• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Tataniaga Kelapa Sawit di Desa Tanjung Jaya Kecamatan Bangun Rejo Kabupaten Lampung Tengah Provinsi Lampung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisa Tataniaga Kelapa Sawit di Desa Tanjung Jaya Kecamatan Bangun Rejo Kabupaten Lampung Tengah Provinsi Lampung"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISA TATANIAGA KELAPA SAWIT DI DESA TANJUNG

JAYA KECAMATAN BANGUN REJO KABUPATEN

LAMPUNG TENGAH PROVINSI LAMPUNG

RATIZA ALIFA ASMARANTAKA

H34080148

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisa Tataniaga Kelapa Sawit di Desa Tanjung Jaya Kecamatan Bangun Rejo Kabupaten Lampung Tengah Provinsi Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Ratiza Alifa Asmarantaka

NIM H34080148

(4)
(5)

ABSTRAK

RATIZA ALIFA ASMARANTAKA. Analisa Tataniaga Kelapa Sawit di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung. Dibimbing oleh POPONG NURHAYATI.

Desa Tanjung Jaya merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Lampung Tengah yang merupakan daerah penghasil kelapa sawit di Provinsi Lampung yang cukup potensial, mudah dijangkau, dan letaknya strategis dekat dengan dua lokasi pabrik pengolahan, yaitu PT. Kalirejo Lestari dan PTPN VII Bekri. Dalam memasarkan usahanya petani dibantu oleh pedagang pengumpul, dan agen perantara. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa saluran tataniaga kelapa sawit yang terbentuk di Desa Tanjung Jaya, mengetahui serta menganalisa fungsi tataniaga yang terjadi pada sistem tataniaga kelapa sawit di Desa Tanjung Jaya, dan menganalisis efisiensi sistem tataniaga petani pada pemasaran kelapa sawit di Desa Tanjung Jaya. Data diolah dan dianalisis dengan metode kuantitatif dan kualitatif untuk mengetahui efisiensi tataniaga kelapa sawit. Penelitian analisa kualitatif efisiensi tataniaga kelapa sawit meliputi lembaga dan saluran pemasaran tataniaga, serta fungsi tataniaga. Penelitian analisa kualitatif efisiensi tataniaga kelapa sawit ini dijelaskan secara deskriptif untuk menjabarkan semua detail dari saluran pemasaran, fungsi pemasaran, serta permasalahan yang terjadi. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan melalui pendekatan marjin tataniaga,farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Berdasarkan analisa sistem tataniaga disimpulkan bahwa saluran tataniaga yang melalui agen perantara lebih efisien. Saluran tataniaga ini yang sebaiknya digunakan oleh petani di Desa Tanjung Jaya. Alternatif lain yang diterapkan petani adalah meningkatkan kualitas TBS, melakukan kemitraan dengan agen perantara, pedagang pengumpul, dan pabrik pengolahan, menjaga kualitalitas TBS, serta mengikuti informasi mengenai harga TBS, dan perkembangan pasar.

Kata Kunci : kelapa sawit, sistem tataniaga, efisiensi tataniaga

ABSTRACT

RATIZA ALIFA ASMARANTAKA. Analyze Of Palm Oil Marketing at Tanjung Jaya Village, Bangun Rejo subdistrict, Lampung Tengah regency, Lampung Province. Counseling by POPONG NURHAYATI.

(6)

Jaya village, and to analyze the efficiency of farmer's marketing system on palm oil marketing at Tanjung Jaya village. The data is made and analyzed by quantitative and qualitative methods to know the efficiency of palm oil marketing. The Qualitative analysis of palm oil marketing's efficiency includes the institution and marketing channel and marketing function. This Qualitative analysis of palm oil marketing's efficiency describes the marketing channel, marketing function, and also the problems occured. The qualitative analysis describes of marketing margin, farmer's share, and the profit ratio toward cost. The result shows that there are two systems of oil palm marketing channel. The first system is the channel which goes through the supplier, and the second oil palm channel system is the channel which goes through is. Based on these marketing system analysis, the conclusions this research sugest marketing channel through supplier is more efficient. This marketing channel should be used by the farmers at Tanjung Jaya village. Which can be applied by the farmers are increasing the quality of TBS (fresh fruit bunch), partnering the suppliers, collective sellers, and cultivate factories (processing unit), keeping the quality of TBS (fresh fruit bunch), and also following the latest information of TBS (fresh fruit bunch) and its market development.

(7)

ANALISA TATANIAGA KELAPA SAWIT DI DESA TANJUNG

JAYA KECAMATAN BANGUN REJO KABUPATEN

LAMPUNG TENGAH PROVINSI LAMPUNG

RATIZA ALIFA ASMARANTAKA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANEJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Analisa Tataniaga Kelapa Sawit di Desa Tanjung Jaya Kecamatan Bangun Rejo Kabupaten Lampung Tengah Provinsi Lampung

Nama : Ratiza Alifa Asmarantaka NIM : H34080148

Disetujui oleh

Ir. Popong Nurhayati, MM Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkah karunia dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan oleh penulis. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 sampai dengan bulan Desember 2012 ini ialah Tataniaga Agribisnis, dengan judul Analisa Tataniaga Kelapa Sawit di Desa Tanjung Jaya Kecamatan Bangun Rejo Kabupaten Lampung Tengah Provinsi Lampung.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Ir. Popong Nurhayati, MM selaku dosen pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Gultom selaku Manager pabrik pengolahan PT. Kalirejo Lestari dan bapak Andi Punoko selaku Direktur utama PTPN VII Bekrie yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Tidak lupa kepada teman-teman agribisnis 45 yang selalu memberi dukungan dan bantuan dalam pembuatan skripsi ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

Ratiza Alifa Asmarantaka

(11)
(12)
(13)

DAFTAR TABEL

1 Mata Pencaharian Penduduk Desa Tanjung Jaya 2 Karakteristik Responden Petani Kelapa Sawit Desa Tanjung Jaya 3 Karakteristik Individu Responden Lembaga Tataniaga Kelapa Sawit

Desa Tanjung Jaya 27 4 Standar Kematangan Buah Kelapa Sawit

5 Pola Saluran Tataniaga TBS Kelapa Sawit Desa Tanjung Jaya 6 Harga Beli, Harga Jual dan Keuntungan pada Masing-Masing Pola

Saluran Tataniaga TBS Kelapa Sawit 49 7 Marjin Tataniaga

8 Farmer’s Share Berdasarkan Pola Saluran Tataniaga 9 Rasio Keuntungan dan Biaya 10 Nilai Efisiensi Pemasaran pada Masing-Masing Pola 11 Saluran Tataniaga

(14)

DAFTAR GAMBAR

1 Konsep Marjin Pemasaran 14 2 Kerangka Pemikiran Operasional Sistem Tataniaga Kelapa

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Luas areal dan produksi kelapa sawit provinsi lampung

tahun 2011 62

2 Luas areal dan produksi kelapa sawit PR kabupaten lampung tengah tahun 2011 63

3 Luas areal dan produksi kelapa sawit kecamatan bangun rejo kabupaten lampung tengah tahun 2011 64

4 Pabrik pengolahan kelapa sawit provinsi lampung tahun 2010 65

5 Berita acara penetapan harga pembelian TBS kelapa sawit produksi pekebun bulan November 2012 66

6 Rincian biaya harga beli harga jual TBS kelapa sawit desa tanjung jaya pada masing-masing pola saluran tataniaga 68

7 Contoh kartu timbang 70

8 Rekapitulasi data hasil penelitian 71

9 Kuisioner petani responden 74

10 Kuisioner lembaga tataniaga 76

11 Kuisioner penelitian 78

12 Potensi produksi tanaman kelapa sawit berdasarkan umur dan kelas lahan 81

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan sektor pertanian dan sektor industri di Indonesia merupakan salah satu pembangunan bidang ekonomi dalam rangka meningkatkan lapangan kerja serta mengembangkan wilayah, dan peningkatan pendapatan masyarakat sekaligus peningkatan bagi devisa negara. Pembangunan sektor pertanian dan industri memerlukan dukungan sektor lain seperti jasa perhubungan, perdagangan, dan pelayanan keuangan perbankan. Keterkaitan antara sektor pertanian, industri, jasa, dan sektor lain sangat penting dalam mewujudkan jaringan agroindustri dan agribisnis. Agroindustri mampu meningkatkan pendapatan para pelaku agribisnis, menyerap tenaga kerja, meningkatkan devisa, dan mendorong industri lain untuk lebih bersinergi. Pembangunan sektor pertanian dan sub sektor perkebunan di Provinsi Lampung dalam rangka pengembangan wilayah, peningkatan pendapatan, dan kesejahteraan petani dilaksanakan melalui berbagai pengembangan komoditi perkebunan seperti kelapa sawit, kopi, karet, tebu, dan komoditi perkebunan lainnya.

Menurut data dari Dinas Perkebunan Provinsi Lampung pada tahun 2011 jumlah areal kelapa sawit mencapai 194.616 Ha, dengan produksi 390.906 ton minyak sawit, Crude Palm Oil (CPO). Pengusahaan kelapa sawit dilakukan melalui Perkebunan Besar Negara (PBN), Perkebunan Besar Swasta (PBS), dan Perkebunan Rakyat (PR). Luas areal kelapa sawit PBN 11.787 Ha (6.05%), PBS 100.159 Ha (51.46%), dan PR 82.670 Ha (42.43%). Produktivitas kelapa sawit PBN 3052 kg/Ha, PBS 3165 kg/Ha, dan PR 2914 kg/Ha. Pengusahaan Kelapa Sawit PR di Provinsi Lampung Tahun 2011 rata-rata 0,7 Ha/Kk Dengan Produktivitas 2,9 Ton CPO/Ha. Luas areal, Produksi, dan Produktivitas kelapa sawit di provinsi Lampung tahun 2011 secara rinci dapat dilihat pada lampiran 2.

Luas areal perkebunan kelapa sawit pada tahun 2011 di kabupaten Lampung Tengah mencapai 10.537 Ha, dengan produksi 25.541 ton, dan produktivitas 3045 kg/Ha dengan melibatkan 15.053 KK petani. Sedangkan di kecamatan Bangun Rejo, luas areal tanaman kelapa sawitnya mencapai 2.305 Ha, dengan produksi 5.932.8 ton, produktivitas 3200 kg/Ha, dengan jumlah petani mencapai 1.700 KK. Luas areal, produksi, produktivitas, dan jumlah petani yang terlibat dalam usahatani tanaman kelapa sawit kabupaten Lampung Tengah dan kecamatan Bangun Rejo, tahun 2011 dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4.

Pengusahaan kelapa sawit PR mulai digiatkan pada awal tahun 1990, melalui program pemerintah, bekerja sama dengan pihak PBN dan PBS, dengan konsep kemitraan. Sebagai perusahaan inti adalah PBN dan PBS dan petani PR, melalui kelompok-kelompok tani sebagai plasma dan selanjutnya melalui koperasi unit desa (KUD) bekerja sama lebih lanjut dalam layanan pemasaran dan pengolahan hasil dengan pabrik kelapa sawit (PKS) milik PBN dan PBS. Daftar nama perusahaan pengolahan hasil produksi tanaman kelapa sawit di provinsi lampung dapat dilihat pada Lampiran 5.

(18)

yang dihadapi petani perkebunan rakyat (PR) dalam mengelola usaha tani kelapa sawit adalah masih rendahnya produktivitas dan lemahnya akses dalam tata niaga pemasaran dan pengolahan hasil.

Perumusan Masalah

Keberhasilan pengembangan kelapa sawit ditentukan oleh keberhasilan usahatani, seperti penggunaan bibit unggul bermutu, penanaman, pemeliharaan, pemupukan, dan pengendalian hama penyakit yang juga ditentukan oleh sistem tataniaga dan pengolahan hasil. Petani perkebunaan rakyat (PR) dihadapkan pada masalah teknis budidaya, seperti sulit serta mahalnya memperoleh bibit unggul bermutu dan pupuk. Masalah lain yang dihadapi petani adalah pada proses pasca panen, tataniaga, dan pengolahan hasil. Kelapa sawit di tingkat petani yang dipasarkan berupa tandan buah segar (TBS), digunakan sebagai bahan baku atau

raw material untuk selanjutnya diolah di pabrik pengolahan kelapa sawit, antara lain produk yang dihasilkan berupa minyak kelapa sawit (CPO). Ditingkat petani upaya peningkatan kualitas dilakukan dengan menjaga tingkat kematangan buah, menjaga kebersihan buah dari kotoran atau tangkai, dan memisahkan buah yang hampa. Kualitas yang dihasilkan akan diperhitungkan di pabrik melalui potongan rafraksi maupun sortasi.

Di Desa Tanjung Jaya Kecamatan Bangun Rejo Kabupaten Lampung Tengah Provinsi Lampung terdapat dua unit pabrik pengolahan kelapa sawit yaitu PT. Kalirejo Lestari milik perusahaan swasta dan PTPN VII Bekri milik pemerintah. Karena jumlah pabrik pengolahan yang minim, para petani dan pelaku tataniaga mengalami kerugian yang disebabkan oleh jumlah anrian kendaraan dan volume kendaraan yang besar ketika menuju pabrik pengolahan menyebabkan kualitas tandan buah segar (TBS) kurang baik. Petani juga mempunyai keterbatasan di dalam sarana transportasi berupa kendaraan (pick up) maupun truk untuk mengangkut hasil panen. Pengangkutan TBS dari kebun petani ke lokasi pabrik pengolahan kelapa sawit dilakukan oleh pedagang pengumpul atau agen perantara. Pengolahan hasil panen dilakukan di pabrik kelapa sawit milik perkebunan besar negara dan swasta. Petani perkebunan rakyat tidak turut serta dalam menentukan tingkat harga. Informasi harga diperoleh para petani melalui melalui agen perantara (supplier). Para petani dalam memasarkan TBS berada pada posisi tawar yang rendah. Secara umum pada panen besar seperti akhir tahun 2012 saat penelitian ini dilakukan harga tandan buah segar kelapa sawit (TBS) sedang jatuh, harga yang ditetapkan hanya berkisar Rp. 700 / kg. Sementara pada saat panen kurang baik, seperti pada bulan maret dan april 2013, harga dapat mencapai Rp 1.500 / kg.

Berdasarkan pada uraian di atas, maka rumusan masalah dalam dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana saluran tataniaga yang dihadapi oleh petani kelapa sawit di desa Tanjung Jaya?

2. Bagaimana penerapan fungsi–fungsi tataniaga pada komoditi kelapa sawit di Desa Tanjung Jaya?

(19)

Tujuan Penelitian

Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan maka adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisa saluran tataniaga kelapa sawit yang terbentuk di Desa Tanjung Jaya.

2. Mengetahui serta menganalisa fungsi tataniaga yang terjadi pada sistem tataniaga kelapa sawit di Desa Tanjung Jaya.

3. Menganalisa efisiensi tataniaga petani pada pemasaran kelapa sawit di Desa Tanjung Jaya.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini antara lain:

1. Sebagai informasi bagi petani dan lembaga pemasaran untuk meningkatkan kerjasama dan pendapatannya dalam proses tataniaga kelapa sawit di Desa Tanjung Jaya.

2. Bahan informasi dan kajian ilmiah dalam perencanaan kebijakan sosial ekonomi komoditas kelapa sawit serta mencari alternatif pemecahan masalah tataniaga kelapa sawit di Desa Tanjung Jaya.

3. Sebagai bahan refrensi penelitian tentang sistem tataniaga selanjutnya.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini yaitu:

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Hasil tanaman dan Produk Utama Kelapa Sawit

Minyak sawit digunakan sebagai bahan baku minyak makan, margarin, sabun, kosmetika, industri baja, kawat, radio, kulit dan industri farmasi. Minyak sawit dapat digunakan untuk begitu beragam peruntukannya karena keunggulan sifat yang dimilikinya yaitu tahan oksidasi dengan tekanan tinggi, mampu melarutkan bahan kimia yang tidak larut oleh bahan pelarut lainnya, mempunyai daya melapis yang tinggi dan tidak menimbulkan iritasi pada tubuh dalam bidang kosmetik. Bagian yang paling populer untuk diolah dari kelapa sawit adalah buah. Bagian daging buah menghasilkan minyak kelapa sawit mentah yang diolah menjadi bahan baku minyak goreng dan berbagai jenis turunannya. Kelebihan minyak nabati dari sawit adalah harga yang murah, rendah kolesterol, dan memiliki kandungan karoten tinggi. Minyak sawit juga diolah menjadi bahan baku margarin. Minyak inti menjadi bahan baku minyak alkohol dan industri kosmetika. Bunga dan buahnya berupa tandan, bercabang banyak. Buahnya kecil, bila masak berwarna merah kehitaman. Daging buahnya padat. Daging dan kulit buahnya mengandung minyak. Minyaknya itu digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun, dan lilin. Ampasnya dimanfaatkan untuk makanan ternak. Ampas yang disebut bungkil inti sawit itu digunakan sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang. Buah diproses dengan membuat lunak bagian daging buah dengan temperatur 90 °C. Daging yang telah melunak dipaksa untuk berpisah dengan bagian inti dan cangkang dengan pressing pada mesin silinder berlubang. Daging inti dan cangkang dipisahkan dengan pemanasan dan teknik pressing. Setelah itu dialirkan ke dalam lumpur sehingga sisa cangkang akan turun ke bagian bawah lumpur. Sisa pengolahan buah sawit sangat potensial menjadi bahan campuran makanan ternak dan difermentasikan menjadi kompos. Produk turunan CPO bisa dipasarkan untuk perusahaan yang memproduksi minyak goreng kelapa sawit,

margarine, shortening, vanaspati (Vegetable ghee), ice creams, bakery fats, instans noodle, sabun dan detergent, cocoa butter extender, chocolate dan

coatings, specialty fats, dry soap mixes, sugar confectionary, biskuit cream fats,

filled milk, lubrication, textiles oils dan bio diesel. Produk turunan minyak inti sawit bisa dipasarkan untuk perusahaan yang memproduksi shortening, cocoa

butter substitute, specialty fats, ice cream, coffee whitener/cream, sugar confectionary, biscuit cream fats, filled mild, imitation cream, sabun, detergent, shampoo dan kosmetik. Minyak sawit digunakan sebagai bahan baku minyak makan, margarin, sabun, kosmetika, industri baja, kawat, radio, kulit dan industri farmasi. Minyak sawit dapat digunakan untuk begitu beragam peruntukannya karena keunggulan sifat yang dimilikinya yaitu tahan oksidasi dengan tekanan tinggi, mampu melarutkan bahan kimia yang tidak larut oleh bahan pelarut lainnya, mempunyai daya melapis yang tinggi dan tidak menimbulkan iritasi pada tubuh dalam bidang kosmetik.

(21)

Secara historis pertumbuhan produksi minyak sawit dunia selama dua dasawarsa terakhir ini mengalami kenaikan sekitar 7,3% pertahun. Perkembangan minyak sawit dunia ini sangat dipengaruhi oleh produksi minyak sawit dari negara Malaysia dan Indonesia yang memberikan kontribusi sebesar 80% dari produksi dunia.Berdasarkan data Oil Word diperkirakan produksi CPO lima tahun ke depan akan meningkat tapi lebih kecil dibandingkan dengan konsumsi masyarakat dunia. Tingkat produksi CPO dunia masih dikuasai oleh Malaysia dengan pengusaan 50% market dunia, sedangkan Indonesia berada pada tingkat kedua dengan 30% penguasaan market dunia. Saat ini Indonesia dan Malaysia merupakan produsen utama CPO dunia dengan menguasai lebih dari 80% pangsa pasar.

Negara-negara produsen lainnya, seperti Nigeria, Kolombia, Thailand, Papua Nugini, dan bahkan Pantai Gading, boleh dibilang hanya menjadi pelengkap. Malaysia menempati peringkat teratas dengan volume produksi pada 2003 mencapai 13,35 juta ton. Sementara Indonesia masih 9,75 juta ton. Menurut ramalan Oil World, volume produksi CPO Indonesia pada 2010 bakal mencapai 12 juta ton.Namun, agaknya ramalan itu bakal meleset. Sebab, pada 2004 saja volume produksi CPO Indonesia sudah mencapai 11,5 juta ton. Itu sebabnya banyak kalangan optimis volume produksi CPO Indonesia bakal segera mengalahkan Malaysia, terlebih jika melihat luas lahan di Malaysia yang kian terbatas, sementara di Indonesia masih begitu luas. Produksi minyak sawit (CPO) di dalam negeri diserap oleh industri pangan terutama industri minyak goreng dan industri non pangan seperti industri kosmetik dan farmasi. Namun, potensi pasar paling besar adalah industri minyak goreng.

Potensi tersebut terlihat dari semakin bertambahnya jumlah penduduk yang berimplikasi pada pertambahan kebutuhan pangan terutama minyak goreng. Sampai tahun 1997 produksi minyak goreng Indonesia baru mencapai 3,1 juta ton dengan kontribusi minyak goreng sawit 2,3 juta ton (74 %). Kebutuhan untuk memproduksi minyak goreng sawit sebesar itu memerlukan 3,3 juta ton minyak sawit.

Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah penelitian yang terkait dengan usahatani dan sistem tataniaga dari berbagai komoditi tanaman perkebunan dilihat berdasarkan konsep saluran dan lembaga pemasaran, fungsi, marjin pemasaran, farmer’s share dan struktur pasar. Berikut adalah beberapa hasil penelitian mengenai kondisi tataniaga dari berbagai tanaman perkebunan dan pertanian.

(22)

sedangkan topik penelitian ini adalah sistem tataniaga yang menggunakan marjin pemasaran, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya. Lokasi penelitian Lestari di Kabupaten Pati sedangkan penelitian ini dilakukan di Kabupaten Lampung Tengah.

Maimun (2009) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pendapatan Usaha Tani, Nilai Tambah, dan Saluran Pemasaran Kopi Arabika Organik dan Non Organik Aceh Tengah” (Studi Kasus: Pengolahan Bubuk Kopi Ulee Kareng di Banda Aceh). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis kualitatif dan kuantitaif. Hasil dari penelitian mengenai saluran pemasaran kopi arabika organik dan non organik memiliki satu saluran pemasaran, yaitu petani – pedagang pengumpul desa – pedagang pengumpul kota (besar) – industri bubuk kopi ulee kareng. Saluran pemasaran yang lebih efisien adalah saluran pemasaran kopi arabika non organik karena memiliki marjin dan farmer’s share yang lebih besar. Perbedaan marjin dan farmer’s share diantara kopi arabika organik dan non organik kecil sehingga marjin dan farmer’s share harus lebih ditingkatkan.

Farmer’s share yang tinggi dapat dicapai jika petani mampu meningkatkan kualitas produknya.

(23)

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis merupakan rangkaian teori-teori yang digunakan dalam penelitian untuk menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang digunakan adalah sistem tataniaga, lembaga dan saluran tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, efisiensi tataniaga, farmer’s share, marjin pemasaran, serta rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran.

Tataniaga

Tataniaga adalah suatu kegiatan dalam mengalirkan produk dari produsen (petani) sampai ke konsumen akhir. Tataniaga erat kaitannya dengan kegiatan pemasaran. Tataniaga disebut juga pemasaran atau marketing merupakan salah satu bagian dari ilmu pengetahuan ekonomi (Limbong dan Sitorus 1987). Pemasaran adalah proses yang mengakibatkan aliran produk melalui suatu sistem dari produsen ke konsumen (Downey and Erickson 1992).

Hanafiah dan Saefuddin (2006) menjelaskan bahwa aktivitas tataniaga erat kaitannya dengan penciptaan atau penambahan nilai guna dari suatu produk baik barang atau jasa, sehingga tataniaga termasuk ke dalam kegiatan yang produktif. Kegunaan yang diciptakan oleh aktivitas tataniaga meliputi kegunaan tempat, kegunaan waktu dan kegunaan kepemilikan.

Menurut Asmarantaka (2009) pengertian tataniaga dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek ekonomi dan aspek manajemen.

Pengertian tataniaga dari aspek ilmu ekonomi adalah :

1. Tataniaga (pemasaran) produk agribisnis merupakan keragaan dari semua aktivitas bisnis dalam mengalirkan barang atau jasa dari petani produsen (usahatani) sampai ke konsumen akhir. Tataniaga menjembatani jarak antara petani produsen dengan konsumen akhir (Kohl and Uhl 2002, diacu dalam Asmarantaka 2009)

2. Tataniaga pertanian merupakan serangkaian fungsi yang diperlukan dalam menggerakkan input atau produk dari tingkat produksi primer hingga konsumen akhir. Tataniaga merupakan suatu sistem yang terdiri dari sub-sub sistem dari fungsi-fungsi tataniaga (fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas) yang pelaksana fungsi tersebut dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga (Hammond and Dahl 1977 diacu dalam Asmarantaka 2009)

3. Rangkaian fungsi-fungsi tataniaga merupakan aktivitas bisnis dan merupakan kegiatan produktif sebagai proses meningkatkan atau menciptakan nilai (value added) yaitu nilai guna bentuk (form utility), tempat (place utility),

(24)

dan kepemilikan), grosir ke pedagang eceran (nilai guna tempat dan waktu) yang akhirnya ke pabrik roti (nilai guna bentuk) dan konsumen akhir (kepuasan). Dari proses tataniaga ini banyak nilai guna yang terjadi dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.

4. Tataniaga pertanian merupakan salah satu sub-sitem dari sistem agribisnis yaitu sub-sistem sarana produksi pertanian, usahatani (produksi primer), tataniaga dan pengolahan hasil pertanian dan sub-sistem penunjang (penelitian, penyuluhan, pembiayaan, kebijakan tataniaga). Pelaksanaan aktivitas tataniaga merupakan faktor penentu efisiensi dan efektivitas dari pelaksanaan sistem agribisnis.

Sementara itu dari aspek manajemen tataniaga merupakan suatu proses sosial dan manajerial yang didalamnya individu atau kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernialai dengan pihak lain.

Menurut Asmarantaka (2009), dalam menganalisis suatu sistem tataniaga dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu :

1. Pendekatan Fungsi

Merupakan pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui beragam fungsi tataniaga yang diterapkan dalam suatu sistem tataniaga dalam upaya menciptakan efisiensi pemasaran serta mencapai suatu tujuanya itu meningkatkan kepuasan konsumen. Fungsi-fungsi tataniaga meliputi fungsi pertukaran yang meliputi fungsi pembelian, penjualan dan fungsi pengumpulan; fungsi fisik yang terdiri dari fungsi penyimpanan, pengangkutan dan pengolahan; dan fungsi fasilitas yang merupakan fungsi yang memperlancar pelakasanaan fungsi pertukaran dan fungsi fisik, fungsi fasilitas terdiri dari fungsi standarisasi, fungsi keuangan, fungsi penanggungan risiko dan fungsi intelijen pemasaran.

2. Pendekatan Kelembagaan

Merupakan pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui para pelaku serta pihak – pihak yang terlibat dalam suatu sistem tataniaga. Para pelaku yang terlibat dalam aktivitas tataniaga dikelompokkan dalam kelembagaan tataniaga. Kelembagaan tataniaga adalah berbagai organisasi bisnis atau kelompok bisnis yang melaksanaka atau mengembangkan aktivitas bisnis berupa kegiatan – kegiatan produktif yang diwujudkan melalui pelaksanaan fungsi-fungsi tataniaga. Para pelaku dalam aktivitas tataniaga terdiri dari pedagang perantara (merchant middlemen), agen perantara (agent middlemen), spekulator (speculative middlemen), pengolah dan pabrikan (processors and manufactures) dan organisasi (facilitative organization). 3. Pendekatan Sistem

(25)

Definisi tataniaga juga adalah sebagai wujud serangkaian aktifitas dari fungsi yang diperlukan dalam penanganan atau pergerakan input ataupun produk mulai dari titik produksi primer sampai ke konsumen akhir (Hammond dan Dahl, 1977). Menurut Kotler (2002), tataniaga adalah suatu proses sosial yang yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain.

Limbong dan Sitorus (1985) menyatakan bahwa tataniaga mencakup segala aktivitas yang diperlukan dalam pemindahan hak milik yang menyelenggarakan saluran fisiknya termasuk jasa-jasa dan fungsi-fungsi dalam menjalankan distribusi barang dari produsen sampai ke konsumen termasuk didalamnya kegiatan-keAgiatan tertentu yang menghasilkan perubahan-perubahan bentuk dari barang yang ditujukan untuk mempermudah penyaluran dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumen. Sehingga tataniaga dapat didefinisikan sebagai fungsi yang digunakan untuk menggerakan produk jadi dari produsen hingga konsumen akhir.

Kohl dan Uhl (2002) menjelaskan bahwa tataniaga adalah seluruh aktivitas bisnis yang terlibat dalam arus produk dan pelayanan dari titik awal produk tersebut dihasilkan hingga produk tersebut sampai ke tangan konsumen.

Menurut Kohl dan Uhl (2002), mendefenisikan tataniaga pertanian merupakan keragaman dari semua aktivitas bisnis dalam aliran barang dan jasa komoditas pertanian mulai dari tingkat produksi (petani) sampai konsumen akhir, yang mencakup aspek input dan output pertanian. Untuk menganalisis sistem tataniaga dapat dilakukan melalui lima pendekatan (Purcell, 1977; Gonarsyah, 1996/1997; Kohls dan Uhl, 1990 dan 2002) dalam Asmarantaka (2009), yaitu:

1. Pendekatan Fungsi (The Functional Approach); yang terdiri dari fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (penyimpanan, pengolahan dan pengangkutan), dan fungsi fasilitas (standarisasi, pembiayaan, resiko dan informasi pasar).

2. Pendekatan Kelembagaan (The Institutional Approach); yang terdiri dari pedagang perantara, pedagang spekulan, pengolah dan organisasi yang memberikan fasilitas pemasaran.

3. Pendekatan Komoditas (Commodity Approach); pendekatan ini menekankan kepada apa yang diperbuat dan bagaimana penanganan terhadap komoditi sepanjang gap antara petani (the original point of production) dengan konsumen akhir. Dengan demikian pendekatan ini menggambarkan agar penanganannya efisien.

4. Pendekatan Sistem (System Approach); pendekatan ini mempunyai arti menekankan kepada keseluruhan sistem, efisien dan proses yang kontiniu membentuk suatu sistem. Dengan demikian pendekatan ini menganalisa keterkaitan yang kontiniu diantara subsistem- subsistem (misalnya subsitem pengumpulan atau penyediaan bahan baku, pengolahan dan distribusi) yang memberikan tingkat efisiensi tinggi.

(26)

penciptaan suatu komoditas lebih berguna bagi konsumen.

Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2002), panjang pendeknya saluran tataniaga yang dilalui tergantung pada beberapa faktor :

1. Jarak antara produsen dan konsumen. Makin jauh jarak antara produsen dan konsumen biasanya makin panjang saluran yang ditempuh oleh suatu produk. 2. Cepat tidaknya produk rusak. Produk yang cepat atau mudah rusak harus

segera diterima konsumen, dan dengan demikian menghendaki saluran yang pendek dan cepat.

3. Skala produksi. Bila produksi berlangsung dalam ukuran-ukuran kecil maka jumlah produk yang dihasilkan berukuran kecil pula, hal mana akan tidak menguntungkan bila produsen langsung menjualnya ke pasar. Dalam keadaan demikian kehadiran pedagang perantara diharapkan, dan dengan demikian saluran yang akan dilalui produk cenderung panjang.

4. Posisi keuangan pengusaha. Produsen yang posisi keuangannya kuat cenderung akan memperpendek saluran tataniaga. Produsen yang posisi keuangan kuat akan dapat melakukan fungsi tataniaga lebih banyak dibandingkan dengan pedagang yang posisi modalnya lemah. Dengan kata lain, pedagang yang memiliki modal kuat cenderung memperpendek saluran tataniaga.

Lembaga dan Saluran Tataniaga

Lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dengan mana barang-barang bergerak dari pihak produsen sampai pihak konsumen. Istilah lembaga tataniaga ini termasuk produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa. (Hanafiah dan Saeffudin, 2002). Keberadaan lembaga – lembaga tataniaga dimulai ketika produk dihasilkan oleh produsen primer hingga suatu produk siap dikonsumsi oleh konsumen. Menurut Limbong dan Sitorus (1985), lembaga pemasaran merupakan suatu badan yang menyelenggarakan kegiatan tataniaga atau pemasaran, yang menurut fungsinya dapat dibedakan atas :

a. Lembaga fisik tataniaga yaitu lembaga – lembaga yang menjalankan fungsi fisik, misalnya badan pengangkut atau transportasi.

b. Lembaga perantara tataniaga adalah suatu lembaga khusus yang melakukan fungsi pertukaran.

c. Lembaga fasilitas tataniaga yaitu lembaga yang menjalankan fungsi fasilitas seperti Bank, Lembaga Perkreditan Desa, KUD.

Selain itu, lembaga pemasaran juga dibedakan menurut penguasaan terhadap barang, yang terdiri dari :

a. Lembaga pemasaran yang tidak memiliki tetapi menguasai barang, misalnya agen, perantara dan broker. Badan – badan ini menjalankan fungsinya untuk mempertemukan atau menyampaikan produk dari produsen ke konsumen. Penguasaan terhadap barang dimaksudkan bahwa perantara tidak berhak atas barang namun ia boleh menyimpan, mengadakan sortasi serta melakukan pengepakan kembali.

(27)

pedagang pengumpul, pedagang pengecer, grosir, eksportir/importir. Badan yang tergolong pada kelompok ini menjalankan fungsinya untuk memiliki dan menguasai barang dengan cara membeli barang tersebut terlebih dahulu sebelum dijual kembali. Badan ini akan menanggung risiko ekonomi maupun teknis.

c. Lembaga pemasaran yang tidak memiliki dan tidak menguasai barang, yaitu badan yang menjalankan fungsi sebagai fasilitas pengangkutan, pergudangan, asuransi dan lain – lain.

Produsen merupakan pihak yang berperan sebagai penyedia produk baik produk sebagai bahan konsumsi ataupun produk yang digunakan sebagai bahan baku bagi industri terkait. Kemudian terdapat pedagang perantara yang fungsinya menyalurkan produk dari produsen ke konsumen apabila terdapat jarak dan ktiadaan akses bagi produsen untuk menyalurkan produknya secara langsung kepada konsumen. Menurut Asmarantaka (2009) yang termasuk kedalam kelompok pedagang perantara adalah pedagang pengumpul (assembler), pedagang eceran (retailer) dan pedagang grosir (wholesalers). Pedagang grosir adalah pedagang yang menjual produknya kepada pedagang eceran dan pedagang lainnya. Biasanya volume usaha relatif besar daripada pedagang eceran. Pedagang eceran adalah pedagang yang menjual produknya langsung untuk konsumen akhir.

Selain itu, adapula yang disebut dengan agen perantara. Mereka yang tergolong dalam kelompok agen perantara melaksanankan fungsi tataniaga tertentu dengan menerima komisi sebagai balas jasa. Sementara itu, ada juga yang disebut sebagai spekulator. Spekulator adalah pedagang perantara yang membeli atau menjual suatu produk dan memanfaatkan serta mencari keuntungan dari adanya pergerakan harga pada komoditi/produk tersebut. Lembaga lain yang berperan dalam aktivitas tataniaga adalah pengolah dan pabrikan. Kelompok ini berfungsi dalam merubah suatu produk yang merupakan bahan baku sehingga menjadi bahan setengah jadi atau produk akhir yang siap untuk dikonsumsi. Organisasi juga bias menjadi lembaga atau pelaku dalam tataniaga, misalnya pemerintah yang dalam hal ini berupaya menciptakan kebijakan serta peraturan yang terkait dengan aktivitas tataniaga dan perdagangan selain itu keterlibatan asosiasi eksportir dan importer juga dapat dikategorikan sebagai lembaga tataniaga.

Penyaluran produk dari produsen hingga ke tangan konsumen yang telah melibatkan berbagai lembaga tataniaga akan membentuk suatu saluran tataniaga (marketing channel). Saluran pemasaran dapat didefinisikan sebagai himpunan perusahaan dan perorangan yang mengambil alih hak atau membantu dalam pengalihan hak atas barang atau jasa tertentu sehingga berpindah dari produsen ke konsumen ( Limbong dan Sitorus 1987). Menurut Downey dan Erickson (1992) salauran pemasaran adalah jejak penyaluran barang dari produsen ke konsumen akhir.

Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2002), panjang pendeknya saluran tataniaga yang dilalui tergantung pada beberapa faktor :

(28)

produsen dan konsumen biasanya makin panjang saluran yang ditempuh oleh suatu produk.

b. Cepat tidaknya produk rusak. Produk yang cepat atau mudah rusak harus segera diterima konsumen, dan dengan demikian menghendaki saluran yang pendek dan cepat.

c. Skala produksi. Bila produksi berlangsung dalam ukuran-ukuran kecil maka jumlah produk yang dihasilkan berukuran kecil pula, hal mana akan tidak menguntungkan bila produsen langsung menjualnya ke pasar. Dalam keadaan demikian kehadiran pedagang perantara diharapkan, dan dengan demikian saluran yang akan dilalui produk cenderung panjang.

d. Posisi keuangan pengusaha. Produsen yang posisi keuangannya kuat cenderung akan memperpendek saluran tataniaga. Produsen yang posisi keuangan kuat akan dapat melakukan fungsi tataniaga lebih banyak dibandingkan dengan pedagang yang posisi modalnya lemah. Dengan kata lain, pedagang yang memiliki modal kuat cenderung memperpendek saluran tataniaga.

Fungsi Tataniaga

Tataniaga merupakan suatu kegiatan produktif yang mencakup proses pertukaran serta serangkaian kegiatan yang terkait pada proses pemindahan produk baik berupa barang ataupun jasa dari sektor produksi ke sektor konsumsi. Beragam kegiatan produktif yang terdapat di dalam sistem tataniaga disebut dengan fungsi tataniaga. Pelaksanaan fungsi – fungsi tataniaga akan menetukan efisiensi dari pelaksanaaan suatu sitem tataniaga. Tujuan dari pelaksanaan fungsi tataniaga adalah untuk meningkatkan kepuasan konsumen. Kemampuan suatu produk untuk memuasakan keinginan konsumen dapat diukur dengan utilitas yang mampu diberikan oleh produk tersebut. Utilitas merupakan nilai guna suatu produk yang meliputi nilai guna bentuk yaitu bagaimana menciptakan produk memiliki nilai guna misalnya dengan mengolah bahan mentah menjadi barang jadi; nilai guna waktu yaiu membuat produk tersedia pada waktu yang tepat sesuai dengan keinginan konsumen; nilai guna tempat yaitu menyediakan produk di tempat yang sesuai bagi konsumen yang membutuhkan; serta nilai guna kepemilikan yaitu bagaimana produk bisa untuk dimiliki serta digunakan oleh konsumen.

Menurut Limbong dan Sitorus (1985) fungsi tataniaga (pemasaran) dikelompokkan sebagai berikut :

1. Fungsi Pertukaran yang merupakan kegiatan dalam upaya memperlancar pemindahan hak milik atas barang dan jasa dari penjual kepada pembeli. Fungsi pertukaran meliputi fungsi penjualan dan fungsi pembelian.

- Fungsi penjualan, merupakan pengalihan produk kepada pihak pembeli dengan tingkat harga tertentu sebagai akibat dari pemberian nilai tambah dari produk tersebut. Fungsi penjualan diperlukan untuk melakukan penjualan produk yang sesuai dengan yang diinginkan konsumen dilihat dari jumlah, bentuk dan mutu pada tempat dan waktu yang tepat.

(29)

langsung ataupun pembelian untuk bahan baku produksi seperti pembelian yang dilakukan oleh pabrik yang mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi ataupun barang jadi yang siap pakai.

2. Fungsi Fisik merupakan semua aktivitas yang langsung berhubungan dengan barang dan jasa sehingga memiliki nilai kegunaan tempat, bentuk dan waktu. Fungsi ini terdiri dari :

- Fungsi pengangkutan, yaitu pemindahan barang-barang dari tempat produksi/tempat penjualan ke tempat-tempat dimana barang-barang tersebut akan dipakai. Proses pengangkutan akan menciptakan nilai guna tempat dan waktu. Dalam fungsi ini tentunya aspek terpenting yang perlu diperhatikan oleh pelaku tataniaga adalah penggunaan alternatif saranapengangkutan yang selanjutnya akan mempengaruhi biaya pengangkutan. Besarnya biaya pengangkutan yang dikeluarkan akan berdampak pada penentuan dari harga produk tersebut ketika sampai di tangan konsumen. Proses pengangkutan juga sangat bergantung pada efektifitas dalam informasi dan komunikasi serta pemanfaatan teknologi yang ada sehingga efisiensi dalam proses pengangkutan dapat tercapai.

- Fungsi penyimpanan, berarti menahan barang – barang selama jangka waktu tertentu sejak produk dihasilkan atau diterima hingga sampai ke proses penjualan. Kegiatan penyimpanan menciptakan nilai guna waktu pada produk. Proses penyimpanan pada produk pertanian dilakukan mengingat produk – produk pertanian memiliki karakteristik khusus yang bersifat musiman namun terkadang produk – produk ini dikonsumsi sepanjang tahun. Pelaksanaan fungsi penyimpanan dapat memperkecil terjadinya fluktuasi harga antara musim panen dan musim paceklik.

- Fungsi pengolahan, merupakan suatu upaya mengubah bahan mentah menjadi barang setengah jadi maupun barang jadi yang siap pakai. Fungsi pengolahan bertujuan untuk meningkatkan kualitas barang dalam rangka memperkuat daya tahan barang maupun sebagai upaya untuk meningkatkan nilai produk. Fungsi ini menciptakan nilai guna bentuk pada suatu produk. Kegiatan pengolahan erat kaitannya dengan kegiatan penyimpanan khususnya pada produk yang sifatnya musiman. Misalnya saja pada produk mangga yang sifatnya musiman, ketika sedang musim mangga, perusahaan jus dapat melakukan pengolahan terdapat buah mangga segar menjadi bentuk pasta dalam rangka menjaga ketersediaan bahan baku jus mangga pada waktu buah mangga tidak pada musimnya.

3. Fungsi Fasilitas atau Pelancar merupakan aktivitas yang memperlancar fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi ini meliputi kegiatan standarisasi dan

grading produk, informasi pasar, fungsi keuangan atau pembiayaan serta fungsi penangulangan risiko.

- Standarisasi dan grading

(30)

kategorinya tidak seragam menjadi seragam. Menurut Downey dan Erickson (1992), penggolongan mutu produk pertanian ke dalam kelas atau golongan standar sangat mempermudah proses usaha pembelian dan penjualan serta membantu sistem pemasaran bekerja lebih efisien.

- Informasi pasar

Fungsi informasi pasar meliputi kegiatan pengumpulan informasi pasar serta menafsirkan data informasi tersebut. Informasi mengenai pasar erat kaitannya dengan keputusan yang akan diambil oleh pelaku tataniaga. Misalnya terkait

dengan perubahan harga di pasar, bagaimana pendistribusian serta penanganan produk di mata konsumen. Sistem pemasaran yang efisien menuntut agar pihak – pihak yang berperan serta

- Penanggulangan risiko

Dalam pemasaran suatu produk khususnya produk pertanian, kemungkinan dalam menghadapi risiko pada kegiatan bisnisnya cukup besar. Risiko yang terjadi di dalam proses pemasaran dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu risiko fisik dan risiko ekonomi atau risiko penurunan harga (Limbong dan Sitorus 1987). Risiko-risiko tersebut diantaranya risiko kerusakan produk karena produk-produk pertanian bersifat bulky, voluminous dan perishable; risiko fluktuasi harga khususnya bagi komoditi yang bersifat musiman. Pengalihan risiko dapat dilakukan melalui kontrak pembelian dan penjualan serta melalui mekanisme hedging pada future market.

Marjin Tataniaga

Margin tataniaga merupakan perbedaan harga atau selisih harga yang dibayarkan konsumen akhir dengan harga yang diterima petani produsen. Dapat dikatakan juga sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga mulai dari tingkat produsen hingga tingkat konsumen akhir yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga. Margin tataniaga sebagai bagian dari harga konsumen yang tersebar pada setiap lembaga pemasaran yang terlibat (Kohl dan Uhl, 2002).

Tomek dan Robinson (1990), menyatakan bahwa marjin tataniaga sering dipergunakan sebagai perbedaan antara harga di berbagai tingkat lembaga pemasaran di dalam sistem pemasaran. Pengertian marjin pemasaran ini sering dipergunakan untuk menjelaskan fenomena yang menjembatani adanya kesenjangan (gap) antara pasar di tingkat petani dengan pasar di tingkat pengecer. Dua alternatif dari marjin pemasaran, yaitu:

1. Perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima produsen.

2. Merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa pemasaran sebagai akibat adanya permintaan dan penawaran jasa-jasa tersebut.

(31)

P(Harga) Dr

Df

Pr Pf

0 Qrf Q (jumlah)

investasi yang diberikan untuk lancarnya proses tataniaga dan input-input lainnya, serta dengan pendekatan returns to institution (marketing charge), yaitu pendekatan melalui lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses penyaluran atau pengolahan komoditi yang dipasarkan (pedagang pengumpul, pengolah, grosir, agen dan pengecer).

Setiap lembaga pemasaran melakukan fungsi-fungsi pemasaran. Fungsi yang dilakukan antarlembaga biasanya berbeda-beda, hal ini menyebabkan perbedaan harga jual dari lembaga satu dengan lembaga lainnya sampai ke tingkat konsumen akhir. Semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat, semakin besar perbedaan harga antara produsen dengan harga di tingkat konsumen. Secara grafik marjin tataniaga dapat digambarkan sebagai berikut.

Sr

Sf

Keterangan:

Pr : Harga di tingkat konsumen akhir Pf : Harga di tingkat petani

Sr : Derived Supply (kurva penawaran turunan sama dengan penawaran produk di tingkat pedagang)

Sf : Primary Supply (kurva penawaran primer awal penawaran produk di tingkat petani)

Dr : Derived Demand (kurva permintaan turunan atau permintaan di tingkat konsumen akhir)

Df : Primary Demand (kurva permintaan awal di tingkat konsumen akhir terhadap petani)

Qrf : Jumlah produk di tingkat petani dan konsumen akhir Gambar 1. Konsep Marjin Pemasaran

(32)

Tinggi rendahnya marjin tataniaga sering digunakan sebagai kriteria untuk penilaian apakah pasar tersebut sudah efisien atau belum, tetapi tinggi rendahnya marjin tataniaga tidak selamanya dapat digunakan sebagai ukuran efisiensi kegiatan tataniaga. Marjin tataniaga yang rendah tidak otomatis dapat digunakan sebagai ukuran efisien tidaknya pola pemasaran suatau komoditi. Tingginya marjin dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh dalam proses kegiatan tataniaga antara lain, ketersediaan fasilitas fisik tataniaga meliputi, pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, resiko kerusakan, dan lain-lain (Limbong dan Sitorus, 1987).

Farmer’s Share (Bagian Harga yang Diterima oleh Petani)

Bagian yang diterima petani (farmer’s share) merupakan perbandingan harga yang diterima petani dengan harga yang dibayar konsumen. Bagian yang diterima lembaga pemasaran ini dinyatakan dalam persentase (Limbong dan Sitorus, 1987). Farmer’s share (Fsi) didapatkan dari hasil bagi antara Pf dan Pr, dimana Pf adalah harga di tingkat petani dan Pr adalah harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Besarnya farmer’s share biasanya dipengaruhi oleh: (1) tingkat pemprosesan, (2) biaya transpotasi, (3) keawetan, dan (4) jumlah produk.

Farmer’s share sering digunakan sebagai indikator dalam mengukur kinerja suatu sistem tataniaga, tetapi farmer’s share yang tinggi tidak mutlak menunjukkan bahwa pemasaran berjalan dengan efisien. Hal ini berkaitan dengan besar kecilnya manfaat yang ditambahkan pada produk (Value added) yang dilakukan lembaga perantara atau pengolahan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Faktor yang penting diperhatikan adalah bukan besar kecilnya share, melainkan total penerimaan yang didapat oleh produsen dari hasil penjualan produknya.

Farmer’s share mumpunyai hubungan negatif dengan marjin pemasaran. Sehingga semakin tinggi marjin pemasaran, maka bagian yang diterima oleh petani semakin rendah (Simamora S, 2007). Secara matematis farmer’s share dapat dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan:

Fsi : Persentase yang diterima petani Pf : Harga di tingkat petani

Pr : Harga di tingkat konsumen akhir

Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya

(33)

(2010) menyatakan bahwa semakin merata penyebaran rasio keuntungan dan biaya tataniaga, maka dari segi (teknis) operasional sistem tataniaga tersebut akan semakin efisien. Penyebaran marjin tataniaga dapat pula dilihat berdasarkan persentase keuntungan terhadap biaya tataniaga pada masing-masing lembaga tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya setiap lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut:

Rasio Keuntungan dan Biaya = Keuntungan ke-i x 100 %

Biaya ke i

Keterangan:

Keuntungan ke-i = Keuntungan lembaga tataniaga (Rp/Kg) Biaya ke-i = Biaya lembaga tataniaga (Rp/Kg)

Semakin tinggi nilai rasio tersebut, menunjukkan keuntungan yang tinggi dibandingkan biaya yang dikeluarkan.

Efisiensi Tataniaga

Efisiensi suatu sistem tataniaga diukur dari kepuasan konsumen, produsen maupun lembaga-lembaga yang terlibat dalam mengalirkan suatu produk dari produsen primer (petani) hingga sampai ke tangan konsumen. Terdapat perbedaan pengertian efisiensi tataniaga di mata konsumen dan produsen. Produsen mengganggap suatu sistem tataniaga yang efisien adalah jika penjualan produknya mampu mendatangkan keuntungan yang tinggi bagi si produsen, sementara di mata konsumen suatu sistem tataniaga dinilai efisien jika konsumen bisa mendapatkan suatu produk dengan harga yang rendah. Dalam menentukan tingkat kepuasan dari para lembaga/pelaku tataniaga sangatlah sulit dan sifatnya relatif. Efisiensi merupakan rasio dari nilai output dengan input. Menurut Purcell (1979); Kohls and Uhl (2002) dalam Asmarantaka (2009) indikator dalam mengukur efisiensi tataniaga produk agribisnis dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis yaitu :

1. Efisiensi operasional atau teknis berhubungan dengan pelaksanaan aktivitas tataniaga yang dapat meningkatkan atau memaksimumkan rasio output-input tataniaga. Efisiensi operasional adalah ukuran frekuensi dari produktivitas penggunaan input-input tataniaga. Peningkatan efisiensi atau keuntungan dapat dilakukan melalui tiga kondisi (Halcrow, 1981; Seitz, Nelson and Halcrow, 1994 dalam Asmarantaka 2009) yaitu : menurunkan biaya tanpa menurunkan kepuasan konsumen, meningkatkan kepuasan konsumen tanpa meningkatkan biaya, meningkatkan kepuasan konsumen dengan peningkatan biaya dimana tambahan nilai output lebih besar dari tambahan nilai input. Keluaran per jam kerja merupakan salah satu rasio produktivitas yang biasanya digunakan sebagai tolak ukur efisiensi operasional (Downey dan Erickson 1992).

(34)

Kerangka Pemikiran Operasional

Kelapa Sawit adalah salah satu komoditi pangan yang diberikan perhatian khusus oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan nasional secara mandiri melalui program swasembada pangan. Usaha pencapaian swasembada kelapa sawit baru dapat memenuhi konsumsi industri, namun untuk konsumsi rumah tangga belum tercapai. Hal ini mengakibatkan pemerintah masih memerlukan kelapa sawit dari negara lain melalui kegiatan impor. Desa Tanjung Jaya merupakan salah satu daerah penghasil kelapa sawit di provinsi Lampung. Dengan luas lahan tanaman kelapa sawit mencapai 304,25 ha (2011), petani dapat menghasilkan 600-900 ton TBS kelapa sawit per bulannya. Harga kelapa sawit berfluktuatif, pada saat panen raya harga turun dan pada saat panen mengalami penurunan jumlah harga menjadi naik. Harga beli kelapa sawit tingkat PKS ditentukan oleh kualitas TBS dari masing-masing petani, sejauh mana tingkat kematangan buah, dan kebersihan buah TBS. Hal ini akan menentukan rendemen dan potongan rafraksi serta sortasi yang dikenakan terhadap TBS petani. Semakin bersih dan matangnya TBS semakin baik rendemen yang dihasilkan dan semakin kecil potongan rafraksi serta sortasinya.

Informasi harga yang diterima oleh petani dan mengenai hasil rendemen yang dihasilkan oleh petani sangat terbatas, hal ini juga disebabkan oleh rendahnya posisi tawar petani kelapa sawit dalam sistem tataniaga. Maka dari itu, diperlukan analisis mengenai tataniaga kelapa sawit untuk mengetahui tingkat efisiensi tataniaga kelapa sawit sehingga dapat memberikan alternatif bagi petani untuk mendapatkan bagian keuntungan yang lebih besar.

(35)

Gambar 2Kerangka Pemikiran Operasional

Bagaimana sistem tataniaga kelapa sawit di desa Tanjung Jaya?

Tataniaga kelapa sawit di Desa Tanjung Jaya Kecamatan Bangun Rejo, Kabupaten Lampung Tengah melibatkan lembaga pemasaran dan

melaksanakan fungsi pemasaran

Analisis efisiensi tataniaga

Analisis Kualitatif:

 Lembaga dan Saluran Tataniaga  Fungsi Tataniaga

Analisis Kuantitatif:  Marjin Tataniaga  Farmer’s Share

 Rasio Keuntungan dan Biaya

(36)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa tanjung jaya Kecamatan Bangun Rejo merupakan salah satu wilayah penghasil kelapa sawit di provinsi Lampung, yang cukup potensial, mudah dijangkau dan dekat dengan dua lokasi pabrik pengolahan kelapa sawit, yaitu PTPN VII Unit Usaha Bekri dan PT. Kalirejo Lestari. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober-Desember 2012 bertepatan dengan waktu panen raya.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung (observasi) dan wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan yang tersaji pada kuesioner kepada pelaku tataniaga kelapa sawit baik itu petani maupun pedagang pengumpul serta agen perantara yang ada di Desa Tanjung Jaya. Pengamatan secara langsung juga dilakukan terhadap kegiatan pemasaran kelapa sawit untuk mengetahui saluran pemasaran dan lembaga pemasaran yang terlibat pada alur pemasaran kelapa sawit.

Data sekunder pun diperlukan pada penelitian ini. Data sekunder didapatkan dari studi literatur, tinjauan pustaka, serta beberapa penelitian terdahulu. Selain itu, data yang menunjukkan data terhadap komoditi kelapa sawit yang menunjang seperti dari Badan Pusat Statistika, Direktorat Jendral Perkebunan, Departemen Pertanian RI, dan Dinas Perkebunan Provinsi Lampung. Data sekunder ini dipergunakan sebagai pelengkap dari data primer.

Metode Pengumpulan Data

(37)

Selain para petani kelapa sawit lembaga tataniaga yang terlibat dalam pemasaran kelapa sawit di Desa Tanjung Jaya juga menjadi responden pada penelitian ini. Lembaga pemasaran dalam hal ini adalah pedagang pengumpul, dan agen perantara serta pabrik pengolahan kelapa sawit PKS. Penarikan kuisioner akan dilakukan dengan metode snowball sampling yaitu diambil berdasarkan informasi yang diperoleh dari data sebelumnya yang dalam penelitian ini adalah para petani kelapa sawit di Desa Tanjungjaya dengan melakukan penelusuran saluran tataniaga dari pembudidayaan sampai konsumen akhir. Dalam penelitian ini akan dilakukan pencarian informasi terkait dengan data kuantitatif seperti biaya yang dikeluarkan oleh para lembaga - lembaga yang terlibat dalam tataniaga kelapa sawit serta penetapan harga di masing – masing lembaga yang selanjutnya akan dilakukan analisis dengan menggunakan berbagai alat analisis dan melalui analisis tersebut dapat ditentukan saluran tataniaga yang efisien untuk diterapkan.

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah diperoleh selanjutnya dilakukan pengolahan data. Data-data dan informasi yang telah terkumpul diolah dengan bantuan program

Microsoft Excel. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Penelitian ini ditujukan untuk mencari efisiensi tataniaga dari kelapa sawit di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Bangun Rejo Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung. Efisiensi tataniaga kelapa sawit dapat diperoleh melalui analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Penelitian analisis kualitatif efisiensi tataniaga kelapa sawit meliputi lembaga dan saluran pemasaran tataniaga, fungsi tataniaga, struktur pasar, dan perilaku pasar. Penelitian analisis kualitatif efisiensi tataniaga kelapa sawit ini dijelaskan secara deskriptif untuk menjabarkan semua detail dari saluran pemasaran, fungsi pemasaran, struktur pasar, perilaku pasar, serta permasalahan yang terjadi pada daerah penelitian. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan melalui pendekatan majin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Efisiensi tataniaga sendiri dapat dilihat dari analisa saluran pemasaran, marjin pemasaran,

farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya.

Analisa Kualitatif

Analisa Lembaga dan Saluran Tataniaga

(38)

saluran tataniaga tersebut. Alur tataniaga tersebut dijadikan dasar dalam menggambar pola saluran tataniaga. Para petani yang berada di lokasi penelitian melakukan pengelolaan kegiatan usaha kelapa sawit yang berjalan sebagaimana aturan yang berlaku. Pada analisis ini juga akan dilihat perbandingan tingkat efisiensi antara petani yang melakukan penjualan kepada agen perantara maupun yang melakukan penjualan kepada pedagang pengumpul.

Analisa Fungsi Tataniaga

Analisa fungsi tataniaga digunakan untuk mengetahui kegiatan tataniaga yang dilakukan lembaga tataniaga dalam menyalurkan produk dari produsen sampai ke pabrik pengolahan. Analisa fungsi tataniaga dapat dilihat dari fungsi pertukaran yang terdiri dari fungsi pembelian dan penjualan, fungsi fisik yang terdiri dari fungsi pengangkutan, dan pengolahan, serta fungsi fasilitas yang terdiri dari standarisasi, penanggungan resiko, pembiayaan dan informasi pasar. Data yang diperoleh tersebut disajikan dalam bentuk tabulasi data sederhana. Selain itu data tersebut juga akan dideskripsikan sehingga dapat melihat perubahan nilai guna, baik nilai guna bentuk, tempat, waktu, ataupun kepemilikan.

Analisa Efisiensi Tataniaga

Sistem tataniaga yang efisien akan tercipta apabila seluruh lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan tataniaga memperoleh kepuasan dengan adanya aktivitas tataniaga tersebut (Limbong dan Sitorus 1985). Penurunan biaya input dari pelaksanaan pekerjaan tersebut tanpa mengurangi kepuasan konsumen akan output barang dan jasa, menunjukkan efisiensi. Setiap kegiatan fungsi lembaga memerlukan biaya yang selanjutnya diperhitungkan ke dalam harga produk. Lembaga tataniaga menaikkan harga per satuan kepada konsumen atau menekan harga ditingkat produsen. Dengan demikian efisiensi tataniaga perlu diwujudkan melalui penurunan biaya tataniaga.

Analisa Kuantitatif

Analisa Marjin Tataniaga

(39)

tataniaga. Besarnya marjin tataniaga pada dasarnya merupakan penjumlahan dari biaya-biaya tataniaga dan keuntungan yang diperoleh dari lembaga tataniaga. Analisis marjin tataniaga dapat dipakai untuk melihat keragaan pasar yang terjadi. Menurut Limbong dan Sitorus (1987), perhitungan marjin tataniaga secara matematis dapat dilihat sebagai berikut:

Mi = Hji – Hbi

Mi = Ci + π

Sehingga:

Hji – Hbi = Ci + πi

Analisa Farmer’s Share

Farmer’s share adalah proporsi dari harga yang diterima petani produsen dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir yang dinyatakan dalam persentase. Farmer’s share dapat digunakan dalam menganalisis efisiensi saluran tataniaga dengan membandingkan seberapa besar bagian yang diterima oleh petani dari harga yang dibayarkan konsumen akhir.

Jika harga yang ditawarkan pedagang/lembaga tataniaga semakin tinggi dan kemampuan konsumen dalam membayar harga semakin tinggi, maka bagian yang diterima oleh petani akan semakin sedikit. Hal ini dikarenakan petani menjual komoditinya dengan harga yang relatif rendah. Dengan demikian dapat diketahui Farmer’s share berhubungan negatif dengan marjin tataniaga, artinya semakin tinggi marjin tataniaga maka bagian yang akan diperoleh petani (Farmer’s share) semakin rendah. Farmer’s share akan menunjukkan apakah tataniaga Berdasarkan persamaan di atas, maka keuntungan tataniaga pada tingkat ke-i adalah:

πi = Hji – Hbi – Ci

Maka besarnya marjin tataniaga adalah:

MT = ΣMi = Pr-Pf

Keterangan:

MT = Total marjin tataniaga pada pasar (Rp/kg) Hji = Harga penjualan pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg) Hbi = Harga pembelian pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg) Ci = Biaya pembelian pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)

πi = Keuntungan tataniaga pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg) i = 1,2,3,…….,n

(40)

dalam tataniaga. Secara matematis farmer’s share dapat dirumuskan dengan :

Fsi = x 100% Keterangan: Fsi : Persentase yang diterima petani

Pf : Harga di tingkat petani

Pr : Harga di tingkat konsumen akhir atau pabrik pengolahan Semakin mahal konsumen membayar harga yang ditawarkan oleh lembaga pemasaran (pedagang), maka yang diterima oleh petani akan semakin sedikit, karena petani menjual komoditi pertanian dengan harga yang relatif rendah. Hal ini memperlihatkan adanya hubungan negatif antara marjin pemasaran dengan bagian yang diterima oleh petani. Semakin besar marjin maka penerimaan petani relatif kecil.

Analisa Rasio Keuntungan dan Biaya

Rasio keuntungan dan biaya tataniaga merupakan besarnya keuntungan yang diterima lembaga tataniaga sebagai imbalan atas biaya tataniaga yang dikeluarkan. Penyebaran marjin tataniaga dapat pula dilihat berdasarkan persentase keuntungan terhadap biaya tataniaga pada masing-masing lembaga tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya setiap lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut:

Rasio Keuntungan dan Biaya = Keuntungan ke-i x 100 %

Biayake i

Keterangan:

Keuntungan ke-i = Keuntungan lembaga tataniaga(Rp/Kg) Biaya ke-i = Biaya lembaga tataniaga (Rp/Kg)

Semakin tinggi nilai raio tersebut, menunjukkan keuntungan yang tinggi dibandingkan biaya yang dikeluarkan.

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Karakteristik Petani Responden

(41)

komoditi kelapa sawit. Metode penentuan responden dilakukan secara sengaja (purposive).

Para petani responden pada umumnya menjadikan mata pencaharian sebagai petani kelapa sawit sebagai pekerjaan utama dan melakukan kegiatan budidaya kelapa sawit secara rutin. Identitas responden dalam penelitian ini meliputi umur, tingkat pendidikan, pengalaman dalam berbudidaya kelapa sawit dilihat dari segi waktu dan luas lahan garapan budidaya kelapa sawit yang dimiliki. Total petani yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah 32 orang. Petani responden berasal dari dusun-dusun di Desa Tanjung Jaya. Yaitu dusun 1, dusun 2, dusun 4, dusun 5, dusun 6, dusun 7 dan dusun 8. Jumlah petani responden ini juga terbagi atas dasar petani yang tergabung dalam kelompok tani dan petani yang tidak tergabung dalam anggota kelompok tani.

Di wilayah Desa Tanjung Jaya sendiri terdapat empat kelompok tani yang masih ada namun kurang aktif, yaitu kelompok tani Rukun Tani Jaya, kelompok tani Sinar Luas, kelompok tani Sritani Makmur Jaya, dan kelompok tani Mitra Jaya. Kurang aktifnya kelompok-kelompok tani ini sejak kepengurusan KUD Rukun Tani Jaya tidak aktif, sejak meninggalnya 2 orang pengurusnya. Pengambilan responden petani kelapa sawit yang tergabung dalam kelompok tani di wilayah desa Tanjung Jaya juga terdiri dari para anggota yang mewakili dari empat kelompok tani yang ada. Umur petani responden dalam penelitian ini rata-rata 46 tahun, di antara 20 – 70 tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan sebanyak 32 petani atau semua petani responden yang memiliki lahan sendiri, 26 petani (81.25%) yang tergabung dalam kelompok tani, dan 6 petani tidak menjadi anggota kelompok tani (18.75%).

Sementara itu petani dengan umur yang relatif muda 22 tahun, yang menjadi responden dalam penelitian ini hanya berjumlah satu orang (3.125%). Data tersebut merupakan bahwa ketertarikan pemuda untuk ikut serta dalam aktivitas pembudidayaan kelapa sawit relatif jarang ditemui di lokasi penelitian, hal ini dikarenakan sebagian besar pemuda di wilayah ini cenderung lebih memilih usaha di sektor lain khususnya menjadi buruh.

Tingkat pendidikan menjadi salah satu hal yang diperhatikan dari identitas petani responden. Sebanyak 22 orang (68.75%) petani responden hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat Sekolah Dasar (SD) saja. Sebanyak 1 orang (3.125%) mengenyam pendidikan hingga sarjana, sebanyak 6 orang (18.75%) mengenyam pendidikan hingga SMA, dan sebanyak 3 orang (9.375%) yang hanya mengenyam pendidikan hingga SMP.

Tingkat pendidikan petani tentunya dapat mempengaruhi kinerja petani khususnya terkait perolehan informasi dalam kegiatan budidaya kelapa sawit, sebanyak 32 petani responden baik yang menjalankan aktivitas tataniaga melalui kelompok tani ataupun non kelompok tani telah menjalankan kegiatan usahatani kelapa sawit selama lebih dari sepuluh tahun. Pengalaman petani ini akan menjadi salah satu faktor pendukung dalam keberhasilan budidaya kelapa sawit. Data mengenai identitas petani responden dapat dilihat pada Tabel 3.

(42)

Karakteristik Jumlah (orang) Persentase

Luas lahan garapan milik petani berbeda-beda. Berdasarkan penelitian, terdapat 3 responden petani (9,375%), yang memiliki luas lahan diatas 5 ha. Dan 29 (90,625%) responden petani yang memiliki luas lahan dibawah 3 ha. Berdasarkan hasil wawancara dengan para petani responden, rata-rata petani di Desa Tanjung Jaya memiliki luas tanaman kelapa sawit 1.85 ha/kk.

Pada saat penelitian diketahui bahwa sebagian besar petani memasarkan TBS kepada pabrik kelapa sawit milik swasta yaitu PT Kalirejo Lestari dikecamatan Kalirejo, yang berjarak sekitar 15 km di Desa Tanjung Jaya. Hal ini dikarenakan harga di PKS Kalirejo Lestari lebih baik dibandingkan harga di PKS Unit Usaha Bekri.

Hasil produksi TBS petani di wilayah kecamatan Bangun Rejo diolah di PKS PT. Kalirejo Lestari dan atau PKS PTPN VII Unit Usaha Bekri. Pihak pabrik melakukan kerja sama dengan agen perantara di Desa Tanjungjaya dalam hal jual beli TBS kelapa sawit siap olah. PT. Kalirejo Lestari juga mulai pertengahan tahun 2013 akan membangun pabrik baru dengan jumlah daya muat pabrik lebih besar dari dua pabrik sebelumnya di Desa Tanjung Jaya. Para petani kelapa sawit yang menjadi responden dalam penelitian ini mengelola kegiatan usaha budidaya kelapa sawit secara individu dan kelompok.

Karakteristik Responden Lembaga Tataniaga

(43)

wilayah Kecamatan Bangun Rejo diperoleh melalui metode snowball samping

yang digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan, terdapat empat orang agen perantara yang terlibat dalam saluran tataniaga kelapa sawit. Ke empat agen perantara (supplier) ini telah lama menjadi mitra tetap pabrik pengolahan kelapa sawit di Desa Tanjung Jaya. Keempat agen perantara merupakan warga asli yang menetap di Desa Tanjung Jaya Kecamatan Bangun Rejo.

Para agen perantara ini setelah membeli dan mengambil hasil panen milik petani dan pedagang pengumpul, selanjutnya akan memasarkan kelapa sawit langsung kepada pihak pabrik pengolahan. Baik itu PTPN VII Bekri maupun PT. Kalirejo Lestari. Selain itu agen perantara, dan pabrik pengolahan, mengirimkan produk kelapa sawit yang berasal dari berbagai wilayah di sekitar Desa Tanjung Jaya Kecamatan Bangun Rejo ke berbagai pihak mitra bisnisnya, biasanya TBS dipasarkan dan dikirim ke luar wilayah Provinsi Lampung, seperti Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, dan Sumatera Utara. Masing –masing individu dari lembaga tataniaga tersebut memiliki beberapa karakteristik yang dapat mempengaruhi kinerja serta kegiatan usaha yang dilakukan, data mengenai karakteristik individu dari responden lembaga tataniaga dapat dilihat pada Tabel 3.

Gambar

grafik marjin tataniaga dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Operasional
Tabel 3.
Tabel 4. Standar kematangan buah segar kelapa sawit
+4

Referensi

Dokumen terkait

menampung data – data yang digunakan admin untuk /. Tabel ini berfungsi menampung seluruh data pakan ikan baik yang alami maupun buatan. Tabel ini berfungsi

aastal külastas Moskvat üks üheteistkümnest Prabhupada poolt ame- tisse seatud gurust Harikesa Swami (Robert Compagnola), kelle vastutusalaks oli ISKCONi tegevus mitmetes

Indikator keberhasilan dalam penelitian ini antaranlain (1) keterampilan berpikir kritis siswa menggunakan model pembelajaran Group Investigation meningkat dengan

Kedua, paradigma khusus (cabang), yaitu sejumlah kaidah umum dan mendasar dalam Syariah Islam yang lahir dari Aqidah Islam, yang secara khusus menjadi landasan bangunan sistem

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa variabel iklan tidak berpengaruh terhadap keputusan pembelian sabun mandi Lux cair di Gelalel Mall Ciputra Semarang

Praktik gala umong (gadai sawah) yang dilakukan oleh masyarakat Kecamatan Indra Jaya Kabupaten Pidie tidak sesuai dengan konsep gadai ( rahn ) dalam fiqih

Akibat hukum yang timbul dalam pembiayaan musyarakah adalah nasabah yang menyimpang dari ketentuan dalam Pasal 2 Perjanjian ini, bank berhak untuk

(S1) Fakultas Hukum USU Medan, adapun judul penelitan ini adalah “ Penyelesaian Pembagian Harta Warisan menurut Hukum Adat Tapanuli Selatan, di Kecamatan Angkola Barat ”