• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mempelajari Stabilitas Aktivitas Antimikroba Ekstrak Biji Atung (Parinarium glaberimum Hassk) dengan Pelarut Etil Asetat Teknis selama Penyimpanan Terhadap Staphylococcus aureus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Mempelajari Stabilitas Aktivitas Antimikroba Ekstrak Biji Atung (Parinarium glaberimum Hassk) dengan Pelarut Etil Asetat Teknis selama Penyimpanan Terhadap Staphylococcus aureus"

Copied!
214
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)
(113)

MEMPELAJARI STABILITAS AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK BIJI ATUNG (Parinarium glaben'nwm Hassk)

DENGAN PELARUT ETIL ASETAT TEKNIS

SELAMA

YEN

Y lMPANAN TERtlADAP Staphylococcus aureus

OLEH: ELVIRA SYAMSIR

YHVGHAM PASCA SARTANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(114)

ABSTRAK

ELVIRA SYAMSR. Mempelajari Stabilitas Aktivitas Antimikroba Ekstrak Biji

Atung (Parinarium glaberimum Hassk) Dengan Pelarut Etil Asetat Teknis Selama Penyimpanan Terhadap Staphylococcus uureus. Dibimbing oleh SOEWARNO T.

SOEMTO, RATi'ti DE-*-mTi-~i-YYmi dan mIil-y-mTOO NNO

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi stabilitas antimikroba ekstrak biji atung selama penyimpanan dan menyedakan

data

dasar bagi pengembangan ben- tuk dan cara penyimpanan bahan pengawet pangan dari ekstrak biji atung.

Peneiitian dibagi menjacii empat tanap, yaitu: i j. Pembuatan ekstrak biji atung menggunakan pelarut teknis; 2). pembuatan ekstrak bubk dan ekstrak cair dari ekstrak biji atung; 3). Pembuatan kurva standar aktivitas antimikroba ekstrak biji atung tefha- dap Staphylococcus aureus; dan 4). Pengujian stabilitas antimikroba ekstrak cair dan ekstrak bubuk selama penyimpanan. Pengujian kemurnian pelarut teknis dilakukan de- ngan melihat suhu didih dan komponen non volatil (pada 105'~). Pengujian aktivitas antimikroba dilakukan dengan metode uji difusi agar dan metode kontak. Selain itu ju- ga dilakukan uji kualitatif terhadap komponen fenolik dan terpenoid ekstrak.

Dari penelitian ini didapatkan bahwa kemurnian peiarut teknis untuk mengeks- trak komponen aktif darl suatu bahan, perlu dipertimbangkan. Yerbedaan kemurnian menyebabkan terjadinya modifikasi dalam prosedur ekstraksi, yang dapat menyebab- kan perbedaan aktifitas ekstrak. Pelarut teknis etil asetat yang digunakan untuk eks- traksi-1 (pelarut-1) memiliki tiga suhu didih (77, 79 dan 8 1 ' ~ ) sementara pelarut untuk ekstraksi-2 (pelarut-2) memiliki dua suhu didih (78 dan 79'~). Jumlah komponen non volatil sampai pemanasan pada suhu 1 0 5 ' ~ pelarut-1 sebesar 0,40% dan pelarut-2 sebe- sar 0,16%. Laju penguapan pelarut-2 yang digunakan sebagai larutan pengencer pada suhu 10,30,45 dan 5 5 ' ~ bertvrut-turut adalah 0,017, 0,020, 0,028 dan 0,042 mllhari,

Proses evaporasi dari ekstraksi-1 (E-I) dilakukan pada suhu 7 0 ' ~ sementara ekstraksi-2 (E-2) pada 4 0 ' ~ . Rendemen ekstrak E-1 2,76%, densitas 0,9819 g/ml dan benvarna merah gelap, sementara rendemen ekstrak E-2 2,52% dengan densitas 0,9955 g/ml dan benvarna merah bata. Secara kualitatif kedua ekstrak mengandung komponen fen01 dan terpenoid. Walaupun aktivitas penghambatan kedua ekstrak relatif sama (diameter penghambatan E-I: 22,40 mm dan E-2:22,06 mm) tapi daya bunuhnya ber- beda. Pada konsentrasi 1 % V&stfakNmeQa7 daya bunuh ekstrak E- 1 sebesar 1 ,63 (tingkat

kematian sebesar 97,60%j sementara ciaya bun& ekstrak E-2 sebesar 4,2 (tingkat kematian sebesar 99,YY%).

(115)

Perbedaan kondisi ekstraksi menyebabkan perbedaan stabilitas antimikroba eks- trak selarna penyimpanan dalam bentuk cair (konsentrasi 50% Vekstrak/Vpelarut) Ekstrak

cair E-1 tidak menunjukkan daya bunuh pada uji kontak 24 jam, setelah 30 hari penyimpanan pada suhu penyimpanan 5 5 ' ~ . Pada kondisi yang sama, ekstrak cair E-2 menunjukkan aktivitas penghambatan yang relatif sama dengan yang disimpan pada su- hu yang lebih rendah.

Ekstrak cair E- 1 menunj ukkan dua pola penlbahan aktivitas antimi kroba selama penyimpanan. Penurunan aktivitas penghambatan terjadi pada awal penyimpanan dan diikuti dengan stabilitas aktivitas penghambatan. Pada ekstrak cair E-2, aktivitas peng- hambatan berfluktuasi tetapi cenderung tetap selama 35 hari penyimpanan. Suhu pe- nyimpanan mempengaruhi stabilitas aktivitas antimikroba ekstrak. Peningkatan suhu mempercepat proses perubahan aktivitas.

Pengujian aktivitas antimikroba dengan uji Qfusi agar tidak tepat jika diguna- kan untuk mempelajari perubahan stabilitas aktivitas antimikroba ekstrak kasar selama penyimpanan. Pengujian dengan metode kontak akan memberikan gambaran mengenai stabilitas aktivitas antimikroba dengan lebih baik.

Selama penyimpanan, stabilitas aktivitas antimikroba ekstrak biji atung bentuk cair lebih baik dari bentuk bubuknya. Pada penyimpanan di suhu 30°c, konstanta Iaju penurunan luas daerah penghambatan (nilai k) ekstrak bubuk (-0,027) lebih besar dari ekstrak cair (-0,O 17).

(116)

SURAT

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul:

Mempelajari Stabilitas Aktivitas Antimikroba Ekstrak Biji Atung (Parinarium glaberz-

mum Hassk) Dengan Pelarut Etil Asetat Teknis Selama Penyimpanan Terhadap Stuplzy- lococcus aureus

(117)

MEMPELAJARI STABILITAS AKTMTAS ANTIMIKROBA EKSTRAK BIJI ATUNG (Parinarium glaberimum Hassk)

DENGAN PELARUT ETIL ASETAT TEKNIS

SELAMA PENYIMPANAN TERHADAP Staphylococcus aureus

ELVIRA SYAMSIR

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

MAGISTER SAINS pada

Program Studi Ilmu Pangan

PROGRAM PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(118)

Judul Tesis : Mempelajari Stabilitas Aktivitas Antimikroba Ekstrak Biji Atung (Parinarium glaberimum Hassk) dengan Pelarut Etil Asetat Teknis selama Penyimpanan Terhadap Staphylococcus aureus

Nama Mahasiswa : Elvira Syamsir

Nomor Pokok : 95132

Program studi : Ilmu Pangan

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Prof Dr. Soewamo T. Soekarto, M.Sc (Ketua)

Dr. Ir. ~ t d o 6 Apriyantono, MS Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M. Sc

(At-Q3iwta) (A%%ota)

afrida Manuwoto, M.Sc

(119)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang (Sumatera Barat), 9 Agustus 1969 sebagai anak pertama dari empat bersaudara. Orang tua penulis adalah Bapak dr. Syamsir Ma'aruf dan Ibu Irdawati.

Pada tahun 1988, penulis lulus dari SMAN I Payakumbuh (Surnbar) dan mene- ruskan pendidikan di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknolog Pertani- an, Institut Pertanian Bogor yang diselesaikan pada Maret 1993. Selanjutnya pada ta- hun 1995, penulis mengambil program Master (5-2) pada Program Pasca Sarjana IPB dalam bidang Ilmu Pangan dengan biaya dari Proyek URGE Batch 11.

(120)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, karena pada akhirnya penulis dapat menyele- saikan tesis ini yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Program Magister pada Program Studi Ilmu Pangan, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya ke-

pada Prof. Dr. Soewarno T. Soekarto, MSc, selaku ketua komisi pembimbing yang te- lah banyak memberikan bimbingan dan bantuan selama pembimbingan dan penyusun- an tesis. Demikian juga kepada Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc dan Dr. Ir. Anton Apriyantono, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbing- an dan saran selama penelitian dan penulisan tesis.

Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ketua Jurusan dan seluruh staf pe- ngajar Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi IPB, untuk persahabatan, bantuan dan do- rongan moril yang diberikan sehingga tulisan ini dapat tenvujud setelah sekian lama terkatung-katung. Secara khusus, disampaikan pula terimakasih kepada Resti, Ibu Iin, Mbak Ari, Mbak Sri, Pak Gatot, Ibu Rubiyah, Pak Sobirin, Pak Mulyono dan Mas Nurwanto yang telah membantu jalannya penelitian ini.

Kepada Proyek URGE (University Research for Graduate Education) Batch I1 yang telah memberikan beasiswa selama perkuliahan dan penelitian, penulis sampaikan terimakasih.

Secara khusus, penulis ingin menyampaikan terimakasih dan rasa kasih yang tu- lus kepada suami dan anak tercinta, orang tua terkasih, mertua dan adik-adik untuli se- mua rasa sayang, pengertian, serta dorongan moril dan materil yang telah diberikan se-

lama ini.

Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang membacanya.

(121)

DAFTAR IS1

Halaman

1

.

PENDAHULUAN

...

1

...

A . LATAR BELAKANG 1

...

A . TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN 2

...

I

.

TINJAUAN PUSTAKA 4

...

A . SENYAWA ANTIMIKROBA 4

1 . Spektrum Antimikrobial dan Mekanisme Kerja Antimikroba ... 4 2 . Sifat Fisikokirnia Antimikroba ... 6

...

B . ANTIMIKROBA ALAMl DARI TANAMAN 6

...

C . ATUNG (Parinarium glaberimum Hassk) 9

1 . Tanaman Atung ... 10

2 . Morfologi dan Anatomi Buah Atung ... 10

. . . . . .

3 . Komposisl Kimia B y Atung ... 11

...

4 . Pemanfaatan Biji Atung ... 12 D . DAYA ANTIMIKROBA BIJI ATUNG ... 13 1 . Pengawet Pangan clan Produk Pangan ... 13 2

.

Kajian Terhadap Daya Antimikroba Biji Atung ... 15 E . Staphylococcus aureus ... 19 F . STABILITAS KOMPONEN ANTIMIKROBA SELAMA ...

PENGOLAHAN DAN PENYIMPANAN ... 20 1 . Stabilitas Aktivitas Antimikroba Beberapa Bahan Pangan ... 21 2 . Faktor-Faktor yang Mernpengaruhi Stabiiitas Aktivitas ... 2 2

Antimikroba selama Penyimpanan ... G . KINETIKA REAKSI ... 27 IIL BARAN DAN METODE

...

28

A . BAHAN DAN ALAT ... 28 B . PERSIAPAN ... 29

...

1 . Ekstraksi 2 9

...

2 . Pembuatan Kultur Cair Bakteri 29

...

C . METODE PERCOBAAN 30

...

1 . Percobaan 1 30

...

2 . Percobaan 2 31

...

3 . Percobaan 3 32

...

4 . Percobaan 4 32

...

D . METODE ANALISIS DAN PENGAMATAN 33

1 . Pengujian Aktivitas Antimikroba dengan Metode Difusi Agar ... 33 2 . Pengujian Aktivitas Antimikroba dengan Metode Kontak ... 34 3 . Pengujian Komponen Fenolik secara Kualitatif ... 3 5 4 . Pengujian Komponen Terpenoid secara Kualitatif ... 35

... 5 . Pengujian Kemurnian Pelarut Etil Asetat Teknis 36 6 . Pengujian Laju Penguapan Pelarut Etil Asetat Teknis

...

(122)

.

...

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 37

A . EKSTRAKSI ANTIMIKROBA BIJI ATUNG DENGAN

PELARUT TEKNIS ... 37

1 . Karakteristik Pelarut ... 37 2 . Karakteristik Fisik dari Ekstrak ... 38 3 . Komponen Aktif (Kualitatif) ... 4 1 4

.

Aktivitas Antimikroba Ekstr ak ... 4 1 a . Aktivitas penghambatan ... 4 1 b . Daya bunuh ... 42 B . METODE PENGUJIAN DAN AKTIVITAS ANTIMlKROBA

BIJI ATUNG ... 43 1 . Hubungan antara Mekanisme Penghambatan Antimikroba

dan Metode Pengujian ... 43 2 . Perbandingan Hasil Uji Difusi Agar dengan Uji Kontak ... 45 3 . Karakteristik Aktivitas Antimikroba Ekstrak Biji Atung

... Menggunakan Pelarut Teknis Dilihat dari Hasil Pengujian 46

...

C . PEMBUATAN EKSTRAK CAIR DAN EKSTRAK BUBUK 48

1 . Ekstrak Biji Atung Bentuk Cair ... 48 2 . Ekstrak Biji Atung Bentuk Bubuk ... 50 D . KURVA STANDAR HUBUNGAN KONSENTRASI EKSTRAK ATUNG

... (E- 1 ) DENGAN DIAMETER DAN LUAS D AERAH PENGHAMB ATAN 52

... 1

.

Hubungan Konsentrasi Ekstrak dengan Diameter Penghambatan 52

... 2 . Hubungan Konsentrasi Ekstrak dengan Luas Daerah Penghambatan 53 E . PERUBAHAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA SELAMA

PENYIMPANAN ... 55 ... 1 . Penguapan Pelarut dan Diameter Terkoreksi Ekstrak Cair 59

... 2 . Pengaruh Perbedaan Pelarut terhadap Stabilitas Penyimpanan 60

... 3 . Pengaruh Suhu Penyimpanan pada Stabilitas Antimikroba Ekstrak 65

a . Ekstrak cair E- 1 ... 66 b . Ekstrak cair E-2 ... 6 7

... 4 . Pengaruh Bentuk Ekstrak pada Stabilitas Penyimpanan 68

... a . Laju penurunan aktivitas antimikroba ekstrak 69

b . Kinetika stabilitas aktivitas antimikroba ekstrak E-1

pada awal penyimpanan ... 72 V

.

KESIMPULAN

...

74

DAFTAR PUSTAKA

...

76
(123)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Komponen antimikroba alami yang terdapat didalam tanaman

atau makanan yang berasal dari tanaman.. . . .8 Tabel 2. Tumbuhan obat yang mempunyai efek antimikroba.. . . .9

Tabel 3. Komposisi kimia biji atung.. . .

. .

. . . l l

Tabel 4. Komposisi asam lemak dari lemak biji atung.. . . .12

Tabel 5. Karakteristik ekstrak biji atung hasil ekstraksi bertingkat.. . . .12 Tabel 6. Aktifitas antimikroba dari ekstrak biji atung..

.

. . .

.

. .18

Tabel 7. Aktifitas beberapa bahan antimikroba terhadap S. aureus.. . . . -20 Tabel 8. Karakteristik kondisi proses ekstraksi dan

ekstrak bij i atung yang di hasilkan . . . .39 Tabel 9. Hasil analisis aktivitas antimikroba ekstrak biji atung

terhadap S. aureus. . . .

.

. . .

.

.

.

. . . .42

Tabel 10. Sifat antimikrobial minyak esensial terhadap S. aureus. . . . .46

Tabel 11. Perbandingan aktivitas antimikroba ekstrak cair dan ekstrak

pekatnya terhadap S. aureus. . . .

.

. . .

.

. . . .49

Tabel 12. Aktivitas penghambatan dari ekstrak biji atung bentuk bubuk

terhadap S. aureus . . . .5 1

Tabel 13. Perbandingan diameter pengharnbatan ekstrak bentuk cair

dan bubuk. . .

.

. . .

.

. . .

.5

I Tabel 14. Data pengukuran hubungan diameter penghambatan

dan konsentrasi ekstrak E-1 . . .

.

. . . .53

Tabel 15. Data diameter penghambatan (mm) ekstrak selama

penyimpanan . . .

.

. . .

.

. . .

.

. . .

. .

. . .

. .

. . . .57
(124)

DAFTAR GAMBAR

[image:124.557.69.492.25.745.2]

Halaman

Gambar 1 . Pola pertumbuhan relatif mikroba yang dikontakkan

...

dengan bahan antimikroba 5

...

Gambar 2 . Hidrolisis DEDC pada suhu yang berbeda 24

Gambar 3. Pengaruh penyimpanan bumbu gulai terhadap pertumbuhan

...

relatif S

.

aureus 26

Gambar 4 . Hubungan suhu dan waktu selama destilasi pelarut

...

etil asetat teknis 38

Gambar 5 . Kurva hubungan konsentrasi ekstrak dengan

...

diameter pengharnbatan 53

Gambar 6 . Kurva hubungan konsentrasi ekstrak dengan

...

luas daerah penghambatan 54

Gambar 7

.

Perubahan diameter pengharnbatan yang dibentuk oleh ekstrak

...

cair dan ekstrak bubuk selama penyimpanan 56

...

Gambar 8

.

Daya bunuh ekstrak setelah penyimpanan 58

Gambar 9 . Perubahan konsentrasi ekstrak cair selama penyimpanan ... 59

Gambar 10 . Perubahan diameter penghambatan terkoreksi ekstrak cair ... 60

Gambar 11 . Kurva penurunan aktivitas penghambatan ekstrak

...

E- 1 pa& penyimpanan 3 0 ' ~ di awal penyimpanan 71

...

.

(125)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran la. Data diameter penghambatan pada berbagai konsentrasi

...

ekstrak E-1.. .83

Lampiran 1 b. Analisis regresi untuk pembuatan kurva standar.. ... ..84

Lampiran 2. Data jumlah bakteri uji yang digunakan

dalam

uji difusi

agar selama penyimpanan.. ... .85

Lampiran 3. Diameter penghambatan ekstrak cair E- 1 selama

penyimpanan ... .85

Lampiran 4. Diameter penghambatan ekstrak cair E-2 selama

penyimpanan.. ... .86

Lampiran 5. Diameter penghambatan ekstrak bubuk E-1 selama

penyimpanan ... .86 Lampiran 6a. Aktivitas antimikroba ekstrak cair E-1 selama penyimpanan

(pengujian dengan metode kontak). ... .87 Lampiran 6b. Aktivitas antimikroba ekstrak cair E-2 selama penyimpanan

(126)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pengawet kimia selama ini telah digunakan sebagai barier tarnbahan untuk membatasi jumlah mikroorganisme yang hidup didalam pangan. Penibahan sikap konsumen, kekhawatiran terhadap bahaya keracunan yang mungkin te rjadi karena penggunaan pengawet kimia yang berlebihan, telah memaksa industri pangan untuk menghindari penggunaan pengawet kimia pada produknya, atau mencari alternatif yang lebih alami untuk mempertahankan atau memperpanjang umur simpan produk

(Hill, 1995; Nychas, 1995).

Banyak bahan-bahan di alam mempunyai kemampuan untuk menghambat mikroorganisme. Meningkatnya kebutuhan untuk minimally processed food telah menimbulkan minat banyak peneliti untuk mengeksploitasi komponen antimikroba

alami (Conner, 1993). Hill (1995) juga menyarankan dilakukannya penelitian tentang kemungkinan penggunaan inhibitor alami yang berasal dari tanaman, hewan maupun mikroorganisme.

Menurut Mitscher (1975) didalam Nychas (1995), tanaman merupakan sum- ber komponen antimikroba alternatif yang masih sangat sedikit dieksploitasi. Pada- hal, Wilkins dan Board (1989) yang dikutip oleh Nychas (1995) menyatakan, lebih dari 1389 jenis tanaman merupakan sumber komponen antimikroba yang potensial.

Buah atung (Parinarium glaberimum Hassk), telah sejak lama dimanfaatkan masyarakat Arnbon sebagai campuran makanan, obat diare dan pengawet kayu (Bur- kill, 1935; Heyne, 1987). Nelayan tradisional Maluku memanfaatkan hancuran buah

atung sebagai bahan pengawet ikan (Moniharapon, 199 1).

(127)

sifat antimikroba dengan spektrum aktivitas yang luas (Moniharapon, 1991 ; Moniha- rapon, 1998; Adawiyah, 1998; Saragih, 1998).

Dari penelitian Adawiyah (1998) dan Moniharapon (1998), diketahui bahwa ekstrak atung adalah cairan yang sangat kental dengan berat jenis 0,9876 &m3. Eks- trak yang kental dapat menyebabkan masalah sehingga tidak cocok jika langsung di- aplikasikan kedalam pangan, karena kesulitan yang mungkin timbul dalam proses

pencampuran. Hal ini dapat menyebabkan ketidaktepatan dosis yang digunakan dan akan menurunkan efek antimikroba yang diingnkan.

Menurut Aurand dan Woods (1987), ekstraksi pelarut menghasilkan oleoresin yang bersifat kental dan sukar ditangani. Hal ini dapat diatasi dengan cara mendis- persikan ekstrak kedalam edible carrler, melarutkan dalam pelarut pangan, emulsifi- kasi dan enkapsulasi (Heath dan Reineccius, 1986).

Pada penelitian ini, ekstraksi antimikroba biji atung dilakukan dengan meng- gunakan pelarut teknis. Hal ini bertujuan untuk mensimulasikan proses ekstraksi

komponen antimikroba biji atung pada skala komersial. Ekstrak biji atung yang di- peroleh selanjutnya dibuat dalam bentuk bubuk (pencampuran ekstrak kedalam bahan pengisi) dan bentuk cair (dilarutkan dalarn pelarut pangan) sebagai bentuk alternatif untuk mempermudah penggunaannya, kemudian dikaji stabilitas aktivitas antimikro- banya selama penyimpanan.

B. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan kajian untuk mengevaluasi stabilitas antimikroba

ekstrak biji atung dengan pelarut etil asetat teknis selama penyimpanan. Tujuan pe- nelitian ini secara spesifik adalah sebagai berikut:

1. Menentukan efektifitas pelarut teknis terhadap stabilitas aktivitas antimikroba selama penyimpanan.

2. Mendapatkan data dasar pengaruh perbedaan bentuk ekstrak (ekstrak cair dan

(128)

3. Mendapatkan data stabilitas aktivitas antimikroba atung selama penyimpanan

Kegunaan penelitian ini adalah untuk menyediakan data dasar bagi pengem-

(129)

11. TINJAUAN PUSTAKA

A. SENYAWA ANTIMIKROBA

Senyawa antimikroba adalah bahan pengawet yang berfungsi untuk meng- hambat kerusakan pangan akibat aktivitas mikroba. Penggunaan antimikroba yang tepat dapat memperpanjang umur simpan dan menjamin keamanan pangan. Pemilih- an dan penggunaan antimikroba perlu mempertimbangkan banyak faktor, dan semua kembali pada keseimbangan dari resiko dan keuntungan (Giese, 1994). Faktor-faktor pertimbangan untuk memilih antimikroba yang tepat adalah sifat kimiawi dan anti- mikroba senyawa; sifat dan komposisi produk; sistem pengawetan lain yang diguna- kan selain antimikroba; tipe, karakteristik dan jumlah mikroba didalam produk; aspek legalitas dan keamanan antimikroba; aspek ekonomi penggunaannya dan jaminan bahwa antimikroba tersebut tidak merusak kualitas produk (Giese, 1994; Branen,

1993; Busta dan Foegeding, 1983).

1. Spektrum Antimikroba dan Mekanisme Kerja Antimikroba

Pemilihan awal suatu senyawa antimikroba umumnya didasarkan atas spek- trum antimikrobanya. Senyawa yang diinginkan adalah yang mempunyai spektrum antimikroba luas (Branen, 1993; Busta dan Foegeding, 1983), meskipun ha1 ini sulit dicapai. Beberapa senyawa mempunyai kemampuan untuk menghambat beberapa je- nis mikroorganisme (Branen, 1993), tetapi penghambatan suatu mikroorganisme ka- dang-kadang menyebabkan mikroorganis~ne lain didalam suatu produk menjadi do- minan (Busta dan Foegeding, 1983). Karenanya, senyawa antimikroba terpilih untuk suatu produk sebaiknya aktif untuk semua mikroba yang tidak diinginkan didalam produk tersebut (Busta dan Foegeding, 1 983).

(130)

rusak bakteri dan kapang). Menurut Liick dan Jager (1997), perbedaan dari statik dan sidal adalah dalam kecepatan kematian mikroba. Pola pertumbuhan mikroba relatif jika kontak dengan bahan antimikroba dapat dilihat pada Gambar 1. Penggunaan pengawet untuk jangka waktu yang lama didalam suatu produk pangan, dapat menye- babkan kematian mikroba atau menyebabkan mikroba tumbuh kembali.

I I

Waktu

w

5

.-

c

a

F

0 0 L Y E c a

-

E 3 7

Gambar 1. Pola pertumbuhan relatif mikroba yang dikontakkan dengan bahan antimikroba (Liick dan Jager, 1997).

tidak mengawet daya awet

mikrobiostatis

[image:130.551.68.452.66.741.2]
(131)

2. Sifat Fisikokimia Antimikroba

Spektrum antimikroba, cara kerja dan efisiensi senyawa sangat tergantung kepada sifat fisikokimia senyawa tersebut. Polaritas senyawa merupakan sifat fisik yang penting. Sifat hidrofilik diperlukan untuk menjamin senyawa larut didalam fase air yang merupakan tempat hidup mikroba; tetapi senyawa yang bekerja pada mem- bran sel yang hidrofobik memerlukan pula sifat lipofilik; sehingga senyawa memer- lukan keseimbangan hidrofilik-hidrofobik untuk mencapai aktifitas yang optimal. Si- fat-sifat lain yang perlu diketahui misalnya titik didih senyawa, kemampuan terionisa- si dan reaktifitasnya dengan komponen makanan (Branen, 1993).

Titik didih senyawa akan mempengaruhi aktivitas senyawa antimikroba. Jika produk diproses dengan menggunakan panas, maka komponen antimikroba yang ber- sifat volatil akan menguap dan hilang. Kemampuan komponen untuk terionisasi me- nyebabkan perbedaan yang nyata terhadap aktivitasnya. Ionisasi senyawa antimikro- ba ini tergantung pada pH produk atau medianya. Umumnya, komponen mempunyai aktivitas antimikroba yang rendah pada kondisi pH medium yang menyebabkan kom- ponen terionisasi.

Reaksi antara antimikroba dengan komponen lain yang terdapat didalam pa- ngan penting untuk diketahui. Interaksi antara antirnikroba dengan lemak, protein, karbohidrat atau aditif pangan lainnya dapat menyebabkan turunnya aktifitas kompo- nen antimikroba tersebut (Branen, 1993). Beberapa komponen pangan yang mempe- ngaruhi efektifitas senyawa antimikroba adalah garam, karbohidrat dan alkohol (Luck dan Jager, 1997). Selain itu, reaksi kimiawi tersebut juga dapat menyebabkan pe- nyimpangan flavor dan warna produk.

B. ANTIMIKROBA ALAMI DARI TANAMAN

(132)

Banyak tanaman rempah dan ekstrak tanaman memiliki aktivitas antimikroba, yang disebabkan oleh komponen tertentu yang ada didalamnya (Giese, 1994). Lapor- an tertua (1550 SM) menyebutkan bahwa masyarakat Mesir kuno telah menggunakan rempah sebagai pengawet pangan dan pembalsem mumi (Davidson et al., 1983; Conner, 1993). Dari Wilkins dan Board (1975) seperti disitasi oleh Nychas (1995) diketahui bahwa lebih dari 1389 jenis tanaman merupakan sumber antimikroba yang potensial.

Saat ini, perhatian terhadap antimikroba alarni semakin meningkat karena di- anggap lebih baik, khususnya ditinjau dari keamanan pangan (Nishina et al., 1993). Meskipun demikian, beberapa komponen yang memberikan efek antimikroba, mung- kin juga menyebabkan efek lain yang tidak menguntungkan terhadap pangan, misal- nya toksik atau meningkatkan sifat karsinogen komponen yang lain (Banwart, 1989). Senyawa allyl isothiocyanate didalam allyl mustard oil dalam jumlah besar dapat me- nyebabkan kerusakan kandung kemih. Senyawa ini juga bersifat karsinogen terhadap tikus (Neudecker dan Henschler, 1985 yang disitasi oleh Liick dan Jager, 1997).

Komponen antimikroba tanaman, seringkali terdapat didalam fraksi minyak esensialnya (Nychas, 1995; Giese, 1994; Conner, 1993), yang juga bertanggung ja- wab terhadap aroma dan flavor rempah-rempah. Senyawa fenolik mungkin merupa- kan komponen antimikroba utama didalam minyak esensial tanarnan (Nychas, 1995), walaupun beberapa komponen lain juga menunjukkan aktivitas serupa. Menurut Conner (1993), komponen terpenoid di dalam oleoresin tampaknya juga memiliki ak- tivitas antimikroba.

(133)

aleksin daripada bakteri Gram negatif (Nychas, 1995). Beberapa komponen antimik-

roba yang ada didalam tanaman dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komponen antimikroba alami yang terdapat didalam tanaman atau makanan

yang berasal dari tanaman*

I

Komponen antimikroba

I

Pigmen antosianin Asetaldehida Dimetoksi isoflavon Purotionin

I

Lemak

TanamanIPangan Buah

I

I

Erwinia amylovora,

Organisme yang dihambat Bakteri Jaringan buah Kacang tanah Endosperm gandum - Khainir Aspergillus jlavus Pseudomonas, Xanthomonas, Pecan Barlev

1 Peas I K a ~ a n ~

Corynebacterium Fusicladium effusum A s ~ e r ~ i l l u s

Jagung Bean

Asam lemak bebas Tanin

Kapang

Selulase dari kapang

I

Lu~ulon. humulon. isohumulon

I

Coklat

I

Aspergillus parasiticus

I

Kacang tanah

I

Aspergillus parasiticus

I

HOD

I

Bakteri mam ~ositif

Metilxantin

Sinamaldehid, sitral, perillalde- hid dan sitronellal

Ekstrak

Hidroksi sinamat:

p-coumaric acid

p-methoxy cinnamate

1

Asam kafeat, asam klorogenat *Banwart (1 989)

I

Wortel

I

Aspergillus parasiticus

Biji coklat Minyak esensial

Kacang kedelai

Aspergillus parasiticus

Ka~ang

Sayur dan buah anggur

Curcurma zedoaria

Chycory

Aspergillus parasiticus

S. cerevisiae, E. coli,

S. aureus, B. cereus Tricophyton rubrum, A. Niger, S. cerevisiae, Fusarium nivale

Bakteri

Penelitian tanaman obat telah banyak dilakukan di Indonesia. Beberapa ta-

naman obat yang mempunyai efek anti bakteri dan anti kapang hasil penelitian in

vitro yang dilakukan dibeberapa perguruan tinggi Indonesia, dirangkum oleh Santoso

[image:133.551.70.481.109.583.2]
(134)

C . ATUNG (Parinarium glaberimum Hassk)

Tabel 2. Tumbuhan obat di Indonesia yang mempunyai efek antimikroba*

Di beberapa daerah di Indonesia, tanaman ini dikenal masyarakat dengan na- ma yang berbeda Atung merupakan nama yang dikenal di Maluku, pde' kambing di Aceh, lamo di Makasar, samaka di Bugis dan saya di daerah Ternate (Heyne, 1987).

No 1. 2.

3.

4.

"Santoso (1995) Nama latin Allium sativum L. Alpinia galanga L Alpinia malaccansis Rose Anacardium occidentale L.

Averrhoea carambola L.

Nama Indonesia Bawang putih Lengkuas malaka Jambu mede Belimbing Bagian Umbi Akar Daun, biji Daun Bentuk Ekstrak

-

Ekstrak Ekstrak Ekstrak

~ f e k ~ ) 1

1 2

1 1

(135)

1. Tanaman Atung

Tanaman atung (Parinarium glaberimum Hassk) merupakan tanaman hutan tropis dan tumbuh secara alami (indigenous). Menurut Burkil (1935), tanaman ini terdapat di daerah Jawa, Kalimantan terus kearah timur sampai daerah Pasifik, se- dangkan menurut Heyne (1987), tanaman ini tidak ditemukan di daerah Jawa. Moni- harapon (1991) menyebutkan, tanaman ini terdapat hampir di semua tempat di Ma- luku, terutama didaerah Maluku Tengah.

Pohon atung merupakan pohon yang tumbuh lambat. Ketinggian pohon dapat mencapai 10 m atau lebih dengan diameter 40 cm, dan berbuah sepanjang tahun (Koorders and Valeton, 1913). Kayunya berwarna putih, kasar, keras tapi getas sa- ngat berat dan tidak awet (Heyne, 1987, Burkills, 1935).

2. Morfologi dan Anatorni Buah Atung

Bentuk buah atung menyerupai telur (bulat lonjong) sebesar telur bebek, ber- warna merah gading pudar, coklat atau coklat pudar. Kulit buah keras, setebal jari- jari tangan dengan permukaan yang kasar dan jika buah kering, sebagian kulit akan menjadi retak (Heyne, 1987; De Guzman et al, 1986 dan Adawiyah, 1998). Adawi- yah (1998) membedakan kulit menjadi kulit buah dan daging buah (mesokarp). Me- sokarp buah atung tebal dengan struktur berserat dengan arah vertikal.

Biji atung yang terdapat dibagian dalam buah adalah biji tunggal, sebesar telur ayam tetapi lebih pipih, bentuknya agak keriput dengan tekstur yang sangat keras. Menurut Heyne ( 1 987), biji atung berwarna kelabu sementara menurut Adawi yah (1998), biji atung berwarna coklat tua dan dilapisi oleh serabut tipis berwarna putih.

(136)

3. Komposisi Kimia Biji Atung

Menurut Greshoff yang disitasi oleh Heyne (1987), komponen utama biji atung adalah lemak sebesar 31%. Tanin juga ditemukan didalam biji atung (Burkill,

1935).

Analisis proksimat biji atung telah dilakukan oleh Adawiyah (1998), dan data- nya dapat dilihat pada Tabel 3. Terlihat bahwa lemak merupakan komponen utama biji atung (42.7 %, bb). Kadar tanin biji atung adalah 1.7 % dan menyebabkan eks- trak air biji atung berasa agak sepat dan pahit.

Tabel 3. Komposisi kimia biji atung*

Analisis asam lemak dari lemak biji atung yang dilakukan Adawiyah (1998) menyimpulkan bahwa asam lemak rantai panjang adalah tipe asam lemak yang domi- nan terdapat didalam lemak biji atung, yaitu behenat, palmitat, linoleat, stearat, oleat dan sejumlah kecil asam dokosaheksaenoat (DHA), gadoleat, arakhidat dan linolenat. Komposisi masing-masing asam lemak tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Adawiyah (1998) juga melakukan karakterisasi dari ekstrak biji atung hasil ekstraksi bertingkat (Tabel 5). Hasilnya menunjukkan bahwa kandungan total fenol terbesar ada pada ekstrak heksan-etil asetat-etanol. Menurut Adawiyah (1998), ting- ginya total fenol yang ada didalam ekstrak heksan-etil asetat-etanol disebabkan oleh adanya komponen pigmen (flavonoid) yang turut terekstrak dalam pelarut etanol yang ditandai oleh warna merah gelap dari ekstraknya.

Komponen Air Abu Protein Lemak Serat kasar Pati Tanin

Persentase (% bb) 8 - 13.2

(137)

Tabel 4. Komposisi asam lemak dari lemak biji atung* Nama asam lemak

Palmitat Stearat Oleat Linoleat Linolenat Arakhidat Gadoleat

Konsentrasi (mglg lemak)

Tabel 5. Karakteristik ekstrak biji atung hasil ekstraksi bertingkat* 22:OO

22:06

I

Jenis ekstrak

I

Warna

I

Rendemen

I

Berat jenis

(

Indeks refraksi

I

Total fen01

I

*Adawiyah (1998) Behenat Docosaheksanoat/DHA 27,98 4,27 Heksan Heksan-etil

I

asetat-etanol

1

gelap

I

*Adawiyah (1998) asetat

Heksan-etil

4. Pemanfaatan Biji Atung Kuning Oran ye

Masyarakat Ambon mengenal tanaman atung sebagai tanaman obat dan peng- Merah

awet. Biji atung digunakan untuk membuat kohu-kohu, sejenis makanan yang dibuat

(%I

41,6 1

,o

dari ikan mentah atau goreng, yang dicincang halus dengan parutan biji atung, jahe, 23,7

bawang, cabe dan air jeruk (Heyne, 1987). Menurut Burkill (1935), biji buah atung (dcm3)

0,9229 0,9876

biasa dicampur kedalam makanan untuk obat disentri atau untuk menghilangkan ga- 1,0248

tal-gatal akibat makan ikan.

(29OC) 1,5200 1,0070

Biji atung merupakan obat tradisional untuk menghentikan diare yang daya ( P P ~ )

-

47,6 1,4410

kerjanya sangat kuat, dan untuk menghentikan keputihan serta pendarahan pada wa- 1 138,5

[image:137.551.75.468.111.524.2]
(138)

untuk mencegah rayap dan pembubukan kayu serta untuk menambal perahu yang bocor (Heyne, 1987).

Sebelum penggunaan es balok sebagai pengawet ikan populer dikalangan ne- layan Ambon, buah atung biasa digunakan untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan. Kerusakan ikan dapat diperlambat dan mutu ikan dapat dipertahankan beberapa hari sampai nelayan kembali ke pelabuhan untuk memasarkan ikan (Moniharapon, 1991).

D. DAYA ANTIMIKROBA BIJI ATUNG

Beberapa penelitian rintisan telah dilakukan untuk mengkaji potensi pemanfa- atan biji atung. Dari beberapa penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa biji atung memiliki potensi untuk diteliti lebih lanjut sebagai bahan pengawet.

1. Pengawet Pangan dan Produk Pangan

Potensi atung sebagai pengawet pangan telah diteliti oleh Moniharapon (199 I), Soeherrnan (1997), Saragih (1998) dan Elfi (1999).

a. Pengawetan udang windu

Aplikasi atung sebagai pengawet udang windu (Penaeus monodon Fab) segar telah dilakukan oleh Moniharapon (1991). Diketahui bahwa penggunaan bubuk biji atung dapat meningkatkan umur kesegaran udang windu. Penggunaan hancuran biji atung sebanyak 3-5 % (berat basah) dari berat udang, dapat meningkatkan umur ke- segaran udang dari 5 jam (tanpa perlakuan) menjadi 9 - 10 jam pada penyimpanan di suhu ruang. Jika penambahan bubuk biji atung 5% dikombinasikan dengan penggu- naan es, kesegaran udang dapat dipertahankan sampai 2 hari dan jika dikombinasikan dengan penyimpanan dingin (~OC), dapat mencapai 9 hari. Pada umur simpan terse- but, rupa, tekstur, rasa, pH dan kadar air udang tidak berbeda dengan kontrol.

(139)

di suhu kamar, susut bobot udang windu segar tanpa perlakuan sebesar 4.08%, se- mentara yang diberi atung 5% sebesar 1.79%.

Masalah yang timbul pada penggunaan atung sebagai pengawet udang segar ini adalah tertinggalnya bau khas atung pada udang tersebut. Tetapi, bau ini dapat di- hilangkan dengan pencucian.

b. Pengawetan ikan segar

Penelitian Saragih (1998) menyimpulkan, bahwa atung dapat memperpanjang umur simpan ikan mujair (Tilapia mossambica Peters) dan ikan kembung (Rastrelli- ger sp) segar yang disimpan pada suhu O'C. Aplikasi bubuk atung dengan konsen- trasi 5-1596 pada ikan mujair segar, dapat meningkatkan umur simpannya dari 3 hari menjadi 7 hari. Pada ikan kembung, penambahan bubuk atung sebesar 15% mening- katkan umur simpannya dari 8 hari menjadi 13 hari. Pada akhir penyimpanan, total koloni mikroba kedua jenis ikan masih dibawah batas kerusakan ikan atau kurang da- ri 5 x 10' kolonilgram.

Penggunaan pengawet alami untuk meningkatkan umur simpan ikan segar ju- ga telah dilaporkan oleh Rahayu (1999). Didapatkan bahwa umur simpan ikan kem- bung segar yang disimpan pada suhu 4 ' ~ dapat ditingkatkan dari 5 hari menjadi 7 hari dengan perlakuan perendaman ikan didalam larutan garam 5% selama 3 jam dan dilanjutkan dengan penambahan bubuk lengkuas 2.5% dari berat ikan.

c. Pennawetan ikan vindansz dan ~indang; presto

Pada penyimpanan di suhu ruang, pindang mujair yang ditambahkan bubuk atau ekstrak air biji atung mempunyai umur simpan yang lebih lama dibandingkan dengan kontrol (Saragih, 1998; Soeherman, 1997).

(140)

Penggunaan ekstrak air dari biji atung sebanyak 5 1 5 % dari berat ikan mujair dan kadar garam 18%, meningkatkan umur simpan pindang mujair dari 4 hari (tanpa atung) menjadi 5 hari. Pada pindang ikan kembung, umur simpan selama lima hari dapat dicapai pada penambahan ekstrak sebesar 10-15% dari berat ikan kedalam air pemasak (Saragih, 1998).

Efek pengawetan pindang kembung dengan menggunakan atung yang dilapor- kan oleh Saragih (1998) ini, lebih rendah dari efek pengawetan protamin/K-sorbat seperti telah dilaporkan Nitibaskara (1997). Menurut Nitibaskara (1997), pindang dengan penambahan protamin sebesar 2% (penggunaan garam 20%), masih diterima

oleh panelis setelah penyimpanan 4 rninggu di suhu ruang. Produk yang ditambah- kan protaminIK-sorbat juga mempunyai nilai organoleptik yang baik.

Pada pindang presto ikan kembung, penggunaan ekstrak etil asetat biji atung sebesar 1% dari berat ikan dapat memperpanjang umur simpan produk dari 2 hari menjadi 4 hari (Elfi, 1999).

Bakteri pembusuk yang diisolasi dari ikan pindang oleh Nitibaskara dan Mo- tohiro (1991) bersifat halofilik dan masuk dalam genera Micrococcus, Bacillus, Sta-

phylococcus dan Acinetobacter. Penelitian Moniharapon (1998) melaporkan bahwa

ekstrak atung menghambat bakteri dari genera Micrococcus, Bacillus, Staphylococcus

sementara efektifitas terhadap Acinetobacter tidak diketahui.

Penggunaan bubuk atau ekstrak biji atung pada pembuatan pindang dan pin- dang presto, juga dapat memperbaiki tekstur daging ikan menjadi lebih padat dan kompak (Soeherman, 1997; Saragih, 1998; dan Elfi, 1999).

Kelemahan dari aplikasi bubuk atau ekstrak atung kedalam produk sebelum proses pemanasan adalah menyebabkan terjadinya sedikit penyimpangan citarasa dari ikan pindang dan pindang presto yang dihasilkan. Produk sedikit berbau atung de-

ngan rasa yang agak sepat.

2. Kajian Terhadap Daya Antimikroba Biji Atung

Potensi antimikroba biji atung telah dilaporkan oleh Moniharapon et al.,

(141)

biji atung dalam bentuk ekstrak mempunyai daya antimikroba yang kuat dengan spektrum mikrobial yang luas.

a. Pengaruh umur dan bagian buah terhadap dava antimikroba

Moniharapon et al. (1997), telah mengkaji aktivitas antimikroba dari bagian buah dan umur buah atung. Didapatkan bahwa bagian biji mempunyai daya antimik- roba yang tinggi, sementara bagian kulit buah tidak efektif sebagai antimikroba. Ak- tifitas antimikroba biji dari buah tua (yang jatuh dari pohon) lebih tinggi (2-5 kali) dari biji yang berasal dari buah muda.

Aktivitas antimikroba biji menurun dengan meningkatnya umur simpan buah. Dari hasil uji difusi agar diketahui bahwa aktivitas antimikroba ekstrak dari biji tua yang telah disimpan selama 4 bulan sedikit lebih rendah dari biji tua segar, tetapi masih lebih tinggi dari biji muda (Moniharapon et al., 1997).

b. Pennaruh pelarut terhadau dava antimikroba ekstrak

Pelarut merupakan faktor yang sangat berperan dalam proses ekstraksi. Pela- rut yang baik mampu melarutkan komponen yang diinginkan dan memiliki viskositas rendah untuk memudahkan sirkulasi (Heldman dan Singh, 1980). Pemilihan pelarut untuk memperoleh ekstrak biji atung dengan aktivitas antimikroba yang tinggi telah dilakukan oleh Moniharapon et al. (1997) dan Adawiyah (1998).

Ekstraksi tunggal dengan kepolaran pelarut yang berbeda telah dilakukan oleh Adawiyah (1998). Tiga jenis pelarut yang dicobakan adalah heksan, etil asetat, etanol 95% dan air. Nilai polaritas (E) heksan, etil asetat, etanol dan air berturut-turut adalah

0, 0.38, 0.68 dan 0.9 (Moyler, 1995) dan konstanta dielektriknya berturut-turut adalah 2.00, 6.00, 24.3 dan 78.5 debye (Snyder dan Kirkland, 1979). Seleksi ekstrak dilaku- kan dengan metode difusi agar pada media Nutrient Agar dengan Pseudomonas aeru- ginosa sebagai bakteri uji

(142)

suatu areal bening zona penghambatan tetapi hanya zona dengan kerapatan pertum- buhan mikroba uji yang lebih rendah. Indeks pertumbuhan relatif (log N, / log No) yang diperoleh dengan metode kontak selama 24 jam masih lebih besar dari satu (wa- laupun masih dibawah nilai kontrol). Ini berarti, ekstrak polar tidak cukup efektif un- tuk menghambat pertumbuhan, tetapi dapat memperlambat laju pertumbuhan bakteri uji. Aktivitas antimikroba tertinggi ditunjukkan oleh ekstrak etil asetat. Uji difusi agar menghasilkan zona penghambatan (areal bening) berdiameter 9.1 mm.

Ekstraksi bertingkat dengan 3 tahap ekstraksi dilakukan Adawiyah (1998), de- ngan 3 jenis pelarut: heksan, etil asetat dan etanol 95%. Perlakuan ini dimaksudkan agar zat ekstraktif yang belum diketahui sifat-sifatnya dapat diekstrak secara optimal pada salah satu pelarut yang digunakan (Adawiyah, 1998). Ekstrak yang diperoleh diuji aktivitas antimikrobanya dengan uji difusi agar. Hasil penelitian tersebut me- nunjukkan bahwa proses ekstraksi dengan heksan dimana terjadi penghilangan lemak dapat menghasilkan ekstrak etil asetat dengan aktivitas antimikroba yang lebih baik (diameter zona penghambatan meningkat 2-3 kali ekstrak etil asetat tunggal). Semen- tara itu, ekstrak etanol yang diperoleh dari tahap ekstraksi berikutnya (setelah eks- traksi etil asetat) tidak berbeda dari ekstrak etanol tunggal.

c . Dava antimikroba ekstrak atung

Pengujian yang dilakukan Moniharapon et al (1997) dan Adawiyah (1998) menunjukkan bahwa ekstrak hasil ekstraksi bertingkat heksan-etil asetat dapat meng- hambat pertumbuhan bakteri Gram positif Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus,

Micrococcus luteus dan Enterococcus faecalis; serta bakteri Gram negatif Pseudomonas

aeruginosa, Vibrio cholerae, Eschericia coli B , E. coli C , Salmonella enteritidis dan S.

typhimurium dengan kepekaan berbeda. Pada Tabel 6 dapat dilihat aktivitas antimik-

roba dari ekstrak biji atung.

(143)

Tabel 6. Aktifitas antimikroba dari ekstrak biji atung

punyai spektrum yang luas, maka diduga antimikroba bekerja dengan cara non spe- sifik pada membran sel.

Antimikroba dari ekstrak heksan-etil asetat tampaknya mempunyai aktivitas Sumber (Moniharapon, 1998) (Moniharapon, 1998) (Adawiyah, 1998) (Adawiyah, 1998)

yang sama terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif. Hal ini rnenyebabkan po-

a : UIB = unit inaktivasi bakteri

: MIC = minimum inhibitory concentration

Jenis Ekstrak Heksan Heksan- etil asetat Heksan- etil asetat Etil asetat Keterangan:

tensi antimikroba ekstrak biji atung perlu diteliti lebih lanjut, karena menurut Kubo el

a1 (1995) dan Nychas (1995) sangat sedikit senyawa fitokimia yang berpotensi meng- hambat bakteri Gram negatif. Beberapa ekstrak tanaman yang mempunyai aktivitas antimikroba terhadap bakteri Gram negatif adalah destilat dari ekstrak heksan daun

Mikroba yang Dihambat

B. subtilis,

E. faecalis, M. luteus, S. aureus

E. coli B ,

E. coli C , S. enteriditis B. subtilis, E. faecalis,

M. luteus, S. aureus

E. coli B , E. coli C , S. enteriditis S. typhimurium,

P. aeruginosa

P. aeruginosa V. cholerae

S. typhimurium

P. aeruginosa V. cholerae

S. typhimurium

- data tidak tersedia

Aktivitas

4

pengham- batan (mm)

3 5 7 6,47 4,47 5,40 3,13 3,23 5 3 3 14,80 12,90 8,83 17,17 14,73 13,47 13,20 - - 27,4 32,O 24,2 9,1 16,l 10,8 antirnikroba UIBa (mmlg) 1015 19,O 13,l 15,9 9 2 9 s 15,7 27,4 23,8 14,6 31,7 27,4 24,9 24.8

-

-

5,6 6 5 4,9 7,3 12,9 816 [image:143.555.74.473.107.610.2]
(144)

Ilex paraguayensis (Kubo et al, 1993), komponen flavor dari minyak zaitunlOlea

europaea L (Kubo et al, 1995) dan destilat daun Perilla frutescens (Kang et al, 1992).

E. Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif, yang termasuk dalam ge- nus Staphylococcus dan famili Micrococcaceae, berbentuk bulat (kokus) bisa berupa sel tunggal, berpasangan atau menggerombol seperti buah anggur dan bersifat anae- rob fakultatif. Bakteri ini merupakan kelompok bakteri mesofil dengan suhu pertum- buhan optimal 35-39'~ (Fardiaz, 1989; Banwart, 1989).

S. aureus merupakan rnikroba flora normal yang terdapat pada permukaan tu- buh, seperti pada permukaan kulit, rambut, hidung, mulut dan tenggorokan. Mikroba ini banyak mencemari pangan karena tindakan yang tidak higienis dalam penanganan pangan (Banwart, 1989). Bakteri ini digunakan sebagai bakteri indikator keamanan pangan disamping Salmonella dan Clostridium perfringens (Fardiaz, 1992).

Bakteri S. aureus bersifat patogen dan sering mengkontaminasi makanan se- perti produk-produk daging, ikan, susu, produk-produk olahan susu dan produk da- ging yang diolah dengan kadar garam relatif tinggi. Gejala keracunan makanan oleh

S. aureus berupa diare, mual, muntah, dan kejang perut. Masa inkubasi tergolong singkat, dari 30 menit sampai 8 jam setelah mengkonsumsi makanan yang tercemar (Banwart, 1989).

Ketahanan S. aureus terhadap ekstrak tanaman telah banyak diteliti. Hampir semua minyak esensial dari rempah-rempah memberikan efek penghambatan terha- dap pertumbuhan dan pembentukan toksin dari S. aureus (Nychas, 1995). Pada Tabel 7 dapat dilihat aktivitas penghambatan beberapa antimikroba terhadap bakteri ini.

Perbedaan konsentrasi antimikroba akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap suatu mikroba, termasuk S. aureus. Conner (1993) mensitasi hasil peneliti- an Mantis et a1 (1978) mengenai pengaruh ekstrak bawang putih terhadap S. aureus.

(145)

Tabel 7. Aktivitas beberapa bahan antimikroba terhadap Staphylococcus aureus

I

Jenislbentuk antimikroba

1

Aktivitas antirnikroba

I

Sumber

I

Bubuk lengkuas

Ekstrak kloroform lengkuas Ekstrak kunyit

Ekstrak bawang putih Ekstrak heksan-etil asetat

MIC: 35 mglml Rahayu (1 999)

Biji atung

Ekstrak etanol biji picung

Frutescens

I

Minyak esensial dari Mentha

I

Bakterisidal pada pengenceran

1

Sivropoulou et a1 MIC: 2,5 mglml

Menghambat pada konsentrasi 2 mglml

Menghambat pada konsentrasi 4% MIC: 7,5 mglml

-~kstrak kopi sangrai Robusta

Arabica

Minyak esensial dari Perilla

Rahayu (1999) Suwanto (1983)

Davidson et a1 (1983) Moniharapon (1 998)

MIC: 3,45% Nuraida et a1 (1 999)

MIC: 3-12 pglml MIC: 6- 17 pglml MIC: 125 pglml

Pulegium

Juice kubis yang dipanaskan Pada 12 1 OC, 15 menit

(autoklaf) Bumbu p l a i l

Fluoroquinolone-3s

terhadap S. aureus, sementara jika konsentrasi kurang dari 1 % tidak terjadi pengham- Daglia et a1 (1 994)

Kang et a1 (1 992)

Nisin

batan.

- -

11100

Menghambat pada konsentrasi 0,05%

Menghambat pada konsentrasi 18% (bk)

MIC: 0,2 pglrnl

F. STABILITAS KOMPONEN ANTIMIROBA SELAMA PENGOLAHAN DAN PENYIMPANAN

(1 995)

Kyung et a1 (1997)

Rahayu (1999)

Ito et a1 (1 992)

' ' ~ a m ~ u r a n dari bawang merah, bawang putih, lengkuas, jahe dan kemiri * ' ~ n t u k galur yang resisten terhadap methicillin

MIC: 6,25 pg/rnl2 MIC: 2,5 pglml

Seperti halnya atribut mutu pangan, aktivitas antimikroba juga mengalami pe- Hurst dan Hoover (1 993)

[image:145.561.74.480.99.501.2]
(146)

vitas antimikroba. Pada umumnya, perubahan akan menyebabkan penurunan aktivi- tas, walaupun dalam beberapa kasus menyebabkan peningkatan aktivitas (Houghton dan Raman, 1998).

1. Stabilitas Aktivitas Antimikroba Beberapa Bahan Pangan

a. Ekstrak zaitun

Nychas (1995) yang mensitasi penelitian Fleming et al. (1973) dan Walter et al. (1973) menyebutkan bahwa ekstrak etil asetat dari zaitun tidak hanya mengandung oleuropein (fenolik glukosida), tetapi juga produk-produk hidrolisisnya. Salah satu produk hidrolisis tersebut adalah oleuropein aglikon yang dilaporkan mempunyai ak- tivitas penghambatan terhadap bakteri asam laktat yang lebih besar dari komponen asalnya.

b. Minvak iahe

Terjadinya dekomposisi komponen dapat menyebabkan perubahan warna eks- trak (Houghton dan Raman, 1998). Pada penyimpanan minyak jahe, kontak antara minyak dengan cahaya dan udara menyebabkan peningkatan viskositas, pembentukan residu (polimer) non volatil dan penurunan nilai rotasi optik (Purseglove et al, 1982).

c.

Kor>i

(147)

d. Jus kubis

Komponen antimikroba yang ada didalam jus kubis adalah metil metana tio- sulfinat (MMTSO) yang dibentuk secara enzimatik dari komponen non antimikroba S-metil-L-sistein sulfoksida (SMCSO), asam amino sulfur non protein.

Dari penelitian Kyung et a1 (1997) terhadap aktivitas antibakteri jus kubis pa-

da S. aureus diketahui bahwa juice kubis yang dipanaskan selama 15 menit dalam

autoklave suhu 12 1°c menunjukkan penghambatan terhadap pertumbuhan S. aureus.

Aktivitas penghambatan jus kubis setelah dipanaskan lebih tinggi dari yang ditunjuk- kan oleh jus kubis yang tidak dipanaskan.

Meningkatnya aktivitas jus yang dipanaskan ini bukan disebabkan oleh rusak- nya komponen esensial karena destruksi termal, tetapi karena terbentuknya kompo- nen antimikroba baru metil metana tiosulfonat (MMTS02) pada waktu pemanasan. MMTS02 merupakan hasil degradasi termal dari komponen SMCSO.

Secara enzimatis, MMTS02 juga terbentuk oleh pemecahan MMTSO menjadi dimetil disulfida (DMDS) dan MMTS02 selama penyimpanan jus kubis. Aktivitas antimikroba MMTS02 dilaporkan lebih tinggi dari MMTSO (Kyung et al, 1997).

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stabilitas Aktivitas Antimikroba selama Penyimpanan

Perubahan komponen aktif dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain terjadinya interaksi antar komponen aktif, kondisi proses pengolahan dan penyim- panan, pengaruh dari faktor fisik, adanya katalis (cahaya, kontarninan logam, kondisi asarn atau alkali, panas) yang memicu reaksi yang mengubah komponen aktif, adanya aktivitas enzim atau mikrobiologis dan terjadinya oksidasi karena kontak dengan ok- sigen (Apriyantono, 2001).

Perubahan kimia dari bahan antimikroba terjadi dengan melibatkan komponen aktif dengan faktor lingkungan luar. Proses yang terjadi mungkin berupa reaksi oksi- dasi, hidrolisis, isomerisasi dan polimerisasi. Perubahan ini akan dipercepat jika ter- jadi peningkatan suhu, oksigen, aw dan cahaya selama penyimpanan (Houghton dan

(148)

Umur simpan suatu produk pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ke- adaan alamiah atau sifat dari makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, ukuran kemasan, kondisi atmosfir (suhu dan kelembaban) serta ketahanan keseluruh- an kemasan terhadap gas dan air (Syarief et al, 1989). Aktivitas antimikroba juga di- pengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Faktor yang mempengaruhi stabilitas anti- mikroba adalah pH, suhu, cahaya, oksidator, dan logam berat (Davidson dan Doan, 1993; Sofos dan Busta, 1993). Faktor-faktor ini dapat bereaksi sinergis atau antago- nis dan meningkatkan atau menurunkan aktivitas antimikroba. Berikut akan dijelas- kan pengaruh beberapa faktor l u x pada stabilitas antimikroba selama penyimpanan.

a. Sistem kemasan

Sistem kemasan bahan antimikroba sangat mempengaruhi stabilitas aktivitas antimikrobanya. Penelitian Kohn et a1 (1963) yang disitir oleh Morton (1982) menye- butkan bahwa sifat bakteristatik dari larutan khlorheksidin yang diencerkan dengan air (1:5000) terhadap Pseudomonas dapat berubah selama penyimpanan, dan dipe- ngaruhi oleh kondisi kemasan yang digunakan. Larutan khlorheksidin yang disimpan pada botol bertutup plastik ulir tetap aktif setelah penyimpanan selarna satu tahun. Pada penyimpanan didalam botol dengan sumbat kayu, larutan ini dilaporkan kehi- langan daya antimikrobanya beberapa jam setelah penyimpanan. Bahan didalam sumbat kayu yang diduga menginaktivasi komponen ini adalah tanin, yang menyerap komponen aktif dari larutan.

Paul dan Ohlsson (1985) yang disitir oleh Conner (1993) menyebutkan bahwa larutan encer dari laktoperoksidase, enzim susu yang bersifat bakterisidal, mengalami penurunan aktivitas yang sangat nyata jika disimpan pada gelas kaca.

b. Suhu

Ketahanan senyawa antimikroba sangat bervariasi mulai dari yang peka hing- ga yang sangat tahan terhadap panas. Senyawa berberat molekul rendah umumnya bersifat kurang stabil dan mudah menguap dengan adanya peningkatan suhu. Rahayu

(149)

porkan bahwa aktivitas antimikroba ekstrak lengkuas yang telah mengalami pema- nasan pada 121°C selama 15 menit tetap dapat menahan laju pertumbuhan bakteri B.

cereus selama waktu kontak 6 jam. Hasil penelitian Shashikant et al. (198 1) yang

disitir oleh Rahayu (1999) menyebutkan bahwa aktivitas antimikroba ekstrak bawang putih tetap stabil selama 48 jam jika disimpan pada suhu 37OC dan hanya stabil se- lama 36 jam jika suhu penyimpanan dinaikkan menjadi 58OC.

Paraben (komponen fenolik: metil, propil dan heptil ester dari p- hidroxybenzoic acid) stabil terhadap udara dan resisten terhadap dingin dan panas ter- masuk sterilisasi uap. Larutan paraben pH 3,O dan 6,O stabil pada pemanasan 1 2 0 ' ~ selama 30 menit. Pada larutan paraben pH 8,0, perlakuan yang sama menyebabkan 6% paraben terhidrolisis. Penyimpanan larutan paraben pH 3,0, 6,O dan 8,O pada su- hu 2 5 ' ~ dapat mempertahankan stabilitasnya selama 6 minggu (Davidson, 1993).

Dietil dikarbonat (DEDC) merupakan cairan sterilan yang tidak berwarna de- ngan bau seperti buah. Pada konsentrasi 30-3000 mg/L, DEDC dapat membunuh (100%) bakteri dengan jumlah awal lo2-10' koloni/ml. Peningkatan suhu penyim- panan menyebabkan peningkatan kecepatan hidrolisi DEDC ini seperti terlihat pada Gambar 2 (Ough, 1993).

0 1

0 8 16 24 32

Suhu (C)

(150)

Pada beberapa komponen, stabilitasnya selama penyimpanan dipengaruhi oleh kondisi pH seperti yang ditunjukkan oleh natamisin. Setelah penyimpanan 3 minggu di suhu 30°c, 100% aktivitas natamisin dapat dipertahankan pada pH 5-7, tetapi akti- vitasnya menurun menjadi sekitar 85% pada pH 3,6 dan 75% pada pH 9,O Pada kon- disi penyimpanan normal, suhu hanya memberikan sedikit efek pada aktivitas natami- sin dalam bentuk suspensi aqueous netral. Aktivitas dapat dipertahankan selama be- berapa hari pada penyimpanan disuhu 5 0 ' ~ . Sebaliknya, larutan natamisin encer ti- dak stabil dan mudah terhidrolisis (Brik, 198 1 ; Gist-Brocades, 199 1 yang disitir oleh Davidson dan Doan, 1993).

Kelarutan dan stabilitas nisin terhadap panas, juga sangat dipengaruhi oleh pH larutan. Nisin didalam larutan HCL encer pada pH 2,5 mempunyai kelarutan 12% dan dapat di autoklave tanpa menyebabkan hilangnya aktivitas. Pada pH 5,O kelarutan akan menurun menjadi 4%. Nisin tidak dapat larut pada kondisi pH larutan netral atau alkali, dan penyimpanan di suhu ruang pada kondisi ini akan menyebabkan inaktivasi sifat antimikroba (Hurst dan Hoover, 1993).

Stabilitas antimikroba dari rempah jauh lebih rendah dibandingkan antimikro- ba dalam bentuk murni. Penelitian Rahayu (1999) menyebutkan bahwa penyimpanan bumbu gulai menurunkan aktivitas antimikxobanya terhadap bakteri uji (B. cereus dan

S. aureus), karena terjadinya kerusakan bumbu. Penyimpanan pada suhu yang lebih tinggi akan mempercepat proses kerusakannya (Gambar 3). Pada suhu penyimpanan 3 0 ' ~ bumbu yang disimpan selama 2 hari masih memiliki aktivitas terhadap B. ce- reus dan yang disimpan selama 4 hari masih memiliki aktivitas terhadap S. aureus. Sementara itu, penyimpanan pada suhu rendah ( 8 ' ~ ) dapat mempertahankan aktivitas terhadap B. cereus pada 3 minggu penyimpanan dan terhadap S. aureus masih efektif pada penyimpanan 4 minggu.

c. Bentuk bahan antimikroba

(151)
(152)

G. KINETIKA REAKSI

Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengevaluasi umur simpan dari suatu produk pangan. Hal ini dilakukan dengan mempelajari perubahan dari bebera- pa karakteristik mutu tertentu selama periode penyimpanan. Metode empiris atau pengujian secara analitik dapat dilakukan untuk mengkuantifikasi perubahan dari at- ribut mutu (Singh, 1994).

Penggunaan pendekatan kinetika kimia telah dilakukan untuk model perubah- an dalam produk pangan. Kinetika kimia bertujuan untuk mempelajari laju perubah- an suatu komponen menjadi komponen lain dan faktor yang mempengaruhinya, tanpa memperhatikan mekanismenya (Espenson, 1995). Kecepatan reaksi ditentukan de- ngan memonitor konsentrasi reaktan yang digunakan atau konsentrasi produk yang dihasilkan per unit waktu (Singh, 1994). Jika suatu sifat fisik menunjukkan korelasi dimana perubahannya proposional dengan perubahan konsentrasi reaktan, maka data perubahan fisik ini dapat digunakan sebagai data kinetika (Espenson, 1995).

(153)

II1 BAHAN DAN METODE

A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan

Bahan baku yang digunakan adalah biji buah atung (Parinarium glaberimum Hassk) yang telah dipisah dari buahnya dan telah disimpan selama 8 bulan di refrige- rator. Buah atung diperoleh dari Ambon, Maluku dan diterima dalam kondisi buah tua. Sebagai bahan pengisi dalam pembuatan tepung dari ekstrak antimikroba diguna- kan karboksimetil selulosa (CMC), karagenan

dan

gum

arab.

Bahan kimia yang digunakan untuk ekstraksi komponen aktif adalah pelarut teknis: n-heksan dan etil asetat.

Bakteri yang digunakan untuk pengujian aktivitas antimikroba adalah Sta- phylococcus aureus. Kultur mikroba diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Pa-

ngan Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB, Bogor.

Bahan lain yang digunakan adalah bahan-bahan kimia dan media yang di- gunakan untuk analisis mikrobiologi, antara lain alkohol, NaCl

dan

media dari Difco, yaitu Plate Count Agar (PCA), Nutrient Broth (NB) dan Nutrient Agar (NA).

2. Peralatan

Peralatan yang digunakan meliputi peralatan untuk ekstraksi dan alat untuk

analisis mikrobiologi. Untuk ekstraksi digunakan slicer, alat-alat gelas, pengaduk magnetik, hot plate, peralatan soxhlet, pendingin tegak, vakum rotavapor, penangas

(154)

1. Ekstraksi

Ekstraksi bubuk biji atung dilakukan secara bertingkat, mengikuti prosedur ekstraksi Adawiyah (1998). Ekstraksi pertama dilakukan dengan menggunakan soxh- let dan pelarut heksan teknis yang bertujuan untuk meminimalkan kadar lemak biji atung. Komponen antimikroba diekstraksi dari ampas hasil ekstraksi heksan, dengan

cara refluks menggunakan pelarut etil asetat teknis.

Alat yang digunakan adalah seperangkat soxhlet yang terdiri dari tempat sam- pel, kondensor, labu lemak (tempat pelarut) dan pemanas. Sampel bubuk atung di- tempatkan didalam kertas saring dan dibentuk menjadi silinder sesuai dengan ukuran tempat sampel. Labu lemak diisi dengan pelarut sampai dengan setengah dari volume labu. Proses ekstraksi dilakukan pada suhu 70-78°C selama 30

-

36 jam, sarnpai pe- larut yang kontak dengan sampel tidak lagi berwarna kuning.

Ampas dari ekstraksi heksan kemudian dikering anginkan dan diekstrak (tiga

kali) dengan peiarut etil asetat dengan cara refluks. Ampas biji atung hasil ekstraksi heksan dimasukkan kedalarn labu lemak berleher dua

dan

ditarnbahkan pelarut etil asetat. Perbandingan bubuk dengan pelarut 1 : 3 dan diaduk selarna dua jam (dengan hot plate stirrer) suhu sekitar 60

-

70'~. Selanjutnya dilakukan penyaringan dan

am-

pasnya diekstraksi ulang dengan penambahan pelarut sebanyak pelarut awal. Hasil penyaringan disatukan dan dilakukan penguapan sisa pelarut menggunakan rotavapor.

2. Pembuatan Kultur Cair Bakteri

Gambar

Gambar 1 . Pola pertumbuhan relatif mikroba yang dikontakkan
Gambar 1. Pola pertumbuhan relatif mikroba yang dikontakkan dengan
Tabel 1. Komponen antimikroba alami yang terdapat didalam tanaman atau makanan
Tabel 4. Komposisi asam lemak dari lemak biji atung*
+7

Referensi

Dokumen terkait

Don Burleson (Kittrell, NC) has 20 years of experience as a database administrator and has written 9 books on database management including Oracle SAP Administration

Mobilitas sosial horizontal merupakan peralihan individu atau objek-objek sosial dari suatu kelompok sosial kelompok sosial lainya yang sederajat.Dalam mobilitas

Produktivitas menulis bangsa Indonesia bisa dilihat dari hasil penelitian Alwasilah (Anshori, 2009, hlm. Ini di bawah rata-rata negara berkembang lainnya yang mampu

Hasil penelitian analisis kesulitan materi (siswa kelas X Patiseri di SMK Negeri 9 Bandung) menunjukkan materi ilmu gizi yang paling sulit dipahami adalah materi

Berdasarkan latar belakang diatas maka dilakukan penelitian tentang “ Pembuatan Bahan Ajar Sistem Operasi Berbasis Perangkat Lunak Oracle Vm VirtualBox dengan

„ Permasalahan yang dihadapi Pendidikan Inklusi tidak hanya anak normal akan Permasalahan yang dihadapi Pendidikan Inklusi tidak hanya anak normal akan tetapi juga anak

Tanpa kesadari ada sebuah dorongan dari belakang yang membawa masuk ke rumah itu “aaaaaaa Lili tolong!!!!” ujar Vanessa.. Lili mau menolong tapi Vanessa sudah masuk ke

rL lji Dnnd,DrctrN,rdstrrjlr