PERBANDINGAN KETAMINE 0.5 mg/kgBB/IV DAN
PROPOFOL 1 mg/kgBB/IV UNTUK MENCEGAH AGITASI
PASKA ANESTESI SEVOFLURANE PADA PASIEN
PEDIATRI DENGAN GENERAL ANESTESIA
TESIS Anna Millizia NIM : 107114002
PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS
DEPARTEMEN / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA /
PERBANDINGAN KETAMINE 0.5 mg/kgBB/IV DAN
PROPOFOL 1 mg/kgBB/IV UNTUK MENCEGAH AGITASI
PASKA ANESTESI SEVOFLURANE PADA PASIEN
PEDIATRI DENGAN GENERAL ANESTESIA
TESIS
Anna Millizia 107114002
PEMBIMBING I :
dr. Chairul M. Mursin, Sp. An, KAO
PEMBIMBING II
dr.Hasanul Arifin, Sp. An, KAP, KIC
Untuk memperoleh gelar Magister Klinik di bidang Anestesiologi dan
Terapi Intensif / M.Ked (An) pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS
DEPARTEMEN / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA /
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan Rahmat dan Karunia-Nya saya berkesempatan membuat penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh tanda keahlian dalam bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi–tingginya kepada yang terhormat : dr. Chairul M. Mursin Sp.An, KAO dan dr. Hasanul Arifin Sp.An, KIC, KAP atas kesediaannya sebagai pembimbing penelitian saya, serta dr. Putri C Eyanoer, Ms. Epi sebagai pembimbing statistik penelitian saya, walaupun di tengah kesibukan masih dapat meluangkan waktu.
Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Prof.DR. Dr. H. Syahril Pasaribu DTM&H, Msc(CTM), Sp.A(K). Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar Sp.PD (KGEH) atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis (PPDS) I dan magister klinik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.
Yang terhormat Prof. dr. H. Achsanuddin Hanafie Sp.An, KIC, KAO sebagai Kepala Departemen/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, dr. Hasanul Arifin Sp.An, KAP, KIC sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, Dr. dr. Nazaruddin Umar Sp.An, KNA sebagai Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, dr. Akhyar H. Nasution Sp.An, KAKV sebagai Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, yang telah banyak memberikan petunjuk, pengarahan serta nasehat dan mendidik selama saya menjalani penelitian ini.
Shinta Irina SpAn. dr Rommy F Nadeak SpAn., yang telah banyak memberikan bimbingan dalam bidang ilmu pengetahuan di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif, baik secara teori maupun keterampilan sehingga menimbulkan rasa percaya diri dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya yang kiranya sangat bermanfaat bagi saya di kemudian hari.
Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, Bapak Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan, Karumkit Tk. II Putri Hijau Medan, Direktur RS Haji Medan, yang telah mengizinkan dan memberikan bimbingan serta kesempatan kepada saya untuk belajar menambah keterampilan.
Kepada para perawat / paramedis dan seluruh Karyawan / Karyawati RSUP H. Adam Malik Medan, RSUD dr.Pirngadi Medan, RS Haji Medan, dan Rumkit Tk. II Putri Hijau Medan yang telah banyak membantu dan bekerja sama dengan baik selama ini dalam menjalani tugas pendidikan dan pelayanan kesehatan, serta kesempatan yang diberikan sehingga saya dapat melaksanakan penelitian ini, saya juga mengucapkan terima kasih yang setulusnya.
Sembah sujud dan rasa syukur saya persembahkan kepada yang tercinta kedua orang tua saya, ayahanda; H. Anwar Iska dan ibunda; Hj. Zarlina saya sampaikan rasa hormat dan terima kasih saya yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas doa dan perjuangannya yang tiada henti serta dengan siraman kasih sayang yang luar biasa yang telah diberikan kepada saya.
Kepada adik kandung saya, yaitu S. Abul Khairi terima kasih tak terhingga dan setulusnya atas dorongan dan inspirasinya selama saya menjalani masa pendidikan spesialis ini.
Yang saya hormati dan cintai Bapak mertua dr. H. Einil Rizar, Sp. OG(K) dan Ibu mertua Hj. Dwi Satellita yang juga telah mendukung dan memberikan doa dan restu untuk saya agar dapat menuntut ilmu dan mengejar cita-cita saya.
Kepada suami yang sangat saya cintai dan kasihi, dr. M. Bayu Rizaldy yang selalu menyayangi saya, dengan cinta kasihnya yang luar biasa selalu memberikan dorongan, dan tidak pernah bosan selalu memberikan waktu dan tenaganya untuk mendengarkan keluh kesah saya dengan penuh perhatian. Terima kasih yang tak terhingga atas kesabaran dan keikhlasan selama saya menjalani pendidikan ini, semoga usaha saya ini juga dapat menjadi dasar dalam setiap aspek kehidupan kami kedepannya.
dukungan moral maupun materil, serta doanya yang tulus sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan ini, saya mengucapkan terima kasih.
Kepada yang tercinta teman-teman satu angkatan saya dalam penerimaan Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran USU yaitu: dr. Mufti Andri, dr Benni Antomy dan dr. Wahyu Satria Kencana, yang telah bersama-sama sejak mulai penerimaan masuk, berbagi dalam suka maupun duka, tak lupa saya haturkan terima kasih. Begitu juga dengan dr. Ahmad Yafiz Hasby, dr. Rusdian Nurmadi, dr. Kiki Prayogi dr. Andri Yunafri dan dr. Wulan Fadinie, M. Ked (An), Sp. An, yang telah memberikan saran serta sarana diskusi dalam perencanaan penelitian ini.
Terima kasih saya ucapkan kepada relawan saya yang telah bersedia meluangkan waktu dan menolong dalam pelaksanaan penelitian yaitu dr Metty Savitri dan dr. Fahmi Sani. Dan juga kepada teman-teman saya tercinta, baik di tingkat senior maupun junior yang terlibat langsung dalam membantu dan menginspirasi saya selama saya mengerjakan penelitian ini baik dari departemen anestesiologi dan terapi intensif maupun dari departemen lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu disini terima kasih saya ucapkan atas bantuan dan kerja samanya baik secara moril, tenaga, pikiran, dan perhatiannya selama saya menjalankan penelitian ini.
Dan akhirnya izinkan dan perkenankanlah saya dalam kesempatan yang tertulis ini memohon maaf atas segala kekurangan saya selama mengikuti masa pendidikan di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang saya cintai.
Medan, Januari 2015
Penulis
(dr. Anna Millizia)
KATA PENGANTAR
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Agitasi Paska Anestesi………. ... 2.1.1 Etiologi………... 2.1.2 Obat adjuvant pada anestesi untuk mengurangi agitasi paska anestesi ………. 2.1.3 Penilaian agitasi paska anestesi... 2.2. Propofol………..……….
2.3.4 Penggunaan klinis ketamine …………...…...………..
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1-1 : Respon fisiologis terhadap kecemasan….……….. 13
Gambar 2.2-1 : Rumus bangun propofol ……….. …... 17
Gambar 2.3-1 : Rumus bangun ketamine….. ………..… 22
Gambar 2.3-2 : Reseptor NMDA (N Methyl D Aspartate) …..……..… 24
Gambar 2.4-1 : Rumus bangun sevoflurane……… 29
Gambar 2.5-1 : Kerangka Teori ……….………….….. 34
Gambar 2.6-1 : Kerangka Konsep ……….………..….. 35
Gambar 3.14-1 : Alur Penelitian………... 47
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED) Scale… 17
Tabel 2 Distribusi propofol bebas dan total propofol………….…… 19
Tabel 3 Equivalen MAC dalam Oksigen dan O2/N2O………..……. 31
Tabel 4. Karakteristik Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Umur………. 48
Tabel 5 Karakteristik Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin……….... 49
Tabel 6 Karakteristik Umum Subjek Penelitian berdasarkan PS ASA………49
Tabel 7 Karakteristik Umum Subjek Penelitian berdasarkan Jenis Operasi………. 50
Tabel 8 Karakteristik Umum Subjek Penelitian berdasarkan Lama Pembedahan……… 50
Tabel 9 Karakteristik Umum Subjek Penelitian berdasarkan Lama Anestesi……… 51
Tabel 10 Nilai PAED antara kelompok Ketamine dan Propofol Menit 5, 15 dan 25………. 51
Tabel 11 Nilai PAED antara kelompok Ketamine dan Propofol Menit 10,20,30,35,40,50,55 dan 60………. 52
Tabel 12 Agitasi Pada Kedua Kelompok……….. 53
Tabel 13 Penambahan Injeksi Propofol……….54
Tabel 15 Lama Rawatan di Ruang Pemulihan (PACU)………... 55 Tabel 16 Kejadian Mual dan Muntah………55 Tabel 17 Kejadian Agitasi antara Ketamine (Experimental)
dan Propofol (Control)……… 57 Tabel 18 Kejadian Agitasi dihubungkan dengan Umur………. 58
DAFTAR SINGKATAN
ARR = Absolute Risk Reduction BMI = Body Mass Index
CBF = Cerebral Blood Flow CER = Control Event Rate
CMRO2 = Consumption Metabolic Rate Oxygen
ED = Effective Dose
EER = Experimental Event Rate GABA = Gamma Amino Butyric Acid HFIP = Hexafluoroisopropanolol ICP = Intracranial Pressure LCT = Long Chain Triglycerides
MAC = Minimum Alveolar Concentration MCT = Medium Chain Triglycerides MRI = Magnetic Resonance Imaging NMDA = N Methyl D Aspartate (reseptor) NNH = Number Need To Harm
OAINS = Obat Anti Inflamasi Non Steroid PACU = Pediatric Anesthesi Care Unit
PAED = Pediatric Anesthesia Emergence Delirium RRR = Relative Reduction Rate
RINGKASAN
Tujuan: Untuk mengamati apakah pemberian ketamin dan propofol pada akhir pembedahan dapat mencegah agitasi paska anestesi dengan sevoflurane.
Metode: Setelah mendapat izin dari komisi etik penelitian bidang kesehatan Fakultas Kedokteran USU dan Rumah Sakit Haji Adam Malik, Uji klinis acak
tersamar ganda pada 48 pasien pediatrik, 2 sampai 10 tahun, PS-ASA 1 dan 2
yang akan menjalani operasi elektif dengan anestesi umum sevoflurane di Rumah
Sakit Haji Adam Malik. Sampel dibagi menjadi dua kelompok masing-masing
terdiri dari 24 orang. Kelompok A menerima Ketamin 0,5 mg/kgBB IV dan
kelompok B menerima Propofol 1 mg/kgBB IV 10 menit sebelum pembedahan
berakhir. Seluruh pasien diinduksi dan menggunakan agen inhalasi rumatan
sevoflurane.Paska operasi seluruh pasien mendapatkan injeksi ketorolac 0.5
mg/kgBB/iv. Kejadian agitasi dicatat dengan skor PAED mulai dari pasien sudah
dipindahkan ke ruang pemulihan (PACU). Nilai PAED > 10 dianggap sebagai
kejadian agitasi. Komplikasi seperti mual muntah, lama ekstubasi dan lama
rawatan PACU dicatat.
Hasil: Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa kejadian agitasi lebih banyak pada kelompok propofol dibandingkan ketamine namun secara statistik berbeda tidak
bermakna (p > 0.05). Tidak terjadi perbedaan lama ekstubasi dan lama rawatan di
ruang pemulihan diantara dua kelompok. Pada seluruh sampel penelitian tidak
dijumpai efek mual dan muntah.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang tidak bermakna secara statistik antara kedua kelompok dalam hal terjadinya agitasi paska anestesi sevoflurane. Sehingga
ketamine 0.5 mg/kgBB/iv dapat menjadi obat alternatif selain propofol 1
mg/kgBB/iv untuk mencegah agitasi paska anestesi sevoflurane pada pasien
pediatrik.
ABSTRACT
Objective: To observe whether the injection of ketamine and propofol in the end of surgery could prevent emergence agitation in sevoflurane anesthesia
Method: After getting the approval from the Ethic Committe of USU Medical School and Haji Adam Malik General Hospital, Double blinded, a randomized clinical trial on 48 pediatric patients, 2 to 10 years, physical state ASA-1 and 2 who underwent elective surgery with general anesthesia with sevoflurane in Haji Adam Malik General Hospital. The sample are divided into two groups each with 24 subjects. Group A received Ketamine 0,5 mg/kgBW IV 10 minute before the surgery ended and group B recieved Propofol 1 mg/kgBW IV 10 minute before the surgery ended . All patient receive induction and maintained with sevoflurane. All patients receive post operative pain management ketorolac injection 0.5 mg/kgBW/IV.This study observed the agitation that occurred during the stay at PACU. The agitation was observed with PAED Score. PAED score above 10 considered as agitation. An incidence of any side effects were also recorded.
Result: The study reveals that the agitation occurred more frequently in propofol than ketamine grup, statistically no significant difference between groups (p >
0.05) On the whole sample we did not found prolonged extubation, prolonged
length of stay in PACU, nausea and vomit effect during the postoperative time in
PACU.
Conclusion: There were no significant statistical differences between the two groups incidence of agitation. Furthermore, ketamine 0.5 mg/kgBW/iv can be an alternate drug beside propofol 1 mg/kgBW/iv to reduce emergence agitation in pediatric patients.
ABSTRACT
Objective: To observe whether the injection of ketamine and propofol in the end of surgery could prevent emergence agitation in sevoflurane anesthesia
Method: After getting the approval from the Ethic Committe of USU Medical School and Haji Adam Malik General Hospital, Double blinded, a randomized clinical trial on 48 pediatric patients, 2 to 10 years, physical state ASA-1 and 2 who underwent elective surgery with general anesthesia with sevoflurane in Haji Adam Malik General Hospital. The sample are divided into two groups each with 24 subjects. Group A received Ketamine 0,5 mg/kgBW IV 10 minute before the surgery ended and group B recieved Propofol 1 mg/kgBW IV 10 minute before the surgery ended . All patient receive induction and maintained with sevoflurane. All patients receive post operative pain management ketorolac injection 0.5 mg/kgBW/IV.This study observed the agitation that occurred during the stay at PACU. The agitation was observed with PAED Score. PAED score above 10 considered as agitation. An incidence of any side effects were also recorded.
Result: The study reveals that the agitation occurred more frequently in propofol than ketamine grup, statistically no significant difference between groups (p >
0.05) On the whole sample we did not found prolonged extubation, prolonged
length of stay in PACU, nausea and vomit effect during the postoperative time in
PACU.
Conclusion: There were no significant statistical differences between the two groups incidence of agitation. Furthermore, ketamine 0.5 mg/kgBW/iv can be an alternate drug beside propofol 1 mg/kgBW/iv to reduce emergence agitation in pediatric patients.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1LATAR BELAKANG
Dengan ditemukannya agen inhalasi yang baru, desflurane dan sevoflurane,
muncul permasalahan baru yang dikenal dengan agitasi pulih sadar. Agitasi pulih
sadar didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana kesadaran anak paska operasi
gelisah, tidak dapat dibujuk, pemarah dan tidak kooperatif. 1
Agitasi pada anak yang menjalani anestesi dengan sevoflurane prevalensinya
masih tinggi berkisar 10-67%, padahal sevoflurane mempunyai sifat yang
menguntungkan oleh karena toleransi induksi yang baik dan cepat pada
anak-anak, hemodinamik yang stabil, hepatotoksisitas yang rendah serta pemulihannya
yang cepat.2,3 Pemulihan yang cepat dari sevoflurane dan nyeri paska operasi
merupakan faktor yang berperan terhadap timbulnya agitasi pada anak. 2
Eckonhoff et al adalah yang pertama mendeskripsikan terjadinya agitasi pada
tahun 1961. Pada penelitiannya ditemukan bahwa ada 4 faktor yang berperan
penting dalam terjadinya agitasi yaitu anak umur 3-9 tahun, pembiusan dengan
eter, tonsilektomi dan premedikasi dengan barbiturate. 4Cole dkk mengestimasi
13% dari 260 anak (umur 10 bulan hingga 6 tahun) mengalami periode terjadinya
disorientasi dan gelisah di ruang pemulihan dan kemudian menurun hingga 8% 20
menit kemudian. Aono et al menemukan bahwa agitasi paska anestesi terlihat
lebih sering pada sevoflurane dibandingkan dengan halothan pada anak umur 3-6
tahun (40% vs 10%). Voepel Lewis, Malviya dan Tait mengaudit 521 anak (umur
3 hingga 7 tahun) dan 18% mengalami agitasi paska anestesi. Dari jumlah ini,
42% dikekang oleh 2 atau lebih perawat, kemudian 48% pasien menjadi tenang
sebelum diberikan obat, dan 52% pasien diberikan opioid.5
Berdasarkan data pada Agustus 2010, terdapat pasien anak berusia 2-12 tahun
yang menjalani tindakan operasi dengan anestesi umum di Instalasi Bedah Pusat
RSUP H. Adam Malik Medan sekitar 11% setiap bulannya dan sekitar 90%
di Afrika Barat sekitar 34 pasien anak dari 625 pasien setiap bulannya, dan di
Gambia sekitar 11,3%.7 Insidensi terjadinya agitasi paska operasi setelah
penggunaan halotan, isoflurane, sevoflurane dan desflurane berkisar 5-55%.1
Anak-anak akan segera memberikan tanda jika mereka bangun merasakan
sakit atau perasaan tidak senang. Anestetis yang baik akan memastikan pasien
anak sudah teranalgesia dengan cukup pada saat dibangunkan. Pasien anak akan
mengalami agitasi pada saat dibangunkan karena berbagai macam alasan. Namun
sangat penting untuk mengeksklusikan nyeri sebelum mempertimbangkan kausa
lainnya. Pasien anak yang mengalami agitasi akan menangis dan sedih, namun
dapat dihibur, mengenali orang tua dan biasanya dapat berkomunikasi.8 Delirium
paska pulih sadar merupakan disorientasi yang disebabkan oleh obat. Pasien anak
biasanya menangis atau menjerit, dapat berhalusinasi, tidak kooperatif, tidak dapat
dihibur dan melempar semua barang yang terletak disekitarnya. Dalam keadaan
seperti ini, pasien anak sering terlepas selang infus dan drain sehingga semakin
menyulitkan perawatan paska bedah. Hal ini sering terjadi pada pasien anak umur
pra sekolah yang menjalani tindakan anestesi dengan sevoflurane dan desflurane.
Pulih sadar yang cepat setelah anestesi merupakan salah satu penyebabnya dan
pemberian propofol dapat mengurangi insidensi terjadinya agitasi dan delirium.
Delirium mulai terjadi pada saat anak terbangun dan biasanya berlangsung selama
30 menit, walaupun hal ini biasanya dapat bertahan lebih lama.8
Dosis kecil dari propofol 0.5-2 mg/kgBB/iv (dengan peralatan jalan nafas
yang sudah tersedia jika pasien mengalami henti nafas), klonidine intravena (0.5-1
mikrogram/kgBB/iv), atau fentanyl 0.5-1 mikrogram/kgBB/iv. Ketamine atau
dexmedetomidine merupakan pilihan obat anestesi yang dapat mengurangi angka
kejadian agitasi pada pasien anak, namun tidak sama halnya dengan pemberian
midazolam. Beberapa kasus menunjukkan terjadinya perbaikan jika pasien anak
ini tersedasi selama 10-15 menit dan dibangunkan secara bertahap. 8
Propofol adalah obat yang bekerja relatif memodulasi reseptor gamma
interaksi pada reseptor GABA. GABA pada prinsipnya menghambat
neurotransmitter pada susunan saraf pusat. Ketika reseptor GABA diaktivasi,
maka konduktansi transmembran klorida akan meningkat, yang akan
menyebabkan hiperpolarisasi dari membran sel post sinaps dan inhibisi fungsional
dari neuron post sinaps. 9Propofol telah menjadi obat pilihan untuk induksi oleh
karena efek pulih sadarnya yang sempurna dan cepat. Propofol juga dapat
digunakan sebagai obat sedasi intravena oleh karena masa kerjanya yang cepat,
memiliki efek anti emetik pada pembiusan umum dan biaya yang efektif, mudah
diberikan dan dapat dititrasi pemberiannya. 10
Propofol dan ketamine telah diteliti sebelumnya dapat mengurangi insidensi
terjadinya agitasi paska anestesi dengan sevoflurane. Agitasi pulih sadar
dievaluasi dengan menggunakan skala Pediatric Anesthesia Emergence Delirium
(PAED). 11
Bruno Locatelli dkk melakukan penelitian tentang delirium paska anestesi,
perbandingan antara sevoflurane dan desflurane menggunakan skala Pediatric
Anesthesia Emergence Delirium (PAED). Penelitian ini memperlihatkan
sevofluran dan desflurane memiliki insidensi terjadinya delirium paska anestesi
yang hampir sama pada pasien anak yang menjalani operasi daerah sub
umbilical.11
Kim S dkk melakukan penelitian tentang perbandingan antara propofol 1
mg/kgBB dengan fentanyl 1 µg/kgBB/iv yang diberikan pada akhir anestesi untuk
mencegah agitasi paska anestesi sevoflurane pada pasien pediatrik. Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa propofol dan fentanyl menurunkan terjadinya agitasi
paska anestesi. Namun propofol lebih baik daripada fentanyl karena efek mual
muntahnya yang lebih sedikit. 12
Rashad Manal dkk melakukan penelitian tentang efek berbagai obat untuk
mencegah agitasi paska anestesi dengan sevoflurane pada 80 pasien pediatrik
yang menjalani operasi revisi hipospadia. Penelitian ini membandingkan antara
Normal saline sebagai plasebo. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa
penggunaan propofol atau fentanyl sebelum sevoflurane dihentikan ternyata
menurunkan insidensi terjadinya agitasi paska anestesi pada pasien pediatrik lebih
baik dari grup ketamine, dimana penggunaan fentanyl menunjukkan masa rawatan
di ruang pemulihan yang lebih lama dan insidensi terjadinya mual muntah lebih
besar.13
Zahi Almajali dkk melakukan penelitian pemberian intravena ketamine 1
mg/kgBB/iv, fentanyl 1µg/kgBB/iv atau propofol 1 mg/kgBB/iv yang diberikan
pada akhir pembedahan untuk menurunkan agitasi paska anestesi. Pada penelitian
ini agen inhalasi yang digunakan adalah isoflurane. Penelitian dilakukan pada 273
pasien anak yang akan menjalani tonsilektomi. Penelitian ini menunjukkan
fentanyl dan propofol yang diberikan pada akhir pembedahan akan menurunkan
frekuensi dan agitasi paska operasi yang lebih baik. 14
Ashraf Arafat dkk melakukan penelitian efek ketamine versus fentanyl pada
insidensi terjadinya agitasi paska anestesi dengan sevoflurane pada pasien anak
yang menjalani tonsilektomi tanpa atau dengan adenoidektomi. Pada penelitian ini
dibandingkan ketamin 0,5 mg/kgBB/iv, fentanyl 1 µg/kgBB/iv dan normal saline
sebagai grup kontrol yang diberikan pada akhir anestesi. Hasilnya menunjukkan
bahwa kedua obat mampu menurunkan terjadinya agitasi paska anestesi dengan
sevoflurane tanpa memperpanjang masa pulih sadar dan lama rawatan di ruang
pemulihan. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal menurunkan angka
agitasi antara grup ketamin dan fentanyl. Namun efek mual muntah terlihat
signifikan lebih banyak di grup fentanyl. 15
Eghbal MH dkk melakukan penelitian pada 66 pasien anak yang menjalani
adenotonsilektomi yang dibagi kedalam 2 grup. Pasien di grup kontrol akan
mendapatkan normal saline 5 ml sementara pasien pada grup ketamine akan
mendapat ketamin dengan dosis 0.25 mg/kgBB/iv yang diberikan selama induksi
anestesi. Penelitian ini memperlihatkan bahwa ketamine dengan dosis rendah
operasi setelah adenotonsilektomi pada pasien anak. Tidak terlihat perbedaan
yang signifikan dalam menurunkan insidensi terjadinya mual muntah paska
operasi diantara kedua grup. 16
Jeong et al melakukan penelitian terhadap 60 pasien anak yang menjalani
operasi mata dan dibagi kedalam 3 grup. Pasien di grup kontrol akan mendapat
normal saline, grup K1 mendapatkan ketamine 1 mg/kgBB/iv yang diberikan
intravena sebelum memasuki kamar operasi, dan grup K0.5 yang diberikan
ketamine 0.5 mg/kgBB/iv 10 menit sebelum pembedahan berakhir. Hasilnya
menunjukkan bahwa ketamine 1 mg/kgBB/iv yang diberikan sebelum memasuki
ruang operasi akan menurunkan kecemasan sebelum berpisah dari orang tua, nyeri
paska operasi dan insidensi agitasi paska anestesi tanpa masa pemulihan yang
panjang. 17
Lee YS dkk melakukan penelitian efek penambahan ketamine yang dievaluasi
pada 93 pasien anak yang menjalani tonsilektomi. Pasien dialokasikan menjadi 3
grup, grup kontrol diberikan saline, grup K0.25 yang diberikan ketamin 0.25
mg/kgBB/iv dan grup K0.5 yang diberikan ketamin 0.5 mg/kgBB/iv. Tidak
terlihat perbedaan yang signifikan dari terjadinya agitasi, lamanya waktu
ekstubasi dan insidensi terjadinya mual muntah pada kedua grup. Namun grup
K0.5 menunjukkan skor nyeri yang lebih rendah dibandingkan dengan grup
K0.25.18
Beberapa obat memang sudah digunakan untuk menurunkan insidensi dan
intensitas agitasi paska operasi seperti fentanyl, ketamine, propofol dan alfa 2
adrenergik agonis. Sampai sekarang, potensi antara satu obat dengan lainnya
belum jelas diketahui. 14. Ketamine memiliki keuntungan di mana obat ini lebih
mudah didapatkan bahkan didaerah perifer, dengan kemasan dan sediaan yang
dapat digunakan untuk beberapa pasien sehingga menghemat biaya (cost).
Berdasarkan studi kepustakaan dan hasil penelitian terkait serta
mempertimbangkan kemampuan obat untuk mencegah agitasi, efek samping dan
mg/kgBB/iv dan propofol 1 mg/kgBB/iv yang diberikan pada akhir anestesi untuk
mencegah agitasi paska anestesi dengan sevoflurane pada pasien pediatri dengan
general anesthesia. Dimana dosis ketamine dinaikkan dengan harapan efek sedasi
dan analgetik yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan efektivitas untuk
mencegah agitasi pada pasien pediatrik umur 2-10 tahun dan intervensi kedua
obat ini belum pernah diuji secara head to head dengan dosis yang diinginkan
peneliti.
1.2RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut: apakah ada perbedaan dari pemberian ketamine 0.5 mg/kgBB/iv
dibandingkan dengan propofol 1 mg/kgBB/iv untuk mencegah terjadinya agitasi
paska anestesi sevoflurane
1.3 HIPOTESA
Ada perbedaan dari pemberian ketamine 0.5 mg/kgBB/iv dibandingkan dengan
propofol 1 mg/kgBB/iv untuk mencegah terjadinya agitasi paska anestesi
sevoflurane
1.4TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini dibedakan atas tujuan umum dan tujuan khusus
1.4.1 TUJUAN UMUM
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan obat alternatif yang
dapat mencegah agitasi paska anestesi sevoflurane pada pasien anak yang
menjalani pembedahan dengan general anestesi.
1.4.2 TUJUAN KHUSUS
Tujuan khusus penelitian ini adalah :
a. Mengetahui distribusi frekuensi dari : jenis kelamin, umur, BMI, lama
b. Mengetahui perbedaan karakteristik dari PAED score menit ke 5 hingga
60 antara kelompok propofol dan ketamine
c. Mengetahui proporsi terjadinya agitasi paska anestesi sevoflurane pada
pasien anak dengan pemberian propofol 1 mg/kgBB/iv yang diberikan
pada akhir anestesi.
d. Mengetahui proporsi terjadinya agitasi paska anestesi sevoflurane pada
pasien anak dengan pemberian ketamine 0.5 mg/kgBB/iv yang diberikan
pada akhir anestesi.
e. Mengetahui perbedaan pencegahan agitasi paska anestesi sevoflurane
antara propofol dan ketamine yang diberikan pada akhir anestesi.
f. Mengetahui perbedaan lama waktu ekstubasi setelah pemberian propofol
dan ketamine pada akhir anestesi
g. Mengetahui perbedaan lama waktu rawatan di ruang pemulihan (PACU)
setelah pemberian propofol dan ketamine pada akhir anestesi
h. Mengetahui perbedaan terjadinya mual muntah setelah pemberian
propofol dan ketamine pada akhir anestesi
1.5MANFAAT PENELITIAN 1.5.1 Bidang Akademis
a. Sebagai sumber informasi dan bahan referensi untuk penelitian
selanjutnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan acuan
untuk pencegahan agitasi paska anestesi sevoflurane pada pasien anak
yang menjalani pembedahan dengan general anestesi.
1.5.2 Bidang Pelayanan Masyarakat
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dalam pelayanan masyarakat
sebagai landasan dalam pencegahan agitasi paska anestesi sevoflurane pada
anak yang menjalani pembedahan dengan general anestesi, terutama untuk :
b. Mendapatkan obat pilihan yang dapat digunakan untuk mencegah agitasi
paska anestesi dengan sevoflurane.
1.5.3 Bidang Penelitian
Dalam bidang penelitian, hasil penelitian ini diharapkan memberikan data
untuk penelitian selanjutnya dalam bidang pencegahan agitasi paska anestesi
sevoflurane pada pasien anak yang menjalani pembedahan dengan general
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 AGITASI PASKA ANESTESI
Pembedahan dan anestesi dapat menimbulkan stress emosional pada anak dan
orang tua. Hal ini dapat terjadi pada saat preoperatif dan post operatif. Untuk
meminimalisasi stress emosional anestesi dan pembedahan, anestesiologis harus
memahami perkembangan mental anak dan bagaimana caranya untuk mengatasi
hal ini. 19-24
Senyawa inhalasi telah menjadi tulang punggung anestesi umum pada
pasien pediatrik sejak anestesi umum pertama kali diberikan kepada pasien
pediatrik pada pertengahan abad ke-19.1 Karena baunya yang menyenangkan,
iritabilitas saluran nafas minimal dan menjadikan sevoflurane sangat baik untuk
induksi inhalasi. Induksi dan pemulihan yang cepat, serta mudahnya pengendalian
kedalaman anestesi membuatnya sebagai obat anestesi yang ideal untuk anestesi
pediatrik. Pemulihan dari anestesi umum lebih cepat dengan sevoflurane dan telah
terbukti pada sebagian besar penelitian, karena kelarutan yang rendah dan
eliminasi sevoflurane lebih cepat daripada obat anestesi inhalasi lainnya. 1,25
Saat pemulihan anestesi diidentifikasi adanya agitasi dan merupakan
masalah pada anak. Manifestasinya bisa berupa perubahan perilaku, mulai dari
menangis, iritabel sampai kehilangan kendali yang berat, dan keadaan ini pada
puncaknya bisa beresiko melukai diri sendiri. Prevalensi terjadinya agitasi
berkisar antara 10-67%. Agitasi adalah suatu tingkat kesadaran yang mengalami
disosiasi sehingga anak menjadi tidak tenang, iritatif, tidak bisa diatur, atau tidak
bisa bekerja sama. Secara karakteristis, anak ini tidak mengenali atau
mengidentifikasi orang atau beda yang telah dikenal baik olehnya. Para orang tua
yang menyaksikan keadaan ini biasanya menyatakan bahwa perilaku ini tidak
Kejadian agitasi lebih besar pada anak yang diberi anestesi dengan
sevoflurane dibandingkan dengan anak yang diberi anestesi dengan halotan.
Sevoflurane dapat mempredisposisi pasien tertentu ke paranoid. Faktor-faktor
yang menyebabkan agitasi pada anak ini di antaranya adalah usia, obat inhalasi,
perilaku sebelum operasi, cemas, peranan orang tua saat bangun dari anestesi,
obat-obatan tambahan, nyeri dan jenis operasi. 3,25,26
2.1.1 Etiologi
Etiologi terjadinya agitasi belum dapat diketahui dengan pasti. Namun ada
beberapa hal yang mungkin dapat mempengaruhi terjadinya agitasi.
2.1.1.1 Faktor Yang Berhubungan Dengan Anestesi
a. Pulih sadar yang cepat
Agitasi paska anestesi terlihat lebih sering terjadi pada anestesi inhalasi yang baru,
solubilitas lebih rendah seperti desflurane dan sevoflurane. Ada satu postulasi
yang menyatakan bahwa pulih sadar yang cepat setelah penggunaan anestesi
inhalasi dengan solubilitas rendah menginisiasi terjadinya agitasi paska anestesi di
mana pasien anak biasanya tidak mengenali lingkungan sekitarnya sehingga
terjadi perubahan perilaku yang agresif. Anak yang sudah besar dan dewasa dapat
berorientasi terhadap perubahan lingkungan dengan baik, namun anak yang belum
memasuki usia sekolah (preschool-aged) lebih rentan terhadap stress dalam
menghadapi perubahan lingkungan, cenderung menjadi agitasi dan delirium. 25,26
b. Karakteristik Intrinsik dari Anestetik
Banyak peneliti mendokumentasikan bahwa agitasi/delirium paska anestesi
setelah sevoflurane lebih banyak daripada paska anestesi dengan halotan. Sangat
sedikit studi yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan di
antara ke dua agen inhalasi tersebut.25
Beberapa peneliti berpendapat ada 2 karakteristik unik dari sevofluran
memberikan efek samping yang mengiritasi susunan syaraf pusat. Yang kedua,
walaupun produk degradasi sevoflurane tidak menimbulkan kerusakan organ,
namun masih sangat sedikit data yang memperlihatkan interaksi obat dengan
medikasi lainnya. Aktivitas gelombang epilepsi telah dilaporkan terdapat pada
pasien yang menghirup sevoflurane. Namun kasus yang terjadi masih sangat
sedikit dan sporadik.25,27,28
Agitasi paska anestesi tidak hanya terdapat pada sevoflurane dan
desflurane namun juga isoflurane walaupun dengan jumlah yang lebih sedikit.
Anak yang mendapat anestesi inhalasi dengan sevoflurane/isoflurane untuk
induksi maupun rumatan akan mendapatkan kemungkinan terjadinya agitasi paska
anestesi 2 kali lipat daripada menggunakan anestesi regimen lain. Dengan
pertimbangan adanya perubahan gelombang EEG yang diakibatkan sevoflurane
yang mirip dengan gelombang EEG yang diakibatkan isoflurane dan desflurane,
namun berbeda dengan gelombang EEG yang diperlihatkan oleh halothan. Oleh
karena itu agitasi paska pulih sadar ini mungkin berhubungan dengan efek CNS
yang mirip di antara ketiga agen inhalasi ini dan dapat mempengaruhi aktivitas
otak dengan mengganggu keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi sinaps di
susunan syaraf pusat.25
2.1.1.2 Faktor Yang Berhubungan Dengan Pembedahan
a. Nyeri
Nyeri paska operasi menjadi variabel yang penting dalam menilai perubahan
perilaku agitasi paska anestesi, apalagi pada operasi singkat di mana masa puncak
kerja dari analgetik itu belum tercapai hingga anak bangun dari anestesi. 25
Agitasi paska anestesi diobservasi pada tindakan yang menimbulkan nyeri
maupunyang tidak. Weldon et al meneliti 80 anak yang dipremedikasi dengan
diazepam per oral umur 12 bulan hingga 6 tahun yang menjalani operasi hernia
inguinal, di mana pasien sudah mendapatkan analgetik paska operasi dengan
anestesi kaudal. 5 menit setelah kedatangan pasien di ruang pemulihan, agitasi
halothan. Insidensi agitasi yang lebih tinggi juga terlihat pada pasien yang
mendapatkan anestesi sevoflurane untuk intervensi tanpa nyeri, seperti
pemeriksaan radiologis magnetic resonance imaging (MRI) dan pemeriksaan
mata. Sebaliknya, untuk prosedur yang sama pasien anak yang dianestesi dengan
propofol dan halotan ternyata tidak mengakibatkan agitasi. Penemuan ini yang
memperlihatkan bahwa agitasi paska anestesi adalah hal yang terpisah dari rasa
nyeri.2,25
b. Jenis operasi
Prosedur pembedahan yang melibatkan tonsil, tiroid, telinga bagian tengah dan
mata dilaporkan memiliki insidensi agitasi paska operasi yang lebih tinggi.
Namun belum ada data ilmiah terbaru yang dapat mendukung pernyataan ini.29,30
2.1.1.3 Faktor yang berhubungan dengan Pasien
a. Umur
Aono et al menemukan bahwa agitasi paska anestesi terlihat lebih sering pada
sevoflurane dibandingkan dengan halothan pada anak umur 3-6 tahun (40% vs
10%). Peneliti mengemukakan bahwa hal ini terjadi oleh karena fase pulih sadar
yang cepat dan psikologis yang immatur. Di sisi lain, ada sejumlah peneliti yang
mengemukakan peran maturitas dari otak dan perkembangan psikologis dari anak
merupakan salah satu penyebab terjadinya agitasi paska anestesi. Otak anak
memiliki lebih sedikit asetilkolin, NAdr, GABA dan dopamine.25,28
b. Kecemasan Preoperasi
Keadaan sebelum masuk ke kamar operasi dapat memberikan ketidaknyamanan
dan rasa cemas pada anak-anak yang berpengaruh terhadap mental anak. Hal ini
akan berpengaruh terhadap respon tubuh untuk melepaskan katekolamin sehingga
dapat mengakibatkan peningkatan laju jantung, kontraksi otot jantung,
vasokonstriksi arteri, peningkatan kadar gula darah dan lain; keadaan tersebut
Prevalensi kecemasan pada anak-anak sewaktu preoperative sangat sulit
diperkirakan. Hal ini berhubungan dengan pengukuran dan perkembangan mental
anak yang bervariasi. Namun, dapat diperkirakan lebih dari 75% anak-anak
dilaporkan mengalami kecemasan preoperatif.18
Kecemasan preoperatif yang tinggi dari anak dihubungkan dengan agitasi
pulih sadar paska anestesi. Penelitian Kain et al menunjukkan pada sebuah studi
yang melibatkan 241 anak bahwa kecemasan preoperatif berhubungan dengan
nyeri paska operasi dan perubahan perilaku. Namun tidak bisa ditentukan secara
pasti apakah ini berhubungan ataupun merupakan efek-kausa.25
c. Temperamen Anak
Anak-anak yang lebih emosional, impulsif, kurang bersosial dan tidak dapat
beradaptasi baik dengan lingkungan akan beresiko mengalami agitasi pulih sadar
paska anestesi. 25
2.1.2 Obat Adjuvant Pada Anestesi Umum Untuk Mengurangi Agitasi Paska Anestesi
Penatalaksanaan Agitasi biasanya dimulai dengan mengeliminasi penyebab lain
termasuk hipoksia (walaupun sulit untuk mendapatkan pembacaan pulse oximetry
yang akurat pada anak yang gelisah) dan nyeri. Yakinkan orang tua, yang
biasanya sangat tertekan melihat perilaku anak yang gelisah, untuk menghindari
anak melukai dirinya sendiri. Sebagian besar anak-anak hanya butuh waktu dan
observasi sampai dia tenang, namun intervensi farmakologis memberikan efek
yang menguntungkan.8
Beberapa obat telah digunakan sebagai adjuvant pada anestesi umum yang
ditujukan untuk menurunkan agitasi paska anestesi.
Propofol memperlama pulih sadar dan menurunkan agitasi paska anestesi
tergantung dari waktu pemberiannya. Oleh karena obat ini bekerja dalam durasi
yang singkat, maka propofol yang diberikan pada saat induksi tidak mampu
mencegah agitasi paska anestesi. Aouad et al dan berbagai studi lainnya
memperlihatkan penurunan insidensi agitasi pulih sadar paska anestesi jika
propofol 1 mg/kgBB/iv diberikan pada akhir pembedahan, sehingga plasma
konsentrasi dari propofol dapat tercukupi dan efektif.4,25,27,28,31
Fentanyl, α agonis termasuk klonidin dan dexmedetomidine, ketamine
menunjukkan bahwa obat ini efektif dalam menurunkan insidensi terjadinya
agitasi paska anestesi.4,31
Fentanyl adalah opioid yang poten, yang dapat menurunkan agitasi paska
anestesi sevoflurane dan desflurane dengan efikasi yang tinggi sebagai analgesia
µg/kgBB IV yang diberikan 10 menit sebelum anestesi dihentikan pada pasien
yang menjalani prosedur bebas nyeri yaitu MRI (Magnetic Resonance Imaging)
dapat menurunkan angka agitasi hingga 12%-56%. Inomata et al meneliti efek
fentanyl pada pasien anak yang diberi sevoflurane untuk mencegah agitasi paska
anestesi. Peneliti merekomendasikan pemberian bolus 2 µg/kgBB/iv diikuti
dengan infus kontinyu 1µg/kgBB/iv untuk proses pulih sadar yang nyaman.
Intrasanal fentanyl 2 µg/kgBB/iv pada prosedur dengan nyeri sedang juga dapat
menurunkan agitasi.4,31
Dexmedetomidine, suatu α2 agonis selektif memiliki efek sedasi dan
ansiolitik melalui pemberian intravena. Isik et al dan 2 studi lainnya
memperlihatkan adanya penurunan insidensi dari agitasi paska anestesi berkisar
antara 4.8% dan 17% tanpa efek hemodinamik dengan pemberian intravena dosis
0.3-1 µg/kgBB/iv setelah induksi anestesi.4,31
Oleh karena efek sedasi dan analgesinya, klonidin 2-3 µg/kgBB/iv setelah
induksi menurunkan agitasi paska anestesi hingga 10% seperti yang telah
didokumentasikan oleh Bock et al dan Kulka et al. Bock et al juga mencatat
bahwa efek dari klonidin tidak bergantung pada rute pemberian obat, baik kaudal
maupun intravena. Bahkan α2 agonis menurunkan agitasi paska anestesi oleh
karena efek analgesia serta kemampuannya dalam mengurangi kebutuhan obat
anestesi lainnya.4,31
Ketamine yang merupakan antagonis reseptor dari N-Methyl-D-Aspartate,
menghasilkan efek analgesia dan efek mengurangi dosis opioid pada dosis rendah.
Dalens et al menunjukkan bahwa pemberian ketamine 0.25 mg/kgBB/iv pada
akhir anestesi dengan sevoflurane pasien anak yang menjalani MRI dapat
menurunkan agitasi tanpa ada penundaan pulih sadar. Bahkan, Lee et al
membandingkan ketamine 0.25 mg/kgBB/iv dan 0.5 mg/kgBB/iv yang
menunjukkan insidensi agitasi yang sama namun dengan skor nyeri yang lebih
secara antagonis non kompetitif pada reseptor NMDA. Pada pasien dewasa,
diketahui bahwa ketamine mempunyai efek analgesik dan efek antisensitisasi.15
Tropisetron sebagai 5HT3 antagonis juga menurunkan agitasi paska
anestesi jika dibandingkan dengan placebo (32% vs 62%). Namun, mekanisme
kerjanya belum jelas sebagaimana dikemukakan oleh Lankinen et al. 2,4,31
Obat analgesik juga sudah banyak diteliti khasiatnya untuk mencegah
agitasi paska anestesi dengan sevoflurane. Termasuk di dalamnya adalah anestesi
lokal, obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dan antagonis reseptor
N-Methyl-D-Aspartate (NMDA). Anestesi lokal dan OAINS berhubungan dengan
vasokonstriksi dan peningkatan resiko perdarahan pada daerah operasi. 15
2.1.3 Penilaian Agitasi Paska Anestesi
Sikich dan Lerman mengembangkan “Pediatric Anesthesia Emergence Delirium
Scale” atau PAED untuk mendefinisikan terjadinya agitasi paska anestesi.
Skornya berkorelasi dengan umur, lama bangun dan penggunaan sevoflurane.
Berbagai skala lainnya telah dikembangkan dan hal ini menyebabkan sulitnya
menilai hasil akhir dari semua studi yang telah dilakukan. Fakta bahwa adanya
sistem skoring yang banyak menunjukkan bahwa agitasi paska anestesi sulit untuk
didefinisikan.32
Aouad et al yang menilai agitasi paska anestesi dengan menggunakan dua
skala yang berbeda menemukan bahwa ambang batas dari skor PAED yaitu >10
Tabel 1. Pediatric Anaesthesia Emergence Delirium (PAED) Scale31
2.2 PROPOFOL
Propofol, 2,6-di-isopropylphenol, diperkenalkan pada praktek klinis pada
awal tahun 1980 an. Saat ini propofol merupakan obat pilihan induksi dan sedasi
anestesi yang populer, berhubungan dengan waktu tidur yang cepat, waktu pulih
yang cepat, dan kejadian mual dan muntah paska bedah lebih sedikit.33,34
2.2.1 Struktur fisik dan kimia
Propofol, dengan struktur kimia C12H18O, terdiri dari cincin fenol dengan dua
ikatan kompleks isopropil dengan stabilitas kimiawi yang tinggi dengan
biotoksisitas yang rendah. Perubahan pada panjang rantai ikatan mengubah
karakteristik dari potensi, induksi dan pemulihan.35,65 Bagaimanapun, seperti fenol yang lain, propofol dapat mengiritasi kulit dan membran mukosa.36
Formula ini menyebabkan nyeri saat penyuntikan yang dapat dikurangi
dengan penyuntikan pada vena besar dan pemberian lidokain sebelum
penyuntikan propofol. Propofol tidak larut dalam air.33,37
2.2.2 Propofol MCT/LCT
Propofol merupakan gugus fenol yang mempunya berat molekul 178 Da.
Senyawa yang menyerap sinar ultraviolet dalam kisaran spektrum
elektromagnetik (λmax = 275nm) .38
Propofol pertama kali diperkenalkan dengan konsentrasi 2 % dalam 16 %
kremofor EL, namun karena kromofor menyebabkan reaksi alergi dan nyeri yang
hebat, maka komposisi ini diperbaharui dalam formula lemak emulsi yang
mengandung 10 % Long-Chain Triglycerides (LCT) minyak soybean, gliserol,
dan lesitin telur. Tetapi, sejak tahun 1995 propofol juga tersedia dalam bentuk
emulsi Medium-Chain Triglycerides / Long-Chain Triglycerides (MCT/LCT).
Konsentrasi propofol bebas dalam MCT/LCT formula 26% - 40% lebih rendah
dibandingkan dengan LCT formula, atau 0,2% - 0,14% dari total konsentrasi
propofol (lihat tabel 2) pH propofol 6-8.5 dan pKa dalam air adalah 11.38 Tabel 2. Distribusi propofol bebas dan total propofol
Walaupun plasma konsentrasi trigliserida selama sedasi tidak ada
setelah pemberian formula MCT/LCT lebih cepat dibandingkan dengan formula
LCT.35
2.2.3. Sediaan propofol
Sediaan propofol dipersiapkan secara asepsis untuk segera digunakan, sejak
emulsi larutan ini menyebabkan promosi profilerasi mikrobakterial yang cepat
setelah terkontaminasi bakteri.35,36
2.2.4 Mekanisme kerja
Propofol adalah modulator selektif dari reseptor Gamma Amino Butiric Acid A
(GABAA) dan tidak terlihat memodulasi saluran ion ligand lainnya pada
konsentrasi yang relevan secara klinis. Propofol memberikan efek sedatif hipnotik
melalui interaksi reseptor GABAA. GABA adalah neurotransmiter penghambat
utama dalam susunan saraf pusat. Ketika reseptor GABAA diaktifkan, maka
konduksi klorida transmembran akan meningkat, mengakibatkan hiperpolarisasi
membran sel postsinap dan hambatan fungsional dari neuron postsinap. Interaksi
propofol dengan komponen spesifik reseptor GABAA terlihat mampu
meningkatkan laju disosiasi dari penghambat neurotransmiter, dan juga mampu
meningkatkan lama waktu dari pembukaan klorida yang diaktifkan oleh GABA
dengan menghasilkan hiperpolarisasi dari membran sel.34
2.2.5. Farmakokinetik
Pemberian propofol 1.5 – 2.5 mg/kg IV (setara dengan tiopental 4-5 mg/kg IV
atau metoheksital 1.5 mg/kg IV) sebagai injeksi IV (<15 detik), mengakibatkan
ketidaksadaran dalam 30 detik. Sifat kelarutannya yang tinggi di dalam lemak
menyebabkan mulai masa kerjanya sama cepatnya dengan tiopental (satu siklus
sirkulasi dari lengan ke otak) konsentrasi puncak di otak diperoleh dalam 30 detik
dan efek maksimum diperoleh dalam 1 menit. Pulih sadar dari dosis tunggal juga
cepat disebabkan waktu paruh distribusinya (2-8) menit. Lebih cepat bangun atau
sadar penuh setelah induksi anestesia dibanding semua obat lain yang digunakan
cepat dengan residu minimal dari sistem saraf pusat (SSP) adalah salah satu
keuntungan yang penting dari propofol dibandingkan dengan obat alternatif lain
yang diberikan untuk tujuan yang sama,33,39
Konsentrasi dalam darah meningkat cepat setelah penyuntikan dosis bolus
intravena, sementara peningkatan konsentrasi serebral propofol sangat lambat
(T1/2 = 2,9 menit). Waktu untuk sadar ditentukan oleh jumlah dosis yang
diberikan.35
Klirens propofol dari plasma melebihi aliran darah hepatik, menegaskan
bahwa ambilan jaringan (mungkin kedalam paru), sama baiknya dengan
metabolisme oksidatif hepatik oleh sitokrom P-450, dan ini penting dalam
mengeluarkan obat ini dari plasma. Dalam hal ini, metabolisme propofol pada
manusia dianggap bersifat hepatik dan ekstrahepatik. Metabolisme hepatik cepat
dan luas, menghasilkan sulfat yang tidak aktif dan larut dalam air serta metabolit
asam glukuronik yang diekskresikan oleh ginjal. Propofol juga menjalani
hidroksilasi cincin oleh sitokrom P-450 membentuk 4-hidroksipropofol yang
kemudian di glukuronidasi atau sulfat. Meskipun glukuronida dan konjugasi sulfat
dari propofol terlihat tidak aktif secara farmakologi, 4-hidroksipropofol memiliki
sepertiga aktivitas hipnotik dari propofol. Kurang dari 0.3% dari dosis yang
diekskresikan tidak berubah dalam urine. 33,34,39
2.2.6 Sedasi Intravena
Oleh karena propofol memiliki masa paruh waktu yang singkat, bahkan jika
diberikan infus kontinyu, dengan efek samping yang minimal menjadikan
propofol sebagai obat ideal untuk sedasi dan dapat dititrasi. Pulih sadar yang cepat
tanpa ada sisa sedasi dan rendahnya angka mual muntah menjadikan propofol
sebagai obat yang tepat digunakan untuk tekhnik sedasi minimal pada prosedur
ambulatory. Dosis yang biasa digunakan adalah 25 – 100 µg/kg/menit yang
menghasilkan analgetik minimal dan efek amnesia. Dosis efektif median propofol
2.2.7. Farmakodinamik 2.2.7.1 Sistem saraf pusat
Seperti barbiturat, propofol berikatan dengan reseptor GABAA tetapi juga bekerja
dengan mekanisme kerja yang melibatkan variasi reseptor protein yang lain.
Mempunyai efek serebral berupa sedasi. Propofol mengurangi laju metabolik otak
untuk oksigen (CMRO2), aliran darah ke otak (CBF), dan tekanan intrakranial
(ICP). Pemberian propofol untuk menghasilkan sedasi pada pasien dengan SOL
(space occupying lesion) intrakranial tidak meningkatkan ICP. Autoregulasi
serebrovaskular sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah sistemik dan
reaktivitas aliran darah ke otak untuk merubah PaCO2 tidak dipengaruhi oleh
propofol. Dalam hal ini kecepatan aliran darah ke otak akan berubah seiring
dengan perubahan pada PaCO2 dengan adanya propofol dan midazolam.40
2.2.7.2Sistem kardiovaskular
Propofol menghasilkan penurunan tekanan darah sistemik yang lebih besar
dibandingkan dosis tiopental pada saat induksi. Pada keadaan tidak ada gangguan
kardiovaskuler. Penurunan tekanan darah ini berhubungan dengan perubahan
curah jantung dan resistensi vaskular sistemik. Hal ini berhubungan dengan
relaksasi otot polos vaskular yang dihasilkan oleh propofol karena adanya
hambatan aktivitas saraf simpatis vasokonstriktor. Efek inotropik negatif dari
propofol dapat dihasilkan dari penurunan kalsium intraselular akibat hambatan
influks kalsium trans sarkolema. Efek tekanan darah akibat propofol dapat
diperburuk pada pasien hipovolemi, pasien lanjut usia dan pasien dengan
gangguan fungsi ventrikel kiri yang berkaitan dengan penyakit arteri koroner.
Propofol mendepresi refleks baroreseptor kontrol denyut jantung. Bradikardi dan
asistol juga telah diamati setelah induksi anestesia dengan propofol, meskipun
2.3 KETAMIN
Semenjak ditemukan adanya N-methyl-D-aspartate (NMDA) reseptor yang
berperan dalam persepsi nyeri menyebabkan saat ini banyak para klinis khususnya
praktisi nyeri untuk memulai
penelitian baru terhadap ketamin
yang saat ini digunakan sebagai
multimodal analgesia dalam
penanganan nyeri.41
Gambar 2.3.1. Struktur ketamin
2.3.1. Farmakologi ketamin
Ketamine, 2-(o-chlorophenyl)-2-(methylamine)-cycloexanone pertama kali
disintesis pada tahun 1963 dan pertama sekali digunakan pada manusia pada tahun
1965 oleh Corssen dan Domino. Obat ini larut dalam lemak dengan berat molekul
238 dalton, pKa 7,5 dan digunakan dalam bentuk rasemik atau isomer levogyrous
S(+) ketamin.S(+) ketamin 3 sampai 4 kali lebih poten dari isomer (R-ketamin)
untuk penanganan nyeri, sedikit menimbulkan agitasi dari pada yang bentuk
rasemik dan dextrogyrous. S(+) ketamin dua kali lebih poten dari rasemik dalam
mencegah sensitisasi central spinal cord.42
Ketamin dapat diberikan melalui oral, intramuskular, intravena bahkan
saat ini berkembang penelitian ketamin epidural. Ketamin memiliki bioavaibilitas
93% dan waktu paruh sampai 186 menit. Volume distribusi besar diperkirakan
mencapai 3L/kg.41 Plasma puncak setelah pemberian intravena terjadi dalam
waktu 1 menit, intramuskular dalam waktu 5 menit dan pemberian secara oral
dalam waktu 30 menit.43 Ketamin terdistribusi ke organ yang memiliki perfusi
yang tinggi seperi otak dengan empat sampai lima kali dari kadar plasma dengan
eliminasi obat melalui redistribusi obat dari organ yang perfusinya baik ke tempat
enzim sitokrom P45.44 Norketamin adalah hasil metabolit ketamin yang masih
aktif, tetapi potensiasinya sepertiga sampai seperlima dari ketamin dan pada
akhirnya metabolit tadi dikonjugasikan menjadi larut air dan pada akhirnya
diekskresikan melalui urin.45 Ketamin memiliki kelarutan lemak yang tinggi
sehingga obat ini gampang masuk melewati sawar darah otak. Ketamin memiliki
ikatan dengan protein plasma 12% dan waktu paruh tercapai dalam 10 menit.43
2.3.2. Mekanisme kerja ketamin
Ketamin bekerja pada susunan saraf pusat dan menurut beberapa penelitian
ketamin memiliki aktivitas perifer. Efek kerja ketamin bekerja pada reseptor
NMDA (N-methyl-D-aspartate) pada bagian kutub kalsium. Aktivasi reseptor
NMDA menyebabkan influx kalsium ekstraseluler ke intraseluler. Peran kalsium
adalah sebagai second messanger untuk reaksi nyeri selanjutnya melalui
pelepasan neurotransmitter nyeri yang lain.46,47 Blok pada NMDA reseptor adalah
cara kerja utama dari ketamin di susunan saraf pusat dan medulla spinalis. Sebagai
tambahan bahwa ketamin juga menghambat pelepasan dari glutamat yang
bertindak sebagai neurotransmiter eksitatori yang berperan sebagai
neurotransmiter nyeri. Mekanisme lainnya adalah ketamin berikatan dengan
reseptor opioid yaitu mu dan kappa.44 Interaksi ini terjadi sangat kompleks.
Afinitas ketamin terhadap reseptor opioid ini 10 kali lebih lemah dari ikatannya
terhadap reseptor NMDA dengan adanya bukti bahwa naloxon yang merupakan
antagonis opioid tidak mengantagonis efek analgetik dari ketamin.44,45 Ada bukti
juga bahwa reseptor seperti monoaminergik, muskarinik dan nikotinik menjadi
tempat ikatan ketamin sekaligus ketamin menimbulkan efek takikardi dan
Gambar 2.3.2. Reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate)
2.3.3. Efek ketamin pada fungsi organ
Ketamin memiliki kombinasi unik dari efek kardiovaskular, biasanya dikaitkan
dengan takikardia, peningkatan tekanan darah, dan cardiac output meningkat.
Mekanisme yang tepat munculnya respon simpatik masih belum diketahui.
Namun, dengan tidak adanya kontrol otonom, ketamin memiliki efek depresi
miokard langsung, yang biasanya diganti oleh respon sentral ini. Hal ini
dimungkinkan untuk mengurangi efek yang tidak diinginkan dari kardiovaskular
sehingga pemberiannya dengan memberikan ketamin sebagai kontinu infus dan
penggunaan benzodiazepin.44
Ketamin memiliki efek minimal pada pusat pernapasan, meskipun
penurunan sementara ventilasi dapat terjadi setelah pemberian bolus. Ketamin
menyebabkan relaksasi otot polos bronkus, sehingga memiliki peran khusus pada
pasien asma. Ketamin meningkatkan sekresi saliva, yang dapat menghasilkan
potensial masalah pada anak-anak dengan menyebabkan obstruksi jalan nafas
dengan ketamin, tetapi aspirasi dapat terjadi selama pasien terbius dengan
ketamin. Sering dilaporkan adanya bunyi nyaring pada penggunaan ketamin
disangkakan laringospasme. Hal ini sebenarnya terjadi karena posisi saluran
napas yang tidak bebas, dan masalah tersebut dapat dikelola hanya dengan
reposisi kepala pasien. Spasme laring dapat terjadi pada penggunaan ketamin yang
disebabkan oleh stimulasi dari pita suara oleh instrumentasi atau sekresi. Sekret
dapat dikurangi dengan memberikan premedikasi glycopyrrolate.44
Emergence reaction merupakan sensasi psikis setelah penggunaan
ketamin, sensasi mengambang, mimpi atau ilusi dan sesekali delirium.33
Mimpi-mimpi dan ilusi biasanya menghilang pada saat sadar penuh. Namun penting
untuk mendiskusikan dengan pasien efek dari ketamin itu dan efek ini muncul
5-30%.46Emergence reaction lebih tinggi terkait dengan faktor-faktor seperti
meningkatnya usia, perempuan, pasien yang biasanya bermimpi, pemberian
intravena yang cepat dan dosis besar.27,33 Ketamin telah diamati dapat
mengaktifkan psikosis pada pasien dengan skizofrenia. Namun, belum terlihat
adanya reaksi psikotik jangka panjang pada pasien tanpa penyakit kejiwaan yang
dikenal. Premedikasi dapat diberikan untuk mengurangi emergence reaction
seperti midazolam ( 0,07-0,1 mg kg/bb ), diazepam ( 0,15 - 0,3 kg/bb ), dan
lorazepam ( 2-4 mg) intravena telah terbukti efektif. Insiden ini juga menurun bila
digunakan bersama dengan hipnotik sedatif lain dan anestesi umum.44
Ketamin menghasilkan apa yang disebut 'disosiatif' anestesia yang telah
digambarkan sebagai disosiasi fungsional dan elektrofisiologi antara sistem
thalamo-neokorteks dan limbik. EEG menunjukkan aktivitas beta yang dominan
dengan penghapusan irama alfa. Keadaan klinis yang unik yang dihasilkan oleh
ketamin adalah biasanya keadaan ayan di mana mata tetap terbuka dengan
memperlambat tatapan nystagmus, sedangkan refleks kornea dan cahaya tetap
utuh. Berbagai tingkat hipertonus dan sesekali tujuan gerakan yang tidak terkait
dengan stimulus yang menyakitkan dicatat di hadapan anestesi bedah yang
memadai. Studi telah menunjukkan rangsang aktivitas baik di thalamus dan sistem
demikian, ketamin tidak akan mungkin menyebabkan kejang pada pasien dengan
gangguan kejang, dan pada kenyataannya, data eksperimen menunjukkan bahwa
ketamin memiliki antikonvulsif dan bahkan proteksi saraf.44
Analgesia terjadi pada konsentrasi darah lebih rendah daripada dosis
induksi atau menghilangkan kesadaran. Hal ini berlaku untuk ketamin yang
rasemik dan untuk S-(+)-ketamin. Ketamin meningkatkan metabolisme otak,
aliran darah otak (CBF), dan tekanan intrakranial (ICP).45 Pengaruh S-(+)-ketamin
pada ICP belum diketahui. Tanggapan dari cerebral autoregulasi ke ketamin
rasemik belum diteliti, namun S-(+)-ketamin tidak mempengaruhi autoregulasi
ini. Pupil dilatasi, nistagmus, air liur, dan lakrimasi yang umum.44
Ketamin belum terbukti memiliki efek buruk pada hati dan sistem ginjal.
Tekanan intraokular sedikit meningkat setelah pemberian ketamin. Ketamin
menghasilkan peningkatan tonus otot dan kadang-kadang kejang otot, meskipun
telah digunakan dengan aman pada miopati dan hipertermia ganas. 44
2.3.4. Penggunaan klinis ketamin
Solusi rasemik komersial ketamin adalah campuran R (-) dan S (+) isomer dalam
jumlah yang sediaan, tersedia sebagai 10, 50, dan 100 mg/ml dengan pengawet,
benzathonium hidroklorida. Isomer optik S-(+)-ketamin tersedia dalam 5 dan 25
mg/ml (tidak berlisensi di Inggris, saat ini). Ketamin dapat diberikan iv, im, oral,
rektal, dan sediaan bebas pengawet epidural. Dosis tergantung pada rute
pemberian dan efek terapi yang diinginkan. Benzodiazepine dapat diberikan baik
secara oral (diazepam 10-30 mg, lorazepam 2-5 mg) 60-90 menit sebelum induksi
atau dosis yang lebih kecil i.v. segera sebelum induksi.28 Induksi anestesi dengan
dosis 0.5–1.5 mg kg/bb intravena or 4–10 mg/kgbb/im. Dosis pemeliharaan untuk
anestesi 10-30 ug/kgbb/menit intravena. Sedasi analgesia 0.2–0.75 mg kgbbi.v
atau 2–4 mg/kgbb intramuskular diikuti infus berkala 5–20 mg kgbb/menit.44
Ketamin dapat digunakan untuk sedasi sekaligus analgesia pada
prosedur-prosedur singkat. Munculnya reaksi pada anak-anak yang kurang intens, sehingga
kateterisasi jantung, radioterapi, radiologi investigasi, dan luka bakar. Sayangnya,
tidak ada informasi mengenai berapa kali ketamin dapat digunakan secara aman,
meskipun sering digunakan berulang kali pada individu yang sama . Umumnya,
dosis subanaesthetic diperlukan untuk prosedur minor. Ketamin sering
dikombinasikan dengan premedikasi (misalnya benzodiazepin) untuk mengurangi
kebutuhan dosis dan reaksi munculnya emergence reaction , dan antisialogogue
(misalnya glycopyrrolate) untuk mengurangi sekresi saliva. Ketamin dapat
digunakan sebagai suplemen (i.v. atau i.m) selama anestesi regional. Hal ini juga
dapat diberikan melalui rute epidural sebagai tambahan untuk anestesi lokal untuk
memperpanjang durasi analgesia. Dosis rendah ketamin juga telah digunakan
bersama dengan propofol untuk meningkatkan kualitas sedasi. NMDA antagonis
mencegah sensitisasi sentral terhadap rangsangan yang menyakitkan. Ketamin
adalah satu-satunya NMDA antagonis, penelitian telah menunjukkan bahwa dosis
kecil ketamin dapat megurangi kebutuhan analgetik opioid.44
Ketamin telah banyak digunakan pada unit luka bakar untuk pembiusan
terutama untuk pencucian luka dan prosedur pencangkokan kulit pada anak-anak
dan orang dewasa. Ketamin dosis rendah (1,5-2 mg/kgbb/im) tersebut tampaknya
memiliki mula kerja yang cepat dan menghasilkan operasi yang baik meliputi
amnesia, analgesia dan memuaskan dengan pemulihan yang cepat. Namun
hati-hati dengan reaksi intoleran pada pasien dengan penggunaan ketamin berulang.
Pasien dengan gangguan kardiorespirasi (kecuali penyakit jantung iskemik)
merupakan kandidat utama untuk diberikan ketamin. Pengalaman yang luas
dengan ketamin pada anak dengan katerisasi jantung telah menunjukkan
efektifitas penggunaan ketamin dengan kejadian aritmia yang kurang dari anestesi
umum lainnya. Ketamin mungkin berbahaya pada pasien dengan peningkatan
tahanan di ventrikel kanan. Pada pasien dengan penyakit saluran napas reaktif,
ketamin (rasemik) dapat berguna karena menghasilkan bronkodilatasi dan
analgesia mendalam yang memungkinkan peningkatan inspirasi oksigen. Ketamin
jika dikombinasikan dengan benzodiazepin atau benzodiazepin dengan opioid,
psychomimetic paska operasi. Teknik menghasilkan gangguan hemodinamik
minimal, analgesia yang mendalam, amnesia dan pemulihan yang baik.45
Ketamin bebas pengawet telah ditambahkan ke bupivacaine untuk
meningkatkan durasi analgesia, tanpa mempengaruhi intensitas analgesia.36
Penggunaan ketamine semakin meningkat dan survey memperlihatkan 32% dari
anestesi pediatrik Inggris melaporkan penggunaan ketamin epidural.44
Secara historis, telah diyakini bahwa ketamin merupakan kontra indikasi
pada pasien dengan peningkatan ICP, namun laporan dari saraf dan bahkan efek
neuroregeneratif memberikan hasil yang berbeda.` Ketamin dapat mencegah
influks ion kalsium abnormal atau glutamat melalui interaksi dengan reseptor
NMDA. Peningkatan CBF setelah pemberian ketamin kurang dari peningkatan
CMRO2. S-(+)-ketamin mempertahankan metabolisme serebral sebagian besar
wilayah otak (percobaan studi).44
Meskipun ketamin memiliki sedikit efek pada endotel vaskular, penelitian
telah menunjukkan penurunan yang signifikan dalam aktivasi leukosit selama
hipoksemia atau sepsis. Ketamin menekan produksi sitokin pro-inflamasi dalam
darah seluruh manusia in vitro. Dalam sebuah studi tentang efek isomer berbeda
pada hati babi, S-(+)-ketamin efektif dalam mengurangi adhesi neutrofil,
sedangkan R-(-)-ketamin memiliki efek negatif yaitu memperburuk kebocoran
dari pembuluh darah koroner sekitarnya jaringan.45
2.4SEVOFLURANE
Sevoflurane termasuk senyawa baru yang ditemukan pada awal dekade 1970 oleh
Walin et al di laboratorium travenol. Seperti halnya desflurane, sevoflurane
mempunyai daya larut yang rendah akibat fluoronisasi pada molekul eter.
Sevoflurane (2,2,2-trifluoro-1-(trifluoromethyl)ethyl fluoromethyl eter), disebut
juga sebagai fluoromethyl hexafluoroisopropyl ether, berbau sedap, tidak mudah
Sevoflurane sebagai anestetika baru berbeda dengan isoflurane terutama
dalam hal mobilitasnya. Sevoflurane mempunyai kelarutan yang lebih rendah
dalam darah, yang meningkatkan kecepatan bersihannya dan kecepatan dalam
mengatur kedalaman anesthesia. Karakteristik tersebut cocok dengan keperluan
anestesi masa kini.46
2.4.1 Farmakokinetik
Seperti desflurane, sevoflurane adalah senyawa halogenasi dengan fluorine.
Sevoflurane memiliki solubilitas sedikit lebih tinggi daripada desflurane (0.65 vs
0.42). Sevoflurane merupakan agen inhalasi yang wangi dengan peningkatan
konsentrasi di alveolar yang cepat sehingga menjadi pilihan yang sempurna
sebagai obat induksi pada pasien pediatrik dan dewasa. Bahkan, induksi inhalasi
dengan 4-8% sevoflurane dengan campuran 50% oksigen dan nitrous okside dapat
dicapai dalam waktu 1-3 menit. Oleh karena solubilitas dalam darah yang rendah
yang mengakibatkan penurunan konsentrasi di alveolar segera setelah dihentikan
sehingga fase pulih sadar lebih cepat jika dibandingkan dengan isoflurane. Namun
fase pulih sadar yang cepat ini telah dihubungkan dengan insidensi delirium yang
tinggi paska pembedahan yang dapat diatasi dengan fentanyl 1-2 ug/kgBB.47
Gambar 2.4.1 Rumus Bangun Sevoflurane 48
MAC Sevoflurane terlihat pada tabel di bawah ini. MAC sevoflurane
untuk pasien yang berumur 6 bulan sampai 12 tahun adalah 2,5%. Sedangkan
untuk pasien yang berumur dibawah 6 bulan MAC sevoflurane adalah 3,2-3,3%.
Tabel 3. Equivalen MAC dalam Oksigen dan O2/N2O 46,48
Tabel Equivalen MAC dalam oksigen dan O2/N2O
Umur Dalam Oksigen Dalam O2/N2O
MAC was determined in 60% N2O for pediatric and 65% N2O for adult patients
2.4.2 Metabolisme
Sevoflurane dimetabolisme oleh sitokrom hepatic P450 2EL sebanyak 2-5%
dengan metabolik produk utama fluoride inorganic dan hexafluoroisopropanolol
(HFIP). HFIP tidak diikat oleh protein hepar dan tidak menunjukkan bukti adanya
toksisitas pada hati. HFIP dengan cepat dikonjugasi oleh asam glukoronida dan
kemudian diekskresi. Konjugasi ini demikian cepat, sehingga konsentrasi HFIP
tidak dapat diukur (karena sangat rendah) pada manusia. Konjugasi HFIP
dikeluarkan melalui urin dan dikeluarkan secara lengkap dalam 24 jam. Metabolit
sevoflurane yang paling penting adalah fluorida inorganik. Pada MAC 0.8-1.1 per
jam anestesi dengan sevoflurane pada anak menunjukkan peningkatan serum ion
fluoride rata-rata 10-13 mMol/liter. Nilai paling tinggi mencapai 45 mMol/liter