analgesia dan memuaskan dengan pemulihan yang cepat. Namun

hati-hati dengan reaksi intoleran pada pasien dengan penggunaan ketamin berulang.

Pasien dengan gangguan kardiorespirasi (kecuali penyakit jantung iskemik)

merupakan kandidat utama untuk diberikan ketamin. Pengalaman yang luas

dengan ketamin pada anak dengan katerisasi jantung telah menunjukkan

efektifitas penggunaan ketamin dengan kejadian aritmia yang kurang dari anestesi

umum lainnya. Ketamin mungkin berbahaya pada pasien dengan peningkatan

tahanan di ventrikel kanan. Pada pasien dengan penyakit saluran napas reaktif,

ketamin (rasemik) dapat berguna karena menghasilkan bronkodilatasi dan

analgesia mendalam yang memungkinkan peningkatan inspirasi oksigen. Ketamin

jika dikombinasikan dengan benzodiazepin atau benzodiazepin dengan opioid,

(44)

psychomimetic paska operasi. Teknik menghasilkan gangguan hemodinamik

minimal, analgesia yang mendalam, amnesia dan pemulihan yang baik.45

Ketamin bebas pengawet telah ditambahkan ke bupivacaine untuk

meningkatkan durasi analgesia, tanpa mempengaruhi intensitas analgesia.36

Penggunaan ketamine semakin meningkat dan survey memperlihatkan 32% dari

anestesi pediatrik Inggris melaporkan penggunaan ketamin epidural.44

Secara historis, telah diyakini bahwa ketamin merupakan kontra indikasi

pada pasien dengan peningkatan ICP, namun laporan dari saraf dan bahkan efek

neuroregeneratif memberikan hasil yang berbeda.` Ketamin dapat mencegah

influks ion kalsium abnormal atau glutamat melalui interaksi dengan reseptor

NMDA. Peningkatan CBF setelah pemberian ketamin kurang dari peningkatan

CMRO2. S-(+)-ketamin mempertahankan metabolisme serebral sebagian besar

wilayah otak (percobaan studi).44

Meskipun ketamin memiliki sedikit efek pada endotel vaskular, penelitian

telah menunjukkan penurunan yang signifikan dalam aktivasi leukosit selama

hipoksemia atau sepsis. Ketamin menekan produksi sitokin pro-inflamasi dalam

darah seluruh manusia in vitro. Dalam sebuah studi tentang efek isomer berbeda

pada hati babi, S-(+)-ketamin efektif dalam mengurangi adhesi neutrofil,

sedangkan R-(-)-ketamin memiliki efek negatif yaitu memperburuk kebocoran

dari pembuluh darah koroner sekitarnya jaringan.45

2.4SEVOFLURANE

Sevoflurane termasuk senyawa baru yang ditemukan pada awal dekade 1970 oleh

Walin et al di laboratorium travenol. Seperti halnya desflurane, sevoflurane

mempunyai daya larut yang rendah akibat fluoronisasi pada molekul eter.

Sevoflurane (2,2,2-trifluoro-1-(trifluoromethyl)ethyl fluoromethyl eter), disebut

juga sebagai fluoromethyl hexafluoroisopropyl ether, berbau sedap, tidak mudah

(45)

Sevoflurane sebagai anestetika baru berbeda dengan isoflurane terutama

dalam hal mobilitasnya. Sevoflurane mempunyai kelarutan yang lebih rendah

dalam darah, yang meningkatkan kecepatan bersihannya dan kecepatan dalam

mengatur kedalaman anesthesia. Karakteristik tersebut cocok dengan keperluan

anestesi masa kini.46

2.4.1 Farmakokinetik

Seperti desflurane, sevoflurane adalah senyawa halogenasi dengan fluorine.

Sevoflurane memiliki solubilitas sedikit lebih tinggi daripada desflurane (0.65 vs

0.42). Sevoflurane merupakan agen inhalasi yang wangi dengan peningkatan

konsentrasi di alveolar yang cepat sehingga menjadi pilihan yang sempurna

sebagai obat induksi pada pasien pediatrik dan dewasa. Bahkan, induksi inhalasi

dengan 4-8% sevoflurane dengan campuran 50% oksigen dan nitrous okside dapat

dicapai dalam waktu 1-3 menit. Oleh karena solubilitas dalam darah yang rendah

yang mengakibatkan penurunan konsentrasi di alveolar segera setelah dihentikan

sehingga fase pulih sadar lebih cepat jika dibandingkan dengan isoflurane. Namun

fase pulih sadar yang cepat ini telah dihubungkan dengan insidensi delirium yang

tinggi paska pembedahan yang dapat diatasi dengan fentanyl 1-2 ug/kgBB.47

Gambar 2.4.1 Rumus Bangun Sevoflurane 48

MAC Sevoflurane terlihat pada tabel di bawah ini. MAC sevoflurane

untuk pasien yang berumur 6 bulan sampai 12 tahun adalah 2,5%. Sedangkan

untuk pasien yang berumur dibawah 6 bulan MAC sevoflurane adalah 3,2-3,3%.

(46)

Tabel 3. Equivalen MAC dalam Oksigen dan O2/N2O 46,48

Tabel Equivalen MAC dalam oksigen dan O2/N2O

Umur Dalam Oksigen Dalam O2/N2O

MAC was determined in 60% N2O for pediatric and 65% N2O for adult patients

2.4.2 Metabolisme

Sevoflurane dimetabolisme oleh sitokrom hepatic P450 2EL sebanyak 2-5%

dengan metabolik produk utama fluoride inorganic dan hexafluoroisopropanolol

(HFIP). HFIP tidak diikat oleh protein hepar dan tidak menunjukkan bukti adanya

toksisitas pada hati. HFIP dengan cepat dikonjugasi oleh asam glukoronida dan

kemudian diekskresi. Konjugasi ini demikian cepat, sehingga konsentrasi HFIP

tidak dapat diukur (karena sangat rendah) pada manusia. Konjugasi HFIP

dikeluarkan melalui urin dan dikeluarkan secara lengkap dalam 24 jam. Metabolit

sevoflurane yang paling penting adalah fluorida inorganik. Pada MAC 0.8-1.1 per

jam anestesi dengan sevoflurane pada anak menunjukkan peningkatan serum ion

fluoride rata-rata 10-13 mMol/liter. Nilai paling tinggi mencapai 45 mMol/liter

Gambar

Gambar 2.1-1    : Respon fisiologis terhadap kecemasan….…………….. 13
Gambar 2.1.1. Respon Fisiologis Terhadap Kecemasan20
Tabel 1. Pediatric Anaesthesia Emergence Delirium (PAED) Scale31
Tabel 2. Distribusi propofol bebas dan total propofol
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengolahan data yang dilakukan secara komputerisasi dengan menggunakan Microsoft Visual Basic 6.0 dan penyimpanan database yang teratur pada Microsoft Access 2000. Diharapkan

[r]

Penulisan Ilmiah ini menyajikan perancangan Aplikasi Kepegawaian dan Penggajian dengan menggunakan Microsoft Access 2003 yang bertujuan untuk memudahkan pendataan para pegawai

PROGRAM KERJA PERPUSTAKAAN ” ANEKA ILMU” SD NEGERI ... TAHUN PELAJARAN 2012/2013 PROGRAM KERJA MINGGUAN NO HARI JENIS KEGIATAN

Dengan sangat jelas Suparlan menguraikan demikian : Orang-orang Madura hidup mengelompok sesama mereka sendiri baik yang hidup dalam sebuah komuniti berupa dusun yang

Hasil nilai di atas menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pengaruh penambahan kinesiotaping pada eccentric exercise terhadap peningkatan kemampuan fungsional de quervain’s

Tekanan darah lansia penderita hipertensi di Dusun Pundung Nogotirto Gamping Sleman Yogyakarta sebelum melakukan senam ergonomis didapatkan lansia yang mengalami

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menyelenggarakan Olimpiade Nasional Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Perguruan Tinggi (ON MIPA-PT) sebagai bagian untuk