• Tidak ada hasil yang ditemukan

Botani Tanaman Padi

Tanaman padi (Oryza sativa L.) termasuk dalam famili Graminae yang ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Ruas-ruas ini merupakan bumbung kosong yang ditutup oleh buku dan panjang ruasnya tidak sama. Ruas yang terpendek berada di pangkal batang, ruas yang kedua dan seterusnya lebih panjang dari ruas-ruas yang lebih bawah. Pada buku bagian bawah dari ruas, tumbuh daun pelepah yang membalut ruas sampai buku bagian atas. Tepat pada buku bagian atas ujung dari daun pelepah memperlihatkan percabangan dimana cabang yang terpendek menjadi ligule (lidah) daun, dan bagian yang terpanjang dan terbesar menjadi helaian daun. Dimana daun pelepah itu menjadi ligule dan pada helaian daun terdapat dua embel sebelah kiri dan kanan yang disebut auricular. Auricular dan ligule yang kadang - kadang berwarna hijau dan ungu dapat digunakan sebagai alat untuk mendeterminasi dan identifikasi suatu varietas (Siregar 1987).

Tanaman padi bersifat merumpun, artinya tanaman tersebut menghasilkan anakan yang tumbuh dari tanaman induk. Dari satu batang bibit yang ditanam, maka dalam waktu yang sangat singkat dapat terbentuk suatu rumpun yang terdiri dari 20-30 atau lebih tunas baru atau anakan (Siregar 1987). Tanaman padi mempunyai sistem perakaran serabut (De Datta 1981). Akar primer (radikula) yang tumbuh sewaktu berkecambah bersama akar lain yang muncul dari embrio dekat bagian buku disebut akar seminal, yang jumlahnya antara satu sampai tujuh buah. Penyebaran sistem akar dapat mencapai kedalaman 20 - 30 cm. Meskipun demikian, akar banyak mengambil zat makanan dari tanah dekat permukaan atas.

De Datta (1981) menyatakan bahwa stadia reproduktif tanaman padi ditandai dengan memanjangnya beberapa ruas teratas pada batang yang sebelumnya tertumpuk rapat dekat permukaan tanah. Stadia reproduktif juga ditandai dengan berkurangnya jumlah anakan, munculnya daun bendera, kebuntingan, dan pembungaan. Inisiasi primordial malai biasanya dimulai 30 hari sebelum pembungaan. Stadia inisiasi ini hampir bersamaan dengan

memanjangnya ruas - ruas yang terus berlanjut sampai berbunga. Oleh sebab itu stadia reproduktif juga disebut stadia pemanjangan ruas - ruas.

Pembibitan padi umumnya dilakukan dengan cara menanam langsung pada lahan tidak tergenang ataupun pada kondisi tanah yang digenangi air (Siregar 1987). Varieas padi Jatiluhur tumbuh dan berproduksi baik pada lahan tidak tergenang (gogo). Varietas Ciherang tumbuh dan berproduksi baik pada lahan tergenang maupun tidak tergenang. Varietas IR-64 tumbuh dan berproduksi baik pada lahan genangan air dalam (Djunainah et al. 1993).

Peranan Air Bagi Tanaman

Air merupakan komponen utama dari tanaman, namun penggunaan air ini berbeda untuk setiap jenis tanaman. Hal ini disebabkan oleh perbedaan sifat anatomi dan morfologi tiap spesies tanaman sehingga menyebabkan perbedaan tingkat transpirasi (Monteith 1975).

Kekurangan air akan mempengaruhi fotosintesis tanaman, akibatnya dapat menggangu produksi karbohidrat (Tisdale & Nelson 1975). Gupta (1979) menjelaskan bahwa kekurangan air dapat mempengaruhi pertumbuhan pada beberapa organ, antara lain: (1) penurunan nisbah tunas dan pertumbuhan akar, (2) pengurangan akar lateral dan total panjang akar, dan (3) pengurangan pada nisbah daun dan tangkai. Kebutuhan air tanaman menurut Doorenbos dan Pruitt (1977) adalah air yang hilang oleh evapotranspirasi dari tanaman yang bebas penyakit, tumbuh di lapangan luas pada keadaan tanah dengan air dan kesuburannya tidak menjadi pembatas serta tanaman mencapai potensi produksi maksimum.

Kebutuhan air dari tanaman disediakan oleh lingkungan perakaran dan air tersebut berasal dari air yang tertahan dalam tanah yang dapat dengan mudah diserap tanaman (William & Joseph 1973). Jumlah air yang dapat ditahan oleh tanah tergantung dari kadar bahan organik dan tekstur tanah (Tisdale & Nelson 1975). Makin rendah jumlah air tersedia, suplai air di daerah perakaran makin berkurang, akibatnya absorpsi air oleh akar juga makin berkurang. Air yang diserap akar dari tanah tidak seluruhnya dimanfaatkan tanaman untuk menghasilkan bahan kering, karena sebagian besar (> 90%) dari total air yang diserap akar hilang melalui transpirasi (Gardner et al. 1985).

Ketahanan pangan saat ini tergantung kepada kemampuan tanaman meningkatkan produksi dengan penurunan ketersediaan air bagi pertumbuhan tanaman pangan (Farooq et al. 2009). Oleh karena itu, saat ini, perakitan tanaman khususnya tanaman padi diarahkan kepada kemampuan tanaman untuk mampu beradaptasi terhadap kondisi ketersediaan air yang terbatas tetapi tetap berproduksi tinggi. Padi sendiri merupakan tanaman yang memerlukan banyak air untuk satu musim tanam. Untuk menghasilkan 1 kg beras, petani harus memberikan air 2 – 3 kali lebih banyak dibandingkan tanaman serealia lainnya (Barker et al. 1998). Hasil penelitian De Datta (1981) menunjukkan bahwa pengurangan penggunaan air sebesar 56% ternyata proporsional dengan pengurangan hasil sebesar 57%.

Produksi Padi dan Kebutuhan Air Tanaman Padi

Maclean (2002) melaporkan bahwa padi merupakan salah satu jenis bahan pangan yang dikonsumsi oleh tiga milyar penduduk dunia sebagai bahan pangan pokok. Luas lahan padi dunia diperkirakan mencapai 147 633 000 ha dengan pencapaian produksi 577 971 000 ton, dimana 79 juta ha diantaranya merupakan lahan padi dataran rendah bersistem irigasi dengan kapasitas produksi mencapai 75% dari total produksi dunia. Dari luas total lahan tanaman budidaya beririgasi di dunia, 56% berada di wilayah Asia dimana 40 - 46% luas tersebut memiliki tingkat penggunaan air dua hingga tiga kali lebih tinggi dibandingkan tanaman budidaya lainnya (Dawe 2005; Tuong et al. 2005).

Laporan FAO (2004) menunjukkan bahwa rata-rata pemakaian air untuk satu kali musim tanam padi berkisar antara 900 - 2 250 mm, sementara menurut Bouman et al. (2007) menyatakan bahwa rata-rata pemakaian air untuk padi sawah mencapai 1 300 - 1 500 mm dimana 25 - 50% dari jumlah tersebut hilang akibat perkolasi dan perembesan. Tingginya kebutuhan air untuk budidaya padi sawah tersebut dihadapkan pada persolaan keterbatasan sumberdaya air dan adanya anomali iklim yang menyebabkan terbatasnya sumber air primer. Kelangkaan air dan kekeringan saat ini diidentifikasi telah mencapai 50% luas lahan padi dunia dan diperkirakan hingga tahun 2025 akan melanda 15 - 25 juta

ha lahan padi pada beberapa sentra produksi padi di wilayah Asia (Bouman et al. 2007).

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak kelangkaan air dan kekeringan terhadap sistem produksi padi antara lain optimalisasi produksi tanaman per satuan unit evapotranspirasi melalui perbaikan manajemen teknik agronomi, minimalisasi penggunaan air pada tahap persiapan lahan dan persiapan tanaman, menekan kehilangan air akibat perkolasi, perembesan, evaporasi, dan aliran permukaan, serta perbaikan kemampuan varietas padi yang adaptif dan toleran kekeringan (Guerra et al. 1998).

Kebutuhan air untuk satu kali produksi tergantung jenis tanaman atau varietasnya. Berdasarkan hasil penelitian Supijatno et al. (2012) bahwa konsumsi air antar genotipe berbeda berkisar antara 15.93 – 24.13 l tanaman-1. Produksi gabah yang dihasilkan dari penelitian tersebut juga berbeda antar genotipe. Perhitungan efisiensi penggunaan air juga dilakukan dengan membandingkan produksi terhadap jumlah air yang dikonsumsi selama siklus hidupnya. Jatiluhur merupakan varietas yang paling banyak mengkonsumsi air tetapi hasil yang diperoleh juga banyak sehingga efisiensi penggunaan airnya tinggi sebesar 0.997 g gabah kering giling/liter air.

Sistem Pengairan Tanaman Padi

Teknik penggenangan pada budidaya konvensional membutuhkan air dalam jumlah sangat besar. Brown et al. (1978) melaporkan bahwa 48% (570 mm) dari kebutuhan irigasi (1 180 mm) hilang melalui proses evapotranspirasi (ET). Kehilangan lain terjadi melalui run off dan infiltrasi. Teknik penggenangan air merupakan suatu pendekatan pengelolaan, bukan sebagai pengelolaan khusus dari tanaman padi.

Penugalan benih dan sistem budidaya aerobik merupakan alternatif metode yang ideal untuk mengatasi permasalahan kerusakan tanaman. De Datta (1975) melaporkan bahwa sistem budidaya padi gogo sangat bergantung pada curah hujan. Produktivitas padi gogo dilaporkan juga dapat mencapai lebih dari 7 t/ha. Hal ini menunjukkan bahwa padi tidak memerlukan kondisi tergenang untuk mencapai produktivitas tinggi.

Peningkatan efisiensi penggunaan air dapat dilakukan dengan metode budidaya jenuh air. Borrell et al. (1997) melaporkan bahwa peningkatan hasil dan kualitas padi tidak selalu dengan menggunakan penggenangan yang terus menerus. Meskipun hasil dan kualitas padi dengan budidaya jenuh air tidak berbeda nyata dengan budidaya konvensional (penggenangan permanen), namun budidaya jenuh air mampu menurunkan penggunaan air hingga 32% pada dua musim tanam. Dengan demikian efisiensi penggunaan air pada teknik jenuh air menunjukkan nilai yang lebih baik dibandingkan teknik konvensional. Hal ini mengindikasikan bahwa penghematan pemberian air tidak menurunkan kualitas hasil tanaman padi. Pertumbuhan gulma secara keseluruhan lebih tinggi pada metode jenuh air sehingga perlu ada pengendalian khusus terhadap gulma apabila akan menggunakan metode jenuh air ini.

Pengairan berselang (intermittent irrigation) adalah pengaturan kondisi lahan dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian sesuai fase pertumbuhan tanaman dan kondisi lahan (BB Padi 2009). Menurut Badan Litbang Pertanian (2008) pengairan berselang ditujukan untuk menghemat air irigasi sehingga areal yang dapat diairi menjadi lebih luas, memberi kesempatan akar tanaman mendapatkan udara agar dapat berkembang lebih dalam, mengurangi kerebahan, memudahkan pembenaman pupuk, memudahkan pengendalian hama. Pengairan dilakukan secara periodik pada fase tertentu. Pada saat tanaman memasuki fase berbunga, ketinggian air di areal pertanaman dipertahankan sekitar 2 - 3 cm (Badan Litbang Pertanian 2010). Pengairan berselang setiap sembilan hari sekali mampu menghemat air sebesar 40% dan tidak menurunkan hasil (Setiobudi & Fagi 2009).

Respon Tanaman terhadap Kondisi Defisit Air

Morfologi suatu tanaman akan berpengaruh terhadap produktivitasnya. Misalnya efektivitas dalam memanfaatkan ketersediaan air bagi tanaman akibat perakarannya yang berbeda dalam penyebarannya. Pada saat terjadi defisit air (cekaman kekeringan) maka organ yang berperan penting dalam penyerapan air dan mendukung tersedianya air bagi tanaman adalah akar dan daun. Pada tanaman, cekaman kekeringan merupakan istilah untuk menyatakan bahwa

tanaman mengalami kekurangan suplai air akibat kelangkaan air dari lingkungannya yaitu media tanam. Menurut Morgan (1984) tipe cekaman kekeringan sangat beragam mulai dari adanya fluktuasi kelembaban udara, radiasi matahari yang diterima tanaman cukup tinggi sampai pada lahan bermasalah yang mengalami defisit air, dan kelembaban udara sangat rendah di lingkungan yang kering. Kekurangan air secara internal pada tanaman berakibat langsung pada penurunan pembelahan dan pembesaran sel. Pada tahap pertumbuhan vegetatif, air digunakan oleh tanaman untuk pembelahan dan pembesaran sel yang terwujud dalam pertambahan tinggi tanaman, perbanyakan daun dan pertumbuhan akar (Kramer 1969).

Menurut Levitt (1980), cekaman kekeringan yang biasa disebut drought stress pada tanaman dapat disebabkan dua hal yaitu (1) kekurangan suplai air di daerah perakaran dan (2) permintaan air yang berlebihan oleh daun akibat laju evapotranspirasi melebihi laju absorpsi air walaupun keadaan air tanah cukup tersedia. Menurut Fitter dan Hay (1991), keadaan cekaman air menyebabkan penurunan turgor pada sel tanaman dan berakibat pada menurunnya proses fisiologi. Potensial turgor akan menurun hingga dapat mencapai nol dan mengakibatkan kelayuan jika kehilangan air dari tanaman ini berlangsung terus- menerus di luar batas kendalinya (Naiola 1996).

Keadaan yang sangat kering pada tanaman akan dapat mempengaruhi fase pertumbuhan dan produksi tanaman. Bila keadaan kering terjadi selama fase vegetatif maka akan berpengaruh terhadap luas daun dan panjang batang sehingga dapat menurunkan laju fotosintesis. Boyer (1970) menyatakan bahwa menurunnya laju fotosintesis pada tanaman kedelai yang mengalami kekeringan terutama disebabkan oleh meningkatnya resistensi stomata terhadap CO2, sedangkan

menurunnya fotosintesis secara langsung pada tanaman yang mengalami kekeringan juga akibat protoplasma dan kloroplas mengalami dehidrasi sehingga mempunyai kemampuan yang rendah untuk proses fotosintesis. Pada kondisi kekeringan, stomata daun menutup atau menutup sebagian dan mengurangi aktivitasnya, sehingga menghambat masuknya CO2 didalam ruang interseluler

Kekurangan air pada tanaman yang menghambat terjadinya proses fotosintesis juga diteliti oleh Gerik et al. (1996) yang telah membuktikan bahwa kekurangan air pada tanaman kapas sangat berpengaruh terhadap kapasitas fotosintesis. Terjadi penurunan kapasitas fotosintesis dan peningkatan penuaan daun yang berpengaruh buruk terhadap produksi kapas. Pengaruh negatif lainnya akibat kekurangan air adalah terjadinya penurunan pertumbuhan dan pembesaran sel, perluasan daun, translokasi, dan transpirasi tanaman. Luasan daun pada 5 hari cekaman memiliki luas daun sekitar 20.4 cm2, setelah mengalami cekaman yang lebih lanjut sekitar 9 hari memiliki luas daun yang lebih kecil yaitu 16.5 cm2.

Cekaman air dapat mempengaruhi perangkat fotosintesis yaitu menurunkan kandungan klorofil dalam kloroplas, mesofil pada sel yang aktif berfotosintesis (Harjadi & Yahya 1988). Respon penurunan kandungan klorofil yang diteliti oleh Yusnaeni (2002) pada tanaman Hoya (Asclepiadaceae) yang menunjukkan bahwa, kandungn klorofil menurun sekitar 0.46 mg/g daun segar (penyiraman setiap minggu) jika dibandingkan dengan penyiraman setiap hari yang memiliki klorofil sekitar 0.54 mg/g daun segar.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Penelitian dilaksanakan mulai Mei – Oktober 2011. Penanaman dilakukan di Kebun Percobaan Sawah Baru (06o33’ LS, 106o45’ BT, altitude 250 mdpl), University Farm, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah 2 varietas padi yaitu IR-64 (padi sawah) dan Jatiluhur (padi gogo). Deskripsi varietas padi yang digunakan disajikan pada Lampiran 1 dan 2. Pupuk yang digunakan adalah Urea, SP-36, dan KCl dengan dosis sesuai rekomendasi yaitu masing - masing 250 kg/ha, 100 kg/ha, dan 100 kg/ha. Alat yang digunakan antara lain thermohygrometer, chlorophyll meter (SPAD Minolta), mikroskop, penggaris, oven, timbangan analitik dan alat-alat pertanian. Untuk pengukuran debit air digunakan flow meter yang dipasang pada pipa-pipa saluran.

Metode

Percobaan yang dilakukan meliputi dua faktor yang disusun secara faktorial. Rancangan lingkungan yang digunakan adalah split plot dengan tiga ulangan. Faktor pertama sebagai petak utama adalah sistem pengairan terdiri dari 4 sistem pengairan yaitu pengairan konvensional (kontrol), pengairan saluran/jenuh air, pengairan berselang (intermittent), dan gogo. Sedangkan faktor kedua adalah varietas padi yang ditempatkan sebagai anak petak yang terdiri dari IR-64 dan Jatiluhur. Dari kedua faktor tersebut diperoleh 8 kombinasi yang setiap kombinasinya diulang sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 24 satuan percobaan. Volume air pada setiap pemberian air selama pertumbuhan padi dihitung setiap minggu.

Model linear aditif dari rancangan perlakuan ini adalah sebagai berikut : Yijk = µ + Kk + αi + Өik + βj +(αβ)ij + εijk

Keterangan :

Yijk = Nilai pengamatan perlakuan sistem pengairan ke-i, varietas padi ke-j,

µ = Rataan umum Kk = Pengaruh blok ke-k

αi = Pengaruh perlakuan sistem pengairan ke-i

βj = Pengaruh perlakuan varietas padi ke-j

(αβ)ij = Interaksi perakuan sistem pengairan ke-i dengan varietas ke-j

Өik = Galat petak utama

εijk = Galat anak petak

Satuan percobaan terdiri atas petakan berukuran 3 m x 3 m yang dilengkapi dengan pemasangan flow meter pada pipa inlet untuk mencatat volume air yang masuk ke petakan. Denah (lay out) tata letak penelitian disajikan pada Lampiran 3. Penanaman menggunakan jarak tanam 25 cm x 20 cm. Pengendalian gulma, hama, dan penyakit disesuaikan dengan keperluan.

Pelaksanaan

1. Persiapan rumah plastik dan petak tanam. Ukuran rumah plastik 30 m x 12 m, tinggi ± 4.5 m, dan dibuat bak tanam berukuran 3 m x 3 m sebanyak 24 bak. Jarak antar bak tanam 35 cm, dan tiap bak tanam dilengkapi jaringan pipa berdiameter 1.0 inchi untuk inlet yang dipasangi dengan flow meter dan pipa out let berdiameter 2.0 inchi. Pengolahan lahan untuk metode konvensional, intermittent, dan jenuh air dengan penggenangan dilakukan selama 5 hari kemudian dilakukan pengolahan tanah 3 kali dan selanjutnya dilakukan penanaman.

Pengolahan lahan untuk sistem gogo dilakukan dengan penyiraman air sebanyak 60 liter air per hari/petak selama 5 hari dan selanjutnya dilakukan penanaman pada hari ke-6. Aplikasi penyiraman didasarkan pada asumsi curah hujan per bulan sebesar 200 mm. Jadi kebutuhan air per hari per petak dapat dihitung sebagai berikut :

Curah hujan bulan-1 = 200 mm/30 hari = 6.67 mm hari-1

Jumlah air petak-1 hari-1 = 6.67 x 10-2 dm hari-1 x 9 m2 x 102 dm2 m-2 = 60.03 dm3 hari-1

2. Persiapan benih dan penanaman. Untuk keseragaman daya berkecambah, benih dioven selama 72 jam pada suhu 430 C, selanjutnya ditimbang sebanyak 50 gram dan direndam dengan air selama 12 jam. Untuk sistem budidaya konvensional, jenuh air/saluran, dan intermittent, benih disemai terlebih dahulu hingga berumur 12 hari dan selanjutnya dipindah tanam ke petakan. Jumlah bibit yang ditanam 1 bibit per lubang tanam. Sementara untuk metode gogo, benih ditanam langsung di petakan dengan cara ditugal bersamaan dengan penyemaian benih. Benih yang ditanam sebanyak 5 benih per lubang tanam. Jarak tanam yang digunakan adalah 25 cm x 20 cm

3. Pemeliharaan. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan pemupukan dalam tiga tahap menggunakan pupuk dasar 37.5 kg N/ha (1/3 dosis), 36 kg P2O5/ha, dan

60 kg K2O/ha diberikan 1 minggu setelah tanam (MST) dan untuk pemupukan

kedua dan ketiga diberikan pupuk N saja dengan dosis 37.5 kg N/ha pada 5 MST dan 9 MST. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara kimia sesuai kondisi dan kebutuhan di lapangan.

4. Pengairan dan pengukuran debit air.

Pemberian air antar sistem budidaya berbeda satu sama lain. Pengukuran debit air dilakukan dengan melihat dan mencatat jumlah air yang masuk ke petakan yang dilakukan setiap minggu. Angka jumlah air yang masuk tertera pada flow meter yang terpasang di pipa.

Pengairan untuk sistem konvensional dilakukan dengan memberikan air terus - menerus ke petakan sampai tergenang dan genangan dijaga sampai ketinggian 5 cm dari permukaan. Pengairan untuk sistem jenuh air adalah dengan terlebih dahulu dibuat saluran dipinggir areal tanam sedalam kurang lebih 10 cm. Air diberikan di sepanjang saluran yang dibuat sampai areal tanam jenuh air. Air pada saluran dijaga tetap tersedia sampai ketinggian 5 cm dari permukaan saluran. Pengairan pada metode intermittent dilakukan dengan menggenangi areal tanam setinggi 5 cm, selanjutnya pengairan dihentikan sampai tanah pada areal tanam terlihat retak (pecah rambut). Frekuensi penggenangan pada metode intermittent ini disesuaikan dengan kondisi yang terjadi di lapangan. Pengairan pada metode gogo dilakukan dengan melakukan penyiraman sebanyak 60 liter air/hari/petakan.

Pengamatan Peubah pengamatan meliputi :

a. Konsumsi air. Perhitungan volume air (liter) yang masuk ke petakan diukur dengan menggunakan flow meter yang terpasang di petakan. b. Tinggi tanaman (cm) diukur dari permukaan tanah sampai ujung

daun/malai terpanjang, jumlah anakan, jumlah daun per rumpun (helai) dihitung tiap minggu sejak 2 minggu sampai 10 minggu setelah tanam. c. Umur berbunga (hari). Ditentukan pada saat 50% populasi telah

mengeluarkan malai.

d. Kerapatan stomata dan trikoma. Pengamatan untuk penghitungan kerapatan stomata dan trikoma dilakukan pada stadia pertumbuhan vegetatif tanaman padi (7 MST) dengan menggunakan mikroskop perbesaran 40 x 10.

e. Warna daun diamati pada saat tanaman memasuki fase generatif (8 MST) dengan menggunakan SPAD. Daun yang diamati adalah daun pertama (daun bendera).

f. Komponen hasil dan hasil (panen pada kondisi masak kuning, waktu panen tergantung varietas) :

- Jumlah anakan produktif ditentukan berdasarkan jumlah anakan yang menghasilkan malai

- Bobot kering tajuk dan akar (g) diukur dengan dimasukkan ke dalam oven pada suhu 800C selama 48 jam.

- Nisbah tajuk/akar dihitung dengan membandingkan bobot kering tajuk dengan bobot kering akar.

- Panjang malai (cm)yang diukur dari pangkal sampai ujung malai

- Jumlah gabah malai-1 dilakukan dengan menghitung seluruh gabah dalam satu malai

- Kepadatan malai (butir/cm) dihitung dengan menggunakan persamaan jumlah gabah/panjang malai

- Jumlah gabah isi per rumpun (butir) dihitung dengan menjumlahkan seluruh gabah isi setiap malai dalam satu rumpun

- Persen gabah isi (%) dihitung setelah panen dengan membandingkan jumlah gabah isi terhadap total gabah per rumpun

- Bobot per 1000 butir (g) dilakukan dengan menimbang 1 000 butir gabah yang telah dijemur sampai kadar air mencapai 14%.

- Indeks panen dihitung dengan membandingkan antara gabah kering per rumpun dengan bobot kering tajuk.

- Produksi gabah rumpun-1 (g) ditentukan dengan menimbang total gabah di setiap rumpun pada kadar air 14%.

- Produksi gabah petak-1 ditentukan dengan menimbang total gabah di setiap petak pada kadar air 14%.

g. Efisiensi konsumsi air (g/l) dihitung dengan membandingkan antara produksi gabah petak-1 dengan konsumsi air.

h. Pengamatan tambahan :

- Suhu dan kelembaban relatif rata-rata/hari, diukur dengan merata- ratakan suhu dan kelembaban pada pagi (pukul 07.00 - 09.00), siang (pukul 11.00 - 13.00), dan sore (pukul 15.00 - 16.00).

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan pengujian sidik ragam pada selang kepercayaan 95%. Apabila hasil sidik ragam berpengaruh nyata, maka dilakukan pengujian beda nilai tengah antar perlakuan dengan menggunakan Uji Wilayah Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Sebelum penanaman dilakukan pengambilan contoh tanah untuk dianalisis. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa tanah memiliki tekstur 20% pasir : 24% debu: 56% liat. Menurut Hardjowigeno (2007) jenis tanah tersebut termasuk ke dalam tanah berliat (halus). Tekstur tanah yang demikian sesuai untuk dijadikan lahan sawah (Djaenudin et al. 2003). Tanah memiliki pH (H2O)

4.7 (masam) dan kandungan bahan organik (C/N ratio) sedang (11%). Kandungan N-total rendah (0.15%), P2O5 sangat tinggi (Bray 1; 37.6 ppm), K2O 17 mg/100 g

(HCl) berstatus rendah; kapasitas tukar kation (KTK) termasuk rendah (15.54 me/100g) dengan kejenuhan basa (KB) yang tinggi (64%). Hasil analisis tanah lahan penelitian disajikan pada Lampiran 4.

Penelitian ini dilakukan pada petakan di dalam rumah plastik berukuran 30 m x 12 m x 4.5 m. Kondisi iklim mikro di dalam rumah plastik yaitu suhu udara rata-rata pada pagi, siang, dan sore adalah 300C, 390C, dan 310C. Peningkatan suhu diikuti oleh menurunnya kelembaban relatif. Selama penelitian rata-rata kelembaban relatif pada pagi, siang, dan sore hari adalah 57%, 46%, dan 58%. Rekapitulasi suhu dan kelembaban di dalam rumah plastik selama penelitian disajikan pada Lampiran 5. Menurut Yoshida (1981), suhu antara 30 - 310C bukan merupakan suhu optimum tetapi juga bukan merupakan suhu maksimum untuk pertumbuhan padi. Suhu yang tinggi pada siang hari dikarenakan pada saat penelitian masuk musim kemarau. Suhu tinggi mempengaruhi laju pertumbuhan tanaman, proses pembungaan, penyerbukan dan produksi menurun.

Sumber air untuk perlakuan pengairan berasal dari reservoar yang dibangun di samping rumah plastik. Air masuk dialirkan melalui pipa saluran berdiameter 2 inchi. Tiap-tiap pipa di masing - masing petakan terpasang flowmeter berdiameter ½ inchi untuk mengukur konsumsi air. Ketersediaan air mengalami defisit pada fase vegetatif maksimum (7 - 8 MST) karena curah hujan

Dokumen terkait