• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Policy Development of Tuna Longline Fishery Economy Based on Disaster Mitigation Perspective in Padang, West Sumatra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Policy Development of Tuna Longline Fishery Economy Based on Disaster Mitigation Perspective in Padang, West Sumatra"

Copied!
448
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN EKONOMI

PERIKANAN

TUNA LONGLINE

BERPERSPEKTIF MITIGASI

BENCANA DI PADANG, SUMATERA BARAT

TOMI RAMADONA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Tidakkah engkau memperhatikan bahwa sesungguhnya bahtera itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, agar diperlihatkan-Nya

kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda

bagi setiap orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur. Dan apabila mereka dihantam gelombang yang besar sebesar gunung,

mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan,

lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Adapun yang mengingkari ayat-ayat Kami hanyalah orang-orang yang tidak setia lagi ingkar

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana di Padang Sumatera Barat adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2013

(4)

ABSTRACT

TOMI RAMADONA. The Policy Development of Tuna Longline Fishery Economy Based on Disaster Mitigation Perspective in Padang, West Sumatra. Supervised by TRIDOYO KUSUMASTANTO and ACHMAD FAHRUDIN.

This research aimed to determine 1) fisheries sector macro economic conditions, 2) the potential for sustainability and management of fisheries resources, 3) the potential and priorities for mitigation of disasters, 4) the fisheries development and the feasibility investment of disaster mitigation perspective, 5) institutions in fisheries development of disaster mitigation perspective and 6) formulate policy direction of tuna fisheries economy development based on disaster mitigation perspective. The analysis methods was conducted by Shift Share, Location Quotient, Minimum Requirement Approach, Bioeconomic Model, Exponential Comparison method (MPE), Investment feasibility analysis, stakeholder analysis, descriptive analysis and AHP techniques. The result showed that fisheries provide high contribution in macro economic analysis as the leading sectors of regional economic development. The analysis of bioeconomy, especially Tuna was bellow the optimal level, with the optimal management based on MEY management regimes showed that effort can be increase by 133 trip or equal as 33 tuna longliners and a production of 418.53 tons. The highest potential disaster on fisheries was earthquakes, tsunamis, strong winds, and waves. Strategies for mitigation priorities were (1) provision of GPS, APS, disaster information applications for fisherman, (2) provision of early warning and integrated information systems, also (3) establishment of building fishing ports and other infrastructure disaster mitigation perspective. Investment feasibility analysis showed longliner tuna productivity remains high as well as the addition of mitigation facilities, so the development of the business was feasible. Stakeholders involved in this policy were KKP, DKP and local government. This research concluded that appropriate policy strategies could be implemented in Padang city was optimization the production of sustainable fisheries resources through the provision of facilities for fisheries and mitigation perspective, also increase participation and synergy stakeholder to prosperity.

(5)

RINGKASAN

TOMI RAMADONA. Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana di Padang, Sumatera Barat. Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO dan ACHMAD FAHRUDIN

Kota Padang memiliki perairan laut seluas 720 km² dengan panjang pantai 68,126 km. Kontribusi yang dihasilkan subsektor perikanan terhadap perekonomian daerah sebagian besar berasal dari perikanan tangkap. Perikanan tangkap menghasilkan nilai sebesar Rp. 218.495.600.000, atau sekitar 83 persen dari total nilai produksi perikanan Kota Padang secara keseluruhan (DKP Sumbar, 2011). Besarnya nilai produksi perikanan tangkap tidak terlepas dari tingginya nilai kontribusi yang dihasilkan jenis ikan tuna. Sumberdaya tuna merupakan komoditi unggulan perikanan Kota Padang. Jenis tuna yang didaratkan di Kota Padang adalah Tuna Mata Besar/bigeye (Thunus obesus) dan Tuna Sirip Kuning/yellowfin (Thunus albacares). Spesies yang menjadi sumberdaya ekspor Kota Padang tujuan Singapura, Jepang dan Amerika ini merupakan komoditi perikanan tangkap yang memberikan nilai kontribusi terbesar dibandingkan spesies lain, yakni sebesar Rp. 70.063.200.000 (tahun 2010) atau sekitar 24 persen dari seluruh nilai produksi perikanan Kota Padang. Melihat kontribusi yang dihasilkan, maka amatlah wajar pengembangan sumberdaya ini akan memberikan keuntungan berganda bagi perekonomian daerah secara keseluruhan. Pada sisi yang lain, Kota Padang termasuk dalam kawasan rawan bencana gempa dan tsunami, selain gempa dan tsunami masih terdapat potensi bencana pesisir lain di wilayah ini yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi pengembangan sumberdaya perikanan. Kota Padang merupakan wilayah dengan karakteristik perikanan yang kompleks, pada satu sisi mempunyai potensi perikanan laut yang potensial dan di sisi lain dihadapkan pada kondisi daerah yang rawan bencana. Karakteristik ini menuntut suatu kebijakan yang diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan dalam hal pengembangan sumberdaya perikanan baik oleh faktor internal maupun eksternal. Potensi perikanan mendorong pengembangan ekonomi, sementara potensi bencana menuntut adanya tindakan mitigasi. Aktifitas pengembangan dan mitigasi ini membutuhkan investasi, sehingga diperlukan kebijakan yang komprehensif.

(6)

perikanan dengan bioekonomi, menganalisis potensi bencana serta prioritas bentuk mitigasi terkait pengambangan sumberdaya perikanan dengan studi literatur, analisis deskriptif dan MPE, menganalisis bentuk kelembagaan dengan analisis stakeholder dan analisis deskriptif serta analisis prioritas, strategi, rumusan arahan kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana dengan teknik AHP.

Pada tahap analisis makro ekonomi,diperoleh gambaran bahwa perikanan merupakan sektor basis yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap perekonomian Kota Padang, sehingga dapat dijadikan sebagai prioritas kebijakan pembangunan ekonomi daerah. Berdasarkan analisis bioekonomi, pemanfaatan sumberdaya perikanan di Padang khususnya tuna masih berada di bawah titik optimalnya, pada penelitian ini juga diperoleh hasil pengelolaan yang optimal adalah menggunakan rezim pengelolaan MEY atau Sole Owner dengan discount rate sebesar 16% yaitu dengan meningkatkan effort sebesar 133 trip dan produksi sebesar 418,53 ton. Analisis ini juga menyimpulkan perlu adanya penambahan armada penangkapan sebanyak 33 unit.Hasil analisis MPE mengungkapkan potensi bencana terbesar di Padang yang berdampak kuat terhadap perikanan adalah gempa bumi, tsunami, angin kencang, gelombang laut dan intrusi air laut. Arahan prioritas bentuk mitigasi adalah (1) Penyediaan GPS, APS, Aplikasi informasi bencana untuk nelayan, (2) Penyediaan sistem peringatan dini dan sistem informasi terpadu, dan (3) Pendirian bangunan pelabuhan dan prasarana perikanan lainnya yang berperspektif mitigasi bencana. Mitigasi bencana untuk pengembangan perikanan tangkap berupa penyediaan prasarana mitigasi darat dan laut yang terdiri atas penyediaan sistem peringatan dini, radar tsunami dan gelombang, pusat informasi bencana, jalur evakuasi dan assembly point, shelter

pelabuhan dan tambat badai laut serta sarana mitigasi armada penangkapan. berupa penyediaan GPS, aplikasi BB/android serta radio komunikasi dan navigasi. Hasil analisis kelayakan investasi pada pengembangan usaha perikanan berperspektif mitigasi bencana, nilai NPV sebesar Rp 45.530.835.838, nilai B/C 2,40 dan IRR sebesar 54,73%. Hasil kelayakan investasi ini menyimpulkan bahwa pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan prasarana dan sarana mitigasi layak dan menguntungkan, sehingga program ini memiliki prospek untuk dikembangkan. Stakeholder yang memberi pengaruh dan terkait dalam kebijakan ini adalah KKP, DKP dan Pemerintah Daerah Kota Padang. Analisis AHP menghasilkan kesimpulan bahwa perikanan merupakan sektor prioritas yang potensial dikembangkan pada bidang kelautan Kota Padang. Analisis ini juga menguraikan bahwa prioritas kebijakan pengembangan perikanan di Kota Padang adalah penyediaan prasarana dan sarana perikanan yang kondusif dan berperspektif mitigasi bencana dengan nilai 0,203. Hasil dari serangkaian analisis menyimpulkan kebijakan yang tepat untuk diterapkan di Kota Padang yaitu optimalisasi produksi sumberdaya perikanan dengan memperhatikan faktor keberlanjutan melalui penyediaan sarana dan fasilitas perikanan yang kondusif dan berperspektif mitigasi bencana serta meningkatkan partisipasi dan sinergisitas stakeholder untuk mencapai kesejahteraan.

(7)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN EKONOMI

PERIKANAN

TUNA LONGLINE

BERPERSPEKTIF MITIGASI

BENCANA DI PADANG, SUMATERA BARAT

TOMI RAMADONA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Judul Tesis : Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline

Berperspektif Mitigasi Bencana Di Padang, Sumatera Barat Nama : Tomi Ramadona

NRP : H352100051

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS. Ketua

Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi

Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika

Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS.

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr,

(11)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis aturkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline

Berperspektif Mitigasi Bencana di Padang, Sumatera Barat”. Sebagian isi dari karya ilmiah ini sedang menunggu penerbitan di Jurnal Kebijakan dan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan BBPSEKP KKP RI Volume 2 Tahun 2013.

Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Prof.Dr. Ir.H.Tridoyo Kusumastanto,MS dan Dr.Ir.Achmad Fahrudin,M.Si yang telah membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis selama menempuh studi di institusi ini. Penulis juga menyampaikan apresiasi kepada Prof.Dr.Ir.Ahmad Fauzi,M.Sc, Prof.Dr.Ir.Marimin,M.Sc, Dr.Ir.Sugeng Budiharsono, Dr.Ir.Luky Adrianto,M.Sc, Dr.Ir.Aceng Hidayat,MT, Dr.Ir.Luki Abdullah,M.Sc, Dr.Ir.Diniah,M.Si, Ir.Sobari,M.Si, Yudi Wahyudin,M.Si, Kastana Sapanli,M.Si serta kepada guru-guru penulis lainnya yang telah memberikan masukan, arahan dan motivasi dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Kepala PPS Bungus beserta staf, LPSDKP, DKP Padang,DKP Sumbar, BPSPL, Bappeda Padang, BPS Sumbar dan BPS Pusat, BPBD Padang, segenap tenaga pengajar dan pegawai Program Studi ESK dan Dept. ESL IPB, Keluarga Besar Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan Universitas Riau, Rekan-rekan ESK 2010 dan SPs IPB, UR, UPI, Undip, Unand, dan UBH serta semua pihak yang telah ikut berkontribusi dalam berbagai hal.

Penulis menyampaikan rasa hormat setinggi-tingginya kepada Ibunda, Ayahanda, Adinda serta seluruh keluarga besar atas doa, pengorbanan, pengertian dan dukungan yang tidak ternilai selama ini. Kepada keluarga di Bekasi, Vitcom, IKMP Palito dan pihak lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis, civitas akademika, peneliti, pemerintah dan semua pihak yang terkait, sehingga mampu memperkaya khasanah keilmuan serta pengembangan ekonomi sumberdaya kelautan yang dapat mensejahterakan masyarakat.

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pulutan, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat pada 11 Mei 1987, sebagai putra pertama dari dua bersaudara dari pasangan Eldanetri dan Ilham Asmaradan. Tahun 2005 penulis lulus dari SMAN 1 Harau Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat dan pada tahun yang sama diterima di Universitas Riau melalui jalur PBUD pada Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan. Penulis memperoleh gelar Sarjana Perikanan melalui institusi ini pada tahun 2009. Bulan September 2009 sampai Juni 2010 penulis bekerja di PTC-SIT Fajar Hidayah sebagai tenaga pengajar.

(13)

DAFTAR ISI

2.6. Potensi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Laut ... 15

2.7. Mitigasi Bencana ... 19

2.8. Kelayakan Investasi ... 22

2.9. Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat ... 23

2.10. Analisis kebijakan ... 24

2.11. Kebijakan Kelautan dan Perikanan ... 25

2.12. Konsep Pembangunan Berkelanjutan ... 28

2.13. Keterkaitan Pengembangan Sumberdaya Perikanan, Pembangunan Berkelanjutan dan Mitigasi Bencana ... 30

(14)

4.6.5. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) ... 45

5.1. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah ... 57

5.2. Kondisi Fisik Dasar dan Kebencanaan ... 59

5.3.1. Jumlah dan Perkembangan Penduduk ... 70

5.3.2. Komposisi Penduduk ... 71

5.3.3. Ketenagakerjaan ... 72

5.3.4. Tingkat Kesejahteraan Penduduk ... 74

5.3.5. Kondisi Sosial Budaya ... 75

5.3.6. Kondisi Perekonomian ... 77

5.4. Potensi Perikanan dan Kelautan ... 80

5.4.1. Potensi dan Karakteristik Subsektor Perikanan ... 80

5.4.2. Potensi dan Karakteristik Bidang Kelautan ... 87

5.4.3. Prasarana Pendukung ... 88

VI. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN TUNA DAN MITIGASI BENCANA ... 92

6.1. Analisis Ekonomi Sub Sektor Perikanan ... 92

6.1.1. Analisis Kontribusi ... 92

6.1.2. Analisis Basis Ekonomi ... 94

6.1.3. Analisis Makro Perikanan antar Wilayah ... 96

6.2 Analisis Bioekonomi Sumberdaya Perikanan ... 97

6.2.1. Estimasi Parameter Biologi ... 99

6.2.2. Estimasi Parameter Ekonomi ... 102

6.2.3. Estimasi Produksi Lestari ... 104

6.2.4. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ... 106

6.2.5. Analisis Optimasi Dinamik ... 109

6.3. Analisis Kebencanaan ... 113

6.3.1. Analisis Potensi Bencana ... 113

6.3.1.1. Gempa Bumi ... 116

(15)

6.3.1.3. Angin Kencang/Badai ... 122

6.3.1.4. Intrusi Air Laut ... 123

6.3.1.5. Gelombang Laut ... 123

6.3.1.6. Banjir ... 125

6.3.1.7. Gerakan Tanah ... 127

6.3.2. Analisis Mitigasi Bencana ... 132

6.3.2.1. Mitigasi Bencana ... 132

6.3.2.2. Prioritas Bentuk Mitigasi ... 135

6.3.2.3. Mitigasi Bencana untuk Pengembangan Perikanan Tuna Longline ... 138

6.4. Analisis Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline dan Kelayakan Investasi Berperspektif Mitigasi Bencana ... 140

6.4.1. Perencanaan Pengembangan ... 140

6.4.2. Kelayakan Investasi Pengembangan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana ... 142

6.5. Analisis Kelembagaan ... 150

6.5.1. Kelembagaan Usaha Perikanan ... 150

6.5.2. Kelembagaan dalam Mitigasi Bencana ... 152

6.5.3. Analisis Stakeholder dalam Pengembangan Perikanan Berperspektif Mitigasi Bencana ... 153

6.6. Analisis Kebijakan ... 158

6.6.1. Analisis Kebijakan Pengembangan Sektor Prioritas . 158 6.6.2. Analisis Kebijakan Pengembangan Perikanan ... 161

6.7. Implikasi Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana ... 163

VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 199

7.1. Simpulan ... 199

7.2. Saran ... 201 DAFTAR PUSTAKA

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jenis dan Sumber Data ... 40

2. Parameter Bioekonomi dan Sumber Data ... 41

3. Matrik Metode Perbandingan Eksponensial ... 49

4. Administrasi Wilayah Kota Padang ... 61

5. Nama Kecamatan dan Kelurahan Pesisir di Kota Padang ... 62

6. Klasifikasi Kemiringan Wilayah Kota Padang ... 63

7. Klasifikasi Topografi Kawasan Pesisir Kota Padang ... 64

8. Klasifikasi Ketinggian Wilayah Kota Padang ... 65

9. Karakteristik Pulau-Pulau di Wilayah Kota Padang ... 66

10. Karakteristik Pantai di Kota Padang ... 67

11. Jenis Batuan dan Daya Dukungnya ... 73

12. Sebaran dan Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Padang Tahun 1999 dan Tahun 2009 ... 75

13. Persentase Penduduk 5 Tahun Keatas menurut Tingkat Pendidikan di Kota Padang ... 76

14. Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas menurut Jenis Kegiatan dan Jenis Kelamin ... 77

15. Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja menurut Lapangan Usaha di Kota Padang ... 77

16. Jumlah Keluarga menurut Tingkat Kesejahteraan di Kota Padang ... 78

17. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Padang ... 82

18. Perkembangan Laju Inflasi di Kota Padang ... 84

19. Nilai Produksi menurut Jenis Usaha Perikanan di Sumatera Barat ... 84

20. Potensi Perikanan Tangkap laut ... 85

(17)

22. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pesisir di Kota Padang ... 86

23. Jumlah Nelayan Laut menurut Kecamatan ... 88

24. Jumlah Perahu dan Kapal menurut Kecamatan ... 89

25. Perhitungan Kontribusi Antar Sektor di Kota Padang Berdasarkan Indikator PDRB Harga Konstan ... 97

26. Perhitungan LQ Subsektor Perikanan Kota Padang ... 99

27. Share Tenaga Kerja Subsektor Perikanan antar Wilayah di Sumatera Barat Tahun 2010. ... 101

28. Perhitungan MRA Subsektor Perikanan antar Wilayah di Sumatera Barat Tahun 2010. ... 102

29. Perkembangan Produksi dan Effort Tuna Kota Padang ... 103

30. Perbandingan Data Aktual, Parameter Biologi, MSY dan Uji Statistik pada Sumberdaya Ikan Tuna ... 105

31. Keluaran Regresi Model CYP ... 106

32. Parameter Biologi. ... 106

33. Biaya Per-trip dan Harga Rata-rata Ikan Tuna Kota Padang ... 107

34. Effort, Produksi Aktual dan Produksi Lestari Ikan Tuna Kota Padang .. 109

35. Hasil Estimasi Parameter Biologi dan Ekonomi Sumberdaya Ikan Tuna ... 111

36. Hasil Analisis Bioekonomi dalam Berbagai Rezim Pengelolaan Sumberdaya Ikan Tuna ... 112

37. Pengelolaan optimum Sumberdaya Ikan Tuna ... 114

38. Hasil Optimasi Dinamik dengan Model CYP pada Pengelolaan Sumberdaya Tuna ... 115

39. Nilai Total Potensi Bencana Hasil Analisis MPE ... 119

40. Kejadian Tsunami di Sumatera Barat ... 124

41. Bahaya Tsunami Kota Padang ... 125

42. Nilai Total Alternatif Prioritas Mitigasi Analisis MPE ... 141

(18)

44. Biaya Operasional Per-trip Tuna Longline. ... 148

45. Biaya Perawatan Tuna Longliner Per-unit ... 149

46. Biaya Investasi Prasarana Mitigasi Darat dan Laut ... 150

47. Biaya Investasi Sarana Mitigasi Armada Penangkapan (59 Unit Longline) ... 150

48. Biaya Operasional Prasarana dan Sarana Mitigasi Per-tahun ... 151

49. Biaya Perawatan PrasaranaMitigasi Darat dan Laut ... 151

50. Biaya Perawatan Sarana Mitigasi Armada Penangkapan ... 152

51. Total Biaya/Outflow... 152

52. Asumsi Penerimaan Perikanan TunaLongline ... 153

53. Nilai NPV, B/C dan IRR ... 153

54. Analisis Stakeholder Pengembangan Sumberdaya Perikanan yang Berkelanjutan di Kota Padang ... 161

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Wilayah Penyebaran Tuna Mata Besar (Bigeye) ... 12

2. Wilayah Penyebaran Tuna Sirip Kuning (Yellowfin) ... 12

3. Tuna Sirip Kuning (Yellowfin) ... 13

4. Tuna Mata Besar (Bigeye) ... 13

5. Konstruksi Armada Tuna Longline ... 14

6. Keterkaitan antar Sistem Perikanan (Charles, 2001) ... 15

7. Segitiga Pembangunan Berkelanjutan (Charles, 2001) ... 29

8. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 36

9. Kerangka Operasional Penelitian ... 37

10. Sebagian Bentuk Topografi Kota Padang ... 65

11. Grafik Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Padang ... 82

12. Peta Kecamatan Pesisir Kota Padang ... 87

13. Perkembangan Produksi dan Nilai Perikanan Kota Padang ... 90

14. Perkembangan Kontribusi Sub Sektor Perikanan di Kota Padang Berdasarkan Indikator PDRB Harga Konstan ... 98

15. Perkembangan Nilai LQ Sub Sektor Perikanan di Kota Padang ... 100

16. Perkembangan CPUE Sumberdaya Tuna ... 104

17. Perbandingan Produksi Aktual dan Lestari Sumberdaya Tuna ... 110

18. Kurva Pertumbuhan Logistik Tuna di Padang ... 112

19. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Ikan Tuna ... 113

20. Keseimbangan Bioekonomi Model Gordon Schaefer ... 114

21. Nilai Rente Pada Berbagai Tingkat Discount Rate ... 116

(20)

23. Potensi Bencana Pesisir ... 120

24. Peta Risiko Bencana Gempa Bumi Di Kota Padang ... 123

25. Peta Risiko Bahaya Tsunami Kota Padang ... 126

26. Peta Prakiraan Tinggi Gelombang ... 129

27. Peta Risiko Bencana Banjir Kota Padang ... 131

28. Peta Risiko Bencana Longsor Kota Padang ... 133

29. Peta Risiko Bencana Abrasi Kota Padang ... 136

30. Prioritas Bentuk Mitigasi Bencana ... 143

31. Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam Pengembangan Perikanan yang Berkelanjutan di Kota Padang ... 159

32. Diagram Hierarki Prioritas Pengembangan Bidang Kelautan ... 163

33. Hasil Penilaian AHP Prioritas Kebijakan Pengelolaan Perikanan ... 164

34. Diagram Hierarki Prioritas Kebijakan Pengembangan Perikanan ... 166

35. Hasil Penilaian AHP Prioritas Kebijakan Pengelolaan Perikanan ... 167

36. Diagram Kebijakan Pengembangan Sumberdaya Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana ... 180

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Daftar Responden Primer ... 196

2. Peta Administrasi Kota Padang ... 197

3. Peta Topografi Kota Padang ... 198

4. Peta Rencana Pola Ruang Laut Kota Padang ... 199

5. Peta Hidrologi dan Tata Air Kota Padang ... 200

6. Peta Geologi Kota Padang ... 201

7. PDRB Kota Padang Atas Dasar Harga Konstan ... 202

8. PDRB Provinsi Sumatera Barat atas Dasar Harga Konstan ... 203

9. Kondisi dan Potensi Pemanfaatan Ruang Pesisir Kota Padang ... 204

10. Fasilitas Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus ... 205

11. Perhitungan LQ Antar Sektor di Kota Padang ... 207

12. Perhitungan Effort dan CPUE Analisis Bioekonomi ... 208

13. Hasil Estimasi Harga Sumberdaya Ikan Tuna dengan IHK Tahun Dasar 2007 ... 209

14. Perhitungan Parameter Biologi Ikan Tuna Hasil Regresi ... 210

15. Perhitungan Bioekonomi dengan Aplikasi Maple 13 ... 211

16. Cashflow Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana ... 216

17. Prosedur Perhitungan Consistency Ratio (CR) AHP prioritas Pengembangan Bidang Kelautan Kota Padang ... 217

(22)

I.

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, serta garis pantai terpanjang ke-empat di dunia yaitu 95.181 km (World Resources Institute, 2001). Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982, Indonesia memiliki wilayah perairan pedalaman dan kepulauan seluas 2,3 juta km2, laut territorial seluas 0,8 km2 dan Zona Ekonomi Ekslusif seluas 2,7 juta km2. Sebagai bagian dari potensi bidang kelautan, sektor perikanan memberikan kontribusi yang penting bagi perekonomian Indonesia, yaitu penghasil protein, tenaga kerja dan pendapatan (Kusumastanto and Jolly, 1997).

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yakni lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Fakta ini membuat Indonesia sangat berpotensi dilanda gempa bumi dan tsunami. Kondisi ini juga diperparah dengan posisi Indonesia yang berada di jalur cincin api pasifik yang terkenal sebagai jalur rangkaian gunung api paling aktif di dunia. Tidak kurang dari 240 buah gunung berapi berada di Indonesia dimana 70 diantaranya dikategorikan aktif (Budiman, 2010). Wilayah pesisir Sumatera bagian barat merupakan daerah rawan gempa bumi yang mempunyai titik-titik gempa berada di dasar laut. Kondisi ini dapat mengakibatkan patahan yang akan menimbulkan gelombang yang sangat besar. Kota Padang termasuk dalam kawasan yang rawan dilanda bencana gempa dan tsunami yang pada dasarnya adalah kawasan pantai. Selain gempa dan tsunami masih terdapat potensi bencana pesisir lain di wilayah ini, dimana secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi pengembangan sumberdaya perikanan.

(23)

Padang secara keseluruhan. Besarnya nilai produksi perikanan tangkap tidak terlepas dari tingginya nilai kontribusi yang dihasilkan jenis ikan tuna. Sumberdaya tuna merupakan komoditi unggulan perikanan Kota Padang, jenis tuna yang didaratkan di Kota Padang adalah Tuna Mata Besar/Bigeye (Thunus obesus) dan Tuna Sirip Kuning/Yellowfin (Thunus albacares). Spesies ini merupakan produk ekspor Kota Padang tujuan Singapura, Jepang dan Amerika. Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Padang tahun 2010, tuna merupakan komoditi perikanan tangkap yang memberikan nilai kontribusi terbesar dibandingkan spesies lain, yakni sebesar Rp 70.063.200.000 atau sekitar 24 persen dari seluruh nilai produksi perikanan Kota Padang. Melihat kontribusi yang dihasilkan, maka amatlah wajar pengembangan sumberdaya ini akan memberikan keuntungan berganda bagi perekonomian daerah secara keseluruhan sehingga perlu diatur kebijakan yang tepat untuk pengembangan sumberdaya ini.

Dalam rangka meningkatkan peran sektor kelautan dan perikanan pada pembangunan nasional, maka pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan menggagas suatu visi dan arah kebijakan strategis yang bernama “Revolusi Biru” yang berbasis pada wilayah dengan konsep minapolitan. Kawasan minapolitan diartikan sebagai suatu bagian wilayah yang mempunyai fungsi utama ekonomi yang terdiri dari sentra produksi, pengolahan, pemasaran komoditas perikanan, pelayanan jasa, dan/atau kegiatan pendukung lainnya. Sumatera Barat memiliki empat lokasi kawasan minapolitan yaitu Kota Padang untuk perikanan tangkap, Pesisir Selatan sebagai basis budidaya laut, Darmasraya untuk budidaya air tawar dan Maninjau sebagai kawasan minapolitan budidaya perairan umum. Kota Padang sebagai sentra perikanan tangkap menempatkan PPS Bungus sebagai kawasan inti minapolitan.

(24)

namun dihadapkan pada permasalahan lokasi yang rawan bencana serta kebijakan pengelolaan perikanan yang diterapkan pemerintah dengan orientasi optimalisasi produksi, membutuhkan sebuah arahan kebijakan yang efektif guna mengembangkan sumberdaya perikanan tuna yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana.

1.2.Perumusan Masalah

Kota Padang merupakan wilayah dengan karakteristik perikanan yang kompleks, pada satu sisi memiliki potensi perikanan laut yang potensial dan di sisi lain dihadapkan pada kondisi daerah yang rawan bencana. Kondisi ini menuntut suatu kebijakan yang diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan dalam hal pengembangan sumberdaya perikanan khususnya tuna longline, baik oleh faktor internal maupun eksternal. Potensi perikanan dapat mendorong program pengelolaan dan pengembangan, sementara potensi bencana menuntut adanya tindakan mitigasi. Aktivitas pengembangan dan mitigasi ini membutuhkan investasi, sehingga diperlukan kebijakan yang komprehensif dengan mempertimbangkan faktor pemerintah dan masyarakat (kelembagaan). Perumusan masalah dalam kegiatan penelitian ini terkait dengan potensi perikanan, potensi bencana alam dan upaya mitigasi, kelayakan investasi, kelembagaan serta kebijakan, yaitu:

1) Bagaimana kondisi ekonomi makro sektor perikanan di Kota Padang? 2) Bagaimana potensi keberlanjutan dan bentuk pengelolaan sumberdaya

perikanan tuna di Kota Padang ditinjau dari aspek biologi dan ekonomi? 3) Potensi bencana apa saja yang terdapat di pesisir serta prioritas bentuk

mitigasi terkait pengembangan sumberdaya perikanan di Kota Padang? 4) Bagaimana pengembangan perikanan tuna dan kelayakan investasi

berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang?

5) Bagaimana bentuk kelembagaan dalam pengembangan perikanan berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang?

(25)

1.3.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pemaparan perumusan masalah tersebut, yaitu:

1) Menganalisis kondisi ekonomi makro sektor perikanan di Kota Padang. 2) Menganalisis potensi keberlanjutan dan bentuk pengelolaan sumberdaya

perikanan tuna di Kota Padang ditinjau dari aspek biologi dan ekonomi. 3) Menganalisis potensi bencana serta prioritas bentuk mitigasi terhadap

pengembangan sumberdaya perikanan di Kota Padang.

4) Menganalisis pengembangan perikanan tuna dan kelayakan investasi berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang.

5) Menganalisis bentuk kelembagaan terkait pengembangan sumberdaya perikanan berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang.

6) Merumuskan arahan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tuna berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang.

1.4.Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi Pemerintah Kota Padang beserta institusi terkait dalam merumuskan kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan di daerah tersebut. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dalam pengembangan sumberdaya perikanan dan penanggulangan bencana, sehingga mampu memperkaya khasanah keilmuan serta pengembangan ekonomi sumberdaya kelautan yang dapat mensejahterakan masyarakat.

1.5.Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mengkaji bentuk pengelolaan dan pengembangan sumberdaya perikanan tuna yang ditangkap dengan tuna longline dan beroperasi pada sebagian Perairan Samudera Hindia (WPP 572). Hasil tangkapan ikan tuna tersebut sebagian besar didaratkan di Padang, Provinsi Sumatera Barat. Objek yang diteliti adalah perikanan tuna (tuna sirip kuning dan mata besar) dengan alat tangkap jenis tuna longline. Data yang digunakan merupakan data time series

(26)
(27)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Basis Ekonomi dan Kontribusi Sektor

Teori basis ekonomi memiliki pandangan bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Kegiatan ekonomi dikelompokkan atas kegiatan basis dan kegiatan non basis. Hanya kegiatan basislah yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wilayah (Tarigan, 2005). Teori basis ini mempunyai beberapa kelebihan yaitu sederhana, mudah diterapkan, dapat menjelaskan struktur perekonomian suatu daerah dan dapat memberikan peramalan jangka pendek pertumbuhan suatu wilayah (Glasson, 1990).

Sjafrizal (2008) menyatakan bahwa sektor basis merupakan sektor yang kegiatannya dapat mendatangkan pendapatan dari luar wilayah, sektor yang fungsi permintaanya bersifat exogenous dan sektor yang dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian wilayah serta menjadi tulang punggung perekonomian daerah karena mempunyai keuntungan kompetitif (competitive advantage) yang cukup tinggi. Sektor non basis menurut sjafrizal merupakan sektor-sektor selain sektor basis yang kurang potensial, tetapi sektor ini berfungsi sebagai penunjang sektor basis atau disebut juga service basis atau service industries. Sektor non basis kegiatannya hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal (daerah setempat) serta permintaannya dipengaruhi oleh pendapatan masyarakat setempat.

Sektor basic terdiri dari usaha-usaha lokal yang aktivitasnya bergantung pada faktor-faktor eksternal. Kehidupan usaha sektor ini banyak tergantung dari usaha-usaha nonlokal. Perikanan misalnya dapat dikategorikan sebagai sektor

(28)

Analisis shift share digunakan untuk menganalisis dan mengetahui pergeseran dan peranan perekonomian di daerah. Metode itu dipakai untuk mengamati struktur perekonomian dan pergeserannya dengan cara menekankan pertumbuhan sektor di daerah, yang dibandingkan dengan sektor yang sama pada tingkat daerah yang lebih tinggi atau nasional. Menurut Stevens dan Moore (1980), Keunggulan analisis shift share antara lain; (1). Memberikan gambaran mengenai perubahan struktur ekonomi yang terjadi. (2). Memungkinkan seorang pemula mempelajari struktur perekonomian dengan cepat. (3). Memberikan gambaran pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur dengan cukup akurat.

Location Quotient (LQ) merupakan indeks yang membandingkan sumbangan dalam persen aktivitas tertentu dengan sumbangannya dalam persen beberapa agregasi dasar. Pada tahap awal LQ dapat sangat bermanfaat bagi analisis ekspor dan impor regional. Location Quotient (LQ) dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu sektor ekonomi termasuk dalam sektor basis atau sektor non basis di suatu daerah dalam periode tertentu. Sektor basis dikatakan telah mampu berswasembada di wilayahnya dan dapat mengirim atau menyumbangkan sebagian produksinya ke wilayah lain, sedangkan kebalikannya termasuk dalam sektor non basis (Tarigan, 2005).

(29)

2.2. Karakteristik Perikanan Laut

Pada pengelolaan sumberdaya perikanan khususnya perikanan tangkap, terdapat hal yang paling kritis karena sumberdaya perikanan adalah barang publik (public goods), yaitu rezim kepemilikan yang bersifat common property

(kepemilikan bersama) dan rezim akses yang bersifat open access (siapa saja boleh memanfaatkan sumberdaya tersebut tanpa izin dari siapapun). Setiap orang tidak dapat dibatasi dalam penggunaan manfaat yang diberikan barang publik dan tidak ada persaingan dalam mengkonsumsinya, sehingga eksploitasi atau pemanfaatan terus berjalan tanpa pemeliharaan (Zulbainarni, 2012). Pemanfaatan sumberdaya ini bila tidak diatur dengan baik, maka akan cenderung ke arah pemanfaatan yang berlebih dan akan menimbulkan dampak yang dapat mengancam kelangsung usaha itu sendiri. Oleh sebab itu, perlu adanya pengelolaan yang seksama agar produksi optimum dapat terjaga.

Perikanan tangkap di Indonesia berdasarkan lokasi pemanfaatannya, diklasifikasikan dalam 3 kelompok, yaitu (1) perikanan lepas pantai (offshore fisheries); (2) perikanan pantai (coastal fisheries) dan (3) perikanan darat (inland fisheries). Kegiatan perikanan pantai dan perikanan darat sangat erat kaitannya dengan pengelolaan lingkungan pesisir. Masalah utama yang dihadapi perikanan tangkap pada umumnya adalah menurunnya hasil tangkap yang disebabkan oleh eksploitasi berlebihan (overfishing) dan degradasi kualitas fisik, kimia dan biologi lingkungan perairan (Dahuri et.al., 2001).

Komoditi unggulan perikanan tangkap berasal dari habitat tertentu, bisa dari wilayah yang luas bisa juga merupakan wilayah yang sempit. Masing-masing wilayah mempunyai karakteristik sendiri. Jenis ikan karang tentunya hidup di perairan karang, ikan pelagis di perairan permukaan dan ikan demersal cenderung hidup di dasar perairan. Beberapa jenis ikan ada yang beruaya sangat jauh, khususnya ikan oseanis yang hidupnya lebih banyak di perairan samudera (Diniah, 2008).

(30)

1.37 juta ton, ikan karang konsumsi 145 ribu ton, udang penaeid 94.80 ribu ton, lobster 4.80 ribu ton, dan cumi-cumi 28.25 ribu ton. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP Tahun 2011, produksi perikanan laut Indonesia tahun 2010 adalah sebesar 5.039.446 ton, bila dibandingkan dengan potensi lestari yang ada ternyata tingkat pemanfaatannya masih di bawahnya yaitu sebesar 78.62%. Perairan Laut Sumatera Barat merupakan bagian dari wilayah Pengelolaan Samudera Hindia dimana potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan berada di Samudera Hindia. Komoditas perikanan tangkap unggulan Sumatera Barat adalah tuna.

2.3. Sumberdaya Perikanan Tuna

Sumberdaya tuna merupakan salah satu dari beberapa sumberdaya potensial yang sudah terbukti besar sumbangannya bagi perekonomian perikanan nasional. Produksi tuna di perairan Indonesia pada tahun 2010 adalah sebesar 911.065 ton yang terdiri dari Tunas, Skipjack tunas dan Eastern little tunas, walaupun secara nasional pemanfaatannya tidak merata diseluruh perairan Indonesia (KKP, 2011). Sumberdaya tuna menyebar di perairan Indonesia dari barat hingga ke timur dan lebih banyak menyebar diperairan bebas. Oleh karena itu, tidak banyak nelayan tradisional yang turut memanfaatkan sumberdaya ini. Pemanfaatan sumberdaya tuna lebih banyak dilakukan oleh perusahaan skala menengah ke atas, karena memerlukan investasi yang besar.

(31)

Klasifikasi ikan tuna (Serdy 2004 dan FAO 2012) adalah sebagai berikut: Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata Kelas : Teleostei Subkelas : Actinopterygi Ordo : Perciformes Subordo : Scombridae Famili : Scombridae Genus : Thunnus

Spesies : Albacore tuna (Thunnus alalunga)

Bluefin tuna (Thunnus thynnus)

Bigeye tuna (Thunnus obesus)

Skipjack tuna(Katsuwonus pelamis)

Yellowfin tuna (Thunnus albacares)

Blackfin tuna (Thunnus atlanticus)

Little tuna (Euthynnus alletteratus; Euthynnus affinis)

Southern bluefin tuna(Thunnus maccoyii)

Frigate mackerel (Auxis thazard; Auxis rochei)

Tuna merupakan jenis pelagic yang menyebar luas di seluruh perairan tropis dan sub-tropis. Di Samudera Hindia dan Samudera Atantik, tuna menyebar diantara 40° LU dan 40° LS (Collete dan Naven 1983 diacu dalam Julianingsih 2004). Tuna merupakan jenis ikan pelagis besar yang memiliki kekhasan sebagai perenang cepat dan peruaya jauh. Bentuknya menyerupai cerutu dan memanjang. Ikan tuna tergolong jenis ikan yang aktif dan umumnya menyebar di perairan

(32)

Gambar 1. Wilayah Penyebaran Tuna Mata Besar (Bigeye) Sumber : Barto dalam FAO (2012)

Gambar 2. Wilayah Penyebaran Tuna Sirip Kuning (Yellowfin) Sumber : Barto dalam FAO (2012)

(33)

besar, madidihang, albakora, tuna sirip biru selatan, dan tuna abu-abu, sedangkan yang termasuk tuna kecil adalah cakalang (KKP 2003).

Gambar 3. Tuna Sirip Kuning (Yellowfin) Sumber : WWF Indonesia, 2011

Gambar 4. Tuna Mata Besar (Bigeye) Sumber : WWF Indonesia, 2011

Pengembangan perikanan tuna (Thunnus sp) dapat mencakup seleksi penggunaan teknologi. Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1998) dapat dilakukan melalui pengkajian aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Teknologi yang dikembangkan ditinjau dari segi biologi tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya dan dapat digunakan secara efektif dari segi teknis, dapat diterima masyarakat dari segi sosial serta secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan.Aspek lain yang tidak dapat diabaikan adalah kebijakan pemerintah. Pada penelitian ini teknologi pengembangan perikanan tuna mencakup teknologi prasarana dan sarana perikanan tuna longline

(34)

2.4. Tuna Longline

Ikan tuna di PPS Bungus Padang ditangkap menggunakan armada tuna longline. Novita dalam Kosasih (2007) mengatakan bahwa konstruksi kapal ikan harus sekuat mungkin, tetapi tubuhnya tidak terlalu berat, karena perlu olah gerak selincah mungkin serta tahan terhadap gelombang. Seperti halnya setiap kapal ikan, kapal tuna longline dibangun dengan konstruksi yang disesuaikan dengan bentuk, cara penggunaan alat tangkap dan daerah penangkapannya. Tunalongline

menggunakan pancing dengan panjang dapat mencapai 15-75 km dan untaian ribuan mata pancing yang umumnya dikhususkan untuk menangkap jenis bigeye

dan yellowfin.

Armada penangkapan merupakan salah satu faktor yang turut menentukan jumlah dan hasil tangkapan, juga sebagai sarana untuk menunjang operasional penangkapan ikan secara efesien dan efektif, yang bertujuan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal. Ketersediaan armada penangkapan dalam ukuran tertentu akan sangat menentukan jumlah dan hasil tangkapan. Desain armada tangkap tuna longline skala 30 GT ditampilkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Konstruksi Armada Tuna Longline

Sumber: LP Unpatti, 2012

(35)

2.5. Pengembangan Sumberdaya Perikanan

Tiga komponen sustainable fishery system menurut Charles (2001), yaitu

natural system, management system, dan human system. Natural system terdiri dari sumberdaya ikan itu sendiri, ekosistem, dan lingkungan biofisik. Human system adalah aspek yang menyangkut aktivitas manusia yang terdiri atas nelayan, sektor pasca-panen dan konsumen, rumah tangga dan komunitas nelayan, serta kondisi sosial ekonomi budaya dan lingkungan di masyarakat pesisir.

Management system merupakan sistem pengelolaan perikanan yang terdiri atas perencanaan dan kebijakan perikanan, pembangunan dan pengelolaan perikanan serta penelitian di bidang perikanan. Hubungan antara ketiga komponen dalam keberlanjutan sistem perikanan dapat dilihat pada Gambar 6.

(36)

Natural system merupakan faktor utama keberlanjutan (sustainability). Sistem alam ini tidak akan terpengaruh tanpa adanya campur tangan manusia. Oleh karenanya, peran manusia sangat penting dalam keberlanjutan. Interaksi antara ketiga komponen akan menyebabkan keseimbangan yang baru pada

natural system. Pada daerah tropis, tekanan sumberdaya (natural system) lebih besar karena jumlah masing-masing spesies yang sedikit.

Dalam rangka mencapai keseimbangan semua sistem, maka diperlukan pengelolaan yang terpadu oleh segenap stakeholder. Sebagaimana yang dikemukakan Aldon et al., (2011) bahwa sebuah kemitraan yang kuat dan terorganisir antara masyarakat, nelayan dan pengambil kebijakan dengan saling melengkapi satu sama lain akan mendukung faktor lingkungan (sumberdaya).

2.6. Potensi Bencana Alam di Wilayah Pesisir

Kerusakan akibat bencana alam telah meningkat pesat selama beberapa dekade terakhir (Millennium Ecosystem Assessment dalam Costanza dan Farley. 2007). Sebagian besar kerusakan ini terkonsentrasi di pantai, tsunami di Asia dan badai katrina hanya dua contoh terakhir. Akibatnya, pertumbuhan penduduk dan peningkatan jumlah infrastruktur yang dibangun di wilayah pesisir rentan terhadap kerusakan.

Berdasarkan UU Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, defenisi wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut. Sedangkan defenisi perairan pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut. Perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai serta yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau dan laguna.

(37)

gelombang badai pasang, banjir, dan gerakan tanah. Selanjutnya ada empat elemen sebagai akibat bencana yaitu; abrasi, akresi, erosi dan intrusi air laut. Elemen potensi bencana alam yang terdapat di wilayah pesisir tersebut adalah sebagai berikut:

a. Angin Kencang

Angin kencang terjadi akibat adanya perbedaan tekanan udara yang sangat tinggi pada zona tertentu di atmosfer. Perbedaan tersebut menimbulkan gerakan putaran angin yang kuat, disertai dengan hujan lebat dan menimbulkan efek destruktif karena membawa energi yang besar. Berbeda dengan badai tropis, angin kencang berlangsung singkat, dari hitungan detik hingga beberapa menit. Dampak angin kencang pada wilayah pesisir sulit dikurangi sekalipun dengan populasi mangrove yang padat,hal ini disebabkan arah datangnya angin tersebut berasal dari atas (Fritz dan Blount, 2006).

b. Gelombang Laut

Gelombang badai pasang (storm tide) adalah gelombang tinggi yang ditimbulkan karena efek terjadinya siklon tropis di sekitar wilayah Indonesia dan berpotensi kuat menimbulkan bencana alam. Indonesia bukan daerah lintasan siklon tropis tetapi keberadaan siklon tropis akan memberikan pengaruh kuat terjadinya angin kencang, gelombang tinggi disertai hujan deras (BNPB, 2009).

Berdasarkan gaya pembangkitnya, gelombang laut (ocean wave) secara garis besar dikelompokkan dalam tiga jenis (Macmillan, 1966; Mihardja dalam Latief, 2008), yaitu:

 Gelombang angin atau ombak (wind wave), gelombang ini dibangkitkan oleh angin .

(38)

Bila posisi bumi–bulan–matahari membentuk sudut 90 derajat, maka muka laut saat pasang tidak terlalu tinggi dan saat surut tidak terlalu rendah.  Gelombang badai (storm surge), yaitu gelombang yang timbul akibat angin

kuat atau badai (storm) yang menekan air laut ke arah garis pantai dengan ketinggian kurang lebih empat meter mengakibatkan runtuhnya lereng gisik (landfall). Badai tersebut terjadi akibat persentuhan uap yang ditimbulkan oleh kenaikan suhu muka air laut dengan lapisan atmosfer yang dingin dan basah, sehingga terjadi perpindahan energi dari laut ke atmosfer. Jika gelombang badai terjadi pada saat pasang, maka kekuatan pasang dan kekuatan badai menyatu dan menghasilkan gelombang badai yang lebih dahsyat.

c. Tsunami

Tsunami adalah rangkaian gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh gangguan impulsif dari dasar laut (BNPB, 2009). Adapun pembangkit gelombang panjang tsunami ini diantaranya adalah gempa bumi dangkal (kedalaman epicentre kurang dari 40 km) yang berpusat di tengah perairan dengan magnitude yang cukup besar, yaitu lebih dari 6,4 SR. Syarat lainnya adalah gempa tektonik yang terjadi merupakan gempa vertikal yang melibatkan pergeseran vertikal lempengan dengan luasan yang cukup besar. Berdasarkan jarak bangkitnya, tsunami dibedakan atas tiga jenis yaitu tsunami jarak pusat gempa ke lokasi sejauh 200 km yang terjadi kurang dari 30 menit, tsunami jarak menengah sejauh 200-1000 km (terjadi 30 menit–2 jam setelah gempa), dan tsunami jarak jauh lebih dari 1000 km yang terjadi lebih dari 2 jam setelah gempa (Diposaptono dan Budiman, 2006).

(39)

d. Abrasi

Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipicu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut. Walaupun abrasi bisa disebabkan oleh gejala alami, namun manusia sering disebut sebagai penyebab utama abrasi (BNPB, 2009).

e. Erosi

Erosi terdiri atas tiga jenis yaitu; erosi gisik (beach) yang dicirikan oleh adanya tebing laut (sea cliff) yang terjal dan terdapatnya singkapan endapan batuan, erosi tebing sungai yang terjadi akibat gerusan arus sungai pada tebing sungai-sungai besar dan erosi permukaan yang terjadi akibat adanya aliran air permukaan yang menggerusi material hasil pelapukan (Latief, 2008).

f. Longsor

Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau bebatuan, ataupun pencampuran keduanya menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng (BNPB, 2009). Apabila beban di atas lapisan keras melebihi daya dukung yang diijinkan, maka kemungkinan besar akan terjadi longsor/keruntuhan (land slide) atau amblesan/ perosokan (settlement/land subsidence).

g. Gempa Bumi

Menurut BNPB (2009), gempa bumi adalah peristiwa pelepasan energi yang diakibatkan oleh pergeseran/pergerakan pada bagian dalam bumi (kerak bumi) secara tiba-tiba. Tipe gempa yang umum ada dua, yaitu gempa tektonik dan gempa vulkanik. Dampak dari gempa bumi pada banyak kasus menimbulkan kerugian harta benda bahkan korban jiwa.

h. Banjir

(40)

anak sungai alamiah serta sistem drainase dangkal penampung banjir buatan yang ada tidak mampu akumulasi air hujan tersebut sehingga akibatnya meluap (BNPB, 2009).

i. Akresi

Akresi muncul akibat adanya pendangkalan di muara sungai yang disebabkan oleh tingginya kandungan material tersedimentasi yang berasal dari hasil erosi akibat aktivitas`manusia di bagian hulu. Oleh karena itu, kecepatan timbulnya akresi dapat diperlambat dengan aktivitas penghijauan di areal tangkapan air dan sekitar bendungan (Ruswandi 2009).

j. Intrusi Air Laut

Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan untuk berbagai keperluan pemukiman dan industri. Pengambilan air tanah yang tidak seimbang dengan pemasukan air dari permukaan mengakibatkan air laut yang lebih berat masa jenisnya langsung masuk ke akuifer (tempat penampungan air di dalam tanah) hingga mengendap (Ruswandi 2009).

2.7. Mitigasi Bencana Alam

(41)

sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 47 UU Nomor 24 tahun 2007 dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan yang rawan bencana.

Forum Mitigasi (2007) membedakan mitigasi bencana atas dua macam yaitu mitigasi pasif (non struktural) dan mitigasi aktif (struktural), kategori mitigasi ini antara lain :

 Mitigasi Pasif (Non Struktural)

- Penyusunan peraturan perundang-undangan. - Pembuatan pedoman/standar/prosedur.

- Penyesuaian rencana tata ruang berdasarkan peta risiko bencana serta pemetaan masalah.

- Pembuatan brosur/poster.

- Pembuatan rencana alternatif tindakan kedaruratan (contigency plan). - Penelitian/pengkajian karakteristik bencana/analisis risiko bencana - Internalisasi Penanggulangan Bencana (PB) dalam muatan lokal

pendidikan.

- Pembentukan satuan tugas bencana/perkuatan unit-unit sosial masyarakat.

- Pengutamaan PB dalam pembangunan dan sosialisasi.  Mitigasi Aktif (Struktural)

- Pembuatan dan penempatan tanda peringatan, bahaya, larangan memasuki daerah rawan bencana atau tanda peringatannya.

- Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan ke daerah aman. - Pembangunan penampungan sementara, daerah jalur evakuasi.

- Pembuatan bangunan struktur seperti: pengaman lereng (slope protection/seawalls), pemecah ombak (breakwater/detached breakwater), krib tegak lurus penahan gerakan sedimentasi sejajar gisik (groyne), dan pengaman gisik (beach protective).

(42)

 Upaya mitigasi struktur dilakukan dalam mitigasi bencana melalui dua metode, yaitu metode perlindungan alami revegetasi/remangrovisasi, sand-dune, pengisian gisik (beach nourishment) dan lainnya, serta metode perlindungan buatan seperti peredam abrasi (bank revetment), pemecah ombak (breakwater), pengaman lereng (slope protection/seawall), dan lain-lain.

 Upaya non struktur yang dapat dilakukan dalam mitigasi bencana seperti pembuatan peta rawan bencana, pembuatan peraturan perundangan terkait,

norma standar prosedur manual (NSPM) dan sosialisasi yang intensif kepada masyarakat dan aparat terkait dalam upaya pengurangan risiko bencana (mitigasi bencana) seperti pelatihan penyelamatan diri.

Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (Carter, 1991). Dengan demikian pengurangan risiko bencana alam adalah suatu upaya untuk menekan kerugian masyarakat yang diakibatkan oleh peristiwa bencana alam (BNPB, 2009). Jika upaya ini ditingkatkan menjadi suatu kebijakan maka upaya tersebut ditujukkan untuk mengamankan seluruh aset pemerintah termasuk seluruh hasil pembangunan yang selama ini telah dilaksanakan agar tidak rusak, sehingga hasil pembangunan akan tetap dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas.

Mengurangi jumlah bencana adalah suatu hal yang tidak akan mungkin terjadi, tetapi mengurangi risiko bencana yang terjadi merupakan suatu keharusan. Langkah penting yang harus segera diambil adalah melakukan modernisasi jaringan dan integrasi sistem pengamatan. Lembaga Pengetahuan dan Teknologi Nasional Amerika Serikat-Bidang Pengurangan Risiko Bencana dalam laporan bulan Juni 2005, menyebutkan tantangan utama dalam pengurangan risiko bencana adalah identifikasi tiga tema menuju suatu masyarakat pegas bencana (three themes in moving towards a disaster resilient society) yaitu:

(43)

 Membangun strategi dan teknologi mitigasi bencana gempa bumi, banjir pesisir dalam kaitan dengan tsunami, badai hurikane, gunung api, longsor dan amblesan.

2.8. Kelayakan Investasi

Studi kelayakan investasi menurut Husnan dan Suwarsono (1997) adalah penelitian tentang dapat tidaknya usaha investasi dapat dilaksanakan dengan berhasil. Sebuah studi kelayakan dilaksanakan untuk menjawab pertanyaan mengenai peluang usaha cukup ekonomis dan menjanjikan keuntungan yang layak apabila dilaksanakan. Semakin sederhana usaha yang akan dilaksanakan, maka semakin sederhana pula lingkup penelitian yang akan dilakukan. Pada tahapan studi kelayakan perlu diperhatikan ruang lingkup kegiatan usaha, cara kegiatan usaha dilakukan, evaluasi terhadap aspek-aspek yang menentukan berhasilnya seluruh usaha, sarana yang diperlukan serta hasil kegiatan usaha tersebut.

Jika dipandang dari sudut perusahaan saja, minimal ada tiga penyebab mengapa kegiatan studi kelayakan investasi yang dilaksanakan menjadi faktor pertimbangan yang cukup penting dalam pengambilan keputusan (Anggoro, 2004), yaitu:

 Investasi umumnya menyangkut pengeluaran modal yang besar.

 Pengeluaran modal mempunyai konsekuensi jangka panjang. Salah satu contoh yang mudah dilihat adalah apabila sebagian besar modal investasi didapatkan dari pinjaman bank konvensional, maka pihak pengusaha harus tetap mengembalikan modal yang dipinjam berikut bunganya baik itu investasi sukses maupun tidak.

 Komitmen pengeluaran modal adalah keputusan yang sulit untuk diubah, karena jika dipertengahan dirasa usaha tidak akan berjalan lancar maka modal yang telah ditanamkan sulit ditarik kembali.

(44)

dengan risiko kegagalan suatu proyek yang menyangkut investasi dalam jumlah yang besar (Anggoro, 2004).

Tahapan dalam melakukan proyek investasi umumnya adalah identifikasi untuk memperkirakan kesempatan dan ancaman dari usaha tersebut, perumusan untuk menerjemahkan kesempatan investasi kedalam suatu rencana proyek yang konkret, penilaian untuk menganalisis dan menilai aspek pasar, teknik, keuangan dan perekonomian, pemilihan untuk mengingat segala keterbatasan dan tujuan yang akan dicapai serta tahap implementasi yaitu menyelesaikan proyek tersebut dengan tetap berpegang pada anggaran. Langkah awal sebelum melakukan studi kelayakan, terlebih dahulu harus ditentukan aspek -aspek yang akan dipelajari yaitu aspek pasar, aspek teknis, aspek hukum, aspek manajerial, aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta aspek finansial (Kadariah et al., 1999).

2.9. Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat

Kelembagaan adalah suatu aturan yang dikenal atau diikuti secara baik oleh anggota masyarakat yang memberi naungan (liberty) dan meminimalkan hambatan (constraints) bagi individu atau anggota masyarakat. Kelembagaan kadang ditulis secara formal dan ditegakkan oleh aparat pemerintah, tetapi kelembagaan juga tidak ditulis secara formal seperti aturan adat dan norma yang dianut masyarakat. Kelembagaan itu umumnya dapat diprediksi dan cukup stabil serta dapat diaplikasikan pada situasi berulang (Wiratno dan Tarigan, 2002).

Kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan yang dianut oleh masyarakat atau organisasi yang dijadikan panutan oleh anggota masyarakat atau anggota organisasi dalam mengadakan transaksi satu dengan yang lainnya. Hal ini sejalan dengan Tjondronegoro (1999) yang mengatakan bahwa kelembagaan adalah suatu tata aturan yang dibentuk oleh masyarakat sehingga memiliki ciri tradisional dan non formal.

(45)

mereka, baik itu pengolahan ikan, pemasaran ataupun konsumsi. Kelembagaan juga sangat diperlukan ketika mengorganisir, mengkomunikasikan, mewakili, negosiasi, pengelolaan, pengaturan ataupun dalam melakukan suatu penelitian.

Menurut Nikijuluw (2002) ada beberapa hal yang menyebabkan pentingnya pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pengelolaan perikanan tangkap, yaitu: (1) langkah awal mempersiapkan masyarakat untuk menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat setempat terhadap program pengelolaan perikanan tangkap yang dilaksanakan, (2) sebagai alat untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan, kondisi dan sikap masyarakat setempat, dan (3) masyarakat mempunyai hak urun rembuk dalam menentukan program pengelolaan lingkungan yang akan dilaksanakan di wilayah mereka.

2.10. Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan adalah setiap jenis analisa yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan dalam menguji pendapat mereka. Kata “analisa” digunakan dalam pengertian yang paling umum yang secara tidak langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang mencakup tidak hanya pengujian kebijakan, tetapi juga merencanakan dan mencari sintesa atas alternatif-alternatif baru. Aktivitas ini meliputi sejak awal penelitian untuk memberi wawasan terhadap masalah atau issue yang mendahului atau mengevaluasi program yang sudah selesai (Quandun dalam Dunn, 2003).

Dunn (2003) mengungkapkan bahwa analisis kebijakan merupakan sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya, sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan permasalahan kebijakan yang ada. Ruang lingkup dan metode-metode analisis sebagian bersifat deskriptif, dan informasi/fakta mengenai sebab akibat kebijakan sangat penting untuk memahami masalah-masalah kebijakan.

(46)

(for) proses kebijakan, dan pengetahuan tentang (about) proses kebijakan. Secara kontinum, proses pengambilan keputusan dalam sebuah kebijakan terdiri atas tiga variasi yaitu analisis kebijakan, monitoring dan evaluasi kebijakan, serta analisis untuk kebijakan. Analisis kebijakan mencakup determinasi kebijakan yaitu analisis yang berkaitan dengan cara pembuatan kebijakan, mengapa, kapan, dan untuk siapa kebijakan dibuat dan isi kebijakan yang merupakan deskripsi tentang kebijakan tertentu dan hubungannya dengan kebijakan sebelumnya. Monitoring dan evaluasi kebijakan berfokus pada pengkajian kinerja kebijakan dengan mempertimbangkan tujuan kebijakan dan apa dampak kebijakan terhadap suatu persoalan tertentu. Analisis untuk kebijakan mencakup informasi untuk kebijakan dan advokasi terhadap kebijakan.

Setiap model kebijakan yang ada tidak dapat diterapkan untuk semua perumusan kebijakan, sebab masing-masing model memfokuskan perhatiannya pada aspek yang berbeda. Menurut Jay Forrester dalam Dunn (2003), bahwa persoalannya tidak terletak pada menggunakan atau membuang model, akan tetapi yang menjadi persoalan adalah pada pemilihan diantara berbagai alternatif yang ada. Oleh karena itu, perlu dikaji terlebih dahulu setiap alternatif yang akan menjadi prioritas dalam pengembilan kebijakan.

Dalam rangka merumuskan kebijakan pengelolaan dan pengembangan perikanan di wilayah pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan, maka diperlukan arahan dan kebijakan secara terpadu. Hal ini disebabkan tingginya keterkaitan antar sektor yang ada di wilayah pesisir tersebut. Oleh karena itu, dalam sebuah kebijakan pembangunan kelautan, harus memperhatikan empat aspek utama yaitu: (1) aspek teknis dan ekologis, (2) aspek sosial ekonomi-budaya, (3) aspek politis dan (4) aspek hukum dan kelembagaan (Indrawani, 2000).

2.11. Kebijakan Kelautan dan Perikanan

(47)

yang sifatnya komplementer, terpadu dan saling mendukung harus mencakup tiga unsur fundamental, yaitu; Pertama, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus guna mengoreksi berbagai macam distorsi atau gangguan atas harga-harga relatif dari masing-masing faktor produksi demi lebih terjaminnya harga-harga pasar. Kedua, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus untuk melaksanakan perubahan struktural terhadap distribusi pendapatan, distribusi aset, kekuasaan, dan kesempatan memperoleh pendidikan serta penghasilan (pekerjaan) yang lebih merata. Ketiga, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus untuk memodifikasi ukuran distribusi pendapatan kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi melalui pajak progresif.

Menurut Kusumastanto (2003), agar bidang kelautan menjadi sektor unggulan dalam perekonomian nasional, diperlukan kebijakan pembangunan yang bersifat terintergrasi antar institusi pemerintah dan sektor pembangunan. Dalam rangka mengarahkan pembangunan tersebut, maka diperlukan sebuah kebijakan pembangunan kelautan (ocean development policy) sebagai bagian dari ocean policy yang nantinya menjadi “payung” dalam mengambil sebuah kebijakan yang

bersifat publik. Penciptaan kebijakan ini dibangun oleh sebuah pendekatan kelembagaan (institutional arrangement) yang lingkupnya mencakup dua lembaga dalam suatu sistem pemerintahan, yakni eksekutif dan legislatif. Kebijakan kelautan dan perikanan pada akhirnya menjadi kebijakan ekonomi politik yang nantinya menjadi tanggung-jawab bersama.

Kebijakan pemerintah membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang sekarang mengalami perubahan nomenklatur menjadi kementerian melalui Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009, merupakan suatu keputusan ekonomi politik dari perubahan mendasar di tingkat kebijakan nasional. Keputusan politik ini diharapkan tidak hanya sampai pada pembentukan kementerian saja, melainkan harus ada sebuah visi bersama pada semua level institusi negara dalam menjadikan bidang kelautan sebagai mainstream

pembangunan bangsa (Kusumastanto, 2003).

(48)

mengatur daerah dengan batasan pengelolaan wilayah laut provinsi dalam batasan 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan, pemerintah kabupaten/kota mengelola sepertiganya atau 4 mil laut. Sementara UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pada prinsipnya pembagian alokasi pendapatan antara pemerintah pusat dan daerah berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya laut dan pesisir.

Daerah yang memiliki potensi sumberdaya yang besar terutama pesisir dan kelautan seharusnya memiliki kesempatan dalam memanfaatkan seoptimal mungkin potensi tersebut untuk pembangunan. Permasalahan utama yang dihadapi jika kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi adalah akan berdampak pada timbulnya efek negatif terhadap kondisi ekologi maupun ekonomi yang berakibat pada gejolak sosial. Kebijakan kelautan (ocean policy) adalah kebijakan yang dibuat oleh policy makers dalam mendayagunakan sumberdaya kelautan secara bijaksana untuk kepentingan publik dalam rangka meningkatkan kesejateraan masyarakat (social welfare) (Kusumastanto 2003). Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan harus mempertimbangkan berbagai aspek antara lain aspek ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga dapat bermanfaat secara optimal. Pemanfaatan sumberdaya yang optimal disatu sisi dapat menyokong pembangunan ekonomi dan di sisi lain bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustainaibility) sehingga akan mencapai kesejateraan.

(49)

Ecological Sustainability

2.12. Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan gagasan ataupun konsep pembangunan yang sudah sejak lama dicanangkan baik oleh sekelompok masyarakat tertentu, negara, maupun oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pembangunan berkelanjutan juga didefinisikan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan (UU Nomor 23, tahun 1997). Melalui definisi tersebut, dapat dipahami bahwa konsep pembangunan berkelanjutan didirikan atau didukung oleh tiga pilar atau tiga dimensi keberlanjutan (Triple-P), yaitu keberlanjutan usaha ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial manusia (people), dan keberlanjutan ekologi alam (planet). Ketiga pendekatan tersebut bukanlah pendekatan yang berdiri sendiri, tetapi saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain sehingga ketiganya harus diperhatikan secara seimbang (Munasinghe, 1993). Segitiga pembangunan berkelanjutan ditampilkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Segitiga Pembangunan Berkelanjutan (Charles, 2001) Gambar 7 menunjukkan segitiga pembangunan yang membentuk dasar kerangka kerja untuk evaluasi keberlanjutan berdasarkan pada tiga komponen penting yaitu ekologi, keberlanjutan sosial ekonomi dan sosial/masyarakat.

Socioeconomic Sustainability

Community Sustainability Institutional

Gambar

Gambar 1.  Wilayah Penyebaran Tuna Mata Besar (Bigeye)
Gambar 6. Keterkaitan antar Sistem Perikanan (Charles, 2001)
Gambar 7. Segitiga Pembangunan Berkelanjutan (Charles, 2001)
Gambar 8. Kerangka Pemikiran Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

daun ubi jalar ungu ( Ipomoea batatas L. Lam), atau Purple sweet potato leaves (PSPL) terhadap kadar Superokside Dismutase (SOD) tikus Rattus novergicus

PENERAPAN METODE KARYAWISATA DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS KALIMAT SEDERHANA PADA ANAK TUNAGRAHITA RINGAN DI SLB-C YKB GARUT.. Universitas Pendidikan Indonesia

banyak kasus yang ia hadapi baik tentang orang lain ataupun tentang dirinya Pada tahun 1914, tahun terakhir Gandhi di Afrika.

DINAS PANGAN, PERTANIAN DAN PERIKANAN KABUPATEN WONOSOBO TAHUN ANGGARAN

Sistem pengelolaan pendidikan, penelitian, pelayanan/ pengabdian kepada masyarakat, dan kerjasama harus terintegrasi dengan penjaminan mutu program pendidikan profesi

Hal ini sejalan dengan penelitian Nasution (2010) tentang “Pengaruh senamkaki terhadap peningkatan sirkulasi darahkaki pada pasien penderita DM di RSUD Haji Adam Malik, dari

[r]

Strategi pembelajaran POE membuat siswa lebih aktif, suasana belajar menjadi hidup dan menyenangkan, siswa antusias saat proses pembelajaran, dan strategi POE