BISKUIT DIPERKAYA DENGAN TEPUNG PROTEIN IKAN
LELE DUMBO (Clarias gariepinus), ISOLAT PROTEIN
KEDELAI DAN PROBIOTIK Enterococcus faecium IS-27526
YANG DIMIKROENKAPSULASI PADA BALITA ( 2-5 TAHUN)
BERAT BADAN RENDAH
ANNIS CATUR ADI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Efikasi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Biskuit Diperkaya dengan Tepung Protein Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus), Isolat Protein Kedelai dan Probiotik Enterococcus faecium IS-27526 yang Dimikroenkapsulasi pada Balita (2-5 Tahun) Berat Badan Rendah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Desember 2010
Annis Catur Adi
ANNIS CATUR ADI. Efficacy of Biscuit Enriched with the Catfish Protein Flour (Clarias gariepinus), Soy Protein Isolate and Enterococcus faecium IS-27526 Microencapsulated Probiotic as a Supplementary Food on Underweight Under-five Children (2-5 years old).
Under supervised by CLARA M. KUSHARTO, SRI ANNA MARLIYATI and INGRID S. SURONO
PEM and infectious diseases among under-five children were exist a serious problem which required immediate efforts to overcome. (Riskesdas, 2007). Analysis by Atmarita et al (2006) using SUSENAS data (1989-2005) showed that PEM among children was mainly determined by economic factors, mother education, food availability and infections.
The objective of study was to analyze the efficacy of biscuit enriched with catfish protein flour (Clarias gariepinus), soy protein isolate and E. faecium IS-27526 microencapsulated probiotic at a dose 108
A human intervention study with duration 90 days supplementation biscuit enriched with catfish protein flour (Clarias gariepinus), soy protein isolate and E. faecium IS-27526probiotic was conducted in Sukabumi District, West Java. The study was applied a Pre-post Randomized Double Blind Placebo Controlled Trial. Initially, there were 5 groups with 18 children each (P0 = control biscuit with control cream; P1 = catfish protein flour and soy protein isolate biscuit with control cream; P2 = control biscuit with probiotic cream; P3 = catfish protein flour and soy protein isolate biscuit with probiotic cream (everyday) and P4 = catfish protein flour and soy protein isolate biscuit with probiotic cream (every two days). Seven children were dropped out during the treatment, therefore, only 83 children were fulfilled the criteria for analysis. Ethical approval was obtained from Research and Development Board of Indonesian Ministry of Health.
cfu/day on nutritional status, humoral immune response (sIgA) and morbidity of underweight under-five children.
The results showed that after 90 days supplementation, the compliance of biscuit consumption was relatively high (82.8%). Delta WAZ among functional biscuit groups P3 (0.309 ± 0.3) and P4 (0.216 ± 0.3) were significantly higher than control group (P0) and other groups, P1 and P2 (p<0.05). However, HAZ and WHZ among functional biscuit groups and other groups were not significantly different. Delta fecal secretory IgA concentration of functional biscuit groups P3 (0.963 ± 0.8 µg/g) and P4 (0.740 ± 0.4 µg/g) were significantly higher than control (P0) and others groups P1 and P2 (p<0.05). Significantly lower episode of diarrhea (2.17 times/4 months) was observed among all treatment groups (P1, P2, P3, and P4). Probability for reduction of diarrhea episode (<1.64 times/4 months) was 63.48% among functional biscuit groups (P2, P3 and P4), and 51.62% among a high protein biscuit group (P1). No adverse effect was observed during 90 days of supplementation.
As a conclusion, supplementation of functional biscuit (biscuit enriched with catfish flour protein (Clarias gariepinus), soy protein isolate and E. faecium
IS-27526 microencapsulated probiotic is safe for young children and have a beneficial effect, i.e. improve nutritional status (WAZ), modulate humoral immune response (sIgA), and reduce diarrhea episode) among under-five children.
ANNIS CATUR ADI. Efikasi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Biskuit Diperkaya dengan Tepung Protein Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus), Isolat
Protein Kedelai dan Probiotik Enterococcus faecium IS27526 yang
Dimikroenkapsulasi pada Balita (2-5 Tahun) Berat Badan Rendah.
Dibimbing oleh : CLARA M. KUSHARTO, SRI ANNA MARLIYATI dan INGRID S SURONO
Masalah gizi kurang pada balita bukanlah merupakan hal yang baru, namun masalah ini tetap aktual, dicerminkan adanya peningkatan prevalensi KEP di daerah kantong kemiskinan. Kondisi ini diperparah dengan adanya bencana alam diberbagai daerah. Laporan Riskesdas (Depkes 2008) menunjukkan di Indonesia periode 2005-2007, telah terjadi perbaikan status gizi balita melampaui target pembangunan jangka menengah (20%), namun masih belum merata dan bahkan masih terdapat 19 propinsi dengan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang masih cukup tinggi. Lebih lanjut menurut Jalal (2009) berat badan rata-rata anak balita Indonesia setelah usia 6 bulan, semakin bertambah umur, semakin menjauh dari berat badan rata-rata rujukan WHO 2005. Menggunakan nilai rata-rata Z_skor semakin bertambah umur, tinggi badan anak Indonesia juga semakin menjauhi standar WHO. Disisi lain, Riskesdas (Depkes 2008) melaporkan bahwa di Indonesia penyakit ISPA (>35%) dan diare (16.7%) tertinggi pada usia balita, demikian juga penyebab kematian balita adalah diare dan pnemonia. Menurut Tomkins (2002) masalah kurang gizi merupakan faktor penyebab utama tingginya penyakit infeksi dan menurut WHO dan UNICEF hampir 60% kematian anak diasosiasikan dengan gizi kurang.
Program intervensi dalam bentuk makanan tambahan bergizi dan sekaligus upaya penguatan imunitas tubuh balita perlu mendapat perhatian serius agar anak balita tidak mudah jatuh ke keadaan kurang gizi dan mudah sakit. Pengadaan PMT balita selama ini masih terfokus pada kandungan zat gizi konvensional saja dan belum memperhatikan potensi fungsional. Hasil Evaluasi WFP dan FKM UNAIR (2008) menunjukkan PMT biskuit memiliki daya terima yang baik pada balita, sedangkan Boobier et al. (2006) biskuit konvensional yang tinggi lemak dan gula diasosiasikan diet tidak sehat, namun dapat dimodifikasi menjadi produk fungsional.
Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis efikasi pemberian makanan tambahan biskuit yang diperkaya dengan protein ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus), isolat protein kedelai dan probiotik Enterococcus faecium IS-27526 terhadap peningkatan status gizi, respon imun humoral (sIgA) dan morbiditas balita berat badan rendah (BBR). Penelitian ini merupakan penelitian
ekspeimental dengan desain Randomized Controlled Trial (RCT) Double Blind
Pre-post study. Penelitian di masyarakat dilakukan mulai Juni hingga September 2009 di 4 wilayah kerja Puskesmas di Kabupaten Sukabumi yaitu Kadudampit, Warungkiara, Bantargadung dan Cikakak.
(Bbs + KP); kelompok P3 yaitu 18 anak balita mendapat biskuit tinggi protein dan krim probiotik secara rutin tiap hari (Btp + KP rutin) dan kelompok P4 yaitu 18 anak balita mendapat biskuit tinggi protein dan krim probiotik selang 1 hari dengan krim non probiotik (Btp dan Kp/KnP). Paket intervensi yang diberikan berupa 50 gram biskuit selama 90 hari. Jumlah awal balita contoh 90, namun pada akhir intervensi terdapat 7 balita contoh yang DO (drop out) sehingga total contoh yang memenuhi kriteria pada akhir intervensi adalah 83 balita.
Metode pengukuran parameter penelitian meliputi: 1) Data konsumsi menggunakan metode recall 24 jam dan metode qualitative FFQ; 2) Status gizi yang diukur secara antropometri; 3) Morbiditas dengan metode wawancara keluhan sakit dan 4) Analisis sIgA feses menggunakan sandwich ELISA dan identifikasi mikrobiota dengan metode PCR. Analisis statistik t-test berpasangan
untuk menganalisis perbedaan dalam kelompok dan One away Anova untuk
perbedaan antar kelompok. Persetujuan Ethical clearance diperoleh dari Badan Litbang Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, dengan Nomor: LB.03.04/KE/1008/2009
Biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus), isolat protein kedelai dan probiotik Enterococcus faecium IS-27526
(biskuit fungsional) sebagai makanan tambahan (PMT) memiliki daya terima
sensoris yang tinggi dengan porsi (50 g per hari) sesuai kemampuan konsumsi balita (2-5 tahun). Tingkat kepatuhan mengkonsumsi selama 90 hari intervensi tergolong tinggi dengan rerata 82.85 %. Cara mengkonsumsi biskuit bervariasi dan hingga akhir intervensi tidak ditemukan efek samping.
Tingkat konsumsi energi balita pada awal intervensi sebagian besar tergolong defisit (<70% AKE), sedangkan pada akhir intervensi pada kelompok kontrol (P0) maupun kelompok perlakuan (P2 dan P3) terjadi peningkatan bermakna (p<0.05). Tingkat konsumsi protein balita pada awal intervensi sebagian besar sudah tergolong cukup (>90% AKP) dan pada akhir intervensi terjadi peningkatan bermakna semua kelompok perlakuan P1,P2,P3, dengan peningkatan tertinggi adalah kelompok biskuit fungsional dengan krim probiotik secara rutin (P3). Hasil uji anova menunjukan tidak ada beda (p>0.05) tambahan kontribusi energi antar kelompok dari biskuit, namun sebaliknya terdapat beda bermakna kontribusi protein dari konsumsi biskuit antar kelompok (p<0.05), dengan kontribusi terbesar kelompok P3 (20.9% AKE dan 42.9% AKP).
Pemberian biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele Dumbo dan isolat kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 yang dimikroenkapsulasi dosis 108 cfu/hari
Pemberian biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele Dumbo dan isolat protein kedelai dengan probiotik rutin (P3) maupun selang 1 hari (P4) dapat meningkatkan berat badan (0.783 ± 0.4 g & 0.631 ± 0.3 g) dan Z_skor BB/U (0.309 ± 0.3 & 0.216 ± 0.3) secara bermakna (p<0.05), sedangkan pemberian biskuit yang diperkaya dengan protein ikan lele Dumbo dan isolat protein kedelai tanpa probiotik cenderung dapat meningkatkan berat badan dan Z_skor BB/U namun tidak bermakna. Peningkatan BB dan Z_skor BB/U tertinggi terdapat pada kelompok biskuit yang diperkaya dengan protein ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus), isolat protein kedelai dan krim probiotik Enterococcus faecium IS-27526 rutin. Terdapat kecenderungan peningkatan tinggi badan serta
dan isolat protein kedelai dengan probiotik (P3 & P4) dapat meningkatkan sIgA (0.963±0.8 µg/g & 0.740±0.4 µg/g) secara bermakna (p<0.05), sedangkan pemberian biskuit yang diperkaya dengan protein ikan lele Dumbo dan isolat protein kedelai tanpa probiotik dapat meningkatkan sIgA namun tidak bermakna. Peningkatan sIgA feses terbesar terdapat pada kelompok biskuit. yang diperkaya protein ikan lele Dumbo dan isolat protein kedelai dengan krim probiotik rutin (P3). Peningkatan sIgA lebih besar terjadi pada balita dengan status gizi kurang di awal intervensi dibanding balita status gizi buruk.
Pemberian biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele Dumbo dan isolat protein kedelai dengan probiotik maupun tidak, mampu menurunkan episode diare (2.17 kali/4 bulan) secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol, namun cenderung belum mampu menurunkan episode ISPA balita berat badan rendah (BBR). Probabilitas.penurunan episode diare (< 1.64 kali/4 bln) balita yang mendapat perlakuan biskuit yang diperkaya dengan protein ikan lele Dumbo dan isolat protein kedelai dengan probiotik sebesar 63.48%.
Pemberian PMT biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele Dumbo dan isolat protein kedelai dengan probiotik (biskuit fungsional) lebih efektif diberikan pada balita dengan status gizi awal tergolong kurang (Z_skor -2 - -3 SD BB/U), sedangkan balita dengan status gizi awal tergolong buruk (Z_skor < -3SD BB/U) lebih efektif diberikan biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele Dumbo dan isolat protein kedelai tanpa probiotik untuk pemulihan defisiensi gizi terlebih dahulu. Pemberian biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele Dumbo dan isolat protein kedelai dengan probiotik E. faecium IS-27526 selama 90 hari dengan porsi 50 gram per hari mampu untuk penanggulangan wasting pada balita. Biskuit fungsional terbukti tidak ada efek samping untuk balita (2-5 tahun), sehingga sangat memungkinkan dapat juga dikonsumsi oleh kelompok usia lain seperti orang lanjut usia, anak usia pra sekolah maupun usia sekolah serta sebagai alternatif makanan darurat.. Biskuit yang diperkaya dengan protein ikan lele Dumbo dan isolat protein kedelai dengan probiotik mendatang memungkinkan disubstitusi dengan pangan lokal terutama umbi-umbian dan buah berpati yang berpotensi sebagai prebiotik.
©
Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
BISKUIT DIPERKAYA DENGAN TEPUNG PROTEIN IKAN
LELE DUMBO (Clarias gariepinus), ISOLAT PROTEIN
KEDELAI DAN PROBIOTIK Enterococcus faecium IS-27526
YANG DIMIKROENKAPSULASI PADA BALITA ( 2-5 TAHUN)
BERAT BADAN RENDAH
ANNIS CATUR ADI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Gizi Manusia
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Budi Setyawan, M.S.
Dr. Ir. Evy Damayanti, M.S.
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, M.S.
Isolat Protein Kedelai dan Probiotik Enterococcus faecium
IS27526 yang Dimikroenkapsulasi pada Balita (2-5 Tahun) Berat Badan Rendah
Nama : Annis Catur Adi
NIM : I 162070011
Disetujui
Komisi Pembimbing
Porf. Dr. Clara M. Kusharto, M,Sc
Ketua
.
Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si.
Anggota Anggota
Dr. Ir. Ingrid S. Surono, M.Sc.
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Gizi Manusia
Drh. M.Rizal M. Damanik,M.Rep.Sc.Ph.D Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,M.S.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan segala karuniaNya sehingga perjalanan panjang studi dan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Terima kasih dengan tulus dan rendah hati penulis sampaikan kepada komisi pembimbing yang diketuai Prof Dr Clara M. Kusharto,M.Sc karena bimbingan dan nasehat beliau dalam pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian penulisan disertasi. Beliau adalah teladan kegigihan, dalam kesibukannya yang luar biasa, beliau selalu meluangkan waktu untuk saya berkonsultasi serta selalu memberikan motivasi dan semangat ketika menghadapi masalah dan kendala..
Ucapan terima terima kasih yang sama penulis sampaikan kepada ibu Dr. Ir Sri Anna Marliyati,M.Si. dan Dr Ir. Ingrid S Surono,M.Sc yang telah banyak membimbing dan memberikan dorongan moril yang tidak ternilai. Beliau adalah teladan dalam kesabaran dan ketelitian. Beliau berdua juga selalu meluangkan waktu dan membimbing dengan sabar,teliti dan ikhlas sehingga memacu saya untuk segera menyelesaikan disertasi ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Budi Setyawan, MS dan Dr. Ir. Evy Damayanti, MS sebagai dosen penguji pada ujian tertutup serta Dr Makmur Sunusi (Dirjen Yanrehsos Kemensos RI) dan Prof Dr Ir Hardinsyah,MS (Guru besar FEMA IPB) sebagai penguji diluar komisi pada ujian terbuka yang telah banyak memberikan masukan-masukan yang sangat berharga dalam melengkapi disertasi ini.
Kepada Rektor Unair dan Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair yang telah memberikan ijin dan kesempatan untuk mengikuti program Doktor di Institut Pertanian Bogor dan Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS, penulis ucapkan terima kasih.
Kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi beserta staf Gizi dan Promkes, Kepala Puskesmas Kedudampit, Warungkiara, Bantargadung dan Cikakak beserta staf yang telah bersedia menerima, mengijinkan dan membantu pelaksanaan penelitian dilapangan diucapkan terima kasih. Tak lupa disampaikan terima kasih kepada ibu dan bapak kader posyandu di wilayah Puskesmas Kadudampit, Warungkiara, Bantargadung dan Cikakak.
Kepada anak balita beserta orangtua/pengasuh yang telah bersedia dengan sukarela turut berpartisipasi dalam penelitian sebagai balita contoh hingga akhir kegiatan intervensi disampaikan terima kasih dan semoga Allah SWT melimpahkan pahala bagi mereka semua.
Kepada Bapak Saad dan keluarga (Saad Bakery & Cake) yang telah bermitra dan membantu pengadaan biskuit selama penelitian; Ir Darti Nurani, M.Sc (Laboratorium Mikrobiologi ITI, Serpong Tangerang), drh Rachmad Adjie.,M.Si (Balivet, Cimanggu Bogor), Dr.drh Sri Murtini, MS dan Shelin (Laboraturium Mikrobiologi Medik FKH IPB), Bapak Heru (Laboratorium Formulasi Kimia Farma Bandung) dan Mashudi (Lab Gizi Dept Gizi Masyarakat) yang telah banyak membantu kegiatan-kegiatan dilaboratorium disampaikan terima kasih. Semoga Allah SWT melimpahkan pahala dan memberikan balasan setimpal untuk semua kebaikannya.
Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada adik-adik Imma, Rini, Nien, Silla, Fitri, Denta, Sisi yang telah banyak membantu persiapan hingga pengumpulan data akhir dilapangan. Semoga Allah SWT melimpahkan pahala dan memberikan balasan setimpal untuk semua kebaikanya
Kepada Prodi Ilmu Gizi Manusia dan seluruh dosen pengajar yang telah membekali ilmu dan pengetahuan selama penulis menempuh studi diucapkan terima kasih.
Tidak lupa, hormat takzim dan ucapan terima kasih disampaikan kedua orangtua tercinta Bapak Ibu Soentoyo S. Adi dan Ayah Ibu mertua dr Syahrul Syaibi, SKM yang telah membimbing dan mendoakan dengan ikhlas mengiringi penulis menyelesaikan pendidikan tertinggi ini.
Kepada isteri tercinta Fariani Syahrul, SKM, MKes berkat doa, kesabaran dan pengorbanan yang tiada tara dan ketiga anak-anakku: Bitta, Rissa dan Tisha yang penuh kasih sayang, pengertian dan doanya selama penulis menempuh pendidikan. Sikap itulah yang menjadi motivasi terbesar penulis terutama dalam menghadapi tekanan-tekanan dan tantangan serta mempercepat penyelesaian studi. Tak lupa juga penulis sampaikan kepada seluruh sanak saudara atas segala doa, dorongan dan kasih sayangnya.
Ucapan terima kasih pula disampaikan kepada teman–teman seangkatan GMA 2007 serta adik dan kakak angkatan GMA yang telah memberi support, berbagi rasa suka duka dan saling membantu dalam rangkaian penyelesaian panjang studi.
Masih banyak nama yang telah berjasa yang tidak sempat disebutkan satu per satu atas pernyelesaian studi ini, diucapkan terima kasih yang dalam. Kepada mereka semuanya, semoga amalan dan kebaikan dicatat sebagai amal shaleh. Amin.
Smoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2010
Penulis dilahirkan di Tulungagung pada tanggal 1 Maret 1969 sebagai anak keempat dari pasangan Suntoyo S Adi dan Miswati. Pendidikan sarjana ditempuh di Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Faperta IPB, lulus pada tahun 1992. Pada tahun 1995, penulis diterima di Program Studi Gizi Masyarakat pada Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa CHN-III Dikti Depdiknas dan menamatkan pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Doktor pada program studi Ilmu Gizi Manusia pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana program doktor (S3) BPPS diperoleh dari Kementerian Pendidikan Nasional.
Penulis mulai bekerja sebagai staf pengajar di Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) Fakultas Kedokteran Airlangga tahun 1994-1996, dan mulai tahun 1996 menjadi staf pengajar di Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Universitas Airlangga, Surabaya. Penulis dipercaya sebagai Sekretaris Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat FKM Unair tahun 1998 – 2001 dan sebagai Ketua Departemen Gizi Kesehatan FKM Unair (2 periode) tahun 2001 – 2007.
Selama mengikuti program pendidikan S3, penulis pernah mengikuti Program Sanwich Depdiknas di Kulliyyah of Allied Health Sciences, International Islamic University Malaysia (IIUM) Malaysia selama 4 bulan pada tahun 2009. Karya ilmiah yang nerupakan bagian dari disertasi, diantaranya berjudul
DAFTAR ISI ……… DAFTAR TABEL ….……….. DAFTAR GAMBAR ……….. DAFTAR LAMPIRAN ………
PENDAHULUAN ……… Latar belakang ………. Perumusan Masalah ……… Tujuan Penelitian ……….. Manfaat Penelitian ………
TINJAUAN PUSTAKA ………. Pertumbuhan, Status Gizi dan Faktor yang Mempengaruhinya … Imunitas Balita dan Faktor yang Mempengaruhinya ……… Kebutuhan Gizi dan Formulasi Makanan Balita ……….. Pangan Fungsional .. ………
KERANGKA PEMIKIRAN ……… ………..
BAHAN DAN METODE ………. Jenis Penelitian ……… Tahapan Penelitian ……….. Disain Penelitian ……….. Tempat dan Waktu Penelitian ………. Populasi dan Contoh ……… Besar Contoh ………. Prosedur Sampling ……….. Variabel Penelitian ……… Instrumen dan Cara Pengumpulan Data ……….. Bahan dan Prosedur Intervensi ………. Manajemen dan Analisis Data ………
Ethical Clearance dan Informed Concent ………. HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……… Karateristik Keluarga dan Balita Sasaran ……… Daya Terima dan Kepatuhan Konsumsi Biskuit Fungsional ………. Konsumsi Gizi Balita ……… Profil Mikrobiota Balita ……….. Efikasi Pemberian PMT Biskuit Fungsional terhadap Status Gizi … Efikasi Pemberian PMT Biskuit Fungsional terhadap Respon Imum Humoral ……….
Analisis Ekonomi Usaha Biskuit Fungsional. ………..
KESIMPULAN DAN SARAN ………. Kesimpulan ……….. Saran ………
DAFTAR PUSTAKA ……….
LAMPIRAN ………..
119
124 124 125
127
1. Pengaruh probiotik pada stimulasi produksi IgA . . . 13
2. Peran zat gizi terhadap fungsi umum imun . . . . . 14
3. Standar makanan tambahan untuk bayi dan anak-anak (per 100 gram bahan) . . . 15 4. Syarat mutu biskuit bayi dan balita (SNI 01-4445-1998) tahun 1998 16
5. Studi biskuit sebagai PMT balita di Indonesia . . . 19
6. Studi praklinis efikasi probiotik Enterococcus faecium SI 27526 . . . 26
7. Studi klinis efikasi probiotik Enterococcus faecium SI 27526 . . . 27
8. Definisi operasional . . . 33
9. Komposisi makanan tambahan biskuit fungsional dan kontrol . . . . 35
10. Komposisi krim probiotik dan krim kontrol per 100 g . . . 36
11. Kriteria inklusi untuk penentuan contoh . . . 38
12. Kriteria eksklusi untuk penentuan contoh . . . 39
13. Rincian jumlah sampel menurut perlakuan dan wilayah . . . . . 40
14. Jenis dan cara pengumpulan data . . . . . . 42
15. Jumlah anak balita dan biskuit menurut perlakuan . . . 44
16. Tipe data dan jenis analisis . . . 50
17. Derajat kesehatan dengan indikator makro di Kabupaten Sukabumi 54
18. Sebaran keluarga balita berdasarkan kondisi fisik rumah . . . 55
19. Sebaran keluarga berdasarkan kondisi MCK . . . 56
20. Sebaran keluarga balita berdasarkan sumber air minum . . . 57
21. Sebaran keluarga berdasarkan sanitasi lingkungan fisik . . . 57
22. Sebaran balita berdasarkan tempat tinggal . . . 58
23. Sebaran keluarga berdasarkan besar keluarga . . . 58
24. Sebaran keluarga berdasarkan jumlah balita keluarga . . . 58
25. Sebaran keluarga berdasarkan pendidikan orang tua . . . 59
26. Sebaran keluarga beradsarkan pekerjaan orang tua . . . 60
27. Sebaran keluarga berdasarkan kategori pendapatan keluarga . . . . 61
28. Sebaran pengasuh balita berdasarkan pengetahuan gizi kesehatan pengasuh . . . 61 29. Sebaran keluarga berdasarkan pengasuh . . . 62
30. Sebaran balita berdasarkan pola asuh makan . . . 63
34. Pendapat pengasuh terhadap rasa krim biskuit fungsional . . . 65
35. Pendapat pengasuh terhadap bentuk biskuit fungsional . . . 66
36. Sebaran pendapat pengasuh tentang porsi krim . . . 66
37. Sebaran pendapat tentang porsi krim biskuit fungsional . . . 67
38. Rata-rata jumlah biskuit yang dikonsumsi harian dan selama intervensi . . . . . . . 69 39. Rata-rata kontribusi energi dan protein harian biskuit fungsional terhadap kecukupan gizi . . . 70 40. Anggota keluarga dan orang lain yang turut mengkonsumsi . . . 71
41. Sebaran balita menurut menurut kategori kepatuhan . . . 72
42. Sebaran efek negatif setelah mengkonsumsi paket PMT biskuit . . . 74
43. Konsumsi dan tingkat konsumsi gizi menurut kelompok perlakuan 75
44. Sebaran balita berdasarkan kategori tingkat konsumsi energi pada awal dan akhir konsumsi . . . 77 45. Sebaran balita contoh berdasarkan kategori tingkat konsumsi protein pada awal dan akhir konsumsi . . . 78 46. Sebaran balita contoh berdasarkan hasil PCR Bifidobacteria . . . 81
47. Sebaran balita contoh berdasarkan hasil PCR Enterococcus faecium . . . 84 48. Sebaran balita contoh berdasarkan hasil PCR E. Coli . . . 86
49. Pertambahan ukuran antropometri menurut kelompok perlakuan . . 88
50. Sebaran balita berdasarkan status gizi pada awal intervensi . . . 92
51. Sebaran balita berdasarkan status gizi pada akhir intervensi . . . 94
52. Nilai Z skor awal dan akhir intervensi menurut perlakuan . . . . . . . 96
53. sIgA awal dan akhir perlakuan meurut kelompok perlakuan . . . 100
54. Sebaran balita contoh berdasarkan kategori sIgA pada awal dan akhir intervensi . . . 103 55. Rata-rata sIgA (µg/g) menurut status gizi dan perlakuan . . . 104
56. Rata-rata lama kejadian diare balita menurut kelompok perlakuan . 107 57. Sebaran balita berdasarkan kategori episode diare . . . 109
58. Rata-rata lama kejadian ISPA balita menurut kelompok perlakuan . 110 59 Sebaran balita berdasarkan kategori episode diare . . . 113
Gambar halaman
1 Sistem pertahanan IgA pada permukaan mukosa . . . 12
2. Perubahan jumlah bakteri fekal berdasarkan usia . . . 20
3. Konsep sinergi probiotik dan prebiotik terhadap host . . . 28
4. Kerangka pemikiran efikasi biskuit fungsional sebagai makanan tambahan untuk meningkatkan status gizi, respon imun humoral (sIgA) dan morbiditas balita berat badan rendah . . . 31 5. Kerangka penarikan sampel balita dan alur penelitian . . . 41
6. Alur distribusi dan monitoring paket intervensi biskuit . . . 46
7. Kesukaan anak terhadap biskuit fungsional menurut pemantauan . 68
8. Tingkat kepatuhan konsumsi paket PMT biskuit selama intervensi 73
9. Tingkat konsumsi energi (TKE) awal dan akhir ntervensi . . . 75
10. Tingkat konsumsi protein (TKP) awal dan akhir intervensi . . . 77
11. Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) Bifidobacteria . . . 79
12. Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) Bifidobacteria . . . 80
13. Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) E faecium . . . 82
14. Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) E faecium . . . 82
15. Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) E coli . . . 84
16. Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) E coli . . . 85
17 Peningkatan BB menurut kelompok umur dan perlakuan . . . 89
18. Pola pertumbuhan BB, TB, dan LLA menurut perlakuan . . . 91
19. Grafik nilai rata-rata Z-skor BB/U selama intervensi menurut perlakuan . . . .. . . . 97 20. Grafik nilai rata-rata Z-skor TB/U selama intervensi menurut perlakuan . . . . . . 98 21. Grafik nilai rata-rata Z-skor BB/TB selama intervensi menurut perlakuan. . . . . . 99 22. Nilai sIgA menurut kelompok perlakuan . . . 102
23. Peningkatan sIgA (µg/g) menurut status gizi . . . 105
24. Rata-rata frekuensi diare menurut waktu pemantauan (bulan) . . . . 107
25. Rata-rata episode diare menurut kelompok perlakuan . . . 108
26. Rata-rata frekuensi ISPA menurut waktu pemantauan (bulan) . . . . 110
Lampiran halaman
1. Persetujuan Ethik dan Perijinan ………. . . 135
2. Alur Mikroenkapsulasi, Metode Analisis ELISA dan PCR . . . 137
3. Hasil Analisis Statistik . . . 151
4. Analisis Ekonomi Usaha Biskuit Fungsional . . . 159
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sampai saat ini masih terdapat empat masalah gizi utama di Indonesia
yaitu Kurang Energi Protein (KEP), Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI),
Kurang Vitamin A (KVA) dan Kekurangan Zat Besi (Anemia). Masalah gizi
tersebut semakin serius semenjak Indonesia mengalami krisis ekonomi dan
politik yang berkepanjangan. Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya bencana
seperti kekeringan, banjir, dan longsor di berbagai daerah yang berdampak pada
penurunan produksi dan penurunan ketersediaan pangan di tingkat rumah
tangga. Keadaan tersebut dirasakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah
(keluarga miskin) sehingga terjadi gangguan pemenuhan kebutuhan pangan
yang akan mempengaruhi keadaan gizi dan kesehatan anggota keluarga di
antaranya anak balita.
Masalah gizi kurang pada balita bukanlah merupakan hal yang baru,
namun masalah ini tetap aktual, yang dicerminkan dengan adanya peningkatan
prevalensi KEP di daerah kantong-kantong kemiskinan. Berdasarkan laporan
Riskesdas 2007 (Depkes 2008) menunjukkan di Indonesia periode 2005-2007,
telah terjadi perbaikan status gizi balita yang melampaui target pembangunan
jangka menengah (20%), namun masih belum merata dan bahkan masih
terdapat 19 propinsi dengan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang yang masih
cukup tinggi. Lebih lanjut menurut Jalal (2009) jika dibandingkan dengan berat
badan rata-rata standar WHO 2005, posisi anak balita Indonesia setelah usia 6
bulan, semakin bertambah umur semakin menjauh dari berat badan rata-rata
rujukan. Hal yang lebih mencemaskan, bahwa rata-rata tinggi badan anak
Indonesia dari sejak lahir sudah mendekati garis merah standar WHO. Dengan
menggunakan nilai rata-rata Z_skor terlihat makin bertambah umur, tinggi badan
anak Indonesia juga semakin menjauhi standar WHO. Hasil Pemantauan status
gizi (PSG) pada 4 tahun terakhir (2005-2008) di Kabupaten Sukabumi (berdasar
indeks BB/U) menunjukkan terjadi sedikit penurunan prevalensi status gizi
kurang 12.2% (2005), 12.1 % (tahun 2006), 12.0% (tahun 2007) dan 11.6%
(tahun 2008), namun sebaliknya terdapat kecenderungan peningkatan prevalensi
status gizi buruk yaitu 1.5% (tahun 2005), 1.7 % (tahun 2006), 1.8 % (tahun
2007) dan 1.7 % dari 191,896 balita yang ditimbang (Dinkes 2008). Prevalensi
cukup tinggi balita yang pendek (stunted < -2 SD) dalam tiga tahun terakhir
yaitu: 20.9% (tahun 2005), 22.8% (tahun 2006) dan 23.0% (tahun 2007).
Disisi lain, Riskesdas (Depkes 2008) melaporkan bahwa di Indonesia
penyakit ISPA (>35.0%), campak (3.4%) dan diare (16.7%) tertinggi terdapat
pada usia balita, demikian juga penyebab kematian balita adalah diare dan
pnemonia. Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Sukabumi (2007) juga
menunjukkan masih tingginya kejadian sakit balita akibat berbagai jenis penyakit
infeksi, antara lain ISPA (13.0%), diare (20.2%), influenza (10.3%) dan dermatitis
lain (7.8%). Menurut Tomkins (2002) masalah gizi kurang (malnutrisi) merupakan
faktor penyebab utama tingginya penyakit infeksi dan menurut WHO dan
UNICEF hampir 60.0% kematian anak diasosiasikan dengan masalah gizi
kurang.
Kenyataan adanya KEP dan kejadian penyakit infeksi pada balita tersebut
diatas, merupakan masalah yang serius dan mendesak untuk segera dicari
penyebab dan upaya penanggulangannya mengingat dampaknya yang serius
terutama pada mutu sumber daya manusia Indonesia. Secara umum gizi kurang
pada balita dapat menciptakan generasi yang secara fisik maupun mental lemah.
Generasi yang demikian akan menjadi beban masyarakat dan pemerintah.
Sebagaimana yang dikaji dan diperkenalkan oleh UNICEF (1998) terdapat
berbagai penyebab timbulnya masalah gizi pada balita, yang dapat digolongkan:
pertama, sebagai penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi,
dan kedua, penyebab tidak langsung yaitu pola pengasuhan anak, pelayanan
kesehatan, kesehatan lingkungan dan ketahanan pangan keluarga. Analisis
Atmarita et al. (2006) terhadap data status gizi SUSENAS (tahun 1989-2005)
juga membuktikan determinan utama gizi kurang pada anak balita adalah faktor
ekonomi, pendidikan ibu, makanan dan infeksi. Hal ini semakin menunjukkan
pentingnya pencegahan dan pemulihan masalah gizi kurang sebagai strategi
untuk mengurangi prevalensi, keparahan, dan mortalitas yang diasosiasikan
dengan penyakit infeksi.
Berdasarkan fakta tersebut diatas, maka program intervensi dalam bentuk
makanan tambahan bergizi dalam jumlah yang cukup pada balita, serta upaya
penguatan ketahanan tubuh balita merupakan hal yang perlu mendapat
perhatian serius agar anak balita tidak mudah jatuh ke keadaan kurang gizi dan
mudah sakit. Anak yang menderita gizi kurang mempunyai imunitas rendah dan
pelayanan kesehatan masyarakat, pendidikan (penyuluhan) gizi, dan perbaikan
pola konsumsi.
Salah satu bentuk perbaikan konsumsi adalah melalui pemberian
makanan tambahan (PMT). Jenis makanan tambahan yang memiliki daya terima
baik,diantaranya adalah biskuit. Biskuit yang digunakan sebagai makanan
tambahan kenyataannya masih berupa makanan pabrikan yang berbasis tepung
terigu dan belum banyak diperkaya dengan menggali potensi pangan lokal yang
kaya akan gizi, seperti produk perikanan. Di sisi lain Kabupaten Sukabumi
memiliki lebih dari 40% wilayah berupa laut, pantai dan pesisir. Selain itu
sungai-sungai yang mengalir di Kabupaten Sukabumi mempunyai potensi penghasil
produk perikanan ikan tawar dan ikan laut serta penghasil berbagai jenis produk
pertanian termasuk kacang-kacangan yang mengandung protein yang tinggi.
Optimalisasi penanganan masalah gizi pada balita melalui diversifikasi
pengembangan formula makanan tambahan sebaiknya mempertimbangkan
aspek gizi, manfaat kesehatan, daya terima, nilai ekonomi, keawetan serta
keunggulan sumberdaya pangan lokal. Biskuit yang diperkaya dengan tepung
protein ikan lele Dumbo, isolat protein kedelai dan probiotik Enterococcus
faecium IS-27526 (biskuit fungsional) merupakan salah satu solusi yang perlu
dikaji efikasinya untuk menurunkan prevalensi KEP balita. Selain dapat
menambah asupan energi dan protein, sifat fungsional probiotik juga bermanfaat
untuk membantu keutuhan mukosa usus, untuk proses metabolisme serta untuk
meningkatkan ketahanan tubuh balita sehingga balita tidak mudah sakit.
Perumusan Masalah
Prevalensi KEP masih tinggi pada balita usia mulai 6 bulan sampai 59
bulan. Setelah usia enam bulan dengan bertambah umur maka balita Indonesia
makin mendekati garis merah baku rujukan WHO. Menurut UNICEF (1998)
penyebab langsung tingginya KEP pada balita adalah faktor makanan dan
penyakit infeksi. Menurut Jalal dan Atmojo (1998) secara menyeluruh masalah
gizi kurang dapat diatasi melalui pendekatan ketersediaan dan konsumsi pangan
(food based approach). Salah satu upaya penanggulanggan KEP berbasis
pangan yang sudah banyak dilakukan adalah dengan pemberian makanan
tambahan (PMT) berupa makanan selingan, namun belum optimal menurunkan
Selama ini, pengadaan PMT untuk kesehatan balita masih
mengutamakan kandungan zat gizi makro saja tanpa mempertimbangkan
manfaat fungsional komponen lain yang dikandungnya. Masalah KEP pada
balita selain karena kurangnya asupan energi dan protein, juga karena
rendahnya imunitas tubuh sehingga balita memiliki risiko yang tinggi terjadinya
morbiditas terutama karena penyakit infeksi. Pangan yang berpotensi fungsional
diantaranya adalah pangan yang berfungsi menstimulir immunitas tubuh selain
zat-zat gizi konvensional yang dikandungnya (Hasler 2001).
Masalah lainnya adalah pengenalan makanan tambahan berbasis bahan
baku pangan lokal yang diperkaya dengan pangan fungsional belum banyak
digali dan dikembangkan sebagai upaya percepatan penanggulangan masalah
KEP balita. Ditinjau dari perspektif ketahanan pangan yang berkelanjutan
(sustainable), makanan alternatif berbasis potensi pangan lokal merupakan
sumberdaya pangan daerah (lokal) yang mempunyai keunggulan komparatif
ditinjau dari sisi agro-sosioekonomi dan gizi-kesehatan. Hasil studi (Harijono et
al. 2002a) menunjukkan bahwa diversifikasi konsumsi energi di daerah marjinal
(berlahan kering, kapur dan pesisir) lebih baik dibandingkan daerah perkotaan.
Hampir 10 % dari total asupan energi di daerah kapur sebanyak 10% berasal
dari umbi-umbian, sementara perkotaan hanya sebanyak 1.5%. Hal serupa
terjadi pada pangan sumber protein nabati yang didominasi oleh kedelai.
Kedelai merupakan sumber protein nabati utama bagi masyarakat, terutama di
daerah perkotaan dan lahan basah (Harijono et al. 2000b). Produk olahan
kedelai berupa isolat protein mengandung protein paling sedikit sebanyak 95%
yang sangat baik sebagai bahan pengikat dan pengemulsi formulasi makanan,
namun memiliki asam amino esensial methionin yang terbatas. (McWilliams
2001; Sri Winarni 2010). Selanjutnya protein hewani yang sering dikonsumsi
masyarakat, diantaranya adalah ikan (BKP & UNAIR 2006), dimana kandungan
protein ikan cukup tinggi dan mengandung asam amino yang mendekati pola
kebutuhan tubuh manusia (Adawiyah 2007). Ikan lele mengandung semua asam
amino esensial dalam jumlah yang cukup dan juga merupakan salah satu
unggulan komuditas air tawar pada Program Revitaliasi Pertanian dan Perikanan
(Mahyudin 2007). Selain memiliki kelebihan, ikan memiliki beberapa kekurangan
diantaranya timbulnya bau amis yang berasal dari penguraian (dekomposisi),
terutama amonia, senyawa belerang dan amina (Adawiyah 2007). Bau amis
3 tahun seringkali resisten untuk mengkonsumsi makanan-makanan baru (food
neophobia).
Indonesia selain memiliki keragaman hayati, juga memiliki keragaman
budaya termasuk keragaman dan produk olahan khas daerah yang mengandung
khasiat kesehatan. Dadih adalah susu fermentasi asal Sumatera Barat dan
dapat digolongkan pangan fungsional sebagai pangan pencernaan dan pangan
probiotik (Akuzawa & Surono 2002). Bakteri Enterococcus faecium IS-27526
yang merupakan hasil isolasi dadih susu fermentasi tradisional asal Sumatera
Barat terbukti mempunyai potensi sebagai probiotik (Collado et al. 2003).
Suplementasi Enterococcus faecium dadih IS-27526 pada susu UHT rendah
lemak selama 3 bulan dapat meningkatkan respon imun humoral secara
signifikan, terutama pada balita gizi kurang (Koestomo 2004).
Pengolahan pangan lokal untuk makanan PMT balita sampai saat ini
masih belum berkembang baik dari aspek kelompok sasaran, jaminan mutu,
kepraktisan dalam konsumsi maupun citranya. Hasil Evaluasi World Food
Program WFP (WFP & FKM UNAIR 2008) dan Widayani (2007) menunjukkan
bahwa PMT dalam bentuk biskuit memiliki daya terima yang baik pada balita.
Menurut Boobier et al. (2006) biskuit konvensional yang tinggi lemak trans
maupun lemak jenuh dan gula yang sering diasosiakan tidak sehat dapat
dimodifikasi menjadi produk fungsional yang sehat. Produk biskuit fungsional
berbasis konsentrat ikan laut dan probiotik sebagai makanan tambahan balita
telah dikembangkan Rieuwpassa (2006), namun masih mempunyai keterbatasan
daya tahan simpan probiotiknya jika disimpan pada suhu ruang. Adanya
perkembangan teknologi mikroenkapsulasi dengan metode Fluid Bed Drier
(FBD), memungkinkan digunakan untuk mempertahankan viabilitas probiotik dari
lingkungan yang ekstrim pada saat penyimpanan dan ketika melewati saluran
pencernaan.
Upaya penanggulangan KEP balita dengan berbagai jenis makanan
tambahan (PMT) sudah lama dilakukan di masyarakat, namun kajian evaluasi
terhadap efektifitas PMT dalam menurunkan prevalensi KEP dan kejadian infeksi
balita di Indonesia hingga saat ini masih belum banyak dilakukan. Selain itu
menurut Hughes & Kelly (2006) penelitian klinik tentang keberhasilan
peningkatan status gizi dan pengukuran efek terhadap fungsi imunologi pada
rehabilitasi gizi juga masih sangat sedikit.
1. Bagaimana daya terima dan tingkat kepatuhan sasaran (balita BBR dan
orangtua/pengasuh) yang diberi makanan tambahan biskuit yang diperkaya
dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium
IS-27526 yang dimikroenkapsulasi ?
2. Bagaimana konsumsi gizi dan profil mikrobiota balita berat badan rendah
(BBR)?
3. Bagaimana efikasi (pengaruh) pemberian makanan tambahan biskuit yang
diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E.
faecium IS-27526 yang dimikroenkapsulasi terhadap status gizi balita BBR?
4. Bagaimana efikasi pemberian makanan tambahan biskuit yang diperkaya
dengan tepung protein ikan, isolat kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526
yang dimikroenkapsulasi terhadap respon imun humoral (sIgA) balita BBR?
5. Bagaimana efikasi pemberian makanan tambahan biskuit yang diperkaya
dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium
IS-27526 yang dimikroenkapsulasi terhadap tingkat morbiditas balita BBR?
Tujuan Penelitian Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efikasi
pemberian makanan tambahan biskuit yang diperkaya dengan tepung protein
ikan lele Dumbo, isolat protein kedelai dan probiotik Enterococcus faecium
IS-27526 yang dimikroenkapsulasi terhadap status gizi, respon imun humoral (sIgA)
dan morbiditas balita BBR.
Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengevaluasi daya terima dan kepatuhan sasaran (pengasuh dan balita
BBR) terhadap makanan tambahan biskuit yang diperkaya dengan tepung
protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526.
2. Mempelajari konsumsi gizi dan mikrobiota balita BBR.
3. Menganalisis efikasi pemberian makanan tambahan biskuit yang diperkaya
dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium
IS-27526 terhadap status gizi balita BBR.
4. Menganalisis efikasi pemberian makanan tambahan biskuit yang diperkaya
dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium
5. Menganalisis efikasi pemberian makanan tambahan biskuit yang diperkaya
dengan tepung protein ikan, isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium
IS-27526 terhadap morbiditas balita BBR.
Manfaat Penelitian Hasil yang diharapkan :
a. Makanan tambahan biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan,
isolat protein kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 yang
dimikroenkapsulasi dapat mempercepat perbaikan status gizi
(peningkatan nilai Z-skor indeks BB/U, BB/TB dan TB/U) balita BBR.
b. PMT biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan, isolat protein
kedelai dan probiotik E. faecium IS-27526 dapat meningkatkan sekresi
respon imun humoral (sIgA) balita BBR
c. PMT biskuit fungsional yang diperkaya protein ikan, isolat protein kedelai
dan probiotik E. faecium IS-27526 ke depan dapat menurunkan kejadian
penyakit infeksi yang sering diderita balita BBR.
Implikasi dari Penelitian
a. Diharapkan dapat menjadi dasar ilmiah pengembangan program
intervensi makanan tambahan (PMT) fungsional dalam upaya
meningkatkan mutu (kuantitas dan kualitas) konsumsi masyarakat rawan
gizi dan menurunkan kejadian sakit (morbiditas), khususnya balita yang
mengalami BBR.
TINJAUAN PUSTAKA
Pertumbuhan, Status Gizi Anak Balita dan Faktor yang Mempengaruhinya Ada dua determinan yang saling berinteraksi dalam mempengaruhi
pertumbuhan bayi dan balita, yaitu faktor bawaan (genetic factor atau nature)
dan faktor lingkungan (environmental factors atau nurture). Faktor bawaan
mengacu pada faktor statik yang menyertai anak sejak pembuahan, sedangkan
faktor lingkungan lebih banyak terfokus pada kecukupan gizi, higienis dan
kesehatan bayi dan balita (Satoto 1997). Timbulnya penyakit pada masyarakat
merupakan hasil interaksi antara penduduk setempat dengan berbagai
komponen di lingkungan. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat di
lingkungannya berinteraksi dengan pangan, udara, air serta serangga (Achmadi
2008). Lingkungan yang bersih merupakan faktor yang berperan dalam
mempengaruhi pertumbuhan bayi dan balita (Pudjiadi 2001). Faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan adalah kontrol hormonal, kondisi sosial ekonomi,
iklim dan musim (Sinclair 1991). Menurut Pudjiadi (2001), pertumbuhan balita
yang normal dapat dicapai melalui pemberian makanan dengan kualitas dan
kuantitas yang baik.
Untuk memonitor pertumbuhan yang menyimpang (growth faltering) pada
balita digunakan nilai Z-skor kurva pertumbuhan. Nilai Z-skor untuk memantau
pertumbuhan dapat berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U),
panjang/tinggi badan menurut umur (PB/U atau TB/U) dan berat badan menurut
panjang badan (BB/PB) (WHO 2005). Rendahnya BB/TB (wasting) sering
digunakan sebagai indikator kekurangan gizi akut, rendahnya nilai TB/U dapat
digunakan sebagai indikator kekurangan gizi kronik maupun akut (Gibson 2005).
Status gizi kurang diukur dengan indikator BB/U, dikelompokkan ke dalam berat
badan rendah (BBR). Terdapat tiga tingkat keparahan BBR yaitu BBR tingkat
ringan (mild), sedang (moderte), dan berat (severe) (Soekirman 2000).
Kurang energi dan protein (KEP) merupakan gejala awal dari penyebab
utama stunting. Pertumbuhan bayi dan balita yang stunting juga diakibatkan oleh
defisiensi satu atau beberapa zat gizi seperti seng, besi, vitamin A dan iodium
(Rosado 1999; Hautvast 2000). Menurut Martorell (1995) dan The World Bank
(2006), kurang gizi berdampak nyata pada kematian balita. Estimasinya, lebih
dari 50% kematian balita disebabkan oleh kurang gizi sedang sampai gizi buruk.
yang diperlukan, sakit atau kedua-duannya. Kedua faktor tersebut sering kali
berinteraksi dalam sinergi yang negatif. Defisiensi zat gizi terutama energi dan
protein akan memberikan gangguan psikologik dan sosial, serta secara klinis
menyebabkan kelambatan pertumbuhan. Sedangkan gangguan penyerapan
makanan dapat disebabkan oleh kerusakan permukaan epitel mukosa usus
(brush border) sehingga timbul kekurangan enzim laktase, gangguan fermentasi
karbohidrat, dekonyugasi garam empedu dan terjadinya perubahan struktur
mukosa usus berupa pemendekan jonjot usus (vili intestinalis) dan pendangkalan
kripta yang berakibat berkurangnya mukosa usus (Apriantono 2000; Arisman
2007). Menurut The Word Bank (2006), hasil-hasil studi menunjukkan bahwa
masalah kurang gizi tidak hanya disebabkan persediaan pangan, tetapi juga
faktor lain seperti pengetahuan ibu, praktek pengasuhan anak, akes terhadap
pelayanan kesehatan serta air dan sanitasi.
Proses pertumbuhan dan perkembangan pada anak setiap individu akan
mengalami siklus berbeda, peristiwa tersebut dapat cepat maupun lambat
tergantung dari individu dan lingkungan (Hidayat 2004). Menurut Martorell
(1995), tumbuh kembang anak sampai usia 3 tahun sangat rentan terhadap
perubahan lingkungan. Hal ini disebabkan oleh: 1) Laju pertumbuhan bayi sangat
cepat, sehingga kebutuhan gizi harus dipenuhi. Kurang gizi sangat potensial
mengakibatkan retardasi fisik dan mental; 2) Anak-anak usia 2-3 tahun memiliki
kebutuhan gizi lebih tinggi/kg BB; 3) Anak-anak usia 2-3 tahun sangat rentan
infeksi dan penyakit karena fungsi pertahanan tubuh belum berkembang
sempurna; 4) Anak-anak usia 2-3 tahun belum mampu mengekspresikan
keinginan sehingga sangat tergantung keberadaan orang tua. Pola perawatan
dan pengasuhan yang buruk akan berdampak buruk terhadap tumbuh
kembangnya.
Imunitas Balita dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Imunitas adalah resistensi terhadap infeksi. Sistem imun diperlukan
tubuh terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh mikroba dan virus. Infeksi lebih
sering terjadi dan lebih berat pada anak-anak usia balita dibanding dewasa
karena sistem imun yang belum matang (Chapel et al. 1999; Bratawidjaya &
Rengganis 2009).
Sistem Imun Tubuh.
infeksi, toksin dan kanker dapat melalui barier fisik dan kimia terhadap infeksi,
aktivitas sel darah putih, serta aktivitas berbagai molekul di dalam cairan tubuh
dan di permukaan sel. Ada beberapa macam pengklasifikasian imunitas, antara
lain imunitas alamiah (innate/natural immunity) dan imunitas yang didapat
(acquired immunity), imunitas pasif (passive immunity) dan imunitas aktif (active
immunity), imunitas humoral (humoral immunity) dan cell-mediated immunity.
Mekanisme imunitas spesifik timbul atau bekerja lebih lambat dibanding imunitas
non spesifik, meskipun sebenarnya antara kedua sistem imum tersebut terjadi
kerjasama erat, antara yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan
(Surono 2004; Baratawidjaja & Rengganis 2009).
Innate immune system merupakan pertahanan pertama terhadap agent
infeksi dan mengeliminasi patogen yang masuk. Innate immunity berhubungan
dengan mekanisme tubuh yang tidak tergantung pada paparan agen infeksi
sebelumnya (antigen) (Clough & Roth 1998). Innate immune system (imunitas
non spesifik) berupa komponen normal tubuh yang selalu terdapat pada individu
yang sehat berfungsi mencegah masuknya mikroba lebih lanjut ke dalam tubuh.
Istilah non spesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu dan mampu
melindungi tubuh terhadap patogen potensial. Sistem imun ini merupakan
pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat
memberikan respon langsung (Bratawidjaya & Rengganis 2009)
Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda
yang dianggap asing terutama yang terpajan pertamakali. Bila antigen yang
sama masuk ke dalam tubuh untuk kedua kalinya maka akan dikenali lebih
cepat. Sistem imun spesifik akan bekerja sama dengan sistem imun non spesifik
bila terdapat benda asing yang berbahaya bagi tubuh. Sistem imun spesifik
terdiri atas sistem humoral dan sistem selular. Pada sistem imunitas humoral,
sel B melepas anti bodi untuk menyingkirkan mikroba ekstraselular. Pada
imunitas selular, sel T mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba
atau mengaktifkan sel CTC/Tc sebagai efektor yang menghancurkan sel
terinfeksi (Clough & Roth 1998; Chapel et al. 1999).
Respon Imun pada Permukaan Mukosa
Sistem imum pada permukaan mukosa disebut juga dengan istilah MALT
(mucosa associated lymphoid tissue), sedangkan GALT (gut associated
lymphoid tissue) merupakan bagian kecil dari MALT. Membran mukosa
mukosa terdapat di sepanjang rongga internal yang meliputi rongga hidung,
rongga mulut, saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran genital (Roitt
& Delves 2001).
MALT membentuk suatu sistem, dimana sel limfosit teraktivasi oleh
antigen, terutama sel limposit yang memproduksi IgA dan IgE, kemudian
bersirkulasi ke seluruh permukaan mukosa sehingga membentuk sistem imun
mukosal (Roitt & Delves 2001). Respon imun yang paling umum terjadi berupa
respon imun humoral yaitu peningkatan jumlah sel yang mensekresikan IgA dan
sIgA. Sedangkan sel yang mensekresikan IgG, IgE dan IgM terdapat dalam
jumlah dan aktivitas rendah (Erickson& Hubbard 2000). IgM dapat menggantikan
fungsi IgA apabila karena sesuatu sebab terjadi defisiensi IgA, sedangkan IgE
tidak jelas peranannya dalam proteksi usus (Suraatmaja 2007).
Antibodi.
Antibodi adalah glikoprotein yang diproduksi sel B sebagai respon
terhadap rangsangan imunogen. Imunogen adalah bahan yang dapat
merangsang sel B atau sel T atau keduanya disebut imunogen, sedangkan
antigen adalah bahan yang berinteraksi dengan produk respon imun yang
dirangsang oleh imunogen spesifik seperti antibodi. Antibodi adalah protein
dengan struktur yang sama dan dikenal sebagai imunoglobulin (Ig) (Chapel et al.
1999; Bratawidjaya & Rengganis 2009).
Imunoglobulin terdiri lima jenis yaitu imunoglobulin A (IgA), IgG, IgM, IgE
dan IgD (Devereux 2006). Imunoglobulin A (IgA) merupakan satu kelompok dari
5 jenis antibodi yang ada dalam tubuh manusia (IgG, IgM, IgA, IgE dan IgD) dan
merupakan kelas imunoglobulin kedua terbanyak setelah IgG. Antibodi IgA ada
dua macam yaitu serum IgA dan sekretori IgA (sIgA) yang banyak ditemukan
dalam air liur, mukus, air mata dan sekresi eksternal lainnya (Surono 2004;
Baratawidjaja & Rengganis 2009). Dari dari semua immunoglobulin yang
diproduksi sel-sel, sekitar 80% ditemukan dalam usus besar berupa IgA
(Goktepe et al. 2006). IgA serum, pada umumnya dijumpai dalam bentuk
monomerik dan merupakan 15% dari kadar Imunoglobulin total. Paruh waktunya
adalah 5-6 hari, serta konsentrasi imunoglobulun A normal di darah adalah 1,4-4
mg/ml (Kresno, 1996; Roitt & Delves 2001), sedangkan IgA sekretori berbentuk
dimerik atau polimerik, yang diproduksi melimpah pada permukaan mukosa.
IgA1 immunocytes dominan di usus halus, sedangkan IgA2 diproduksi sel-sel
yang terdapat dibawah permukaan epitel usus yang kemudian akan diikat lagi
oleh suatu glikoprotein yang dinamakan secretory componen (SC). Dengan
ikatan terakhir ini sIgA akan lebih tahan terhadap pengrusakan oleh enzim
proteolitik (tripsin dan kemotripsin) yang terdapat di dalam usus (Suraatmaja
2007).
IgA sekretori (sIgA) ideal untuk menjaga permukaan mukosa dari antigen
karena tahan terhadap proteolisis intraluminal dan tidak menimbulkan respon
inflamasi (Salminen et al. 1998). Diperkirakan cara kerja IgA sekretori adalah
mencegah melekatnya antigen pada permukaan mukosa (Roitt & Delves 2001)
dan memiliki afinitas yang kuat pada receptor Fc di permukaan makrofag yang
[image:31.595.84.479.90.669.2]dapat membantu fagositosis dan melakukan opsonisasi (Gambar 1)
Gambar 1. Sistem pertahanan sIgA pada permukaan mukosa
Beberapa studi menunjukkan fakta bahwa tingkat IgA total serum
meningkat setelah mengkonsumsi probiotik secara oral. Namun terdapat
perbedaan yang mendasar antara IgA yang ditemukan dalam serum dan usus
(intestine). Pengukuran IgA serum mungkin tidak mencerminkan kondisi saluran
pencernaan yang aktual (Park et al. 2002, diacu dalam Delcenserie et al. 2006).
Walapun pengukuran kadar IgA pada serum sedikit merefleksikan respon imun
mukosa (Erickson & Hubbard 2000), namun IgA serum dapat merefleksikan
respon imun humoral secara keseluruhan karena immunoglobulin A juga
merupakan produk dari sistem imun humoral.
Penelitian efek probiotik terhadap sistem imun sebaiknya difokuskan
pada MALT. Respon utama dari imun mukosa adalah respon imun humoral dan
konsentrasi immunoglobulin. Sekretori IgA diproduksi terutama oleh MALT dan
lebih merefleksikan respon intestina (pencernaan) dibandingkan IgA. Sampel
terbaik untuk mendapatkan sIgA dapat diperoleh dari mukosa usus, namun
membutuhkan invasi (Erickson & Hubbard 2000). Feses dapat digunakan
sebagai indikator immunoglobulin saluran pencernaan. Keuntungan penggunaan
feses sebagai sampel adalah sIgA kebanyakan diproduksi pada sisi mukosal
yang merefleksikan respon intestine, sedangkan kerugiannya aktivitas proteolitik
hanya merefleksikan respon kolonik (Erickson & Hubbard 2000).
Beberapa strain probiotik dapat menstimulasi produksi IgA oleh sel-sel B
yang membantu memelihara intestinal humoral immunity dengan mengikat
antigen-antigen (Gambar 1). Hasil beberapa penelitian tentang pengaruh
probiotik dalam menstimulasi produksi IgA, disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh probiotik pada stimulasi produksi IgA
Efek Sistem Imum Organisme Referensi
B. bifidum
L. acidophilus La1
L. casei rhamnosus
B. lactis Bb12
Fukushima et al. 1998; Ibnou et al. 2003; Isolauir et al. 1995; Kaila et al 1995; Link_Amster et al. 1994; Majamma et al. 1995; Park et al. 2002.
Sumber : Delcenserie et al. 2006 Gizi dan Imunitas.
Setiap zat gizi, makro atau mikro mempunyai peranan yang penting
dalam sistem imunitas. Hubungan antara gizi dan imunitas telah ditunjukkan
pada fungsi dari beberapa sel-sel di dalam sIstem imun yang mengatur siklus
metabolisme yang membutuhkan berbagai jenis gizi sebagai kofaktor yang
berpengaruh pada mekanisme pertahanan tubuh (Mac Dermott 1993 diacu
dalam Fuller & Perdigon 2003). Di negara berkembang, masalah kurang gizi
merupakan penyebab umum defisiensi imunitas. Kekurangan protein dapat
menimbulkan gangguan imunitas yang ditandai dengan pelemahan sistemik dan
imunitas mukosa (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Defisiensi imunitas berefek
langsung terhadap respon fase akut dan meningkatkan frekuensi dan keparahan
infeksi. KEP dapat meningkatkan atropy mucosa, pembentukan mucin tak
normal, involusi thymus dan pelemahan sekresi sIgA (Sullivan et al. 1993). Pada
hewan percobaan, kemampuan untuk mempertahankan kandungan normal
(Arisman 2007). Oleh karena itu penambahan suplemen bakterial, seperti BAL
yang terseleksi atau susu fermentasi ke dalam formula makanan mungkin akan
meningkatkan tidak hanya status gizi, tetapi juga mikrobiota usus dan sistem
imum, sebagaimana dalam mengeliminasi toksin dan membantu dalam
pengaturan produksi mukus.
Penambahan probiotik pada defisiensi imunitas yang disebabkan
masalah gizi kurang dapat disarankan setelah recovery mucosal dengan
pemberian makanan yang cukup untuk menghilangkan efek berbahaya pada
attropy mucosa yang disebabkan oleh masalah kurang gizi (Isolauri et al. 1991;
Allori et al. 2000 diacu dalam Fuller & Perdigon 2003). Menurut Shankar
(2001) peran zat –zat gizi terhadap fungsi –fungsi imun disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Peran zat gizi terhadap fungsi fungsi umum imun
Zat Gizi
Humoral Imunity
Barrier and Epithelial
integrity
Cell-mediated immunity
Cytokine production
KEP X X X X
Vit A X X X X
Seng X X X X
Selenium X
PUFA X
Vit E X X
Vit C X
Vit B-6 X X X
Thiamin X
Sumber :Shankar AH 2001.
Kebutuhan Gizi dan Formulasi Makanan Balita Kebutuhan Gizi.
Masa anak-anak adalah masa pertumbuhan dan perkembangan tulang,
gigi, ototdan darah, sehingga anak-anak membutuhkan gizi dalam proporsi yang
lebih besar dibandingkan orang dewasa. Anak-anak mungkin berisiko mengalami
masalah kurang gizi ketika anak-anak memiliki nafsu makan yang kurang dalam
jangka waktu lama, makan dalam jumlah terbatas, atau diet pangan yang kurang
mengandung zat gizi yang dibutuhkan. Disarankan proporsi asupan energi
Kebutuhan protein per kg BB menurun dari sekitar 1.1 g/kg pada awal anak-anak
hingga 0.95 g/kg pada usia anak selanjutnya (Kathleen & Escott 2004)
Formulasi Makanan Balita dan PMT.
Formulasi makanan anak balita harus memenuhi persyaratan tertentu
khususnya untuk protein, energi, lemak, vitamin dan mineral serta bahan
tambahan. Komposisi zat gizi makanan tambahan tinggi protein yaitu
mengandung protein sekurang-kurangnya 15 g/100 g apabila mutu protein setara
susu sapi yaitu Nett Protein Utilization (NPU) sama dengan 80 dan apabila mutu
protein rendah (sekurang-kurangnya NPU = 60), maka jumlah harus dinaikkan
menjadi 20 g/100 g (Tabel 3). Codex Alimentarius Guidelines 1994
mensyaratkan mutu protein (NPU) sekurang-kurangnya 65 yang setara dengan
nilai Protein Effisiency Ratio (PER) tidak kurang dari 2.1. CAG guideline no.8 dan
Codex Alimentarius 1994 menyarankan agar tiap 100 gram produk mengandung
20 gram protein dan 100 gram produk tersebut harus menyediakan energi
sebanyak 400 kkal.
Program intervensi yang dikhususkan untuk balita yang menderita
masalah Kurang Energi Protein (KEP) dikenal dengan sebutan PMT-P. Jumlah
makanan untuk PMT-P diperkirakan mengandung 300-400 Kalori dan 6-8 gram
protein,diberikan selama 180 hari makan anak (HMA) untuk balita dengan status
[image:34.595.101.511.492.743.2]gizi buruk dan 90 HMA untuk balita dengan status gizi kurang (Dinkes 2004).
Tabel.3 Standar makanan tambahan untuk bayi dan anak-anak (per 100g bahan)
Komponen Zat Gizi Nilai Standar
Protein, g Energi, kkal Lemak, g
Asam Linoleat (g) Serat Makanan (g)
Vitamin A ( μg RE) Vitamin D (μg)
Vitamin C (mg) Tiamin (mg) Vitamin B6 (mg)
Vitamin B12 (μg)
Niasin (mg) Kalsium (mg) Besi (mg) Zinc (mg)
15 – 20 400 10 – 25
1.4 5.0 266.7
6.67 13.3 0.33 0.6 0.67
6.0 533.3
Biskuit dan Modifikasinya
Biskuit. Menurut SNI, biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses
pemanasan dan pencetakan. Dalam prosesnya, biskuit juga dapat ditambahkan
dengan bahan tambahan pangan yang dijinkan. Biskuit sifatnya mudah dibawa
karena volume dan beratnya kecil dan umur simpan yang relatif lama. Biskuit
dapt dikarakterisasi dari tingginya kandungan gula dan shortening serta
rendahnya kandungan air di dalam adonan (Faridi & Faubion 1990). Namun
belum ada klasifikasi yang jelas untuk biskuit, bahkan terkadang dijumpai saling
tumpang tindih antara bentuk yang satu dengan lainnya. Hingga saat ini biskuit
diklasifikasikan berdasarkan beberapa sifat yaitu: (1) tekstur dan kekerasan, (2)
perubahan bentuk akibat pemanggangan, (3) ekstensibilitas adonan, dan (4)
pembentukan produk (Manley 1983).
Tabel 4. Syarat mutu biskuit bayi dan balita (SNI 01-4445-1998) tahun 1998
Kriteria Uji (Parameter)
Persyaratan Mutu Disajikan dengan
susu Disajikan tanpa susu
Keadaan(bau,rasa,warna,tekstur) Normal Normal
Kadar Air (% b/b) Minimum 5.0 Minimum 5.0
Kadar Protein (% b/b) Maksimum 6.5 Maksimum 10.0
Kadar Abu (% b/b) Maksimun 2.0 Maksimum 2.0
Kadar Lemak (% b/b) 6.0 – 11.0 6.0 – 11.0
Serat Kasar (% b/b) Maksimum 0.5 Maksimum 0.5
Karbohidrat (% b/b) Minimum 75.0 Minimun 70.0
Kalori (kal/100 g) Minimum 370.0 Minimum 390.0
Bahan Tambahan Makanan
-pewarna dan pemanis buatan Tidak boleh ada Tidak boleh ada
Besi, Fe (mg/kg) Maksimum 140.0 Maksimum 140.0
Kalsium, Ca (% b/b) Maksimum 1.0 Maksimum 1.0
Cemaran logam :
- Timbal, Pb (mg/kg) Maksimum 0.3 Maksimum 0.3
- Tembaga, Cu (mg/kg) Maksimum 5.0 Maksimum 5.0
- Seng, Zn (mg/kg) Maksimum 40.0 Maksimum 40.0
- Timah, Sn (mg/kg) Maksimum 40.0 Maksimum 40.0
- Raksa, Hg (mg/kg) Maksimum 0.03 Maksimum 0.03
- Arsen, As (mg/kg) Maksimum 0.1 Maksimum 0.1
Cemaran Mikroba :
- TPC (koloni/g) Maks 1.0 X 104 Maks 1.0 X 10
- E.coli (APM/g)
4
< 3 < 3
- Salmonela (koloni/25 g) Negatif Negatif
- Staphylococcus aureus (cfu/g) Maks 1.0 X 102 Maks 1.0 X 102
Menurut SNI tahun 1990, biskuit dapat diklasifikasikan menjadi biskuit
keras, crackers, cookies, dan wafer. Biskuit keras dibentuk dari adonan keras
dan memiliki tekstur padat. Crackers adalah biskuit yang dibuat dari adonan
keras melalui fermentasi dan memiliki struktur berlapis-lapis. Jenis yang ketiga
yaitu Cookies merupakan jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak. Sifatnya
lebih renyah karena tesktur yang kurang padat. Wafer adalah jenis biskuit dari
adonan cair dengan sifat yang sangat renyah dan memiliki tesktur yang
berongga.
Modifikasi Biskuit. Menurut Boobier et al. (2006) bahwa biskuit konvensional yang tinggi lemak dan gula, yang diasosiasikan dengan diet tidak
sehat oleh konsumer dapat dimodifikasi. Modifikasi dapat dibentuk dengan
penambahan vitamin B6, vitamin B12, Asam folad, Vitamin C dan Prebiotik fiber,
dengan mengurangi garam dan gula, dengan demikian mengubah produk
makanan tradisonal menjadi produk fungsional. Hasil penelitiannya menunjukkan
biskuit alternatif tersebut, selain tidak hanya diterima oleh konsumen tetapi dapat
juga dibuat dalam skala industri (pabrik) dengan mempertimbangkan kondisi
komersial yang tepat.
Tepung protein ikan lele dan Isolat protein kedelai
Ikan sebagai bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan asam
amino yang diperlukan tubuh. Selain itu mempunyai nilai biologisnya mencapai
90% dan jaringan pengikat sedikit sehingga mudah dicerna serta harganya jauh
lebih murah dibandingkan dengan sumber protein lain. Namun ikan juga memiliki
beberapa kekurangan yaitu 1) Kandungan air yang tinggi (80%), pH tubuh ikan
yang mendekati netral dan daging ikan yang sangat mudah dicerna oleh enzim
autolisis menyebabkan daging sangat lunak sehingga menjadi media yang baik
untuk pertumbuhan bakteri pembusuk dan; 2) Kandungan asam lemak tak jenuh
mengakibatkan daging ikan mudah mengalami proses oksidasi sehingga
menyebabkan bau tengik (Adawyah 2007). Oleh karena itu, diperlukan proses
pengolahan untuk menambah nilai, baik dari segi gizi, bentuk/tekstur, daya awet
maupun ekonomi.
Lele dumbo (clarias gariepinus) merupakan salah satu jenis lele yang
memiliki ukuran besar yang dikembangkan di Indonesia. Protein ikan lele
tergolong istimewa karena bukan hanya berfungsi sebagai penambah jumlah
protein yang dikonsumsi, tetapi juga pelengkap mutu protein. Protein ikan lele
dalam Astawan 2008) yaitu Arginin (6.3%), Histidin (2.8%),Asoleusin (4.3%),
Leusin (9.5%), Lisin (10.5%), Metionin (1.4%), Fenilalanin (4.8%), Treonin
(4.8%), Valin (4.7%), Triptofan (0.8%) dengan total esensial 49.9 % dan non
esensial 50.1%. Tepung ikan merupakan salah satu hasil pengawetan ikan
dalam bentuk kering untuk kemudian digiling menjadi tepung (Ilyas 1993).
Disamping protein, tepung ikan juga kaya akan vitamin B, kalsium (Ca),
phosphor (P), seng (Zn), yodium (I), besi (Fe), mangan (Mn) dan kobalt (Co)
(Moeljanto 1992).
Kedelai merupakan salah satu komoditas penting, yang perlu diupayakan
hingga tercapai swasembada kedelai, tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan
pangan tetapi juga mendukung agroindustri dan menghemat devisa (Kuntjoro
1997). Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang potensial
karena kandungan protein yang tinggi yaitu 40% (Sugano 2006). Isolat protein
kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling murni, karena kadar
protein minimumnya 95% dalam berat kering. Produk ini hampir bebas dari
karbohidrat, serat dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik
dibandingkan dengan konsentrat protein maupun tepung atau bubuk kedelai.
Penggunaan isolat protein kedelai sangatlah luas, diantaranya dapat dipakai
untuk biskuit (Koswara 1995; McWilliam 2001).
Isolat protein kedelai selain sebagai pengikat dan pengemulsi, juga dapat
berfungsi sebagai additif untuk memperbaiki penampakan produk, tekstur, serta
flavor produk. Isolat protein kedelai juga mempunyai kemampuan dalam
menyerap lemak atau minyak yang dapat digunakan untuk dua tujuan yaitu
meningkatkan penyerapan lemak hingga dapat mengurangi kehilangan sari
karena pemasakan dan untuk mencegah penyerapan minyak yang berlebihan.
Kemampuan daya serap air. Isolat protein kedelai juga mempunya kemampuan
serap air yang tinggi. Daya serap air isolat protein kedelai penting peranannya
dalam makanan panggang (baked goods) karena dapat meningkatkan rendemen
adonan dan memudahkan penanganannya. Disamping itu, sifat menahan air
akan memperlama kesegaran makanan, misalnya pada biskuit (Koswara 1995).
Biskuit untuk PMT balita. Hasil-hasil penelitian terkait penggunaan produk makanan berupa biskuit sebagai makanan tambahan pada balita di
Indonesia, diantaranya disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Studi biskuit sebagai PMT balita di Indonesia
Studi Bahan Hasil Sasaran dan
Lama WFP Indonesia- FKM Unair (2008) Biskuit fortifikasi muliti vitamin dan mineral
Penerimaan biskuit oleh balita dan anak sekolah tinggi (92,8%) rasa enak
Terdapat penurunan prevalensi anemia dan semakin lama menerima biskuit, risiko anemia makin kecil.
Anak balita (12-59 bulan) dan usia sekolah dasar.
Intervensi 1 – 25 bulan.
Widayani (2007)
Biskuit fortifikasi
vitamin A dan zat Besi
Terdapat peningkatan kadar retinol dan respon imum, namun tidak terdapat peningkatan status gizi (antropometri)
Balita (18-38 bulan). Intervensi, selama 4 bulan
Pangan Fungsional
Dasar pemilihan terhadap jenis makanan yang akan dikonsumsi, tidak
lagi hanya sekedar dapat memenuhi kebutuhan energi, mengenyangkan perut
atau