• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi Cendawan Botryodiplodia theobromae dan Rhizoctonia solani dari Berbagai Tanaman Inang Berdasarkan Morfologi dan Pola RAPD-PCR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakterisasi Cendawan Botryodiplodia theobromae dan Rhizoctonia solani dari Berbagai Tanaman Inang Berdasarkan Morfologi dan Pola RAPD-PCR."

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISASI CENDAWAN Botryodiplodia theobromae

DAN Rhizoctonia solani DARI BERBAGAI TANAMAN INANG

BERDASARKAN MORFOLOGI DAN POLA RAPD-PCR

YAYU SITI NURHASANAH

 

 

 

 

 

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

YAYU SITI NURHASANAH. Karakterisasi Cendawan Botryodiplodia theobromae dan Rhizoctonia solani dari Berbagai Tanaman Inang Berdasarkan Morfologi dan Pola RAPD-PCR. Dibimbing oleh KIKIN HAMZAH MUTAQIN dan SURYO WIYONO.

Cendawan Botryodiplodia theobromae (Pat.) dan Rhizoctonia solani (Kuhn.) masing-masing memiliki kisaran inang yang luas dan gejala yang beragam bergantung inangnya. Morfologi cendawan tersebut dari inang yang berbeda nampak serupa, namun ada kemungkinan bahwa dapat berbeda apabila dianalisis lebih dalam lagi karakteristiknya secara morfologi maupun molekuler. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi cendawan B. theobromae dan

R. solani dari berbagai tanaman inang berdasarkan morfologi dan pola DNA cendawan dengan teknik RAPD. Berdasarkan pengamatan karakter masing-masing isolat B. theobromae berasal dari lima tanaman inang yaitu, jeruk, kakao, karet, manggis, dan pisang serta R. solani berasal dari lima tanaman inang yaitu, jagung, nanas, padi, sorghum, dan ubi jalar, kedua cendawan tersebut menunjukkan keragaman morfologi. Ukuran konidia B. theobromae asal jeruk, kakao, karet dan pisang menunjukkan perbedaan yang nyata. Konidia isolat

B. theobromae asal manggis tidak terbentuk baik pada media Water Agar (WA) yang diberi jerami maupun pada Potato Dextrose Agar (PDA), hal ini menunjukkan bahwa pembentukan konidia yang optimum membutuhkan kondisi lingkungan tertentu. Hasil analisis menggunakan teknik Random amplified polymorphic-Polymerase chain reaction (RAPD-PCR) terhadap B. theobromae

asal jeruk, karet, kakao, manggis, dan pisang menggunakan primer OPD 06 dan OPN 07 menghasilkan pola pita DNA yang berbeda baik dari jumlah maupun ukuran fragmen DNA. Demikian juga hasil analisis RAPD-PCR terhadap isolat

R. solani asal jagung, nanas, padi, sorghum, dan ubi jalar menggunakan primer OPD 06 dan OPN 07 menghasilkan pola pita DNA yang berbeda. Hasil tersebut menunjukkan bahwa antar isolat B. theobromae maupun R. solani yang berasal dari masing-masing inangnya yang berbeda menunjukkan perbedaan genetik yang nyata.

Kata kunci: Botryodiplodia theobromae, Rhizoctonia solani, karakter morfologi, RAPD-PCR.

(3)

YAYU SITI NURHASANAH. Karakterisasi Cendawan Botryodiplodia theobromae dan Rhizoctonia solani dari Berbagai Tanaman Inang Berdasarkan Morfologi dan Pola RAPD-PCR. Dibimbing oleh KIKIN HAMZAH MUTAQIN dan SURYO WIYONO.

Cendawan Botryodiplodia theobromae (Pat.) dan Rhizoctonia solani (Kuhn.) masing-masing memiliki kisaran inang yang luas dan gejala yang beragam bergantung inangnya. Morfologi cendawan tersebut dari inang yang berbeda nampak serupa, namun ada kemungkinan bahwa dapat berbeda apabila dianalisis lebih dalam lagi karakteristiknya secara morfologi maupun molekuler. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi cendawan B. theobromae dan R. solani dari berbagai tanaman inang berdasarkan morfologi dan pola DNA cendawan dengan teknik RAPD. Berdasarkan pengamatan karakter masing-masing isolat B. theobromae berasal dari lima tanaman inang yaitu, jeruk, kakao, karet, manggis, dan pisang serta R. solani berasal dari lima tanaman inang yaitu, jagung, nanas, padi, sorghum, dan ubi jalar, kedua cendawan tersebut menunjukkan keragaman morfologi. Ukuran konidia B. theobromae asal jeruk, kakao, karet dan pisang menunjukkan perbedaan yang nyata. Konidia isolat B. theobromae asal manggis tidak terbentuk baik pada media Water Agar (WA) yang diberi jerami maupun pada Potato Dextrose Agar (PDA), hal ini menunjukkan bahwa pembentukan konidia yang optimum membutuhkan kondisi lingkungan tertentu. Hasil analisis menggunakan teknik Random amplified polymorphic-Polymerase chain reaction (RAPD-PCR) terhadap B. theobromae asal jeruk, karet, kakao, manggis, dan pisang menggunakan primer OPD 06 dan OPN 07 menghasilkan pola pita DNA yang berbeda baik dari jumlah maupun ukuran fragmen DNA. Demikian juga hasil analisis RAPD-PCR terhadap isolat R. solani asal jagung, nanas, padi, sorghum, dan ubi jalar menggunakan primer OPD 06 dan OPN 07 menghasilkan pola pita DNA yang berbeda. Hasil tersebut menunjukkan bahwa antar isolat B. theobromae maupun R. solani yang berasal dari masing-masing inangnya yang berbeda menunjukkan perbedaan genetik yang nyata.

(4)

 

KARAKTERISASI CENDAWAN Botryodiplodia theobromae

DAN Rhizoctonia solani DARI BERBAGAI TANAMAN INANG

BERDASARKAN MORFOLOGI DAN POLA RAPD-PCR

YAYU SITI NURHASANAH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian pada

Departemen Proteksi Tanaman

 

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)

 

Judul Skripsi : Karakterisasi Cendawan Botryodiplodia theobromae dan

Rhizoctonia solani dari Berbagai Tanaman Inang

Berdasarkan Morfologi dan Pola RAPD-PCR.

Nama Mahasiswa : Yayu Siti Nurhasanah

NRP : A34070058

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Kikin H. Mutaqin, MSi. Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc.Agr.

NIP 19680602 199303 1003 NIP 19690212 199203 1003

Mengetahui,

Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si.

NIP 19650621 198910 2001

(6)

 

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 13 Januari 1990 dari pasangan

Abdul Somad Sodikin dan Nenden Nurochmah. Penulis merupakan anak kedua

dari dua bersaudara.

Pada tahun 1995-2001 Penulis menempuh pendidikan di Sekolah Dasar

Assalaam I Bandung, kemudian pada tahun 2001-2004 di Sekolah Menengah

Pertama Negeri 43 Bandung. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan di

Sekolah Menengah Atas Muhammadiyah I Bandung dan lulus pada tahun 2007.

Pada tahun yang sama penulis diterima di Departemen Proteksi Tanaman,

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi

Masuk IPB (USMI).

Selama masa kuliah penulis memperoleh pengalaman organisasi sebagai

pengurus Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA) pada periode

2009/2010 dan periode 2010/2011. Penulis menjadi Asisten mata kuliah

Dasar-Dasar Proteksi Tanaman pada tahun 2010 dan menjadi Asisten mata kuliah Ilmu

Penyakit Tumbuhan Dasar pada tahun 2011. Penulis mengikuti kegiatan magang

di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas

Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009, selain itu penulis mengikuti

kegiatan Program Kreatifitas Mahasiswa bidang Penelitian (PKMP) yang didanai

pada periode 2008/2009 dengan judul “Formulasi Bacillus subtilis Pada Tepung

Singkong Sebagai Probiotik Tanaman” dan periode 2009/2010 dengan judul

“Potensi Limbah Air Cucian Beras Sebagai Media Perbanyakan Bakteri Probiotik

(7)

 

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Karakterisasi Cendawan Botryodiplodia theobromae dan

Rhizoctonia solani dari Berbagai Tanaman Inang Berdasarkan Morfologi dan Pola

RAPD-PCR”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana pada Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut

Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Kikin H. Mutaqin, MSi.

dan Dr. Ir. Suryo Wiyono MSc.Agr. selaku dosen pembimbing tugas akhir

skripsi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Dhamayanti

Adidharma selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukannya.

Terima kasih kepada Dr. Ir. Dadan Hindayana selaku dosen Pembimbing

Akademik, Ibu Tuti (Laboran Laboratorium Virologi), Bapak Dadang (Laboran

Laboratorium Mikologi Tumbuhan), Ibu Ita (Staf Klinik Tanaman) atas seluruh

bantuannya. Terima kasih kepada Dr. Rustam, Ratdiana, SP. MSi. atas semua

masukannya, Agus Eko Prasetyo, SP. MSi., Haliatur Rahma, S.Si, MP, Adeline E

Tanati, SP. MSi., Tita Widjayanti SP. MSi., Tatit, Nelly, Nova, Fathia, Anti,

Annis, Hafidz, Reka, Izza, Nurul, Dewi, Ida, Dolpina, Bapak Fajar, Ariny, Evi,

Helynda, Ibu Dian, dan teman-teman mahasiswa Proteksi Tanaman angkatan 44

atas doa, bantuan, dan dukungannya.

Secara khusus dukungan dan pengertian yang diberikan orang tua serta

kakak kandung Dikdik Mohammad Taufiq kepada penulislah yang menjadi

penyemangat dan dorongan yang sangat berarti dalam penyelesaian skripsi dan

studi di IPB ini.

Bogor, Februari 2012

(8)

 

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Cendawan Botryodiplodia theobromae ... 3

Taksonomi Cendawan ... 3

Bioekologi dan Nilai Ekonomi ... 3

Gejala Penyakit dan Kisaran Inang ... 4

Cendawan R. solani ... 6

Taksonomi Cendawan ... 6

Bioekologi dan Nilai Ekonomi ... 6

Gejala Penyakit dan Kisaran Inang ... 7

Polymerase Chain Reaction (PCR) ... 8

Random Amplified Polymorphic DNA-Polymerase Chain Reaction (RAPD-PCR) ... 9

BAHAN DAN METODE ... 11

Tempat dan Waktu ... 11

Metode Penelitian ... 11

Penyiapan Isolat Cendawan ... 11

Pengamatan Koloni ... 12

Pengamatan Konidia dan Hifa ... 12

Analisis Data Karakter Morfologi ... 12

Ekstraksi DNA ... 12

RAPD-PCR ... 13

Elektroforesis ... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 14

(9)

 

Karakter Morfologi B. theobromae ... 15

Karakter Molekuler Cendawan B. theobromae ... 24

Gejala Penyakit oleh Cendawan R. solani ... 26

Karakter Morfologi R. solani ... 27

Karakter Molekuler Cendawan R. solani ... 31

KESIMPULAN DAN SARAN ... 35

Kesimpulan ... 35

Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

(10)

 

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Isolat-isolat cendawan yang digunakan dalam penelitian ... 11

2. Pertumbuhan diameter koloni cendawan B. theobromae ... 17

3. Pembentukan konidia muda, konidia matang, dan piknidia B.

theobromae pada media WA dan PDA ... 21

4. Ukuran panjang, lebar, dan tebal dinding konidia muda B.

theobromae ... 22

5. Ukuran panjang, lebar, dan tebal dinding konidia matang B.

theobromae ... 23

6. Ukuran fragmen DNA B. theobromae dengan RAPD menggunakan primer OPD 06 ...

24

7. Ukuran fragmen DNA B. theobromae dengan RAPD menggunakan primer OPN 07 ...

25

8. Pertumbuhan diameter koloni cendawan R. solani ... 29

9. Ukuran panjang ruas dan lebar hifa cendawan R. solani ... 30

10. Ukuran fragmen DNA R. solani dengan RAPD menggunakan primer OPD 06 ...

32

11. Ukuran fragmen DNA R. solani dengan RAPD menggunakan primer OPN 07 ...

(11)

 

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Gejala penyakit yang disebabkan oleh cendawan B. theobromae ………. 14

2. Koloni isolat cendawan B. theobromae umur 3 dan 11 HST (hari setelah tanam) ……… 16

3. Grafik pertumbuhan koloni cendawan B. theobromae ……….. 16

4. Piknidia cendawan B. theobromae dengan perbesaran 40X ……….. 18

5. Piknidia B. theobromae yang pecah mengeluarkan konidia dengan pewarnaan lactophenol blue ……….. 18

6. Konidia cendawan B. theobromae ……… 20

7. Profil DNA lima isolat cendawan B. theobromae dengan RAPD-PCR menggunakan primer OPD 06 ……….. 24

8. Profil DNA lima isolat cendawan B. theobromae dengan RAPD-PCR menggunakan primer OPN 07 ……….. 25

9. Gejala penyakit yang disebabkan oleh cendawan R. solani ………. 27

10. Koloni isolat cendawan R. solani umur 4 dan 8 HST ……….. 28

11. Grafik pertumbuhan koloni cendawan R. solani ……….. 29

12. Hifa R. solani dengan pewarnaan lactophenol blue ………. 30

13. Sklerotia cendawan R. solani ………... 31

14. Profil DNA lima isolat cendawan R. solani dengan RAPD-PCR menggunakan primer OPD 06 ……….. 32

(12)

 

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Pertumbuhan diameter koloni cendawan B. theobromae ……… 40

2. Ukuran panjang, lebar, dan tebal dinding konidia muda cendawan B.

theobromae ………..……….……….. 41

3. Ukuran panjang dan lebar konidia matang cendawan B. theobromae ... 42

4. Pengukuran rasio panjang/lebar konidia muda cendawan B.

theobromae ………. 42

5. Pengukuran rasio panjang/lebar konidia matang cendawan B.

theobromae ………. 43

6. Analisis ragam ukuran panjang, lebar, tebal dinding, dan rasio

panjang/lebar konidia muda B. theobromae ……... 43

7. Analisis ragam ukuran panjang, lebar, dan rasio panjang/lebar konidia matang B. theobromae ………..

44

8. Pertumbuhan diameter koloni cendawan R. solani ………. 45

9. Ukuran panjang ruas dan lebar hifa cendawan R. solani ……… 47

10. Ukuran sudut percabangan cendawan R. solani ……….. 49

11. Analisis ragam ukuran panjang ruas, lebar, sudut tumpul, dan sudut lancip hifa R. solani ……….

51

(13)

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cendawan Botryodiplodia theobromae (Pat.) dan cendawan Rhizoctonia

solani (Kuhn.) termasuk patogen tanaman yang dapat menimbulkan kerugian

secara ekonomi dan masing-masing menginfeksi berbagai jenis tanaman penting.

Cendawan tersebut dapat menurunkan kuantitas dan kualitas produk pertanian

secara langsung maupun secara tidak langsung.

Penyakit yang disebabkan oleh cendawan B. theobromae pada buah jeruk

adalah penyakit kulit diplodia pada batang atau ranting, sedangkan pada pisang

menyebabkan busuk buah. Pada kakao cendawan ini menimbulkan gejala mati

pucuk dan busuk buah (CABI 2007). Pada karet B. theobromae dapat

menyebabkan stem bleeding, mati pucuk, dan puru (Pha et al. 2009).

R. solani dapat menyebabkan penyakit hawar pelepah pada padi, jagung, dan

sorghum, kanker batang pada ubi jalar (CABI 2007), selain itu cendawan tersebut

dapat menyebabkan rebah kecambah, luka akar coklat kemerahan (reddish brown

root lesions), busuk batang, busuk akar, busuk mahkota, hawar daun, hawar

batang dan ranting, kanker rhizoctonia, dan black scurf (Schumann & D’Arcy

2006). R. solani dapat menyerang tanaman padi, juga dapat menginfeksi hampir

50 spesies tanaman lainnya (Zhang et al. 2009).

B. theobromae dan R. solani masing-masing memiliki kisaran inang yang

luas dan gejala yang beragam bergantung inang yang diserangnya. Secara

morfologi cendawan-cendawan tersebut dari inang yang berbeda nampak serupa,

namun ada kemungkinan bahwa cendawan tersebut berbeda bila dianalisis lebih

dalam baik secara morfologi maupun molekuler. Identifikasi cendawan umumnya

dilakukan berdasarkan karakter morfologinya. Identifikasi dan karakterisasi secara

morfologi cendawan B. theobromae dapat dilakukan berdasarkan piknidia dan

konidia, sedangkan untuk cendawan R. solani dapat berdasarkan hifanya

(Watanabe 2002).

Analisis secara molekuler berdasarkan DNA menggunakan teknik

Polymerase Chain Reaction (PCR) saat ini sudah berkembang pesat dalam dua

dasawarsa terakhir. Aplikasi PCR sudah umum diterapkan dalam bidang penyakit

(14)

 

yang dapat digunakan untuk melihat keragaman genetik cendawan adalah teknik

Random Amplified Polymorphic DNA-Polymerase Chain Reaction (RAPD-PCR).

Menurut El-Fadly et al. (2008) ciri-ciri cendawan berdasarkan analisis molekuler

dapat digunakan sebagai alternatif atau pelengkap selain karakterisasi cendawan

secara morfologi. Selain itu RAPD juga merupakan teknik yang sensitif sehingga

dapat digunakan untuk deteksi perbedaan genetik antar individu (Lanfranco et al.

1998).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi cendawan Botryodiplodia

theobromae dan Rhizoctonia solani dari berbagai tanaman inang berdasarkan

morfologi dan pola DNA dengan teknik RAPD.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini ialah tersedianya informasi

karakter morfologi dan molekuler untuk menunjukkan ada tidaknya perbedaan

(15)

 

TINJAUAN PUSTAKA

Cendawan Botryodiplodia theobromae

Taksonomi Cendawan

Klasifikasi cendawan Botryodiplodia theobromae (Alexopoulos et al. 1996)

adalah sebagai berikut:

Domain : Eukaryota

Kingdom : Fungi

Phylum : Deuteromycota

Kelas : Deuteromycetes

Ordo : Sphaeropsidales

Famili : Sphaeropsidaceae

Genus : Botryodiplodia

Spesies : Botryodiplodia theobromae (Pat.) (anamorph)

Cendawan B. theobromae (Pat.) memiliki nama lain Lasiodiplodia

theobromae (Pat.) Griff. et Maubl., yang dahulu lebih dikenal dengan nama

Diplodia natalensis P. Evans. Cendawan tersebut merupakan cendawan yang

bereproduksi secara aseksual (anamorph), cendawan tersebut memiliki fase

seksual (teleomorph) yaitu sebagai cendawan Botryosphaeria rhodina (CABI

2007).

Bioekologi dan Nilai Ekonomi

B. theobromae merupakan cendawan yang bersifat polifag dan memiliki

kisaran inang yang luas. Patogen ini merupakan parasit lemah yang melakukan

infeksinya melalui luka-luka mekanis seperti akibat pemangkasan atau luka akibat

serangga (Semangun 2007).

Piknidia merupakan tubuh buah yang berbentuk seperti labu yang

didalamnya terdapat konidiofor dan memproduksi konidia (Agrios 2005). Piknidia

B. theobromae berwarna cokelat, berbentuk tabung dan berkumpul. Konidiofor

hialin, sederhana, dan menyatu. Pada konidiofor dibentuk konidia yang berpencar

secara tunggal, hialin, berbentuk jorong atau silinder, pada umumnya terdiri dari

(16)

 

Ukuran piknidia 210 µm X 150 µm (Watanabe 2002). Pada media buatan, waktu

yang dibutuhkan B. theobromae untuk menghasilkan piknidia adalah antara 20-34

hari (Shah et al. 2010). Pada umumnya konidia yang dibentuk oleh B. theobromae

berukuran 10-18 µm X 17-43 µm. Konidia muda hialin, tidak bersekat (satu sel),

dan berbentuk jorong, sedangkan konidia matang memiliki satu sekat (dua sel)

(Timmer et al. 2000).

Cendawan B. theobromae ditemukan terdapat di berbagai belahan dunia

diantaranya, di Amerika bagian utara dan selatan, Eropa, Afrika, Asia, dan

Oceania (Urbez-Torres et al. 2008). Sejak akhir 1980 area perkebunan kakao di

Kamerun mengalami kejadian penyakit mati ujung (dieback) yang luar biasa yang

disebabkan oleh B. theobromae. Di beberapa perkebunan, penyakit ini dapat

merugikan tanaman kakao sampai 100%, hal ini menjadi pembatas produksi

kakao di Kamerun (Mbenoun et al. 2008). Pada tahun 1998 B. theobromae

ditemukan pada pohon karet di Vietnam dan menyebabkan mati pucuk pada

pembibitan, cendawan terus berkembang dan menyebabkan kerusakan yang serius

sehingga menekan produksi perkebunan di Dau Tieng Rubber Company (Pha et

al. 2009). Menurut Rustini (2010) di Denpasar, Bali, hampir 53,24% dari buah

pisang yang dijual mengalami pembusukan akibat cendawan B. theobromae, hal

ini menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan pasar karena permintaan pisang di

Bali cukup tinggi untuk berbagai upacara keagamaan. Di Kabupaten Magetan,

Jawa Timur, 500 ha pertanaman jeruk besar yaitu sekitar 85% dari jumlah

tanaman telah terserang oleh penyakit diplodia yang disebabkan oleh

B. theobromae dengan tingkat serangan ringan sampai sedang dengan persentase

22-37% (Wiratno & Nurbanah 1997).

Gejala Penyakit dan Kisaran Inang

Cendawan B. theobromae memiliki kisaran inang yang luas, selain dapat

menyerang tanaman jeruk, kakao, karet, manggis, dan pisang, cendawan tersebut

juga dapat menyerang tanaman mangga, nanas, alpukat, melon, kelapa, terong,

paprika, kacang tanah, jagung, tebu dan tembakau (CABI 2007).

Cendawan B. theobromae pada jeruk menyebabkan penyakit kulit diplodia

(17)

 

Miselium muncul di permukaan jaringan pada keadaan lingkungan yang lembab

(Semangun 2007).

Pada tanaman kakao, B. theobromae merupakan parasit lemah atau parasit

sekunder terutama pada bagian cabang dan ranting. Sebagai parasit lemah

cendawan ini hanya dapat menginfeksi jaringan-jaringan lemah, mengikuti

patogen yang kuat atau menginfeksi melalui luka-luka yang diakibatkan oleh

serangga. B. theobromae dapat menyebabkan mati pucuk, busuk buah, dan kanker

batang (Semangun 2000). Pada awalnya, daun yang paling dekat dengan ranting

yang terserang akan berwarna kuning, kemudian kerusakan akan terus meluas

sepanjang cabang dan mencapai batang utama lalu tanaman akan mati dengan

cepat. Bagian dalam ranting dan cabang akan mengalami perubahan warna

menjadi cokelat di bagian pembuluh. Juga terdapat eksudat berwarna putih atau

kekuningan yang keluar dari batang utama (Mbenoun et al. 2008).

Pada tanaman karet, B. theobromae dapat menyebabkan mati pucuk, pustul

yang berukuran 3-5 mm dan kulit menjadi busuk disertai keluarnya lateks atau

getah pada tanaman muda berumur 1-2 tahun. Pada serangan yang berat dapat

menyebabkan retak dan gummosis. Selain itu cendawan ini dapat menekan

pertumbuhan tanaman, menyebabkan produksi lateks rendah, dan untuk varietas

yang rentan seluruh pohon mati dalam waktu 3-4 minggu (Pha et al. 2009).

Serangan B. theobromae menyebabkan busuk buah pada manggis. Pada

awalnya kulit buah manggis akan berubah warna menjadi kehitaman dan

mengkilat, kemudian warnanya menjadi suram karena B. theobromae membentuk

banyak piknidia yang menghasilkan konidium. Biasanya gejala dimulai dari dekat

tangkai, dengan cepat akan meluas ke seluruh buah (Semangun 2007).

Penyakit busuk buah merupakan penyakit pasca panen pada pisang yang

disebabkan oleh B. theobromae. Cendawan ini menyebabkan busuk ujung buah

(tip rot), busuk telapak, dan busuk pangkal. Buah menjadi lunak dan berair, serta

mengeluarkan bau (aroma) yang khas. Biasanya B. theobromae pada pisang hidup

pada bagian tanaman yang membusuk, infeksinya hanya melalui luka-luka. Spora

(18)

 

Cendawan Rhizoctonia solani

Taksonomi Cendawan

Klasifikasi cendawan Rhizoctonia solani (Alexopoulos et al. 1996) adalah sebagai berikut:

Domain : Eukaryota

Kingdom : Fungi

Phylum : Deuteromycota

Kelas : Deuteromycetes

Ordo : Agonomycetales

Genus : Rhizoctonia

Spesies : Rhizoctonia solani

Cendawan R. solani merupakan cendawan yang bereproduksi secara

aseksual (anamorph), cendawan tersebut memiliki fase seksual (teleomorph)

sebagai cendawan Thanatephorus cucumeris.

Bioekologi dan Nilai Ekonomi

Cendawan R. solani biasanya menyerang pada bagian tanaman yang

langsung bersentuhan dengan tanah atau yang berdekatan dengan tanah.

Cendawan ini dapat diidentifikasi dari karakter hifa yang khas, yaitu sudut

percabangan yang tegak lurus yang membedakan dengan cendawan lainnya.

Cendawan ini bertahan di tanah dengan memproduksi sklerotia berwarna cokelat

kemerahan hingga hitam sebagai struktur bertahan. (Schumann & D’Arcy 2006).

Sklerotia merupakan sekumpulan hifa yang memadat, berwarna gelap dan mampu

bertahan dalam kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan (Agrios 2005).

Sklerotia R. solani memiliki ukuran dan bentuk yang beragam, umumnya

terbentuk pada permukaan inang dan di dalam jaringan tanaman inang, namun

juga dapat ditemukan pada material sisa-sisa tanaman (Sneh et al. 1998). R. solani

dapat bertahan hidup pada tanaman hidup atau sebagai saprofit pada sisa-sisa

bahan organik.

Penyakit yang disebabkan R. solani diantaranya, damping-off, busuk batang,

(19)

 

hawar daun, hawar batang dan ranting pada kacang tanah, kanker rhizoctonia,

black scurf pada kentang, hawar pelepah pada padi (Schumann & D’Arcy 2006).

Penyakit hawar pelepah pada jagung dilaporkan terdapat di beberapa negara

diantaranya: Georgia, Perancis, dan New Zealand serta dapat menyebabkan

kehilangan hasil hingga 30% (White 2000). Kanker batang pada ubi jalar yang

disebabkan oleh cendawan R. solani dilaporkan menyerang tanaman di seluruh

Amerika Serikat (Clark & Moyer 1988). Menurut Zhang et al. (2009) penyakit

hawar pelepah pada padi di Jepang menyebabkan kehilangan hasil sebesar 20%

dan mempengaruhi sekitar 120.000-190.000 ha pertanaman padi. Saat ini

R. solani menjadi salah satu ancaman utama bagi produksi sorghum di Filipina

(Pascual & Raymundo 1989). Di Indonesia penyakit busuk pelepah pada jagung

mengakibatkan kehilangan hasil pada tanaman jagung hingga 100% (Sudjono

1995).

Gejala Penyakit dan Kisaran Inang

R. solani memiliki kisaran inang yang luas, selain dapat menyerang tanaman

jagung, nanas, padi, sorghum, dan ubi jalar, cendawan tersebut juga dapat

menyerang tanaman kubis, brokoli, paprika, tomat, mentimun, kedelai, gandum,

cengkeh, jeruk dan bunga tulip (CABI 2007).

Gejala awal penyakit hawar pelepah yang disebabkan oleh cendawan

R. solani adalah terdapat bercak berwarna cokelat atau cokelat kemerahan pada

bagian batang yang dekat dengan akar dan pelepah. Bercak dapat meluas ke-

bagian tanaman lainnya hingga pada kejadian penyakit yang cukup parah tanaman

menjadi kering dan mati (White 2000).

Penyakit yang disebabkan oleh cendawan R. solani pada padi disebut

sebagai hawar upih daun dan busuk batang. Pada upih daun dan batang terdapat

bercak-bercak dengan tepian tidak beraturan, berbentuk jorong dengan tepi

berwarna cokelat kemerahan, sedangkan pusat bercak berwarna seperti jerami

atau kuning kehijauan. Bercak sering ditemukan terdapat dekat dengan lidah daun.

Jika keadaan lembab tumbuh benang-benang hifa berwarna putih atau cokelat

muda (Semangun 1991).

Gejala pada tanaman sorghum ditandai dengan adanya bercak-bercak tidak

(20)

 

seperti pita berwarna cokelat atau pada bagian pusat bercak berwarna jerami atau

cokelat kemerahan dan pada bagian pinggir pelepah berwarna cokelat. Dimulai

dari bagian bawah pelepah penyakit akan menyebar ke bagian atas mencapai

setinggi malai dan menyebabkan daun layu. Akibatnya biji akan matang prematur

sehingga biji kecil dan bobotnya ringan. Pada jaringan tanaman yang mati akan

muncul sklerotia (Pascual & Raymundo 1989).

Penyakit busuk batang rhizoctonia atau juga yang dikenal dengan busuk

rhizoctonia termasuk penting untuk ubi jalar. Batang tanaman ubi jalar yang

terserang R. solani akan mengalami pembusukan yang dimulai pada bagian

batang bawah tanaman yang dekat dengan tanah. R. solani menyebabkan gejala

daun menguning sekunder, tanaman menjadi kerdil, dan rebah kecambah. Pada

jaringan tanaman yang bergejala akan terbentuk sklerotia R. solani (Clark &

Moyer 1988).

Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu metode yang memiliki

sensitivitas yang tinggi sehingga secara teoritis dapat mendeteksi satu molekul

dari suatu fragmen DNA tertentu. PCR ini banyak digunakan untuk mempelajari

gen spesifik atau urutan nukleotidanya (Schleif 1993). Teknik PCR didasarkan

pada kemampuan untai ganda DNA untuk menggandakan molekul DNA secara in

vitro melalui reaksi enzimatik untuk ampilifikasi fragmen DNA tertentu dari

sampel DNA yang kompleks dan dapat menghasilkan DNA target dalam jumlah

mikrogram (Edel 1998).

Dalam hitungan jam, PCR memungkinkan untuk dapat membuat salinan

dari fragmen DNA target dalam jumlah yang banyak, sedangkan dengan teknik

amplifikasi lain seperti kloning gen akan membutuhkan waktu berhari-hari atau

berminggu-minggu (Paolella 1998).

Empat komponen utama pada proses PCR adalah (1) DNA cetakan

(template), yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan (2) oligonukleotida

primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang

digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida

(21)

 

polymerase, yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA.

Komponen lain yang juga penting adalah senyawa bufer (Yuwono 2006).

Dalam PCR terjadi sintesis DNA target yang melibatkan enzim DNA

polymerase. Enzim ini berasal dari bakteri yang hidup di lingkungan suhu panas

ekstrim misalnya bakteri Thermus aquaticus yang hidup dalam air bersuhu sekitar

75ºC. Enzim dari bakteri tersebut dinamai taq polymerase yang memiliki suhu

optimum untuk aktif pada 72ºC dan tetap stabil pada suhu 94ºC (Paolella 1998).

Random Amplified Polymorphic DNA-Polymerase Chain Reaction (RAPD-PCR)

Random Amplified Polymorphic DNA-Polymerase Chain Reaction

(RAPD-PCR) merupakan salah satu teknik molekuler yang menggunakan penanda

tertentu untuk mempelajari keanekaragaman genetika. Dasar analisis RAPD

adalah menggunakan mesin PCR yang mampu mengamplifikasi sekuen DNA

secara in vitro. Teknik ini melibatkan penempelan primer tertentu yang dirancang

sesuai dengan kebutuhan. Setiap primer dapat berbeda untuk menelaah

keanekaragaman genetik kelompok yang berbeda. Penggunaan teknik RAPD

memungkinkan untuk mendeteksi polimorfisme fragmen DNA yang diseleksi

menggunakan satu primer acak (random), terutama karena amplifikasi DNA

secara in vitro dapat dilakukan dengan baik dan cepat dengan adanya PCR

(Suryanto 2003).

Teknik ini mampu menghasilkan jumlah karakter yang relatif banyak,

sehingga sangat membantu untuk keperluan analisis keanekaragaman organisme

yang tidak diketahui latar belakang genomnya. Teknik RAPD sering digunakan

untuk membedakan organisme tingkat tinggi (eukariot). Namun demikian

beberapa peneliti menggunakan teknik ini untuk membedakan organisme tingkat

rendah (prokariot) atau melihat perbedaan organisme tingkat rendah melalui

piranti organel sel seperti mitokondria (Suryanto 2003).

RAPD menggunakan primer tunggal pendek dengan urutan nukleotida acak,

dilakukan dengan suhu annealing rendah dan menghasilkan beberapa produk PCR

yang menghasilkan pola pita setelah dilakukan pemisahan oleh elektroforesis. Tes

DNA menggunakan RAPD umumnya dilakukan dengan primer non-spesifik

(22)

 

konvensional. Dengan demikian konsentrasi dari semua campuran bahan dalam

reaksi harus akurat. Selain itu kualitas dari template DNA dan Taq polymerase

merupakan faktor yang juga dapat mempengaruhi hasil RAPD (Edel 1998).

Teknik PCR ini telah digunakan juga di berbagai bidang mikologi, termasuk

genetika dan sistematika cendawan, ekologi dan mikrobiologi tanah, patologi

tanaman, mikologi medis, dan bioteknologi cendawan. RAPD-PCR semakin

banyak digunakan dalam menentukan taksonomi dan untuk mengkarakterisasi

populasi cendawan. Keuntungan dari penggunaan teknik RAPD-PCR adalah

sebelumnya tidak perlu mengetahui urutan DNA nya terlebih dahulu, sehingga

setiap primer acak dapat diuji untuk mengamplifikasi setiap DNA cendawan.

Lebih lanjut, RAPD-PCR mengamplifikasi DNA menggunakan primer yang tidak

spesifik, sehingga membutuhkan template DNA yang murni dan tidak dapat

(23)

 

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan dan

Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman Fakultas

Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai bulan Maret 2011 hingga November

2011.

Metode Penelitian

Penyiapan Isolat Cendawan

Dalam penelitian ini digunakan beberapa isolat cendawan baik

B. theobromae maupun R. solani. Isolat-isolat tersebut diperoleh baik dari koleksi

isolat Klinik Tanaman, maupun diisolasi dari tanaman sakit dari lapangan oleh

penulis, yang disajikan dalam tabel berikut ini:

Tabel 1. Isolat-isolat cendawan B. theobromae dan R. solani yang dikarakterisasi secara morfologi dan molekuler

Isolat B. theobromae Isolat R. solani

Tanaman asal Lokasi Kolektor Tanaman asal Lokasi Kolektor

Jeruk Jember, Jawa

Timur

Dr. Suryo Wiyono

Jagung Leuwi

Kopo, Bogor

Penulis

Kakao TN Lorelindu,

Sulawesi Tengah

Dr. Efi Toding Tondok

Nanas Lampung Dr. Suryo

Wiyono

Karet Pematang

Siantar, Sumatera Utara

Dr. Suryo Wiyono

Padi Cikarawang,

Bogor

Dr. Rustam

Manggis Bukit Tinggi, Sumatera

Barat

Dr. Suryo Wiyono

Sorghum Leuwi

Kopo, Bogor

Penulis

Pisang Ciampea,

Bogor, Jawa Barat

Dr. Suryo Wiyono

Ubi Jalar Kuningan Dr. Suryo Wiyono

Isolasi cendawan R. solani dilakukan dengan melembabkan jaringan

tanaman yang bergejala dalam cawan petri yang berisi kertas tisu lembab dan

diatas sedotan plastik, inkubasi dilakukan hingga sklerotia R. solani muncul,

sklerotia ditanam pada media Potato Dextrose Agar (PDA) untuk pemurnian.

Identifikasi secara morfologi dilakukan dengan kunci identifikasi Watanabe

(24)

 

Pengamatan Koloni

Biakan B. theobromae dan R. solani ditanam pada media Potato Dextrose

Agar (PDA) dengan cara mengambil biakan B. theobromae dan R. solani

menggunakan pelubang gabus (diameter = 5 mm) dan masing-masing ditanam

pada media PDA kemudian dilakukan ulangan sebanyak 3 kali. Pengamatan

diameter pertumbuhan koloni dilakukan 12 jam sekali selama empat hari untuk

B. theobromae dan lima hari untuk R. solani. Warna koloni diamati setiap hari

dimulai dari hari ke-1 hingga ke-18.

Pengamatan Konidia dan Hifa

Dua jenis media disiapkan, yaitu Potato Dextrose Agar (PDA) dan media

Water Agar (WA) yang dimodifikasi dengan diberi potongan jerami steril

digunakan untuk penumbuhan B. theobromae, sedangkan untuk R. solani

ditumbuhkan pada media PDA. Pengamatan dan pemotretan struktur cendawan

dilakukan di bawah mikroskop dengan menyiapkan preparat cendawan yang

diberi pewarna lactophenol blue terlebih dahulu. Koloni B. theobromae diamati

setiap hari untuk mengetahui kapan dibentuknya piknidia, konidia muda, dan

konidia matang. Konidia muda dipotret dan diukur ciri morfologinya yaitu

panjang, lebar, rasio panjang/lebar (bentuk) dan tebal dinding. Cendawan

R. solani diamati morfologi hifanya yaitu panjang ruas dan ketebalan hifa.

Analisis Data Karakter Morfologi

Data kecepatan pertumbuhan koloni, panjang, lebar dan rasio panjang/lebar

konidia B. theobromae serta data kecepatan pertumbuhan koloni, panjang ruas,

lebar dan sudut percabangan hifa R. solani dianalisis ragam menggunakan

program SAS ver. 9.1.3 dan dilanjutkan dengan uji perbandingan nilai tengah

Duncan's Multiple Range Test (DMRT).

Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA dilakukan dengan metode Abd-Elsalam et al. (2003).

Masing-masing miselium B. theobromae dan R. solani ditumbuhkan dalam 500 µl

Potato Dextrose Broth (PDB) pada suhu ruang selama 72 jam. Miselia dipanen

dengan cara sentrifugasi pada 13.000 rpm selama 5 menit. Pelet dicuci dengan

(25)

 

ditambahkan 300 µl bufer ekstraksi (200 mM Tris-HCl [pH 8,5], 250 mM NaCl,

25 mM EDTA dan 0,5% SDS) dan digerus di dalam mortar dingin selama 5

menit. Sebanyak 150 µl sodium asetat (pH 5,2) ditambahkan dan dilanjutkan

dengan inkubasi pada suhu 20 ºC selama 10 menit. Sentrifugasi pada 13000 rpm

selama 5 menit, kemudian supernatan diambil dan dimasukan ke tabung 1,5 ml

dan ditambahkan isopropanol dengan volume yang sama. Presipitasi DNA dengan

sentrifugasi pada 13000 rpm selama 10 menit, DNA dicuci dengan 500 µl 70%

ethanol dingin dan sentrifugasi beberapa menit. DNA dikering-anginkan selama

30 menit dan dilarutkan dalam bufer TE (10 mM Tris-HCl [pH 8], 1 mM EDTA),

kemudian disimpan dalam suhu -20 ºC untuk selanjutnya digunakan dalam proses

RAPD-PCR.

RAPD-PCR

PCR disiapkan terpisah untuk masing-masing penggunaan primer OPD 06

(5’ ACCTGAACGG 3’) dan OPN 07 (5’ CAGCCCAGAG 3’) dalam total volume

25 µl/reaksi. Bahan yang digunakan dalam teknik RAPD-PCR adalah PureTaqTM

Ready-To-GoTM PCR Beads, Aquabidestilata (ddH2O) steril sebanyak 19,5 µl,

MgCl2 25 mM sebanyak 2,5 µl, primer dengan konsentrasi 10 pMol, dan template

DNA 2 µl. Seluruh bahan PCR dimasukan ke dalam tabung PCR.

PCR dilakukan dalam mesin GeneAmp® PCR System 9700 (Applied

BiosystemTM) dengan program: denaturasi awal 94 ºC (1 menit); kemudian 45

siklus pemanasan denaturasi 94 ºC (2,5 menit), annealing 40 ºC (1 menit), sintesis

DNA 72 ºC (1 menit); reaksi diakhiri dengan ekstensi 72 ºC (7 menit).

Elektroforesis

DNA hasil ekstraksi dan RAPD-PCR dielektroforesis untuk melihat pita

DNA yang dihasilkan menggunakan gel agarose 1,5% dalam bufer TAE 2x (80

mM Tris-acetate dan 2 mM EDTA [pH 8.3]) yang mengandung ethidium bromide

(EtBr), pada tegangan listrik 75 V DC selama 35 menit. Hasil elektroforesis

divisualisasikan pada transluminator ultraviolet. Pita DNA yang terbentuk pada

(26)

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gejala Penyakit oleh B. theobromae

Penyakit yang disebabkan oleh B. theobromae pada lima tanaman inang

menunjukkan gejala yang beragam dan bagian yang terinfeksi berbeda-beda

(Gambar 1). Gejala pada tanaman jeruk adalah kulit batang dan cabang

mengelupas dan kering, pengelupasan kulit batang dan cabang terus meluas

hingga ke seluruh permukaan sehingga terbentuk luka yang terbuka (Wiratno &

Nurbanah 1997). Pada tingkat serangan yang berat batang tanaman jeruk

membusuk dan kemudian mati (1A). Tanaman kakao yang terserang

B. theobromae mengalami penyakit pod rot. Pada buah yang terserang terdapat

bercak cokelat dan menjadi keriput (1B). Menurut CABI (2007) bercak pada buah

kakao yang disebabkan B. theobromae pada awalnya merupakan klorosis yang

kemudian menjadi bercak cokelat yang meluas.

Gambar 1 Gejala penyakit yang disebabkan oleh cendawan B. theobromae pada lima tanaman inang. Jeruk (A); kakao (B); karet (C); manggis (D); pisang (E). Sumber foto: (A,C,D,E) Suryo Wiyono; (B) TNAU 2008

D

E

(27)

 

Permukaan batang tanaman karet muda yang terserang B. theobromae

menjadi berwarna cokelat dan teksturnya menjadi kasar (1C). Menurut Pha et al.

(2009) pada kelembaban yang cukup miselia berwarna putih akan muncul pada

permukaan batang yang retak serta kulit batang dan ranting terkelupas. kulit

batang karet yang terserang menjadi busuk disertai keluarnya lateks atau getah

pada tanaman muda berumur 1-2 tahun. Pada serangan yang berat dapat

menyebabkan retak dan gummosis. Tanaman manggis yang terserang

B. theobromae mengalami mati ujung, ranting menjadi kering dan berwarna

hitam, selain itu kulit terkelupas dan menjadi luka (1D).

Buah pisang yang terserang B. theobromae mengalami busuk buah. Pada

kulit buah terdapat bercak-bercak hitam kecokelatan tidak beraturan yang dapat

meluas (1E). Menurut Raut & Ranade (2004) pada awalnya bercak berwarna

cokelat muda, lama kelamaan bercak berubah warna menjadi cokelat tua hingga

hitam. Bercak meluas dimulai dari bagian ujung atas buah yang kemudian

menyebar hingga ke seluruh bagian buah sehingga daging buah menjadi berwarna

cokelat tua hingga hitam, lembek dan berair. Dalam keadaan yang lembab

miselium dan piknidia berwarna hitam juga dapat terlihat pada jaringan tanaman

yang bergejala.

Karakter Morfologi B. theobromae

Karakter morfologi cendawan B. theobromae berasal dari lima inang

menunjukkan bahwa cendawan-cendawan tersebut memiliki perbedaan dalam

warna koloni (Gambar 2). Koloni pada usia 11 hari (tua) isolat asal jeruk

berwarna abu-abu muda, kakao berwarna cokelat, karet berwarna cokelat tua,

manggis berwarna hitam keabuan, dan pisang berwarna hitam pekat. Perubahan

warna koloni pada karet, kakao, pisang, dan jeruk secara merata di seluruh

miselium pada cawan petri pada awalnya berwarna putih terus bertambah gelap

dengan bertambahnya umur koloni. Sedangkan pada manggis perubahan warna

dimulai dari tengah koloni yang mulai berwarna gelap dan terus menyebar hingga

(28)

 

3 HST

11 HST

Gambar 2 Koloni isolat cendawan B. theobromae dari lima tanaman inang pada media PDA berumur 3 dan 11 hari setelah tanam (HST). Jeruk (A), kakao (B), karet (C), manggis (D), pisang (E).

Koloni mengalami perubahan warna dengan bertambahnya umur koloni.

Pada isolat asal manggis miselium berwarna putih hingga 3 hari setelah tanam

(HST) dan terus bertambah gelap seiring waktu hingga 7 HST. Isolat asal pisang

dan karet berwarna putih hingga 6 HST dan terus bertambah gelap seiring waktu

hingga 8 HST, sedangkan isolat asal kakao dan jeruk miselium masih berwarna

putih hingga 10 HST dan terus bertambah gelap seiring waktu hingga 15 HST.

Gambar 3 Pertumbuhan ukuran koloni cendawan B. theobromae pada media PDA selama 96 jam

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

12 24 36 48 60 72 84 96

Diam

eter koloni

(cm

)

Umur biakan (Jam)

Jeruk

Kakao

Karet

Manggis

Pisang

(29)

 

Tabel 2 Pertumbuhan diameter koloni cendawan B. theobromae

B. theobromae Kecepatan pertumbuhan koloni isolat asal (cm)/12 Jam ± SD

Jeruk 1,48 a ± 0,24

Kakao 1,20 ab ± 0,17

Karet 1,45 a ± 0,13

Manggis 0,68 b ± 0,59

Pisang 1,68 a ± 0,15

Keterangan: Huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata dengan uji selang ganda Duncan (α = 0,05),

SD = standar deviasi

Pertumbuhan koloni B. theobromae pada lima tanaman inang menunjukkan

kecepatan yang berbeda-beda. Koloni isolat asal pisang memiliki kecepatan

tumbuh paling cepat yaitu 1,68 cm per 12 jam, sedangkan isolat asal manggis

menunjukkan kecepatan pertumbuhan paling lambat yaitu 0,68 cm per 12 jam

(Tabel 2). Kecepatan pertumbuhan isolat asal jeruk, karet dan pisang tidak

berbeda nyata, isolat asal kakao tidak berbeda nyata dengan semua isolat lain.

Ukuran maksimum koloni cendawan B. theobromae pada media PDA di

dalam cawan petri dalam penelitian ini adalah 9 cm. Pada umumnya pertumbuhan

miselium mencapai 9 cm pada 36-84 jam setelah tanam (JST). Pada Gambar 3

ditunjukkan bahwa pertumbuhan paling cepat adalah pada isolat B. theobromae

asal pisang yaitu mencapai 9 cm pada 36 JST, miselium isolat asal jeruk dan karet

memiliki kecepatan pertumbuhan yang hampir sama mencapai 9 cm pada 48 HST.

Pada isolat asal kakao pertumbuhan miselium mencapai 9 cm pada 72 JST,

sedangkan pertumbuhan miselium asal manggis adalah yang paling lambat yaitu

mencapai 9 cm pada 84 JST.

Gambar 4 menunjukkan piknidia B. theobromae asal tanaman jeruk, kakao,

karet, manggis dan pisang dengan perbesaran 4 X 10. Piknidia merupakan tubuh

buah yang berbentuk seperti labu yang didalamnya terdapat konidiofor dan

memproduksi konidia (Agrios 2005). Pada umumnya piknidia berwarna cokelat

hingga hitam dan diselimuti oleh miselia. Piknidia terbentuk secara berpencar atau

tidak berkelompok. Pada Gambar 4 A, B, C, dan D piknidia tampak dari atas,

sebagian tubuh piknidia muncul di permukaan, sehingga jika tampak dari atas

(30)

 

putih. Piknidia asal tanaman jeruk, kakao dan manggis berwarna hitam,

sedangkan piknidia asal tanaman karet dan pisang berwarna cokelat tua hingga

cokelat kehitaman.

Gambar 4 Piknidia cendawan B. theobromae dari lima tanaman inang dengan perbesaran 40x. Jeruk (A); kakao (B); karet (C); manggis (D); pisang (E).

Piknidia B. theobromae yang berasal dari tanaman pisang (Gambar 4 E),

tampak dari samping berbentuk jorong atau tabung, berwarna cokelat, dan

piknidia terbentuk diantara miselium cendawan. Tampak samping terlihat bahwa

sebagian tubuh piknidia muncul di atas permukaan koloni cendawan, sedangkan

[image:30.595.100.505.97.804.2]

sebagian lainnya berada di dalam miselium.

Gambar 5 Piknidia B. theobromae yang pecah mengeluarkan konidia

A

B

C

(31)

 

Piknidia berwarna hitam yang pecah dan mengeluarkan konidia muda

(Gambar 5). Dengan pewarnaan menggunakan lactophenol blue konidia muda

tampak berwarna biru, konidia keluar dari dalam piknidia yang dipecahkan.

Menurut Masilamani & Muthumar (1996) pada kondisi alami piknidia matang

akan menghasilkan konidia matang yang kemudian konidia matang akan keluar

melalui lubang ostiol pada piknidia dan kemudian menyebar.

Gambar 6 menunjukkan konidia muda dan konidia matang B. theobromae

yang berasal dari empat tanaman inang dengan perbesaran 10 X 100 dan

pewarnaan dengan lactophenol blue. Konidia muda tidak memiliki sekat (bersel

satu), dinding konidia relatif tebal, dan berwarna hialin sehingga jika diwarnai

dengan lactophenol blue maka konidia akan terlihat berwarna biru. Morfologi

konidia matang memiliki perbedaan dengan konidia muda, yaitu konidia matang

berwarna cokelat tua, memiliki sekat, terdiri dari dua sel dan dinding konidia yang

tidak nampak ketebalannya. Menurut Watanabe (2002) konidia B. theobromae

berpencar secara tunggal, hialin, berbentuk jorong atau silinder, dan pada

umumnya konidia matang terdiri dari dua sel (bersekat satu).

Pada Tabel 3 ditunjukkan bahwa semua isolat B. theobromae asal lima

tanaman inang membentuk piknidia pada media WA+jerami, sedangkan pada

media PDA hanya tiga isolat saja (asal jeruk, karet dan pisang). Konidia muda dan

konidia matang dibentuk oleh isolat asal empat tanaman inang pada media

WA+jerami sedangkan pada media PDA hanya tiga isolat. Pada media PDA,

B. theobromae asal kakao tidak terbentuk piknidia, konidia muda, dan konidia

matang, hal ini karena media PDA termasuk media yang kaya hara seperti glukosa

dan karbohidrat. Menurut Shivas & Beasley (2005), lingkungan yang tidak alami,

seperti media agar-agar yang kaya hara, dapat saja merupakan kondisi yang

kurang cocok untuk sporulasi cendawan patogen tanaman. Sporulasi

B. theobromae dapat ditingkatkan dengan penambahan material asal tanaman

(32)

 

Konidia muda

[image:32.595.102.497.74.789.2]

Konidia matang

Gambar 6 Konidia muda maupun matang cendawan B. theobromae dari empat tanaman inang. Jeruk (A); kakao (B); karet (C); pisang (D).

A

B

C

D

A B

(33)

 

Tabel 3 Pembentukan piknidia, konidia muda, dan konidia matang B. theobromae lima tanaman inang pada media WA dan PDA

Tanaman Inang

Waktu (hari) untuk pembentukan

Piknidia Konidia Muda Konidia Matang

WA

+jerami PDA

WA

+jerami PDA

WA

+jerami PDA

Jeruk 13 17 13 17 21 22

Kakao 20 - 20 - 22 -

Karet 13 32 13 39 19 48

Manggis 20 - - - - -

Pisang 17 17 17 18 23 22

Keterangan: WA = water agar, PDA = potato dextrose agar, (-): tidak terbentuk

Pembentukan piknidia, konidia muda, dan konidia matang pada media

WA+jerami cenderung lebih cepat dibanding pada media PDA. B. theobromae

memproduksi piknidia yang menghasilkan konidia pada kondisi lingkungan yang

kurang menguntungkan yaitu kurangnya hara dan media WA+jerami merupakan

media yang miskin hara sehingga piknidia dan konidia terbentuk lebih cepat pada

media tersebut. Piknidia isolat B. theobromae pada media PDA terbentuk antara

17-32 HST. Pada isolat asal jeruk dan pisang piknidia terbentuk paling cepat yaitu

pada 17 HST, sedangkan pembentukan piknidia pada isolat asal karet paling

lambat yaitu terbentuk setelah 32 HST. Pada isolat asal jeruk konidia muda

terbentuk paling cepat diantara isolat lain yaitu pada 17 HST, sedangkan isolat

asal kakao terbentuk paling lambat yaitu setelah 39 HST. Konidia matang pada

media PDA terbentuk antara 22-48 HST. Pada isolat asal jeruk dan pisang konidia

matang terbentuk paling cepat yaitu pada 22 HST, isolat asal karet pembentukan

konidia matang paling lambat yaitu terbentuk setelah 48 HST. Menurut Shah et al.

(2010) waktu yang dibutuhkan B. theobromae untuk menghasilkan piknidia pada

media buatan adalah antara 20-34 hari setelah tanam.

Isolat B. theobromae asal manggis hanya membentuk piknidia pada media

WA+jerami saja, tetapi tidak pada PDA. Konidia muda, dan konidia matang tidak

terbentuk baik pada media WA+jerami maupun media PDA. Sandra (2011)

menyatakan bahwa piknidia dan konidia B. theobromae asal manggis hanya dapat

(34)

 

menunjukkan bahwa dalam pembentukan piknidia dan konidia diperlukan nutrisi

tertentu agar dapat merangsang pembentukannya.

Konidia muda pada isolat B. theobromae asal jeruk berukuran 20-29 µm X

11-14 µm, konidia muda asal kakao berukuran 14-19 µm X 9-11 µm, konidia

muda asal karet berukuran 16-20 µm X 9-12 µm, sedangkan konidia asal pisang

berukuran 16-20 µm X 8-12 µm (Tabel 4). Menurut Watanabe (2002) piknidia

cendawan B. theobromae berukuran 210 µm X 150 µm, dan konidia berukuran

7,5-17,5 µm X 2,2-4,5 µm.

Tabel 4 Ukuran panjang, lebar, dan tebal dinding konidia muda B. theobromae asal empat tanaman inang pada media water agar + jerami

Tanaman Inang

Ukuran konidia muda Panjang (µm) ± SD Lebar (µm) ± SD Rasio panjang/lebar ± SD Tebal dinding (µm) ± SD

Jeruk 22,91 a ± 2,38 12,68 a ± 0,73 1,82 a ± 0,27 1,72 a ± 0,23

Kakao 16,96 b ± 1,64 9,54 c ± 0,52 1,78 a ± 0,19 1,54 ab ± 0,49

Karet 17,44 b ± 1,25 10,56 b ± 1,19 1,67 a ± 0,23 1,86 a ± 0,29

Pisang 17,42 b ± 1,38 10,09 bc ± 1,07 1,75 a ± 0,30 1,32 b ± 0,25

Keterangan: Huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata dengan uji selang ganda Duncan (α = 0,05)

SD = standar deviasi

Ukuran panjang, lebar, dan tebal dinding konidia muda B. theobromae

berbeda nyata (Tabel 4). Konidia muda B. theobromae asal jeruk memiliki ukuran

paling besar yaitu rata-rata panjang konidia 22,91 µm dan lebar 12,68 µm,

sedangkan konidia muda isolat asal kakao memiliki ukuran paling kecil, yaitu

rata-rata panjang konidia 16,96 µm dan lebar 9,54 µm. Tebal dinding isolat asal

karet memiliki ukuran yang paling besar yaitu 1,86 µm, sedangkan isolat asal

pisang memiliki tebal dinding yang paling kecil yaitu 1,32 µm.

Rasio panjang/lebar konidia muda B. theobromae asal jeruk, kakao, karet,

dan pisang tidak berbeda nyata (Tabel 5). Konidia muda isolat asal jeruk memiliki

rasio panjang/lebar tertinggi yaitu 1,82 sedangkan konidia isolat asal karet

memiliki rasio panjang/lebar terendah yaitu 1,67. Rasio panjang/lebar konidia

muda dari keempat isolat >1 sehingga konidia berbentuk jorong. Bentuk konidia

(35)

 

Panjang dan lebar konidia matang isolat B. theobromae asal empat tanaman

inang memiliki ukuran panjang dan lebar konidia matang yang berbeda nyata

(Tabel 5). Konidia matang pada isolat B. theobromae asal jeruk berukuran 21-28

µm X 11-14 µm, konidia matang asal kakao berukuran 13-19 µm X 9-12 µm,

konidia matang asal karet berukuran 16-27 µm X 9-13 µm, sedangkan konidia

matang asal pisang berukuran 17-22 µm X 10-13 µm. Berdasarkan pengukuran,

ukuran konidia matang cenderung lebih besar dibandingkan konidia muda, namun

tebal dinding konidia matang tidak dapat diukur karena tebal dinding terlalu kecil.

Tabel 5 Ukuran panjang dan lebar konidia matang cendawa B. theobromae asal empat tanaman inang pada media water agar + jerami

Tanaman Inang

Ukuran konidia matang Panjang (µm)

± SD Lebar (µm) ± SD

Rasio panjang/lebar ± SD

Jeruk 23,63 a ± 2,26 12,83 a ± 1,10 1,86 a ± 0,31

Kakao 15,40 c ± 1,96 10,67 b ± 1,00 1,44 b ± 0,12

Karet 21,08 b ± 3,19 11,39 b ± 1,45 1,89 a ± 0,46

Pisang 19,32 b ± 1,98 11,59 b ± 1,01 1,68 ab ± 0,21

Keterangan: Huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata dengan uji selang ganda Duncan (α = 0,05)

SD = standar deviasi

Panjang dan lebar konidia matang isolat B. theobromae asal empat tanaman

inang memiliki ukuran panjang dan lebar konidia matang yang berbeda nyata

(Tabel 5). Konidia matang B. theobromae asal jeruk memiliki ukuran paling besar

yaitu rata-rata panjang konidia 23,63 µm dan lebar 12,83 µm, sedangkan konidia

matang isolat asal kakao memiliki ukuran paling kecil, yaitu rata-rata panjang

konidia 15,40 µm dan lebar 10,67 µm. Perbedaan ukuran konidia matang dan

muda B. theobromae menunjukkan bahwa ada keragaman ukuran konidia antar

isolat yang berasal dari tanaman inang yang berbeda.

Rasio panjang/lebar konidia muda B. theobromae asal jeruk, kakao, karet,

dan pisang berbeda nyata (Tabel 4). Rasio panjang/lebar konidia matang dari

keempat isolat >1 sehingga konidia berbentuk jorong (Tabel 5). Bentuk konidia

akan semakin bulat jika rasio panjang/lebar mendekati 1. Konidia muda isolat asal

karet memiliki rasio panjang/lebar tertinggi yaitu 1,89 sedangkan konidia isolat

(36)

 

konidia muda lebih rendah dibanding konidia matang kecuali pada isolat asal

kakao, sehingga bentuk konidia matang lebih jorong dibanding konidia muda.

Karakter Molekuler Cendawan B. theobromae

Analisis molekuler terhadap DNA cendawan B. theobromae dilakukan

dengan teknik RAPD-PCR menggunakan primer OPD 06 (Gambar 7, Tabel 6)

dan OPN 07 (Gambar 8, Tabel 7). Gambar 7 menunjukkan pola RAPD-PCR

menggunakan primer OPD 06 dan Gambar 8 menggunakan primer OPN 07 dan

marker GeneRulerTM DNA Ladder. Gambar tersebut menunjukkan bahwa primer

OPD 06 dan OPN 07 dapat mengamplifikasi DNA cendawan B. theobromae asal

berbagai tanaman inang di beberapa lokasi pada genom cendawan tersebut dengan

ukuran amplikon yang berbeda-beda.

Gambar 7 Profil DNA lima isolat cendawan B. theobromae yang diamplifikasi dengan RAPD-PCR menggunakan primer OPD 06

Tabel 6 Ukuran fragmen DNA cendawan B. theobromae asal berbagai tanaman inang dengan RAPD menggunakan primer OPD 06

Keterangan: bp= base pair (pasangan basa)

Pita DNA ke- Ukuran (bp) pita DNA isolat B. theobromae asal

Jeruk Kakao Karet Manggis Pisang

1 1000 850 <500 <500 1000

(37)
[image:37.595.109.512.72.796.2]

 

Tabel 6 menunjukkan ukuran fragmen DNA cendawan B. theobromae asal

lima tanaman inang hasil RAPD menggunakan primer OPD 06. Profil DNA

kelima cendawan B. theobromae memiliki perbedaan jumlah dan ukuran pita

DNA yang dihasilkan. Pada isolat B. theobromae asal kakao, karet, dan manggis

DNA teramplifikasi pada satu lokasi, DNA isolat asal jeruk dan pisang

teramplifikasi pada dua lokasi, selain itu ukuran pita DNA yang teramplifikasi

pada kelima isolat berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa kelima isolat

tersebut memiliki perbedaan genetik.

Gambar 8 Profil DNA lima isolat cendawan B. theobromae yang diamplifikasi dengan RAPD-PCR menggunakan primer OPN 07.

Tabel 7 Ukuran fragmen DNA cendawan B. theobromae asal berbagai tanaman inang dengan RAPD menggunakan primer OPN 07

Keterangan: bp= base pair (pasangan basa)

Pita DNA ke- Ukuran (bp) pita DNA isolat B. theobromae asal

Jeruk Kakao Karet Manggis Pisang

1 1400 2000 1800 1000 2000

2 1100 1000 1400 900

3 700 600 1200

4 1000

5 600

(38)

 

Tabel 7 menunjukkan ukuran fragmen DNA isolat B. theobromae asal lima

tanaman inang hasil RAPD menggunakan primer OPN 07. Profil DNA kelima

isolat B. theobromae menunjukkan perbedaan jumlah dan ukuran pita DNA yang

lebih beragam dibandingkan dengan pola RAPD dengan primer OPD 06. Pada

isolat B. theobromae asal manggis DNA teramplifikasi pada satu lokasi, DNA

isolat asal jeruk dan kakao teramplifikasi pada tiga lokasi, sedangkan DNA isolat

asal karet teramplifikasi pada enam lokasi. Selain itu ukuran pita DNA yang

teramplifikasi pada kelima isolat berbeda-beda (Gambar 8), hal ini menunjukkan

bahwa keempat isolat tersebut memiliki perbedaan genetik yang cukup nyata.

RAPD menggunakan primer tunggal pendek dengan urutan nukleotida acak,

dilakukan dengan suhu annealing rendah dan menghasilkan beberapa produk PCR

yang menghasilkan pola pita setelah dilakukan pemisahan oleh elektroforesis

(Edel 1998).

Menurut Edel (1998), analisis DNA menggunakan RAPD umumnya

dilakukan dengan primer non-spesifik sehingga kondisi reaksi dan thermocycle

RAPD lebih sensitif dibandingkan tes PCR konvensional. Dengan demikian

konsentrasi dari semua campuran bahan dalam reaksi harus akurat. Selain itu

kualitas dari template DNA dan Taq polymerase merupakan faktor yang juga

dapat mempengaruhi hasil RAPD.

Gejala Penyakit oleh Cendawan R. solani

Penyakit yang disebabkan oleh R. solani pada tiga tanaman inang

menunjukan gejala yang beragam (Gambar 9). Gejala yang disebabkan oleh

R. solani pada tanaman jagung (Gambar 9A) yaitu terdapat bercak tidak teratur

berwarna putih kotor atau cokelat muda dan pada bagian pinggir bercak berwarna

cokelat tua. Bercak terus meluas dari mulai bagian pelepah hingga ke seluruh

jaringan tanaman. Pada bagian tanaman yang terserang cukup parah, seluruh

bagian tanaman menjadi berwarna cokelat dan kering, kemudian tanaman mati.

(39)

 

Gambar 9 Gejala penyakit yang disebabkan oleh cendawan R. solani pada tiga tanaman inang. Jagung (A); Padi (B); Sorghum (C).

Pelepah tanaman padi yang terserang cendawan R. solani (9B) terdapat

bercak tidak beraturan berwarna cokelat hingga hitam dengan pusat bercak

berwarna putih, abu-abu atau cokelat muda, biasanya cendawan tersebut

menyerang pada bagian bawah pelepah kemudian akan terus menyebar ke bagian

atas. Pelepah bagian atas yang terserang menjadi kering, sedangkan pelepah

bagian bawah menjadi lembek dan mudah hancur atau patah karena pada bagian

bawah pelepah memiliki kelembaban yang lebih tinggi.

Tanaman Sorghum (9C) yang terserang R. solani menunjukkan gejala yang

khas, yaitu terdapat bercak meluas yang bersudut pada bagian bawah bercak

dengan pusat bercak berwarna putih, putih kotor atau cokelat muda. Pada bagian

pinggir bercak berwarna cokelat tua. Bagian yang terserang parah akan menjadi

kering dan kemudian tanaman mati. Pada bagian tanaman yang mati terdapat

sklerotia berwarna cokelat.

Karakter Morfologi R. solani

Hasil pengamatan karakter morfologi terhadap cendawan R. solani yang

berasal dari lima inang yaitu: jagung, nanas, padi, sorghum, dan ubi jalar (Gambar

10), menunjukkan bahwa koloni kelima isolat R. solani memiliki warna yang

berbeda. Pada isolat asal jagung miselium berwarna kuning cerah, isolat asal

nanas berwarna cokelat, isolat asal padi berwarna cokelat kemerahan, isolat asal

sorghum berwarna cokelat muda, sedangkan isolat asal ubi jalar miselium

berwarna hitam pada bagian tengah koloni dan berwarna cokelat tua pada

pinggiran koloni. Pada isolat asal jagung, nanas dan sorghum perubahan warna

merata pada seluruh miselium seiring waktu, sedangkan pada isolat asal padi dan

(40)

 

ubi jalar perubahan warna dimulai dari tengah koloni dan terus bertambah gelap

hingga bagian pinggir koloni.

4 HST

18 HST

Gambar 10 Koloni isolat cendawan R. solani dari lima tanaman inang pada umur 4 dan 18 HST pada media PDA. jagung (A); nanas (B); padi (C); sorghum (D); ubi jalar (E).

Koloni mengalami perubahan warna dengan bertambahnya umur koloni.

Pada isolat asal jagung miselium berwarna putih hingga 2 HST kemudian berubah

menjadi berwarna kuning hingga 5 HST dan menjadi kuning cerah hingga 18

HST. Sedangkan pada isolat nanas, padi dan sorghum miselium berwarna putih

hingga 3 HST kemudian menjadi berwarna kuning muda hingga 4 HST dan terus

bertambah gelap hingga 15 HST. Isolat asal ubi menunjukkan perubahan warna

paling cepat diantara isolat lain yaitu berwarna putih hingga 1 HST kemudian

terus bertambah gelap hingga 5 HST.

Kecepatan pertumbuhan koloni R. solani pada lima tanaman inang berbeda

nyata (Tabel 8). Koloni isolat asal jagung memiliki kecepatan tumbuh paling

cepat yaitu rata-rata pertumbuhan 4,20 cm per 12 jam, sedangkan isolat asal ubi

jalar menunjukkan kecepatan pertumbuhan paling lambat yaitu rata-rata 1,60 cm

per 12 jam. Pertumbuhan maksimum koloni R. solani pada media PDA di dalam

cawan petri adalah 9 cm. Umumnya pertumbuhan koloni cendawan R. solani

mencapai maksimum pada 48-120 jam setelah tanam (JST).

(41)

 

Gambar 11 Grafik pertumbuhan koloni cendawan R. solani pada media PDA.

Tabel 8 Pertumbuhan diameter koloni cendawan R. solani

Tanaman Inang Kecepatan pertumbuhan koloni isolat asal (cm)/12 jam ± SD

Jagung 4,20 a ± 0.36

Nanas 2,37 b ± 0.58

Padi 1,87 bc ± 0.15

Sorghum 1,80 bc ± 0.17

Ubi Jalar 1,60 c ± 0.17

Keterangan: Huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata dengan uji selang ganda Duncan (α = 0,05)

SD = standar deviasi

Pada Gambar 11 ditunjukkan bahwa pertumbuhan miselium paling cepat

adalah isolat asal jagung, yaitu pada 48 JST dan yang paling lambat adalah isolat

asal ubi jalar yaitu pada 120 JST. Terdapat perbedaan kecepatan pertumbuhan

pada kelima isolat tersebut.

Gambar 12 merupakan hifa R. solani yang berasal dari lima tanaman

inang, dengan pewarnaan lactophenol blue. Hifa R. solani memiliki percabangan

yang tegak lurus, berwarna hialin dan memiliki sekat. Menurut Schumann &

D’Arcy (2006) R. solani dapat diidentifikasi dari karakter hifa yang khas, yaitu

sudut percabangan yang tegak lurus yang membedakan dengan cendawan lainnya.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

12 24 36 48 60 72 84 96 108 120

Diam

eter Koloni

(cm

)

Umur Biakan (Jam)

(42)

 

[image:42.595.108.503.81.581.2]

Gambar 12 Hifa cendawan R. solani asal lima tanaman inang dengan perbesaran 10 X 100 dan pewarnaan lactophenol blue. Jagung (A); nanas (B); padi (C); sorghum (D); ubi jalar (E).

Tabel 9 Ukuran panjang ruas dan lebar hifa cendawan R. solani pada lima tanaman inang

Tanaman Inang Ukuran hifa (µm)

Panjang ruas ± SD Lebar ± SD Jagung 29,32 c ± 7,36 2,78 c ± 0,46

Nanas 45,57 b ± 13,21 3,98 b ± 0,52

Padi 56,99 a ± 18,54 4,59 a ± 1,13

Sorghum 60,15 a ± 23,16 5,01 a ± 0,83

Ubi Jalar 39,57 b ± 11,03 3,78 b ± 0,67

Keterangan: Huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata dengan uji selang ganda Duncan (α = 0,05)

SD = standar deviasi

Panjang ruas dan lebar hifa R. solani asal padi dengan asal sorghum tidak

berbeda nyata dan isolat asal nanas dengan asal ubi jalar tidak berbeda nyata,

sedangkan isolat asal jagung berbeda nyata terhadap keempat isolat lainnya.

R. solani asal sorghum memiliki panjang ruas dan lebar yang paling besar diantara

isolat lainnya yaitu panjang ruas 32-104 µm dan lebar 4-7 µm, sedangkan jagung

memiliki panjang ruas dan lebar yang paling kecil diantara isolat lainnya yaitu

panjang ruas 18-48 µm dan lebar 2-4 µm (Tabel 9).

B C

[image:42.595.112.503.84.318.2]
(43)

 

Hifa R. solani pada lima tanaman inang yaitu, jagung, nanas, padi, sorghum

dan ubi jalar memiliki rata-rata sudut percabangan yang berbeda-beda namun

tidak berbeda nyata. Sudut percabangan cendawan tersebut pada kelima tanaman

inang hampir tegak lurus mendekati 90º. Hifa isolat asal ubi jalar memiliki sudut

tumpul yang paling besar yaitu dengan rata-rata 108,95º, kemudian isolat asal

sorghum dengan sudut tumpul 106,1º, isolat asal padi 105,75º, isolat asal jagung

105,3º, sedangkan isolat asal nanas cenderung lebih tegak lurus dibandingkan

isolat lainnya karena memiliki sudut tumpul yang paling kecil yaitu 103º.

Gambar 13 Sklerotia cendawan R. solani. Sklerotia muda (A); sklerotia tua (B).

Sklerotia merupakan sekumpulan hifa yang mengalami pemadatan,

berwarna gelap dan mampu betahan dalam kondisi lingkungan yang tidak

menguntungkan (Agrios 2005). Sklerotia merupakan struktur bertahan pada

cendawan R. solani (Gambar 13), terbentuk ketika cendawan dalam kondisi

kekurangan nutrisi namun kelembaban cukup. Sklerotia R. solani memiliki

permukaan kasar dengan bentuk yang tidak beraturan serta memiliki struktur yang

keras. Pada hari pertama terbentuk sklerotia berwarna putih yang merupakan

sklerotia muda, kemudian hari kedua hingga hari keempat sklerotia akan berubah

menjadi warna cokelat.

Karakter Molekuler Cendawan R. solani

Analisis molekuler terhadap DNA R. solani dilakukan dengan teknik

RAPD-PCR menggunakan primer OPD 06 dan OPN 07. Gambar 14 menunjukkan

pola RAPD-PCR dengan primer OPD 06, sedangkan Gambar 15 merupakan pola

RAPD-PCR menggunakan primer OPN 07 dan marker GeneRulerTM DNA

B

(44)

 

Ladder. Dari kedua gambar tersebut dapat dilihat bahwa kedua primer dapat

mengamplifikasi DNA cendawan R. solani dari lima tanaman inang di berbagai

lokasi pada genom cendawan tersebut.

Gambar 14 Profil DNA empat isolat cendawan R. solani yang diamplifikasi dengan RAPD-PCR menggunakan primer OPD 06.

Tabel 10 Ukuran fragmen DNA cendawan R. solani asal berbagai tanaman inang dengan RAPD menggunakan primer OPD 06

Keterangan: bp= base pair (pasangan basa)

Tabel 10 menunjukkan ukuran fragmen DNA cendawan R. solani asal

berbagai tanaman inang hasil RAPD dengan primer OPD 06. Profil DNA keempat

cendawan R. solani menunjukkan perbedaan jumlah dan ukuran pita DNA yang

dihasilkan. Pada isolat R. solani asal jagung DNA teramplifikasi pada satu lokasi, Pita DNA ke- Ukuran (bp) pita DNA isolat R. solani asal

Jagung Nanas Padi Sorghum Ubi Jalar

1 750 1500 1400 1100 1400

2 1100 700 900 800

3 900 600 500

(45)

 

isolat asal sorghum teramplifikasi pada dua lokasi, isolat asal nanas dan ubi jalar

teramplifikasi pada tiga lokasi, sedangkan isolat asal padi teramplifikasi pada

empat lokasi. Ukuran pita DNA dan jumlah DNA yang teramplifikasi pada kelima

isolat berbeda-beda, hal ini menunjukkan bahwa kelima isolat tersebut

menunjukkan perbedaan genetik yang cukup nyata.

Gambar 15 Profil DNA empat isolat cendawan R. solani yang diamplifikasi dengan RAPD-PCR menggunakan primer OPN 07.

Tabel 11 Ukuran fragmen DNA cendawan R. solani asal berbagai tanaman inangdengan RAPD menggunakan primer OPN 07

Keterangan: bp= base pair (pasangan basa)

Pita DNA ke- Ukuran (bp) pita DNA isolat R. solani asal

Jagung Nanas Padi Sorghum Ubi Jalar

1 1100 500 400 400 600

2 750 600 500 900

3 700 650 1000

4 900 1000 1300

5 1300 1300 1400

6 1400 1400 1700

(46)

 

Tabel 11 menunjukkan ukuran fragmen DNA cendawan R. solani asal

berbagai tanaman inang hasil RAPD menggunakan primer OPN 07. Profil DNA

keempat cendawan R. solani menunjukkan perbedaan jumlah dan ukuran pita

DNA yang dihasilkan dan lebih beragam dibandingkan pola RAPD dengan primer

OPD 06. Pada isolat R. solani asal nanas DNA teramplifikasi pada dua lokasi,

DNA isolat asal padi dan sorghum teramplifikasi pada enam lokasi, sedangkan

DNA isolat asal ubi jalar teramplifikasi pada tujuh lokasi. Selain itu ukuran pita

DNA yang teramplifikasi pada keempat isolat juga berbeda-beda, hal ini

menunjukkan bahwa keempat isolat tersebut menunjukkan perbedaan genetik

(47)

 

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Karakter morfologi dan molekuler isolat cendawan Botryodiplodia

theobromae yang berasal dari tanaman inang yang berbeda sangat beragam. Isolat

cendawan B. theobromae yang berasal dari tanaman jeruk, kakao, karet, manggis

dan pisang menunjukkan keragaman karakter dari segi warna dan kecepatan

tumbuh koloni, kemampuan pembentukan piknidia, serta ukuran dan bentuk

konidia muda dan konidia matang pada media PDA dan WA+jerami. Isolat

B. theobromae asal jeruk, karet, dan pisang mampu membentuk konidia

Gambar

Gambar 5  Piknidia B. theobromae yang pecah mengeluarkan konidia
Gambar 6   Konidia muda maupun matang cendawan B. theobromae dari empat
Tabel 6 menunjukkan ukuran fragmen DNA cendawan B. theobromae asal
Gambar 12 Hifa cendawan R. solani asal lima tanaman inang dengan perbesaran
+7

Referensi

Dokumen terkait