• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN

6.3. Analisis Kebencanaan

6.4.2. Kelayakan Investasi Pengembangan Tuna Longline

Ikan Tuna (Thunnus,sp) memiliki karakteristik yang khas yaitu melakukan migrasi dalam geografis yang luas dan selalu berpindah setiap waktu. Perairan Laut Indonesia bukanlah satu-satunya tempat permanen dari ikan tuna dunia. Tempat beruaya yang jauh dan luas ini membutuhkan teknologi dan armada penangkapan yang mampu menyesuaikan dengan karakteristik spesies tersebut.

Jenis alat penangkap tuna yang biasa digunakan yaitu; Tuna longline,

handline, huhate, pukat cincin, dan jaring insang. Rawai tuna atau tuna longline

adalah alat penangkap tuna yang paling banyak digunakan untuk menangkap kelompok ikan pelagis besar itu. Longline merupakan rangkaian sejumlah pancing yang dioperasikan sekaligus. Satu unit tuna longline biasanya mengoperasikan 1.000–2.000 mata pancing dalam sekali setting. Tuna longline umumnya dioperasikan di laut lepas atau perairan samudera. Alat tangkap ini bersifat pasif, menanti umpan dimakan oleh ikan sasaran. Setelah pancing diturunkan ke perairan, mesin kapal dimatikan agar kapal dan alat tangkap hanyut terbawa arus (drifting).

Produktivitas perikanan tangkap adalah produktivitas (kapal/perahu) perikanan tangkap. Produktivitas kapal penangkap ikan merupakan tingkat kemampuan kapal penangkap ikan untuk memperoleh hasil tangkapan ikan per- tahun. Produktivitas kapal penangkap ikan per-tahun, ditetapkan berdasarkan perhitungan jumlah hasil tangkapan ikan per-kapal dalam satu tahun, dibagi besarnya jumlah kapal yang bersangkutan. Besar kecilnya produktivitas penangkapan tersebut akan menentukan tingkat kelayakan usaha. Disamping itu, kelayakan usaha juga ditentukan oleh biaya produksi. Kapal tuna longline

memiliki biaya produksi yang paling besar pada biaya bahan bakar (solar) yang mencapai 70 persen dari total biaya operasional. Harga solar yang cenderung meningkat diduga akan sangat berpengaruh terhadap kelayakan usaha tuna longline. Pada bagian ini penelitian dimaksudkan untuk mengkaji kelayakan usaha

tuna longline berperspektif mitigasi bencana yang berpangkalan di Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Bungus Kota Padang.

Armada tangkap tuna longline di Kota Padang berpangkalan di PPS Bungus. Lama trip dalam sekali penangkapan adalah 2-6 bulan. Usaha perikanan

tangkap tuna longline membutuhkan investasi untuk pembelian kapal, alat tangkap, mesin dan peralatan penunjang mencapai Rp 800 juta. Perincian investasi untuk satu unit kapal dapat dilihat pada Tabel 43. Selain itu juga dibutuhkan biaya operasional dan perawatan, pengadaan bahan bakar (solar), nakhoda dan anak buah kapal (ABK), perbekalan, es dan lain-lain.

Tabel 43. Investasi Tuna Longliner

No. Jenis Investasi Nilai Investasi

(Rp) Umur Ekonomi (th) Depresiasi (Rp/th) 1 Kapal Longline 450.000.000 15 30.000.000 2 Pancing Longline 150.000.000 10 15.000.000 3 Mesin 150.000.000 10 15.000.000 4 Peralatan lain 50.000.000 5 10.000.000 Total Investasi

(1 Unit Tuna Longline) 800.000.000 70.000.000

Total Investasi

(33 Unit Tuna Longline) 26.400.000.000 2.310.000.000

Sumber : Hasil Analisis Data, 2012

Total biaya investasi yang dibutuhkan untuk menyiapkan armada dan alat tangkap sebesar Rp 800 juta per unit kapal. Berdasarkan hasil analisis bioekonomi, diperoleh informasi bahwa jumlah armada yang optimal dalam pengembangan perikanan di Padang adalah penambahan armada sebanyak 33 unit dari 26 unit armada longline yang sudah ada di PPS Bungus. Hal ini berarti bahwa total investasi yang dibutuhkan sebesar Rp 26,4 miliyar. Biaya ini belum termasuk biaya operasional penangkapan dan biaya perawatan.

Tabel 44. Biaya Operasional Per-trip Usaha Tuna Longline.

No. Jenis Biaya Kebutuhan Satuan Harga (Rp) Biaya (Rp)

1 BBM (Solar) 40.000 liter 6.300 252.000.000

2 Pelumas 250 liter 13.000 3.250.000

3 Air tawar 50 gallon 22.000 1.100.000

4 Umpan 4 ton 5.000.000 20.000.000

5 Makanan 5 bulan 9.200.000 46.000.000

6 Biaya tambat labuh 1 trip 45.000 45.000

7

Biaya tenaga kerja (ABK dan

Nakhoda) 5 bulan 8.500.000 42.500.000

8 Bagi hasil untuk nakhoda (1%) 1 trip 12.000.000 12.000.000

9 Lainnya 1 20.000.000 20.000.000

Total 396.895.000

Data biaya operasional yang diambil dari lapangan adalah dengan asumsi satu kali trip selama 2 bulan dan jumlah trip satu tahun sebanyak 4 kali. Total biaya operasional untuk 59 unit kapal sebesar Rp 93.667.220.000 per tahun. Biaya operasional per-trip terbesar adalah untuk pengadaan BBM (solar), yang mencapai 63 persen dari seluruh biaya operasional. Oleh karena itu, kenaikan harga BBM akan menjadi beban berat bagi pengusaha tuna longline dan nelayan. Selain itu, pemilik kapal juga harus menyediakan biaya perawatan, terutama untuk perawatan kapal, alat tangkap dan mesin. Perkiraan biaya perawatan yang diperlukan dalam usaha penangkapan tuna dapat dilihat pada Tabel 45.

Tabel 45. Biaya Perawatan Tuna Longliner Per-unit

No. Jenis Perawatan Biaya Perawatan

(Rp/kali) Frekuensi Perawatan (kali/tahun) Biaya (Rp/tahun) 1 Kapal Longline 8.000.000 2 16.000.000

2 Alat Tangkap Longline 3.000.000 2 6.000.000

3 Mesin 7.000.000 2 14.000.000

4 Peralatan lain 2.000.000 2 4.000.000

Total 40.000.000

Sumber : Hasil Analisis Data, 2012

Biaya perawatan armada tuna longline sebagaimana yang ditampilkan pada Tabel 45 adalah sebesar Rp 40 juta. Biaya ini merupakan nilai yang harus dikeluarkan untuk satu unit kapal dalam satu tahun. Berdasarkan hasil analisis sebelumnya, dengan penambahan armada sebanyak 33 unit sehingga total armada menjadi 59 unit, maka diperoleh total biaya perawatan yang harus dikeluarkan adalah sebesar Rp 2.360.000.000.

Analisis kelayakan investasi pada tahap ini bertujuan untuk menggambarkan tingkat kelayakan investasi rencana pengembangan ekonomi perikanan tuna longline berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang. Analisis ini dibutuhkan dalam menyiapkan rumusan kebijakan pengembangan perikanan di Kota Padang. Oleh karena itu, pada bagian ini juga akan diuraikan komponen investasi sarana mitigasi pengembangan usaha perikanan. Komponen biaya investasi terdiri atas investasi prasarana mitigasi darat dan laut serta investasi sarana mitigasi armada penangkapan. Besarnya biaya komponen investasi sarana mitigasi ditampilkan pada Tabel 46 dan Tabel 47.

Tabel 46. Biaya Investasi Prasarana Mitigasi Darat dan Laut

No. Jenis Investasi Nilai Investasi

(Rp) Umur Ekonomi (th) Depresiasi (Rp/th)

1 Sistem Peringatan Dini (EWS) 250.000.000 10 25.000.000

2 Radar Tsunami dan Gelombang 1.200.000.000 10 120.000.000

3 Pusat Informasi Bencana 1.500.000.000 10 150.000.000

4 Jalur Evakuasi dan Assembly Point 350.000.000 10 35.000.000

5 Shelter Pelabuhan 450.000.000 10 45.000.000

6 Tambat Badai Laut 1.300.000.000 5 260.000.000

Total Biaya Investasi 5.050.000.000 635.000.000

Sumber : Data Primer, 2012

Biaya investasi prasarana mitigasi darat dan laut yang dimasukkan pada perhitungan analisis kelayakan investasi tahap ini adalah berdasarkan analisis mitigasi bencana perikanan tangkap yang diuraikan pada sub bab sebelumnya, Komponen prasarana investasi ini menjadi bagian penting dalam pengembangan sumberdaya perikanan tangkap untuk memberikan hasil yang optimal dan kesejahteraan bagi masyarakat khususnya nelayan.Total biaya investasi yang dibutuhkan sebesar Rp 5,05 miliyar.

Tabel 47. Biaya Investasi Sarana Mitigasi Armada Penangkapan (59 Unit

Longline)

No. Jenis Investasi Nilai Investasi

(Rp) Umur Ekonomi (th) Depresiasi (Rp/th) 1 GPS 413.000.000 10 41.300.000

2 Paket aplikasi BB/Android 236.000.000 5 47.200.000

3 Radio Komunikasi dan navigasi 531.000.000 5 106.200.000

Total Biaya Investasi 1.180.000.000 194.700.000

Sumber : Data Primer, 2012

Investasi sarana mitigasi armada penangkapan membutuhkan biaya sebesar Rp 1,18 milyar untuk seluruh armada longline di Bungus. Total biaya investasi yang dibutuhkan untuk menyiapkan prasarana mitigasi darat dan laut serta sarana mitigasi armada penangkapan untuk 59 unit armada menjadi Rp 6,23 milyar. Komponen mitigasi ini dalam pengoperasiannya di lapangan masih membutuhkan biaya operasional dan perawatan yaitu dengan rincian pada Tabel 48 dan Tabel 49.

Tabel 48. Biaya Operasional Prasarana dan Sarana Mitigasi Per-tahun

No. Jenis Biaya Operasional Kebutuhan

Biaya satuan (Rp) Biaya (Rp/tahun) 1 Biaya Operator 2 2.500.000 60.000.000

2 Penyuluhan, Sosialisasi dan Pelatihan 2 3.000.000 6.000.000

3 Prasarana Mitigasi Darat dan Laut 1 12.000.000 12.000.000

4 Sarana Mitigasi Armada Penangkapan 59 6.000.000 354.000.000

5 Biaya Lainnya 1 2.000.000 2.000.000

Total 434.000.000

Sumber : Data Primer, 2012

Perhitungan biaya operasional mencakup biaya prasarana mitigasi darat dan laut serta sarana mitiasi armada penangkapan. Total biaya operasional yang dibutuhkan adalah sebesar Rp 434 juta per tahun. Komponen biaya ini sudah termasuk biayauntuk penyuluhan, sosialisasi dan pelatihan kepada nelayan dan masyarakat setempat serta biaya untuk operator/teknisi yang bertugas mengelola prasarana mitigasi bencana.

Tabel 49. Biaya Perawatan PrasaranaMitigasi Darat dan Laut

No. Jenis Perawatan

Biaya Perawatan (Rp/kali) Frekuensi Perawatan (kali/ tahun) Total Biaya (Rp/tahun)

1 Sistem Peringatan Dini (EWS) 1.000.000 2 2.000.000

2 Radar Tsunami dan Gelombang 1.000.000 2 2.000.000

3 Pusat Informasi Bencana 2.000.000 2 4.000.000

4 Jalur Evakuasi dan Assembly Point 1.000.000 2 2.000.000

5 Shelter Pelabuhan 500.000 2 1.000.000

6 Tambat Badai Laut 3.000.000 2 6.000.000

Total Biaya Perawatan 9.100.000 17.800.000

Sumber : Data Primer, 2012

Prasarana mitigasi darat dan laut merupakan salah satu komponen biaya investasi terbesar yang harus dikeluarkan. Komponen ini membutuhkan biaya perawatan dalam pemanfaatannya. Total biaya perawatan yang harus dikeluarkan sebesar Rp 17,8 juta selama satu tahun. Biaya terbesar adalah pada perawatan tambat badai laut karena prasarana mitigasi ini terletak di laut yang mudah mengalami kerusakan.

Tabel 50. Biaya Perawatan Sarana Mitigasi Armada Penangkapan

No. Jenis Perawatan

Biaya Perawatan (Rp/kali) Frekuensi Perawatan (kali/ tahun) Total Biaya (Rp/tahun) 1 GPS 200.000 2 400.000

2 Paket aplikasi BB/Android 200.000 1 200.000

3 Radio Komunikasi dan navigasi 200.000 1 200.000

Total Biaya Perawatan

(1 Unit Armada Penangkapan) 600.000 800.000

Total Biaya Perawatan

(59 Unit Armada Penangkapan) 35.400.000 47.200.000

Sumber : Data Primer, 2012

Komponen prasarana dan sarana mitigasi dalam pengembangan ekonomi perikanan tangkap ini membutuhkan biaya perawatan sebesar Rp 64,2 juta pertahun. Komponen perawatan prasarana mitigasi darat dan laut membutuhkan biaya perawatan sebesar Rp 17,8 juta, sedangkan biaya perawatan untuk armada penangkapan sebesar Rp 47,2 juta per tahun. Rincian total biaya (Outflow) kelayakan investasi pengembangan ekonomi perikanan tuna longline

berperspektif mitigasi bencana diuraikan pada Tabel 51. Tabel 51. Total Biaya/Outflow

No. Komponen Biaya Biaya (Rp)

1 Biaya Investasi Usaha Tuna Longline (33 unit) 26.400.000.000

2 Biaya Investasi Prasarana dan Sarana Mitigasi (59 unit) 6.230.000.000

3 Biaya Perawatan Tuna Longline (59 unit) 2.360.000.000

4 Biaya Perawatan Prasarana dan Sarana Mitigasi (59 unit) 64.200.000

5 Biaya Operasional Usaha Tuna Longline (59 unit) 93.667.220.000

6 Biaya Operasional Prasarana dan Sarana Mitigasi (59 unit) 434.000.000

Total 129.155.420.000

Sumber : Data Primer, 2012

Melalui Tabel 51 dapat dilihat rincian komponen yang dikeluarkan untuk masing-masing jenis biaya dalam perhitungan kelayakan investasi. Total biaya yang dibutuhkan dalam kelayakan investasi pengembangan ekonomi perikanan tuna berperspektif mitigasi bencana adalah sebesar Rp 129,1 milyar. Diasumsikan investasi dilakukan pada komponen yang ditambahkan. Biaya investasi dalam pengembangan usaha ini sebesar Rp 32.630.000.000, biaya perawatan sebesar Rp 2.424.200.000 dan biaya operasional sebesar Rp 94.101.220.000 per tahun.

Berdasarkan data di lapangan, penerimaan pengusaha longline dalam usaha ini berfluktuasi yang dipengaruhi oleh musim dan harga ikan. Nilai hasil tangkapan tersebut dikurangi retribusi sebesar 3 persen. Proyeksi penerimaan yang dijadikan asumsi dalam kajian ini dapat dilihat pada Tabel 52. Berdasarkan basis data yang ada, selanjutnya disusun proyeksi laba/rugi usaha penangkapan

tuna longline di PPS Bungus. Hasil proyeksi laba/rugi usaha longline dapat dilihat pada Tabel 53 berikut ini:

Tabel 52. Asumsi Penerimaan Perikanan TunaLongline

No. Uraian Produksi

(Kg/trip) Rataan Harga (n=9) (Rp/Kg) Rataan Nilai Produksi (Rp/trip)

1 Rataan Hasil Tangkapan

a. Tuna Sirip Kuning 2.605 59.250 154.355.139

b. Tuna Mata Besar 5.609 77.351 433.850.155

Retribusi (3%) (17.646.159)

2 Rataan Penerimaan setelah Retribusi 570.559.135

Rataan Penerimaan (Rp/unit/tahun)

2.282.236.539

(1 tahun = 4 trip)

Penerimaan Total (Rp/tahun)

134.651.955.786

(59 unit)

Sumber: Hasil Analisis Data, 2012

Total nilai penerimaan usaha perikanan longline dalam satu tahun untuk 59 unit armada adalah sebesar Rp 134,6 miliyar. Total nilai ini berdasarkan analisis data di lapangan dengan jumlah trip per tahun sebanyak 4 kali. Hasil perhitungan NPV, B/C dan IRR usaha penangkapan menggunakan tuna longline

disajikan pada Tabel 53. Sedangkan proyeksi laba rugi dan cashflow pada perhitungan ini diuraikan dalam Lampiran 16. Hasil analisis mengungkapkan bahwa penangkapan ikan menggunakan tuna longline memperoleh keuntungan dan layak dikembangkan.

Tabel 53. Nilai NPV, B/C dan IRR

Uraian Nilai

Net Present Value (NPV) Rp 45.530.835.838 Benefit Cost (B/C) 2,40

Internal Rate of Return (IRR) 54,73%

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 53 dapat dilihat nilai NPV Rp 45.530.835.838, artinya nilai saat ini dari keuntungan yang akan diperoleh selama umur proyek 5 tahun di masa yang akan datang adalah Rp 45.530.835.838. Nilai B/C 2,40 artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan/manfaat sebesar 2,4 kali dari biaya yang dikeluarkan selama umur usaha 5 tahun dengan suku bunga 17%. IRR 54,73%, artinya usaha tersebut mampu memberikan tingkat pengembalian atau keuntungan 54,73% pertahun dari seluruh investasi yang ditanamkan selama umur usaha 5 tahun.

Analisis pada tahap ini menyimpulkan bahwa pengembangan usaha perikanan berperspektif mitigasi bencana memberikan keuntungan sehingga layak untuk dikembangkan, analisis ini ditinjau dari indikator NPV, IRR dan B/C. Hal ini didukung oleh faktor posisi PPS Bungus sebagai kawasan pendaratan ikan tuna di bagian barat Sumatera memiliki jarak penangkapan yang dekat dengan Samudera Hindia. Kondisi ini tentu saja akan berdampak positif terhadap berkurangnya biaya operasional penangkapan. Selain itu, prospek tuna ekspor menjadi keuntungan tersendiri bagi setiap pengelola perikanan di wilayah ini termasuk nelayan penangkap ikan, karena memiliki keuntungan dari segi harga dan jaminan pemasaran. Namun di sisi lain perlu juga dipertimbangkan aspek keberlanjutan sumberdaya tuna itu sendiri, sehingga optimasi produksi tidak mengganggu keberlanjutan atau kelestarian sumberdaya.

Investasi prasarana dan sarana mitigasi yang ditujukan bagi pengembangan perikanan tangkap di PPS Bungus Kota Padang tidak hanya terfokus pada pengembangan usaha tuna, tetapi juga memberikan manfaat bagi usaha penangkapan lain di sekitar areal tersebut. Selain itu penyediaan prasarana dan sarana investasi ini juga bisa menjadi model dan perbandingan dalam pengembangan usaha perikanan berperspektif mitigasi bencana bagi daerah lain. Hal ini didasari karena usaha mitigasi yang dibangun, menjadi sarana mengurangi resiko/dampak bencana bagi aspek yang lain. Melalui hasil analisis ini diharapkan peran serta policy maker (pemerintah) serta lembaga keuangan (bank dan non bank) untuk berperan serta dalam mengembangkan usaha perikanan tuna berperspektif mitigasi bencana di Padang. Peran serta ini mengingat besarnya biaya investasi yang harus dikeluarkan dan keuntungan yang akan diperoleh.

6.5. Analisis Kelembagaan

Dokumen terkait