• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data Warehouse Spatio Temporal Kebakaran Hutan Menggunakan GeoMondrian dan GeoServer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Data Warehouse Spatio Temporal Kebakaran Hutan Menggunakan GeoMondrian dan GeoServer"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

DATA WAREHOUSE SPATIO-TEMPORAL

KEBAKARAN

HUTAN MENGGUNAKAN GEOMONDRIAN DAN GEOSERVER

MUHAMMAD HILMAN FADLI

DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

MUHAMMAD HILMAN FADLI. Forest Fire Spatio-Temporal Data Warehouse using GeoMondrian and GeoServer. Supervised by HARI AGUNG ADRIANTO

Indonesia is a country that has tremendous wealth of forests in the world. But Indonesia's forests decreases each year by deforestation amounted to 1.87 million hectares (FAO 2007). One of the main causes of deforestation in Indonesia is forest fires. Catastrophic forest fires cause major problems and need complex ways to overcome. One form of forest fire prevention is monitoring hotspots using the National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) satellites. This satellite imagery capturing the form of hotspots, which could indicate the existence of forest fires based on location and time. Data obtained from these satellites have particularly large amount, causing the accumulation of data hotspot. This can be overcome by the presence spatio-temporal data warehouse technology with Spatial Online Analytical Processing (SOLAP) applications. Spatio-temporal data warehouse capabilities in integrating data into a quick and comprehensive information to assist decision-making process in terms of controlling forest fires.

This study developed a geographic information system that integrates data warehousing applications spatio-temporaly with Spatial On-Line Analytical Processing (SOLAP) application using the framework Geomondrian and Geoserver as a web map server. Pre-process data such as data extraction, data transformation and loading of data, performed before the data warehouse is built in accordance with the dimensional data model (the concept of design in building a data warehouse) and integrated with Geoserver that handles the presentation of data in map form. The system was developed to visualize data of forest fires in the form of pivot tables, graphs and maps spread of hotspots in a web-based environment, so the system can support decision-making in an effort to control forest fire in Indonesia.

(3)

DATA WAREHOUSE SPATIO-TEMPORAL

KEBAKARAN

HUTAN MENGGUNAKAN GEOMONDRIAN DAN GEOSERVER

MUHAMMAD HILMAN FADLI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Komputer pada

Departemen Ilmu Komputer

DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Judul : Data Warehouse Spatio-Temporal Kebakaran Hutan Menggunakan GeoMondrian dan GeoServer

Nama : Muhammad Hilman Fadli NIM : G64070122

Menyetujui:

Pembimbing,

Hari Agung Adrianto, S.Kom, M.Si NIP. 19760917 200501 1 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Ilmu Komputer,

Dr. Ir. Sri Nurdiati, M.Sc. NIP. 19601126 198601 2 001

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Data Warehouse Spatio-Temporal Kebakaran Hutan Menggunakan Geomondrian dan Geoserver” sebagai syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Komputer pada Departemen Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, banyak pihak yang selalu memberikan dukungan dan bantuannya kepada penulis, oleh sebab itu penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1 Ibunda, kakak-kakakku, beserta keluarga tercinta yang telah memberikan dukungan, doa, materi,

dan kasih sayang yang tiada henti mengalir

2 Bapak Hari Agung Adrianto, S.Kom, M.Si, selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan bimbingan dan saran selama penyelesaian skripsi

3 Ibu Dr. Yani dan Ibu Annisa, S.Kom, M.Kom selaku dosen penguji atas kesediaannya menguji pada waktu sidang

4 Bapak Ir. Julio Adisantoso, M.Kom, selaku pembimbing akademik selama penulis berkuliah 5 Arif, Ana, Romi, Hendra dan Erna, rekan-rekan satu bimbingan penulis

6 Teman-teman seperjuangan Ilmu Komputer angkatan 44 yang penulis banggakan dan senantiasa memberikan semangat satu sama lain

7 Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan dapat terus dikembangkan di masa mendatang.

Bogor, Agustus 2011

Muhammad Hilman Fadli

(6)

RIWAYAT HIDUP

Muhammad Hilman Fadli dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 Juni 1989 sebagai anak keenam dari enam bersaudara dengan ayah bernama H. D Hidayat (alm) dan Ibu bernama Hj. Zainab. Pada tahun 2007 lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Albayan Boarding School Sukabumi dan diterima di Departemen Ilmu Komputer Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB yakni Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru pada tahun yang sama.

(7)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN Latar Belakang... 1

Tujuan ... 2

Ruang Lingkup ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan ... 2

Hotspot (Titik panas) ... 3

Satelit NOAA-AVHRR... 3

Spatio-Temporal Data Warehouse ... 3

Spatial OLAP ... 4

Operasi-operasi pada Spatial OLAP ... 4

Arsitektur Spatial OLAP ... 4

Model Data Multidimensi ... 4

Geomondrian ... 5

MDX Query ... 5

Geoserver ... 5

OpenLayers ... 6

Geoext ... 6

Pewarnaan Peta ... 6

METODE PENELITIAN Studi Literatur ... 6

Analisis Data ... 6

Ekstraksi Data ... 7

Transformasi Data ... 7

Pemuatan Data ... 7

Pembuatan Spatio-Temporal Data Warehouse ... 7

Pembuatan Peta ... 7

Uji Query ... 7

Geomondrian-Geoserver ... 8

Lingkungan Pengembangan ... 8

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Data ... 8

Ekstraksi Data ... 10

Transformasi Data ... 10

Konversi Data ... 11

Pemuatan Data ... 11

Pembuatan Data Warehouse ... 11

Pembuatan Peta ... 12

Uji Query ... 13

Gambaran Umum Spatial OLAP (SOLAP) ... 14

Desain AntarmukaAplikasi ... 15

Eksplorasi dan Presentasi Hasil Operasi OLAP ... 15

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... 16

Saran ... 16

DAFTAR PUSTAKA ... 17

(8)

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Deteksi hotspot satelit NOAA dan ... 1

2 Daerah terdeteksi hotspot pada ... 1

3 Segitiga api (Clar dan Chatten, 1954) ... 3

4 Jenis dimensi data spasial. ... 4

5 Tahap-tahap penelitian. ... 6

6 Tahap pengembangan sistem. ... 8

7 Skema snowflake. ... 9

8 Skema snowflake pada schema workbench. ... 9

9 Arsitektur spatio-temporal data... 11

10 Arsitektur Geoserver (WebMap ... 12

11 Hasil query MDX biasa. ... 14

12 Hasil query MDX spasial. ... 14

13 CQL pada GeoExt. ... 14

14 Tabel pivot spatial OLAP ... 15

15 Grafik persebaran hotspot di ... 15

16 Tabel pivot dengan ukuran geometrik. ... 15

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Kemampuan Spektral dari NOAA-AVHRR ... 3

2 Frekuensi kemunculan hotspot ... 7

3 Hasil reduksi data ... 10

4 Hasil pembersihan data ... 10

5 Nama dan deskripsi kubus data forestfire_spatialcube ... 11

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Struktur forestfire_spatialcube.xml ... 19

2 Antarmuka Sistem ... 20

3 Visualisasi data dalam bentuk Tabel Pivot, Grafik dan Peta ... 21

4 Web Map Server (Geoserver) - GeoExt ... 25

5 Spatial OLAP dan keterangan ... 34

(9)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan hutan sangat besar di dunia. Seiring berjalannya waktu, hutan Indonesia semakin berkurang. Hal ini ditandai dengan adanya fakta yang mengatakan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia sekitar 1,87 juta hektar atau sekitar 2% dari 88,495 juta hektar luas hutan yang tersisa pada tahun 2005 (FAO 2007). Salah satunya disebabkan adanya kebakaran hutan dengan jumlah frekuensi persebaran hotspot yang tidak menentu dari tahun ke tahun di beberapa wilayah Indonesia. Hal ini dapat menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan, sehingga seluruh makhluk hidup di bumi pun dapat terkena dampaknya secara langsung maupun tidak langsung.

Salah satu bentuk penanggulangan masalah kebakaran hutan yaitu dengan melakukan pemantauan titik panas (hotspot) menggunakan satelit National Oceanic Atmospheric and Administration (NOAA) maupun MODIS (Terra dan Aqua). Satelit NOAA menangkap citra satelit berupa titik panas (hotspot) yang dapat mengindikasikan adanya kebakaran hutan berdasarkan letak dan waktu tertentu. Proses pendeteksian kebakaran hutan oleh satelit NOAA yakni dengan mengetahui indikasi adanya hotspot yang memiliki suhu di atas ambang batas, berikut merupakan proses pengambilan data satelit NOAA dan perjalanan data yang dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Deteksi hotspot satelit NOAA dan proses perjalanan data hotspot (dimodifikasi dari http://dishut. tabalongkab.go.id/wp-content/ uploads/2010/05/GIS.jpg)

Data yang diperoleh berupa hasil interpretasi citra dari satelit. Menurut SSFFMP (2004)

dalam Toha (2008), terdapat beberapa kelemahan pada satelit NOAA seperti sensornya yang tidak dapat menembus awan, asap atau aerosol. Rendahnya resolusi citra NOAA, yakni sekitar 1,1 km x 1,1 km merupakan kelemahan yang sangat mendasar dari sistem pendeteksian kebakaran hutan. Dalam luasan sekitar 1,2 km2 tersebut, tidak dapat diketahui secara persis di mana lokasi kebakaran berada, sehingga luasan tersebut dinilai sebagai sebuah hotspot. Suatu wilayah akan terpantau sebagai hotspot apabila wilayah tersebut cukup luas dan memiliki suhu yang cukup untuk dideteksi oleh satelit NOAA, akan tetapi apabila luasan wilayah yang terbakar tersebut kecil, maka diperlukan suhu yang sangat tinggi agar wilayah tersebut dapat terpantau sebagai suatu hotspot oleh satelit NOAA. Ilustrasi mengenai hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Daerah terdeteksi hotspot pada satelit NOAA

Data yang diperoleh dari satelit tersebut memiliki jumlah yang sangat besar dan umumnya hanya disimpan kemudian tidak dilakukan proses pengolahan, sehingga sangat sedikit sekali informasi yang dapat diperoleh dari penumpukan data hotspot tersebut. Hal ini dapat diatasi dengan hadirnya teknologi spatio-temporal data warehouse dengan aplikasi Spatial Online Analytical Processing (SOLAP). Kemampuan spatio-temporal data warehouse dalam mengintegrasikan data menjadi suatu informasi secara cepat dan menyeluruh, sehingga dapat membantu proses pengambilan keputusan dalam hal pengendalian kebakaran hutan. Namun karena resolusi citra satelit sangat kasar (1.1 km x 1.1 km pada NOAA) maka sangat dimungkinkan dapat mengalami penyimpangan lokasi, sehingga kurang akurat dalam identifikasi kebakaran hutan.

(10)

2 tingkat kabupaten. Penelitian ini telah

membangun data warehouse dengan satu tabel fakta (hotspot) dan dua tabel dimensi (waktu dan lokasi). Pada penelitian berikutnya, Hasan (2009) menambahkan empat dimensi, yaitu dimensi Hutan Tanaman Industri (HTI), dimensi jenis tanah, dimensi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dan dimensi litologi, ke dalam kubus data penelitian Hayardisi. Kedua penelitian tersebut membangun data warehouse dengan model multidimensional serta menyajikan data dalam bentuk tabel dan grafik menggunakan PALO (OLAP server). Trisminingsih (2010) melengkapi pembangunan datawarehouse ini dengan melakukan pendekatan spasial terhadap dimensi lokasi menggunakan framework Geomondrian. Pada tahun yang sama, Sari (2010) mengembangkan sistem informasi geografis persebaran hotspot provinsi Kalimantan Tengah menggunakan framework Pmapper. Penelitian tersebut memberikan visualisasi dalam bentuk peta dari persebaran hotspot di Kalimantan Tengah, namun belum menggunakan data warehouse sebagai sumber data – sehingga belum dapat memproses data dengan cepat dalam jumlah yang besar.

Penelitian ini mencoba merangkum dari penelitian sebelumnya yang telah disebutkan, yakni dengan mengintegrasikan spatio-temporal data warehouse dengan aplikasi SOLAP menggunakan framework Geomondrian dan Geoserver sebagai web map server. Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan dapat menyajikan data dalam bentuk tabel, grafik dan peta persebaran hotspot sebagai indikasi kebakaran hutan yang terdapat dalam satu sistem yang terintegrasi, sehingga sangat efektif dalam mendukung dalam proses pengambilan keputusan.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menambahkan modul visualisasi atau penyajian data persebaran hotspot dalam bentuk peta dan melakukan penyesuaian data warehouse yang telah dibangun pada penelitian sebelumnya.

2. Mengembangkan suatu sistem spatio-temporal data warehouse kebakaran hutan berbasis web dengan hasil akhir penyajian dalam bentuk tabel, grafik dan peta yang terintegrasi.

3. Mengetahui pola persebaran hotspot yang mengindikasikan kebakaran hutan dalam wilayah dan waktu tertentu.

4. Mengukur jarak antar hotspot dan menentukan luasan suatu daerah pada visualisasi dalam bentuk peta.

Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi:

1. Data yang digunakan adalah data hotspot kebakaran hutan yang berada di wilayah Indonesia tahun 1997-2005 yang didapatkan dari satelit NOAA.

2. Sistem mendukung data dimensi dengan ukuran numerik dan ukuran geografik (lokasi).

3. Data persebaran hotspot kebakaran hutan tidak spesifik terhadap suhu, yakni tidak memiliki tingkat kepanasan tertentu pada titik panas kebakaran hutan, sehingga titik panas tidak dapat dikuantisasi berdasarkan suhu.

4. Sistem yang dikembangkan belum mendukung sinkronisasi secara menyeluruh dalam hal visualisasi peta dengan visualisasi tabel pivot dan grafik.

TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan

Kebakaran merupakan suatu proses reaksi yang menyebar secara bebas dari perpaduan antara unsur oksigen, bahan bakar hutan dan panas, ditandai dengan adanya cahaya, panas dan asap. Proses ini menyebar dengan bebas dan mengonsumsi bahan bakar alam yang terdapat di hutan seperti serasah, rumput, humus, ranting-ranting, kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan dan pepohonan segar lainnya (Brown dan Davis 1973).

Proses kebakaran hutan merupakan kebalikan dari proses fotosintesis (Brown dan Davis 1973) :

Proses fotosintesis,

CO2+H2O+energi matahari  CH6H12O6+O2

Proses pembakaran,

CH6H12O6+O2+sumber panas  CO2+H2O +energi panas

(11)

3 Ilustrasi ketiga unsur tersebut dapat dilihat pada

Gambar 3.

Bahan bakar

Oksigen Panas

Gambar 3 Segitiga api (Clar dan Chatten, 1954)

Hotspot (Titik panas)

Hotspot merupakan titik-titik di permukaan bumi dimana titik-titik tersebut merupakan indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan (Ratnasari 2000). Indikasi yang dimaksud adalah suhu panas hasil kebakaran hutan yang naik ke atas atmosfer (suhu yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya) dan ditangkap oleh satelit serta didefinisikan sebagai hotspot berdasarkan ambang batas suhu (threshold) tertentu. Terdapat beberapa satelit yang dapat dimanfaatkan untuk memantau hotspot, seperti AVHRR–NOAA (Advanced Very High Resolution Radiometer–National Oceanic and Atmospheric Administration) dan MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer).

Satelit NOAA-AVHRR

Satelit NOAA merupakan satelit meteorologi yang diluncurkan untuk pertama kalinya pada tahun 1972. Satelit NOAA memiliki 4 buah sensor, antara lain :

Advance Very High Resolution Radiometer (AVHRR) yang memiliki lima buah band

Tiros Operational Vertical Sonders (TOVS)

Data Collection and Location System (DCLS)

Space Environment Monitoring (SEM) Menurut Ratnasari (2000) satelit meteorologi yang sedang beroperasi adalah satelit NOAA yang membawa sensor AVHRR, memiliki resolusi temporal yang sangat tinggi, yaitu dua kali setiap hari dengan resolusi spasial 1,1 km x 1,1 km. Kemampuan spektral dari sensor AVHRR-NOAA dapat dilihat pada Tabel 1. Menurut Sitanggang (1999) dalam Ratnasari (2000), Sensor data AVHRR sangat bermanfaat dalam memantau kondisi lingkungan dan cuaca secara global.

Spatial data warehouse merupakan suatu koleksi data, baik data spasial maupun data nonspasial, yang bersifat subject-oriented, integrated, time-variant, dan non-volatile yang digunakan pada spatial data mining dan proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan data spasial (Han & Kamber 2006). Koleksi atau kumpulan data ini berasal dari berbagai sumber data yang ditempatkan ke dalam satu tempat penyimpanan yang berukuran besar dan diproses menjadi bentuk penyimpanan multidimensional, kemudian didesain untuk query dan reporting. Dengan demikian, spatio-temporal data warehouse adalah spatial data warehouse yang berdasarkan aspek ruang dan waktu sebagai dimensi akses utama dalam SOLAP yang mendukung proses pengambilan keputusan.

Terdapat empat karakteristik data warehouse menurut Han dan Kamber (2006), yaitu:

1. Berorientasi subjek, data terorganisasi pada subjek utama sesuai topik bisnis atau berdasarkan subjek dari organisasi.

2. Terintegrasi, data dibangun dengan mengintegrasikan berbagai sumber data. 3. Time variant, dimensi waktu secara eksplisit

termasuk dalam data, jadi model dan perubahannya dapat diketahui setiap saat.

(12)

4 4. Non-volatile, data terpisah dari database

operasional sehingga hanya memerlukan pemuatan dan akses data tanpa mengubah data sumber.

Spatial OLAP

Spatial Online Analytical Processing (SOLAP) didefinisikan sebagai platform visual yang dibangun untuk mendukung proses analisis spatio-temporal dan eksplorasi data dengan pendekatan multidimensional dan ditampilkan dalam lingkungan kartografis yang dilengkapi diagram tabular (Bédard 1997). SOLAP merupakan aplikasi berbasiskan web pada level klien dalam lingkup aplikasi data warehouse yang disajikan dalam lingkungan aplikasi OLAP dan sistem informasi geografis.

Operasi-operasi pada Spatial OLAP

Operasi-operasi pada spatial OLAP sama seperti operasi pada OLAP. Beberapa operasi OLAP menurut Han dan Kamber (2006) yaitu:

1. Roll up (drill up)

Operasi roll up dilakukan dengan cara meningkatkan tingkat hierarki atau mereduksi jumlah dimensi.

2. Drill down (roll down)

Drill down merupakan operasi kebalikan dari roll up. Operasi ini dapat merepresentasikan data secara lebih detail atau spesifik dari level tinggi ke level rendah.

3. Slicing

Slicing merupakan proses pemilihan satu dimensi dari kubus data yang bersangkutan sehingga menghasilkan subcube.

4. Dicing

Dicing merupakan proses pendefinisian subcube dengan memilih dua dimensi atau lebih dari kubus data.

5. Pivoting

Pivoting merupakan suatu kemampuan OLAP yang dapat melihat data dari berbagai sudut pandang (view point). Sumbu pada kubus data dalam aplikasi OLAP dapat diatur, sehingga dapat diperoleh data yang diinginkan sesuai dengan sudut pandang analisis yang diperlukan.

Arsitektur Spatial OLAP

Menurut Bimonte (2006), arsitektur sistem spatial OLAP tersusun atas struktur multidimensional pada database spasial, SOLAP server, dan SOLAP client. Database spasial menyimpan geometri yang diasosiasikan dengan dimensi dan ukuran data. SOLAP server

menangani database spasial dalam bentuk multidimensional dan komputasi numerik untuk penentuan nilai yang merupakan asosiasi atau relasional antar dimensi atau parameter yang memungkinkan untuk dilakukan. SOLAP client dapat didefinisikan sebagai suatu perangkat lunak yang menyediakan navigasi dengan database spasial dengan penyajian data dalam bentuk diagram, tabel dan peta yang bersinkronisasi antardata.

Model Data Multidimensi

Model data multidimensi merupakan konsep desain yang digunakan untuk mengembangkan data warehouse. Model multidimensional tersebut terdiri atas struktur data yang diperlukan untuk merepresentasikan dimensi-dimensi serta fakta dari proses bisnis yang ada. Model data multidimensi terdiri atas dua data yaitu (Malach 2000):

1. Data Dimensi

Data dimensi merupakan entitas yang ingin disimpan oleh perusahaan (organisasi). Data dimensi akan berubah jika analisis kebutuhan pengguna berubah. Data dimensi mendefinisikan label yang membentuk isi laporan. Setiap dimensi diulang untuk setiap kelompok. Atribut data dimensi diletakkan pada tabel dimensi.

Menurut Han & Kamber (2006), dalam kubus data spasial terdapat tiga jenis data dimensi yaitu:

1. Dimensi nonspatial yang berisi data nonspasial pada setial level hierarkinya. 2. Dimensi spatial-to-nonspatial

merupakan dimensi yang memiliki level data spasial tetapi sebagian besar levelnya berupa data nonspasial. Dimensi ini secara umum dikategorikan sebagai dimensi nonspatial.

3. Dimensi spatial-to-spatial adalah dimensi yang setiap levelnya, dari level primitif hingga level tertinggi, secara umum berupa data spasial.

Ilustrasi jenis data dimensi menurut Han & Kamber (2006) dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Jenis dimensi data spasial.

(13)

5 2. Data Fakta

Data fakta merupakan data utama dari data multidimensi yang berisi kuantitas yang ingin diketahui dengan menganalisis hubungan antardimensi. Data fakta diekstrak dari berbagai sumber. Data fakta cenderung stabil dan tidak berubah seiring dengan waktu. Atribut data fakta diletakkan pada tabel fakta. Tabel fakta berukuran besar, memiliki jumlah baris sesuai dengan jumlah kombinasi nilai dimensi yang mungkin dan jumlah kolom sesuai dengan jumlah dimensi yang direpresentasikan. Tabel fakta berisi nama-nama fakta, ukuran, dan foreign key dari tabel dimensi yang berhubungan.

Ukuran dalam tabel fakta untuk kubus data spasial terdiri atas dua jenis ukuran (Han & Kamber 2006), yaitu: ukuran numerik dan ukuran spasial. Ukuran numerik hanya berisi data numerik, contohnya jumlah frekuensi kemunculan hotspot. Ukuran spasial berisi sekumpulan pointer dari objek spasial, contohnya wilayah yang mempunyai range ketinggian yang sama dapat dikelompokkan menjadi kolom yang sama dengan ukuran luas wilayah.

Model data multidimensi dapat menyajikan data dalam bentuk kubus yang merupakan inti dari model ini dan dapat digambarkan dalam bentuk skema bintang, skema snowflake, dan skema galaksi (Han & Kamber 2006). Skema bintang merupakan rancangan database sederhana, yakni data dimensi terpisah dari data fakta (data transaksi). Skema snowflake merupakan versi pengembangan dari skema bintang, dimana tabel-tabel dimensinya merupakan hasil normalisasi dari beberapa tabel yang berhubungan. Skema galaksi merupakan kumpulan skema bintang dengan lebih dari satu tabel fakta yang saling berhubungan.

Geomondrian

Geomondrian merupakan versi spasial dari Pentaho Analysis Services (Mondrian). Geomondrian merupakan implementasi pertama dari SOLAP server yang bersifat open source dimana pengguna dapat memodifikasi modul yang telah ada sesuai dengan kebutuhan. Teknologi ini mengintegrasikan objek spasial ke dalam struktur kubus data OLAP secara langsung. Geomondrian menerapkan tipe data geometri dan menyediakan fungsi MDX untuk ekstensi spasial sehingga mampu menganalisis data spasial dengan query analitis (Bédard 2009). Geomondrian menambahkan library tambahan

yang dapat menangani tipe data geometri sehingga mampu menyimpan bentuk vektor geometri (points, polygons, lines) ke dalam kubus data.

MDX Query

Multidimensional eXpression (MDX Query) merupakan bahasa yang mampu menangani struktur data multidimensi atau query yang diimplementasikan pada kubus data multidimensi, baik kubus data biasa maupun geometri. Query ini digunakan pada SOLAP untuk memanipulasi dan menangani data yang ingin diretrieve sesuai dengan kubus data yang dibuat berdasarkan skema multidimensi.

Geoserver

Geoserver merupakan salah satu perangkat lunak open source yang dibangun menggunakan Java, perangkat lunak ini memungkinkan pengguna untuk menampilkan dan memanipulasi data geospasial. Geoserver dirancang untuk interoperability, yaitu menerbitkan data dari semua sumber data spasial. Sebagai project berbasis komunitas, Geoserver dikembangkan, diuji, dan didukung oleh berbagai kelompok individu dan organisasi dari seluruh dunia.

GeoServer dibangun dengan library GeoTools. GeoTools adalah Java Toolkit untuk mengembangkan aplikasi berbasis Java berdasarkan standar dari OpenGIS. GeoServer menitikberatkan pada kemudahan penggunaan dan standar dalam menyajikan data geospatial melalui web. GeoServer dirancang untuk menerbitkan data dari semua sumber data spasial dengan menggunakan standar OGC (Open Geospatial Consortium). Layanan yang disediakan oleh GeoServer adalah layanan yang sesuai dengan open geospatial consortium (OGC) yaitu web feature service (WFS) dan web map service (WMS).

Sebuah web map service (WMS) menghasilkan peta bereferensi geografis. Peta yang dimaksud merupakan representasi visual dari geodata. Spesifikasi WMS memberikan standar bagaimana peta dapat diminta oleh client dan bagaimana server menjelaskan data yang dimilikinya.

Pada spesifikasi implementasi WMS, terdapat tiga operasi WMS, yaitu :

 GetCapabilities

(14)

6 menghasilkan parameter mengenai WMS

dan layanan layer yang disediakan.

 GetMap

Mendapatkan peta dengan parameter dimensi dan geospasial yang telah didefinisikan dengan jelas.

 GetFeatureInfo

Meminta informasi mengenai fitur tertentu yang ditampilkan pada peta.

WFS atau web feature service merupakan layanan publikasi data geospasial pada tingkat fitur data spasial melalui media web. Spesifikasi OGC untuk WFS menggunakan teknologi XML (Extensible Markup Language) dan protokol HTTP (Hyper Text Transfer Protocol) sebagai media penyampaiannya atau mungkin lebih tepatnya menggunakan geography markup language (GML) yang merupakan subset dari XML.

OpenLayers

OpenLayers merupakan aplikasi klien berbasis javascript untuk menampilkan data peta pada web browser tanpa tergantung pada web server (OpenLayers 2010). OpenLayers mengimplementasikan JavaScript API yang digunakan untuk membangun aplikasi SIG berbasis web. OpenLayers adalah perangkat lunak gratis yang dikembangkan dari dan untuk komunitas perangkat lunak open source.

Geoext

Geoext ini merupakan library open source yang ditulis menggunakan Javascript, yakni hasil pengembangan dari library OpenLayers dan ExtJs (Anonim 2010). Library ini berperan dalam hal interface atau antarmuka penyajian peta sebagai jembatan penghubung antara web map server dengan pengguna.

Pewarnaan Peta

Pewarnaan pada peta ditujukan untuk membedakan wilayah satu dengan lainnya. Pembagian warna peta, misalnya ditujukan untuk membedakan tingkat kepadatan populasi penduduk pada suatu daerah. Metode pembagian warna pada peta dapat berdasarkan kategori berikut ini :

Equal range

Setiap kelas memiliki rentang nilai yang sama. Perbedaan antara nilai yang tertinggi dengan terendah untuk setiap kelas adalah sama.

Natural breaks

Pengelompokan pola data, dengan nilai-nilai dalam kelas yang cenderung sama dan nilai-nilai antar kelas yang berbeda. Data nilai cluster ditempatkan dalam satu kelas.

 Standar deviasi

Masing-masing kelas didefinisikan dengan jarak dari nilai rata-rata dari semua fitur.

Quantile

Setiap kelas memiliki fitur yang sama, serta membandingkan daerah yang berukuran hampir sama, dan menekankan posisi relatif antar fitur (Mitchell 1999).

METODE PENELITIAN

Tahapan yang dilakukan penelitian ini dalam hal pembangunan spatio-temporal data warehouse dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Tahap-tahap penelitian.

Studi Literatur

Tahap ini merupakan proses pengumpulan informasi dan literatur yang berkaitan dengan topik penelitian. Informasi dan literatur yang dimaksud merupakan bahan-bahan yang diperlukan untuk mendukung penelitian ini. Bahan-bahan tersebut dapat berupa data hotspot maupun suatu literatur yang diperoleh dari internet, buku, jurnal, dan artikel yang membahas mengenai spatio-temporal data warehouse dan implementasi SOLAP.

Analisis Data

(15)

spatio-7 temporal data warehouse. Hasil analisis ini

digunakan untuk menentukan dimensi, tabel fakta, dan skema yang tepat untuk model data multidimensi.

Ekstraksi Data

Ekstraksi adalah tahap pengambilan data yang relevan dari database relasional sebelum masuk ke dalam data warehouse. Pada tahap ekstraksi, atribut-atribut dan record-record yang diinginkan dipilih dan diambil dari database relasional. Hal ini perlu dilakukan karena tidak seluruh elemen data berguna dalam pembuatan keputusan. Dalam tahap ekstraksi ini, dilakukan pula pembersihan data yang meliputi :

 Pembersihan nilai kosong (null)

 Pembersihan noise

 Perbaikan data yang tidak konsisten

 Pembersihan data yang redudansi

Pembersihan data ini berguna dalam hal pemerikasaan kesalahan penulisan, kurang lengkapnya data, dan ketidakkonsistenannya data. Untuk mendapatkan nilai frekuensi kemunculan hotspot pada lokasi dan waktu tertentu, perlu dilakukan proses ekstrasi guna mereduksi data hotspot yang terjadi pada waktu dan lokasi yang sama secara berulang. Ilustrasi perhitungan hasil ekstraksi berdasarkan frekuensi kemunculan hotspot dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Frekuensi kemunculan hotspot

Frekuensi kemunculan hotspot

Transformasi data merupakan proses generalisasi atau penyeragaman nama atribut, agregasi dan konstruksi atribut atau dimensi. Pada tahap transformasi ini, data yang berasal dari semua sumber dikonversi ke dalam format umum yang disesuaikan dengan skema multidimensional yang telah dibuat. Transformasi terpenting adalah transformasi

pada label penamaan yang bertujuan agar tidak terdapat nama atribut yang serupa atau pada atribut yang sama memiliki nama yang berbeda pada database yang berbeda.

Pemuatan Data

Setelah tahap ekstraksi dan transformasi data dilakukan, maka data telah siap untuk dimuat (load) ke dalam data warehouse. Pada tahap ini, dilakukan pula pengurutan dan peninjauan integritas suatu data. Tahap pemuatan data bertujuan untuk memuat data yang terseleksi ke dalam data warehouse dan membuat indeks yang diperlukan.

Pembuatan Spatio-TemporalData Warehouse Proses dilanjutkankan dengan pembuatan spatio-temporal data warehouse. Input data dilakukan berdasarkan skema multidimensional (dalam penelitian ini menggunakan skema snowflake) yang telah dirancang. Skema snowflake yang telah dirancang kemudian diimplementasikan menjadi sebuah kubus data geometri multidimensi (geocube) menggunakan schema workbench. Kemudian, data yang telah dimuatkan dalam membangun data warehouse ini diretrieve oleh SOLAP berdasarkan struktur kubus data geometri multidimensi yang terbentuk.

Pembuatan Peta

Setelah tahapan ekstraksi, transformasi, pemuatan data (Extraction, Transform, Load /ETL) dan diikuti dengan pembuatan data warehouse, kemudian tahap berikutnya dilanjutkan dengan pembuatan peta berupa layer-layer yang dikonstruksi berdasarkan sql query. Tahapan pertama sebelum layer peta dikonstruksi adalah dengan membuat workspace pada web map server. Kemudian dilanjutkan dengan membangun data store pada workspace yang telah dibuat pada web map server. Data store merupakan tempat penyimpanan yang dapat menampung berbagai layer yang hendak dikonstruksi. Layer-layer yang disimpan dalam data store dapat berupa layer point, line, maupun polygon. Layer-layer yang dihasilkan dari sql query tersebut merupakan layer dengan tingkat relevansi yang disesuaikan dengan data warehouse yang dibangun.

Uji Query

(16)

8 Query yang diujikan berupa query biasa dan

query spasial menggunakan fungsi Multidimensional Expressions (MDX). Pengujian dilakukan dengan geocube atau kubus data geometri yang divisualisasikan dalam bentuk tabel pivot dan grafik dengan GeoMondrian, serta visualisasi peta dengan Geoserver (Web Map Server) dalam satu web yang terintegrasi (Web Integration). Uji query pun dilakukan pada Geoserver dalam bentuk Common Query Language (CQL) yang bertujuan untuk membuat suatu layer yang dapat menampilkan visualisasi dalam bentuk peta sebagai timbal balik atas query yang diberikan ke dalam web map server.

Geomondrian-Geoserver

Rangkaian dari tahapan penelitian ini bermuara pada suatu aplikasi yang dapat menghasilkan suatu penyajian data persebaran hotspot di wilayah Indonesia berupa tabel pivot, grafik dan peta. Aplikasi yang telah dikembangkan pada penelitian sebelumnya menggunakan geomondrian, sebagai suatu framework yang memegang peranan penting dalam penyajian data dalam bentuk tabel pivot dan grafik. Skema pengembangan sistem yang dilakukan pada penelitian sebelumnya, yakni hanya sebatas pada lingkup geomondrian dan menghasilkan penyajian data dalam bentuk tabel pivot dan grafik. Pada penelitian ini mencoba menambahkan fungsi atau modul yang dapat menyajikan data dalam bentuk peta dengan menggunakan geoserver sebagai web map server, sehingga menjadi suatu sistem yang terintegrasi. Peranan dari geomondrian dan geoserver dalam tahapan pengembangan sistem selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Tahap pengembangan sistem.

Secara garis besar, berdasarkan Gambar 6, data yang diperoleh dalam bentuk excel (.xls) dan text (.txt), dapat diolah menjadi shapefile

(.shp) ataupun dapat pula diolah ke dalam postgresql/postGIS secara langsung. Kemudian dilanjutkan dengan tahap extraction, transform dan loading (ETL), sehingga didapatkan database yang sudah siap diimplementasikan ke dalam data warehouse maupun peta pada web map server. Pembangunan data warehouse spatio-temporal pada Geomondrian diawali dengan pembentukan geocube atau kubus data geometri multidimensi, setelah terbentuk barulah diimplementasikan pada Geomondrian. Kemudian proses pembuatan layer-layer peta pada Geoserver dilakukan dengan menggunakan sql query di dalamnya. Setelah layer-layer terbentuk dalam web map server, layer-layer tersebut kemudian disajikan menggunakan library GeoExt dan diintegrasikan ke dalam sistem yang terdapat Spatial OLAP (SOLAP) menggunakan Geomondrian menjadi suatu sistem yang terintegrasi.

Lingkungan Pengembangan

Perangkat lunak yang digunakan untuk penelitian yaitu:

1. Windows 7 Ultimate sebagai sistem operasi. 2. Apache Tomcat 7.0 sebagai web server. 3. GeoMondrian yang merupakan framework

spatial OLAP (SOLAP).

4. PostgreSQL dengan library PostGIS sebagai perangkat lunak RDBMS.

5. Quantum GIS 1.5.0-Tethys dan uDig 1.2 RC-3 (User-friendly Desktop Internet) sebagai perangkat lunak untuk mengolah data spasial.

6. Schema Workbench sebagai tool desain kubus data.

7. Geoserver 2.1.0 sebagai web map server yang mengakomodasikan data dalam bentuk peta.

8. Geoext sebagai library dalam manajemen layer yang diambil dalam Geoserver.

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Data

(17)

9 kebakaran hutan. Atribut-atribut yang terdapat

dalam data hotspot yaitu tahun, bulan, tanggal, waktu, NOAA (satelit), bujur, lintang, provinsi, dan kabupaten. Data spasial dan atribut wilayah administrasi Indonesia yang meliputi kode provinsi, nama provinsi, kode kabupaten, dan nama kabupaten diperoleh dari www.inigis.info dalam format .shp dengan skala 1: 25.000. Dalam format ini, peta Indonesia terdiri atas 30 provinsi dan 440 kabupaten/kota.

Analisis data yang dilakukan pada data tersebut yakni memilih atribut-atribut yang tepat untuk mengembangkan aplikasi spatio-temporal data warehouse. Atribut-atribut yang digunakan adalah tahun, bulan, satelit (NOAA), bujur, lintang dan wilayah atau lokasi. Berdasarkan atribut-atribut yang dipilih tersebut, kemudian dibentuk suatu tabel fakta dan tabel dimensi. Analisis data ini sejatinya telah dilakukan oleh penelitian sebelumnya, akan tetapi perlu dilakukan penyesuain kembali terhadap apa yang telah dihasilkan. Dari hasil analisis data pada penelitian sebelumnya didapatkan sebuah tabel fakta dengan measure jumlah hotspot dan lima tabel dimensi, kemudian pada penelitian ini dilakukan penyesuaian dengan adanya penambahan sebuah dimensi, yakni dimensi pulau atau kepulauan, sebagai salah satu level hierarki tambahan pada dimensi lokasi. Selain penambahan tabel dimensi pulau, dilakukan pula perubahan measure jumlah menjadi frekuensi dan penambahan measure luasan hotspot pada skema multidimensi yang dibuat. Luasan hotspot tersebut didapatkan dari hasil perhitungan sederhana, yakni Luas = Frekuensi kemunculan hotspot x 1,21 km2(luas dari sebuah titik hotspot). Hasil dari perhitungan ini masih sangat kasar dan dapat salah arti. Hal ini disebabkan karena adanya satu daerah yang terdeteksi berulangkali atau dalam satu pixel (1,21 km2) sejatinya hanya sebagian area yang mengalami kebakaran yang tidak dapat dipastikan lokasi kebakarannya dalam hotspot tersebut karena masih sangat terbatasnya kemampuan satelit NOAA.

Skema data warehouse yang digunakan adalah skema snowflake. Skema snowflake ini digunakan untuk menangani redundansi data geometri pada dimensi lokasi (spasial). Skema snowflake dapat dilihat pada Gambar 7 dan skema snowflake dalam schema workbench dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 7 Skema snowflake.

(18)

10

Ekstraksi Data

Pada tahap ini dilakukan proses pengambilan data yang relevan sesuai dengan model skema multidimensional yang telah dibuat. Proses ini mereduksi atribut-atribut yang tidak terpilih pada tahap analisis. Hasil reduksi data dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil reduksi data

Atribut Tipe data

Tahun Integer

Bulan Varchar (20)

NOAA (satelit) Varchar(20)

Bujur Text

Lintang Text

Kode kabupaten Integer

Kabupaten Varchar(50)

Kode provinsi Integer

Provinsi Varchar(50)

Kode pulau Integer

Pulau Varchar(50)

Pada tahap ini dilakukan pula pembersihan data untuk menangani masalah data kosong (null), noise, data yang tidak konsisten (inconsistency data) dan data yang redudansi. Tahap pembersihan data ini selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil pembersihan data

No dilakukan Trisminingsih (2010), yakni dengan melakukan pengolahan data vektor menggunakan ArcView. Jumlah data yang dihasilkan penelitian sebelumnya setelah pembersihan data adalah 565.693 record. Proses hasil kstraksi pada penelitian sebelumnya masih terdapat data hotspot yang terjadi pada lokasi dan waktu yang sama secara berulang, sehingga untuk menentukan frekuensi kemunculan hotspot-nya, hanya diambil satu kejadian pada lokasi tersebut di level bulan. Untuk itu pada penelitian ini dilakukan penyesuaian data kembali, dan didapatkan jumlah record sebesar 473.892 sebagai suatu jumlah frekuensi kemunculan hotspot tersebut dengan melakukan pereduksian data sebesar sebesar 91.801.

Transformasi Data

(19)

11 frekuensi kemunculan hotspot dan akumulasi

luasan kasar dari hotspot.

Konversi Data

Tahap selanjutnya yakni memuat data vektor dan data shp ke database PostgreSQL dengan ekstensi PostGIS. Berdasarkan penelitian sebelumnya, data hotspot yang diperoleh dalam format .xls dan .txt dikonversi menjadi atribut dari format shapefile. Proses konversi dilakukan dengan tool QuantumGIS. Data yang telah dikonversi dalam bentuk shapefile dimuat ke dalam database dengan cara mengimpor data. Proses impor data ini dapat dilakukan dengan menggunakan plugin manager SPIT (Shapefile to PostgreSQL/PostGIS Import Tool) pada QuantumGIS atau dapat pula dilakukan menggunakan postgisgui (Shape File to PostGIS Importer) plugin yang terdapat dalam PostgreSQL. Pada saat impor data shapefile ke dalam format .sql dilakukan, maka data pada database PostgreSQL dengan ekstensi PostGIS telah tersusun sesuai nama tabel pada format shapefile berdasarkan hasil ekstraksi dan transformasi di tahap sebelumnya.

Pemuatan Data

Data yang telah dikonversi akan secara otomatis termuat ke dalam PostgreSQL, kemudian dilakukan penyesuaian struktur kubus data berdasarkan skema snowflake yang telah dibuat. Kubus data yang dibuat dalam penelitian ini adalah kubus data forestfire_spatialcube. Secara singkat nama dan deskripsi dari kubus data forestfire_spatialcube dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Nama dan deskripsi kubus data forestfire_spatialcube

Dimensi Deskripsi

Waktu

Waktu kejadian hotspot difoto oleh satelit. Data bulanan dari tahun 1997 sampai 2005

Satelit

Satelit yang digunakan untuk memotret citra (NOAA 11, NOAA 12,

Provinsi Provinsi titik hotspot berada (30 provinsi)

Kabupaten Kabupaten titik hotspot berada (440 kabupaten)

Hotspot ID posisi titik hotspot (473.892 titik)

Database diolah menjadi kubus data dengan menggunakan tool Schema Workbench. Schema Workbench merupakan GUI utility yang digunakan untuk membuat file skema multidimensional pada Geomondrian dalam format XML. Schema Workbench digunakan untuk memetakan kubus, dimensi, dan ukuran pada database PostgreSQL. Format XML digunakan untuk mengolah metadata (informasi tentang data) yang menggambarkan struktur dan maksud data yang terdapat dalam dokumen XML, bukan menggambarkan format tampilan data tersebut. Struktur format XML hasil pemetaan kubus data forestfire_spatialcube dengan Schema Workbench dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pembuatan Data Warehouse

Setelah seluruh tahapan proses ETL (Extract, Transform, Loading) dilakukan, kemudian masuk ke tahap berikutnya yakni membangun spatio-temporal data warehouse. Spatio-temporal data warehouse dibangun dengan menggunakan arsitektur three tier. Arsitektur ini memiliki tiga lapisan yaitu lapisan bawah, lapisan tengah, dan lapisan atas. Ilutrasi arsitektur spatio-temporal data warehouse ini dapat dilihat pada Gambar 9.

(20)

12 1. Lapisan bawah

Lapisan bawah merupakan tempat pengolahan sumber data warehouse, sekaligus sebagai data source pada Geoserver dalam melakukan query layer. Dalam penelitian ini digunakan Database Management System (DBMS) PostgreSQL dengan library PostGIS untuk mengelola data spasial dan nonspasial menjadi sebuah kubus data.

2. Lapisan tengah

Lapisan ini terdiri atas spatial OLAP (SOLAP) server dan web map server. Penelitian ini menggunakan Geomondrian sebagai spatial OLAP server yang berfungsi menyimpan struktur kubus data dalam bentuk multidimensi dan Geoserver sebagai tempat penyimpanan data geospasial yang berfungsi menghasilkan layer-layer berdasarkan query yang dapat memberikan bentuk penyajian data dalam bentuk peta. Geomondrian dan Geoserver merupakan teknologi open source yang dibangun dalam platform Java. Geomondrian menggunakan MultiDimensional eXpression (MDX) sebagai bahasa yang mampu menangani struktur data multidimensi. Geomondrian dilengkapi olap4j dan XML for analysis (XMLA) sebagai Aplication Programming Interface (API) yang mendukung fungsi OLAP.

3. Lapisan atas

Lapisan atas merupakan lapisan untuk end-user berupa hasil query yang dapat menampilkan informasi ataupun ringkasan. Query yang diuji pada Spatial OLAP (SOLAP) berupa query dalam bentuk fungsi MDX yang dapat digunakan sebagai model multidimensi. Informasi disajikan dalam bentuk tabel pivot dan grafik menggunakan Jpivot. Hasil query MDX memiliki kemungkinan dapat disinkronisasikan dengan tampilan peta yang disajikan menggunakan library Open Layers ataupun GeoExt. Namun, pada penelitian ini, sinkronisasi hasil query dengan tampilan peta tersebut belum berhasil dilakukan. Hal ini disebabkan karena tool Geomondrian yang belum stabil dan belum mampu melakukan konfigurasi fungsi yang dapat menyinkronisasikan Jpivot dengan library OpenLayers ataupun GeoExt. Meskipun demikian, penelitian ini sudah dapat menampilkan peta ke dalam sistem (mengintegrasikannya dengan Geomondrian menjadi sebuah sistem terintegrasi). Bentuk

visualisasi peta yang telah diintegrasikan ke dalam sistem ini menggunakan query yang berbeda (tidak menggunakan MDX query pada peta), yakni menggunakan filter berupa CQL (Common Query Language). Query tersebut dapat digunakan untuk menyeleksi wilayah atau lokasi yang diinginkan pada peta dan dapat menyeleksi pula letak hotspot pada waktu tertentu pada wilayah tersebut.

Pembuatan Peta

Peta yang hendak dibuat, merupakan suatu bentuk penyajian data yang merupakan hasil representasi dari layer-layer pada suatu web map server. Layer-layer ini dapat berupa point, line, polygon ataupun multipolygon. Pembuatan layer pada web map server ini dibuat berdasarkan query sql yang diberikan di dalam Geoserver yang berada di level application server pada arsitektur three tier-nya. Arsitektur three tier yang dibangun untuk pembuatan peta pada Geoserver dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Arsitektur Geoserver (WebMap Server).

Layer-layer ini akan dipanggil pada saat sistem secara keseluruhan dieksekusi atau di jalankan pada level user interface atau client. Tahapan pembuatan suatu layer pada web map server (Geoserver) ini meliputi :

1. Membuat workspace

(21)

13 2. Membuat data store

Data store ini merupakan ruang konfigurasi dalam Geoserver yang menghubungkannya dengan database relasional, yakni PostgreSQL dengan ekstensi PostGIS. Data store yang telah dibuat dalam Geoserver pada penelitian ini adalah ds_forestfire.

3. Membuat layer pada Geoserver

Penelitian ini menggunakan Geoserver versi 2.1.0. Pada Geoserver versi ini sudah dapat dilakukan query sql biasa maupun geometri dalam menyeleksi suatu data berdasarkan atribut yang diinginkan pada database relasional (PostgreSQL/PostGIS) untuk menghasilkan suatu layer dalam web map server (Geoserver). Contoh query yang dibuat dalam Geoserver untuk menghasilkan suatu layer dapat dilihat pada lampiran 4 bagian 2. Sebelum layer terbentuk, perlu dilakukan konfigurasi data yang disediakan Geoserver pada menu layer, guna melengkapi informasi yang dibutuhkan untuk setiap layer. Informasi yang perlu dilengkapi tersebut meliputi nama layer, memilih nilai sistem koordinat (EPSG:4326), bounds peta dan memilih default style. Layer-layer yang terbentuk dari hasil query ini kemudian dikonversi oleh layanan-layanan yang terdapat pada Geoserver menjadi suatu file dengan format XML. File XML inilah yang ketika dilakukan parsing akan menghasilkan URL dengan halaman web yang berupa suatu penyajian data dalam bentuk peta. Penelitian ini membangun 12 layer dalam Geoserver yang terdiri atas 9 layer hotspot tahun 1997 hingga tahun 2005, satu layer hotspot_indo untuk seluruh hotspot tahun 1997 hingga 2005 yang digabungkan, kemudian dua layer peta indonesia yang berdasarkan provinsi (layer indo_prov) dan kabupaten (layer indo_kab).

4. Menyesuaikan style Peta

Untuk menghasilkan suatu layer peta, diperlukan suatu style dari layer yang sesuai dengan tipe layer tersebut (point, line, polygon atau multipolygon). Geoserver telah menyediakan default style yang terdapat dalam librarynya dalam bentuk format SLD (Styled Layer Descriptor). File SLD ini merupakan suatu dokumen berisi syntax XML yang berfungsi mengatur tampilan peta, file-file ini dapat diakses pada menu Style dalam Geoserver. File .sld ini dapat disesuaikan menjadi suatu style yang diinginkan sesuai dengan tipe layer yang dipilih. Style inilah yang disesuaikan dan

digunakan, sehingga sistem ini dapat melihat pola persebaran hotspot, serta melihat perbedaan batas wilayah pada suatu daerah di Indonesia secara jelas. Contoh file .sld yang dibuat dalam Geoserver untuk menghasilkan style suatu layer selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4 bagian 3. 5. Melihat hasil Peta

Tahap ini merupakan tahap yang dilakukan untuk melihat hasil dari layer-layer yang telah dihasilkan berdasarkan query dan telah dilakukan penyesuaian terhadap style sesuai tipe layernya. Pada Geoserver untuk melihat peta sesuai layer yang telah dibuat, dapat mengakses menu Layer Preview. Namun menu ini diakses pada Geoserver, sedangkan untuk melakukan pemanggilan terhadap layer yang telah dibuat ke dalam sistem, digunakan suatu library OpenLayers atau GeoExt. Beberapa penggalan source code menggunakan library GeoExt dalam melakukan pemanggilan layer yang telah dibuat dalam geoserver selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4 bagian 4.

Uji Query

Uji query yang pertama dilakukan untuk menguji spatio-temporal data warehouse apakah telah sesuai dengan kebutuhan dan memeriksa apakah operasi dasar OLAP berhasil diimplementasikan untuk data spasial. Query yang digunakan untuk menguji sistem ini adalah query dalam bentuk fungsi MDX. Fungsi MDX mendukung query untuk objek multidimensional dan menjalankan perintah-perintah yang mampu menghasilkan dan memanipulasi data dari objek tersebut. Pada penelitian ini, MDX yang digunakan mampu mendukung query biasa dan query spasial. Uji query yang kedua dilakukan untuk menyeleksi wilayah atau lokasi pada peta dan hotspot pada waktu tertentu. Query ini merupakan filter yang berupa CQL (Common Query Language) dalam Geoserver.

1. Query biasa

(22)

14 Query tersebut menampilkan jumlah

frekuensi berikut luasan kasar hotspot dari semua satelit pada tahun 2005.

Ilustrasi tampilan hasil query dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Hasil query MDX biasa.

2. Query spasial

Query ini mendukung model data spasial Open Geodata Interchange Standard (OGIS). Model data OGIS mampu menangani bentuk geometri seperti point, polygon, curve dan tipe lainnya, serta mampu mengeksekusi operasi query spasial seperti ST_Within, ST_Area, ST_Contains, dan operasi lainnya. Ilustrasi query spasial yang diujikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

SELECT

{[Measures].[Frekuensi_Hotspo t]} ON COLUMNS,

Filter(

{[Lokasi].[Hotspot].members}, ST_Within(

[Lokasi].CurrentMember. Properties("hotspot_geom"), ST_GeomFromText("POINT

((139.16 -3.27))") )

) ON ROWS

FROM [forestfire_spatialcube] WHERE [Waktu].[1997]

Query tersebut menghasilkan jumlah frekuensi dan luasan kasar hotspot pada koordinat point yang didefinisikan. Ilustrasi tampilan hasil query dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Hasil query MDX spasial.

3. CQL (Common Query Language)

Query ini merupakan filter yang digunakan untuk menyeleksi suatu layer yang telah dibuat dan terdapat dalam Geoserver. Layer tersebut dapat berupa polygon, line maupun point yang dibangun dari query sql biasa maupun geometrik pada database relasional (PostgreSQL-PostGIS). Ilustrasi CQL (Common Query Language) dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

SELECT nama_prov LIKE

'KALIMANTAN %' AND bulan LIKE 'Mei' AND tahun = 2000

atau bentuk query pada library GeoExt yang dapat dilihat pada Gambar 13 dengan representasi sintaks sebagai berikut :

SELECT nama_prov LIKE

*KALIMANTAN* AND bulan LIKE *Mei* AND tahun = 2000

Gambar 13 CQL pada GeoExt.

Query tersebut menyeleksi hotspot yang terdapat pada wilayah kalimantan di bulan mei tahun 2000, hasilnya terdapat 39 hotspot pada wilayah dan waktu tersebut. Hasil query selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.

Gambaran Umum Spatial OLAP (SOLAP)

Spatio-temporal data warehouse yang telah dibuat diimplementasikan ke dalam bentuk spatial OLAP. Di dalam spatial OLAP, database, kubus data, dan dimensi yang akan ditampilkan sesuai kebutuhan dapat ditentukan. Aplikasi ini dilengkapi dengan visualisasi tabel pivot yang memudahkan dalam menganalisis.

(23)

15 Tampilan tabel pivot untuk operasi tersebut

dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Tabel pivot spatial OLAP

Gambar 14 menunjukkan bahwa wilayah Kalimantan pada semua tahun (1997-2005) di semua satelit NOAA, memiliki jumlah frekuensi kemunculan hotspot tertinggi yaitu 229.595 titik dengan interpretasi luasan hotspot sebesar 227.258 km2. Jumlah ini sangat berdekatan dengan jumlah frekuensi hotspot yang terdapat pada wilayah Sumatera. Interpretasi luasan hotspot ini didapatkan dari perkalian antara jumlah frekuensi kemunculan hotspot dengan resolusi citra satelit NOAA, yakni 1.1 km x 1.1 km atau 1.21 km2. Interpretasi luasan hotspot ini merupakan nilai agregasi yang masih sangat kasar, karena kemampuan sensor satelit NOAA tidak dapat menembus awan, asap atau aerosol. Kemudian ditambah dengan resolusi satelit NOAA yang hanya dapat menangkap citra satu titik panas dengan luasan yang cukup besar (1.1 km x 1.1 km) sehingga kurang akurat dalam identifikasi kebakaran hutan. Dari tabel tersebut dapat dilihat juga persebaran hotspot tiap provinsi dan kabupaten pada setiap tahunnya.

Persebaran hotspot di Pulau Kalimantan merupakan wilayah dengan tingkat persebaran hotspot terbanyak, yakni sekitar 49.66% dari seluruh titik hotspot yang tersebar di wilayah Indonesia dan sekitar 49.78% area terkena hotspot dari seluruh wilayah di Indonesia yang terkena hotspot pada semua tahun (1997-2005). Detail jumlah frekuensi dan interpretasi luasan hotspot (persebaran hotspot) pada pulau kalimantan ini dapat dilihat pada visualisasi dalam bentuk grafik. Tampilan grafik pola persebaran hotspot di pulau Kalimantan berdasarkan frekuensi selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15 Grafik persebaran hotspot di

Kalimantan.

Berdasarkan Gambar 15, terlihat bahwa tingkat kebakaran tertinggi tahun 1997 hingga 2005 terdapat pada wilayah Kalimantan Tengah. Setelah melihat informasi tersebut, kemudian dilakukan peninjauan lapang dan dilanjutkan dengan adanya suatu kebijakan untuk memperketat pengendalian kebakaran di daerah tersebut, sehingga di tahun berikutnya diharapkan terjadi penurunan tingkat kebakaran yang signifikan.

Hal yang membedakan spatial OLAP (SOLAP) dengan OLAP biasa adalah mampu menangani ukuran spasial atau geometrik. Spatial OLAP yang dibuat dalam penelitian ini merujuk kepada penelitian sebelumnya yang telah mampu menampilkan ukuran geometrik dalam tabel pivot. Tampilan tabel pivot yang menampilkan ukuran geometrik dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16 Tabel pivot dengan ukuran geometrik.

Contoh hasil visualisasi tabel pivot dan grafik lainnya dapat dilihat pada Lampiran 3.

Desain AntarmukaAplikasi

Aplikasi spatial OLAP yang berbasis web dilengkapi dengan antarmuka yang menyediakan informasi lain mengenai kebakaran hutan. Aplikasi ini dikembangkan dengan menggunakan bahasa pemrograman JSP (Java Server Page). Desain antarmuka aplikasi ini dapat dilihat pada Lampiran 2. Sistem ini juga telah dilengkapi dengan user manual yang dapat membantu dalam menganalisis hasil query yang ditampilkan. Penjelasan singkat mengenai menu-menu OLAP pada halaman Spatial OLAP dapat dilihat pada Lampiran 6.

Eksplorasi dan Presentasi Hasil Operasi OLAP

(24)

16 Contoh-contoh operasi OLAP yang dapat

dijalankan dalam aplikasi ini meliputi :

1. Roll up

Operasi roll up ditampilkan dengan menaikkan hierarki dimensi waktu. Hierarki dimensi waktu terdiri atas tiga level yaitu tahun, kuartil, dan bulan. Operasi roll up dapat dilakukan dengan melihat jumlah frekuensi hotspot per bulan kemudian me-roll up menjadi level kuartil dan level tahun secara keseluruhan.

2. Drill down

Operasi drill down merupakan kebalikan dari operasi roll up. Operasi ini dilakukan dengan menurunkan hierarki dari hierarki teratas misalkan provinsi (polygon) menjadi hierarki dasar hotspot (point). Operasi ini dilakukan untuk melihat posisi hotspot yang terjadi.

3. Slice

Operasi slice dilakukan dengan memilih salah satu dimensi atau irisan kubus, misalkan dimensi satelit dengan kriteria waktu tahun 2005. Operasi ini menghasilkan tampilan jumlah frekuensi berikut interpretasi luasan hotspot yang dihasilkan dari pencitraan setiap satelit pada tahun 2005.

4. Dice

Operasi dice dilakukan dengan memilih dua dimensi, misalkan memilih dimensi waktu (Tahun 2000 dan 2001) dan dimensi satelit (NOAA 12 dan NOAA 14). Aplikasi akan menampilkan jumlah frekuensi berikut interpretasi luasan hotspot tiap satelit pada setiap tahun.

5. Operasi pivot

Operasi pivot dilakukan dengan mempertukarkan axis dimensi. Misalkan axis-x (dimensi satelit) diubah menjadi dimensi waktu dan axis-y (dimensi waktu) diubah menjadi dimensi satelit. Operasi ini menukarkan posisi antar dimensi, sehingga berguna untuk menampilkan tabel dengan sudut pandang yang berbeda.

Visualisasi hasil operasi-operasi OLAP dapat dilihat pada Lampiran 6. Kemudian pada aplikasi pemetaan terdapat pula beberapa operasi yang digunakan dalam proses analisis hasil, seperti modul measure atau pengukuran yang dapat digunakan untuk menghitung jaark antar hotspot, serta dapat mengukur luasan suatu wilayah tertentu. Beberapa penggalan source code dalam library GeoExt yang

digunakan untuk melakukan pengukuran pada aplikasi pemetaan berikut hasil, selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4 bagian 7,8 dan 9.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Spatio-temporal data warehouse untuk data kebakaran hutan di Indonesia memiliki satu buah kubus data dengan model skema snowflake. Kubus data berisi nilai agregasi jumlah frekuensi kemunculan hotspot dan interpretasi luasan hotspot per tahun di seluruh wilayah Indonesia dari tingkat kepulauan, provinsi, kabupaten, hingga lokasi titik hotspot.

Aplikasi spatial OLAP berbasis web dibuat dengan framework Geomondrian dan Geoserver, yang mampu menampilkan penyajian data dalam bentuk tabel pivot, grafik dan peta. Aplikasi ini dapat menangani query biasa maupun query spasial dengan fungsi MultiDimensional eXpression (MDX) pada Geomondrian dan filter Common Query Language (CQL) pada Geoserver. Aplikasi ini juga telah mendukung dimensi data dengan ukuran numerik dan geografik. Aplikasi ini telah terintegrasi dengan hadirnya suatu penyajian data dalam bentuk peta. Namun, tabel Jpivot dalam aplikasi ini belum dapat disinkronisasikan dengan library yang digunakan untuk menampilkan peta, yakni Open Layers ataupun GeoExt.

Spatial OLAP yang dibuat dengan Geomondrian mampu melakukan operasi OLAP seperti roll up, drill down, slice, dice, dan pivot, sehingga dapat membantu menganalisis data secara interaktif. Fasilitas menu yang disediakan oleh Geomondrian seperti menu memilih kubus data, ukuran dan dimensi, filter dimensi, serta menu lain yang memudahkan dalam analisis tabel yang dihasilkan. Kemudian dengan modul pemetaannya yang disediakan Geoserver melalui library GeoExt, mampu melakukan penghitungan jarak antar hotspot dalam peta, mengukur luasan suatu wilayah dan mengetahui pola persebarannya berdasarkan warna, sehingga memudahkan analisis data lebih lanjut mengenai penyajian data dalam bentuk peta.

Saran

(25)

17 dilakukan berkaitan dengan model

spatio-temporal data warehouse :

1. Mengintegrasikan visualisasi dalam bentuk peta ke dalam Spatial OLAP dalam hal fisik maupun fungsionalitasnya, yakni terbangun sinkronisasi antara tabel Jpivot dengan library OpenLayers ataupun GeoExt.

2. Kubus data yang telah dibuat dapat bersinkronisasi dengan peta, sehingga untuk menyeleksi penyajian data dalam bentuk tabel, grafik dan peta hanya bertumpu pada MDX query (tidak pada query tool yang berbeda).

3. Penambahan modul update, insert, dan delete yang diintegrasikan ke dalam sistem, sehingga dapat lebih memudahkan dalam penggunaan aplikasi apabila terdapat data baru.

DAFTAR PUSTAKA

Brown AA, Davis P. 1973. Forest Fire Control and Use. New York: Mc. Graw-Hill Books Company. hlm 658.

Badard T., Dubé E. 2009. Geospatial BI with FOSS : An Introduction to Geomondrian and Spatialytics. Di Dalam : FOSS4G 2009 workshop . Sydney, 20-23 Oktober 2009.

Bédard, Y. 1997. Spatial OLAP, Videoconference. Di dalam : 2eme Forum annuel sur la R-D, Geomatique VI . Montreal, 13-14 November.

Bédard, Y., T. Merrett & J. Han, 2001, Fundamentals of Spatial Data Warehousing for Geographic Knowledge Discovery, Geographic Data Mining and Knowledge Discovery. Research Monographs in GIS.Vol 1(3) hal 53-73

Bimonte S., Wehrle, P., Tchouikine, A., Miquel, M. 2006. GeWOlap: A Web Based Spatial OLAP Proposal. Proceeding of Second International Workshop on Semantic-based Geographical Information System (ScBGIS’06). hal 1-11

Clar CD, Chatten LR. 1954. Principles of Forest Fire Management Department of Natural Resources Division of Forestry. California. hlm 200.

FAO. 2007. State of World Forests 2007. Roma

Han J, Kamber M. 2006. Data Mining: Concept and Techniques. San Fransisco: Morgan Kaufman Publisher.

Hasan. 2009. Penambahan Dimensi pada Data Warehouse dan Aplikasi OLAP untuk Persebaran Hotspot di Wilayah Indonesia Menggunakan PALO 2.5.[skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Hayardisi G. 2008. Data Warehouse dan OLAP Berbasis Web untuk Persebaran Hotspot di Wilayah Indonesia Menggunakan Palo 2.0. [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Malach, EG. 2000. Decision Support and Data Warehouse System. USA : Mc.Graw-Hill.Inc.

Mitchell A. 1999. The ESRI Guide to GIS Analysis (Volume 1 : Geographic Patterns & Relationships). California: Environmental Systems Research Institute,Inc.

Purnomo E. 2009. Peta Indonesia Berbasis Kabupaten. http://inigis.info/blog/download- peta-indonesia-basis-kabupatenkota-dalam-format-shapefile [20 April 2010].

Ratnasari E. 2000. Pemantauan Kebakaran Hutan dengan Menggunakan Data Citra NOAA-AVHRR dan Citra Landsat TM: Studi Kasus di Daerah Kalimantan Timur. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sari IP. 2010. Sistem Informasi Geografis Persebaran Titik Panas Provinsi Kalimantan Tengah Menggunakan Framework Pmapper [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Thoha AS. 2008. Penggunaan Data Hotspot untuk Monitoring Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. [Karya Tulis]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

(26)

Gambar

Gambar 2 Daerah terdeteksi hotspot pada  satelit NOAA
Tabel 1 Kemampuan Spektral dari NOAA-AVHRR
Gambar 4 Jenis dimensi data spasial.
Gambar 5 Tahap-tahap penelitian.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Media ini dipilih agar sosialisasi dari sistem yang baru ini dapat cepat tersampaikan kepada para pegawai internal PT.KAI dan akan membantu mengingatkan para

Matematika pada hakikatnya matematika merupakan suatu ilmu yang didasarkan atas akal (rasio) yang berhubungan benda-benda dalam pikiran yang abstrak atau matematika

Santosa dan Rahayu (2005) Analisis PAD dan Faktor- Faktor yang Mempengaruhin ya dalam Upaya Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Kediri pengeluaran daerah, jumlah

Abdul Aziz Muslich selaku kepala sekolah SMAKH Sinar Harapan probolinggo dan Ibu Sri Nidayati., S.Pd, selaku kepala sekolah UPT SMPLB NEGERI Purworejo

1. Bagaimana tingkat kepuasan pasien terhadap kualitas pelayanan jasa pada Rumah Sakit Umum Daerah Sanjiwani di Kabupaten Gianyar?.. Faktor-faktor pelayanan jasa manakah

Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas

Mengacu pada latar belakang tersebut maka yang menjadi masalah umum dalam penelitian ini adalah ”Apakah dengan menggunakan Teknik Idex Card Match dapat meningkatkan

Alhamdulillah, segala puji dan syukur yang tiada terhingga kepada Allah SWT yang atas rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini untuk memenuhi salah