• Tidak ada hasil yang ditemukan

Telaah Kondisi Anemia yang Disebabkan oleh Cacing Haemonchus contortus pada Kambing dan Domba di Bogor, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Telaah Kondisi Anemia yang Disebabkan oleh Cacing Haemonchus contortus pada Kambing dan Domba di Bogor, Jawa Barat"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

TELAAH KONDISI ANEMIA YANG DISEBABKAN OLEH CACING

Haemonchus contortus

PADA KAMBING DAN DOMBA DI BOGOR,

JAWA BARAT

ADITYA RIZKI PRATAMA

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

ADITYA RIZKI PRATAMA. Telaah Kondisi Anemia yang Disebabkan oleh Cacing Haemonchus contortus pada Kambing dan Domba di Bogor, Jawa Barat. Dibawah bimbingan ACHMAD FARAJALLAH dan MULADNO.

Resiko yang ditimbulkan oleh pemeliharaan kambing dan domba secara tradisional khususnya di Bogor adalah produktivitas ternak rendah dan tingginya resiko infeksi parasit, salah satunya Nematoda saluran pencernaan. Nematoda saluran pencernaan yang paling banyak menginfeksi kambing dan domba di Bogor adalah Haemonchus contortus yang menyebabkan anemia. Larva 3 H. contortus dapat masuk ke dalam abomasum kambing dan domba melalui rumput. Cara untuk menduga anemia akibat H. contortus dapat berdasarkan jumlah telur per gram feses (Faecal Egg Counts/ FEC) dan warna kelopak mata berdasarkan gradasi warna FAMACHA©

card. Rataan FEC menunjukkan banyaknya investasi H. contortus dewasa di abomasum kambing dan domba. Telur H. contortus hampir dijumpai pada 153 kambing dan domba dari peternakan rakyat dan UP3 Jonggol yang fesesnya diperiksa. Haemonchus contortus menyerang kambing dan domba pada berbagai umur tetapi paling banyak saat kambing dan domba berumur 12-16 bulan. Rataan FEC domba lebih besar daripada kambing. Hal ini berhubungan dengan morfologi mulut dan cara memilih makanan. Tingginya infeksi H. contortus di Bogor disebabkan sistem pemeliharaan ternak yang masih tradisional. Domba di peternakan rakyat lebih rentan terserang anemia daripada domba di UP3 Jonggol. Arah korelasi umur dengan FEC adalah negatif, sedangkan arah korelasi antara FEC dengan FAMACHA© card adalah positif. Hal ini memberikan peluang digunakannya metode FEC dan FAMACHA© card secara bersamaan untuk menduga anemia akibat H. contortus di Bogor.

Kata kunci: kambing dan domba, anemia, Haemonchus contortus

ABSTRACT

ADITYA RIZKI PRATAMA. Study of Anaemia Condition Caused by Haemonchus contortus in Goat and Sheep in Bogor, West Java. Supervised by ACHMAD FARAJALLAH and MULADNO.

The risks of traditionally goat and sheep treatment particularly in Bogor are low livestock productivity and the high risk of parasite infection, i.e gastrointestinal Nematode. Gastrointestinal Nematode tract most infect goats and sheep in Bogor and causes anaemia is Haemonchus contortus. The 3rd phase larvae of H. contortus can get into the abomasum of goats and sheep through the grass. There are two famous methods to suspect anaemia because of H. contortus, can be based on the number of eggs per gram of feces (Faecal Egg Counts/ FEC) and eyelid color by color gradation FAMACHA© card. FEC indicates the average number of investments H. contortus

in the abomasum of goats and sheep. The H. contortus’s eggs found in nearly 153 goats and sheep from traditional farms and UP3 Jonggol that feces examined. Haemonchus contortus attacked goats and sheep at different ages but it attacked mostly at aged 12-16 months. The average of FEC from sheep higher than goats. This is related to the morphology of its mouth and food grassing. The high infection of H. contortus in Bogor due to traditional maintenance. Sheep on traditional farms are more susceptible from H. contortus than UP3 Jonggol’s sheep. The correlation between FEC and age were negative, where as the correlation between FEC with FAMACHA© card is positive. This provides an opportunity FEC and FAMACHA© card methodes used simultaneously to suspect anemia because of H. contortus in Bogor.

(3)

TELAAH KONDISI ANEMIA YANG DISEBABKAN OLEH CACING

Haemonchus contortus

PADA KAMBING DAN DOMBA DI BOGOR,

JAWA BARAT

ADITYA RIZKI PRATAMA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Judul Skripsi : Telaah Kondisi Anemia yang Disebabkan oleh Cacing

Haemonchus contortus

pada Kambing dan Domba

di Bogor, Jawa

Barat

Nama

: Aditya Rizki Pratama

NIM

: G34080037

Menyetujui,

Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si.

Pembimbing I

Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA

Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si.

Ketua Departemen Biologi

(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya,

sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian dengan judul “Telaah Kondisi Anemia yang Disebabkan oleh Cacing Haemonchus contortus pada Kambing dan Dombadi Bogor, Jawa Barat” ini dilakukan mulai Januari 2012 sampai dengan Mei 2012 di Bagian Fungsi dan Perilaku Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si. dan Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA. atas bimbingan dan arahan yang diberikan juga kepada kedua orang tua yang senantiasa menyayangi, mendidik, serta memberikan semangat kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Alex Hartana selaku dosen penguji wakil komisi pendidikan yang telah bersedia menguji dan memberikan saat ujian dan penulisan karya ilmiah. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Rahmadina Radita atas dukungan dan semangat yang diberikan. Terima kasih juga disampaikan kepada Wildan Najmal Muttaqin, S.Si., M.Si. atas bantuan dan saran selama kerja di lapang dan laboratorium; Bapak Hoiri, Bapak Widodo, dan Bapak Sasmita atas bantuan dalam pengambilan data domba di Unit Pendidikan dan Pelatihan Peternakan Jonggol; Ibu Tini, Ibu Ani, dan teman-teman di zoologi atas bantuan dalam kerja laboratorium; serta keluarga besar dosen di zoologi atas bantuan dan saran selama penulis melakukan penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman di Departemen Biologi khususnya angkatan 45 yang telah memberi bantuan, saran, dan doa.

Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juli 2012

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Trenggalek Provinsi Jawa Timur pada tanggal 4 Maret 1990 dari pasangan Wasis (almarhum) dan Sita Ruhmi Rahayu. Penulis merupakan anak tunggal di keluarga. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di SDN Sumberingin 1 dan SDN Kedungsigit 3 pada tahun 2002, SLTPN 1 Trenggalek pada tahun 2005, dan SMAN 1 Trenggalek pada tahun 2008. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL……… vii

DAFTAR GAMBAR………... vii

PENDAHULUAN………... 1

Latar Belakang……… 1

Tujuan Penelitian……… 1

BAHAN DAN METODE……… 1

Waktu dan Tempat Penelitian………. 1

Bahan………. 1

Metode………... 1

HASIL………. 2

PEMBAHASAN………. 4

SIMPULAN………. 6

(8)

vii

DAFTAR TABEL

Halaman

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Pengamatan telur cacing H. contortus menggunakan papan hitung McMaster…… 2 2 Telur cacing H. contortus diamati menggunakan mikroskop cahaya perbesaran

100x……… 2

3 Grafik hubungan antara FEC dengan umur padabeberapa bangsa (A) kambing

dan (B) domba di Bogor……….. 3 4 Grafik hubungan antara FAMACHA© card dengan FEC pada beberapa bangsa

domba di Bogor……….. 4

1 Rataan bobot badan, umur, dan FEC beberapa bangsa kambing dan domba di

Bogor………... 3 2 Nilai korelasi umur, bobot badan, dan FAMACHA©card dengan FEC pada

(9)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kambing dan domba tergolong ruminansia kecil. Kambing diklasifikasikan dalam famili Bovidae, genus Capra, spesies Capra hircus, sedangkan domba dalam spesies Ovis aries.

Karakteristik kambing berbeda dengan domba mengenai ada tidaknya jenggot, rambut, posisi ekor, dan cara makan (Coblentz 2010). Kambing lokal di Indonesia meliputi kambing kacang, kambing muara, kambing kosta, kambing marica, dan kambing benggala. Dijumpai pula kambing introduksi, yakni kambing etawah dan kambing saanen, dan kambing peranakan, yakni peranakan etawah, dan kambing boerka (Batubara & Doloksaribu 2005). Domba yang biasa ditemukan di Indonesia, khususnya pulau Jawa adalah domba ekor gemuk dan ekor tipis (Priangan) (Herman 1988).

Populasi kambing dan domba di Jawa Barat tahun 2010 sebanyak 831.388 ekor dan 1.659.670 ekor (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011). Total populasi tersebut belum mampu menutupi kebutuhan konsumsi daging sehingga perlu ada peningkatan dalam produktivitas ternak melalui seleksi, persilangan, pengontrolan kesehatan, dan perbaikan pemeliharaan peternakan. Sistem pemeliharaan kambing dan domba di Indonesia masih tradisional dengan skala kepemilikan kecil, sehingga produktivitas rendah dan tingginya resiko infeksi parasit.

Secara alami, kambing dan domba lokal Indonesia mempunyai keistimewaan dalam hal tingkat reproduksi, kualitas kulit dan karkas, serta daya tahan terhadap serangan parasit. Namun, sebagai konsekuensi dari tingginya daya tahan kambing dan domba lokal terhadap parasit, kambing dan domba lokal Indonesia memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dengan laju pertumbuhan yang lebih lambat daripada kambing dan domba introduksi.

Salah satu parasit yang menginfeksi saluran pencernaan kambing dan domba khsusnya di Jawa Barat adalah cacing

Haemonchus contortus (Beriajaya 2005). Penyakit yang disebabkan oleh H. contortus

disebut haemonchosis. Penyakit ini memiliki tiga gejala klinis, yaitu haemonchosis hiperakut, akut, dan kronik. Haemonchosis hiperakut terjadi jika jumlah H. contortus

lebih dari 10000 ekor, haemonchosis akut

terjadi ketika jumlah H. contortus antara 1000-10000 ekor, sedangkan haemonchosis kronik terjadi ketika jumlah H. contortus

antara 100-1000 ekor (Soulsby 1982). Penyakit haemonchosis menyebabkan ternak menderita diare, dehidrasi, berkurangnya bobot badan, dan anemia.

Pendugaan kondisi anemia haemonchosis pada kambing dan domba menggunakan metode FEC (Fecal Egg Counts), yakni pemeriksaan mikroskopis mengenai kuantitas telur parasit dari feses ternak (Evans & Rood 2009). Selain FEC, pendugaan kondisi anemia haemonchosis dapat dilakukan menggunakan FAMACHA© card. FAMACHA© card

pertama kali dikembangkan di Afrika Selatan untuk mendeteksi anemia haemonchosis berdasarkan warna kelopak mata ternak. Kartu ini telah digunakan di beberapa negara dengan akurasi yang bervariasi (Bisset et al. 2001; Van Wyk & Bath 2002; Kaplan et al. 2004; Gauly et al. 2004; Sissay et al. 2007). Di Indonesia, khususnya di Bogor, kondisi anemia haemonchosis belum diketahui berdasarkan FEC dan FAMACHA© card.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara kejadian anemia akibat cacing H. contortus melalui jumlah telur cacing per gram feses (FEC) pada beberapa bangsa kambing, serta FAMACHA©

card pada beberapa bangsa domba di beberapa tempat di Bogor.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari sampai Mei 2012 di Laboratorium Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan Departemen Biologi, FMIPA, IPB.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah feses kambing dan domba yang diambil dari peternakan rakyat di beberapa tempat di Bogor dan dari Unit Pendidikan dan Pelatihan Peternakan Jonggol (UP3 Jonggol), Fapet, IPB (Tabel 1). peternakan rakyat. Umur diperoleh

(10)

berdasarkan jumlah pasang gigi seri pada ternak. Bobot kambing dan domba di peternakan rakyat diperoleh berdasarkan metode judging dan dari UP3 Jonggol diperoleh dari penimbangan langsung.

FAMACHA©card

Deteksi kondisi anemia pada domba dengan cara membandingkan warna kelopak mata bawah domba dengan gradasi warna pada FAMACHA© card yang bergradasi 5 tingkat. Gradasi 1 berwarna merah, non anemia; 2 antara merah dengan merah muda, non anemia; 3 merah muda, diduga anemia; 4 berwarna merah muda putih, anemia; dan 5 preparasi sampel dan uji keberadaan telur.

Preparasi sampel. Sebanyak 5 gram feses digerus dan disuspensikan dalam air sambil diaduk kemudian disaring. Hasil saringan diencerkan dengan 200 ml air dan diendapkan dengan cara didiamkan selama 10 menit. Endapan yang diperoleh kemudian disuspensikan dengan air sampai 200 ml, pengenceran dilakukan sebanyak tiga kali sampai endapan jernih. Uji keberadaan telur. Endapan hasil preparasi dipipet 0,05 ml dan diteteskan ke dalam papan hitung McMaster (Whitlock 1948). Pengamatan sebanyak tiga kali dilakukan di bawah mikroskop cahaya perbesaran 100x. Setiap sumur (chamber)

mewakili satu kali pengamatan. Pengamatan menggunakan papan hitung McMaster dilakukan seperti pada Gambar 1.

Gambar 1 Pengamatan telur cacing H. contortus menggunakan papan hitung McMaster.

Telur H. contortus berukuran 69-85 x 40-45 µm berbentuk simetris, memiliki cangkang tipis dan berkitin. Kepastian telur H. contortus

yang diperoleh mengikuti deskripsi telur yang dibuat oleh Nila (2009).

Analisis Data

Arah dan nilai korelasi antara umur dengan FEC pada kambing dan domba, serta

FEC dengan FAMACHA© card pada domba dicari menggunakan Microsoft Excel 2007 dan analisisnya dilakukan secara deskriptif.

HASIL

Haemonchus contortus betina dewasa dapat menghasilkan telur sebanyak 10000 telur/individu/hari yang dikeluarkan ke lingkungan bersamaan dengan feses kambing maupun domba. Telur H. contortus berbentuk lonjong simetris, berwarna kemerahan dan dilindungi oleh cangkang (Gambar 2).

Gambar 2 Telur cacing H. contortus diamati menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 100x.

Kambing benggala jantan dan betina memiliki rataan bobot yang paling besar daripada kambing yang lainnya, sedangkan rataan bobot jantan terbesar pada domba dimiliki oleh domba ekor gemuk peternakan rakyat (DEG T), dan pada domba betina dimiliki oleh domba garut peternakan rakyat (DGar T). Secara umum, bobot badan kambing dan domba betina pada penelitian ini lebih besar daripada jantannya. Umur kambing dan domba yang diambil fesesnya pada penelitian ini antara empat sampai 36 bulan. Kambing kacang memiliki rataan jumlah telur (FEC) H. contortus paling banyak di antara kambing yang lain, sedangkan domba ekor tipis peternakan rakyat (DET T) memiliki rataan telur H. contortus

paling banyak di antara bangsa domba yang lain. Domba ekor tipis UP3 Jonggol (DET J) memiliki rataan telur H. contortus paling sedikit dibandingkan bangsa domba yang lain (Tabel 1). telur/gram feses, pada kambing benggala sebanyak 587 telur/gram feses, pada kambing

100 µm

(11)

saanen sebanyak 947 telur/gram feses. Jumlah telur H. contortus terbanyak pada DET T sebanyak 1080 telur/gram feses, pada DEG T sebanyak 1800 telur/gram feses, pada DGar T sebanyak 347 telur/gram feses, dan pada DET J sebanyak 667 telur/gram feses.

Investasi H. contortus mengalami kenaikan sesuai gradasi warna dan kondisi anemia haemonchosis menurut FAMACHA©

card. Namun, pada gradasi warna 5, investasi

H. contortus turun hingga mendekati nol. Rata-rata domba yang investasi H. contortus-

nya tinggi memiliki warna kelopak mata merah muda dan merah muda putih (Gambar 4).

Korelasi antara umur dengan FEC, dan FAMACHA© card dengan FEC menunjukkan variasi antara tiap-tiap spesies dan bangsa. Nilai korelasi > 0 menunjukkan adanya keterkaitan positif antara faktor-faktor yang dibandingkan, sedangkan nilai < 0 berarti ada korelasi negatif antara faktor-faktor yang dibandingkan (Tabel 2).

Tabel 1 Rataan bobot badan, umur, dan FEC beberapa bangsa kambing dan domba di Bogor

Identitas

DET T: domba ekor tipis peternakan rakyat, DEG T: domba ekor gemuk peternakan rakyat, DGar T: domba garut peternakan rakyat, DET J: domba ekor tipis UP3 Jonggol.

(12)

PEMBAHASAN

Anemia yang disebabkan oleh cacing H. contortus merupakan salah satu masalah yang dihadapi peternak kambing dan domba di Indonesia. Telur H. contortus yang dikeluarkan bersamaan dengan feses kambing dan domba akan berkembang menjadi L1, L2, dan L3 (larva infektif) pada lingkungan yang optimum. Telur H. conttortus yang telah berkembang menjadi L3 akan bergerak menuju daun bagian abaksial rumput untuk berlindung dari cahaya matahari. Larva 3 H. contortus akan berkembang menjadi cacing H. contortus dewasa yang akan memakan darah hospes sehingga ternak menderita kekurangan darah (anemia), selain itu, napsu makan ternak berkurang.

Berkurangnya napsu makan ternak akibat infeksi H. contortus menyebabkan penurunan bobot badan ternak. Penurunan napsu makan menyebabkan ternak terlihat lemas dan mudah terserang penyakit, sehingga pada akhirnya menyebabkan berkurangnya produktivitas daging ternak yang dapat dihasilkan. Akibatnya, infeksi H. contortus secara tidak

langsung dapat menyebabkan tidak tercukupinya konsumsi masyarakat terhadap daging ternak, terutama daging kambing dan domba.

Menurut Kriswito (2001), H. contortus

menginfeksi kambing dan domba saat mulai meramban. Infeksi H. contortus terbanyak pada penelitian ini ditemukan ketika kambing dan domba berumur 12 sampai 16 bulan. Umur tersebut merupakan saat kambing dan domba mulai dapat bereproduksi dan dapat diambil dagingnya untuk berbagai kebutuhan konsumsi. Infeksi H. contortus makin menurun sampai kambing dan domba berusia dewasa. Namun, bukan berarti kambing dan domba yang berusia dewasa tidak terserang H. contortus. Cacing ini menyerang kambing dan domba pada berbagai usia dengan prevalensi yang tinggi. Khususnya di Indonesia yang beriklim tropis, H. contortus dapat menyerang kambing dan domba sepanjang tahun dengan prevalensi yang lebih tinggi pada musim hujan daripada kemarau (Ridwan et al. 1996).

Infeksi H. contortus pada penelitian ini lebih banyak ditemui pada kambing dan domba jantan berdasarkan rataan FEC-nya. Gambar 4 Grafik hubungan antara FAMACHA©

card dengan FEC pada beberapa bangsa domba di Bogor.

Tabel 2 Nilai korelasi umur, bobot badan, dan FAMACHA©card dengan FEC pada beberapa bangsa kambing dan domba di Bogor

(13)

Namun demikian, hal ini tidak menunjukkan bahwa kambing dan domba jantan lebih rentan terinfeksi H. contortus daripada kambing dan domba betina. Penyebab dari kejadian ini adalah adanya ketidakseimbangan pengambilan jumlah sampel berdasarkan jenis kelamin pada kambing dan domba yang diperiksa fesesnya.

Rataan FEC bervariasi pada berbagai spesies dan bangsa kambing dan domba. Rataan FEC yang tinggi juga menunjukkan banyaknya cacing H. contortus dewasa yang terdapat pada saluran pencernaan kambing dan domba. Banyaknya cacing H. contortus

yang menyerang kambing dan domba di Bogor antara lain karena sistem pemeliharaan dan pemberian pakan yang masih bersifat tradisional. Pemeliharaan secara tradisional memungkinkan L3 H. contortus yang hidup di rerumputan dapat masuk dan berkembang menjadi H. contortus dewasa di saluran pencernaan kambing dan domba dengan memakan sel darah merah sehingga menyebabkan anemia (Hutapea 2001).

Rataan FEC paling sedikit pada bangsa kambing yang digunakan dalam penelitian ini ditemukan pada kambing benggala sedangkan rataan FEC yang paling banyak ditemui pada bangsa kambing kacang. Rataan FEC paling banyak pada bangsa domba yang digunakan pada penelitian ini ditemukan pada DET T sedangkan yang paling sedikit ditemukan pada DET J. Seharusnya, kambing kacang dan DET lebih tahan terhadap parasit daripada bangsa kambing dan domba lainnya. Hal ini karena kambing kacang dan DET merupakan kambing dan domba lokal Indonesia. Salah satu keunggulan domba lokal adalah tahan terhadap parasit. Namun demikian, kambing dan domba lokal di Indonesia memiliki ukuran tubuh yang kecil dengan laju pertumbuhan yang relatif lambat (Sumantri et al. 2007).

Berdasarkan rataan FEC, telur cacing H. contortus dijumpai pada hampir semua kambing dan domba yang fesesnya diperiksa. Artinya cacing dewasa H. contortus juga terdapat pada hampir semua kambing dan domba pada penelitian ini dengan investasi yang bervariasi. Semakin tinggi investasi cacing dewasa H. contortus pada saluran pencernaan kambing dan domba, maka semakin tinggi pula resiko kambing dan domba tersebut terkena anemia haemonchosis.

Telur cacing H. contortus lebih banyak ditemukan pada bangsa domba daripada

kambing pada penelitian ini berdasarkan rataan FEC-nya. Selain karena perbedaan sistem pemeliharaan dan pemberian pakan, hal ini juga disebabkan oleh perbedaan morfologi mulut serta cara memilih makanan kambing dan domba. Menurut Hanafiah et al. 2002, morfologi mulut domba yang pendek menyebabkan domba lebih memilih makan pada hamparan ternak gembalaan dan hijau-hijauan yang tidak menggantung.

Domba di peternakan rakyat di Bogor lebih rentan terinfeksi H. contortus

dibandingkan domba yang dipelihara di UP3 Jonggol berdasarkan rataan FEC-nya. Kambing dan domba di peternakan rakyat di Bogor umumnya dipelihara secara tradisional. Masuknya L3 H. contortus ke dalam saluran pencernaan ternak dapat melalui rumput yang digunakan sebagai pakan utama ternak di peternakan rakyat. Domba di UP3 Jonggol dipelihara secara semi modern, pembersihan kandang dan pengontrolan kesehatan yang rutin, serta adanya rotasi penggembalaan.

Berdasarkan nilai FEC-nya, infeksi H. contortus pada bangsa kambing dan domba pada penelitian ini berkorelasi negatif dengan umur. Hanya DEG T dan DGar T yang rataan FEC-nya berkorelasi positif dengan umur domba. Korelasi negatif antara FEC dengan umur disebabkan adanya akumulasi kekebalan yang mengikuti umur. Kambing dan domba yang masih bisa bertahan hidup pada musim panas pertama yang dialaminya akan dapat mengeluarkan hampir semua parasit secara spontan melalui feses. Akibatnya, setelah hewan tersebut dewasa hanya akan terinfeksi parasit dengan jumlah sedikit dan tidak berbahaya (Levine 1990).

Korelasi antara FEC dengan FAMACHA©

card pada bangsa domba di penelitian ini menunjukkan korelasi positif. Ini berarti bahwa kejadian anemia pada bangsa domba akibat H. contortus pada penelitian ini dapat diduga melalui FEC dan dapat dipastikan menggunakan FAMACHA© card. Korelasi positif antara FEC dengan FAMACHA©card

memberikan peluang penggunaan dua metode tersebut untuk menduga anemia akibat H. contortus pada bangsa domba di Bogor. Namun, untuk Indonesia pada umumnya dengan wilayah yang luas serta curah hujan yang bervariasi, metode pendugaan anemia akibat infeksi cacing H. contortus

menggunakan FEC dan FAMACHA© card

perlu diteliti lebih lanjut. FAMACHA© card

(14)

dipakai secara bersamaan di beberapa negara untuk menduga anemia akibat H. contortus

dengan hasil yang bervariasi (Kaplan et al. 2004; Loria et al. 2009; Scheuerle et al. 2010).

SIMPULAN

Kasus anemia haemonchosis diduga dijumpai pada hampir semua kambing dan domba pada penelitian ini. Berdasarkan nilai FEC dan FAMACHA© card, kambing dan domba di Bogor diduga banyak yang menderita anemia haemonchosis. Anemia haemonchosis pada kambing dan domba di Bogor antara lain disebabkan oleh sistem pemeliharaan yang masih tradisional dan tidak adanya pengontrolan kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

Batubara A, Doloksaribu M. 2005. Koleksi ex-situ dan Karakterisasi Plasma Nutfah Kambing Potong. Sumatera Utara: Loka Penelitian Kambing Potong.

Beriajaya. 2005. Gastrointestinal nematode infections on sheep and goats in West Java, Indonesia. J Ilmu Ternak Vet 10:293-304.

Bisset et al. 2001. Phenotypic and genetic relationships amongst FAMACHA score, faecal egg count and performance data in Merino sheep exposed to Haemonchus contortus infection in South Africa.

Proceedings of the 5th International Sheep Veterinary Congress. Stellenbosch, South Africa. pp 22–25.

Coblentz B. 2010. Capra hircus (mammal). [terhubung berkala]. http://www.issg.org [2 Nov 2011].

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011. Statistika Peternakan. Jakarta: Departemen Pertanian.

Evans PA, Rood K. 2009. Fecal egg count tests improve deworming programs. [terhubung berkala]. http://extension.usu. edu [2 Nov 2011].

Gauly M, Schackert M, Erhardt G. 2004. Use of FAMACHA scoring system as a diagnostic aid for the registration of distinguishing marks in the breeding program for lambs exposed to an experimental Haemonchus contortus

infection. Dtsch Tierarztl Wochenschr

111:430–433.

Hanafiah M, Winaruddin, Rusli. 2002. Studi infeksi Nematoda gastrointestinal pada kambing dan domba di rumah potong hewan Banda Aceh. J Sain Vet 1:15-19.

Herman R. 1988. Kualitas Karkas Domba Lokal Hasil Penggemukan. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Bogor: Puslitbang Peternakan. hlm 228-233.

Hutapea R. 2001. Studi komparatif habitat larva cacing endoparasit gastrointestinal

Haemonchus contortus pada vegetasi padang penggembalaan domba di Kabupaten Langkat Sumatera Utara [tesis]. Sumatera Utara: Program Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara.

Kriswito AD. 2001. Pengaruh pencekokan simplisia mengkudu (Morinda citrifolia) terhadap bobot badan dan derajat kecacingan pada domba yang diinfeksi

Haemonchus contortus [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Levine ND. 1990. Parasitology Veteriner. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Loria et al. 2009. Evaluation of the FAMACHA© system for detecting the severity of anaemia in sheep from southern Italy. Vet Parasitol 161:53-59.

Nila S. 2009. Infestasi cacing pada domba ekor tipis dari rumah pemotongan domba rakyat di Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Ridwan YS, Kusumamihardja P, Dorny, Vercruysse J. 1996. The epidemiology of gastro-intestinal nematodes of sheep in West Java Indonesia. Hemerazoa 78:8-18.

Scheuerle M, Mahling M, Muntwyler J, Pfister K. 2010. The accuracy of the FAMACHA©-method in detecting anaemia and haemonchosis in goat flocks in Switzerland under field conditions. Vet Parasitol 170:71-77.

(15)

Sissay MM, Uggla A, Waller J. 2007. Epidemiology and seasonal dynamics of gastrointestinal nematode infections of sheep in a semi-arid region of eastern Ethiopia. Vet Parasitol 143:311–321.

Soulsby EJL. 1982. Helmiths, Artropods, and Protozoa of Domesticated Animals (Monnig). Ed ke-7. New York and London: Academic Press.

Sumantri C, Einstiana A, Salamena JF, Inounu I. 2007. Keragaman dan hubungan phylogenik antar domba lokal di Indonesia melalui pendekatan analisis morfologi.

JITV 1:42-54.

Van Wyk JA, Bath GF. 2002. The FAMACHA system for managing haemonchosis in sheep and goats by clinically identifying individual animals for treatment. Vet Res 33:509–529.

Whitlock HV. 1948. Some modifications of the McMaster helminth egg counting

technique and apparatus. J Counc Sci Ind Res 21:177-180.

(16)

Gambar

Gambar 2 Telur cacing  H. contortus diamati  menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 100x
Gambar 3 Grafik hubungan antara FEC dengan umur pada beberapa bangsa (A) kambing dan (B)

Referensi

Dokumen terkait

Osteomyelitis akut adalah infeksi tulang panjang yang disebabkan oleh infeksi lokal akut atau trauma tulang, biasanya disebabkan oleh escherichia coli, staphylococcus aureus,

Penelitian ini berhasil memberikan kontribusi bagi pelaku bisnis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi sikap pelanggan terhadap media sosial yang digunakan pemasar

Berdasarkan kinerja yang diperoleh dalam penelitian ini, pengembangan sistem machine vision pada Unmanned Aerial Vehicle (UAV) memiliki ketepatan tinggi untuk deteksi objek

guru pertanyaan guru selama proses pembelajaran, dan refleksi siswa. Kebanyakan asesmen yang digunakan di kelas adalah asesmen informal. Asesmen ini terjadi selama

[r]

Dari hasil penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel gaji, kepemimpinan dan sikap rekan kerja berpengaruh signifikan positif

Berdasarkan hasil penelitian, analisis dan pembahasan dengan menggunakan teori bekerjanya hukum, maka dapat disimpulkan bahwa laporan penggunaan bantuan keuangan

Kajian ini dilakukan untuk mendeskripsikan pola sebaran spasial dan keanekaragaman jenis vegetasi serta mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan ekosistem