• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indeks Glikemik Berbagai Produk Tiwul Berbasis Singkong (Manihot Esculenta Crantz) pada Orang Normal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Indeks Glikemik Berbagai Produk Tiwul Berbasis Singkong (Manihot Esculenta Crantz) pada Orang Normal"

Copied!
241
0
0

Teks penuh

(1)

IMAS SEPTIYANI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

Cassava (Manihot esculenta Crantz) in Normal People. Under Direction of RIMBAWAN and YEKTI HARTATI EFFENDI

Tiwul is an Indonesian traditional food made from Cassava. Cassava is pounded or mashed and then steamed. Currently, commercial instant tiwul is relative easily found in the community. Commercial based tiwul industries state that the product is good for people with diabetes mellitus. However, until now there has been no study on the glycemic index value of tiwul. The purpose of this study is to observe the glycemic index of various tiwul food products based on cassava in normal people. Three types of tiwul used in this study were 1) conventional tiwul with fresh flavor, 2) commercial instant tiwul with sugar and, 3) tiwul high in protein with the addition of soy protein isolate. Subjects in this study were 10 normal individuals (healthy), consisting of 5 men and 5 women who are free from diabetes, liver and kidney diseases based on results of laboratory data including fasting blood glucose, 2 hours post prandial blood glucose, levels of bilirubin (direct and total), SGOT, SGPT, and creatinine blood levels. The measurement results show that the glycemic index of different of types tiwul have different glycemic responses eventhough they remained the same in one category. The values of glycemic indexes of conventional tiwul (94,74), commercial instant tiwul (96,91), and high protein instant tiwul (71,92) are in the category of food with high glycemic index value (GI>70). Results of analysis of variance showed that differences in the type of tiwul have no effect on the glycemic index values (p>0,05).

(3)

(Manihot Esculenta Crantz) pada Orang Normal. Dibawah bimbingan RIMBAWAN dan YEKTI HARTATI EFFENDI.

Salah satu cara pengaturan makan atau diet untuk mengatasi masalah gizi kurang dan gizi lebih dapat dilakukan melalui pemilihan jumlah dan jenis karbohidrat yang tepat menggunakan konsep Indeks Glikemik. Ketela atau singkong merupakan salah satu bahan pangan sumber karbohidrat alternatif yang sangat potensial untuk dikembangkan. Singkong dapat diolah menjadi tiwul. Untuk meningkatkan nilai gizi tiwul dapat dilakukan dengan menambahkan protein sehingga tiwul tidak hanya sebagai pangan sumber karbohidrat tetapi juga mampu membantu mencukupi kebutuhan protein. Saat ini, tiwul semakin sulit dijumpai dimasyarakat karena proses pembuatan tepung gaplek menjadi tiwul cukup memakan waktu. Oleh karena itu, perlu adanya upaya pembuatan produk tiwul instan tinggi protein sehingga masyarakat lebih praktis dalam menyajikan tiwul. Penelitian mengenai indeks glikemik bahan makanan telah cukup banyak dilakukan baik di luar negri maupun Indonesia. Namun, belum dilakukan kajian mengenai indeks glikemik tiwul. Berdasarkan hal ini penulis tertarik untuk meneliti indeks glikemik berbagai produk tiwul.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis indeks glikemik berbagai produk tiwul pada orang normal. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah (1) mempelajari pembuatan tepung gaplek dan tiwul; (2) menyusun formula tiwul instan tinggi protein; (3) melakukan penilaian organoleptik pada tiwul konvensional, tiwul instan komersial, dan tiwul instan tinggi protein; (4) menganalisis komposisi zat gizi yang terkandung pada tiwul konvensional, tiwul instan komersial, dan tiwul instan tinggi protein; (5) menghitung kandungan energi dan zat gizi pada tiwul konvensional, tiwul instan komersial, dan tiwul instan tinggi protein; dan (6) menganalisis indeks glikemik tiwul konvensional, tiwul instan komersial, dan tiwul instan tinggi protein pada orang normal.

Desain penelitian ini adalah experimental study. Lokasi penelitian dilakukan pada tiga laboratorium meliputi Laboratorium Percobaan Makanan, Laboratorium Analisis Zat Gizi, Laboratorium Biokimia Gizi di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Insitut Pertanian Bogor. Pemeriksaan kesehatan subjek dilakukan di Laboratorium Klinik Nugraha Bogor, untuk menentukan subjek normal diseleksi oleh Dokter Spesialis Penyakit Dalam di Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2011 sampai dengan bulan Desember 2011.

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini merupakan bahan dan alat untuk membuat tepung gaplek dan tiwul serta untuk analisis komposisi zat gizi, tingkat gelatinisasi, kadar amilosa dan amilopektin. Alat yang digunakan untuk mengukur respon glukosa darah subjek yaitu Glukometer One Touch Ultra.

(4)

Penelitian ini telah memperoleh izin dari Komisi Etik Penelitian Biomedis Manusia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia di Jakarta pada tanggal 11 April 2011 dengan nomor KE.01.04/EC/153/2011. Subjek adalah mahasiswa gizi masyarakat, FEMA, IPB. Pemilihan subjek dilakukan secara selective sampling. Dalam penelitian ini diambil 10 orang normal, yaitu bebas dari penyakit Diabetes Mellitus, penyakit hati, dan penyakit ginjal yang ditentukan dengan pemeriksaan data laboratorium.

Data yang dikumpulkan adalah data kadar glukosa darah 10 subjek dengan empat perlakuan. Semua subjek (10 orang) diukur kadar glukosa darahnya setelah diberi beban bahan makanan, yaitu pangan acuan (glukosa murni), pangan uji ke-1 (tiwul instan tinggi protein), pangan uji ke-2 (tiwul instan komersial), dan panganuji ke-3 (tiwul konvensional).

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap berpola faktorial dan Rancangan Acak Lengkap dengan dua kali ulangan. Data-data yang diperoleh akan diolah secara statistik, ditabulasikan dan disajikan dalam bentuk rata-rata. Hasil uji organoleptik dan hasil analisis kompisisi zat gizi diolah dengan menggunakan analisis sidik ragam dan apabila terdapat pengaruh nyata (p<0.05), maka dilakukan uji beda dengan Uji Duncan. Perolehan data respon glukosa darah dihitung secara manual untuk mendapatkan nilai indeks glikemik.

Tepung gaplek pada penelitian ini dibuat secara tradisional. Komposisi zat gizi tepung gaplek yang dihasilkan telah memenuhi SNI.No.01.2905.1992 untuk tepung gaplek yaitu kadar air, kadar abu dan kadar karbohidrat. Namun, kadar serat tepung gaplek lebih tinggi dibandingkan kadar serat menurut SNI. Nilai rendemen tepung gaplek adalah sebesar 29,20%.

Formula pembuatan tiwul instan tinggi protein terdiri atas tepung gaplek, tepung singkong, isolat protein kedelai, sukralosa, garam, dan flavour powder. Penyusunan formula tiwul instan tinggi protein dibedakan berdasarkan dua faktor yaitu campuran tepung gaplek dan tepung singkong serta penambahan konsentrasi isolat protein kedelai sehingga menghasilkan sembilan formula tiwul instan tinggi protein (F1-F9).

Tiwul instan tinggi protein yang dapat diterima oleh panelis adalah tiwul instan formula F5 yang memiliki perbandingan tepung gaplek : tepung singkong : isolat protein kedelai sebesar 2:1:30% dengan rata-rata nilai penerimaan biasa sampai agak suka. Hasil uji hedonik berbagai jenis tiwul menunjukkan bahwa tiwul yang memiliki rata-rata penilaian panelis tertinggi adalah tiwul instan tinggi protein untuk parameter warna, aroma, rasa, dan keseluruhan. Namun, untuk parameter tekstur dimiliki oleh tiwul konvensional.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis tiwul (tiwul instan tinggi protein, tiwul instan komersial dan tiwul konvensional) berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, tingkat gelatinisasi, kadar amilosa, dan amilopektin.

Kandungan energi tiwul per takaran saji (75 g) berkisar 300 Kalori. Satu takaran saji tiwul dapat memenuhi 15% AKG dari kebutuhan AKG sehari (2000 Kalori). Tiwul instan tinggi protein dapat dikonsumsi sebagai pangan sumber energi dan tinggi protein karena mampu memenuhi 30,63% AKG protein.

(5)

IMAS SEPTIYANI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(6)

Nama : Imas Septiyani NIM : I14070095

Menyetujui :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Rimbawan dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked NIP 19620406 198603 1 002 NIP 19471029 197901 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP 19621218 198703 1 001

(7)

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Indeks Glikemik Berbagai Produk Tiwul Berbasis Singkong (Manihot Esculenta Crantz) pada Orang Normal” yang merupakan syarat kelulusan sebagai Sarjana Gizi.

Selama penyusunan skripsi ini penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak baik bantuan moril dan materil. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Rimbawan selaku dosen pembimbing akademik dan dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan fikiran, memberikan masukan, arahan, kritik, motivasi, nasihat serta semangat dan dorongan untuk penyelesaian skripsi ini.

2. dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan pikiran, memberikan arahan, masukan, kritik, saran, serta semangat dan dorongan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. dr. Mira Dewi, S.Ked, M.Si selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji skripsi yang telah memberikan saran perbaikan dalam penyelesaian skripsi ini.

4. PT. Indofood Sukses Makmur melalui program Indofood Riset Nugraha tahun 2011-2012 yang telah memberikan bantuan dana penelitian.

5. dr. Naufal Muharram, S.Ked dan dr. Karina Rahmadia Ekawidyani, S.Ked (Klinik Departemen Gizi Masyarakat, FEMA, IPB) yang telah membantu dalam penelitian ini khususnya dalam proses pengambilan sampel darah subjek. 6. Para pembahas seminar (Bayu Maulana, Dida Hanifa, Reny Fetimah Syahab,

dan Priskilla) atas saran dan masukan untuk penyempurnaan skripsi ini. 7. Para subjek penelitian yaitu 10 orang mahasiswa Gizi Masyarakat, FEMA,

IPB, atas segala waktu yang diluangkan dan kesukarelaan menjadi subjek penelitian sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.

8. Ibunda Sutijah, Mas Yudi Prasetio, S.T, kakak (Susi Suhersih, Yudhi Sukarma, Tomi Sukarma, Ade Erma), dan keluarga yang senantiasa memberikan dukungan semangat, kasih sayang, finansial, dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

(8)

Tidak dapat dipungkiri bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Demi perbaikan ke arah yang lebih baik, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Akhir kata, besar harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, menambah keragaman ilmu pengetahuan terutama mengenai indeks glikemik.

Bogor, Februari 2012

Imas Septiyani

(9)

September 1989 dan merupakan anak kelima dari lima bersaudara dari pasangan Eep Sukarma (Alm) dan Sutijah. Penulis menempuh pendidikan formal di TK Putra Pertiwi, SDN Petukangan Utara 06 Pagi, SMPN 110 Jakarta, dan SMAN 47 Jakarta. Penulis aktif dalam berbagai kegiatan ekstrakulikuler selama sekolah seperti OSIS, Paskibra, Pramuka, Vocal Grup, dan Tari Saman. Penulis diterima sebagai mahasiswa Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Saringan Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) pada tahun 2007.

(10)

DAFTAR ISI ... X

Pemeriksaan SGOT dan SGPT ... 11

Pemeriksaan Bilirubin ... 12

Tes Kreatinin untuk Fungsi Ginjal ... 13

Indeks Glikemik ... 13

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik Pangan ... 15

Indeks Glikemik Singkong ... 17

METODE PENELITIAN ... 18

Desain, Tempat dan Waktu ... 18

Bahan dan Alat yang Digunakan ... 18

Tahap Penelitian ... 19

Pembuatan Tiwul ... 19

Rancangan Percobaan ... 21

Pengukuran Indeks Glikemik ... 23

Cara Pemilihan Subjek ... 24

Jenis dan Cara Pengumpulan Data... 25

Pengolahan dan Analisis Data ... 26

Definisi Operasional ... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

Pembuatan Tepung Gaplek ... 30

Rendemen Tepung Gaplek ... 31

Komposisi Zat Gizi Tepung Gaplek ... 31

Pengolahan Berbagai Jenis Tiwul ... 31

Tiwul Konvensional ... 31

Tiwul Instan Tinggi Protein ... 31

Tiwul instan Komersial ... 34

Uji Organoleptik ... 34

Uji Organoleptik I (Tiwul Instan Tinggi Protein) ... 35

Uji Mutu Hedonik ... 35

Uji Hedonik ... 39

(11)

Komposisi Zat Gizi Berbagai Jenis Tiwul ... 47

Kadar Air ... 48

Kadar Abu ... 49

Kadar Protein ... 50

Kadar Lemak ... 52

Kadar Karbohidrat ... 53

Tingkat Gelatinisasi Pati ... 54

Kadar Amilosa dan Amilopektin ... 56

Kandungan Zat Gizi dan Energi Tiwul ... 57

Indeks Glikemik Berbagai Jenis Tiwul ... 59

Karakteristik Subjek ... 59

Pangan Acuan dan Pangan Uji ... 61

Indeks Glikemik Pangan ... 63

KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

Kesimpulan ... 71

Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73

(12)

Tabel 1 Komposisi kimia singkong (per 100 g bahan) ... 6

Tabel 2 Data produksi singkong Indonesia tahun 2002-2005 ... 8

Tabel 3 Komposisi gizi tepung gaplek (per 100 g tepung) ... 10

Tabel 4 Nilai indeks glikemik beberapa pengolahan pangan sumber Karbohidrat ... 15

Tabel 5 Bahan yang digunakan ... 18

Tabel 6 Alat yang digunakan ... 19

Tabel 7 Nilai normal uji laboratorium sampel darah subjek ... 24

Tabel 8 Kategori pangan menurut indeks glikemik ... 28

Tabel 9 Komposisi zat gizi tepung gaplek (per 100 g tepung) hasil analisis ... 31

Tabel 10 Formulasi tiwul instan tinggi protein ... 33

Tabel 11 Hasil analisis proksimat berbagai jenis tiwul ... 48

Tabel 12 Kandungan zat gizi dan energi tiwul per takaran saji ... 58

Tabel 13 Karakteristik subjek ... 59

Tabel 14 Hasil pemeriksaan laboratorium darah subjek ... 60

(13)

Gambar 1 Singkong ... 6

Gambar 2 Kurva pengukuran indeks glikemik pangan ... 27

Gambar 3 Tepung gaplek ... 30

Gambar 4 Penampakan formula tiwul instan tinggi protein ... 33

Gambar 5 Garafik hasil uji mutu hedonik warna tiwul instan tinggi protein ... 36

Gambar 6 Grafik hasil uji mutu hedonik aroma tiwul instan tinggi protein ... 37

Gambar 7 Grafik hasil uji mutu hedonik rasa tiwul instan tinggi protein... 38

Gambar 8 Grafik hasil uji mutu hedonik tekstur tiwul instan tinggi protein ... 39

Gambar 9 Grafik hasil uji hedonik warna tiwul instan tinggi protein .... 40

Gambar 10 Grafik hasil uji hedonik aroma tiwul instan tinggi protein .... 41

Gambar 11 Grafik hasil uji hedonik rasa tiwul instan tinggi protein ... 42

Gambar 12 Grafik hasil uji hedonik tekstur tiwul instan tinggi protein ... 43

Gambar 13 Grafik hasil uji hedonik keseluruhan tiwul instan tinggi protein ... 44

Gambar 14 Garfik hasil uji hedonik berbagai jenis tiwul ... 45

Gambar 15 Grafik hasil rata-rata analisis kadar air (%bb) tiwul ... 48

Gambar 16 Grafik hasil rata-rata analisis kadar abu (%bk) tiwul ... 50

Gambar 17 Grafik hasil rata-rata analisis kadar protein (%bk) tiwul ... 51

Gambar 18 Grafik hasil rata-rata analisis kadar lemak (%bk) tiwul ... 52

Gambar 19 Grafik hasil rata-rata analisis kadar karbohidrat (%bk) Tiwul ... 54 Gambar 20 Grafik hasil rata-rata analisis tingkat gelatinisasi pati (%bk) tiwul ... 55

Gambar 21 Grafik hasil rata-rata analisis kadar amilosa dan amilopektin (%bk) tiwul... 57

Gambar 22 Jumlah porsi masing-masing jenis tiwul yang diberikan kepada subjek ... 62 Gambar 23 Kurva rata-rata respon glikemik subjek terhadap tiwul

konvensional ... Gambar 24 Kurva rata-rata respon glikemik subjek terhadap tiwul

instan komersial ...

63

(14)

Gambar 25 Kurva rata-rata respon glikemik subjek terhadap tiwul instan tinggi protein ... Gambar 26 Nilai rata-rata indeks glikemik berbagai jenis tiwul ...

(15)

Lampiran 1 Metode pembuatan tepung gaplek dan pengolahan

produk tiwul ... 79

Lampiran 2 Metode analisis kimia ... 81

Lampiran 3 Naskah penjelasan untuk subjek ... 85

Lampiran 4 Formulir Informed Consent ... 90

Lampiran 5 Formulir uji organoleptik ... 91

Lampiran 6 Hasil uji sidik ragam organoleptik (mutu hedonik) tiwul instan tinggi protein ... 94

Lampiran 7 Hasil uji lanjut Duncan organoleptik (mutu hedonik) tiwul instan tinggi protein ... 95

Lampiran 8 Hasil uji sidik ragam organoleptik (hedonik) tiwul instan tinggi protein ... 96

Lampiran 9 Hasil uji lanjut Duncan organoleptik (hedonik) tiwul instan tinggi protein ... 97

Lampiran 10 Hasil uji sidik ragam organoleptik (hedonik) berbagai jenis tiwul ... 98

Lampiran 11 Hasil uji lanjut Duncan organoleptik (hedonik) berbagai jenis tiwul ... 99

Lampiran 12 Hasil analisis sidik ragam komposisi zat gizi, kadar amilosa-amilopektin, dan tingkat gelatinisasi pati berbagai jenis tiwul ... 100

Lampiran 13 Hasil uji lanjut Duncan komposisi zat gizi, kadar amilosa amilopektin, dan tingkat gelatinisasi pati berbagai jenis tiwul ... 101

Lampiran 14 Ethical Approval ... 104

Lampiran 15 Hasil pemeriksaan sampel darah subjek ... 105

Lampiran 16 Hasil uji statistik nilai indeks glikemik tiwul ... 106

(16)

Secara garis besar, indikator keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia yang dicerminkan dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). Indikator yang terdapat dalam IPM meliputi 3 dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu dimensi kesehatan yang dilihat dari angka harapan hidup, dimensi pendidikan melalui penguasaan ilmu pengetahuan, dan dimensi ekonomi berdasarkan standar kehidupan yang layak. Berdasarkan BPS (2010), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia menempati urutan 108 dari 169 negara. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas SDM Indonesia dari dimensi kesehatan, pendidikan, dan ekonomi masih jauh tertinggal dibanding negara-negara lain.

Masalah kesehatan merupakan masalah penting yang dihadapi bangsa Indonesia. Saat ini, di Indonesia terjadi transisi epidemiologi yakni di satu sisi masih terdapat permasalahan gizi kurang dan di sisi lain mulai bergeser pada meningkatnya permasalahan akibat gizi lebih. Masih tingginya prevalensi gizi kurang, yang salah satunya berupa KEP (Kurang Energi Protein) dapat menyebabkan penurunan imunitas tubuh dan meningkatnya penyakit infeksi seperti demam tifoid, TBC, dan diare. Disisi lain, peningkatan prevalensi gizi lebih berdampak pada meningkatnya penyakit degneratif seperti penyakit jantung, hipertensi dan diabetes mellitus (Effendi 2009).

Berdasarkan Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2010), sebesar 12,6% penduduk usia >18 tahun memiliki status gizi kurang. Sebesar 40,7% penduduk memiliki rata-rata kecukupan Energi <70%AKG dan 37% penduduk memiliki rata-rata kecukupan konsumsi protein <80%AKG.

(17)

Kunci utama dalam penatalaksanaan permasalahan gizi kurang dan gizi lebih adalah pengaturan makan atau diet. Bagi penderita gizi kurang, diet bertujuan untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein untuk mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh serta mencapai berat badan ideal. Diet bagi penderita gizi lebih bertujuan untuk mencapai dan mempertahankan status gizi sesuai dengan umur, jenis kelamin, dan kebutuhan fisik serta mencapai indeks massa tubuh (IMT) normal yaitu 18,5-25 kg/m2 (Almatsier 2006).

Salah satu cara pengaturan makan atau diet dapat dilakukan melalui pemilihan jumlah dan jenis karbohidrat yang tepat dengan menggunakan konsep Indeks Glikemik yang diperkenalkan oleh Jenkins pada tahun 1981. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), konsep ini menekankan pada pentingnya mengenal pangan (karbohidrat) berdasarkan kecepatan naiknya kadar glukosa darah setelah pangan tersebut dikonsumsi.

Indeks glikemik adalah perbandingan respon glukosa darah tubuh terhadap makanan dengan respon glukosa darah tubuh terhadap glukosa murni. Dengan kata lain, indeks glikemik ialah perbandingan kenaikan gula darah setelah makan makanan tertentu dibanding dengan setelah makan makanan standar yaitu glukosa murni. Oleh karena itu, indeks glikemik berguna untuk menentukan respon glukosa darah terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Perbedaan nilai indeks glikemik berbagai bahan makanan tergantung pada fisiologi individu seseorang yang mengkonsumsi makanan tersebut (Waspadji et al. 2003).

Indeks glikemik disusun untuk semua orang yaitu orang sehat, penyandang diabetes, atlet, dan penderita obesitas. Pangan yang memiliki indeks glikemik rendah bermanfaat bagi orang yang sedang menurunkan berat badan dan bagi penyandang diabetes mellitus agar dapat mengontrol kadar glukosa darah sehingga tidak meningkat secara drastis. Pangan yang memiliki indeks glikemik tinggi bermanfaat untuk menunjang penampilan dan daya tahan atlet (Rimbawan & Siagian 2004).

(18)

Walaupun produksi singkong cukup tinggi, namun singkong segar tidak dapat disimpan lama. Masa simpan umbi ketela segar hanyalah berkisar antara 4-5 hari. Singkong yang disimpan lebih dari masa simpan segarnya akan berubah warna menjadi hitam atau biru (Soetanto 2008). Oleh karena itu perlu adanya pengolahan lebih lanjut untuk memperpanjang masa simpan singkong. Di beberapa daerah, singkong dijadikan sebagai bahan makanan pokok pengganti nasi (di Jawa diolah menjadi tiwul dan gatot) dan makanan kecil seperti roti, biskuit, cookies.

Salah satu makanan tradisional yang bahan bakunya singkong adalah tiwul. Tiwul adalah makanan dari gaplek singkong yang ditumbuk atau dihaluskan kemudian dikukus. Tiwul perlu dikaji lebih lanjut karena tiwul merupakan pangan lokal dan pangan tradisional yang harganya murah tetapi merupakan sumber karbohidrat, kalsium dan fosfor yang cukup tinggi. Hasil penelitian Andrarini (2004) mengenai konsumsi tiwul di pedesaan dan perkotaan di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta menunjukkan bahwa 36,70% contoh di desa memiliki frekuensi konsumsi tiwul lebih dari satu kali sehari. Jenis olahan tiwul yang paling disukai oleh 63,30% contoh di desa adalah tiwul yang dikukus biasa, sedangkan di kota 47,60% contoh lebih menyukai tiwul yang dikukus dengan ditambahkan gula dan kelapa. Sebanyak 66,70% contoh di desa mengkonsumsi tiwul karena alasan ekonomi, sedangkan 33,30% contoh di kota mengkonsumsi tiwul untuk mengobati rasa rindu ingin makan tiwul. Oleh karena itu, perlu adanya pemberdayaan tiwul sebagai pangan tradisional khas Indonesia.

(19)

dalam hal kandungan gizi karena dengan mengkonsumsi satu jenis pangan mampu memberikan sumbangan energi dan protein yang dibutuhkan tubuh.

Upaya diversifikasi pangan melalui pembuatan tiwul instan juga telah memperoleh dukungan dari pihak swasta dan Pemerintah Daerah Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Beberapa produk tiwul instan dengan berbagai merek dagang mudah ditemukan di daerah ini. Tidak jarang beberapa produsen juga mengklaim bahwa produk tiwul yang dijual baik untuk dikonsumsi oleh penyandang diabetes. Namun, hingga saat ini belum ada data empiris mengenai nilai indeks glikemik tiwul instan.

Penelitian mengenai nilai indeks glikemik pangan saat ini telah banyak dilakukan baik di luar negeri maupun Indonesia. Namun, kajian mengenai nilai indeks glikemik pangan tradisional khas Indonesia masih terbatas. Sampai saat ini kajian mengenai nilai indeks glikemik tiwul belum dilakukan. Berdasarkan hal ini penulis tertarik untuk meneliti indeks glikemik berbagai produk tiwul berbasis singkong (Manihot Esculenta Crantz) pada orang normal.

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis indeks glikemik berbagai produk tiwul pada orang normal.

Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Mempelajari pembuatan tepung gaplek dan tiwul. 2. Menyusun formula tiwul instan tinggi protein

3. Melakukan penilaian organoleptik pada tiwul konvensional, tiwul instan komersial, dan tiwul instan tinggi protein.

4. Menganalisis komposisi zat gizi yang terkandung pada tiwul konvensional, tiwul instan komersial, dan tiwul instan tinggi protein.

5. Menghitung kandungan energi dan zat gizi pada tiwul konvensional, tiwul instan komersial, dan tiwul instan tinggi protein

6. Menganalisis indeks glikemik tiwul konvensional, tiwul instan komersial, dan tiwul instan tinggi protein.

Kegunaan Penelitian

(20)
(21)

Ubi kayu biasa disebut juga ketela pohon atau singkong. Singkong memiliki nama botani Manihot esculenta Crantz tetapi lebih dikenal dengan nama lain Manihot utilissima. Ubi kayu termasuk ke dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, family Euphorbiaceae, genus Manihot dengan spesies esculenta Crantz dengan berbagai varietas (Rukmana 2002).

Gambar 1 Singkong

Sumber : www.badanpusatstatistik.co.id

Pada masa pertumbuhan, kandungan karbohidrat umbi singkong semakin meningkat dan mencapai titik optimal saat umbi siap dipanen. Apabila sampai berumur 12 bulan belum dipanen, singkong tidak bertambah besar, dan kualitasnya akan menurun. Bahkan, apabila pada umur 13 bulan singkong belum dipanen juga, kadar air umbi akan meningkat, sedangkan kadar protein, tepung, dan HCN menurun (Suprapti 2005).

Umbi ketela umumnya dapat dipanen saat tanaman berumur 6-12 bulan setelah tanam. Umbi ketela segar tidak dapat disimpan lama. Masa simpan umbi ketela segar hanyalah berkisar antara 4-5 hari. Umbi ketela yang disimpan lebih dari masa simpan segarnya akan berubah warna menjadi hitam atau biru (Soetanto 2008). Berikut adalah Tabel komposisi kimia singkong.

Tabel 1 Komposisi kimia singkong (per 100 g bahan)

No. Komponen Singkong Singkong Kuning

1 Kalori (kkal) 146,00 157,00

2 Protein (g) 0,80 0,80

3 Lemak (g) 0,30 0,30

4 Karbohidrat (g) 4,70 37,90

5 Air (g) 62,50 60,00

6 Kalsium (mg) 33,00 33,00

7 Fosfor (mg) 40,00 40,00

8 Besi (mg) 0,70 0,70

9 Asam askorbat (mg) 30,00 30,00

10 Thiamin (mg) 0,06 0,06

11 Vitamin A (IU) 0,00 385,00

12 Bagian yang dapat dimakan (%) 75,00 75,00

(22)

Perbedaan antara komposisi kimia ubi kayu putih dan ubi kayu kuning terletak pada kandungan protein dan vitamin A nya. Ubi kayu kuning mempunyai kandungan karbohidrat yang lebih tinggi. Warna ubi kayu kuning berasal dari kandungan vitamin A yaitu pigmen karoten yang tinggi (Syarif 1977 dalam Yuliawati 1999). Karbohidrat yang terdapat pada ubi kayu yaitu 99% pati yang terdiri dari 17-20% amilosa dan selebihnya adalah amilopektin. Gula bebas yang terkandung dalam ubi kayu antara lain glukosa, fruktosa, sukrosa, dan manosa.

Menurut Soetanto (2008), ubi kayu umumnya diolah menjadi olahan pangan dan olahan non-pangan. Umbi singkong selain dikukus, direbus atau digoreng untuk dikonsumsi dapat digunakan sebagai bahan baku industri pangan, kimia, farmasi, dan tekstil. Selain umbi, batang dan daun singkong juga dapat dimanfaatkan. Daunnya yang masih muda banyak mengandung vitamin A sehingga baik untuk hidangan sayur, sedangkan batangnya dapat dipakai untuk bahan bakar atau sebagai stek tanaman baru dan pagar rumah.

Hampir seluruh bagian dari tanaman singkong dapat dimanfaatkan. Namun, hingga saat ini tanaman ini masih jarang dikonsumsi masyarakat. Kelemahan utama yang menyebabkan singkong kurang diterima secara menyeluruh dan hanya dimanfaatkan sebagai makanan pokok di daerah pedesaan disebabkan karena kandungan racun glikosida sianogenik (linamarin). Glikosida tersebut tidak bersifat racun, tetapi asam sianida (HCN) yang dibebaskan oleh enzim linamerase secara hidrolisis yang bersifat racun (Tjokroadikoesoemo 1985).

Menurut Astawan (2004), walaupun ubi kayu mengandung racun yang membahayakan, namun ubi kayu telah dikonsumsi secara umum tanpa adanya efek keracunan yang berarti. Hal ini dikarenakan metode pengolahan secara tradisional mampu mengurangi kandungan sianida umbi hingga batas yang tidak membahayakan kesehatan. Proses pengolahan yang mampu mereduksi kandungan sianida dalam ubi kayu adalah perendaman, pengeringan, perebusan, fermentasi, dan kombinasi dari proses-proses tersebut. Perendaman yang diikuti dengan perebusan dapat menghilangkan seluruh sianida bebas karena proses pencucian dalam air mengalir dan pemanasan yang cukup ampuh untuk mencegah terbentuknya HCN yang beracun.

(23)

padi 3,8 ton/ha dan gandum 1,8 ton/ha. Selain itu, data dari BPS 2006 menunjukkan tingkat produksi singkong yang terus meningkat sejak tahun 2001-2006, seperti yang terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2 Data produksi singkong Indonesia tahun 2002-2005 (dalam ton)

Tahun Produksi

Sumber : Badan Pusat Statistik 2006

Pada beberapa daerah di Indonesia, melimpahnya singkong di pasaran diatasi dengan cara pengawetan melalui metode pengeringan. Di pulau Jawa dikenal dengan nama gaplek. Gaplek adalah umbi akar ketela pohon terkupas yang telah dikeringkan. Pengeringan dapat dilakukan dengan sinar matahari (dijemur) atau buatan. Produk ini ditumbuk halus menjadi tepung dan diproses halus, antara lain sebagai pengganti nasi. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur produk ini popular dengan nama tiwul (Soetanto 2008).

Karbohidrat

Karbohidrat adalah kelompok nutrien yang penting dalam susunan makanan sebagai sumber energi. Senyawa ini mengandung unsur karbon, hidrogen, oksigen dan dihasilkan tanaman melalui proses fotosintesis (Sherrington & Gaman 1992). Karbohidrat banyak terdapat dalam berbagai bahan makanan yang dikonsumsi, terutama pada bahan pangan yang banyak mengandung zat tepung atau pati dan gula. Bahan pangan yang umumnya dikonsumsi masyarakat Indonesia mengandung karbohidrat yang cukup tinggi, yaitu sekitar 70% sampai 80%, terutama pada serealia (padi-padian) dan umbi-umbian (Kartasapoetra & Marsetyo 2008).

Menurut Waspadji et al. (2003), karbohidrat merupakan gugusan yang terdiri dari 2 unsur yaitu karbon dan hidrogen. Berdasarkan jumlah molekul gula sederhana pembentuknya, karbohidrat digolongkan menjadi monosakarida, disakarida, oligosakarida, dan polisakarida. Sedangkan gula sederhana umum pembentuk karbohidrat adalah glukosa, galaktosa, dan fruktosa.

(24)

tinggi. Artinya, glukosa dalam aliran darah meningkat dengan cepat. Sebaliknya, karbohidrat yang dipecah dengan lambat memiliki IG rendah (slow release carbohydrate) sehingga melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat (Rimbawan & Siagian 2004).

Tiwul

Tiwul adalah makanan dari gaplek singkong yang ditumbuk atau dihaluskan kemudian dikukus. Berdasarkan sejarah, singkong (Manihot esculenta), yang umbinya menjadi bahan dasar pembuatan tiwul, didatangkan dari Amerika Latin oleh Belanda untuk mengatasi kelaparan besar pada masa tanam paksa. Hal ini menyebabkan tiwul selalu dikaitkan dengan kelaparan. Pada tahun 1968, Indonesia pernah menjadi negara penghasil singkong terbesar kelima di dunia (Rukmana 2002).

Tiwul adalah suatu bentuk olahan tradisional di daerah Jawa yang biasa dibuat masyarakat sebagai upaya pengamanan ubi kayu (singkong). Di beberapa daerah di Indonesia khususnya penduduk Jawa mengenal tiwul sebagai pengganti nasi pada masa paceklik, manakala persediaan beras mulai menipis atau habis. Tiwul dibuat dari ubi kayu yang terlebih dahulu dibuat tepung gaplek, kemudian tepung gaplek tersebut dikukus dengan ditambahkan garam atau gula dan diberi sedikit air sehingga rasa tiwul tersebut ada yang asin dan ada yang manis serta seringkali setelah matang tiwul disajikan dengan ditaburi parutan kelapa (Yuliawati 1999).

Proses pembuatan tiwul dimulai dengan mengupas kulit singkong, kemudian singkong dicuci bersih dan direndam. Singkong yang telah melalui proses pencucian dan perendaman kemudian dijemur selama lima hingga tujuh hari. Penjemuran singkong secara tradisional dapat dilakukan dengan cara menyebar singkong diatas atap, dijemur diatas tanah, tikar bambu, pinggir-pinggir jalan, digantung dipagar, tali atau beranda. Setelah kering menghasilkan produk yang biasa disebut gaplek yang kemudian biasa disimpan oleh rumah tangga sebelum diolah menjadi tiwul. Penyimpanan gaplek di rumah tangga biasanya digunakan sebagai cadangan untuk persediaan pangan sampai musim berikutnya yaitu sekitar 10 bulan (Sundari 1993).

(25)

setiap tahap pengolahan singkong menjadi gaplek perlu diperhatikan. Komponen-komponen yang menentukan mutu tepung gaplek adalah kadar air, kadar pati, faktor kenampakan (kebersihan, jamur, benda asing), serat kasar, kadar abu, dan kadar HCN. Sebelum dikonsumsi, tepung gaplek diletakan dalam nampan/tampah lalu diberi air sedikit demi sedikit sambil nampannya diputar sehingga akan diperoleh gumpalan-gumpalan tepung gaplek. Tepung gaplek tersebut dikukus hingga berwarna coklat kekuningan, inilah yang biasa disebut tiwul (Retno 1994).

Tiwul perlu dikaji lebih lanjut karena tiwul merupakan pangan lokal dan pangan tradisional yang harganya murah tetapi merupakan sumber karbohidrat, kalsium dan fosfor yang tinggi. Kandungan gizi tiwul dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi gizi tepung gaplek (per 100 g tepung)

Zat Gizi Tepung Gaplek

Pencernaan karbohidrat dalam usus halus dihidrolisis oleh amilase yang dikeluarkan dari bagian eksokrin pankreas menjadi disakarida, dengan bantuan enzim usus halus menjadi monosakarida, yang kemudian diabsorsi di usus halus dimetabolisme menjadi glukosa dalam darah, sehingga menentukan konsentrasi glukosa dalam darah (Waspadji et al. 2003).

(26)

Tes Fungsi Hati

Hati merupakan organ padat terbesar yang letaknya di rongga perut bagian kanan atas. Organ ini mempunyai peran penting karena merupakan regulator dari semua metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Hati merupakan tempat sintesa dari berbagai komponen protein, pembekuan darah, kolesterol, ureum dan zat-zat lain yang sangat vital. Selain itu, hati juga merupakan tempat pembentukan dan penyaluran asam empedu serta pusat detoksifikasi racun dan penghancuran (degradasi) hormon-hormon steroid seperti estrogen. Pada jaringan hati terdapat sel-sel kupfer yang sangat penting dalam eliminasi organisme asing baik bakteri maupun virus, karena itu untuk mengetahui adanya gangguan faal hati, terdapat satu deretan tes yang dapat dilakukan untuk menilai faal hati tersebut (Kee 2007).

Tes laboratorium sering digunakan untuk memastikan diagnosis serta untuk memantau penyakit dan pengobatan. Beberapa tes laboratorium dilakukan untuk mengukur kadar enzim, karena bila terdapat jaringan rusak, sel mati dan enzim dilepas ke dalam darah. Sistem organ yang serumit hati akan sering dinilai dengan menggunakan beberapa tes. Hal ini dikarenakan lebih dari satu sistem dapat melepaskan enzim yang sama bila jaringan rusak. Oleh karena itu, untuk menentukan bagaimana hati bekerja, dan hal-hal yang mungkin menyebabkan masalah, ada beberapa tes yang dapat dilakukan bersama dan secara kolektif yang disebut tes fungsi hati (Kee 2007).

Pemeriksaan SGOT dan SGPT

Tes fungsi hati yang umum dilakukan adalah AST (aspartate transaminase), yang di Indonesia lebih sering disebut sebagai SGOT (serum glutamic-oxaloacetic transaminase), dan ALT (alanine transaminase) yang biasanya di Indonesia disebut sebagai SGPT (serum glutamic-pyruvic transaminase). SGOT merupakan enzim yang secara normal berada di sel hati dan organ lain. Sedangkan SGPT adalah enzim yang banyak ditemukan pada sel hati secara efektif untuk mendiagnosis destruksi hepatoseluler. Enzim ini dalam jumlah kecil dijumpai pada otot jantung, ginjal, dan otot rangka. SGOT dan SGPT menunjukkan kerusakan atau radang pada jaringan hati. SGPT lebih spesifik terhadap kerusakan hati dibanding SGOT (Widodo 2010).

(27)

daripada SGOT/ALT pada kerusakan parenkim hati akut, sedangkan pada proses kronik didapat sebaliknya. SGOT/AST terdapat di hampir seluruh tubuh, berbeda dengan SGPT/ALT yang spesifik pada hati. Dalam uji SGOT/AST dan SGPT/ALT, hati dapat dikatakan rusak bila jumlah enzim tersebut dalam plasma lebih besar dari kadar normalnya (Widodo 2010). Nilai normal untuk SGPT/ALT adalah 0-50 U/L untuk laki-laki dan 0-35 U/L untuk perempuan (Kee 2007). Pemeriksaan Bilirubin

Bilirubin juga digunakan untuk menilai fungsi hati. Bilirubin bukanlah enzim. Senyawa ini adalah hasil penguraian sel darah merah oleh hati. Kadar bilirubin dapat meningkat jika hati tidak berfungsi atau ada kelebihan sel darah merah yang dihancurkan. Kadarnya juga dapat meningkat jika ada sumbatan pada saluran yang mengalirkan cairan empedu dari hati (Kee 2007).

Bilirubin adalah suatu pigmen kuning dengan struktur tetrapirol yang tidak larut dalam air, berasal dari destruksi sel darah merah (75%), katabolisme protein hem (22%) dan inaktivasi eritropoesis sum-sum tulang (3%). Bilirubin yang tidak terkonyugasi, di hati akan mengalami konyugasi dengan enzim glukoronil transferase. Selanjutnya bilirubin terkonyugasi akan dikonversi menjadi urobilinogen di colon dan sebagian direabsorpsi dan diekskresikan ginjal dalam bentuk urobilinogen dan dikeluarkan bersama dengan feses sebagai sterkobilin (Kee 2007).

Pemeriksaan bilirubin ini dapat dengan menggunakan metode van den Bergh assay, dimana dapat ditentukan tingkat bilirubin total dalam serum dan jumlah bilirubin terkonyugasi ataupun tak terkonyugasi. Pada sirosis hati akan dijumpai peningkatan produksi bilirubin.

a. Bilirubin terkonjugasi /direk

(28)

b. Bilirubin tak terkonjugasi/ indirek

Bilirubin tak terkonjugasi (hematobilirubin) merupakan bilirubin bebas yang terikat albumin, bilirubin yang sukar larut dalam air sehingga untuk memudahkan bereaksi dalam pemeriksaan harus lebih dulu dicampur dengan alkohol, kafein atau pelarut lain sebelum dapat bereaksi, karena itu dinamakan bilirubin indirek. Peningkatan kadar bilirubin indirek mempunyai arti dalam diagnosis penyakit bilirubinemia karena lemah jantung akibat gangguan dari transportasi bilirubin ke dalam peredaran darah.

Tes Kreatinin untuk Fungsi Ginjal

Tes fungsi ginjal dapat dilakukan dengan sampel berupa air seni dan darah. Kreatinin adalah salah satu uji laboratorium yang digunakan untuk mengetahui fungsi ginjal melalui sampel darah. Tes ini mengukur tingkat kreatinin dalam darah. Karena tingkat kreatinin hanya sedikit dipengaruhi oleh fungsi hati, tingkat kreatinin yang tinggi dalam darah lebih khusus menandai penurunan pada fungsi ginjal (Yayasan Spiritia 2010).

Ginjal merupakan sistem penyaringan alami dalam tubuh yang melakukan banyak fungsi penting. Ginjal berfungsi untuk menghilangkan bahan sisa metabolisme dari aliran darah, mengatur keseimbangan tingkat air dalam tubuh, dan menahan pH (tingkat asam-basa) pada cairan tubuh. Kurang lebih 1,5 liter darah dialirkan melalui ginjal setiap menit. Tes fungsi ginjal membantu menentukan apakah ginjal menjalankan fungsinya dengan baik. Banyak masalah yang dapat mempengaruhi kemampuan ginjal dalam melakukan fungsinya. Beberapa dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara cepat (akut) dan juga dapat menyebabkan penurunan fungsi secara kronis. Tes fungsi ginjal dapat dilakukan untuk memantau ginjal dan melihat kerusakan yang terjadi pada ginjal (Yayasan Spiritia 2010).

Indeks Glikemik

Indeks glikemik pertama-tama dikembangkan tahun 1981 oleh Dr. David Jenkis (Profesor Gizi Universitas Toronto, Kanada) untuk membantu menentukan pangan yang paling baik bagi penyandang diabetes. Konsep ini menganggap bahwa semua pangan berkarbohidrat, pada kuantitas yang sama akan menghasilkan pengaruh yang tidak sama pada kadar glukosa darah (Rimbawan & Siagian 2004).

(29)

kadar glukosa darah penyandang diabetes (Jenskin et al. 2002 dalam Rimabawan & Siagian 2004). Indeks glikemik adalah tingkatan makanan menurut potensinya untuk meningkatkan glukosa darah relatif terhadap standar seperti glukosa murni atau roti putih (Sizer & Whitney 2008).

Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), indeks glikemik adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula darah. IG merupakan suatu cara untuk penatalaksanaan diet bagi penyandang diabetes, orang yang sedang berupaya menurunkan berat badan, dan olahragawan. Indeks glikemik disusun untuk semua orang yaitu orang sehat, penyandang diabetes, atlet, dan penderita obesitas (kelebihan berat tubuh).

FAO/WHO (1998) merekomendasikan peningkatan asupan pangan yang memiliki IG rendah terutama bagi penyandang diabetes dan orang yang tidak toleran terhadap glukosa. Berdasarkan laporan WHO (FAO/WHO 2003), hubungan diet pangan yang memiliki IG rendah dalam mencegah obesitas dan diabetes sangatlah mungkin. Studi klinis banyak membuktikan hubungan positif antara asupan pangan yang memiliki IG rendah dengan resistensi insulin dan prevalensi sindrom metabolit (Miller 2007, Jenkins 2007, Mckeown et al 2004).

Nilai IG ditentukan dengan cara membandingkan luas daerah di bawah kurva respon glikemik pangan uji dengan luas area dibawah kurva respon glikemik pangan acuan. Kurva respon glikemik pangan diperoleh dari data pengukuran kadar glukosa darah subjek setelah makan dengan interval 30 menit. Kurva akan menggambarkan efek glikemik dari pangan, yaitu ukuran seberapa cepat dan seberapa tinggi kadar glukosa darah naik, dan seberapa cepat tubuh merespon dengan membuat kadar glukosa darah kembali normal setelah makan (Whitney et al. 1990 dalam Waspadji et al. 2003).

Indeks glikemik pangan menggunakan indeks glikemik glukosa murni sebagai pangan acuan (IG glukosa murni adalah 100). Menurut Miller et al. dalam Rimbawan dan Siagian (2004), berdasarkan pengaruh glikemiknya, pangan dikelompokan menjadi 3 kategori yaitu kategori pangan IG rendah (IG<55), IG sedang (IG = 55-70), dan IG tinggi (IG>70).

(30)

jalar, nasi putih. Pangan yang memiliki IG tinggi berada pada corn flakes, baked potato, croissant, semangka, roti putih, glukosa (100). Nilai indeks glikemik beberapa pengolahan pangan sumber karbohidrat disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4 Nilai indeks glikemik beberapa pengolahan pangan sumber karbohidrat

Peneliti Jenis Produk Olahan Nilai Indeks

Glikemik Tahun

Marsono Singkong kukus 73,00 2002

Waspadji et al. Singkong rebus 94,46 2003

Amalia Jagung manis rebus 41,93 2010

Amalia Jagung manis tumis 23,13 2010

Amalia Jagung manis bakar 58,54 2010

Syadiah Lontong (beras varietas Ciherang) 89,00 2010

Syadiah Ketupat (beras varietas Ciherang) 87,00 2010

Syadiah Nasi (beras varietas Ciherang 94,00 2010

Rasdiyanti Sukun goreng 82,00 2011

Rasdiyanti Sukun kukus 89,00 2011

Rasdiyanti Sukun rebus 85,00 2011

Rasdiyanti Kukis sukun 80,00 2011

Karimah Bubur pati singkong 97,74 2011

Karimah Bubur pati resisten singkong 1 siklus 93, 69 2011

Karimah Bubur pati resisten singkong 3 siklus 106,09 2011

Karimah Bubur formula tepung emulsi 93,96 2011

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik Pangan

Pangan dengan jenis yang sama dapat memiliki IG berbeda bila diolah atau dimasak dengan cara yang berbeda. Faktor-faktor yang mempengaruhi IG pangan adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan amilosa dengan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar zat anti-gizi pangan (Rimbawan & Siagian 2004).

Menurut Waspadji et al. (2002), beberapa penelitian menunjukkan bahwa cara memasak jenis tepung, kandungan serat, dan efek anti enzim pencernaan mempengaruhi respon glikemik suatu makanan, artinya setiap makanan yang disantap akan menimbulkan peningkatan kadar glukosa darah yang berbeda-beda. Lemak dan protein juga mempengaruhi pencernaan hingga respon peningkatan kadar glukosa akan berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa setiap jenis makanan akan menimbulkan respon yang berbeda meskipun mengandung karbohidrat dalam jumlah yang sama.

(31)

indeks glikemik. Semakin kecil ukuran partikel menyebabkan struktur pangan menjadi halus sehingga pangan tersebut mudah dicerna dan diserap di dalam tubuh dan mengakibatkan kadar gula darah naik dengan cepat (Rimbawan & Siagian 2004).

Penelitian terhadap pangan yang memiliki kadar amilosa dan amilopektin berbeda menunjukkan bahwa kadar glukosa darah dan pengaruh insulin lebih rendah setelah mengkonsumsi pangan berkadar amilosa tinggi daripada pangan berkadar amilopektin tinggi. Makanan yang tinggi kandungan amilopektin dan rendah amilosa pada zat tepungnya memiliki IG tinggi, karena molekul amilopektin lebih besar, mudah terbuka, mudah tergelatinisasi, dan mudah dicerna. Makanan dengan rasio perbandingan amilosa lebih tinggi dari amilopektin memiliki indeks glikemik rendah karena lebih sulit tergelatinisasi dan dicerna (Rusilanti 2008).

Pengaruh serat pada IG pangan tergantung pada jenis seratnya. Serat kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam saluran pencernaan sehingga memperlambat lewatnya makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim. Hal ini mengakibatkan proses pencernaan menjadi lambat sehingga respon gula darah lebih rendah. Keberadaan serat pada pangan ternyata sangat memberikan pengaruh pada kenaikan kadar gula dalam darah (Fernandes et al. 2005). Serat dapat memperlambat terjadinya proses pencernaan di dalam tubuh sehingga hasil akhir yang diperoleh adalah respon glukosa darah akan lebih rendah (Brennan 2005).

Pangan dengan kadar lemak dan protein yang tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung. Dengan demikian laju pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Oleh karena itulah pangan dengan kandungan lemak tinggi cenderung memiliki IG lebih rendah dibandingkan dengan jenis pangan yang sejenis berkadar lemak rendah. Sedangkan keberadaan zat anti-gizi pada pangan akan menghambat terjadinya proses pencernaan sehingga dapat menyebabkan respon gula darah menjadi lambat (Colagiuri 1990 dalam Riany 2006).

(32)

suatu bahan makanan semakin mudah karbohidrat untuk dicerna dan menyebabkan tingginya respon glukosa darah.

Indeks Glikemik Singkong

(33)

Desain penelitian ini adalah experimental study. Lokasi penelitian dilakukan pada tiga laboratorium meliputi Laboratorium Percobaan Makanan, Laboratorium Analisis Zat Gizi, Laboratorium Biokimia Gizi di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Insitut Pertanian Bogor. Pemeriksaan kesehatan subjek dilakukan di Laboratorium Klinik Nugraha Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei sampai dengan bulan Desember 2011.

Bahan dan Alat yang Digunakan

Bahan yang digunakan di dalam penelitian ini terdiri atas bahan untuk proses pengolahan singkong menjadi produk tiwul dan bahan kimia untuk analisis komposisi zat gizi produk tiwul. Rincian bahan yang digunakan dipaparkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Bahan yang digunakan

Tahap Penelitian Bahan yang Digunakan

(34)

Alat yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas peralatan untuk proses pengolahan singkong menjadi produk tiwul, peralatan analisis komposisi zat gizi tiwul, peralatan uji tingkat gelatinisasi pati dan amilosa, peralatan uji organoleptik dan alat pengukur respon glukosa darah untuk mengetahui indeks glikemik produk tiwul. Rincian peralatan yang digunakan tercantum pada Tabel 6.

Tabel 6 Alat yang digunakan

Tahap Penelitian Alat yang Digunakan

Proses Pembuatan Tiwul

Peralan gelas ( tabung reaksi, gelas piala, gelas ukur, pipet, labu takar, buret, Erlenmeyer, dan gelas arloji

Pengukuran nilai indeks glikemik Lancet pen

Glukometer One Touch Ultra

* Pengukuran data kesehatan subjek dilakukan oleh Laboratorium Klinik Nugraha Bogor

Tahap Penelitian

Kegiatan penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu 1) pembuatan produk tiwul dan 2) pengukuran nilai indeks glikemik.

1. Pembuatan Produk Tiwul

(35)

a. Persiapan Bahan Baku

Bahan baku utama penelitian yang digunakan adalah singkong (Manihot esculanta Crantz). Singkong yang digunakan berasal dari perkebunan singkong di daerah Balumbang Jawa, Bogor, Jawa Barat. Singkong yang digunakan adalah singkong yang dapat dipanen saat berumur 6-9 bulan. Kemudian singkong diolah menjadi tepung gaplek yang dibuat secara tradisional (Lampiran 1).

b. Pengolahan Singkong menjadi Produk Tiwul

Pada pengolahan singkong menjadi produk tiwul dilakukan pembuatan tiwul konvensional dan tiwul instan tinggi protein. Sedangkan tiwul instan komersial diperoleh dari salah satu perusahaan di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. Metode pengolahan berbagai produk tiwul dapat dilihat pada Lampiran 1.

c. Uji Organoleptik

Pada penelitian ini dilakukan dua kali uji organoleptik. Uji orgenoleptik pertama dilakukan untuk menentukan satu formula terpilih dari sembilan formula tiwul instan tinggi protein yang telah dibuat. Uji organoleptik kedua dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan berbagai produk tiwul yaitu tiwul konvensional, tiwul instan komersial, dan tiwul instan tinggi protein hasil uji organoleptik pertama.

Produk yang diujikan pada uji organoleptik pertama adalah tiwul instan tinggi protein yang terdiri dari sembilan formula. Pengujian dilakukan dengan menyajikan piring yang berisi sembilan formula tiwul. Masing-masing formula tiwul diberi kode dari tiga angka acak yang berbeda. Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik dan mutu hedonik.

Produk yang diujikan pada uji organoleptik kedua terdiri dari tiga jenis tiwul, yaitu tiwul konvensional, tiwul instan komersial, dan tiwul instan tinggi protein. Pengujian dilakukan dengan menyajikan piring yang berisi ketiga jenis tiwul tersebut. Masing-masing jenis tiwul diberi kode dari tiga angka acak yang berbeda. Uji organoleptik yang dilakukan hanya uji hedonik untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap berbagai jenis tiwul.

(36)

keseluruhan. Skor penilaian yang digunakan dalam uji organoleptik menggunakan skala garis 1-7.

Parameter yang diamati pada uji hedonik adalah warna, aroma, rasa, tekstur, dan keseluruhan. Pada uji hedonik, panelis diminta untuk menilai tingkat kesukaan produk dengan skala 1-7, yaitu (1) sangat tidak suka, (2) tidak suka, (3) agak tidak suka, (4) biasa, (5) agak suka, (6) suka, dan (7) sangat suka.

Parameter yang diamati pada uji mutu hedonik adalah warna, aroma, rasa, dan tekstur. Pada uji mutu hedonik panelis diminta untuk menilai produk berdasarkan karakteristik atau sifat mutu produk sesuai parameter yang diamati. Skala penilaian yang digunakan untuk warna adalah (1) coklat kehitaman, (2) coklat tua, (3) coklat muda, (4) coklat kekuningan, (5) kuning kecoklatan, (6) kuning tua, dan (7) kuning. Skala penilaian untuk aroma adalah (1) sangat apek, (2) apek, (3) agak apek, (4) tidak apek/tidak harum, (5) agak harum, (6) harum, dan (7) sangat harum. Skala rasa terdiri dari (1) sangat pahit, (2) pahit, (3) agak pahit, (4) hambar (tidak berasa manis atau pahit), (5) agak manis, (6) manis, dan (7) sangat manis. Skala rasa pada parameter tekstur meliputi (1) sangat keras, (2) keras, (3) agak keras, (4) kenyal, (5) agak lembek, (6) lembek, dan (7) sangat lembek. d. Analisis Komposisi Zat Gizi berbagai Jenis Tiwul

Analisa komposisi zat gizi meliputi uji proksimat, yaitu analisis kadar air, kadar abu, kadar protein (Metode Kjeldahl), kadar lemak (Metode Soxhlet), dan kadar karbohidrat (by difference), serta analisis kadar amilosa (Apriyantono et al. 1989) dan uji tingkat gelatinisasi (IRRI 1987) (Lampiran 2).

Rancangan Percobaan

(37)

Yijk = μ + Ai + Bj + ABij + εk(ij) Keterangan :

Yijk = nilai pengamatan respon yang terjadi karena pengaruh pencampuran tepung gaplek dan tepung singkong pada taraf ke-i dan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai pada taraf ke-j

μ = nilai rata-rata pengamatan

Ai = pengaruh pencampuran tepung gaplek dan tepung singkong pada taraf ke-i (i = 1; campuran tepung gaplek : tepung singkong 1:1, i = 2; campuran tepung gaplek : tepung singkong 2:1, i = 3; campuran tepung gaplek : tepung singkong 1:2)

Bj = pengaruh penambahan konsentrasi isolat protein kedelai terhadap total campuran tepung gaplek dan tepung singkong yang digunakan pada taraf ke-j (j =1; 25% ISP, j = 2; 30% ISP, j = 3; 35% ISP)

ABij = pengaruh taraf ke-i pada pencampuran tepung gaplek dan tepung singkong dan taraf ke-j pada penambahan konsentrasi isolat protein kedelai

εijk = kesalahan penelitian karena pengaruh unit eksperimen ke-k dalam

kombinasi i perlakuan (ij)

Nilai pengamatan respon yang diamati pada rancangan percobaan ini adalah warna, aroma, rasa, tekstur, dan keseluruhan yang diperoleh dari uji organoleptik hedonik (uji kesukaan) dan mutu hedonik. Analisis data uji organoleptik pada rancangan percobaan ini menggunakan analisis sidik ragam dan apabila terdapat pengaruh nyata (p<0,05), maka dilakukan uji lanjutan dengan Uji Duncan untuk menguji perbedaan dari semua pelalakuan.

Rancangan percobaan yang digunakan untuk uji organoleptik berbagai jenis tiwul dan untuk menguji hasil analisis kimia adalah Rancangan Acak Lengkap dengan dua kali ulangan (Sudjana 1995). Unit percobaan yang diamati adalah tiwul konvensional, tiwul instan komersial, dan tiwul instan tinggi protein. Perlakuan yang diberikan pada unit percobaan adalah jenis tiwul. Model linier rancangan tersebut adalah sebagai berikut :

Yij = μ + τi + εij Keterangan :

Yij = nilai pengamatan respon ke-j karena pengaruh taraf ke-i jenis tiwul i = taraf (i = 1; tiwul konvensional, i = 2; tiwul instan komersial, i = 3; tiwul

(38)

j = ulangan (j = 1,2)

μ = nilai rata-rata pengamatan τi = pengaruh taraf ke-i jenis tiwul

εij = kesalahan penelitian karena pengaruh taraf ke-i jenis tiwul pada ulangan ke-j

Rancangan Acak Lengkap ini digunakan untuk mengetahui perbedaan antar jenis tiwul (tiwul konvensional, tiwul instan komersial, dan tiwul instan tinggi protein) pada semua parameter yang diamati. Parameter yang diamati pada rancangan percobaan ini adalah uji organoleptik hedonik (uji kesukaan) yang meliputi warna, aroma, rasa, tekstur, dan keseluruhan; komposisi zat gizi berbagai jenis tiwul (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat); kadar amilosa; dan uji tingkat gelatinisasi pati.

2. Pengukuran Indeks Glikemik.

Pengukuran nilai indeks glikemik terdiri dari lima langkah, yaitu a) pengajuan izin Komisi Etik Penelitian (Ethical clearance). b) perekrutan calon subjek, c) seleksi calon subjek, d) penjelasan penelitian dan penandatanganan informed consent, dan e) pengukuran indeks glikemik.

a. Izin Komisi Etik Penelitian

Penelitian ini mulai dilaksanakan setelah memperoleh izin dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, yaitu Ethical Approval Nomor : KE.01.04/EC/153/2011 tanggal 11 April 2011.

b. Perekrutan calon subjek

Perekrutan calon subjek dilakukan dengan cara sosialisasi verbal (pengumuman) kepada calon subjek mengenai kesediaan calon sebagai subjek dalam penelitian. Calon subjek yang mendaftar dalam perekrutan kemudian diwawancara dan dilakukan penyeleksian sesuai dengan kriteria subjek yang telah ditentukan.

c. Seleksi Calon Subjek

(39)

Diabetes Mellitus (DM), penyakit hati, maupun penyakit ginjal. Setelah data-data terkumpul selanjutnya dilakukan penyeleksian subjek yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.

Cara Pemilihan Subjek

Subjek adalah mahasiswa Gizi Masyarakat IPB. Pemilihan subjek dilakukan secara selective sampling dengan kriteria sebagai berikut : subjek adalah laki-laki dan perempuan, berumur 18-30 tahun (Soh & Miller 2006),

memiliki indeks massa tubuh normal antara 18,5 22,9 kg/m2 (WHO Asia Pasifik 2000), dan dalam keadaan sehat. Selain itu, subjek tidak memiliki riwayat penyakit DM, tidak menderita penyakit ginjal, tidak menderita penyakit hati, tidak sedang mengalami gangguan pencernaan, tidak menjalani pengobatan, tidak menggunakan obat-obatan terlarang, tidak merokok serta tidak meminum minuman beralkohol (Lee 2009).

Dalam penelitian ini diambil 10 orang sehat, yaitu bebas dari penyakit DM, penyakit hati, dan penyakit ginjal yang ditentukan dengan pemeriksaan data laboratorium. Penentuan penyakit DM dan sehat diperoleh dari data kadar glukosa darah puasa, kadar glukosa 2 jam setelah makan, penyakit hati dilihat dari kadar bilirubin, SGOT, SGPT, dan uji fungsi ginjal diperoleh dari pemeriksaan kreatinin darah. Bila hasil uji laboratorium tersebut tidak normal maka subjek tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian ini (Waspadji et al. 2003). Penentuan subjek sehat dilakukan oleh Dokter Spesialis Penyakit Dalam di Bogor. Berikut adalah tabel nilai normal untuk uji laboratorium sampel darah subjek.

Tabel 7 Nilai normal uji laboratorium sampel darah subjek

No. Jenis Uji Nilai Normal*

1. Kadar glukosa puasa 90-110 mg/dL

2. Kadar glukosa setelah 2 jam <140 mg/dL

3. Bilirubin (T) 0,65-1,11 mg/dL

d. Penjelasan Penelitian dan Penandatanganan Informed Consent

(40)

uji/acuan), kemudian subjek mengkonsumsi pangan uji/acuan dan sampel darah subjek diambil kembali pada menit ke-15, 30, 45, 60, 90, dan 120 setelah pemberian pangan uji/acuan. Dalam satu kali pengukuran indeks glikemik (satu perlakuan) subjek diambil darah sebanyak tujuh kali. Selain itu, subjek mendapatkan penggantian biaya transport serta hak subjek untuk mengundurkan diri dari penelitian. Subjek yang telah memperoleh penjelasan rinci penelitian diminta untuk menandatangani formulir informed consent (Lampiran 4). Formulir informed consent ditandatangani oleh peneliti, subjek, dan saksi.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data Glukosa Darah

Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer. Data glukosa darah dikumpulkan selama 4 minggu, yaitu kadar glukosa darah 10 orang subjek dengan empat perlakuan. Semua subjek (10 orang) diukur kadar glukosa darahnya setelah diberi beban bahan makanan, yaitu minggu pertama mengkonsumsi pangan acuan berupa glukosa murni (perlakuan pertama), minggu kedua mengkonsumsi pangan uji ke-1 berupa tiwul instan tinggi protein (perlakuan kedua), minggu ketiga mengkonsumsi pangan uji ke-2 berupa tiwul instan komersial (perlakuan ketiga), dan minggu keempat mengkonsumsi pangan uji ke-3 berupa tiwul konvensional (perlakuan keempat). Tiwul instan tinggi protein dan tiwul konvensional adalah pangan uji yang dibuat sendiri oleh peneliti, sedangkan tiwul instan komersial dibeli dari salah satu perusahaan di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. Bahan makanan tersebut masing-masing diberikan setara dengan 50 g available carbohydrate. Pemberian pangan uji dan pangan acuan (glukosa murni) dilakukan dengan jeda 7 hari (1 minggu) untuk masing-masing pangan.

e. Pengukuran Indeks Glikemik

Prosedur penentuan nilai indeks glikemik berbagai jenis tiwul mengacu pada Miller et al. (1996) dalam Rimbawan dan Siagian (2004). Berikut ini adalah langkah-langkah penentuan nilai indeks glikemik tiwul :

(41)

ii. Pangan uji ke-1 berupa tiwul instan tinggi protein diberikan kepada subjek pada minggu kedua, pangan uji ke-2 berupa tiwul instan komersial diberikan kepada subjek pada minggu ketiga, dan pangan uji ke-3 berupa tiwul konvensional diberikan kepada subjek pada minggu keempat. Masing-masing pangan uji diberikan setara 50 g available carbohydrate.

iii. Selama dua jam pasca pemberian pangan uji atau pangan acuan, sampel darah (50µL) finger-prick capillary blood samples method berturut-turut, diambil pada menit ke-0 (sebelum pemberian), 15, 30, 45, 60, 90, dan 120 setelah pemberian pangan uji.

iv. Pada waktu yang berlainan (7 hari kemudian/seminggu), hal yang sama dilakukan dengan memberikan pangan acuan (glukosa murni), 7 hari berikutnya diberikan pangan uji ke-1 dan 7 hari berikutnya diberikan pangan uji ke-2 serta 7 hari berikutnya diberikan pangan uji ke-3.

v. Kadar glukosa darah (pada setiap waktu pengambilan sampel) ditebarkan pada dua sumbu, yaitu sumbu waktu dan kadar glukosa darah.

vi. Indeks glikemik tiwul ditentukan dengan cara membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan uji (tiwul) dengan pangan acuan (glukosa murni).

Kadar glukosa darah pada setiap pengambilan, baik untuk pangan uji maupun pangan acuan ditebarkan pada dua sumbu, yaitu sumbu x (waktu) dan sumbu y (kadar glukosa darah). Indeks glikemik ditentukan dengan

Data yang diperoleh diolah secara statistik, ditabulasikan dan disajikan dalam bentuk rata-rata. Hasil uji organoleptik diolah dengan menggunakan analisis sidik ragam dan apabila terdapat pengaruh nyata (p<0,05), maka dilakukan uji lanjutan dengan Uji Duncan untuk menguji perbedaan dari semua pelakuan.

(42)

dengan analisis sidik ragam dan dilakukan uji lanjut Duncan. Hasil analisis data disajikan dalam bentuk diagram.

Data hasil respon glukosa darah subjek diolah secara manual untuk mendapatkan nilai indeks glikemik pangan uji. Data hasil pengukuran glukosa darah subjek kemudian ditebarkan dalam sumbu X (waktu) dan sumbu Y (kadar glukosa darah). Dengan demikian, akan diperoleh sebuah kurva yang menunjukan respon glukosa darah terhadap pangan yang diberikan untuk masing-masing subjek. Berikut ini gambar kurva pengukuran indeks glikemik pangan.

Gambar 2 Kurva pengukuran indeks glikemik pangan

(a) Pangan acuan; (b) Pangan yang diuji

Sumber: Rimbawan & Siagian (2004)

Indeks glikemik ditentukan dengan cara membandingkan luas daerah di bawah kurva (Area Under Curve, AUC) antara pangan yang diukur indeks glikemiknya dengan pangan acuan (glukosa murni). Pada penelitian ini, luas daerah di bawah kurva dihitung secara manual dengan cara menarik garis horizontal dan membuat garis vertikal berdasarkan waktu pengambilan darah sehingga kurva membentuk luas bangun segitiga dan tapesium. Luas daerah di bawah kurva diperoleh dengan cara menjumlahkan masing-masing luas bangun. Perhitungan nilai indeks glikemik pangan uji diperoleh dengan cara sebagai berikut :

Luas kurva pangan uji setelah 2 jam

Indeks Glikemik = x 100

Luas kurva pangan standar (glukosa murni) setelah 2 jam

(43)

Tabel 8 Kategori pangan menurut indeks glikemik

Kategori Pangan Rentang Indeks Glikemik

IG rendah <55

IG sedang (intermediate) 55-70

IG tinggi >70

Sumber: Miller et al. 1996

Definisi Operasional

Indeks Glikemik adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula darah setelah 2 jam mengkonsumsi pangan (Rimabawan & Siagian 2004). Subjek adalah sepuluh orang mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat, IPB,

yang memenuhi kriteria, yaitu laki-laki dan perempuan, berumur 18-30 tahun, memiliki indeks massa tubuh normal antara 18,5 22,9 kg/m2,

dalam keadaan sehat, tidak memiliki riwayat penyakit DM, tidak menderita penyakit ginjal, tidak menderita penyakit hati, tidak sedang mengalami gangguan pencernaan, tidak menjalani pengobatan, tidak menggunakan obat-obatan terlarang, tidak merokok serta tidak meminum minuman beralkohol.

Subjek sehat adalah subjek yang bebas dari penyakit-penyakit yang berhubungan dengan metabolisme karbohidrat seperti penyakit diabetes mellitus, penyakit hati dan penyakit ginjal yang ditentukan melalui pemeriksaan kesehatan meliputi kadar glukosa puasa, kadar glukosa 2 jam setelah makan, kadar bilirubin (direk dan total), kadar SGOT dan SGPT, dan kadar kreatinin darah.

Gaplek adalah singkong yang telah dikupas dan dikeringkan dalam bentuk gelondongan (utuh).

Tepung gaplek adalah gaplek yang digiling kemudian diayak hingga menjadi tepung.

Tepung singkong adalah singkong yang diparut atau dipotong tipis (slicer) kemudian dijemur dan digiling.

Tapioka adalah singkong yang diparut lalu diekstrak (diperas) kemudian endapannya dijemur dan dikeringkan.

Tiwul adalah makanan dari gaplek singkong yang ditumbuk atau dihaluskan kemudian diperciki air dan dikukus (Rukmana 2002).

Tiwul konvensional adalah makanan yang dibuat dari tepung gaplek yang ditambahkan air kemudian dikukus tanpa penambahan garam atau gula. Tiwul instan tinggi protein adalah makanan yang dibuat dari campuran tepung

(44)

flavour powder yang ditambahkan air kemudian dikukus, dibekukan dan dikeringkan hingga berbentuk instan.

(45)

Menurut Soetanto (2008), umbi ketela atau singkong umumnya dapat dipanen saat tanaman berumur 6-12 bulan setelah tanam. Pada penelitian ini bahan dasar tepung gaplek adalah singkong kuning yang dipanen pada umur 6-9 bulan. Proses pembuatan tepung gaplek meliputi pengupasan, pencucian dan perendaman dalam air mengalir selanjutnya singkong dikeringkan dan digiling (dihaluskan) dan diayak sehingga diperoleh tepung gaplek.

Tahap awal dalam pembuatan tepung gaplek adalah pengupasan dan pencucian singkong segar. Setelah itu dilakukan perendaman dengan air. Perendaman juga merupakan proses pencucian karena secara tidak langsung memiliki efek membersihkan. Perendaman dapat menghilangkan seluruh sianida bebas karena proses pencucian dalam air mengalir cukup ampuh untuk mencegah terbentuknya HCN yang beracun (Astawan 2004).

Proses selanjutnya adalah pengeringan. Pengeringan dilakukan dengan sinar matahari selama 5-7 hari sampai singkong kering. Pengeringan berlangsung dalam waktu yang cukup lama karena singkong dikeringkan dalam bentuk utuh tanpa diiris-iris. Hasil dari pengeringan adalah gaplek utuh yang kemudian digiling dan diayak sehingga diperoleh tepung gaplek.

Gambar 3 Tepung gaplek

Rendemen Tepung Gaplek

(46)

Komposisi Zat Gizi Tepung Gaplek

Komposisi zat tepung gaplek yang dianalisis antara lain adalah kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, dan kadar serat makanan. Tabel 9 menampilkan komposisi zat gizi tepung gaplek.

Tabel 9 Komposisi zat gizi tepung gaplek hasil analisis

Komposisi zat gizi per 100 g Tepung gaplek SNI*

Energi (kkal) 390 -

*Sumber: Badan Standarisasi Nasional (SNI.No.01.2905.1992)

Hasil analisis tepung gaplek menunjukkan bahwa tepung gaplek yang dibuat telah memenuhi SNI untuk tepung gaplek untuk kadar karbohidrat, kadar abu dan kadar air. Namun, hasil analisis kadar serat tepung yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan SNI kadar serat tepung gaplek.

Pengolahan Berbagai Jenis Tiwul Tiwul Konvensional

Tiwul konvensional adalah tiwul yang dibuat sendiri oleh peneliti. Pada pembuatan tiwul konvensional, bahan yang digunakan adalah tepung gaplek dan air tanpa adanya tambahan pemanis dan garam sehingga tiwul yang dihasilkan tawar. Pembuatan tiwul konvensional dilakukan dengan menambahkan air sedikit demi sedikit pada tepung gaplek ke dalam tampah dengan perbandingan 1:1 (air:tepung), kemudian tampah diputar hingga diperoleh gumpalan (granula). Granula tiwul kemudian dikukus selama 20 menit sampai matang (Lampiran 1). Tiwul Instan Tinggi Protein

Gambar

Gambar 5 Grafik hasil uji mutu hedonik warna tiwul instan tinggi protein
Gambar 6 Grafik hasil uji mutu hedonik aroma tiwul instan tinggi protein
Gambar 7 Grafik hasil uji mutu hedonik rasa tiwul instan tinggi protein
Gambar 8 Grafik hasil uji mutu hedonik tekstur tiwul instan tinggi protein
+7

Referensi

Dokumen terkait