• Tidak ada hasil yang ditemukan

Study of Water Consumption, Growth Responses and Production of Two Rice Varieties in Different Irrigation Systems

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Study of Water Consumption, Growth Responses and Production of Two Rice Varieties in Different Irrigation Systems"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KONSUMSI AIR, RESPON PERTUMBUHAN DAN

PRODUKSI DUA VARIETAS PADI PADA BEBERAPA

SISTEM PENGAIRAN

AHMAD RIFQI FAUZI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Konsumsi Air, Respon Pertumbuhan dan Produksi Dua Varietas Padi pada Beberapa Sistem Pengairan

adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012

(3)

ABSTRACT

AHMAD RIFQI FAUZI. Study of Water Consumption, Growth Responses and Production of Two Rice Varieties in Different Irrigation Systems. Supervised by : AHMAD JUNAEDI, ISKANDAR LUBIS, and HIROSHI EHARA.

Water is one of the important inputs to support the growth and development of plants. Currently, water availability tend to be more limited due to environmental quality degradation and global warming. This study was conducted to determine the amount of water consumption of two rice varieties (IR-64 and Jatiluhur) in four irrigation systems (conventional, water-saturated, intermittent, and upland). The study was performed using a split block design with three replications. Upland system planted with direct seeding, while for others system transplanted at 12 days old seedling. Rice plants were grown under plastic house with 3 m x 3 m area per experimental unit, and water volume recorded by flowmeter in inlet systems. Observed variable consist of growth component, stomatal charactheristics, productivity and production component. The results showed that the conventional system consumed the highest volume of water (426,768 l) in one seasson. The least consumption of water reached by upland system (3,883 l), while the water saturated system consumed 74.3% and intermittent consumed 37.9% of conventional system water consumption. In the other hand, the intermittent and conventional systems had higher productivity than water saturated and upland sytems. There were no significantly different between varieties in water consumption. However, the yields of Jatiluhur variety produced higher grain per plot than IR-64 variety. The highest efficiency of water consumption reached by upland system (0.531 g/l), the second was intermittent system (0.020 g/l), and the lowest were conventional and water saturated systems (0.008 g/l).

(4)

RINGKASAN

AHMAD RIFQI FAUZI. Studi Konsumsi Air, Respon Pertumbuhan dan Produksi Dua Varietas Padi pada Beberapa Sistem Pengairan. Dibimbing oleh AHMAD JUNAEDI, ISKANDAR LUBIS, dan HIROSHI EHARA.

Air merupakan salah satu unsur penting dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Peningkatan keterbatasan sumberdaya air saat ini diperkirakan sebagai salah satu penyebab krisis pangan. Kelangkaan air yang melanda saat ini dikarenakan meningkatnya kebutuhan air semua sektor kehidupan juga adanya anomali iklim yang menyebabkan sumber air primer (hujan) terbatas. Studi mengenai konsumsi air pada sistem budidaya dan pengelolaan air tanaman pangan dibutuhkan untuk mengetahui efisiensi penggunaan air dari tanaman tersebut. Hal ini untuk mendukung para pemulia tanaman untuk mendapatkan informasi mengenai karakter tanaman yang mampu beradaptasi pada kondisi ketersediaan air terbatas serta mempunyai efisiensi penggunaan air yang tinggi.

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui konsumsi air, respon pertumbuhan dan produksi dua varietas padi (IR-64 dan Jatiluhur) pada empat sistem pengairan (konvensional, jenuh air, pengairan intermittent, dan sistem gogo). Penelitian ini disusun dengan menggunakan rancangan petak terbagi dengan tiga ulangan. Penelitian ini dilaksanakan pada petakan yang berada di dalam rumah plastik Kebun Percobaan Sawah Baru IPB. Perhitungan konsumsi air dilakukan dengan memasang flowmeter pada pipa saluran yang menuju petakan percobaan. Jumlah air yang masuk tertera pada angka yang ada di flowmeter dan diukur setiap minggu. Penanaman untuk sistem gogo (upland system) dilakukan dengan tanam benih langsung sedangkan sistem pengairan lainnya dengan pindah tanam menggunakan bibit berumur 12 hari. Petak tanam berukuran 3 m x 3 m per unit percobaan. Parameter pengamatan pada penelitian ini terdiri dari komponen pertumbuhan, karakteristik stomata, produktivitas dan komponen hasil.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi air sistem pengairan konvensional paling tinggi (426 768 l) dalam satu musim. Konsumsi air terendah diperoleh dari sistem gogo (upland system) dengan 3 883 l, sedangkan sistem pengairan jenuh air mengkonsumsi 74.3% dan intermittent mengkonsumsi 37.9% dari konsumsi air sistem pengairan konvensional. Selain itu, sistem konvensional dan intermittent menghasilkan produktivitas lebih tinggi dibandingkan sistem jenuh air dan sistem gogo. Tidak ada perbedaan konsumsi air antara varietas Jatiluhur dan IR-64. Namun demikian, varietas Jatiluhur memberikan hasil per petak lebih besar dibandingkan IR-64. Efisiensi konsumsi air terbesar diperoleh dari sistem gogo (0.531 g/l), diikuti oleh sistem intermttent (0.020 g/l), dan yang terendah adalah sistem konvensional dan jenuh air (0.008 g/l).

(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan

b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(6)

STUDI KONSUMSI AIR, RESPON PERTUMBUHAN DAN

PRODUKSI DUA VARIETAS PADI PADA BEBERAPA

SISTEM PENGAIRAN

AHMAD RIFQI FAUZI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Judul : Studi Konsumsi Air, Respon Pertumbuhan dan Produksi Dua Varietas Padi pada Beberapa Sistem Pengairan

Nama : Ahmad Rifqi Fauzi NIM : A252100031

Disetujui Komisi Pembimbing

Diketahui

Tanggal Ujian : 11 Juni 2012

Tanggal Lulus :

Dr. Ir. Ahmad Junaedi, MSi Ketua

Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS Anggota

Prof. Hiroshi Ehara, Ph.D Anggota

Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura

Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

(9)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga Tugas Akhir Tesis ini dapat diselesaikan. Penelitian untuk Tesis ini berjudul Studi Konsumsi Air, Respon Pertumbuhan dan Produksi Dua Varietas Padi pada Beberapa Sistem Pengairan. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Mei - Oktober 2011. Penelitian dan penyelesaian tesis ini dibiayai oleh Program I-MHERE B.2.C IPB.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus dari penulis kepada Dr. Ir. Ahmad Junaedi, MSi, Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS, dan Prof. Hiroshi Ehara, Ph.D selaku komisi pembimbing atas waktu dan kesempatan yang telah diberikan dalam mengarahkan dan membimbing penulis selama penelitian berlangsung dan dalam penyusunan tesis ini.

Penghargaan yang setinggi-tingginya serta rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan juga kepada :

1. I-MHERE B.2.C IPB yang telah membiayai seluruh biaya pendidikan Sekolah Pascasarjana dan kegiatan penelitian penulis.

2. Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S selaku Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura dan pimpinan sidang ujian atas saran serta koreksinya yang sangat bermanfaat bagi perbaikan tesis ini.

3. Dr. Ir. Supijatno, M.Si yang telah berkenan menjadi dosen penguji luar komisi dan atas saran serta koreksinya yang telah diberikan untuk perbaikan tesis ini. 4. Kepala dan Staf Kebun Percobaan Sawah Baru atas kerjasama dan bantuannya

selama penelitian berlangsung.

5. Pak Nandang Hasanuddin dan Mas Joko Mulyono atas kerjasama dan bantuannya dalam penelitian ini.

6. Keluarga tercinta terutama Ayahanda H. Sabrawi (Alm) dan Ibunda Hj. Yoyoh Juhaeriyah serta adik-adik (Moh. Rizza Ferdiansyah dan Hilda Fauziah) yang telah memberikan doa, kasih sayang, dan dorongan semangat yang besar sampai detik ini.

(10)

8. Rekan-rekan mahasiswa pascasarjana Departemen Agronomi dan Hortikultura

(AGH, PBT, ITB) yang telah memberikan dukungan serta kerjasamanya selama penulis menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.

9. Rekan-rekan pengurus Forum Mahasiswa Pascasarjana AGH (FORSCA AGH-IPB) atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2012

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Pandeglang, Propinsi Banten, pada tanggal 27 Juli 1987. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sabrawi (Alm.) dan Ibu Yoyoh Juhaeriah.

Riwayat pendidikan penulis dimulai tahun 1991 di TK Pertiwi Pandeglang. Tahun 1993 penulis masuk SD Negeri Karaton III Pandeglang. Tahun 1999 penulis melanjutkan studi di MTs Negeri 1 Pandeglang sampai tahun

2002. Pada tahun 2005 penulis menyelesaikan studi di SMA Negeri 1 Pandeglang. Tahun 2005 penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Tahun 2006 penulis diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian dan lulus tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana IPB dengan dukungan pembiayaan melalui Program I-MHERE IPB B.2.C.

(12)

DAFTAR ISI

Kerapatan Stomata, Kerapatan Trikoma dan Warna Daun (SPAD) ... 27

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap jumlah anakan

dan jumlah anakan produktif... 24

2. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap kerapatan stomata, kerapatan trikoma dan warna daun... 27

3. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap umur berbunga, panjang malai, jumlah gabah malai-1, dan kepadatan malai 30

4. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan nisbah tajuk/akar... 31

5. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap jumlah gabah isi rumpun-1, persentase gabah isi, bobot 1000 butir gabah, dan indeks panen... 32

6. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap produksi gabah per rumpun... 35

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Keragaan masing- masing perlakuan sistem pengairan : a. Konvensional; b. Jenuh air; c. Intermittent; d. Sistem gogo... 18 2. Konsumsi air kumulatif sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b)

selama satu musim tanam... 19

3. Pertumbuhan tinggi tanaman pada beberapa sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b)... 22

4. Pertambahan jumlah anakan tanaman padi pada beberapa sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b)... 23

5. Pertumbuhan jumlah daun tanaman padi pada beberapa sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b)... 25

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Deskripsi varietas padi IR-64... 46

2. Deskripsi varietas padi Jatiluhur... 47

3. Lay out penelitian... 48 4. Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah yang digunakan untuk

penelitian... 49

5. Keragaan suhu dan kelembaban di dalam rumah plastik selama penelitian... 50

6. Data iklim bulanan... 50

7. Rekapitulasi sidik ragam pertumbuhan vegetatif... 51

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ketersediaan air untuk tanaman pertanian khususnya tanaman pangan akan semakin langka pada masa mendatang. Hal ini disebabkan meningkatnya kebutuhan air semua sektor kehidupan, sementara sumber-sumber air terutama air tanah semakin berkurang seiring meningkatnya alih fungsi lahan. Hal ini juga diperparah oleh adanya anomali iklim yang menyebabkan kekeringan sehingga sumber air primer (hujan) menjadi terbatas (Setiobudi 2008). Untuk tanaman padi sawah, kelangkaan air dapat berpengaruh negatif terhadap produksi padi. Sekitar 70% produksi padi nasional berasal dari padi sawah irigasi (Setiobudi & Fagi 2009).

Konsekuensi dari kelangkaan air diperkirakan dapat menurunkan produksi padi karena luas areal tanam berkurang dan kebutuhan tanaman tidak terpenuhi. Menurut Setiobudi dan Fagi (2009), kebutuhan air untuk satu musim tanam padi berkisar antara 590 – 760 mm (5.9 x 106 – 7.6 x 106 l/ha/musim). Sedangkan kebutuhan air harian untuk padi yang berumur genjah dan berumur panjang mencapai maksimum pada fase reproduktif, yaitu antara fase berbunga sampai 50% pengisian gabah mencapai 8.0 – 8.8 mm/hari, kemudian menurun pada fase pematangan menjadi 7.3 – 7.6 mm/hari. Semakin panjangnya periode kekeringan dan semakin tidak pastinya musim mengisyaratkan pentingnya upaya melakukan efisiensi penggunaan air, sebagai salah satu sumberdaya utama proses fisiologis kehidupan tanaman.

Laporan FAO (2004) menunjukkan bahwa rata-rata pemakaian air untuk satu kali musim tanam padi berkisar antara 900 - 2 250 mm (9 x 106 – 2.25 x 107 l/ha/musim), sementara menurut Bouman et al. (2007) rata-rata pemakaian air untuk padi sawah mencapai 1 300 – 1 500 mm dimana 25 - 50% dari jumlah tersebut hilang akibat perkolasi dan perembesan. Tingginya kebutuhan air untuk

(17)

(Bouman et al. 2007). Sistem budidaya padi pada lahan sawah membutuhkan ketersediaan air yang tidak sedikit. Kondisi penggenangan terus menerus selama siklus pertumbuhan padi membutuhkan pasokan air dalam jumlah cukup secara terus menerus dan membatasi tumbuhnya gulma non akuatik.

Besarnya kebutuhan air untuk satu kali produksi padi ditentukan oleh teknik pengelolaan air yang efektif dan efisien. Pengelolaan air untuk produksi tanaman harus memperhatikan sifat fisik dan kimia tanah, kondisi cuaca, jenis tanaman (varietas), ketersediaan air dan sistem pengairan. Pengelolaan air untuk mengantisipasi kelangkaan air dapat dilakukan melalui pengaturan sistem pengairan dan varietas karena berhubungan dengan kebutuhan air untuk produksi tanaman (Setiobudi & Fagi 2009).

Penelitian mengenai konsumsi air pada padi dan efisiensi penggunaannya penting dilakukan karena semakin terbatasnya ketersediaan air sebagai faktor penting bagi produksi padi. Informasi kebutuhan air tanaman padi diperlukan untuk para peneliti maupun petani dalam menyeleksi varietas padi yang dapat beradaptasi baik pada kondisi kekurangan air. Supijatno et al. (2012) telah melakukan evaluasi volume konsumsi air pada beberapa genotipe padi. Konsumsi

air bervariasi dengan kisaran 15.93 - 24.13 l/tanaman. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan morfologi maupun karakter fisiologi antar genotipe. Teknik penggenangan pada budidaya konvensional membutuhkan air dalam jumlah sangat besar. Brown et al. (1978) melaporkan bahwa hanya 48% (566.4 mm) dari kebutuhan irigasi sebesar 1 180 mm yang digunakan untuk proses

evapotranspirasi. Kehilangan lain terjadi melalui run off dan infiltrasi.

(18)

dengan budidaya konvensional (penggenangan permanen), namun budidaya jenuh

air mampu menurunkan penggunaan air hingga 32% pada dua musim tanam. Dengan demikian efisiensi penggunaan air pada teknik jenuh air menunjukkan nilai yang lebih baik dibandingkan teknik konvensional. Pada metode jenuh air diperoleh komponen kualitas hasil yang tidak berbeda dengan pengairan konvensional. Hal ini mengindikasikan bahwa penghematan pemberian air tidak menurunkan kualitas hasil tanaman padi. Pertumbuhan gulma secara keseluruhan lebih tinggi pada metode jenuh air sehingga perlu ada pengendalian khusus terhadap gulma apabila akan menggunakan metode jenuh air ini.

Pengairan berselang (intermittent irrigation) adalah pengaturan kondisi lahan dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian (BB Padi 2009). Pengairan dilakukan secara periodik pada fase tertentu. Pada saat tanaman memasuki fase berbunga, ketinggian air di areal pertanaman dipertahankan sekitar 2 - 3 cm (Badan Litbang Pertanian 2010). Hasil pengkajian Setiobudi dan Fagi (2009) melaporkan bahwa pengairan intermittent setiap sembilan hari sekali mampu menghemat air sebesar 40% tetapi tidak menurunkan hasil.

Pemilihan varietas juga menjadi hal penting dalam penerapan teknologi

produksi padi yang hemat air tetapi menghasilkan produksi yang tinggi. IR-64 merupakan salah satu varietas yang hemat dalam mengkonsumsi air. Berdasarkan hasil penelitian Supijatno et al. (2012) dilaporkan bahwa varietas IR-64 mengkonsumsi air sebesar 15.93 l/tanaman dan konsumsi ini yang terendah diantara varietas lain yang dicobakan. Varietas IR-64 sampai saat ini masih

merupakan varietas dengan luas areal tanam terluas di Indonesia. Menurut Suprihatno dan Daradjat (2009), pada tahun 2006 luas areal tanam varietas IR-64 mencapai 45.51% dan menempati urutan pertama dari varietas unggul yang ditanam di Indonesia.

(19)

pelepasan air, dan tingkat pertumbuhan yang lebih respon terhadap kondisi lahan

lebih kering dibandingkan kondisi lahan jenuh air (Lafitte & Bennet 2002). Pada kondisi air terbatas atau di bawah kejenuhan, maka akan terjadi penurunan/pengurangan permukaan luas daun serta laju fotosintesis dan ukuran sink (Bouman & Tuong 2001), menginduksi penggulungan pada daun (leaf rolling) dan mempercepat pengguguran daun (Turner et al. 1986).

Tujuan

1. Mendapatkan informasi mengenai konsumsi air dua varietas padi dan sistem pengairan yang berbeda.

2. Mendapatkan informasi mengenai respon pertumbuhan dan produksi dua

varietas padi pada setiap sistem pengairan.

Hipotesis

1. Terdapat perbedaan konsumsi air dua varietas padi dan perlakuan sistem pengairan.

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Padi

Tanaman padi (Oryza sativa L.) termasuk dalam famili Graminae yang ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Ruas-ruas ini merupakan bumbung kosong yang ditutup oleh buku dan panjang ruasnya tidak sama. Ruas yang terpendek berada di pangkal batang, ruas yang kedua dan seterusnya lebih panjang dari ruas-ruas yang lebih bawah. Pada buku bagian bawah dari ruas, tumbuh daun pelepah yang membalut ruas sampai buku bagian atas. Tepat pada buku bagian atas ujung dari daun pelepah memperlihatkan percabangan dimana cabang yang terpendek menjadi ligule (lidah) daun, dan

bagian yang terpanjang dan terbesar menjadi helaian daun. Dimana daun pelepah itu menjadi ligule dan pada helaian daun terdapat dua embel sebelah kiri dan kanan yang disebut auricular. Auricular dan ligule yang kadang - kadang berwarna hijau dan ungu dapat digunakan sebagai alat untuk mendeterminasi dan identifikasi suatu varietas (Siregar 1987).

Tanaman padi bersifat merumpun, artinya tanaman tersebut menghasilkan anakan yang tumbuh dari tanaman induk. Dari satu batang bibit yang ditanam, maka dalam waktu yang sangat singkat dapat terbentuk suatu rumpun yang terdiri dari 20-30 atau lebih tunas baru atau anakan (Siregar 1987). Tanaman padi mempunyai sistem perakaran serabut (De Datta 1981). Akar primer (radikula) yang tumbuh sewaktu berkecambah bersama akar lain yang muncul dari embrio dekat bagian buku disebut akar seminal, yang jumlahnya antara satu sampai tujuh buah. Penyebaran sistem akar dapat mencapai kedalaman 20 - 30 cm. Meskipun demikian, akar banyak mengambil zat makanan dari tanah dekat permukaan atas.

De Datta (1981) menyatakan bahwa stadia reproduktif tanaman padi ditandai dengan memanjangnya beberapa ruas teratas pada batang yang

(21)

memanjangnya ruas - ruas yang terus berlanjut sampai berbunga. Oleh sebab itu

stadia reproduktif juga disebut stadia pemanjangan ruas - ruas.

Pembibitan padi umumnya dilakukan dengan cara menanam langsung pada lahan tidak tergenang ataupun pada kondisi tanah yang digenangi air (Siregar 1987). Varieas padi Jatiluhur tumbuh dan berproduksi baik pada lahan tidak tergenang (gogo). Varietas Ciherang tumbuh dan berproduksi baik pada lahan tergenang maupun tidak tergenang. Varietas IR-64 tumbuh dan berproduksi baik pada lahan genangan air dalam (Djunainah et al. 1993).

Peranan Air Bagi Tanaman

Air merupakan komponen utama dari tanaman, namun penggunaan air ini

berbeda untuk setiap jenis tanaman. Hal ini disebabkan oleh perbedaan sifat anatomi dan morfologi tiap spesies tanaman sehingga menyebabkan perbedaan tingkat transpirasi (Monteith 1975).

Kekurangan air akan mempengaruhi fotosintesis tanaman, akibatnya dapat

menggangu produksi karbohidrat (Tisdale & Nelson 1975). Gupta (1979) menjelaskan bahwa kekurangan air dapat mempengaruhi pertumbuhan pada beberapa organ, antara lain: (1) penurunan nisbah tunas dan pertumbuhan akar, (2) pengurangan akar lateral dan total panjang akar, dan (3) pengurangan pada nisbah daun dan tangkai. Kebutuhan air tanaman menurut Doorenbos dan Pruitt (1977) adalah air yang hilang oleh evapotranspirasi dari tanaman yang bebas penyakit, tumbuh di lapangan luas pada keadaan tanah dengan air dan kesuburannya tidak menjadi pembatas serta tanaman mencapai potensi produksi maksimum.

(22)

Ketahanan pangan saat ini tergantung kepada kemampuan tanaman

meningkatkan produksi dengan penurunan ketersediaan air bagi pertumbuhan tanaman pangan (Farooq et al. 2009). Oleh karena itu, saat ini, perakitan tanaman khususnya tanaman padi diarahkan kepada kemampuan tanaman untuk mampu beradaptasi terhadap kondisi ketersediaan air yang terbatas tetapi tetap berproduksi tinggi. Padi sendiri merupakan tanaman yang memerlukan banyak air untuk satu musim tanam. Untuk menghasilkan 1 kg beras, petani harus memberikan air 2 – 3 kali lebih banyak dibandingkan tanaman serealia lainnya (Barker et al. 1998). Hasil penelitian De Datta (1981) menunjukkan bahwa pengurangan penggunaan air sebesar 56% ternyata proporsional dengan pengurangan hasil sebesar 57%.

Produksi Padi dan Kebutuhan Air Tanaman Padi

Maclean (2002) melaporkan bahwa padi merupakan salah satu jenis bahan pangan yang dikonsumsi oleh tiga milyar penduduk dunia sebagai bahan pangan

pokok. Luas lahan padi dunia diperkirakan mencapai 147 633 000 ha dengan pencapaian produksi 577 971 000 ton, dimana 79 juta ha diantaranya merupakan lahan padi dataran rendah bersistem irigasi dengan kapasitas produksi mencapai 75% dari total produksi dunia. Dari luas total lahan tanaman budidaya beririgasi di dunia, 56% berada di wilayah Asia dimana 40 - 46% luas tersebut memiliki tingkat penggunaan air dua hingga tiga kali lebih tinggi dibandingkan tanaman budidaya lainnya (Dawe 2005; Tuong et al. 2005).

(23)

ha lahan padi pada beberapa sentra produksi padi di wilayah Asia (Bouman et al. 2007).

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak kelangkaan air dan kekeringan terhadap sistem produksi padi antara lain optimalisasi produksi tanaman per satuan unit evapotranspirasi melalui perbaikan manajemen teknik agronomi, minimalisasi penggunaan air pada tahap persiapan lahan dan persiapan tanaman, menekan kehilangan air akibat perkolasi, perembesan, evaporasi, dan aliran permukaan, serta perbaikan kemampuan varietas padi yang adaptif dan toleran kekeringan (Guerra et al. 1998).

Kebutuhan air untuk satu kali produksi tergantung jenis tanaman atau varietasnya. Berdasarkan hasil penelitian Supijatno et al. (2012) bahwa konsumsi air antar genotipe berbeda berkisar antara 15.93 – 24.13 l tanaman-1. Produksi gabah yang dihasilkan dari penelitian tersebut juga berbeda antar genotipe. Perhitungan efisiensi penggunaan air juga dilakukan dengan membandingkan produksi terhadap jumlah air yang dikonsumsi selama siklus hidupnya. Jatiluhur merupakan varietas yang paling banyak mengkonsumsi air tetapi hasil yang diperoleh juga banyak sehingga efisiensi penggunaan airnya tinggi sebesar 0.997

g gabah kering giling/liter air.

Sistem Pengairan Tanaman Padi

Teknik penggenangan pada budidaya konvensional membutuhkan air dalam jumlah sangat besar. Brown et al. (1978) melaporkan bahwa 48% (570 mm) dari kebutuhan irigasi (1 180 mm) hilang melalui proses evapotranspirasi (ET). Kehilangan lain terjadi melalui run off dan infiltrasi. Teknik penggenangan air merupakan suatu pendekatan pengelolaan, bukan sebagai pengelolaan khusus dari tanaman padi.

(24)

Peningkatan efisiensi penggunaan air dapat dilakukan dengan metode

budidaya jenuh air. Borrell et al. (1997) melaporkan bahwa peningkatan hasil dan kualitas padi tidak selalu dengan menggunakan penggenangan yang terus menerus. Meskipun hasil dan kualitas padi dengan budidaya jenuh air tidak berbeda nyata dengan budidaya konvensional (penggenangan permanen), namun budidaya jenuh air mampu menurunkan penggunaan air hingga 32% pada dua musim tanam. Dengan demikian efisiensi penggunaan air pada teknik jenuh air menunjukkan nilai yang lebih baik dibandingkan teknik konvensional. Hal ini mengindikasikan bahwa penghematan pemberian air tidak menurunkan kualitas hasil tanaman padi. Pertumbuhan gulma secara keseluruhan lebih tinggi pada metode jenuh air sehingga perlu ada pengendalian khusus terhadap gulma apabila akan menggunakan metode jenuh air ini.

Pengairan berselang (intermittent irrigation) adalah pengaturan kondisi lahan dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian sesuai fase pertumbuhan tanaman dan kondisi lahan (BB Padi 2009). Menurut Badan Litbang Pertanian (2008) pengairan berselang ditujukan untuk menghemat air irigasi sehingga areal yang dapat diairi menjadi lebih luas, memberi kesempatan akar

tanaman mendapatkan udara agar dapat berkembang lebih dalam, mengurangi kerebahan, memudahkan pembenaman pupuk, memudahkan pengendalian hama. Pengairan dilakukan secara periodik pada fase tertentu. Pada saat tanaman memasuki fase berbunga, ketinggian air di areal pertanaman dipertahankan sekitar 2 - 3 cm (Badan Litbang Pertanian 2010). Pengairan berselang setiap sembilan

hari sekali mampu menghemat air sebesar 40% dan tidak menurunkan hasil (Setiobudi & Fagi 2009).

Respon Tanaman terhadap Kondisi Defisit Air

(25)

tanaman mengalami kekurangan suplai air akibat kelangkaan air dari

lingkungannya yaitu media tanam. Menurut Morgan (1984) tipe cekaman kekeringan sangat beragam mulai dari adanya fluktuasi kelembaban udara, radiasi matahari yang diterima tanaman cukup tinggi sampai pada lahan bermasalah yang mengalami defisit air, dan kelembaban udara sangat rendah di lingkungan yang kering. Kekurangan air secara internal pada tanaman berakibat langsung pada penurunan pembelahan dan pembesaran sel. Pada tahap pertumbuhan vegetatif, air digunakan oleh tanaman untuk pembelahan dan pembesaran sel yang terwujud dalam pertambahan tinggi tanaman, perbanyakan daun dan pertumbuhan akar (Kramer 1969).

Menurut Levitt (1980), cekaman kekeringan yang biasa disebut drought stress pada tanaman dapat disebabkan dua hal yaitu (1) kekurangan suplai air di daerah perakaran dan (2) permintaan air yang berlebihan oleh daun akibat laju evapotranspirasi melebihi laju absorpsi air walaupun keadaan air tanah cukup tersedia. Menurut Fitter dan Hay (1991), keadaan cekaman air menyebabkan penurunan turgor pada sel tanaman dan berakibat pada menurunnya proses fisiologi. Potensial turgor akan menurun hingga dapat mencapai nol dan

mengakibatkan kelayuan jika kehilangan air dari tanaman ini berlangsung terus-menerus di luar batas kendalinya (Naiola 1996).

Keadaan yang sangat kering pada tanaman akan dapat mempengaruhi fase pertumbuhan dan produksi tanaman. Bila keadaan kering terjadi selama fase vegetatif maka akan berpengaruh terhadap luas daun dan panjang batang sehingga

dapat menurunkan laju fotosintesis. Boyer (1970) menyatakan bahwa menurunnya laju fotosintesis pada tanaman kedelai yang mengalami kekeringan terutama disebabkan oleh meningkatnya resistensi stomata terhadap CO2, sedangkan

menurunnya fotosintesis secara langsung pada tanaman yang mengalami kekeringan juga akibat protoplasma dan kloroplas mengalami dehidrasi sehingga mempunyai kemampuan yang rendah untuk proses fotosintesis. Pada kondisi kekeringan, stomata daun menutup atau menutup sebagian dan mengurangi aktivitasnya, sehingga menghambat masuknya CO2 didalam ruang interseluler

(26)

Kekurangan air pada tanaman yang menghambat terjadinya proses

fotosintesis juga diteliti oleh Gerik et al. (1996) yang telah membuktikan bahwa kekurangan air pada tanaman kapas sangat berpengaruh terhadap kapasitas fotosintesis. Terjadi penurunan kapasitas fotosintesis dan peningkatan penuaan daun yang berpengaruh buruk terhadap produksi kapas. Pengaruh negatif lainnya akibat kekurangan air adalah terjadinya penurunan pertumbuhan dan pembesaran sel, perluasan daun, translokasi, dan transpirasi tanaman. Luasan daun pada 5 hari cekaman memiliki luas daun sekitar 20.4 cm2, setelah mengalami cekaman yang lebih lanjut sekitar 9 hari memiliki luas daun yang lebih kecil yaitu 16.5 cm2.

(27)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Penelitian dilaksanakan mulai Mei – Oktober 2011. Penanaman dilakukan di Kebun Percobaan Sawah Baru (06o33’ LS, 106o45’ BT, altitude 250 mdpl), University Farm, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah 2 varietas padi yaitu IR-64 (padi sawah) dan Jatiluhur (padi gogo). Deskripsi varietas padi yang digunakan disajikan pada

Lampiran 1 dan 2. Pupuk yang digunakan adalah Urea, SP-36, dan KCl dengan dosis sesuai rekomendasi yaitu masing - masing 250 kg/ha, 100 kg/ha, dan 100 kg/ha. Alat yang digunakan antara lain thermohygrometer, chlorophyll meter (SPAD Minolta), mikroskop, penggaris, oven, timbangan analitik dan alat-alat pertanian. Untuk pengukuran debit air digunakan flow meter yang dipasang pada pipa-pipa saluran.

Metode

Percobaan yang dilakukan meliputi dua faktor yang disusun secara faktorial. Rancangan lingkungan yang digunakan adalah split plot dengan tiga

ulangan. Faktor pertama sebagai petak utama adalah sistem pengairan terdiri dari 4 sistem pengairan yaitu pengairan konvensional (kontrol), pengairan saluran/jenuh air, pengairan berselang (intermittent), dan gogo. Sedangkan faktor kedua adalah varietas padi yang ditempatkan sebagai anak petak yang terdiri dari IR-64 dan Jatiluhur. Dari kedua faktor tersebut diperoleh 8 kombinasi yang setiap kombinasinya diulang sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 24 satuan percobaan. Volume air pada setiap pemberian air selama pertumbuhan padi dihitung setiap minggu.

Model linear aditif dari rancangan perlakuan ini adalah sebagai berikut :

Yijk = µ + Kk + αi + Өik + βj +(αβ)ij + εijk Keterangan :

Yijk = Nilai pengamatan perlakuan sistem pengairan ke-i, varietas padi ke-j,

(28)

µ = Rataan umum

Kk = Pengaruh blok ke-k

αi = Pengaruh perlakuan sistem pengairan ke-i

βj = Pengaruh perlakuan varietas padi ke-j

(αβ)ij = Interaksi perakuan sistem pengairan ke-i dengan varietas ke-j

Өik = Galat petak utama

εijk = Galat anak petak

Satuan percobaan terdiri atas petakan berukuran 3 m x 3 m yang dilengkapi dengan pemasangan flow meter pada pipa inlet untuk mencatat volume air yang masuk ke petakan. Denah (lay out) tata letak penelitian disajikan pada Lampiran 3. Penanaman menggunakan jarak tanam 25 cm x 20 cm. Pengendalian gulma, hama, dan penyakit disesuaikan dengan keperluan.

Pelaksanaan

1. Persiapan rumah plastik dan petak tanam. Ukuran rumah plastik 30 m x 12 m, tinggi ± 4.5 m, dan dibuat bak tanam berukuran 3 m x 3 m sebanyak 24 bak. Jarak antar bak tanam 35 cm, dan tiap bak tanam dilengkapi jaringan pipa berdiameter 1.0 inchi untuk inlet yang dipasangi dengan flow meter dan pipa out let berdiameter 2.0 inchi. Pengolahan lahan untuk metode konvensional, intermittent, dan jenuh air dengan penggenangan dilakukan selama 5 hari kemudian dilakukan pengolahan tanah 3 kali dan selanjutnya dilakukan penanaman.

Pengolahan lahan untuk sistem gogo dilakukan dengan penyiraman air sebanyak 60 liter air per hari/petak selama 5 hari dan selanjutnya dilakukan penanaman pada hari ke-6. Aplikasi penyiraman didasarkan pada asumsi curah hujan per bulan sebesar 200 mm. Jadi kebutuhan air per hari per petak dapat dihitung sebagai berikut :

Curah hujan bulan-1 = 200 mm/30 hari = 6.67 mm hari-1

Jumlah air petak-1 hari-1 = 6.67 x 10-2 dm hari-1 x 9 m2 x 102 dm2 m-2 = 60.03 dm3 hari-1

(29)

2. Persiapan benih dan penanaman. Untuk keseragaman daya berkecambah, benih

dioven selama 72 jam pada suhu 430 C, selanjutnya ditimbang sebanyak 50 gram dan direndam dengan air selama 12 jam. Untuk sistem budidaya konvensional, jenuh air/saluran, dan intermittent, benih disemai terlebih dahulu hingga berumur 12 hari dan selanjutnya dipindah tanam ke petakan. Jumlah bibit yang ditanam 1 bibit per lubang tanam. Sementara untuk metode gogo, benih ditanam langsung di petakan dengan cara ditugal bersamaan dengan penyemaian benih. Benih yang ditanam sebanyak 5 benih per lubang tanam. Jarak tanam yang digunakan adalah 25 cm x 20 cm

3. Pemeliharaan. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan pemupukan dalam tiga tahap menggunakan pupuk dasar 37.5 kg N/ha (1/3 dosis), 36 kg P2O5/ha, dan

60 kg K2O/ha diberikan 1 minggu setelah tanam (MST) dan untuk pemupukan

kedua dan ketiga diberikan pupuk N saja dengan dosis 37.5 kg N/ha pada 5 MST dan 9 MST. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara kimia sesuai kondisi dan kebutuhan di lapangan.

4. Pengairan dan pengukuran debit air.

Pemberian air antar sistem budidaya berbeda satu sama lain. Pengukuran

debit air dilakukan dengan melihat dan mencatat jumlah air yang masuk ke petakan yang dilakukan setiap minggu. Angka jumlah air yang masuk tertera pada flow meter yang terpasang di pipa.

Pengairan untuk sistem konvensional dilakukan dengan memberikan air terus - menerus ke petakan sampai tergenang dan genangan dijaga sampai

(30)

Pengamatan Peubah pengamatan meliputi :

a. Konsumsi air. Perhitungan volume air (liter) yang masuk ke petakan diukur dengan menggunakan flow meter yang terpasang di petakan. b. Tinggi tanaman (cm) diukur dari permukaan tanah sampai ujung

daun/malai terpanjang, jumlah anakan, jumlah daun per rumpun (helai) dihitung tiap minggu sejak 2 minggu sampai 10 minggu setelah tanam. c. Umur berbunga (hari). Ditentukan pada saat 50% populasi telah

mengeluarkan malai.

d. Kerapatan stomata dan trikoma. Pengamatan untuk penghitungan kerapatan stomata dan trikoma dilakukan pada stadia pertumbuhan vegetatif tanaman padi (7 MST) dengan menggunakan mikroskop perbesaran 40 x 10.

e. Warna daun diamati pada saat tanaman memasuki fase generatif (8 MST) dengan menggunakan SPAD. Daun yang diamati adalah daun pertama (daun bendera).

f. Komponen hasil dan hasil (panen pada kondisi masak kuning, waktu panen tergantung varietas) :

- Jumlah anakan produktif ditentukan berdasarkan jumlah anakan yang menghasilkan malai

- Bobot kering tajuk dan akar (g) diukur dengan dimasukkan ke dalam oven pada suhu 800C selama 48 jam.

- Nisbah tajuk/akar dihitung dengan membandingkan bobot kering tajuk dengan bobot kering akar.

- Panjang malai (cm)yang diukur dari pangkal sampai ujung malai

- Jumlah gabah malai-1 dilakukan dengan menghitung seluruh gabah dalam satu malai

- Kepadatan malai (butir/cm) dihitung dengan menggunakan persamaan jumlah gabah/panjang malai

(31)

- Persen gabah isi (%) dihitung setelah panen dengan membandingkan

jumlah gabah isi terhadap total gabah per rumpun

- Bobot per 1000 butir (g) dilakukan dengan menimbang 1 000 butir gabah yang telah dijemur sampai kadar air mencapai 14%.

- Indeks panen dihitung dengan membandingkan antara gabah kering per rumpun dengan bobot kering tajuk.

- Produksi gabah rumpun-1 (g) ditentukan dengan menimbang total gabah di setiap rumpun pada kadar air 14%.

- Produksi gabah petak-1 ditentukan dengan menimbang total gabah di setiap petak pada kadar air 14%.

g. Efisiensi konsumsi air (g/l) dihitung dengan membandingkan antara produksi gabah petak-1 dengan konsumsi air.

h. Pengamatan tambahan :

- Suhu dan kelembaban relatif rata-rata/hari, diukur dengan merata-ratakan suhu dan kelembaban pada pagi (pukul 07.00 - 09.00), siang (pukul 11.00 - 13.00), dan sore (pukul 15.00 - 16.00).

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan pengujian sidik ragam

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Sebelum penanaman dilakukan pengambilan contoh tanah untuk dianalisis. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa tanah memiliki tekstur 20% pasir : 24% debu: 56% liat. Menurut Hardjowigeno (2007) jenis tanah tersebut termasuk ke dalam tanah berliat (halus). Tekstur tanah yang demikian sesuai untuk dijadikan lahan sawah (Djaenudin et al. 2003). Tanah memiliki pH (H2O)

4.7 (masam) dan kandungan bahan organik (C/N ratio) sedang (11%). Kandungan N-total rendah (0.15%), P2O5 sangat tinggi (Bray 1; 37.6 ppm), K2O 17 mg/100 g

(HCl) berstatus rendah; kapasitas tukar kation (KTK) termasuk rendah (15.54 me/100g) dengan kejenuhan basa (KB) yang tinggi (64%). Hasil analisis tanah

lahan penelitian disajikan pada Lampiran 4.

Penelitian ini dilakukan pada petakan di dalam rumah plastik berukuran 30 m x 12 m x 4.5 m. Kondisi iklim mikro di dalam rumah plastik yaitu suhu udara rata-rata pada pagi, siang, dan sore adalah 300C, 390C, dan 310C. Peningkatan suhu diikuti oleh menurunnya kelembaban relatif. Selama penelitian rata-rata kelembaban relatif pada pagi, siang, dan sore hari adalah 57%, 46%, dan 58%. Rekapitulasi suhu dan kelembaban di dalam rumah plastik selama penelitian disajikan pada Lampiran 5. Menurut Yoshida (1981), suhu antara 30 - 310C bukan merupakan suhu optimum tetapi juga bukan merupakan suhu maksimum untuk pertumbuhan padi. Suhu yang tinggi pada siang hari dikarenakan pada saat penelitian masuk musim kemarau. Suhu tinggi mempengaruhi laju pertumbuhan tanaman, proses pembungaan, penyerbukan dan produksi menurun.

(33)

(Lampiran 6). Rendahnya curah hujan ini menyebabkan pasokan air di bak

penampungan semakin sedikit.

Terdapat serangan hama pada penelitian ini. Pada awal tanam, terjadi serangan hama keong di beberapa petakan. Keong ini merusak tanaman pada awal pertumbuhan sehingga dilakukan penyulaman. Pada saat menjelang panen terjadi serangan hama walang sangit. Hama walang sangit menyerang sebagian besar perlakuan sistem gogo. Kerusakan yang ditimbulkan dari serangan hama ini adalah bulir gabah menjadi cokelat dan banyak gabah yang hampa. Tidak ada serangan penyakit selama satu musim tanam. Keragaan perlakuan sistem pengairan ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Keragaan masing - masing perlakuan sistem pengairan : a. Konvensional; b. Jenuh air; c. Intermittent; d. Gogo

a

d c

b

(34)

Konsumsi Air

Perhitungan konsumsi air untuk satu musim tanam padi dilakukan sejak awal penugalan (tanam benih langsung) untuk sistem gogo dan sejak transplanting untuk sistem konvensional, intermittent, dan jenuh air. Pencatatan volume air dilakukan satu minggu sekali sampai menjelang panen. Berdasarkan Gambar 2 (a), banyaknya air yang dibutuhkan untuk masing - masing sistem pengairan berbeda. Di akhir pengamatan atau menjelang panen, sistem pengairan yang paling banyak membutuhkan air adalah sistem konvensional. Kebutuhan air

tersebut berbeda nyata dengan kebutuhan air pada sistem lainnya.

Pemberian air yang konstan pada sistem gogo, memberikan jumlah kebutuhan air paling sedikit bila dibandingkan sistem lainnya. Kebutuhan air untuk sistem intermittent jauh lebih hemat dari sistem konvensional dan jenuh air. Sistem Intermittent hanya mengkonsumsi sekitar 37.9% dan sistem jenuh air sekitar 74.3% dari total konsumsi pengairan konvensional. Selama satu musim tanam, pengairan konvensional mengkonsumsi air sebanyak 426 768 liter, pengairan jenuh air sebanyak 317 106 liter, pengairan intermittent 161 882 liter, dan metode gogo mengkonsumsi air sebanyak 3 883 liter. Hal ini menunjukkan bahwa untuk pengairan tanaman padi dengan sistem sawah pada kondisi air terbatas dapat digunakan sistem pengairan intermittent.

Gambar 2. Konsumsi air kumulatif sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b) selama satu musim tanam

Konsumsi air untuk dua varietas padi (IR-64 dan Jatiluhur) secara statistik tidak berbeda secara nyata (disajikan pada Gambar 2 (b)). Namun di akhir pengamatan, varietas Jatiluhur yang merupakan varietas padi untuk lahan kering (upland rice) mengkonsumsi air sebanyak 232 906 liter, varietas IR-64 (lowland

(35)

rice) mengkonsumsi 221 913 liter air. Meskipun secara statistik tidak berbeda, namun terdapat selisih konsumsi air antara dua varietas. Varietas Jatiluhur mengkonsumsi air hampir 11 000 liter lebih banyak dibandingkan IR-64. Fakta tersebut menunjukkan bahwa, varietas padi lahan kering, meskipun memiliki kemampuan berproduksi baik pada kondisi air terbatas, ternyata jika ditanam pada lahan basah/sawah akan mengkonsumsi air lebih banyak dibandingkan varietas padi lahan basah. Hal ini sesuai dengan penelitian Supijatno et al. (2012), bahwa Jatiluhur mengkonsumsi air lebih banyak daripada varietas lain ketika dibudidayakan dengan cara penggenangan.

Besarnya konsumsi air dari setiap perlakuan diduga karena tingkat perkolasi dan perembesan yang sangat tinggi. Air yang masuk ke petakan cepat meresap ke dalam tanah sehingga air tidak bertahan lama dapat menggenangi petakan. Selain itu, lahan yang digunakan merupakan lahan sawah bukaan baru artinya lahan sawah yang dikonversi dari lahan kering dan belum ada lapisan tapak bajak (hard pan) yang terbentuk (Suriadikarta & Hartatik 2004). Lapisan tapak bajak ini berfungsi untuk menahan air pada tanah - tanah yang disawahkan sehingga air dapat terus menggenangi tanah selama produksi padi. Menurut

Ritung dan Suharta (2007), lapisan tapak bajak terbentuk di bawah lapisan olah yang terjadi melalui reaksi kimia tanah dan diendapkan pada horizon di bawahnya. Pembentukan lapisan tapak bajak ini membutuhkan waktu yang lama tergantung dari sifat fisik dan kimia tanah.

Pengolahan tanah dilakukan sebanyak tiga kali dengan tujuan untuk

(36)

Berdasarkan hasil penelitian ini, sistem pengairan intermittent dapat dijadikan alternatif dalam budidaya padi di lahan basah karena air yang dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan pengairan konvensional. Penghematan ini memberikan peluang untuk memperbaiki distribusi air irigasi ke sawah - sawah petani yang menggunakan air irigasi. Dengan penghematan air tersebut, sawah para petani pengguna air irigasi dapat terairi secara merata. Selain itu, pengurangan penggunaan air pada budidaya padi sawah akan memberikan peluang penggunaan air bagi sektor lain.

Tinggi Tanaman

Faktor tunggal perlakuan sistem pengairan dan varietas masing - masing

menunjukkan pengaruh nyata terhadap peubah tinggi tanaman, namun interaksinya tidak berpengaruh nyata (Lampiran 7). Gambar 3 (a & b) menunjukkan pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap pertambahan tinggi tanaman padi. Pada Gambar 3a, sistem konvensional, jenuh air, dan

intermittent tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman. Tinggi tanaman di akhir pengamatan pada sistem konvensional, jenuh air, dan intermittent masing–masing adalah 127.0 cm, 114.5 cm, dan 119.8 cm. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Darmadi (2011) yang menunjukkan bahwa sistem pengairan konvensional dan intermittent memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada tinggi padi varietas unggul baru (VUB). Perbedaan tinggi yang nyata ditunjukkan pada sistem gogo yaitu 106.8 cm, tinggi ini lebih pendek dari tiga sistem lainnya. Menurut Manurung (2002), secara umum kondisi anaerob mampu meningkatkan rata - rata tinggi tanaman untuk semua varietas padi yang diuji (Jatiluhur, Mentaya, Ciherang, IR-64, dan Lariang). Tinggi tanaman secara substansi berkurang oleh kekeringan daripada oleh pengairan yang teratur (Farooq et al. 2010).

(37)

tanaman lebih tinggi dibandingkan varietas IR-64 baik pada kondisi aerob

maupun anaerob. Varietas IR-64 menunjukkan tinggi maksimum pada saat diairi secara teratur sedangkan tinggi minimum pada kondisi kekeringan (Farooq et al. 2010).

Gambar 3. Pertumbuhan tinggi tanaman pada beberapa sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b)

Jumlah Anakan dan Jumlah Anakan Produktif

Pengamatan jumlah anakan mulai dilakukan pada saat tanaman berumur dua minggu setelah tanam sampai berumur 10 MST. Pengamatan dilakukan setiap satu minggu sekali. Sidik ragam peubah jumlah anakan menunjukkan perlakuan sistem pengairan dan varietas masing - masing berbeda nyata, dan interaksinya hanya berbeda nyata pada 5 MST (Lampiran 7). Sedangkan pada peubah jumlah anakan produktif, perlakuan sistem pengairan, varietas dan interaksinya

menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata (Lampiran 8). Banyaknya jumlah anakan yang dihasilkan tanaman padi pada setiap sistem pengairan dan varietas padi ditunjukkan pada Gambar 4.

Perbedaan jumlah anakan pada setiap sistem pengairan ditunjukkan pada

Gambar 4a. Sistem gogo menghasilkan jumlah anakan paling banyak dengan 12.6 anakan per rumpun pada saat tanaman berumur delapan minggu sementara tiga sistem lainnya tidak menunjukkan perbedaan jumlah anakan yang nyata sampai umur 10 minggu. Banyaknya jumlah anakan pada sistem gogo terkait dengan jumlah benih yang ditanam pada awal penanaman.

a b

(38)

Gambar 4. Pertambahan jumlah anakan tanaman padi pada beberapa sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b)

Meskipun terjadi penurunan jumlah anakan pada 9 dan 10 MST pada sistem gogo, tetapi jumlah anakan pada akhir pengamatan (10 MST) tetap paling banyak diantara sistem yang lain. Jumlah anakan pada 10 MST untuk sistem

konvensional, jenuh air dan intermittent masing - masing adalah 7.4, 7.9, dan 8.3 anakan per rumpun. Namun demikian terlihat bahwa masih terjadi pertambahan jumlah anakan untuk sistem lahan basah setelah 10 MST. Darmadi (2011) melaporkan bahwa pengairan konvensional dan pengairan intermittent menghasilkan jumlah anakan total yang tidak berbeda secara statistik. Secara umum, tanaman padi yang ditanam pada lahan basah menghasilkan pertumbuhan jumlah anakan yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang ditanam pada lahan kering.

Gambar 4b menunjukkan jumlah anakan yang dihasilkan oleh dua varietas padi. Varietas padi sawah (IR-64) memberikan jumlah anakan lebih banyak dibandingkan varietas Jatiluhur (padi gogo). Rata-rata jumlah anakan yang dihasilkan pada akhir pengamatan (10 MST) yaitu 10.3 anakan per rumpun untuk IR-64 dan 7.1 anakan per rumpun untuk Jatiluhur.

Interaksi pada peubah jumlah anakan per rumpun terjadi pada 5 MST (Tabel 1). Jumlah anakan terbanyak dihasilkan oleh varietas IR-64 pada sistem gogo dengan 13.3 anakan per rumpun dan terendah dihasilkan oleh varietas

Jatiluhur pada sistem konvensional dengan 4.7. Informasi yang diperoleh dari hasil ini adalah baik IR-64 maupun Jatiluhur, pertumbuhan anakan terbanyak diperoleh dengan menggunakan sistem gogo. Hal ini selaras dengan hasil

a

(39)

penelitian Santosa (2002) yang menyebutkan bahwa genotipe Jatiluhur pada

perlakuan digenangi menghasilkan anakan yang lebih rendah 10% - 23% dibandingkan dengan perlakuan kering.

Tabel 1. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap jumlah anakan dan jumlah anakan produktif

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada masing - masing peubah pengamatan menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Interaksi pada peubah jumlah anakan produktif menunjukkan bahwa jumlah anakan produktif terbanyak diperoleh dari varietas IR-64 pada sistem gogo dengan rata-rata 9.9 anakan/rumpun (Tabel 1). Hasil ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan lain kecuali pada varietas Jatiluhur dengan sistem pengairan konvensional yaitu 5.1 anakan/rumpun. Hasil ini memberikan informasi bahwa varietas padi lahan basah maupun lahan kering mempunyai daya kemampuan yang sama untuk menghasilkan anakan produktif apabila ditanam pada kondisi kering maupun tergenang. Sedangkan hasil penelitian Manurung (2002) juga menunjukkan bahwa jumlah anakan produktif varietas IR-64 dan Jatiluhur tidak berbeda nyata baik ditanam pada kondisi aerob maupun anaerob.

Jumlah Daun

Perlakuan sistem pengairan dan varietas masing - masing berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah daun, namun interaksinya tidak berbeda nyata (Lampiran 7). Pertumbuhan jumlah daun tanaman padi pada empat sistem pengairan dan dua varietas ditunjukkan pada Gambar 5. Jumlah daun maksimum pada semua perlakuan terjadi pada minggu ke delapan setelah tanam. Sistem gogo memberikan jumlah daun terbanyak dengan 57.6 helai daun per rumpun. Varietas IR-64 memiliki jumlah daun lebih banyak (44.4 helai) dari varietas Jatiluhur (32.2 helai). Banyaknya jumlah daun ini berkaitan dengan banyaknya jumlah anakan Sistem Pengairan

Jumlah anakan per rumpun 5 MST

Jumlah anakan produktif per rumpun

IR-64 Jatiluhur IR-64 Jatiluhur

Konvensional 7.3 bc 4.7 d 8.4 ab 5.1 b

Jenuh Air 5.6 cd 6.5 cd 7.1 ab 6.8 ab

Intermittent 6.5 cd 4.9 cd 9.3 a 7.2 ab

(40)

0,0 yang dihasilkan setiap varietas. Pengurangan jumlah daun pada sistem gogo

mengindikasikan bahwa tanaman beradaptasi di lingkungan yang terbatas pengairannya dengan mengurangi kehilangan air yang lebih besar akibat transpirasi. Keragaan pertumbuhan tanaman padi pada penelitian ini disajikan pada Gambar 6.

Gambar 5. Pertumbuhan jumlah daun tanaman padi pada beberapa sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b)

Berdasarkan respon pertumbuhan yang ditunjukkan pada Gambar 3, 4, dan 5 memperlihatkan bahwa air mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan tanaman padi. Secara umum, pertumbuhan tanaman pada peubah jumlah anakan dan jumlah daun pada kondisi kering (sistem gogo) lebih baik dibandingkan pada lahan basah. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan fase perkecambahan dimana benih mengalami stres anaerob pada kondisi basah (Santosa 2002).

Pada tahap pertumbuhan vegetatif, air digunakan oleh tanaman untuk pembelahan dan pembesaran sel yang terwujud dalam pertambahan tinggi tanaman, perbanyakan daun dan pertumbuhan akar (Kramer 1969). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tanaman padi yang ditanam pada lahan basah menunjukkan respon yang lebih baik pada karakter tinggi tanaman. Tinggi tanaman varietas padi pada sistem konvensional, jenuh air, dan intermittent lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditanam pada sistem gogo.

Respon yang berbeda ditunjukkan pada peubah jumlah anakan dan jumlah daun. Padi yang ditanam pada kondisi air terbatas menghasilkan jumlah anakan dan jumlah daun paling banyak jika dibandingkan dengan padi yang ditanam pada lahan yang basah selama pengamatan. Akan tetapi kecenderungan yang ditunjukkan adalah terjadi penurunan jumlah anakan dan jumlah daun sejak 8

(41)

MST sampai akhir pengamatan. Pengairan yang terbatas tidak mampu mendukung

tanaman padi mempertahankan pertumbuhannya sampai menjelang panen.

Gambar 6. Keragaan pertumbuhan tanaman padi pada sistem pengairan berbeda : (a & b) fase vegetatif (5 MST) pada lahan basah (lowland) & lahan kering (upland); (c & d) fase generatif (11 MST) pada lahan basah (lowland) & lahan kering (upland)

Penurunan respon pertumbuhan ini menyebabkan menurunnya aktivitas fotosintesis yang pada akhirnya akan menurunkan produksi tanaman. Kekurangan air akan mempengaruhi fotosintesis tanaman akibatnya dapat mengganggu produksi karbohidrat (Kramer 1969; Tisdale & Nelson 1975; Fitter & Hay 1991; Gerik et al. 1996). Tanaman yang hanya toleran genangan apabila ditanam pada kondisi tidak tergenang maka akan mengalami gangguan fisiologis (Manurung 2002).

a

d c

(42)

Kerapatan Stomata, Kerapatan Trikoma dan Warna Daun (SPAD) Perlakuan sistem pengairan dan varietas masing - masing menunjukkan pengaruh nyata terhadap peubah kerapatan stomata, namun interaksinya tidak berbeda nyata. Varietas berpengaruh nyata terhadap peubah kerapatan trikoma, namun perlakuan pengairan dan interaksi pengairan dengan varietas tidak berbeda nyata (Lampiran 8).

Berdasarkan Tabel 2, kerapatan stomata karena pengaruh sistem pengairan berkisar antara 278 – 436 stomata/mm2 dan kerapatan trikoma berkisar antara

74-96 trikoma/mm2. Varietas IR-64 mempunyai kerapatan stomata dan trikoma tertinggi dengan 417.3 stomata dan 99.6 trikoma per mm2. Sedangkan varietas Jatiluhur memiliki kerapatan 353.1 stomata/mm2 dan 75.2 trikoma/mm2. Distribusi stomata sangat berhubungan dengan kecepatan dan intensitas transpirasi pada daun. Haryanti (2010) menyatakan bahwa jumlah stomata/mm2 dan banyak sedikitnya jumlah trikoma daun merupakan faktor yang mempengaruhi besarnya transpirasi pada tanaman.

Tabel 2. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap kerapatan stomata, kerapatan trikoma dan warna daun

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk perlakuan sistem pengairan atau varietas menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

(43)

stomata di daun. Tanaman kehilangan banyak air ketika terjadi transpirasi

berlebihan melalui stomata sehingga jaringan tanaman mengalami defisit air ketika air yang diberikan tidak cukup (Kramer 1969). Rendahnya kerapatan stomata pada sistem gogo merupakan cara tanaman mempertahankan hidupnya pada kondisi lingkungan yang kurang air melalui pengurangan kerapatan stomata untuk mengurangi transpirasi yang berlebihan. Dengan demikian mekanisme yang terjadi adalah tanaman mengoptimalkan peranan stomata untuk mencegah kehilangan air dari daun (Nguyen et al. 1997).

Perlakuan sistem pengairan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap peubah warna daun (SPAD), sedangkan varietas berbeda nyata dan tidak terjadi interaksi yang nyata antara sistem pengairan dan varietas (Lampiran 8). Pengukuran warna daun dilakukan menggunakan chlorophyll meter (SPAD Minolta). Nilai SPAD (warna daun) secara langsung berhubungan dengan konsentrasi N dalam daun (Cho et al. 2006; Fen et al. 2010) dan dapat mengindikasikan kandungan klorofil dalam daun (Li et al. 2009; Kumagai et al. 2009). Kumagai et al. (2009) juga menyebutkan bahwa SPAD digunakan untuk memprediksi kandungan dari ribulose 1,5–bisphospate carboxylase (Rubisco). Pengukuran tingkat kehijauan daun (Tabel 4) pada penelitian ini dilakukan pada saat tanaman berumur 8 MST.

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 2, sistem pengairan tidak mempengaruhi tingkat kehijauan daun. Tingkat kehijauan daun tanaman padi berkisar antara 38-40. Tidak adanya pengaruh ini dikarenakan pada penelitian ini

pemberian pupuk N dilakukan dengan dosis dan pada waktu yang sama untuk semua perlakuan. Sementara untuk varietas, tingkat kehijauan daun IR-64 (40.5) berbeda nyata dengan Jatiluhur (37.5). Hasil penelitian Li et al. (2009) menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai yang terbaca pada SPAD, semakin tinggi pula konsentrasi N dan kandungan klorofil dalam daun. Hal ini berarti, varietas IR-64 lebih baik dalam penyerapan N dalam tanah dan memiliki kemampuan berfotosintesis lebih baik dari Jatiluhur.

(44)

Semakin tinggi nilai SPAD yang terbaca semakin tinggi pula nilai komponen -

komponen tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun tidak berbeda secara statistik, namun tanaman padi yang ditanam pada lahan basah memilik nilai SPAD yang lebih tinggi dibanding tanaman padi yang ditanam pada lahan kering. Artinya bahwa pada sistem lahan basah, kandungan klorofil dan Rubisco padi lebih banyak. Hal ini juga mengindikasikan bahwa terjadi reaksi fotokimia pada PSII dan asimilasi CO2 yang kuat akibat adanya Rubisco sehingga

akan meningkatkan laju fotosintesis tanaman.

Umur Berbunga, Komponen Hasil dan Hasil

Sidik ragam peubah umur berbunga menunjukkan hanya perlakuan sistem

pengairan yang memberikan pengaruh berbeda nyata sedangkan perlakuan varietas dan interaksinya memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (Lampiran 8). Umur berbunga ditentukan pada saat 50% populasi telah mengeluarkan malai. Berdasarkan Tabel 3, tanaman padi lebih cepat berbunga

pada sistem gogo yaitu sekitar 80 hari setelah penanaman benih atau bersamaan dengan hari semai pada sistem pengairan lainnya, pada sistem pengairan lainnya umur berbunga tanaman padi pada sekitar 85 - 86 HSS. Menurut Santosa (2002), secara umum, penggenangan menyebabkan umur berbunga genotipe padi gogo toleran naungan lebih lambat 7 - 10 hari dibandingkan dengan perlakuan kering. Umur berbunga kedua varietas serempak sekitar 84 hari setelah semai. Umur berbunga galur - galur padi gogo pada pertanaman monokultur berkisar antara 72 - 85 hari setelah tanam (Sasmita et al. 2006) sedangkan galur-galur padi sawah berbunga pada umur 84 - 100 hari setelah tanam (Sukirman 2005).

(45)

Tabel 3. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap umur berbunga, panjang malai, jumlah gabah malai-1, dan kepadatan malai

Perlakuan perlakuan) menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Sidik ragam peubah panjang malai menunjukkan baik perlakuan sistem pengairan, varietas dan interaksi keduanya memberikan pengaruh tidak berbeda nyata. Sidik ragam peubah jumlah gabah malai-1 dan kepadatan malai menunjukkan hanya perlakuan varietas yang memberikan pengaruh berbeda nyata sedangkan sistem pengairan dan interaksinya memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (Lampiran 8).

Berdasarkan Tabel 3, sistem pengairan tidak berpengaruh nyata terhadap peubah panjang malai, jumlah gabah malai-1, dan kepadatan malai. Hal ini menunjukkan bahwa penghematan air tidak menurunkan kuantitas komponen produksi padi. Sehingga padi yang pengairannya hemat mempunyai potensi

produksi yang sama besar dengan yang pengairannya terus - menerus.

Varietas IR-64 dan Jatiluhur mempunyai panjang malai yang tidak berbeda tetapi berbeda nyata untuk jumlah gabah malai-1 dan kepadatan malai. Kepadatan malai yang tinggi pada varietas Jatiluhur tidak lepas dari banyaknya jumlah gabah yang dihasilkan setiap malai. Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan Supijatno et al. (2012) bahwa meskipun panjang malai varietas Jatiluhur tidak berbeda nyata dengan varietas IR-64 tetapi Jatiluhur menghasilkan jumlah gabah malai-1 dan kepadatan malai lebih tinggi dibandingkan IR-64.

(46)

peubah bobot kering tajuk. Varietas hanya berpengaruh terhada peubah nisbah

tajuk/akar (Tabel 4). Sistem gogo memberikan bobot kering tajuk sebesar 17.1 g atau lebih tinggi dibandingkan sistem pengairan lain. Hal ini selaras dengan hasil yang diperoleh Santosa (2002) bahwa padi gogo yang ditanam pada perlakuan kering menghasilkan bobot kering tajuk yang lebih besar dibandingkan pada perlakuan penggenangan. Diduga bahwa pada pertanaman padi di sistem gogo, translokasi fotosintat dialirkan ke organ akar serta organ - organ tanaman lainnya dan hanya sedikit yang menuju biji. Ini terlihat dari rendahnya jumlah gabah malai-1 (Tabel 3), jumlah gabah isi rumpun-1 dan bobot gabah per 1000 butir (Tabel 5). Biomass per tanaman lebih meningkat selama periode ripening pada kondisi aerobik dibandingkan pada kondisi tergenang (Katsura & Nakaide 2011). Pengairan konvensional, jenuh air, dan intermittent menghasilkan bobot kering tajuk yang hampir sama. Seperti yang ditunjukkan Tabel 4, terjadi perubahan alokasi fotosintat ke tajuk dan akar. Diduga alokasi fotosintat lebih banyak dialokasikan ke biji. Hal ini terbukti dari jumlah gabah dan bobot gabah per 1000 butir (Tabel 3 & 5) yang lebih besar dibandingkan tanaman padi yang ditanam pada sistem gogo.

Tabel 4. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan nisbah tajuk/akar.

Perlakuan perlakuan) menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Perubahan partisi fotosintat juga terjadi pada varietas Jatiluhur dan IR-64. Hal ini terlihat pada perbedaan nisbah antara tajuk dan akar (Tabel 4). Nisbah

(47)

translokasi fotosintat pada varietas Jatiluhur lebih banyak ke tajuk. Fotosintat

yang tertimbun di tajuk akan ditranlokasikan ke biji sebagai sink yang paling kuat. Penumpukan hasil fotosintesis itu tercermin dari jumlah gabah isi yang tinggi (Tabel 5) dan produksi gabah (Tabel 6) yang lebih besar dibanding IR-64. Berat kering tanaman mencerminkan akumulasi senyawa organik yang disintesis dari senyawa anorganik, terutama air dan CO2.

Menurut Makarim dan Suhartatik (2009), tingginya produksi biomass belum menggambarkan tingginya hasil gabah. Indikator yang digunakan untuk mengukur pengaruh biomass terhadap hasil adalah indeks panen (harvest index). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indeks panen dari sistem pengairan konvensional, jenuh air, dan intermittent lebih tinggi dari sistem gogo. Begitu juga varietas Jatiluhur memiliki nilai indeks panen lebih tinggi dari IR-64. Nilai indeks panen ini tersaji pada Tabel 5. Tingginya nilai indeks panen ini menandakan bahwa translokasi asimilat lebih banyak tertuju ke biji sehingga bobot biji kering yang dihasilkan besar.

Sistem gogo memiliki jumlah gabah isi per rumpun paling rendah (Tabel 5). Rendahnya gabah yang dihasilkan sistem gogo disebabkan menurunnya

jumlah daun pada saat memasuki fase generatif dan rendahnya stomata/mm2 daun sehingga menghambat masuknya CO2 didalam ruang interseluler daun yang

secara langsung mengurangi aktivitas fotosintesis. Menurunnya aktivitas fotosintesis tersebut menyebabkan menurunnya translokasi asimilat ke biji (sink).

Tabel 5. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap jumlah gabah isi rumpun-1, persentase gabah isi, bobot 1000 butir gabah, dan indeks panen

(48)

Jumlah gabah isi yang dihasilkan sistem intermittent tidak berbeda nyata dengan sistem konvensional dan jenuh air. Borrell et al. (1997) menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara metode jenuh air dengan pengairan konvensional terhadap hasil dan komponen kualitas hasil, sehingga hal ini mengindikasikan bahwa penghematan pemberian air tidak menurunkan kualitas hasil tanaman padi. Hasil ini juga menunjukkan bahwa sistem pengairan intermittent, selain menghemat penggunaan air, sistem ini juga memberikan hasil panen yang tidak jauh berbeda dengan sistem yang membutuhkan banyak air seperti sistem konvensional.

Varietas Jatiluhur memberikan hasil jumlah gabah isi per rumpun yang lebih banyak dibandingkan varietas IR-64. Sasmita et al. (2006) melaporkan bahwa pada pertanaman monokultur, varietas Jatiluhur mampu menghasilkan produktivitas sebesar 3.72 ton/ha. Hasil ini menunjukkan bahwa varietas Jatiluhur tidak hanya mampu berproduksi baik di lahan kering, tetapi juga mampu berproduksi baik pada lahan basah. Secara genetik, varietas Jatiluhur dirakit untuk ditanam pada lahan-lahan yang terbatas sumberdaya airnya. Menurut Toha dan Daradjat (2008), semua varietas padi gogo apabila dibudidayakan sebagai padi

sawah hasilnya akan meningkat tetapi semua varietas asal padi sawah bila dibudidayakan sebagai padi gogo hasilnya akan menurun.

Kato dan Katsura (2010) membuktikan adanya hubungan antara faktor pertumbuhan dan malai, termasuk jumlah gabah per unit area, yang diidentifikasi pada budidaya di bawah penggenangan dan aerobik. Dilaporkan bahwa perbedaan

jumlah gabah per unit area pada pemberian air yang berbeda terkait dengan perbedaan produksi biomass dan atau penyerapan N.

(49)

Rendahnya bobot 1000 butir gabah varietas Jatiluhur ini dikarenakan pada

saat pengisian dan pematangan gabah, terjadi kerebahan. Kerebahan ini diduga karena Jatiluhur memiliki batang yang tinggi dan lemah. Kerebahan ini menyebabkan rusaknya jaringan xylem dan floem, akibatnya translokasi fotosintat menjadi terhambat (Makarim & Suhartatik 2009). Hal ini kemungkinan menyebabkan biji belum terisi penuh.

Sidik ragam peubah indeks panen menunjukkan baik perlakuan sistem pengairan dan varietas memberikan pengaruh berbeda nyata sedangkan interaksi keduanya memberikan pengaruh tidak berbeda nyata (Lampiran 8). Nilai indeks panen (Tabel 5) pada sistem konvensional, jenuh air, dan intermittent nyata lebih tinggi dari sistem gogo. Nilai indeks panen ketiga sistem lahan basah sama yaitu 0.5 sedangkan untuk sistem gogo (lahan kering) adalah 0.4. Nilai indeks panen ini merupakan perbandingan antara produksi gabah kering dengan total biomass. Dengan demikian semakin tinggi indeks panen menandakan produksi gabah juga tinggi. Begitu juga dengan varietas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa produksi gabah Jatiluhur lebih besar dibandingkan IR-64 sehingga nilai indeks panennya lebih tinggi dari IR-64. Kato et al. (2011) melaporkan bahwa pengairan memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap indeks panen dibandingkan terhadap biomass tajuk.

Sidik ragam peubah produksi gabah per rumpun menunjukkan interaksi antara perlakuan sistem pengairan dan varietas memberikan pengaruh yang berbeda nyata (Lampiran 8). Interaksi antara sistem pengairan dengan varietas

pada peubah produksi gabah per rumpun disajikan pada Tabel 6. Produksi gabah terbesar diperoleh dari interaksi pada sistem gogo dengan varietas Jatiluhur yang menghasilkan 16.77 g gabah kering per rumpun. Produksi gabah terendah diperoleh pada sistem gogo dengan varietas IR-64 yang menghasilkan 7.67 g gabah kering per rumpun.

Gambar

Gambar 1. Keragaan masing - masing perlakuan sistem pengairan :
Gambar 3. Pertumbuhan tinggi tanaman pada beberapa sistem pengairan (a) dan
Gambar 4. Pertambahan jumlah anakan tanaman padi pada beberapa sistem
Gambar 5. Pertumbuhan jumlah daun tanaman padi pada beberapa sistem
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

suatu upaya yang harus di lakukan, khususnya dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi dan upaya tersebut adalah khusus terhadap tersangka yang mau bekerja sama dengan penegak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan ramburambu (K3) dan pengawasan kerja dengan perilaku aman ( safe behavior ) pada pekerja di PT X Pelabuhan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah pisau untuk mencacah kubis, nampan untuk tempat mencampur kubis dengan garam dan gula, blender untuk menghaluskan

[r]

Sanggahan hanya dapat diajukan apabila terjadi hal-hal sebagaimana diatur pada lampiran III Perpres 54 Tahun 2010 Tanggal 6 Januari 2010. PANITIA PENGADAAN BARANG./ JASA

Perumusan masalah dari kegiatan ini adalah bagaimana mengoptimalkan perpaduan motif tradisional dengan motif modern dengan harga yang relatif bersaing ,bagaimana

Tujuan keperawatan : Pola pernapasan efektif melalui ventilator tanpa adanya penggunaan otot bantu pernapasan Kriteria hasil : Saturasi oksigen normal, tidak ada hipoksia,