• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi pendekatan pendidikan matematika realistik Indonesia dalam proses pembelajaran matematika di kelas VIII C SMP BOPKRI 3 Yogyakarta pada materi persamaan garis lurus tahun ajaran 2012 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi pendekatan pendidikan matematika realistik Indonesia dalam proses pembelajaran matematika di kelas VIII C SMP BOPKRI 3 Yogyakarta pada materi persamaan garis lurus tahun ajaran 2012 2013"

Copied!
215
0
0

Teks penuh

(1)

i

IMPLEMENTASI PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

REALISTIK INDONESIA DALAM PROSES PEMBELAJARAN

MATEMATIKA DI KELAS VIIIC SMP BOPKRI 3 YOGYAKARTA PADA

MATERI PERSAMAAN GARIS LURUS TAHUN AJARAN 2012/2013

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Matematika

Disusun Oleh :

Bernadeta Yunita Kurniasari

NIM : 081414020

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

…..Ku persembahkan karya ini bagi orang

-orang yang

mempunyai tempat di hatiku…….

Teruntuk :

...Tuhan Yesus Kristus

yang selalu setia menemaniku dalam setiap langkah kehidupanku, selalu mendengarkan keluh kesahku, selalu memberi penguatan, dan mengabulkan doa serta permohonanku.

...Bapak dan Ibuku Tercinta

yang telah mendidik, merawat,

dan membesarkanku dengan penuh kasih sayang dan cinta.

…..

Dik Bagus dan Dik Luci

yang selalu memberikan keceriaan di tengah keluarga.

…..

Sahabat-sahabatku

yang selalu memberi warna dalam hidupku.

...Almamaterku Universitas Sanata Dharma

yang telah memberikan

(5)
(6)

vi

ABSTRAK

Bernadeta Yunita Kurniasari, 2013. Pengamatan terhadap Implementasi Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia dalam Proses Pembelajaran Matematika di kelas VIIIC SMP BOPKRI 3 Yogyakarta pada Materi Persamaan Garis Lurus Tahun Ajaran 2012/2013. Skripsi. Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi pendekatan PMRI dan halangan yang dihadapi guru dalam mengimplementasikan PMRI pada materi persamaan garis lurus di kelas VIIIC SMP BOPKRI 3 Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VIIIC dan guru SMP BOPKRI 3 Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013. Instrumen penelitian yang digunakan sebagai alat dalam mengumpulkan data terdiri dari : (1) Lembar pengamatan, (2) Lembar wawancara guru, (3) Alat dokumentasi. Data yang diperoleh kemudian ditranskripsikan dan dianalisis dengan metode kualitatif deksriptif yaitu dengan menyimpulkan hasil pengamatan secara keseluruhan dengan cara kualitatif.

Hasil dari pengamatan menunjukkan bahwa pembelajaran matematika di kelas VIIIC SMP BOPKRI 3 Yogyakarta pada materi persamaan garis lurus belum sepenuhnya mengimplementasikan PMRI, Hal itu dikarenakan beberapa karakteristik dalam PMRI belum nampak secara optimal. Guru sudah memunculkan permasalahan kontekstual, namun hal itu belum optimal sebab siswa tidak diberi kesempatan untuk mengekplorasi pemikirannya. Dalam pembelajaran juga tidak nampak pemodelan yang diharapkan. Guru menggunakan hasil pekerjaan siswa untuk menunjukkan konsep yang hendak dituju, namun kegiatan pembelajaran masih cenderung berpusat pada guru. Interaksi yang terjadi di kelas juga masih belum optimal. Siswa tidak terbiasa untuk mengungkapkan hasil pekerjaannya di depan kelas. Siswa cenderung pasif dan hanya menunggu pembahasan dari guru. Guru mengaitkan pembelajaran dengan pengetahuan yang sudah di dapat siswa pada tahapan pembelajaran sebelumnya. Hambatan yang dihadapi guru dalam mengimplementasikan PMRI adalah : (1) Keterbatasan waktu, (2) Kurangnya ketersediaan materi dari tim PMRI, (3) Kemampuan siswa yang cenderung menengah ke bawah, (4) Kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana.

(7)

vii

ABSTRACT

Bernadeta Yunita Kurniasari, 2013. Observations on the Implementation of PMRI in the Learning Process of Mathematics in Junior High School Class VIIIC BOPKRI 3 Yogyakarta on the Material Straight Line Equation in Academic Year 2012/2013. Thesis. Mathematics Education Study Program, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University, Yogyakarta.

This research is aimed to know the implementation of PMRI approach and add the obstacles faced by teachers in implementing PMRI on a straight-line equation material in class C of the grade VIII SMP BOBKRI 3 Yogyakarta in the academic year 2012/2013. The subjects of this research were the students of class C of the grade VIII and the mathematic teachers of SMP BOBKRI 3 Yogyakarta academic year 2012/2013. The research instruments used in collecting data consists of: (1) observation sheet, (2) teacher interviews sheet, (3) documentation tool. The data were obtained then transcribed and analyzed using descriptive qualitative method by concluding the overall observations qualitatively.

The result of the observation showed that the learning of mathematics in class C of the grade VIII SMP BOBKRI 3 Yogyakarta on a straight-line equation material have not been fully implemented PMRI. The reason was, some characteristics of the PMRI did not seem optimal. Teachers already generating contextual issues, but it was not optimal because the students were not given the opportunity to explore their thoughts. In the learning process there were no expected modeling study. Teachers used the results of student work to demonstrate the intended concept, but still learning activities tend to be centered on the teacher. Interactions that occur in the classroom was still not optimal. Students were not used to express the results of his work in front of the class. Students tend to be passive and just wait for the discussion of teachers. Teacher associated learning with existing knowledge to students in the earlier stages of learning. Barriers faced by teachers in implementing PMRI are: (1) Lack of time, (2) lack of availability of material from PMRI team, (3) ability students tend to lower middle, (4) lack of availability of facilities and infrastructure.

(8)
(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa melimpahkan kasih karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan di Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Selama proses penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah membantu, mendukung, membimbing dan memotivasi penulis. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. 2. Bapak Drs. Aufridus Atmadi, M.Si. selaku Ketua Jurusan Pendidikan

Metematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

3. Bapak Dr. M. Andy Rudhito, S.Pd. selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Matematika.

4. Ibu Veronika Fitri Rianasari, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(10)

x

6. Ibu Dra. Adjeng selaku guru matematika kelas VIIIC SMP BOPKRI 3 Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan dan bantuan selama peneliti melakukan penelitian.

7. Segenap dosen dan karyawan Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Sanata Dharma yang telah membimbing, membantu serta memberikan ilmunya kepada penulis selama belajar di Universitas Sanata Dharma.

8. Keluarga yang selalu mengasihi dan mendukung penulis dengan caranya masing-masing, Bapak Benediktus Basuki, Ibu Margaretha Dwi Sumartini, dik Aloysius Bagus Cahyadi, dan dik Lucia Tri Kurnia Murti.

9. Teman-teman seperjuangan yang telah membantu dan mendukung penulis:

Patricia Endah, Odilia Rani, Agustina Windarwanti, Florentina Erna, Gracia Anggia, Rosiana Monika, Katarina Fitriyani, dan Putri.

10. Teman-teman Pendidikan Matematika angkatan 2008.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti tentang matematika realistik.

Yogyakarta, Agustus 2013 Penulis

(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Pembatasan Istilah ... 4

E. Pembatasan Masalah ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II LANDASAN TEORI ... 8

A. Teori-Teori Belajar ... 8

(12)

xii

2. Teori Bruner ... 10

B. Pengertian Belajar ... 14

C. Pembelajaran Matematika Kontekstual ... 15

D. Teori Konstruktivisme ... 16

E. Realistic Mathematic Education (RME)... 17

F. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) ... 22

G. Standar PMRI ... 29

H. Hambatan dalam Pembelajaran ... 31

I. Kerangka Berpikir ... 32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 35

A. Jenis Penelitian ... 35

B. Subyek Penelitian ... 35

C. Tempat dan Waktu Penelitian... 35

D. Bentuk Data dan Metode Pengumpulan Data... 36

E. Instrumen Penelitian ... 36

F. Metode Analisis Data ... 38

G. Langkah-Langkah Kerja Penelitian ... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA ... 44

A. Deskripsi SMP BOPKRI 3 Yogyakarta ... 44

B. Pelaksanaan Penelitian ... 45

C. Gambaran Proses Pembelajaran Matematika dan Proses Pengamatan .... 46

(13)

xiii

2. Gambaran Proses Pembelajaran Matematika Pada Pertemuan

Kedua ... 58

3. Gambaran Proses Pembelajaran Matematika Pada Pertemuan Ketiga... 71

4. Gambaran Proses Pembelajaran Matematika Pada Pertemuan Keempat ... 81

5. Gambaran Proses Pembelajaran Matematika Pada Pertemuan Kelima ... 94

6. Gambaran Proses Tes Pada Pengamatan keenam ... 108

D. Analisis Pembelajaran Berdasarkan Karakteristik Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia ... 109

1. Penggunaan Konteks ... 109

2. Penggunaan Model Untuk Matematisasi Progresif ... 113

3. Pemanfaatan Hasil Konstruksi Siswa ... 114

4. Interaktivitas ... 121

5. Keterkaitan ... 124

E. Analisis Hasil Wawancara dengan Guru Mengenai Hambatan yang Dihadapi Guru dalam Mengimplementasikan PMRI ... 127

F. Analisis Soal Ulangan Harian Persamaan Garis Lurus ... 133

G. Pembahasan Implementasi Karakteristik PMRI ... 135

H. Pembahasan Hambatan dalam Menerapkan PMRI ... 139

(14)

xiv

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 141

A. Kesimpulan ... 141

B. Saran ... 144

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

(16)

Bertolak dari permasalahan di atas, pada tahun 2001 Indonesia mulai mengembangkan suatu pendekatan baru dalam pembelajaran matematika yang disebut dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) yang diadaptasi dari teori belajar Realistic Mathematics Education (RME) yang sudah berkembang di Belanda. RME muncul dari ide seorang ahli matematika bernama Hans Freudenthal yang mengemukakan bahwa matematika adalah aktivitas manusia, bukan sesuatu yang sudah ada yang dapat ditemukan dengan mencari, namun sesuatu yang dibangun secara aktif dari pengalaman. Oleh karena itu siswa dituntut untuk aktif dalam proses pembelajaran, dan pembelajaran haruslah dimulai dari masalah-masalah yang realistik atau nyata bagi siswa. PMRI tidak sama dengan RME, keduanya memiliki karakteristik yang berbeda karena perbedaan budaya dan realitas di kedua negara tersebut, namun demikian keduanya memiliki landasan yang sama.

(17)

Kini setelah 12 tahun PMRI diterapkan di Indonesia, sudah banyak SD/MIN yang menjadi mitra PMRI. Sekolah-sekolah tersebut tidak hanya berada di pulau Jawa saja, namun sudah tersebar hampir di seluruh bagian di Indonesia. Selama 12 tahun tersebut, sudah banyak siswa-siswi dari SD/MIN yang menerapkan PMRI telah lulus dan melanjutkan ke jenjang SMP/MTs. Oleh sebab itu, pada tahun 2010, PMRI mulai diperkenalkan pada guru-guru SMP/MTs, supaya siswa-siswi yang berasal dari SD/MIN yang sudah mengenal cara pembelajaran PMRI, dapat melanjutkan cara belajar dengan PMRI di SMP/MTs. Beberapa sekolah SMP/MTs di Yogyakarta dirangkul untuk menjadi mitra dari tim PMRI Universitas Sanata Dharma. SMP BOPKRI 3 Yogyakarta adalah salah satu SMP di Yogyakarta yang menjadi mitra tim PMRI Universitas Sanata Dharma, dan telah beberapa kali mengikuti pelatihan serta workshop PMRI.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai “PENGAMATAN TERHADAP IMPLEMENTASI PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

REALISTIK DALAM PROSES PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI

SMP BOPKRI 3 YOGYAKARTA”

B. Rumusan Masalah

(18)

1. Bagaimana karakteristik PMRI direalisasikan dalam kegiatan pembelajaran matematika di kelas VIII SMP BOPKRI 3 Yogyakarta sebagai mitra tim PMRI Universitas Sanata Dharma Yogyakarta? 2. Apa kendala atau hambatan yang dihadapi guru dalam menerapkan

PMRI pada kegiatan pembelajaran matematika di kelas VIII SMP BOPKRI 3 Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan di atas, penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui realisasi karakteristik PMRI dalam kegiatan

pembelajaran matematika di kelas VIII SMP BOPKRI 3 Yogyakarta sebagai mitra tim PMRI Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 2. Mengetahui kendala atau hambatan yang dihadapi oleh guru dalam

menerapkan PMRI pada kegiatan pembelajaran matematika di kelas VIII SMP BOPKRI 3 Yogyakarta.

D. Pembatasan Istilah

(19)

1. Belajar adalah suatu aktivitas dan pengalaman yang dilakukan oleh individu terhadap lingkungan yang melibatkan proses kognitif, yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, dan nilai sikap.

2. Implementasi adalah penerapan. Implementasi PMRI adalah penerapan PMRI dalam pembelajaran matematika yang dilihat dari penerapan karakteristik PMRI.

3. Pembelajaran adalah proses, cara, menjadikan orang untuk belajar. Pembelajaran dalam dunia pendidikan dapat dituliskan sebagai suatu kegiatan yang utuh antara guru sebagai pengajar dengan siswa sebagai pelajar untuk sama-sama belajar.

4. Hambatan adalah halangan atau rintangan. Hambatan dalam pembelajaran

adalah halangan atau rintangan yang ada dalam proses pembelajaran, baik itu halangan guru dalam mengajar, ataupun halangan siswa dalam belajar.

5. Pendekatan adalah cara umum memandang suatu masalah atau objek kajian (Marpaung; 1992).

6. PMRI adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran

(20)

E. Pembatasan Masalah

Pada penelitian ini masalah yang akan dibahas dibatasi pada realisasi karakteristik PMRI dan hambatan yang dihadapi guru dalam menerapkan PMRI pada proses pembelajaran matematika di kelas VIII SMP Bopkri 3 Yogyakarta pada materi Persamaan Garis Lurus, sebagai mitra tim PMRI Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Bagi Peneliti

Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah wawasan peneliti mengenai penerapan PMRI dalam kegiatan pembelajaran dan mengetahui hambatan yang dihadapi oleh guru dalam menerapkan PMRI di sekolah, sehingga nantinya dapat digunakan oleh peneliti sebagai bekal menjadi calon seorang guru untuk memperbaiki penerapan PMRI dan mengatasi hambatan dalam penerapannya.

2. Bagi Guru

Bagi guru, penelitian ini dapat membantu guru untuk mengetahui, menilai, dan mengevaluasi sejauh mana PMRI diterapkan dalam pembelajaran

(21)

3. Bagi Universitas

Bagi Universitas, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi untuk lebih membina dan memperhatikan perkembangan mitra tim PMRI Universitas Sanata Dharma dalam mengimplementasikan PMRI pada pembelajaran matematika, sehingga PMRI dapat direalisasikan dengan baik.

4. Bagi Pembaca

(22)

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Teori – Teori Belajar

1. Teori Piaget

Dalam Teori Piaget yang berhubungan dengan proses berpikir sebagai suatu perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual kongkrit ke abstrak (dalam Hudojo 1981), sangat bermanfaat bagi teori belajar dari segi perkembangan kognitif. Piaget mengelompokkan tahap perkembangan intelektual manusia menjadi empat tahap, yaitu :

a. Tahap sensori-motor (0-2 tahun) b. Tahap pra-operasional (2-7 tahun) c. Tahap operasional kongkrit (7-11 tahun) d. Tahap operasional formal (11 tahun ke atas)

(23)

Piaget (dalam Hudojo 1981) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan intelektual, yaitu :

a. Pertumbuhan psikologis dari otak dan sistem syaraf merupakan suatu faktor penting di dalam perkembangan intelektual pada umumnya. Proses pertumbuhan ini disebut kematangan. Piaget juga mengenal pentingnya pengalaman di dalam pengembangan intelektual. Piaget mengidentifikasi dua macam pengalaman, yakni :

1) Pengalaman fisik merupakan interaksi setiap individu dengan

obyek-obyek di lingkungannya.

2) Pengalaman logika matematika (logico-mathematics) adalah

kegiatan mental yang ditampilakn perorangan dan struktur kognitifnya disusun kembali menurut pengalaman-pengalamannya.

b. Transmisi sosial adalah interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain. Hal ini amat penting bagi perkembangan logika anak. Piaget percaya bahwa operasi formal tidak akan berkembang di dalam pikiran tanpa adanya pertukaran dan koordinasi pendapat di antara orang-orang.

(24)

akomodasi. Sebagai hasil dari penyetimbangan, struktur mental berkembang dan menjadi matang.

Bagi Piaget, ketiga faktor di atas mempengaruhi perkembangan intelektual. Masing-masing faktor itu harus ada agar seorang anak berkembang dari satu tahap ke tahap berpikir yang lebih tinggi.

2. Teori Bruner

Jerome Bruner (dalam Hudojo 1981 : 29) berpendapat bahwa belajar matematika yang cocok ialah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur yang terdapat di dalam bahasan yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur. Pemahaman terhadap konsep dan struktur sesuatu bahasan menjadikan bahasan itu lebih komprehensif. Selain itu siswa juga lebih mudah mengingat materi bahasan itu bila yang dipelajari itu merupakan pola yang berstruktur. Dengan mengenal konsep dan struktur pada materi, akan mempermudah siswa untuk memahami materi tersebut.

(25)

belajar sangat dibutuhkan. Siswa akan lebih bersemangat untuk belajar, ketika proses pembelajaran ini berlangsung di tempat yang dilengkapi dengan benda-benda yang dapat digunakan untuk manipulasi oleh siswa.

Bruner (dalam Hudojo 1981) mengemukakan bahwa dalam perkembangannya, siswa akan melalui tiga tahap, yaitu :

a. Tahap Enaktif

Pada tahap ini, siswa dihadapkan langsung pada obyek yaitu alat peraga matematika yang dapat membantu siswa untuk memahami materi yang sedang dipelajari. Dengan alat peraga tersebut, siswa dapat menggunakannya sebagai alat bantu dalam belajar.

b. Tahap ikonic

Dalam tahap ini, kegiatan siswa akan berkenaan dengan mental, yang merupakan gambaran dari obyek-obyek (alat peraga). Pada tahap ini, siswa sudah dapat menggambarkan gambaran dari sifat-sifat pada benda (alat peraga) tersebut. Misalnya, pada saat belajar matematika, seorang siswa sudah mampu menggambarkan suatu benda dari soal cerita untuk kemudian digunakan menjawab soal cerita, sehingga gambaran tersebut dapat membantu siswa dalam memahami suatu permasalahan.

c. Tahap simbolik

(26)

dua tahap sebelumnya. Pada tahap ini, siswa telah mampu menggunakan symbol atau notasi tanpa perlu mengandalkan obyek real.

Selanjutnya Bruner (dalam Hudojo 1981) merumuskan empat teorema umum tentang belajar matematika sebagai berikut :

a. Teorema konstruksi

Teorema konstruksi menyatakan bahwa cara terbaik bagi seorang siswa untuk mulai belajar konsep, prinsip atau aturan di dalam matematika adalah dengan mengkonstruksi konsep, prinsip atau aturan itu. Untuk dapat menciptakan suatu ide atau gagasan tertentu dalam pikiran siswa, siswa diharuskan untuk menguasai konsep-konsep terlebih dahulu, dengan cara mencoba melakukannya sendiri. Sehingga apabila siswa aktif dan terlibat pada kegiatan yang dilakukan untuk mempelajari dan memahami konsep, maka siswa akan lebih memahami konsep tersebut.

(27)

b. Teorema Notasi

Teorema notasi menyatakan bahwa konstruksi permulaan dibuat lebih sederhana secara kognitif dan dapat dimengerti lebih baik oleh para siswa jika konstruksi itu merupakan notasi yang cocok dengan tingkat perkembangan mental siswa. Dengan sistem notasi tersebut, memungkinkan pengembangan ide-ide yang berupa prinsip-prinsip dan bahkan kreasi prinsip-prinsip-prinsip-prinsip baru.

c. Teorema kekontrasan dan variasi

Teorema kekontrasan dan variasi menyatakan bahwa prosedur belajar ide-ide matematika yang berjalan dari konkrit menuju yang lebih abstrak haruslah disertakan pertentangan dan variasinya. Suatu konsep matematika biasanya akan berarti bagi siswa bila konsep itu dibandingkan dengan konsep yang lain.

d. Teorema konektifitas

Teorema konektifitas menyatakan bahwa di dalam matematika, setiap konsep, struktur dan ketrampilan dihubungkan dengan konsep struktur dan ketrampilan yang lain.

(28)

hanya sekedar belajar dengan stimulus-respon. Dengan demikian potensi intelektualnya berkembang. Dengan belajar bagaimana menemukan, siswa akan lebih mudah mengingat struktur-struktur atau rumus-rumus yang telah ditemukannya. Dengan demikian faktor memori mendapat perhatian sepenuhnya dalam proses belajar.

B. Pengertian Belajar

Pengertian belajar menurut beberapa ahli, antara lain :

1. Belajar adalah proses memperoleh pengetahuan, belajar adalah suatu

perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat. (Rebber, dalam Muhibbin 2008 : 66)

2. Belajar dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu

yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. (Muhibbin 2008 : 68)

3. Belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, ketrampilan dan nilai-nilai sikap yang bersifat relatif konstan dan berbekas. (Winkel 1996 : 53)

(29)

C. Pembelajaran Matematika Kontekstual

Matematika kerap dianggap sebagai hal yang abstrak bagi banyak siswa. Kurangnya keterkaitan antara pelajaran matematika di sekolah dengan kehidupan sehari-hari siswa, membuat siswa malas dan enggan untuk mempelajari matematika lebih mendalam. Hal ini mendorong berkembangnya pemikiran bahwa pembelajaran matematika sebaiknya bersifat kontekstual, dimana pembelajaran matematika sebaiknya dijalankan dengan menggunakan konteks pada dunia nyata. Konteks dalam dunia nyata, tidaklah harus selalu menggunakan peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi, namun dapat juga dengan menggunakan peristiwa atau kejadian yang dapat dibayangkan dan sesuai dengan tahap perkembangan siswa.

Dalam Suwarsono (2002) manfaat pembelajaran matematika secara kontekstual, dijabarkan secara eksplisit sebagai berikut :

1. Menumbuhkembangkan kesadaran dalam diri siswa, bahwa sekalipun konsep-konsep dalam matematika itu bersifat abstrak, namun pembentukan dan pengembangan konsep-konsep tersebut seringkali berdasar pada fenomena-fenomena yang ada di dunia nyata.

(30)

3. Memberikan pemahaman pada siswa mengenai hal-hal yang terkait dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.

4. Memberikan pemahaman pada diri siswa mengenai aspek-aspek yang terkait dengan masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang ada dalam kehidupan sehari-hari, dan bagaimana matematika bisa berperan dalam membantu manusia untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut atau menganalisis peristiwa-peristiwa tersebut. 5. Meningkatkan motivasi siswa dalam mempelajari matematika. Ini

didasarkan pada adanya pemahaman pada diri siswa mengenai manfaat matematika bagi kehidupan sehari-hari mereka.

D. Teori Konstruktivisme

(31)

Peran guru yang dibutuhkan oleh siswa dalam membangun konstruksi berpikirnya adalah dengan memberikan sedikit struktur, petunjuk, dorongan untuk terus mencoba, dan sebagainya. Terkadang seorang siswa mendapati kesulitan untuk menyelesaikan suatu masalah secara sendiri, dia akan dapat menyelesaikannya dengan baik apabila mendapat bantuan dari seseorang yang lebih dewasa atau berkolaborasi dengan teman yang lebih pandai. Dalam pemikirannya, siswa dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi, tetapi ia tidak dapat menjelaskannya. Oleh karena itu peran serta guru untuk mendampingi siswa sangat dibutuhkan.

E. Realistic Mathematic Education (RME)

Realistic Mathematics Education (RME) adalah suatu pendekatan

pembelajaran matematika yang dikembangkan di Belanda, sebagai reaksi terhadap gerakan matematika modern yang waktu itu dipelopori oleh Negara Amerika. Dalam Marpaung (2011), Realistic Mathematic Education (RME) pertama kali dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970, berdasarkan ide dari Hans Freudenthal seorang ahli matematika di Belanda. Hans Freudental berpendapat bahwa matematika adalah aktivitas manusia (human activity)(de Lange, 1999; Gravemeijer; 1994; van den Heuvel-Panhuizzen, 1996; dalam makalah Marpaung, 2003).

(32)

dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Yang dimaksud dengan aktivitas disini terutama adalah aktivitas mental. Mereka yang belajar harus aktif merekonstruksi atau menemukan kembali (reinvite) pengetahuan itu di dalam pikirannya dengan merepresentasikannya dengan berbagai cara. Atas dasar tersebut, de Lange menggambarkan sifat RME dalam suatu model sebagai berikut :

Gambar 2.1 Matematisasi konseptual

Dari gambar di atas, hendak dijelaskan bahwa pembelajaran sebaiknya dimulai dari masalah-masalah yang realistik/kontekstual. Kemudian siswa diberi kesempatan untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka masing-masing, sesuai dengan pola berpikirnya. Siswa kemudian diberi kesempatan untuk sharing dan mengemukakan hasil pekerjaannya masing-masing. Guru membimbing siswa untuk menarik kesimpulan dari hasil pekerjaan siswa. Secara perlahan siswa dilatih untuk menemukan dan membangun konsep dari kesimpulan yang telah didapat, dan kemudian digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah kontekstual.

Situasi realistik

Matematisasi dalam

aplikasi dan refleksi

Abstrak, formal

Konsep

(33)

1. Prinsip - Prinsip Realistic Mathematic Education a. Menurut Gravemeijer (1994)

Gravemeijer mengungkapkan tiga prinsip utama pendidikan matematika realistik sebagai berikut :

1) Penemuan Terbimbing dan Matematisasi Progresif (Guided Reinvention and Progressive Mathematization)

Diupayakan agar dalam mempelajari matematika, siswa mempunyai pengalaman menemukan sendiri berbagai konsep dan prinsip, dengan bimbingan guru.

2) Fenomenologi Didaktis (Didactical Phenomenologhy)

Dalam mempelajari konsep dan prinsip pada matematika, siswa bertolak dari masalah-masalah kontekstual.

3) Mengembangkan Model-model Sendiri (Self-Developedmodel) Dalam mempelajari konsep, prinsip dan materi matematika yang bertolak dari permasalahan kontekstual. Karena bermula dari masalah kontekstual dan akan menuju pada bentuk matematika formal, maka siswa diberi kebebasan untuk memilih, menggunakan, dan mengembangkan model penyelesaian yang akan digunakan oleh siswa untuk menyelesaikan masalah yang diberikan.

b. Menurut Van den Heuvel-Panhuizen (1999)

(34)

1) Prinsip aktivitas (activity principle)

Prinsip aktivitas menyatakan bahwa matematika adalah aktivitas manusia, sehingga matematika paling baik dipelajari dengan melakukannya sendiri. Siswa haruslah aktif, baik secara fisik maupun mental dalam pembelajaran matematika. Siswa tidak hanya pasif menerima apa yang disampaikan oleh guru, tetapi aktif, baik secara fisik maupun secara mental dengan mengolah dan menganalisis informasi, serta mengkonstruksi pengetahuan matematika mereka.

2) Prinsip realitas (reality principle)

Prinsip realitas menyatakan bahwa pembelajaran matematika sebaiknya dimulai dari masalah-masalah dunia nyata yang dekat dengan pengalaman siswa. masalah realistik lebih menarik bagi siswa daripada masalah formal. Apabila pembalajaran dimulai dengan masalah-masalah yang konkrit dan bermakna bagi mereka, maka siswa akan tertarik untuk belajar. Kemudian siswa dibimbing ke masalah-masalah matematis formal.

3) Prinsip penjenjangan (level principle)

(35)

mampu menemukan solusi suatu masalah matematis secara formal. Model yang pada mulanya merupakan gambaran dari suatu situasi, berubah melalui abstraksi dan generalisasi menjadi model untuk semua masalah yang ekuivalen.

4) Prinsip jalinan (inter-twinement)

Prinsip jalinan menyatakan bahwa materi matematika di sekolah sebaiknya tidak dipandang sebagai aspek-aspek yang terpisah, melainkan sebagai suatu kesatuan yang terjalin satu sama lain, sehingga siswa dapat melihat hubungan antara materi yang satu dengan yang lain. Secara psikologis, segala sesuatu yang saling berkaitan akan lebih mudah diingat dan dipahami daripada hal-hal yang tidak terkait antara satu dengan yang lain.

5) Prinsip interaksi (interaction principle)

(36)

6) Prinsip bimbingan (guidance principle)

Prinsip bimbingan menyatakan bahwa siswa perlu diberi kesempatan untuk menemukan kembali pengetahuan matematika, dan guru membimbing siswa dalam mengkonstruksikan pengetahuannya.

F. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia) adalah suatu gerakan inovasi yang berusaha memperbaiki kualitas pendidikan matematika di Indonesia, terutama pendidikan matematika di sekolah. PMRI yang sedang mulai diimplementasikan pada beberapa SMP merupakan hasil adaptasi dari Realistic Mathematic Education (RME). PMRI mempunyai banyak kesamaan

dengan RME, namun ada beberapa perbedaan dikarenakan konteks budaya dan lingkungan yang berbeda.

Landasan filosofi PMRI juga mengacu dari pendapat Hans Freudenthal yang mengemukakan bahwa matematika merupakan aktivitas manusia (human activity), bukan sesuatu yang sudah ada dan ditemukan dengan mencari, tetapi

(37)

PMRI tidaklah identik dengan RME. Prinsip dalam PMRI mengacu dari prinsip-prinsip RME yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Adapun beberapa karakteristik PMRI adalah sebagai berikut :

Treffers (1987) (dalam Ariyadi 2012 : 21) merumuskan lima karakteristik Pendidikan Matematika Realistik yang juga dipakai sebagai karakteristik PMRI, yaitu :

a. Penggunaan konteks

Konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata, namun bias dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut bermakna dan bisa dibayangkan dalam pikiran siswa.

b. Penggunaan model untuk matematisasi progresif

Dalam Pendidikan Matematika Realistik, model digunakan dalam melakukan matematisasi secara progresif. Penggunaan model berfungsi sebagai jembatan (bridge) dari pengetahuan dan matematika tingkat konkrit menuju pengetahuan matematika tingkat formal.

c. Pemanfaatan hasil konstruksi siswa

(38)

Siswa memiliki kebebasan untuk mengembangkan strategi pemecahan masalah sehingga diharapkan akan diperoleh strategi yang bervariasi. Hasil kerja dan konstruksi siswa selanjutnya digunakan untuk landasan pengembangan konsep matematika.

d. Interaktivitas

Proses belajar seseorang bukan hanya suatu proses individu melainkan juga secara bersamaan merupakan suatu proses sosial. Proses belajar siswa akan menjadi lebih singkat dan bermakna ketika siswa saling mengkomunikasikan hasil kerja dan gagasan mereka.

e. Keterkaitan

Konsep-konsep dalam matematika tidak bersifat parsial, namun banyak konsep matematika yang memiliki keterkaitan. Oleh karena itu, konsep-konsep matematika tidak diperkenalkan kepada siswa secara terpisah atau terisolasi satu sama lain. Pendidikan Matematika Realistik menempatkan keterkaitan (intertwinement) antar konsep matematika sebagai hal yang harus dipertimbangkan dalam proses pembelajaran. Melalui keterkaitan ini, satu pembelajaran matematika diharapkan bisa mengenalkan dan membangun lebih dari satu konsep matematika secara bersamaan.

Sedangkan Marpaung (2008) menjabarkan karakteristik PMRI sebagai berikut :

(39)

Menurut Freudenthal, penggagas pembelajaran realistik, matematika adalah aktivitas manusia (human activity). Itu berarti, bahwa ide-ide matematika ditemukan orang (pebelajar) melalui kegiatan/ aktivitas. Aktif di sini berarti aktif berbuat (kegiatan tubuh) dan aktif berpikir (kegiatan mental). Jadi konsep-konsep matematika ditemukan lewat sinergi antara pikiran (fungsi otak, abstrak) dan tubuh (jasmani, konkrit atau real).

b. Pembelajaran sedapat mungkin dimulai dengan menyajikan masalah kontekstual/ realistik

Siswa akan memiliki motivasi untuk mempelajari matematika bila dia melihat dengan jelas bahwa matematika bermakna atau melihat manfaat matematika bagi dirinya. Salah satu manfaat itu ialah dapat memecahkan masalah yang dihadapi. Jadi masalah kontekstual atau realistik adalah masalah yang berkaitan dengan situasi dunia nyata (real) atau dapat dibayangkan oleh siswa.

c. Berikan kesempatan pada siswa menyelesaikan masalah dengan cara

sendiri (siswa mengembangkan strategi sendiri)

(40)

informasi sebagai petunjuk arah yang dapat dipilih siswa untuk dilalui. Itupun dilakukan jika semua siswa tidak mempunyai ide bagaimana menyelesaikan masalah.

d. Guru berusaha menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan

Dengan menciptakan suasana yang menyenangkan dan menghargai anak-anak sebagai manusia maka perlahan-lahan sikap dan motivasi siswa dapat dikembangkan dan hal ini akan memberikan dampak meningkatkan prestasi belajar mereka.

e. Siswa dapat menyelesaikan masalah secara individu atau dalam

kelompok (kecil atau besar)

(41)

dengan guru merupakan cara mendapatkan pengetahuan yang baik dan efektif.

f. Pembelajaran tidak perlu selalu di kelas (bisa di luar kelas, duduk di lantai, pergi ke luar sekolah untuk mengamati atau mengumpulkan data)

Rasa bosan mengurangi ketertarikan untuk mendengarkan atau berbuat sesuatu, termasuk untuk berpikir. Orang memerlukan variasi untuk merangsang organ-organ tubuh melakukan fungsinya dengan baik. Variasi ini juga dapat membuat suasana yang menyenangkan dalam belajar. Susunan tempat duduk yang sama terus menerus, suasana ruang yang sama terus menerus, cara belajar di kelas yang sama terus menerus, dan penampilan guru yang sama terus menerus menimbulkan rasa bosan pada siswa. Oleh karena itu guru perlu berpikir untuk selalu melakukan variasi pembelajaran: variasi susunan tempat duduk, variasi dekorasi kelas, variasi penampilan guru, variasi metode pembelajaran dan sebagainya. Perlu ada perencanaan yang dilakukan oleh guru, kalau perlu dengan meminta usul dan saran dari siswa.

g. Guru mendorong terjadinya interaksi dan negosiasi

(42)

kesalahan dalam menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah, jangan menertawakan, tetapi menghargai pendapatnya.

h. Siswa bebas memilih modus representasi yang sesuai dengan struktur kognitifnya sewaktu menyelesaikan suatu masalah (menggunakan model)

Pemahaman siswa dapat diamati dari kemampuannya menggunakan berbagai modus representasi (enaktif, ikonik atau simbolik) untuk membantunya menyelesaikan suatu masalah. Dalam pembelajaran matematika di SD hendaknya siswa tidak cepat-cepat dibawa ke level formal, tetapi diberi banyak waktu bermain atau berbuat dengan menggunakan benda-benda konkrit, manipulatif atau model-model.

i. Guru bertindak sebagai fasilitator (Tutwuri Handayani)

Dalam pembelajaran matematika, guru hendaknya tidak mengajari siswa atau mengantarkannya ke tujuan, tetapi memfasilitasi siswa dalam belajar. Guru dapat membimbing siswa jika mereka melakukan kesalahan atau tidak mempunyai ide dengan memberi motivasi atau sedikit arahan agar mereka dapat melanjutkan bekerja mencari strateginya menyelesaikan masalah.

j. Kalau siswa membuat kesalahan dalam menyelesaikan masalah jangan dimarahi tetapi dibantu melalui pertanyaan-pertanyaan.

(43)

membantu siswa belajar efektif. Perasaan senang dalam melakukan sesuatu membuat otak bekerja optimal untuk memenuhi keinginan siswa (Caine, et al., 2005). Perasaan senang jelas tidak dapat dikembangkan lewat ancaman atau hukuman, tetapi dapat lewat sikap empatik, penghargaan atau pujian.

G. Standar PMRI (Dirumuskan oleh Tim-PMRI)

1. Standar Guru PMRI (Standards for a PMRI teacher)

Marpaung (2012) (dalam artikel yang ditulis pada blog P4MRI USD) menjabarkan Standar Guru PMRI sebagai berikut :

a) Guru memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai tentang

matematika dan PMRI serta dapat menerapkannya dalam pembelajaran matematika untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. b) Guru memfasilitasi siswa dalam berpikir, berdiskusi, dan bernegosiasi

untuk mendorong inisiatif dan kreativitas siswa.

c) Guru mendampingi dan mendorong siswa agar berani mengungkapkan

gagasan dan menemukan strategi pemecahan masalah menurut mereka sendiri.

d) Guru mengelola kelas sedemikian sehingga mendorong siswa bekerja

sama dan berdiskusi dalam rangka pengkonstruksian pengetahuan siswa.

(44)

2. Standar Pembelajaran Menurut PMRI (Standards for a PMRI Lesson) a) Pembelajaran dapat memenuhi tuntutan ketercapaian standar

kompetensi dalam kurikulum.

b) Pembelajaran diawali dengan masalah realistik sehingga siswa

termotivasi dan terbantu belajar matematika.

c) Pembelajaran memberi kesempatan pada siswa mengeksplorasi masalah yang diberikan guru dan berdiskusi sehingga siswa dapat saling belajar dalam rangka pengkonstruksian pengetahuan.

d) Pembelajaran mengaitkan berbagai konsep matematika untuk membuat

pembelajaran lebih bermakna dan membentuk pengetahuan yang utuh. e) Pembelajaran diakhiri dengan refleksi dan konfirmasi untuk

menyarikan fakta, konsep, dan prinsip matematika yang telah dipelajari dan dilanjutkan dengan latihan untuk memperkuat pemahaman.

3. Standar Bahan Ajar PMRI (Standards for a PMRI Teaching Materials) a) Bahan ajar yang disusun sesuai dengan kurikulum yang berlaku.

b) Bahan ajar menggunakan permasalahan realistik untuk memotivasi siswa dan membantu siswa belajar matematika.

c) Bahan ajar memuat berbagai konsep matematika yang saling terkait

sehingga siswa memperoleh pengetahuan matematika yang bermakna dan utuh.

(45)

e) Bahan ajar dirumuskan/ disajikan sedemikian sehingga mendorong/memotivasi siswa berpikir kritis, kreatif, dan inovatif serta berinteraksi dalam belajar.

H. Hambatan dalam Pembelajaran

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hambatan berarti kendala, halangan, rintangan, faktor atau keadaan yang membatasi, menghalangi, atau mencegah pencapaian sasaran; kekuatan yang memaksa pembatalan pelaksanaan dalam pembelajaran. Sehingga hambatan pembelajaran adalah suatu keadaan dalam kegiatan proses pembelajaran yang menghalangi pencapaian dari tujuan pembelajaran tersebut. Kegiatan dalam proses pembelajaran meliputi kompetensi yang harus dicapai, pengaturan penggunaan waktu luang, pengaturan ruang dan alat perlengkapan pelajaran di kelas serta pengelompokkan siswa dalam belajar.

(46)

dihadapi institusi dalam hal ini sekolah adalah ketersediaan alat dan bahan, sumber belajar seperti media, alat peraga dan buku serta fasilitas pendukung yang lain.

I. Kerangka Berpikir

PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia) merupakan suatu pendekatan pembelajaran matematika yang mulai diperkenalkan dan dikembangkan di Indonesia sejak tahun 2001 di tiga kota besar di Jawa, yaitu Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. PMRI merupakan hasil adaptasi dari RME (Realistic Mathematic Education). PMRI mulai menerapkan perubahan paradigma pembelajaran matematika dari Sekolah Dasar kelas I. Kemudian pada tahun 2010 PMRI mulai diperkenalkan kepada guru-guru SMP/MTs. SMP BOPKRI 3 Yogyakarta adalah salah satu sekolah yang sering mengikuti workshop atau seminar yang diadakan oleh tim PMRI. Oleh karena itu, dalam

penelitian ini, peneliti ingin mengamati dan mengetahui bagaimana PMRI diimplementasikan dalam pembelajaran matematika dengan melihat karakteristik PMRI yang muncul dalam pembelajaran dan hambatan apa saja yang dihadapi guru dalam mengimplementasikan PMRI pada pembelajaran matematika di SMP dengan materi persamaan garis lurus pada tahun ajaran 2012/2013.

(47)

yang dikemukakan oleh Treffers (dalam Ariyadi Wijaya; 2011) yang meliputi lima karakteristik, yaitu :

1. Penggunaan masalah kontekstual

2. Penggunaan model matematisasi progresif 3. Pemanfaatan hasil konstruksi siswa 4. Interaktivitas

5. Keterkaitan.

Pembelajaran realistik mengacu dari pemikiran Hans Freudenthal yang mengemukakan bahwa matematika adalah aktivitas manusia, sehingga siswa dituntut untuk aktif dalam proses pembelajaran, dan pembelajaran haruslah dimulai dari masalah-masalah yang realistik, yaitu masalah yang dapat dibanyangkan oleh siswa. Dalam PMRI, guru tidak lagi menjadi sumber ilmu dan pusat pembelajaran, melainkan siswalah yang menjadi pusat pembelajaran. Siswa diberi kebebasan untuk memecahkan masalah dengan cara mereka masing-masing. Pendekatan ini sesuai dengan teori konstruktivisme yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi pemikirannya sendiri. Pembelajaran dengan pendekatan realistik membimbing siswa dengan menyajikan masalah-masalah yang konkrit. Siswa diharapkan mampu mengkonstruksikan pengetahuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah matematika.

(48)
(49)

35

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan yaitu jenis penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa kata-kata tertulis dari obyek yang diamati. Penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan keadaan atau fenomena yang ada di lapangan (Moleong: 1998).

Pada penelitian ini, peneliti akan mendeskripsikan atau menggambarkan keadaan atau fenomena dalam proses pembelajaran matematika di kelas VIIIC pada SMP yang menjadi mitra dari tim PMRI.

B. Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah siswa-siswa dan guru matematika kelas VIIIC SMP Bopkri 3 Yogyakarta. Sedangkan obyek penelitian ini adalah proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI di kelas VIIIC SMP BOPKRI 3 Yogyakarta.

C. Tempat dan Waktu Penelitian

(50)

D. Bentuk Data dan Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan oleh peneliti pada penelitian ini berupa kata-kata atau kalimat dan data tertulis. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data yaitu :

1. Pengamatan atau observasi

Peneliti melakukan pengumpulan data yang berupa kata-kata atau kalimat dengan melakukan pengamatan langsung terhadap kegiatan pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI di kelas. Peneliti dan observer mencatat proses pembelajaran dari awal sampai akhir pembelajaran pada lembar observasi.

2. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut (Moleong, 2009 : 186).

Pada penelitian ini peneliti mewawancarai guru matematika SMP Bopkri 3 Yogyakarta. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk memperoleh informasi dari guru terkait dengan hambatan yang dihadapi guru dalam mengimplementasikan PMRI dalam kegiatan pembelajaran matematika.

E. Instrumen Penelitian

(51)

1. Lembar Observasi (Pengamatan)

Lembar observasi merupakan salah satu alat pengumpulan data yang digunakan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan tingkah laku seseorang atau proses yang sedang terjadi dalam situasi yang sebenarnya. Pengamatan difokuskan pada :

1) Sikap guru, yang meliputi metode mengajar guru, kegiatan guru dalam memotivasi siswa untuk ikut aktif dalam pembelajaran, penggunaan alat peraga atau penggunaan konteks dalam kehidupan sehari-hari siswa yang dapat mendukung dan membantu siswa dalam memahami tujuan pembelajaran, peranan guru dalam pembelajaran, dan lain sebagainya.

2) Sikap siswa, yang meliputi perhatian siswa terhadap kegiatan pembelajaran, minat siswa dalam mengikuti pelajaran, keaktifan siswa dalam mengkonstruksikan pemikirannya dan menemukan penyelesaian masalah dengan caranya sendiri, keaktifan siswa dalam berdiskusi dan memecahkan masalah baik secara individu maupun kelompok, keberanian siswa untuk mempresentasikan hasil pekerjaannya kepada teman-temannya, dan keaktifan siswa dalam bertanya serta menjawab pertanyaan.

3) Interaksi kelas, yang meliputi interaksi antara siswa dengan guru

(52)

2. Lembar wawancara guru

Lembar wawancara guru ini berisi pertanyaan mengenai pendapat guru tentang PMRI, bagaimana penerapan PMRI di kelas dan hambatan yang dihadapi guru dalam menerapkannya.

3. Rekaman video

Rekaman video ini berisi tentang kegiatan pembelajaran matematika dari awal sampai akhir pembelajaran, pada lima kali pertemuan. Perekaman video ini dilakukan dengan maksud untuk membantu peneliti dalam memperoleh informasi dan mendukung/melengkapi data penelitian.

F. Metode Analisis Data

Pada penelitian ini, analisis data dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :

1. Transkripsi Data

(53)

Kemudian, untuk meningkatkan validitas, peneliti juga melakukan pengecekan ulang dalam pembuatan transkripsi. Data-data yang telah ditranskripsikan dibaca kembali dengan teliti untuk menemukan peristiwa yang menunjukkan penerapan karakteristik PMRI pada proses pembelajaran. Kemudian peristiwa tersebut dijadikan topik data. Topik data merupakan deskripsi singkat mengenai bagian data yang mengandung makna tertentu sesuai dengan yang diteliti.

2. Proses Pembelajaran

Setelah diperoleh data penelitian dari transkripsi video, selanjutnya data tersebut dijabarkan dengan menggambarkan proses pembelajaran yang berlangsung di kelas. Penggambaran proses pembelajaran ditujukan untuk lebih memperjelas hasil transkripsi video yang masih merupakan data mentah dari rekaman video hasil pembelajaran. Pada gambaran proses pembelajaran, akan lebih tampak bagaimana proses pembelajaran di kelas tersebut berlangsung, dan juga bagaimana penerapan karakteristik PMRI dilaksanakan dalam proses pembelajaran.

3. Pengkategorian Data ke dalam Karakteristik PMRI

(54)

yaitu penggunaan konteks, penggunaan model untuk matematisasi progresif, pemanfaatan hasil konstruksi siswa, interaktivitas, dan keterkaitan. Peneliti menganalisis data dan melihat karakteristik yang muncul dalam pembelajaran pada pertemuan pertama sampai dengan pertemuan kelima dan kemudian mengelompokkannya ke dalam karakteristik PMRI.

Setelah pengelompokan data selesai dilakukan, kemudian peneliti menganalisis secara keseluruhan mengenai pembelajaran matematika di SMP BOPKRI 3 Yogyakarta berdasarkan pendekatan PMRI.

Peneliti juga mengumpulkan data dari rekaman wawancara dengan guru yang akan dianalisis untuk mengetahui hambatan yang dihadapi guru dalam mengimplementasikan PMRI dalam kegiatan pembelajaran.

4. Penjabaran Data Mengenai Hambatan yang dihadapi Guru dalam

Mengimplementasikan PMRI

(55)

diperoleh, kemudian peneliti mengolah data tersebut, kemudian menjabarkannya.

5. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan mendeskripsikan kegiatan pembelajaran di kelas terkait dengan implementasi PMRI pada proses pembelajaran, dan juga dengan merangkum hasil wawancara dengan guru terkait dengan hambatan yang dihadapi guru dalam mengimplementasikan PMRI pada proses pembelajaran di kelas.

G. Langkah-Langkah Kerja Penelitian

Berikut langkah-langkah kerja selama penelitian : 1. Pembuatan proposal

Peneliti membuat proposal yang kemudian diajukan dan dikonsultasikan kepada dosen pembimbing, yang nantinya akan dilampirkan pada surat permohonan penelitian dari pihak Universitas yang ditujukan kepada sekolah yang bersangkutan.

2. Permohonan ijin kepada Kepala Sekolah dan Guru Kelas

(56)

3. Melakukan observasi

Peneliti melakukan kegiatan observasi sebanyak dua kali di kelas. Observasi dimaksudkan agar peneliti mengenal keadaan kelas yang hendak diamati terlebih dahulu sekaligus untuk mempermudah dan membantu peneliti dalam menyusun instrumen yang akan digunakan untuk pengambilan data.

4. Penyusunan instrumen penelitian

Peneliti menyusun instrumen penelitian yang akan digunakan untuk pengambilan data, kemudian mengkonsultasikannya kepada dosen pembimbing.

5. Pengambilan data

Pada pengambilan data, peneliti menggunakan lembar observasi sebagai instrumen pokok dan lembar wawancara serta rekaman video sebagai instrumen pendukung. Observasi dilakukan oleh peneliti dari awal sampai akhir kegiatan pembelajaran. Hasil pengamatan dicatat oleh peneliti pada lembar observasi dan direkam menggunakan handycam. Wawancara dilakukan di hari terakhir pengamatan pada guru.

6. Pengolahan Data

(57)

7. Penarikan kesimpulan

(58)

44

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

A. Deskripsi SMP BOPKRI 3 Yogyakarta

Penelitian dilaksanakan di SMP BOPKRI 3 Yogyakarta yang merupakan salah satu sekolah mitra PMRI di Yogyakarta. Beberapa guru matematika di SMP BOPKRI 3 Yogyakarta pernah beberapa kali mengikuti pelatihan dan workshop yang diadakan oleh tim PMRI di Yogyakarta, yang salah satunya adalah Ibu Dra. Adjeng.

Siswa-siswa yang bersekolah disini merupakan siswa yang mempunyai nilai Ujian Nasional pada rentang menengah ke bawah. Informasi ini didapat peneliti dari guru yang bersangkutan. Penelitian dilaksanakan di kelas VIIIC dengan jumlah siswa 28 orang, dengan materi ajar Persamaan Garis Lurus.

(59)

B. Pelaksanaan Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan observasi pada tanggal 10 Oktober 2012 dan 11 Oktober 2012 di kelas VIIIC tanpa menggunakan handycam dengan tujuan untuk melihat proses pembelajaran dan situasi di kelas. Berdasarkan hasil observasi, peneliti menentukan agenda pengambilan data :

Tabel 4.1 Tabel agenda pengambilan data

Kegiatan Tanggal Keterangan

Observasi awal 10 Oktober 2012

- Guru menjelaskan tentang Penerapan fungsi

11 Oktober 2012 - Ulangan harian fungsi

Pengambilan data

- Guru mengulas kembali mengenai bidang kartesius dan titik koordinat.

- Guru memberikan soal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa untuk masuk ke dalam materi persamaan garis.

17 Oktober 2012

- Guru membahas soal dari pertemuan sebelumnya - Guru menjelaskan mengenai syarat menggambar

sebuah garis lurus

- Guru memberikan pekerjaan rumah

18 Oktober 2012

- Guru mengulas pekerjaan rumah dari pertemuan sebelumnya

- Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan tugas pada pertemuan sebelumnya.

- Guru menggunakan soal latihan tersebut sebagai apersepsi untuk menuju pada pengertian gradient garis.

- Guru memberikan soal latihan dari buku paket.

25 Oktober 2012

- Guru sedikit mengulas kembali mengenai gambar persamaan garis lurus pada bidang kartesius, dan juga sedikit mengulas mengenai titik koordinat.

(60)

30 Oktober 2012 - Ulangan harian persamaan garis lurus

Wawancara 30 Oktober 2012

- Wawancara dengan guru untuk mengetahui hambatan yang ditemui guru dalam mengimplementasikan PMRI

Data observasi dan rekaman video proses pembelajaran diperoleh dari lima pertemuan. Masing-masing pertemuan berlangsung selama dua jam pelajaran, yang tiap jam pelajarannya berlangsung selama 40 menit. Seluruh pertemuan dilakukan di dalam kelas.

Penelitian ini dilakukan secara kolaborasi, dengan peneliti sebagai pengamat sekaligus perekam proses pembelajaran dan dua orang teman sebagai observer.

C. Gambaran Proses Pembelajaran Matematika dan Proses Pengamatan

G : Guru; S : Siswa; Sbs : Sebagian siswa An : Pertemuan pertama pada percakapan ke-n Bn : Pertemuan kedua pada percakapan ke-n Cn : Pertemuan ketiga pada percakapan ke-n Dn : Pertemuan keempat pada percakapan ke-n En : Pertemuan kelima pada percakapan ke-n

1. Gambaran Proses Pembelajaran Matematika Pada Pertemuan

Pertama

Hari/Tanggal : Selasa, 16 Oktober 2012

(61)

Waktu : 10.10 – 11.30

Guru masuk ke kelas, kemudian menyiapkan laptop sebagai media yang akan digunakan dalam pembelajaran. Suasana kelas masih sedikit gaduh, ada beberapa siswa yang belum menyiapkan buku pelajaran matematika. Para siswa masih asik berbicara dengan teman sebangkunya. Tampak para siswa belum siap untuk mengikuti pelajaran.

Kemudian setelah selesai menyalakan laptop, guru berdiri di depan kelas dan mencoba menenangkan suasana kelas.

(A1) G : “Ya, sudah? Bisa dimulai ya?”

Kemudian guru sedikit mengulas mengenai hasil ujian mid semester. Guru menjelaskan, bahwa mengoreksi ujian matematika membutuhkan waktu yang lama, berbeda dengan mengoreksi ujian mata pelajaran lainnya, dikarenakan membutuhkan ketelitian yang lebih. Guru juga mengoreksi cara penulisan siswa yang tidak jelas. (lampiran (A2-A9).

(62)

koordinat,yang disebut koordinat kartesius, yang terdiri dari absis dan ordinat (lampiran (A14)).

Guru kemudian mulai melengkapi gambar diagram kartesius dengan skala. Guru mengajak siswa untuk melengkapi skala tersebut, mulai dari menanyakan titik pusat, yaitu nol. Guru juga menjelaskan bahwa penulisan nol pada diagram kartesius, cukup ditulis satu saja pada salah satu sisi, tidak perlu dituliskan pada keempat sisi. Guru menjelaskan bahwa dalam menggambar diagram kartesius itu pasti ada horizontal dan vertikal, dimana titik pusatnya adalah nol. Guru menjelaskan bahwa semakin ke kanan dan semakin ke atas nilainya akan positif dan bertambah besar, sedangkan kalau ke bawah dan ke kiri, nilainya akan negatif dan bertambah kecil. Guru juga menjelaskan mengenai penulisan skala yang benar (lampiran (A15-A26)).

Guru kemudian menjelaskan letak absis yang disimbolkan dengan x, dan ordinat yang disimbolkan dengan y. Kemudian guru memberikan contoh, bahwa sumbu x dan sumbu y, juga bisa dimisalkan sebagai hal yang lain, guru mengambil contoh, x sebagai pensil, dan y sebagai harga (lampiran (A27)). Guru juga sedikit mengingatkan mengenai cara menulis koordinat kartesius (lampiran (A28)).

(63)

Siswa-siswa yang ditunjuk oleh guru adalah Siswa-siswa-Siswa-siswa yang kurang perhatian pada pelajaran matematika. Dari 5 siswa yang ditunjuk, hanya 2 siswa yang bisa menjawab dengan benar tanpa bantuan teman yang lain (lampiran (A30-A54)).

Setelah siswa berlatih untuk menyebutkan koordinat titik yang berada pada diagram kartesius, guru kemudian meminta siswa untuk menggambar diagram kartesius dan berlatih menempatkan titik koordinat yang diberikan oleh guru, pada bidang koordinat kartesius. Semua siswa mulai menggambar di buku mereka masing-masing (lampiran (A55)).

Ada salah seorang siswa yang bingung meletakkan nilai negatif tiga, kemudian bertanya kepada guru, dan guru pun segera menghampiri siswa tersebut dan menjelaskan (lampiran (A57-A61)). Setelah selesai menjelaskan pada siswa yang bersangkutan, guru kemudian mengingatkan kembali kepada semua siswa, bahwa yang selalu dilihat adalah x koma y (lampiran (A62)). Untuk melihat pemahaman siswa mengenai absis, ordinat, dan koordinat, guru menanyakan titik ordinat, absis, dan koordinat dari titik-titik koordinat yang telah dituliskan oleh guru di papan tulis. Tampak beberapa siswa masih bingung untuk membedakan absis dan ordinat (lampiran (A62-A80)).

(64)

titik-titik koordinat tersebut pada bidang kartesius. Kemudian satu per satu siswa maju mengerjakan. Namun ada beberapa siswa yang harus dipanggil terus menerus untuk maju mengerjakan. Setelah beberapa siswa maju mengerjakan, guru mengoreksi pekerjaan siswa, dan kemudian guru mengatakan bahwa titik P, Q, dan R sudah betul (lampiran (A88-A105)).

Setelah semua siswa maju, guru menyoroti pekerjaan siswa yang mengerjakan titik S. guru bertanya kepada siswa yang lain, apakah penempatan titik S sudah benar. Lalu semua siswa menjawab “salah” (lampiran (A107)). Kemudian guru bertanya lebih lanjut, dimana letak

kesalahannya. Siswa yang lain menjawab “x nya” (lampiran (A109)).

Lalu guru mulai bertanya kepada siswa yang mengerjakan, sampai siswa tersebut mengerti dan bisa membetulkan pekerjaannya (lampiran (A110-A117)).

(65)

Gambar 4.1 Permasalah kontekstual yang diberikan oleh guru sebagai bahan diskusi siswa.

Gambar 4.2 Soal latihan dari permasalahan kontekstual yang diberikan oleh guru.

Siswa segera mencatat soal yang diberikan oleh guru. Sambil menunggu siswa mencatat soal yang ada di layar LCD Proyektor, guru menyelipkan sedikit gurauan kepada para siswa (lampiran (A124-A131)).

(66)

siswa untuk masuk ke dalam persamaan garis lurus, sehingga apabila siswa kesulitan dalam memahami dan meletakkan koordinat kartesius, nantinya akan kesulitan dalam materi persamaan garis lurus (lampiran (A134)). Guru menginginkan nantinya setelah diskusi, ada siswa yang maju mengerjakan di depan (lampiran (A147)).

Pada saat siswa sibuk mencatat dan mengerjakan, ada salah seorang siswa yang mengajak bicara temnnya, guru menegurnya dan mendatangi tempat duduknya (lampiran (A148)). Guru kemudian berada di belakang kelas, sambil menunggu para siswa mencatat dan mengerjakan soal.

Setelah beberapa saat, guru bertanya apakah siswa sudah selesai mencatat, dan siswa menjawab sudah. Guru bertanya, apakah sudah dijawab, siswa menjawab belum. Kemudian guru memberikan waktu kepada siswa untuk berdiskusi dan mengerjakan soal. Sementara siswa mengerjakan soal, guru berkeliling sambil melihat siswa bekerja. Guru juga meminta siswa untuk berkelompok-berkelompok dengan teman yang berdekatan tempat duduknya. Namun ada beberapa siswa yang malah ribut dengan teman yang lain dan membuat kegaduhan di kelas. Guru memperingatkan siswa tersebut dengan mamanggil namanya. Semua siswa berdiskusi dengan teman yang berada di sekelilingnya. Guru memberikan kebebasan kepada siswa untuk berdiskusi.

(67)

kemudian meminta perwakilan dari salah satu kelompok diskusi untuk menjawab soal nomor dua. Lalu salah satu siswa menjawab bahwa hubungan antara banyaknya kertas dengan harga fotocopy adalah

“korespondensi satu-satu” (lampiran (A173)). Guru menjelaskan

bahwa korespondensi satu-satu itu adalah bagian dari materi fungsi, namun guru tidak menyalahkan, karena memang disebut korespondensi satu-satupun juga tidak salah, namun disini yang diminta adalah hubungan yang terjadi antara banyaknya kertas dengan harga fotocopy itu. Guru bertanya, apakah ada yang menjawab lain, namun tidak ada satu siswa pun yang bersuara untuk mengutarakan pendapatnya. Kemudian ada siswa yang mulai mengutarakan

pendapatnya, dia mengatakan “dibagi seratus” (lampiran (A178)), ada

siswa dari kelompok lain menjawab “perkalian seratus” (lampiran

(A182)), lalu guru bertanya, “apanya yang dikalikan?”, siswa

menjawab “banyaknya kertas”. Kemudian guru menuju pada

kelompok yang lain, dan menanyakan pertanyaan yang sama, kemudian perwakilan kelompok menjawab dengan jawaban yang sama, yaitu perkalian. Lalu guru menambahkan, yaitu perkalian antara harga fotocopy dengan banyaknya kertas.

(68)

Lembar Observasi

Sekolah : SMP BOPKRI 3 Yogyakarta Kelas : VIIIC

Hari, tanggal : Selasa, 16 Oktober 2012 Waktu : 10.10 – 11.30

Nama Guru : Dra. Adjeng PS

a. Kegiatan guru pada umumnya

No Fokus Pengamatan Ya Tidak Keterangan

1. Guru menyapa siswa.  mengikuti pelajaran dengan menciptakan suasana yang kondusif. materi yang telah dipelajari oleh siswa. 

Guru mengulas tentang cara menggambar diagram kartesius.

7. Guru menuliskan materi di papan tulis. 

8. Guru umumnya duduk di kursi. 

Guru memberikan soal latihan kepada siswa.

b. Kegiatan siswa pada umumnya

(69)

1. Suasana kelas terkesan gaduh.  2. Siswa tidak memperhatikan penjelasan

guru.

c. Kegiatan pada pembelajaran PMRI

No Fokus Pengamatan Ya Tidak Keterangan

1. Murid aktif, guru atif

a. Murid aktif dalam mengikuti

pelajaran. 

Sebagian siswa aktif, namun ada beberapa siswa yang tidak aktif.

b. Murid aktif dalam mendengarkan

penjelasan guru.  pertanyaan kepada siswa untuk mengarah pada jawaban yang diharapkan. 2. Pembelajaran dimulai dengan

menyajikan masalah kontekstual/ realistik.

a. Guru memulai dengan menyajikan masalah kontekstual/realistik.

Guru menggunakan soal cerita mengenai hubungan harga fotocopy dengan banyak lembar kertas. b. Guru mengaitkan materi

matematika yang lain dengan topik materi yang akan dibahas.

c. Guru memulai dengan permainan yang mengarahkan siswa masuk ke dalam materi.

d. Masalah kontekstual yang diberikan oleh guru sesuai dengan tahap perkembangan siswa.

(70)

caranya sendiri.

a. Guru memberi keleluasaan kepada siswa untuk menyelesaikan permasalahan dengan caranya masing-masing.

 Guru masih cenderung menjadi sumber ilmu, bukan sebagai fasilitator. b. Guru mendorong siswa untuk

menemukan penyelesaian yang bervariasi.

c. Guru mendorong siswa untuk mengungkapkan gagasan pemecahan masalah menurut cara mereka sendiri.

 Guru mengarahkan siswa untuk mengikuti alur penyelesaian yang diberikan oleh guru.

d. Guru memberikan apresiasi kepada siswa yang mau mencoba menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri.

4. Menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan.

a. Siswa terlihat antusias dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.

b. Kegiatan pembelajaran dibuat bervariasi oleh guru.

5. Siswa dapat menyelesaikan masalah secara individu atau dalam kelompok.

a. Guru memberi kesempatan siswa untuk menyelesaikan masalah secara individu. menyelesaikan masalah secara berkelompok.

 Guru juga terkadang meminta siswa untuk mendiskusikan

penyelesaian soal dalam diskusi kelompok.

6. Pelajaran tidak perlu selalu di kelas a. Pelajaran dilaksanakan di luar

kelas.

b. Pelajaran dilaksanakan di luar sekolah.

(71)

a. Guru mengajukan pertanyaan pancingan yang mengarahkan siswa untuk mengemukakan gagasannya.

b. Siswa menanggapi pertanyaan yang diajukan oleh guru.

c. Siswa memberikan penjelasan atas jawabannya.

d. Siswa berani maju ke depan untuk menjelaskan jawabannya kepada teman-temannya.

g. Siswa mengajukan pertanyaan kepada guru apabila belum paham.

h. Siswa mengajak siswa lain untuk aktif dalam menyelesaikan soal latihan. representasi sesuai struktur kognitifnya.

a. Siswa menyelesaikan dan merepresentasikan suatu masalah dengan caranya sendiri.

memilih strategi pemecahan masalah sesuai dengan tingkat pemahamannya.

 Belum sampai pada pembahasan soal.

9. Guru bertindak sebagai fasilitator a. Guru memfasilitasi siswa dalam

berpikir, berdiskusi, dan bernegosiasi untuk mendorong inisiatif dan kreatifitas siswa.

b. Guru berkeliling untuk mengamaati cara siswa dalam menyelesaikan masalah.

c. Guru memberikan pertanyaan tuntunan kepada siswa yang belum menemukan ide untuk menyelesaikan masalah.

(72)

d. Guru memberikan waktu yang cukup pada siswa untuk menyelesaikan masalah.

e. Guru menuntun siswa dengan pertanyaan-pertanyaan agar siswa dapat menyarikan materi yang baru dipelajari.

 Belum sampai pada kesimpulan materi.

10. Guru jangan memarahi siswa ketika siswa membuat kesalahan dalam menyelesaikan masalah. a. Guru memberikan penghargaan atas

usaha siswa.

b. Ketika siswa membuat kesalahan dalam menyelesaikan masalah, guru membantu siswa dengan pertanyaan tuntunan.

2. Gambaran Proses Pembelajaran Matematika Pada Pertemuan

Kedua

Hari/Tanggal : Rabu, 17 Oktober 2012

Kelas : VIIIC SMP BOPKRI 3 Yogyakarta Materi : Persamaan Garis Lurus

Waktu : 10.10 – 11.30

Guru memulai pelajaran dengan melanjutkan pembahasan soal pada pertemuan sebelumnya yang belum selesai dibahas. Guru memulai dengan membahas nomor tiga. Guru bertanya kepada para

siswa, “Apakah masing-masing baris pada tabel yang kamu isikan

Gambar

Gambar 2.1 Matematisasi konseptual
Tabel 4.1 Tabel agenda pengambilan data
Gambar 4.1 Permasalah kontekstual yang diberikan oleh guru sebagai
Gambar 4.3 contoh soal dari penjelasan guru mengenai persamaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data yang didapatkan dari hasil wawancara dengan pasien, ditemukan adanya masalah keluarga yaitu kurangnya komunikasi dan tampak keterbukaan sosial

Teknik mulsa vertikal adalah pemanfaatan limbah hutan, baik yang berasal dari serasah, gulma, cabang, ranting, batang maupun daun-daun bekas tebangan dengan memasukkannya ke

Melalui program ini diharapkan akan mampu meningkatkan jiwa wirausaha yang kreatif dan inovatif dikalangan masyarakat khususnya mahasiswa dalam rangka mengatasi

Sebagai kontribusi yang diberikan untuk lebih meningkatkan kepatuhan wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di KPP Pratama Malang Selatan dengan faktor-faktor yang

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024) 8508081,

Mediasi sendiri yakni suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral sebagai

Di kota padat seperti Tokyo dimana suami-istri benar-benar harus bekerja keras untuk membiayai hidup, bahkan untuk mempunyai anak saja tidak ada waktu, mengurus

yang diharapkan. Pasar Modal memberi kesempatan kepada investor untuk menjual kembali saham yang dimilikinya atau surat berharaga lainnya. Pasar Modal menciptakan kesempatan