PENGOMPOSAN SAMPAH SISA BUAH-BUAHAN DALAM
LUBANG RESAPAN BIOPORI DI BERBAGAI
PENGGUNAAN LAHAN
DENNY RIO HARTONO
A14070048
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMAN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENGOMPOSAN SAMPAH SISA BUAH-BUAHAN DALAM LUBANG RESAPAN BIOPORI DI BERBAGAI
PENGGUNAAN LAHAN
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh
DENNY RIO HARTONO A14070048
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
iii
RINGKASAN
DENNY RIO HARTONO. Pengomposan Sampah Sisa Buah-buahan Dalam Lubang Resapan Biopori di Berbagai Penggunaan Lahan. Dibimbing oleh Enni Dwi Wahjunie dan Dwi Putro Tejo Baskoro.
Sampah yang dihasilkan oleh manusia semakin bertambah seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Apabila tidak ada kesadaran manusia untuk mengolahnya, maka sampah akan menjadi masalah serius. Di Indonesia, masalah yang terjadi akibat adanya sampah cukup banyak, diantaranya berupa pencemaran lingkungan ataupun bencana yang langsung menelan korban seperti banjir dan longsor. Agar tidak terjadi pencemaran atau bencana maka sampah terutama sampah organik dapat diatasi di sumbernya, salah satunya menggunakan teknologi Lubang Resapan Biopori (LRB). Proses maupun laju dekomposisi sampah organik di LRB belum banyak diketahui. Salah satu sumber sampah organik yang memerlukan penanganan adalah limbah buah-buahan. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan pengomposan sampah buah-buahan pada LRB di berbagai penggunaan lahan.
Penelitian dilakukan di Kebun percobaan Cikabayan Kampus IPB Darmaga. Sisa buah-buahan di ambil dari Babakan Raya, Darmaga, Bogor. Penelitian dilakukan kurang lebih selama tiga bulan, yaitu sejak April hingga Juni 2011. Analisis tanah dan bahan kompos dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB. Serangkaian penelitian untuk mengetahui laju pengomposan dilakukan penetapan lokasi penelitian, pengambilan contoh tanah, pengomposan di LRB, analisis tanah dan kompos, dan analisis data.
Pengomposan di dalam lubang resapan biopori dengan menggunakan bahan kulit buah-buahan, yaitu kulit pisang dan kulit nanas pada berbagai penggunaan lahan membutuhkan waktu 60 hari. Penggunaan lahan berpengaruh nyata terhadap penurunan volume kompos, dimana lahan kopi dan bera memiliki laju penurunan yang lebih cepat dibandingkan dengan lahan jeruk. Bahan kompos yang berbeda mengalami laju dekomposisi dan perubahan warna yang berbeda, dimana kulit pisang memiliki warna lebih gelap dibandingkan dengan kulit nanas. Kualitas kompos yang dihasilkan dapat dikatakan baik, karena diindikasikan oleh: warna bahan menjadi gelap, volume turun hingga sepertiga, rasio C/N mendekati 10, dan pH mendekati netral.
SUMMARY
DENNY RIO HARTONO. Decomposition of Fruits Waste in Biopore Infiltration Hole on Various Land Use. Guided by Enni Dwi Wahjunie andDwi Putro Tejo Baskoro.
Waste generated by humans increases inline with population growth. If there is no people consciousness to process, then the waste would be a serious problem. In Indonesia, a lot of problemsoccur as a result of waste, such as environmental pollution or disaster do to floods and landslides. To avoid pollution or disaster, the waste can be addressed at the source, one of which uses the technology of Biopore Infiltration Hole (LRB). Process and the rate of decomposition of wastes in the LRB has not much been known. One source of organic waste that requires special handling is fruits waste. Therefore, this study was conducted todecomposting waste of fruit in LRB under different land use.
The study was conducted at experimental site of IPB, Cikabayan Darmaga Bogor for about three months (April-June 2011). Fruit residues (banana and pineapple) were taken from Babakan raya, Darmaga Bogor. Analysis of soil and compost material was performed at the Laboratory of the Department of Soil Science and Land Resources, Faculty of Agriculture, IPB. During this research, several stages of work was carried out namely the determination of the study site, soil sampling, composting in the LRB, soil and compost analysis, and data analysis.
Decompostion of Banana and Pineapple residues in LRB under various land use take more or less 60 days. Land use significantly affects the rate of decomposition as indicated by different volume reduction of compost material. The rate of volume reduction of compost materials is faster under coffee and bare land than that under oranges. Different compost material experience different decomposition rates and changes in different colors, in which residues of banana has a darker color than those of pineapple. Quality of compost produced in LRB could be said to be good as indicated by dark colour, high volume reduction (to only one third), low C/N ratio (about 10), and neutral pH.
v
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Pengomposan Sampah Sisa Buah-buahan Dalam Lubang Resapan Biopori di Berbagai Penggunaan Lahan
Nama Mahasiswa : Denny Rio Hartono
NRP : A14070048
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Enni Dwi Wahjunie, M.Si Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc NIP. 1960330 198601 2 001 NIP. 19630126 198703 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya lahan
Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc NIP. 19621113 198703 1 003
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Denny Rio Hartono yang merupakan putera Pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Suhartono dan Ibu Endang Handayani. Penulis dilahirkan pada tanggal 18 Desember 1989 dan tumbuh berkembang di sebuah desa yang mayoritas penduduknya sebagai petani yaitu Desa Sialang Sakti, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Provinsi Riau.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasarnya di SDN 033 Siak yang saat ini telah berganti nama menjadi SDN 017 Dayun Kabupaten Siak pada tahun 2001. Kemudian melanjutkan ke sekolah menengah di MTs Bustanul ‘Ulum di Desa Sialang Sakti Kecamatan Dayun Kabupaten Siak lulus pada tahun 2004. Penulis melanjutkan sekolah ke SMA Darul ‘Ulum 2 Jombang lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Laju Pengomposan (Sampah Sisa Buah-Buahan) Dalam Lubang Resapan Biopori” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Enni Dwi Wahjunie M.Si dan Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberi pengarahan, diskusi, dan bimbingan serta persetujuan sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.
2. Ir Kamir Raziudin Brata, M.Sc selaku dosen ilmu tanah yang telah bersedia menjadi penguji tamu dan memberikan banyak masukan bagi penulis.
3. Staf Laboratorium Konservasi Tanah dan Air, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Faperta IPB yang telah membantu penulis untuk melakukan kegiatan penelitian.
4. Staf Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Faperta IPB yang telah membantu penulis dalam melakukan kegiatan penelitian.
5. Bapak dan ibuku tercinta, serta seluruh keluarga yang senantiasa memberikan motivasi dan doa.
6. Semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 3
2.1 Sampah Organik ... 3
2.2 Lubang Resapan Biopori ... 4
2.3 Kaitan LRB dengan Sampah Organik Kulit Buah ... 5
2.4 Kompos dan Pengomposan... 5
2.5 Pengomposan dalam Lubang Resapan Biopori ... 8
BAB III. BAHAN DAN METODE ... 10
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 10
3.2 Bahan dan Alat ... 10
3.2.1 Bahan ... 10
3.2.2 Alat... 10
3.3 Metode Penelitian... 11
3.3.1 Penetapan lokasi penelitian ... 11
3.3.2 Pengambilan contoh tanah ... 12
3.3.3 Analisis tanah ... 13
3.3.4 Pengomposan di LRB ... 13
3.3.5 Analisis data ... 15
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16
4.1 Sifat-sifat Fisik Tanah Lokasi Penelitian ... 16
4.2 Kadar C & N bahan kompos dan tanah lokasi penelitian ... 17
4.3 Sifat-sifat kompos ... 18
4.3.1 Perubahan warna bahan kompos ... 18
4.3.2 Laju penurunan volume bahan kompos ... 20
4.3.3 Perubahan nisbah C dan N bahan kompos ... 22
4.3.4 Tingkat kemasaman kompos dan tanah ... 23
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 25
5.1 Kesimpulan ... 25
5.2 Saran ... 25
BAB VI. DAFTAR PUSTAKA ... 26
BAB VII. LAMPIRAN ... 28
ix
DAFTAR TABEL
1. C/N rasio beberapa bahan organik ... 8
2. Hubungan Diameter Lubang Resapan Biopori dengan Pertambahan Luas Permukaan dan Beban Pengomposan... 9
3. Metode analisis dan alat yang digunakan dalam analisis sifat-sifat tanah di laboratorium ... 11
4. Jenis sampah organik yang digunakan dalam LRB ... 12
5. Sifat-sifat fisik tanah di tiga jenis penggunaan lahan ... 16
6. Kandungan C-org, N-total, dan rasio C/N tanah lapisan 0-10 cm dan bahan segar ... 17
7. Perubahan Warna Kompos pada beberapa minggu... 19
8. Penurunan volume bahan kompos dari segar hingga menjadi kompos ... 20
9. Kandungan C-org, N-total, dan rasio C/N pada bahan kompos ... 23
10.Tingkat kemasaman (pH) tanah dan kompos ... 24
DAFTAR GAMBAR
1. Skema tata letak LRB dan lokasi pengambilan contoh tanah di setiap
penggunaan lahan ... 12 2. Kurva pF pada berbagai penggunaan lahan... 17 3. Hasil akhir bahan kompos kulit pisang dan kulit nanas ... 20 4. Pengaruh tiga penggunaan lahan terhadap penurunan volume dan Pengaruh dua bahan kompos terhadap penurunan volume ... 21
xi
DAFTAR LAMPIRAN
1. Pembuatan lubang biopori ... 28
2. Kadar air pada berbagai tekanan ... 28
3. Sifat fisik tanah pada tiga penggunaan lahan ... 29
4. Klasifikasi indeks stabilitas agregat metode pengayakan ... 30
5. Klasifikasi permeabilitas menurut Uhland dan O’neal ... 30
6. Kisaran bobot isi pada berbagai jenis tanah menurut Hakim ... 30
7. Perubahan Warna Kompos setiap minggu ... 31
8. Volume Kompos setiap minggu selama pengomposan ... 32
9. Rasio C/N dari bahan kompos dan tanah pada tiga penggunaan lahan ... 33
10.Beberapa foto-foto penelitian ... 34
1.1 Latar Belakang
Sampah yang dihasilkan oleh manusia semakin bertambah seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Apabila tidak ada kesadaran manusia untuk mengolahnya, maka sampah akan menjadi masalah serius. Di Indonesia, masalah yang terjadi akibat adanya sampah cukup banyak, diantaranya berupa pencemaran lingkungan ataupun bencana yang langsung menelan korban seperti banjir dan longsor.
Berdasarkan bahan/sifat kimia yang terkandung didalamnya, sampah dibedakan ke dalam dua golongan yaitu sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik terdiri dari sisa-sisa makanan, pembungkus dari daun, serta daun-daunan dari kebun atau taman, sedangkan sampah anorganik yaitu pembungkus dari plastik dan kertas, pakaian-pakaian bekas, bahan-bahan bacaan, serta perabot rumah tangga.
Jumlah sampah yang dihasilkan di Indonesia dalam skala nasional sangat banyak, mencapai 200.000 ton/hari (Kompas, 22 Februari 2010). Sumber sampah tersebut berasal dari pemukiman (domestik wastes), tempat umum, perkantoran, jalan raya, kawasan industri, lahan pertanian, dan area penambangan. Sampah-sampah tersebut selanjutnya dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir), dan di TPA sampah bertumpuk dari hari-kehari. Apabila sampah-sampah ini dibiarkan dapat menimbulkan masalah yang lebih serius.
2
Hadirnya teknologi Lubang Resapan Biopori memungkinkan sampah organik dikelola langsung di sumbernya dengan output berupa kompos. Terutama untuk sampah rumah tangga, dapat dikelola langsung oleh rumah tangga di tempat sumbernya sehingga tidak perlu diangkut ke TPS ataupun TPA. Dengan demikian biaya menjadi lebih murah dan tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan.
Teknologi Lubang Resapan Biopori (LRB) pada dasarnya telah dikenal masyarakat luas sebagai teknologi untuk meresapkan air lebih cepat. Disamping itu LRB memiliki peranan penting dalam membantu pengelolaan sampah sehingga sampah bisa dikelola lebih dekat dari sumbernya. Pada teknologi Lubang Resapan Biopori, sampah dimasukkan kedalam lubang dengan diameter 10 cm dan kedalaman 100 cm yang dibuat di pekarangan rumah atau taman. Sampah yang dimasukkan kedalam lubang tersebut selanjutnya menjadi sumber makanan bagi biota dalam tanah. Fauna tanah dapat memproses sampah tersebut dengan memperkecil ukuran dan mencampurkannya dengan mikroba tanah yang secara sinergi dapat mempercepat proses pengomposan secara alami (Brata dan Nelistya, 2008).
Laju dekomposisi sampah di LRB belum banyak diketahui. Begitu juga proses dekomposisi berbagai macam bahan organik di LRB juga belum banyak diketahui. Salah satu sumber sampah organik yang memerlukan penanganan adalah limbah buah-buahan. Pisang dan nanas adalah jenis buah-buahan yang tidak mengenal musim, dimana sepanjang tahun selalu ada. Selain itu sampah kulit buah-buahan adalah sampah yang banyak dihasilkan oleh rumah tangga. Hal ini menimbulkan penumpukan sampah sisa buah-buahan bila tidak dicari solusi untuk mempercepat penanganan sampah tersebut (pengomposan). Disamping itu pengomposan di LRB juga ditujukan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah disekitar LRB. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan di berbagai penggunaan lahan baik di lahan perkebunan yang memiliki perakaran dalam maupun di lahan yang telah lama diberakan dengan asumsi berbagai lahan tersebut memiliki sifat-sifat yang berbeda.
1.2 Tujuan
2.1 Sampah Organik
Sampah merupakan sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh masyarakat. Menurut Hadiwiyoto (1983), sampah adalah sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan-perlakuan, baik karena telah diambil bagian utamanya, melalui proses pengolahan, atau karena sudah tidak ada manfaatnya. Sedangkan menurut Apriadji (2002), sampah atau dalam bahasa inggrisnya waste, adalah zat atau benda-benda yang sudah tidak terpakai lagi, baik berupa bahan buangan yang berasal dari rumah tangga maupun dari pabrik sebagai sisa proses industri. Sampah merupakan bahan buangan yang tidak diperlukan lagi. Brata dan Nelistya (2008), mengartikan sampah sebagai sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya.
Berdasarkan zat kimia yang dikandungnya, sampah dikelompokkan kedalam sampah anorganik dan sampah organik. Sampah organik adalah sampah yang pada umumnya dapat membusuk seperti sisa-sisa makanan, daun-daunan, dan buah-buahan (Brata dan Nelistya, 2008). Sampah organik ini biasanya merupakan bahan-bahan yang tidak dapat didaur ulang dan dipakai lagi, akan tetapi merupakan bahan yang terdekomposisi relatif cepat dan dapat dimanfaatkan dalam bentuk lain seperti kompos. Berdasarkan asalnya, yang tergolong sampah organik adalah bahan-bahan yang berasal dari mahluk hidup seperti sisa-sisa dari tumbuhan, hewan, ataupun manusia. Bila digolongkan kedalam asal tersebut, kertas ataupun karton termasuk kedalam sampah organik, namun karena barang tersebut bisa didaur ulang seperti kaleng, kaca, ataupun logam, maka digolongkan kedalam sampah anorganik.
4
2.2 Lubang Resapan Biopori
Biopori merupakan ruangan atau pori dalam tanah yang dibentuk oleh mahluk hidup, seperti fauna tanah dan akar tanaman. Bentuk biopori menyerupai liang (terowongan kecil) dan bercabang-cabang yang sangat efektif untuk menyalurkan air dan udara dalam tanah. Liang pada biopori terbentuk oleh adanya pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman di dalam tanah serta meningkatnya aktifitas fauna tanah, seperti cacing tanah, rayap, dan semut yang menggali liang di dalam tanah. Jumlah dan ukuran biopori akan terus bertambah mengikuti pertumbuhan akar tanaman serta peningkatan populasi dan aktivitas organisme tanah (Brata dan Nelistya, 2008).
Lubang resapan biopori (LRB) merupakan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan untuk mengatasi banjir berbentuk lubang silindris berdiameter sekitar 10 cm yang digali di dalam tanah dan diberikan bahan organik ke dalam lubang untuk makanan fauna tanah sehingga terbentuk biopori. Kedalamannya tidak melebihi muka air tanah, yaitu sekitar 100 cm dari permukaan tanah. LRB dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam meresapkan air. Air tersebut meresap melalui biopori yang menembus permukaan dinding LRB ke dalam tanah di sekitar lubang. Dengan demikian, akan menambah cadangan air dalam tanah serta menghindari terjadinya aliran air di permukaan tanah (Brata dan Nelistya, 2008).
Struktur biopori berupa liang memanjang bercabang-cabang sehingga dapat memperlancar peresapan air ke segala arah di sekitar LRB. Biopori diperkuat oleh senyawa organik yang berasal dari organisme tanah, sehingga cukup mantap dan tidak mudah rusak. Dengan demikian, akan selalu tersedia jalan untuk meresapnya air dan udara ke dalam tanah. Di dalam biopori tersedia cukup bahan organik, air, oksigen, dan unsur hara sehingga cocok bagi perkembangan akar tanaman dan organisme tanah, termasuk mikroorganisme yang membantu pelapukan sampah (Brata dan Nelistya, 2008).
serta menjaga kebersihan, mengubah sampah menjadi kompos, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan mengatasi masalah akibat genangan.
2.3 Kaitan LRB dengan Sampah Organik Kulit Buah
Kawasan pasar merupakan penyumbang terbesar sampah dari total sampah yang dihasilkan setiap harinya. Hal ini sangat logis karena setiap pedagang buah baik yang menjual langsung buah ataupun membuat jus menghasilkan sampah, baik sampah organik maupun anorganik. Sampah organik yang dihasilkan pedagang jus buah atau makanan dari buah yaitu sampah organik kulit buah sisa-sisa buah.
Menurut Brata dan Nelistya (2008), sampah rumah tangga, dalam hal ini termasuk kulit buah, terdiri dari 60-70% sampah organik. Sampah organik merupakan sumber makanan yang sangat dibutuhkan oleh organisme tanah. Oleh karena itu sampah organik setiap rumah tangga bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki ekosistem tanah. Lubang resapan biopori dapat mempermudah penanganan sampah organik, dengan memasukkannya ke dalam tanah untuk menghidupi biota tanah. Fauna tanah dapat memproses sampah tersebut dengan cara memperkecil ukuran dan mencampurkannya dengan mikroba tanah yang secara sinergi dapat mempercepat proses pengomposan secara alami. Dengan segera dimasukkannya sampah organik ke dalam LRB, maka tidak terjadi penumpukan sampah baik di TPS ataupun TPA.
2.4 Kompos dan Pengomposan
6
macam faktor. Sutanto (2002) menyebutkan faktor-faktor tersebut yaitu kelembaban, aerasi, penghalusan dan pencampuran bahan, nisbah C/N, nilai pH, dan suhu.
Proses mikrobiologi yang terjadi selama pengomposan dilakukan oleh bakteri, aktinomisetes, serta jamur. Ketiga mikroba ini mutlak memerlukan bahan organik yang digunakan untuk pertumbuhannya. Bakteri adalah organisme sederhana dan kecil yang sering disebut juga dengan hewan berklorofil. Bentuknya bermacam-macam dan ukurannya berkisar 0,5-20 mikron. Aktinomisetes yang sering juga disebut aktinimisit merupakan mikroba yang berkembang membentuk filamen seperti jamur. Ukuran kecil dan struktur selnya yang rumit menyebabkan aktinomisetes dikelompokkan sebagai bakteri. Jamur merupakan organisme yang lebih besar namun tidak memiliki klorofil. Tubuh jamur terdiri dari helaian panjang yang disebut miselium (Djaja, 2008).
Banyak kriteria sehingga suatu bahan organik telah layak disebut sebagai kompos. Murbandono (1999), menyebutkan bahwa bahan organik yang layak dikatakan kompos apabila C/N rasio nya telah mendekati C/N rasio tanah. Telah diketahui bahwa rata-rata C/N rasio tanah pertanian berkisar 10-12. Namun selain C/N rasio mendekati C/N rasio tanah banyak sumber yang mengatakan bahwa syarat kompos yaitu warna berubah menjadi gelap, sifatnya mudah hancur, dan beraroma seperti tanah.
Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka dekomposer tersebut akan bekerja giat untuk mendekomposisi limbah organik. Apabila kondisinya kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman, pindah ke tempat lain, atau bahkan mati. Menciptakan kondisi yang optimum untuk proses pengomposan sangat menentukan keberhasilan proses pengomposan itu sendiri. Menurur Rynk (1992) faktor-faktor yang memperngaruhi proses pengomposan antara lain:
rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat.
Ukuran Partikel: Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.
Aerasi: Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob). Aerasi ditentukan oleh porositas dan kandungan air bahan (kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap.
Porositas: Porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplay Oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu.
Kelembaban (Moisture content): Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplay oksigen. Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40 - 60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap.
8
hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih-benih gulma.
pH: Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6.8 hingga 7.4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal, akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral.
Kandungan hara: Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan biasanya terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengomposan.
Kandungan bahan berbahaya: Beberapa bahan organik ada yang mengandung bahan-bahan berbahaya bagi kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nickel, Cr adalah beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses pengomposan.
Berikut adalah Tabel C/N rasio beberapa bahan organik yang berguna untuk membandingkan C/N rasio sesama bahan organik termasuk kulit pisang dan kulit nanas..
Tabel 1. C/N rasio beberapa bahan organik
Bahan C/N Rasio
Sisa makanan 15
Dedaunan 50
Jerami 80
Sisa-sisa buah-buahan 35
Pupuk kandang kering 20
Sumber : Obeng and Wright (1987)
2.5 Pengomposan dalam Lubang Resapan Biopori
daun-daunan, dan kotoran hewan lama-kelamaan membusuk karena kerja sama antara mikroorganisme dengan cuaca. Pengomposan dalam LRB menciptakan kondisi alami seperti disebutkan diatas, akan tetapi proses pengomposan dalam LRB bisa berlangsung lebih cepat dari kondisi biasa. Hal ini dikarenakan sampah organik dimasukkan langsung kedalam tanah dimana mikroorganisme berada. Hal tersebut dianalogikan sebagai makanan yang disodorkan langsung terhadap konsumennya sehingga proses yang terjadi bisa lebih cepat.
Lubang resapan biopori dibuat dengan menggali lubang vertikal ke dalam tanah. Diameter lubang yang dianjurkan sekitar 10 cm dengan kedalaman sekitar 100 cm atau tidak melebihi/mencapai kedalaman permukaan air tanah. Pemilihan dimensi yang dianjurkan tersebut untuk efisiensi penggunaan ruang horizontal yang semakin terbatas dan mengurangi beban pengomposan. LRB berdiameter 10 cm dengan kedalaman 100 cm hanya menggunakan permukaan horizontal 79 cm2 menghasilkan permukaan vertikal dengan luas dinding lubang 0,314 m2, berarti memperluas permukaan tanah 40 kali yang dapat kontak langsung dengan bahan kompos. Volume sampah yang tertampung dalam lubang tidak lebih dari 7,9 liter dan menimbulkan beban pengomposan maksimum 25 liter/m2. Peningkatan diameter lubang akan mengakibatkan penurunan luas permukaan tanah, sehingga beban pengomposan akan meningkat. Untuk lebih jelas hubungan diameter LRB dengan pertambahan luas permukaan dan beban pengomposan bisa dilihat dalam Tabel 2 (Brata dan Nelistya, 2008).
Tabel 2. Hubungan Diameter Lubang Resapan Biopori dengan Pertambahan Luas Permukaan dan Beban Pengomposan
Diameter
BAB III. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Kebun percobaan Cikabayan Kampus IPB Darmaga. Sisa buah-buahan di ambil dari Babakan Raya, Darmaga, Bogor. Penelitian dilakukan kurang lebih selama tiga bulan, yaitu sejak April hingga Juni 2011. Analisis tanah dan bahan kompos dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB.
3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: bahan tanah, bahan kompos, dan bahan yang digunakan dalam analisis di laboratorium. Bahan tanah meliputi: contoh tanah agregat, contoh tanah utuh, dan contoh tanah tidak utuh yang diambil dari tiga penggunaan lahan. Bahan kompos meliputi: sampah kulit pisang dan kulit nanas. Sedangkan bahan yang digunakan untuk analisis dilaboratorium meliputi: aquades, H2SO4, NaOH, H3BO4, HCl, Parafin cair,
Indikator Conway, Selenium mix, bahan kompos, dan lain-lain.
3.2.2 Alat
Tabel 3. Metode analisis dan alat yang digunakan dalam analisis sifat-sifat tanah di laboratorium
Parameter Metode Alat
3.3 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah: metode penetapan lokasi, metode pengambilan contoh tanah, metode analisis tanah, metode pengomposan di LRB, dan metode analisis data.
3.3.1 Penetapan lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di kebun percobaan Cikabayan pada beberapa penggunaan lahan yang berbeda sehingga diharapkan memiliki sifat-sifat fisik tanah berbeda yang berpengaruh terhadap laju pengomposan. Ketiga lahan tersebut adalah lahan kopi, lahan jeruk, dan bera.
Lubang resapan dibuat secara acak mengikuti anjuran yang benar mengenai tata letak pembuatan lubang resapan biopori. Tata letak yang baik yaitu pada saluran pembuangan air, sekeliling pohon, mengikuti perubahan kontur taman, serta pada tepi taman dan samping pagar. Untuk percobaan ini lubang resapan biopori dibuat pada sekeliling pohon. Tata letak LRB di sekeliling pohon di tampilkan di Gambar 1. Adapun kombinasi pemberian sampah kulit buah-buahan di LRB pada setiap penggunaan lahan di tampilkan di Tabel 4.
N-total Kjeldahl neraca analitik, diggestion apparatus, labu kjeldahl, buret, erlenmeyer 100 ml C-organik Pengabuan 700oC cawan porselen, eksikator, neraca,
tanur/furnace
pH H2O 1:1 botol kocok 100 ml, mesin kocok, pH meter Kadar air Gravimetri cawan, timbangan, oven, eksikator,
Tekstur Bouyoucos (Hidrometer)
gelas piala 400ml, milk shaker, hidrometer ASTM, termometer, bak air pengatur suhu, tabung sedimentasi, dan alat penyumbat Kemantapan
agregat
Pengayakan
kering dan basah Ayakan, lumpang, alu, cawan nikel, oven Bobot jenis
partikel
Metode
Piknometer Labu ukur, alat pemanas, timbangan Bobot isi Metode Silinder cawan, timbangan, oven
Permeabilitas Constant head
method Permeameter (pengukuran di lapang) Penetapan
kurva pF Gravimetri
12
Tabel 4. Jenis sampah organik yang digunakan dalam LRB
Penggunaan
Lahan Jenis Sampah
Ulangan
1 2 3
Lahan Kopi (A) Kulit Pisang (S1) AS1(1) AS1(2) AS1(3) Kulit Nanas (S2) AS2(1) AS2(2) AS2(3) Lahan Bera (B) Kulit Pisang (S1) BS1(1) BS1(2) BS1(3) Kulit Nanas (S2) BS2(1) BS2(2) BS2(3) Lahan Jeruk (C) Kulit Pisang (S1) CS1(1) CS1(2) CS1(3) Kulit Nanas (S2) CS2(1) CS2(2) CS2(3)
3.3.2 Pengambilan contoh tanah
Pengambilan contoh tanah dilakukan di lahan kopi, lahan jeruk, dan lahan bera. Pengambilan contoh tanah meliputi: contoh tanah agregat, contoh tanah utuh, dan contoh tanah tidak utuh. Contoh tanah agregat digunakan untuk analisis kemantapan agregat. Contoh tanah utuh digunakan untuk analisis bobot isi, kurva pF, dan permeabilitas. Contoh tanah tidak utuh digunakan untuk analisis kadar air, bobot jenis partikel, dan tekstur tanah. Lokasi pengambilan contoh tanah tampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Skema tata letak LRB dan lokasi pengambilan contoh tanah di setiap penggunaan lahan
Keterangan: : Pohon
: LRB (P : LRB di isi kulit pisang; N : LRB di isi kulit nanas) :Lokasi pengambilan contoh tanah
P1
N3 P3 P2
N2 N1
100 cm
Pengambilan contoh tanah bertempat di sekeliling lokasi LRB dengan metode komposit untuk contoh tanah tidak utuh, jarak antara LRB dengan tempat pengambilan contoh adalah 50 cm. Masing-masing lokasi penelitian diambil 10 contoh tanah utuh, 3 kaleng contoh tanah tidak utuh, dan beberapa contoh tanah agregat. Pengambilan contoh tanah utuh dilakukan pada kedalaman sekitar 2-7 cm dari permukaan tanah.
3.3.3 Analisis tanah
Beberapa metode yang digunakan untuk analisis tanah telah disebutkan pada Tabel 3 yang meliputi analisis: kadar air, tekstur, kemantapan agregat, bobot jenis partikel, bobot isi, permeabilitas, dan kurva pF.
3.3.4 Pengomposan di LRB
Pengomposan di LRB meliputi beberapa tahap, yaitu: pembuatan lubang, pengomposan, dan pengamatan, serta analisis kompos. Pembuatan LRB secara detil ditampilkan pada Lampiran 1.
Pengomposan dilakukan di lahan yang berbeda, yaitu penggunaan lahan kopi, jeruk, dan bera. Namun lokasinya berdekatan dan pada jenis tanah yang sama, yaitu tanah Latosol. Pemilihan penggunaan lahan perkebunan diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap laju pengomposan. Selain itu, akar tanaman perkebunan cukup dalam, sehingga dapat mengambil makanan dan hasil pengomposan di dalam LRB. Berbagai macam penggunaan lahan dan jenis bahan kompos adalah perlakuan dari pengomposan.
14
Pengamatan dan analisis kompos. Hal yang diamati adalah perubahan warna bahan, perubahan volume bahan, perubahan C/N dan perubahan pH kompos dan tanah. Untuk pengamatan perubahan warna dan volume bahan dilakukan seminggu sekali. Sedangkan perubahan C/N rasio dilakukan sebulan sekali. Waktu pengamatan dihitung mulai sejak sampah dimasukkan kedalam lubang resapan biopori. Pengamatan pertama dilakukan seminggu setelah sampah dimasukkan, dengan asumsi sampah organik paling cepat melapuk selama satu minggu. Pengambilan sample tanah untuk analisis warna dengan cara memasukkan tangan ke LRB hingga kedalaman 2-6 cm dari permukaan kompos. Bahan kompos dikembalikan lagi ke LRB setelah dilakukan analisis, hal ini bertujuan agar volume bahan kompos tidak berubah. Perubahan warna diamati menggunakan Munsel Soil Colour Chart. Perubahan volume diamati menggunakan penggaris. Sedangkan perubahan rasio C/N diamati di laboratorium. Pengambilan contoh tanah untuk C, N, dan pH tanah dilakukan dengan cara komposit di sekitar LRB seperti yang terdapat dalam Gambar 1. Sedangkan untuk C, N, dan pH kompos dilakukan dengan cara mengambil dari dalam LRB kemudian dianalilis di laboratorium. Analisis sifat kimia yang diamati adalah: C organik, N total, dan pH. Hal ini di maksudkan untuk mengetahui rasio C/N dari bahan yang diamati.
Nisbah C/N merupakan indikator yang menunjukkan tingkat dekomposisi dari bahan organik tanah. Semakin lanjut tingkat dekomposisinya, maka akan semakin kecil nisbah C/N-nya.
3.3.5 Analisis data
Setelah data diperoleh, maka dianalisis pengaruh penggunaan lahan dan bahan kompos terhadap laju pengomposan dan sifat-sifat kompos. Sifat-sifat fisik tanah yang meliputi: kadar air, tekstur, kemantapan agregat, bobot jenis partikel, bobot isi, permeabilitas, kurva pF dan sifat-sifat kimia tanah yang meliputi: C-organik, N-total, dan rasio C/N dibandingkan secara deskriptif antar ketiga penggunaan lahan.
16
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sifat-sifat Fisik Tanah Lokasi Penelitian
Hasil analisis tanah di lokasi penelitian secara keseluruhan menunjukkan
bahwa tanah Latosol Cikabayan mempunyai tekstur liat dengan kemantapan
agregat tergolong stabil (Tabel 5).
Tabel 5. Sifat-sifat fisik tanah di tiga jenis penggunaan lahan
Jenis
Bobot isi (BI) tanah kebun Cikabayan menunjukkan angka berturut-turut
pada tanah bera, tanah lahan kopi, dan lahan jeruk adalah 1.06 g/cm3, 1.10 g/cm3,
dan 1.11 g/cm3. Sedangkan porositas total atau ruang pori total yang paling tinggi
terdapat pada tanah lahan jeruk.
Permeabilitas tanah yang telah dianalisis menunjukkan kategori cepat,
kecuali pada tanah bera yang menunjukkan kategori agak cepat. Tingginya
permeabilitas tanah di lahan jeruk dapat disebabkan oleh tingginya ruang pori
drainase sangat cepat di lahan tersebut dibandingkan yang lain (Tabel Lampiran
8). Pengkategorian ini mengacu pada klasifikasi permeabilitas menurut Uhland
dan O’neal.
Tanah pada lahan kopi dan jeruk memiliki kadar air yang lebih tingi pada
hisapan matriks yang sama dibandingkan lahan bera. Hal ini di sebabkan oleh
tingginya kandungan bahan organik (humus) pada lahan kopi dan jeruk (Tabel 6).
Tanah yang banyak mengandung bahan organik (humus) mempunyai kemampuan
mengikat air lebih banyak dari pada tanah yang tidak mengandung humus. Bahan
organik berperan penting terhadap kurva pF, diantaranya adalah meningkatkan
kemampuan tanah mengikat air sehingga kurva akan bergeser ke kanan. Hal ini
disebabkan oleh semakin baiknya agregasi tanah, sehingga jumlah pori pengikat
Gambar 2. Kurva pF pada berbagai penggunaan lahan
4.2 Kadar C dan N bahan kompos dan tanah lokasi penelitian
Kandungan C-org, N-total, dan rasio C/N tanah lapisan 0-10 cm dan bahan
segar ditampilkan pada Tabel 6. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa lahan kopi
memiliki C-organik dan N-total serta rasio C/N yang lebih tinggi dibandingkan
dengan penggunaan lahan yang lain. Pada tanah bera C-organik dan N-total paling
rendah serta rasio C/N rendah. Perbedaan kandungan C-organik dan N-total
diberbagai penggunaan lahan disebabkan oleh akumulasi bahan organik yang
berasal dari dekomposisi serasah. Selain itu, perbedaan konsentrasi N pada tanah
dapat disebabkan oleh pupuk yang diberikan pada tanah. Pada bahan kompos
segar, kulit pisang memiliki rasio C/N yang sedikit lebih tinggi dibandingkan
dengan kulit nanas.
Tabel 6. Kandungan C-org, N-total, dan rasio C/N tanah lapisan 0-10 cm dan bahan segar
Bahan C-Org (%) N-total (%) Rasio C/N
Tanah Kopi 2.75 0.24 11.6
Tanah Jeruk 2.23 0.21 10.9
Tanah Bera 1.76 0.18 9.8
Kulit Pisang 45.23 1.57 28.82
18
4.3 Sifat-sifat kompos
Beberapa sifat kompos terkait dengan bahan kompos (kulit pisang dan
kulit nanas) adalah: perubahan warna, penurunan volume, nisbah C/N, dan tingkat
kemasaman (pH). Pengamatan perubahan warna dan penurunan volume kompos
dilakukan seminggu sekali selama delapan minggu, sedangkan nisbah C/N
dilakukan empat minggu sekali selama delapan minggu.
4.3.1 Perubahan warna bahan kompos
Proses dekomposisi dicirikan oleh terjadinya perubahan warna. Kompos
yang sudah matang biasanya berwarna gelap atau kehitaman. Kompos yang telah
berwarna hitam menunjukkan pengomposan berjalan secara aerobik (Sutanto,
2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengomposan,
maka warna kompos menjadi lebih gelap (Tabel 7). Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Anif, Rahayu, dan Faatih (2007) yang menunjukkan bahwa warna
kompos berubah dari coklat pada minggu ke-0 menjadi hitam kecoklatan pada
minggu ke-8.
Kilap (hue) semua jenis kompos kulit pisang dan nanas sama, yaitu 5
(Tabel 7), sedangkan value dan chroma tidak jauh berbeda. Value dan chroma
kompos dari kulit pisang berkisar antara 2.5, 3, dan 4, namun yang membedakan
keduanya adalah hasil akhir setelah berumur delapan minggu. Bahan kompos dari
kulit pisang memiliki nilai warna 5YR2,5/1 (Hitam pada Gambar 3A), sedangkan
bahan kompos dari kulit nanas memiliki nilai warna 5YR2,5/2 (Coklat tua pada
Gambar 3B). Sampah kulit pisang memiliki warna yang lebih gelap dibandingkan
dengan sampah kulit nanas. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah zat etilen pada kulit pisang lebih banyak dari pada kulit nanas
(Scott dan Robert 1987). Etilen adalah zat yang mempercepat pematangan buah.
Semakin tinggi zat etilen yang terkandung dalam buah maka buah akan cepat
matang dan busuk sehingga warna akan lebih gelap dibandingkan dengan buah
yang memiliki sedikit etilen. Dapat disimpulkan bahwa kompos dari bahan kulit
pisang memiliki warna lebih baik. Warna kompos yang sudah matang adalah
coklat kehitam-hitaman (Isroi, 2008). Kompos berkualitas baik memiliki ciri-ciri
Tabel 7. Perubahan Warna Kompos pada beberapa minggu
Penggunaan Lahan
Jenis Sampah
Warna pada minggu ke
0 1 4 6 8
5YR3/2 Abu-abu coklat kemerahan 5YR3/1 Abu-abu sangat gelap 5YR2.5/1 Hitam 5YR2.5/1 Hitam
5YR3/1 Abu-abu sangat gelap 5YR2.5/1 Hitam 5YR2.5/1 Hitam 5YR2.5/1 Hitam
5YR4/2 Abu-abu gelap kemerahan 5YR2.5/1 Hitam 5YR2.5/1 Hitam 5YR2.5/1 Hitam
Kulit Nanas
5Y6/8 (Hijau kekuningan)
5YR4/2 Abu-abu gelap kemerahan 5YR2.5/2 Abu-abu coklat kemerahan 5YR2.5/2 Abu-abu coklat kemerahan 5YR2.5/2 Abu-abu coklat kemerahan 5YR3/3 Abu-abu coklat kemerahan 5YR2.5/2 Abu-abu coklat kemerahan 5YR2.5/2 Abu-abu coklat kemerahan 5YR2.5/2 Abu-abu coklat kemerahan 5YR4/2 Abu-abu gelap kemerahan 5YR3/1 Abu-abu sangat gelap 5YR2.5/2 Abu-abu coklat kemerahan 5YR2.5/2 Abu-abu coklat kemerahan
Jeruk
5YR3/1 Abu-abu sangat gelap 5YR2.5/1 Hitam 5YR2.5/1 Hitam 5YR2.5/1 Hitam
5YR3/2 Abu-abu coklat kemerahan 5YR2.5/1 Hitam 5YR2.5/1 Hitam 5YR2.5/1 Hitam
Kulit Nanas
5Y6/8 (Hijau kekuningan)
5YR4/1 Abu-abu gelap 5YR3/1 Abu-abu sangat gelap 5YR2.5/2 Abu-abu coklat kemerahan 5YR2.5/2 Abu-abu coklat kemerahan 5YR3/3 Abu-abu coklat kemerahan 5YR3/1 Abu-abu sangat gelap 5YR2.5/2 Abu-abu coklat kemerahan 5YR2.5/2 Abu-abu coklat kemerahan 5YR4/2 Abu-abu gelap kemerahan 5YR3/1 Abu-abu sangat gelap 5YR2.5/2 Abu-abu coklat kemerahan 5YR2.5/2 Abu-abu coklat kemerahan
Bera
5YR3/2 Abu-abu coklat kemerahan 5YR2.5/1 Hitam 5YR2.5/1 Hitam 5YR2.5/1 Hitam
5YR3/1 Abu-abu sangat gelap 5YR2.5/1 Hitam 5YR2.5/1 Hitam 5YR2.5/1 Hitam
Kulit Nanas
5Y6/8 (Hijau kekuningan)
20
Gambar 3. Hasil akhir bahan kompos kulit pisang (Hitam 5YR2.5/1) (A) dan bahan kompos kulit nanas (Coklat tua 5YR2.5/2) (B)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bahan kompos mengalami
perubahan warna yang berbeda, dimana kulit pisang memiliki warna lebih gelap
dibandingkan dengan kulit nanas. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah: penggunaan lahan tidak jauh berbeda, pengomposan
dilakukan pada jenis tanah yang sama, dan tempat yang berdekatan.
4.3.2 Laju penurunan volume bahan kompos
Sejalan dengan proses penguraian bahan organik menjadi kompos,
maka terjadi penurunan volume kompos. Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa bahan
kompos kulit nanas menunjukkan penurunan volume yang lebih besar
dibandingkan kulit pisang. Hal ini disebabkan oleh tingginya kadar air kulit nanas
segar, yang kemudian turun secara drastis pada saat menjadi kompos sehingga
mempengaruhi penurunan volume yang besar. Kadar air kulit pisang yang masih
segar tidak terlalu tinggi, sehingga penurunan volumenya lebih kecil dari pada
kulit nanas. Kadar air pada kulit nanas dan kulit pisang tersebut dapat dilihat
secara visual dan dirasakan dengan jari.
Tabel 8. Penurunan volume bahan kompos dari segar hingga menjadi kompos
Penggunaan lahan
Volume akhir (%)
Rataan (%) Kulit
pisang
Kulit nanas
Kopi 50.83 66.67 58.75
Jeruk 57.92 65.42 61.67
Bera 61.25 52.08 56.67
Rataan (%) 56.67 61.39 A
Menurut Djaja (2008), volume bahan kompos menyusut menjadi sepertiga
dari awal. Hasil penelitian Mulyadi (2008) menunjukkan bahwa pengomposan
berbahan dasar jerami padi menghasilkan 54% volume awal, sedangkan menurut
Seno (2010), penurunan berat bahan kompos pada beberapa perlakuan sebesar 25,
30, dan 28%.
Penurunan volume bahan kompos pada berbagai penggunaan lahan dan
bahan kompos ditampilkan di Gambar 4. Penurunan volume bahan kompos setiap
minggu tidak teratur, namun memiliki pola yang sama, yaitu menunjukkan
penurunan secara terus-menerus selama delapan minggu. Hal ini menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan laju penurunan volume di tiga penggunaan lahan yang
diduga disebabkan oleh perbedaan sifat-sifat tanah pada ketiga penggunaan lahan
tersebut.
A
B
Gambar 4. Pengaruh tiga penggunaan lahan terhadap penurunan volume (A) dan Pengaruh dua bahan kompos terhadap penurunan volume (B)
Gambar 4A menunjukkan pengaruh dari ketiga penggunaan lahan terhadap
volume kompos tiap minggu. Laju penurunan volume kompos di lahan kopi dan
22
akhir pengomposan (minggu ke 8) volume kompos di lahan jeruk lebih rendah
dibandingkan dengan lahan yang lain. Laju pengomposan dapat ditingkatkan
dengan mencacah bahan kompos sebelum dimasukkan ke dalam LRB.
Pencacahan berguna untuk mempermudah dan mempercepat degradasi oleh
mikroorganisme. Namun pengomposan di dalam LRB tidak perlu dilakukan
pencacahan, karena sudah terdapat organisme yang dapat
menghancurkan/mencacah sampah seperti cacing, rayap, semut, kecoa, dan
lain-lain.
Gambar 4B menunjukkan pengaruh dari kedua jenis bahan kompos
terhadap volume kompos. Sampah kulit pisang dan kulit nanas mengalami
penurunan volume relatif sama selama delapan minggu, tetapi di minggu ke 8
volume kompos kulit nanas lebih rendah daripada kompos kulit pisang.
4.3.3 Perubahan nisbah C dan N bahan kompos
Kandungan C-organik kompos semakin menurun seiring bertambahnya
waktu pengomposan (Tabel 9). Sebaliknya, kandungan N-total semakin
meningkat, sehingga didapatkan C/N rasio kompos yang semakin menurun
dengan semakin lamanya waktu pengomposan.
Pengomposan adalah dekomposisi bahan organik segar menjadi bahan
yang menyerupai humus dan rasio C/N akan mendekati 10 (Indranada, 1986).
Pernyataan tersebut mendukung penelitian ini yang menyebutkan terjadinya
penurunan rasio C/N hingga mendekati angka 10. Penurunan kandungan
C-organik ini dimungkinkan karena karbon digunakan oleh bakteri karena karbon
merupakan sumber energi bagi bakteri untuk merombak bahan organik. Karbon
adalah komponen dan merupakan 50 persen dari bagian massa sel mikroba
(Kardin, 2005). Selain itu, karbon banyak yang berubah menjadi CO2 dan
menguap ke udara (Sutanto, 2002). Perubahan rasio C/N merupakan akibat
dekomposisi dan stabilisasi bahan organik saat pengomposan karena
mikroorganisme menggunakan karbon sebagai sumber energi dan nitrogen
sebagai pembentuk struktur selnya. Menurut Sutanto (2002) setelah perombakan
selesai, mikroorganisme pengurai akan mati. Konsekuensinya unsur hara
menjadi lebih rendah karena banyak karbon yang berubah menjadi CO2 dan
menguap ke udara. Namun sebaliknya kandungan nitrogennya justru meningkat.
Jika dilihat dari Tabel 9, maka dapat dikatakan bahwa lahan jeruk memiliki
rasio C/N bahan kompos paling tinggi baik pada bulan pertama maupun kedua.
Hal ini disebabkan oleh tingginya C-organik dan rendahnya N-total yang
menunjukkan bahwa laju dekomposisi di lahan jeruk lebih lambat (Gambar 4A).
Pada lahan kopi rasio C/N bahan kompos relatif lebih rendah dibandingkan
dengan kedua penggunaan lahan lainnya.
Tabel 9. Kandungan C-org, N-total, dan rasio C/N pada bahan kompos
Penutup
4.3.4 Tingkat kemasaman kompos dan tanah
Faktor waktu pengomposan berpengaruh nyata terhadap pH tanah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pH tanah awal pengomposan, tanah dan kompos
berumur 30 hari, dan setelah 60 hari masing-masing sebesar 6.5, 6.8, dan 6.9 atau
berada pada kisaran netral. Pengukuran dilakukan pada kompos dan tanah sekitar
mulut LRB, keduanya memiliki pH yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa
penambahan kompos dapat meningkatkan pH tanah. Menurut Yuwono (2007)
Pemberian kompos ternyata membantu meningkatkan pH tanah. Peningkatan pH
tanah ini diduga disebabkan adanya efek asam-asam organik dalam mengikat ion
Al dan meningkatkan KTK tanah. Asam-asam organik tersebut dapat mengkhelat
ion Al sehingga menghambat hidrolisis Al yang akan menghasilkan ion H+,
24
Tabel 10. Tingkat kemasaman (pH) tanah dan kompos
Bahan kompos pH Rataan
0 HSB 30 HSB 60 HSB
Kulit pisang 6.6 6.9 6.9 6.80
Kulit nanas 6.5 6.8 6.9 6.73
Tanah di sekitar LRB (0-10cm) 6.4 6.7 6.9 6.67
Rataan 6.5 6.8 6.9
Keterangan: HSB = Hari setelah benam
Tabel 10 merupakan nilai pH rata-rata dari tiga penggunaan lahan yang
berbeda, dimana kompos 60 hari memiliki pH yang paling mendekati netral
dimana peluang unsur hara lebih tersedia. Hal ini didukung oleh penelitian Isroi
(2008) yang mengatakan bahwa kompos yang sudah matang biasanya mendekati
netral. pH dapat menunjukkan mudah tidaknya unsur hara diserap oleh tanaman,
pada umumnya unsur hara mudah diserap pada pH netral, karena pada pH netral
unsur hara mudah larut dalam air. pH tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman
secara langsung, tetapi mempengaruhi kelarutan unsur-unsur hara sehingga
menentukan ketersediaan hara bagi tanaman.
Oleh karena itu, kandungan hara kompos dari hasil pengomposan di LRB
sebaiknya dianalisis agar dapat diketahui kualitas komposnya. Untuk itu perlu
dilakukan penelitian lanjutan tentang penetapan kandungan hara kompos hasil
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Pengomposan di dalam lubang resapan biopori dengan menggunakan
bahan beberapa jenis kulit buah-buahan, yaitu kulit pisang dan kulit nanas pada
berbagai penggunaan lahan membutuhkan waktu 60 hari. Penggunaan lahan
berpengaruh nyata terhadap penurunan volume kompos, dimana lahan kopi dan
bera memiliki laju penurunan yang lebih cepat dibandingkan dengan lahan jeruk.
Sedangkan penggunaan kedua bahan kompos mengalami laju dekomposisi dan
perubahan warna yang berbeda, dimana kulit pisang memiliki warna lebih gelap
dibandingkan dengan kulit nanas. Kualitas kompos yang dihasilkan dapat
dikatakan baik, karena diindikasikan oleh: warna bahan menjadi gelap, volume
turun hingga sepertiga, rasio C/N mendekati 10, dan pH mendekati netral.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap komposisi unsur kimia
yang terkandung dalam kompos yang berasal dari beberapa jenis sampah
BAB VI. DAFTAR PUSTAKA
Anif S, T. Rahayu, M. Faatih. 2007. Pemanfaatan Limbah Tomat sebagai pengganti EM-4 Pada Proses Pengomposan Sampah Organik. Surakarta: Jurusan Pendidikan Biologi FKIP, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Apriadji, W.H. 2002. Memproses Sampah. Penebar Swadaya. Jakarta.
Brata, K.R. dan A. Nelistya. 2008. Lubang Resapan Biopori. Penebar Swadaya. Jakarta.
Djaja, W. 2008. Langkah Jitu Membuat Kompos dari kotoran Ternak dan Sampah Agromedia Pustaka. Jakarta
Hadiwiyoto, S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan sampah. Yayasan Idayu. Jakarta.
Hardjowigeno, S. 1989. Ilmu Tanah. Maduataman Sarana Pratama. Jakarta Indranada, H.K. 1986. Pengelolaan Kesuburan Tanah. PT Bina Aksara. Jakarta.
Isroi, 2008. Cara Sederhana Menguji Kualitas Kompos. [21 Oktober 2011]
Kardin, D. 2005. Teknologi Kompos. 2011]
Mulyadi, A. 2008. Karakteristik Kompos Dari Bahan Tanaman Kaliandra Jerami dan Sampah Sayuran [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu Tanah dan Suberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor.
Murbandono, H.S.L. 1999. Membuat Kompos. Penebar Swadaya. Jakarta. Obeng L.A. dan F.W. Wright. 1987. Co-composting of domestic solid and human
wastes. World Bank technical paper ISSN 0253-7494 number 57.
Washington, D.C. The World Bank.
Robert W dan M.J. Scott. 1987. Metode Pengawetan Buah Segar.
Oktober 2011]
Rynk, R. 1992. On-Farm Composting Handbook. Northeast Regional Agricultural Engineering Service Pub. No. 54. Cooperative Extension Service. Ithaca, N.Y. 1992; 186pp. A classic in on-farm composting. Website:
Samosir, R.D. 2010. Studi Pengaruh Waktu Pengomposan Terhadap Kandungan Karbon Dan Nitrogen Di Dalam Kompos Hidrilla [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara.
[18 Januari 2012]
Seno, A. 2010. An Integrated Solution Model For Developing The Excellent Performance of Oil Palm Production In The Global Bussines Enviroment. JP. STIPAP 1 (1) : 3 - 9 (2010).
Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
28
Lampiran 1.
Pembuatan lubang biopori: Pembuatan lubang resapan biopori dimulai dengan
penentuan lokasi yang tepat pada setiap penggunaan lahan dan terdiri dari 6
lubang di setiap lokasi. Setelah didapat lokasi, pembuatan lubang dilakukan
dengan menggunakan bor tanah. Ada tahap-tahap dalam pembuatan lubang yaitu :
Persiapan peralatan seperti bor, golok, dan bambu. Mulai membuat lubang
menggunakan bor, posisikan mata bor pada permukaan tanah. Tangkai bor
ditegakkan secara vertikal. Putar bor searah jarum jam sambil menekan bor ke
dalam tanah. Setelah bor masuk sedalam 20 cm atau setelah mata bor terlihat
penuh dengan tanah, tarik bor keluar dengan sedikit memutar tetap searah jarum
jam. Keluarkan tanah dalam mata bor dengan menggunakan golok atau bambu
sehingga bersih dari tanah. Lanjutkan kembali pemboran. Setiap kali mata bor
penuh terisi tanah atau setiap kali bor menembus 10 cm, angkat kembali bor lalu
bersihkan seperti tahap sebelumnya. Lakukan terus hingga mencapai kedalaman
80 cm. Bila pembuatan satu lubang telah selesai, kembali buat lubang lain hingga
mencapai enam lubang resapan pada satu jenis penggunaan lahan.
Lampiran 2.
Kadar air tanah pada berbagai tekanan
No
RPT-pF1 pF1-pF2 pF2-pF2.54 pF2.54-pF4
Lampiran 3.
Sifat fisik tanah pada tiga penggunaan lahan
30
Lampiran 4.
Klasifikasi indeks stabilitas agregat metode pengayakan
Kelas Indeks stabilitas
Sangat stabil sekali > 200
Sangat stabil 80 – 200
Stabil 66 – 80
Agak stabil 50 – 66
Kurang stabil 40 – 50
Tidak stabil < 40
Lampiran 5.
Klasifikasi permeabilitas menurut Uhland dan O’neal
Kelas Permeabilitas (cm/jam)
Sangat Lambat < 0.125
Lambat 0.125 – 0.5
Agak Lambat 0.5 – 2.0
Sedang 2.0 – 6.25
Agak Cepat 6.25 – 12.25
Cepat 12.25 – 25
Sangat Cepat > 25
Lampiran 6.
Kisaran bobot isi pada berbagai jenis tanah menurut Hakim (1986)
Jenis tanah Bobot isi (g/cm3)
Podsolik merah kuning (ultisol) 1.10 – 1.35
Regosol (entisol) 1.07 – 1.48
Aluvial (entisol/inseptisol) 1.02 – 1.42
Grumusol (vertisol) 0.98 – 1.37
Mediteran (alfisol/inseptisol) 0.97 – 1.48
Latosol (inseptisol) 0.93 – 1.11
Gley humus rendah (gleisol) 0.90 – 0.22
Andosil (inseptisol) 0.68 - 0.86
Lampiran 7.
Perubahan Warna Kompos setiap minggu
Penggunaan
5YR2.5/1 5YR2.5/1 5YR2.5/1 5YR2.5/1 5YR2.5/1 5YR2.5/1 5YR2.5/1 5YR2.5/1
5YR3/1 5YR2.5/1 5YR2.5/1 5YR2.5/1 5YR2.5/1 5YR2.5/1 5YR2.5/1 5YR2.5/1
5YR2.5/1 5YR2.5/1 5YR2.5/1 5YR2.5/1 5YR2.5/1 5YR2.5/1 5YR2.5/1 5YR2.5/1
32
Lampiran 8.
Volume Kompos setiap minggu selama pengomposan
Lampiran 9.
Rasio C/N dari bahan kompos dan tanah pada tiga penggunaan lahan
34
Lampiran 10.
Beberapa foto-foto penelitian
Tanah Kopi Tanah Jeruk Tanah Bera Hasil Akhir Pengomposan
K.Pisang K.Nanas
LRB M0 K.Pisang
1.1 Latar Belakang
Sampah yang dihasilkan oleh manusia semakin bertambah seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Apabila tidak ada kesadaran manusia untuk mengolahnya, maka sampah akan menjadi masalah serius. Di Indonesia, masalah yang terjadi akibat adanya sampah cukup banyak, diantaranya berupa pencemaran lingkungan ataupun bencana yang langsung menelan korban seperti banjir dan longsor.
Berdasarkan bahan/sifat kimia yang terkandung didalamnya, sampah dibedakan ke dalam dua golongan yaitu sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik terdiri dari sisa-sisa makanan, pembungkus dari daun, serta daun-daunan dari kebun atau taman, sedangkan sampah anorganik yaitu pembungkus dari plastik dan kertas, pakaian-pakaian bekas, bahan-bahan bacaan, serta perabot rumah tangga.
Jumlah sampah yang dihasilkan di Indonesia dalam skala nasional sangat banyak, mencapai 200.000 ton/hari (Kompas, 22 Februari 2010). Sumber sampah tersebut berasal dari pemukiman (domestik wastes), tempat umum, perkantoran, jalan raya, kawasan industri, lahan pertanian, dan area penambangan. Sampah-sampah tersebut selanjutnya dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir), dan di TPA sampah bertumpuk dari hari-kehari. Apabila sampah-sampah ini dibiarkan dapat menimbulkan masalah yang lebih serius.
2
Hadirnya teknologi Lubang Resapan Biopori memungkinkan sampah organik dikelola langsung di sumbernya dengan output berupa kompos. Terutama untuk sampah rumah tangga, dapat dikelola langsung oleh rumah tangga di tempat sumbernya sehingga tidak perlu diangkut ke TPS ataupun TPA. Dengan demikian biaya menjadi lebih murah dan tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan.
Teknologi Lubang Resapan Biopori (LRB) pada dasarnya telah dikenal masyarakat luas sebagai teknologi untuk meresapkan air lebih cepat. Disamping itu LRB memiliki peranan penting dalam membantu pengelolaan sampah sehingga sampah bisa dikelola lebih dekat dari sumbernya. Pada teknologi Lubang Resapan Biopori, sampah dimasukkan kedalam lubang dengan diameter 10 cm dan kedalaman 100 cm yang dibuat di pekarangan rumah atau taman. Sampah yang dimasukkan kedalam lubang tersebut selanjutnya menjadi sumber makanan bagi biota dalam tanah. Fauna tanah dapat memproses sampah tersebut dengan memperkecil ukuran dan mencampurkannya dengan mikroba tanah yang secara sinergi dapat mempercepat proses pengomposan secara alami (Brata dan Nelistya, 2008).
Laju dekomposisi sampah di LRB belum banyak diketahui. Begitu juga proses dekomposisi berbagai macam bahan organik di LRB juga belum banyak diketahui. Salah satu sumber sampah organik yang memerlukan penanganan adalah limbah buah-buahan. Pisang dan nanas adalah jenis buah-buahan yang tidak mengenal musim, dimana sepanjang tahun selalu ada. Selain itu sampah kulit buah-buahan adalah sampah yang banyak dihasilkan oleh rumah tangga. Hal ini menimbulkan penumpukan sampah sisa buah-buahan bila tidak dicari solusi untuk mempercepat penanganan sampah tersebut (pengomposan). Disamping itu pengomposan di LRB juga ditujukan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah disekitar LRB. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan di berbagai penggunaan lahan baik di lahan perkebunan yang memiliki perakaran dalam maupun di lahan yang telah lama diberakan dengan asumsi berbagai lahan tersebut memiliki sifat-sifat yang berbeda.
1.2 Tujuan
2.1 Sampah Organik
Sampah merupakan sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh masyarakat. Menurut Hadiwiyoto (1983), sampah adalah sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan-perlakuan, baik karena telah diambil bagian utamanya, melalui proses pengolahan, atau karena sudah tidak ada manfaatnya. Sedangkan menurut Apriadji (2002), sampah atau dalam bahasa inggrisnya waste, adalah zat atau benda-benda yang sudah tidak terpakai lagi, baik berupa bahan buangan yang berasal dari rumah tangga maupun dari pabrik sebagai sisa proses industri. Sampah merupakan bahan buangan yang tidak diperlukan lagi. Brata dan Nelistya (2008), mengartikan sampah sebagai sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya.
Berdasarkan zat kimia yang dikandungnya, sampah dikelompokkan kedalam sampah anorganik dan sampah organik. Sampah organik adalah sampah yang pada umumnya dapat membusuk seperti sisa-sisa makanan, daun-daunan, dan buah-buahan (Brata dan Nelistya, 2008). Sampah organik ini biasanya merupakan bahan-bahan yang tidak dapat didaur ulang dan dipakai lagi, akan tetapi merupakan bahan yang terdekomposisi relatif cepat dan dapat dimanfaatkan dalam bentuk lain seperti kompos. Berdasarkan asalnya, yang tergolong sampah organik adalah bahan-bahan yang berasal dari mahluk hidup seperti sisa-sisa dari tumbuhan, hewan, ataupun manusia. Bila digolongkan kedalam asal tersebut, kertas ataupun karton termasuk kedalam sampah organik, namun karena barang tersebut bisa didaur ulang seperti kaleng, kaca, ataupun logam, maka digolongkan kedalam sampah anorganik.
4
2.2 Lubang Resapan Biopori
Biopori merupakan ruangan atau pori dalam tanah yang dibentuk oleh mahluk hidup, seperti fauna tanah dan akar tanaman. Bentuk biopori menyerupai liang (terowongan kecil) dan bercabang-cabang yang sangat efektif untuk menyalurkan air dan udara dalam tanah. Liang pada biopori terbentuk oleh adanya pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman di dalam tanah serta meningkatnya aktifitas fauna tanah, seperti cacing tanah, rayap, dan semut yang menggali liang di dalam tanah. Jumlah dan ukuran biopori akan terus bertambah mengikuti pertumbuhan akar tanaman serta peningkatan populasi dan aktivitas organisme tanah (Brata dan Nelistya, 2008).
Lubang resapan biopori (LRB) merupakan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan untuk mengatasi banjir berbentuk lubang silindris berdiameter sekitar 10 cm yang digali di dalam tanah dan diberikan bahan organik ke dalam lubang untuk makanan fauna tanah sehingga terbentuk biopori. Kedalamannya tidak melebihi muka air tanah, yaitu sekitar 100 cm dari permukaan tanah. LRB dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam meresapkan air. Air tersebut meresap melalui biopori yang menembus permukaan dinding LRB ke dalam tanah di sekitar lubang. Dengan demikian, akan menambah cadangan air dalam tanah serta menghindari terjadinya aliran air di permukaan tanah (Brata dan Nelistya, 2008).
Struktur biopori berupa liang memanjang bercabang-cabang sehingga dapat memperlancar peresapan air ke segala arah di sekitar LRB. Biopori diperkuat oleh senyawa organik yang berasal dari organisme tanah, sehingga cukup mantap dan tidak mudah rusak. Dengan demikian, akan selalu tersedia jalan untuk meresapnya air dan udara ke dalam tanah. Di dalam biopori tersedia cukup bahan organik, air, oksigen, dan unsur hara sehingga cocok bagi perkembangan akar tanaman dan organisme tanah, termasuk mikroorganisme yang membantu pelapukan sampah (Brata dan Nelistya, 2008).
serta menjaga kebersihan, mengubah sampah menjadi kompos, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan mengatasi masalah akibat genangan.
2.3 Kaitan LRB dengan Sampah Organik Kulit Buah
Kawasan pasar merupakan penyumbang terbesar sampah dari total sampah yang dihasilkan setiap harinya. Hal ini sangat logis karena setiap pedagang buah baik yang menjual langsung buah ataupun membuat jus menghasilkan sampah, baik sampah organik maupun anorganik. Sampah organik yang dihasilkan pedagang jus buah atau makanan dari buah yaitu sampah organik kulit buah sisa-sisa buah.
Menurut Brata dan Nelistya (2008), sampah rumah tangga, dalam hal ini termasuk kulit buah, terdiri dari 60-70% sampah organik. Sampah organik merupakan sumber makanan yang sangat dibutuhkan oleh organisme tanah. Oleh karena itu sampah organik setiap rumah tangga bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki ekosistem tanah. Lubang resapan biopori dapat mempermudah penanganan sampah organik, dengan memasukkannya ke dalam tanah untuk menghidupi biota tanah. Fauna tanah dapat memproses sampah tersebut dengan cara memperkecil ukuran dan mencampurkannya dengan mikroba tanah yang secara sinergi dapat mempercepat proses pengomposan secara alami. Dengan segera dimasukkannya sampah organik ke dalam LRB, maka tidak terjadi penumpukan sampah baik di TPS ataupun TPA.
2.4 Kompos dan Pengomposan
6
macam faktor. Sutanto (2002) menyebutkan faktor-faktor tersebut yaitu kelembaban, aerasi, penghalusan dan pencampuran bahan, nisbah C/N, nilai pH, dan suhu.
Proses mikrobiologi yang terjadi selama pengomposan dilakukan oleh bakteri, aktinomisetes, serta jamur. Ketiga mikroba ini mutlak memerlukan bahan organik yang digunakan untuk pertumbuhannya. Bakteri adalah organisme sederhana dan kecil yang sering disebut juga dengan hewan berklorofil. Bentuknya bermacam-macam dan ukurannya berkisar 0,5-20 mikron. Aktinomisetes yang sering juga disebut aktinimisit merupakan mikroba yang berkembang membentuk filamen seperti jamur. Ukuran kecil dan struktur selnya yang rumit menyebabkan aktinomisetes dikelompokkan sebagai bakteri. Jamur merupakan organisme yang lebih besar namun tidak memiliki klorofil. Tubuh jamur terdiri dari helaian panjang yang disebut miselium (Djaja, 2008).
Banyak kriteria sehingga suatu bahan organik telah layak disebut sebagai kompos. Murbandono (1999), menyebutkan bahwa bahan organik yang layak dikatakan kompos apabila C/N rasio nya telah mendekati C/N rasio tanah. Telah diketahui bahwa rata-rata C/N rasio tanah pertanian berkisar 10-12. Namun selain C/N rasio mendekati C/N rasio tanah banyak sumber yang mengatakan bahwa syarat kompos yaitu warna berubah menjadi gelap, sifatnya mudah hancur, dan beraroma seperti tanah.
Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka dekomposer tersebut akan bekerja giat untuk mendekomposisi limbah organik. Apabila kondisinya kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman, pindah ke tempat lain, atau bahkan mati. Menciptakan kondisi yang optimum untuk proses pengomposan sangat menentukan keberhasilan proses pengomposan itu sendiri. Menurur Rynk (1992) faktor-faktor yang memperngaruhi proses pengomposan antara lain:
Rasio C/N: Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30:
rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat.
Ukuran Partikel: Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak
antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.
Aerasi: Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen
(aerob). Aerasi ditentukan oleh porositas dan kandungan air bahan (kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap.
Porositas: Porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos.
Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplay Oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu.
Kelembaban (Moisture content): Kelembaban memegang peranan yang sangat
penting dalam proses metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplay oksigen. Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40 - 60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap.
Temperatur: Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungan langsung
8
hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih-benih gulma.
pH: Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6.8 hingga 7.4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal, akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral.
Kandungan hara: Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan
dan biasanya terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengomposan.
Kandungan bahan berbahaya: Beberapa bahan organik ada yang mengandung
bahan-bahan berbahaya bagi kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nickel, Cr adalah beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses pengomposan.
Berikut adalah Tabel C/N rasio beberapa bahan organik yang berguna untuk membandingkan C/N rasio sesama bahan organik termasuk kulit pisang dan kulit nanas..
Tabel 1. C/N rasio beberapa bahan organik
Bahan C/N Rasio
Sisa makanan 15
Dedaunan 50
Jerami 80
Sisa-sisa buah-buahan 35
Pupuk kandang kering 20
Sumber : Obeng and Wright (1987)
2.5 Pengomposan dalam Lubang Resapan Biopori
daun-daunan, dan kotoran hewan lama-kelamaan membusuk karena kerja sama antara mikroorganisme dengan cuaca. Pengomposan dalam LRB menciptakan kondisi alami seperti disebutkan diatas, akan tetapi proses pengomposan dalam LRB bisa berlangsung lebih cepat dari kondisi biasa. Hal ini dikarenakan sampah organik dimasukkan langsung kedalam tanah dimana mikroorganisme berada. Hal tersebut dianalogikan sebagai makanan yang disodorkan langsung terhadap konsumennya sehingga proses yang terjadi bisa lebih cepat.
Lubang resapan biopori dibuat dengan menggali lubang vertikal ke dalam tanah. Diameter lubang yang dianjurkan sekitar 10 cm dengan kedalaman sekitar 100 cm atau tidak melebihi/mencapai kedalaman permukaan air tanah. Pemilihan dimensi yang dianjurkan tersebut untuk efisiensi penggunaan ruang horizontal yang semakin terbatas dan mengurangi beban pengomposan. LRB berdiameter 10 cm dengan kedalaman 100 cm hanya menggunakan permukaan horizontal 79 cm2 menghasilkan permukaan vertikal dengan luas dinding lubang 0,314 m2, berarti memperluas permukaan tanah 40 kali yang dapat kontak langsung dengan bahan kompos. Volume sampah yang tertampung dalam lubang tidak lebih dari 7,9 liter dan menimbulkan beban pengomposan maksimum 25 liter/m2. Peningkatan diameter lubang akan mengakibatkan penurunan luas permukaan tanah, sehingga beban pengomposan akan meningkat. Untuk lebih jelas hubungan diameter LRB dengan pertambahan luas permukaan dan beban pengomposan bisa dilihat dalam Tabel 2 (Brata dan Nelistya, 2008).
Tabel 2. Hubungan Diameter Lubang Resapan Biopori dengan Pertambahan Luas Permukaan dan Beban Pengomposan
Diameter