• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Tersangka Perkara Penyalahgunaan Narkotika untuk Mendapatkan Bantuan Hukum dalam Proses Penyidikan dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hak Tersangka Perkara Penyalahgunaan Narkotika untuk Mendapatkan Bantuan Hukum dalam Proses Penyidikan dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kerja Praktek

Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Komputer Indonesia

Disusun Oleh :

Andi Hidayat

NIM : 31609013

Pembimbing :

Hetty Hassanah, S.H, M.H NIP. 4127.3300.005

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG

(2)
(3)
(4)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Andi Hidayat

Tempat Tanggal Lahir : Palembang, 09 Mei 1989

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Alamat : Tubagus Ismail Dalam Nomor 48 - Bandung

Telepon : +628562266619

Pendidikan Formal :

- SD Negeri 002 Batu Besar Batam

- SLTP Negeri 12 Legenda Malaka Batam

- SMK Kartini Baloi Center Batam

Daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya tanpa ada rekayasa yang

(5)

iv

Kata Pengantar...i

Daftar Isi...iv

Daftar Lampiran...vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Permasalahan Hukum...3

C. Sejarah Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP)...4

D. Waktu dan Tempat Kerja Praktek...6

BAB II : HAK TERSANGKA DAN BANTUAN HUKUM SEBAGAI PERLINDUNGAN HAM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA A. Bantuan Hukum Sebagai Perlindungan Hak Asasi Manusia...7

B. Sistem Peradilan Pidana dan Perlindungan Hukum...12

1. Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Teoritis- Praktis...15

2. Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum Nasional...24

BAB III : KEGIATAN KERJA PRAKTEK A. Kegiatan Kerja Praktek...27

B. Struktur Organisasi...31

BAB IV : HAK TERSANGKA PERKARA PENYALAHGUNAAN NARKOBA

(6)

v

PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG- UNDANG

NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT

A. Bantuan Hukum Wajib Diberikan Kepada Tersangka

Penyalahgunaan Narkoba Sebagai Perlindungan Hak Asasi

Manusia...34

B. Fungsi Advokat Menurut Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003

Tentang Advokat Dihubungkan Kewajiban Memberikan Bantuan

Hukum...36

BAB V : SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan...40

B. Saran...41

Daftar Pustaka ...

Daftar Riwayat Hidup...

(7)

i

memberikan segala rahmat dan karunia-nya, shalawat serta salam semoga

tercurahkan kepada Nabi besar kita Muhammad S.A.W, bahwa penulis masih

diberikan kesempatan untuk dapat mensyukuri segala nikmat-nya, berkat taufik

dan hidayah-nya penulis dapat menyelesaikan laporan kerja praktek dengan

judul “HAK TERSANGKA PERKARA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG- UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003

TENTANG ADVOKAT.”

Penulis sangat menyadari bahwa dalam pembuatan laporan Kerja Praktek

(KP) jauh dari kesempurnaan, baik dari segi substansi maupun tata bahasa,

sehingga kiranya masih banyak yang perlu didalami dan diperbaiki. Oleh karena

itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang insyaallah dengan jalan

ini dapat diperbaiki kekurangan dikemudian hari.

Pada proses penyusunan laporan ini banyak bantuan dan dukungan dari

banyak pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih

dengan penuh rasa hormat kepada Ibu Febilita Wulan Sari, S.H selaku dosen

pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan kesabarannya

untuk membimbing dalam penulisan Laporan Kerja Praktek ini, selain itu juga

penulis ingin mengucapkan trima kasih kepada :

1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, Msc selaku Rektor

(8)

ii

2. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati, S.E., A.K., M.S selaku

Pembantu Rektor I Universitas Komputer Indonesia;

3. Yth. Bapak Prof. Dr. Moh. Tajuddin, M.A. selaku Pembantu Rektor II

Universitas Komputer Indonesia;

4. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Aelina Surya, selaku Pembantu Rektor III

Universitas Komputer Indonesia;

5. Prof. Dr I Gde Pantja Astawan S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Komputer Indonesia;

6. Yth. Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H selaku Ketua Jurusan Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

7. Yth. Bapak Prof. Dr. H.R. Otje Salman Soemadiningrat, S.H selaku

Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

8. Yth. Ibu Arinita Sandria, S.H., M.Hum selaku Dosen Fakultas

Hukum Universitas Komputer Indonesia;

9. Yth. Ibu Febilita Wulan sari, S.H selaku Dosen Fakultas Hukum

Universitas Komputer Indonesia;

10. Yth. Ibu Farida Yulianty, S.H., M.Hum., selaku Dosen Fakultas

Hukum Universitas Komputer Indonesia;

11. Yth. Bapak Asep Iwan Iriawan, S.H., M.Hum selaku Dosen Fakultas

(9)

iii

Hukum Universitas Komputer Indonesia;

14. Yth. Bapak Muray, selaku Karyawan Fakultas Hukum Universitas

Komputer Indonesia;

15. Yth. Bapak Deni Yusdanial. SIP. MH. pembimbing kerja praktek di

Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat;

16. Karyawan dan staff Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat;

17. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum Universitas Komputer

Indonesia yang tidak dapat disebutkan satu persatu;

Khususnya Kedua Orang Tua atas do’a dan dukungannya baik moril

maupun materil sehingga Penulis dapat menyelesaikan pembuatan Laporan

Kerja Praktek (KP), semoga mendapat imbalan dari Tuhan Yang Maha Pengasih

dan Penyayang serta kita semua berada dalam lindungan-Nya.

Bandung, Januari 2013

(10)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Sunggono dan Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju.

Bandung, 2001;

Nusantara, Bantuan Hukum Dan Kemiskinan Struktural, Prisma No 1 Januari

1981;

Soekanto, Bantuan Hukum Suatu Sosio Yuridis, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983;

Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,

1996;

Loqman, Kekuasaan Kehakiman, Tinjauan Dari Segi Hukum Acara Pidana, CV.

Data Com, Jakarta, 1990;

Nasution, Bantuan Hukum Di Indonesia, LP3S, Jakarta, 1984;

Surowidjojo, Pembaharuan Hukum, ILUNI-FHUI, Jakarta, 2004;

Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 1990;

Samosir, Hukum Acara Pidana dalam Perbandingan, Binacipta, Bandung, 1985;

Amir, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976;

Prodjikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1989;

Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, terdakwa dan

(11)

Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

LAIN-LAIN

Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Tentang Organisasi dan Tata Kerja

(OTK) Badan Narkotika Nasional Provinsi dan Badan Narkotika

Nasional Kabupaten/Kota.

Sejarah Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat, http://www.bnn.go.id/ di

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem pendidikan pada saat ini sangat berkembang dan banyak

berorientasi pada penyediaan tenaga kerja yang siap pakai, oleh karena itu

perguruan tinggi Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) sebagai

satu-satunya perguruan tinggi di Indonesia yang berbasis pada komputer

menyelenggarakan suatu bentuk perkuliahan yaitu Kerja Praktek (KP).

Mahasiswa atau mahasiswi mengikuti Kerja Praktek (KP) di berbagai

instansi, perusahaan swasta maupun pemerintahan, kantor hukum, dan

lain-lain, diharapkan para lulusannya lebih dikenal dan memiliki peluang

untuk memasuki dunia kerja dan juga dapat memberikan kesempatan

kepada mahasiswa atau mahasiswi untuk dapat mengetahui, mengerti dan

melihat situasi dunia kerja yang sesungguhnya dan membandingkan

dengan teori yang diterima di bangku kuliah dengan melaksanakan Kerja

Praktek (KP) secara langsung.

kerja praktek (KP) merupakan kegiatan mahasiswa atau mahasiswi

untuk mencari pengalaman kerja sebelum memasuki dunia kerja yang

sesungguhnya, yang tercermin dalam pendidikan nasional yang

berdasarkan pancasila yang bertujuan meningkatkan kecerdasan,

kreativitas dan mengasah keterampilan agar dapat menumbuhkan manusia

(13)

kerja serta dapat memecahkan permasalahan-permasalahan hukum.

Adapun tujuan mengikuti kegiatan kerja praktek (KP) di Badan Narkotika

Nasional Provinsi (BNNP) diharapkan mahasiswa dapat mencapai tujuan

untuk :

1. Mengetahui lebih jauh tentang Badan Narkotika Nasional Provinsi

(BNNP) dan sistem kerja di dalam Badan Narkotika Nasional

Provinsi (BNNP) ;

2. Mempelajari persoalan-persoalan yang terjadi di Badan Narkotika

Nasional Provinsi (BNNP);

3. Mempelajari aplikasi dan relevansi dengan bahan kuliah dalam

praktek;

Pelaksanaan kerja praktek (KP) di Badan Narkotika Nasional Provinsi

(BNNP) diharapkan para mahasiswa dan mahasiswi memperoleh

pengetahuan dan memperdalam wawasan secara luas serta mendapatkan

pengalaman kerja praktek (KP) di Badan Narkotika Nasional Provinsi

(BNNP) antara lain dengan cara mempelajari Pencegahan,

Pemberantasan, Penyalahgunaan, dan Peredaran Gelap Narkotika

(P4GN).

Untuk itu, penulis membuat laporan kerja praktek (KP) ini dengan

judul “HAK TERSANGKA PERKARA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES

PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG- UNDANG NO 18

(14)

3

B. Permasalahan Hukum

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mencoba

mengidentifikasikan masalah sebagai berikut :

1. Apakah bantuan hukum wajib diberikan kepada tersangka

penyalahgunaan narkotika dalam proses penyidikan sebagai

perlindungan ham?

2. Bagaimana fungsi advokat menurut undang-undang no 18 tahun

2003 dihubungkan dengan kewajiban memberikan bantuan hukum

(15)

C. Sejarah Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP)

Tanggal 12 Oktober 2009, Presiden Republik Indonesia telah

mengesahkan dan memberlakukan Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 35 Tahun 2009 menggantikan Undang-undang Nomor 22 tahun

1997 tentang Narkotika yang sudah tidak sesuai lagi dengan

perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang saat ini yaitu tindak

pidana penyalahgunaan narkotika.

Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika di Jawa Barat

semakin mengalami peningkatan yang sangat mengkhawatirkan baik itu

ditinjau dari kualitas ataupun kuantitasnya, hal ini merupakan ancaman

paling serius terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, ironisnya

Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika telah memasuki

kehidupan masyarakat secara luas hingga ke pelosok pedesaan bahkan

dilingkungan pendidikan sekalipun, sehingga begitu gencarnya diberantas

oleh aparat hukum, hal ini memang sangat diperlukan guna

menyelamatkan generasi bangsa dari keterpurukan yang berkepanjangan.

Kebijakan Pemerintah khususnya Badan narkotika Nasional dalam

meningkatkan peran dan pencapaian penyidikan Penyalahgunaan dan

Peredaran Gelap Narkoba di Indonesia dengan membentuk Vertikalisasi ke

Provinsi dan Kabupaten/Kota dan BNNP Jawa Barat terbentuk sejak bulan

Mei 2011 dengan Peraturan kepala Badan narkotika Nasional Nomor

PER/04/V/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Narkotika

(16)

5

Tugas pokok Badan Narkotika Nasional Provinsi sebagai satuan kerja

(satker) vertikal Badan Narkotika Nasional melakukan kegiatan

pencegahan, pemberdayaan masyarakat, dan pemberantasan dengan

didukung oleh kegiatan ketatausahaan. Pada bulan januari 2012 BNNP

Jawa Barat telah melakukan kegiatan konsolidasi dengan beberapa pihak

dalam pelaksanaan substansi dan pemenuhan kebutuhan sumber daya

manusia serta mengikuti kegiatan-kegiatan pembekalan dari Badan

Narkotika Nasional Pusat1

Visi dan Misi dari Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Jawa

Barat adalah Bersama mewujudkan “Indonesia Negeri Bebas Narkoba Tahun 2015” dan Melakukan pencegahan dan pemberantasan

penyalahgunaan serta peredaran gelap narkoba secara komprehensif dan

sinergis.

1

(17)

D. Waktu dan Tempat Kerja Praktek

Penulis melakukan Kerja Praktek selama 120 jam, terhitung dari

pukul 08.00 – 16.00 WIB, sejak tanggal 23 juli 2012 sampai dengan 10

Agustus 2012, bertempat di Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP)

(18)

7

BAB II

HAK TERSANGKA DAN BANTUAN HUKUM SEBAGAI

PERLINDUNGAN HAM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

A. Bantuan Hukum Sebagai Perlindungan Hak Asasi Manusia

Bantuan hukum sebenarnya sudah dikenal sejak jaman Romawi, dimana

pada waktu itu bantuan hukum berada dalam bidang moral dan lebih dianggap

sebagai suatu pekerjaan yang mulia dan khususnya untuk menolong orang tanpa

mengharapkan dan atau menerima imbalan atau honorium.2

Pertumbuhan di Indonesia berkaitan dengan bantuan hukum baru nampak

pada dasawarsa 70-an bersamaan dengan terpancangnya landasan yuridis

mengenai Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-Undang Nomor

14 Tahun 1970. Pasal 35 sampai Pasal 37 Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1970 Jo UU No. 35 Tahun 1999 Jo Pasal 37-40 Undang-Undang No. 4 Tahun

2004 tentang Perubahan Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman

merupakan penegasan bahwa bantuan hukum adalah hak seseorang yang

tersangkut dalam satu perkara terutama sejak saat dilakukan penangkapan dan

atau penahanan berhak untuk menghubungi dan meminta bantuan penasehat

hukum.

Dalam Lokakarya Bantuan Hukum Tingkat Nasional Tahun 1978

menyatakan bahwa bantuan hukum merupakan kegiatan pelayanan

hukum yang diberikan kepada golongan yang tidak mampu (miskin) baik

2Ad a Buyu g Nasutio . Ke uliaa Advokat di Te gah KKN ,

(19)

perorangan maupun kepada kelompok-kelompok masyarakat yang tidak mampu

secara kolektif.3 Bahwa bantuan hukum adalah merupakan pembelaan yang

diperoleh seorang terdakwa dari seorang Penasihat hukum sewaktu perkaranya

diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan atau dalam proses pemeriksaan

perkaranya di muka pengadilan.4

Tahun 1981 lahir Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum

Acara Pidana. Di dalam Bab VII nya mengatur tentang hak untuk mendapatkan

bantuan hukum kepada tersangka dan terdakwa sebagaimana dimuat dalam

Pasal 54 dan Pasal 114 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP: “Guna kepentingan pembelaan tersangka atau terdakwa berhak untuk mendapat bantuan hukum dari seseorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini”

Pasal 114 KUHAP :

“Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulai pemeriksaan oleh penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh Penasehat Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56”.

Hak untuk mendapatkan bantuan hukum merupakan hak yang penting dan

dilindungi sejak dari tahap pemeriksaan penyidikan dimulai dan dalam setiap

waktu yang diperlukan karena bantuan hukum ini sebenarnya merupakan salah

satu perwujudan daripada jaminan dan perlindungan Hak Asasi Manusia,

khususnya pencari keadilan untuk mendapat perlakuan secara layak dari para

penegak hukum sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia yaitu

3

Abdul Hakim Garuda Nusantara, Bantuan Hukum Dan Kemiskinan Struktural, Prisma No 1 Januari 1981 hlm 40.

4

(20)

9

dalam bentuk pembelaan terhadap perkara tersangka dan terdakwa oleh

penasehat hukumnya.

Pasal 55 KUHAP juga dapat menafsirkan diskriminasi terhadap tersangka

dan memungkinkan bagi orang mampu untuk lebih mudah mendapatkan bantuan

hukum, sebagaimana dinyatakan:

“……Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54,

tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.”

Ketentuan di atas kelihatannya sangat memperhatikan kepentingan

tersangka, akan tetapi sebenarnya hal ini dapat menimbulkan permasalahan

tersendiri bagi para tersangka. Jika si tersangka mempunyai kemampuan

ekonomi yang baik (the haves), maka dia mampu membayar berapa saja untuk

mendapatkan penasihat hukum yang terbaik, tapi bagaimana dengan mereka

yang miskin (the have not)? Hal ini dapat diartikan bahwa pasal ini memberi

keuntungan bagi orang kaya.

Kebebasan dan hak untuk memilih penasihat hukum yang dikehendaki oleh

tersangka atau terdakwa yang ditentukan oleh Pasal 55 KUHAP, lebih mirip

memberi keuntungan kepada orang kaya, tetapi kepada orang yang tak punya,

ketentuan itu hanya slogan yang terlampau jauh untuk dijangkaunya.

KUHAP juga memberikan batasan yang tegas dengan memakai istilah

wajib yang merupakan perintah langsung dari undang-undang untuk

mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka dan terdakwa yang diatur dalam

Pasal 56 yang berbunyi:

(21)

pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka:

(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya secara cuma-cuma”. Hakikat suatu hak, sebagaimana adagium ubi jus ibi remedium yang

maknanya dimana ada hak, di sana ada kemungkinan menuntut, memperoleh

atau memperbaiki apabila dilanggar. Menurut Mardjono Reksodiputro kelanjutan

adagium ini adalah:

“…Bahwa hanya ada kemungkinan (melalui proses hukum) untuk menuntutnya dapatlah dikatakan adanya suatu hak itu. Suatu hak yang tidak mempunyai kemungkinan untuk dipertahankan, dalam arti memintanya dilindungi (diperbaiki) apabila dilanggar, bukanlah suatu hak yang efektif”.5

Asas hukum acara yang mendasar adalah bahwa setiap orang yang

tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang

semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas

dirinya. Dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa, seluruh warga

adalah bersamaan kedudukannya dalam hukum. Ketentuan ini disebutkan : “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan

pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu

dengan tidak ada kecualinya”.

Prinsip dasar keterikatan bantuan hukum dengan aspek HAM adalah

bahwa, sekalipun seorang itu bersalah melakukan perbuatan tindak pidana,

terhadapnya tetap tidak diperlakukan sewenang-wenang, tanpa alasan yang sah

dan berdasarkan hukum yang berlaku. Perampasan kemerdekaan seseorang

5

(22)

11

berupa tindakan penangkapan, penahanan dan pidana, perampasan tersebut

hanya dibenarkan apabila berdasarkan peraturan yang berlaku.6

Kenyataan dalam praktik sering terlihat suatu perlakuan yang tidak adil,

hak-hak tersangka dan terdakwa tersebut banyak dilanggar, dalam proses

pemeriksaan maupun mengabaikan prosedur ketentuan yang dilakukan oleh

para penegak hukum di dalam tiap tahap proses, karenanya rentan terjadi

tersangka dan terdakwa diperlakukan semena-mena, dilecehkan hak-haknya

(hak asasi manusianya), dilakukan upaya paksa dengan bentuk-bentuk

penyiksaan (torture) kekerasan (violence), maupun tekanan psikis serta

perbuatan yang merendahkan martabat manusianya.

Pada tahap pra adjudikasi sering digunakan kekuasaan yang melampaui

kewajaran (unnecessary force) yang dilakukan oleh polisi, sebagai contoh

tembak di tempat (deadly force) terhadap pelaku kejahatan yang hendak

ditangkap dengan alasan tersangka hendak melarikan diri. Bahkan dalam proses

pemeriksaan dianggap sebagai metode yang telah “membudaya” dilakukan

rekayasa pengakuan (fabricated confension) yang berkembang menjadi

rekayasa kesaksian (fabricated witness).

Rekayasa pengakuan ini umumnya dilakukan melalui tindakan “menyimpang” berupa pemeriksaan dengan kekerasan terhadap

tersangka meskipun telah adanya perubahan sistem pembuktian tentang

keabsahan alat bukti menurut KUHAP, yaitu tidak dikehendaki suatu pengakuan

terdakwa sebagai alat bukti. Upaya melakukan rekayasa terhadap kesaksian

dapat berupa tekanan yang menimbulkan akibat psikis kepada tersangka di

6

(23)

dalam mengumpulkan keterangan yang harus menurut arahan dari pihak

penyidik.

Konvensi anti penyiksaan Pasal 15 (CAT) yang menyatakan:

“segala pernyataan yang diperoleh sebagai akibat kekerasan dan

penyiksaan tidak boleh diajukan sebagai bukti dalam proses apapun”

Indonesia telah meratifikasi konvensi ini yang seharusnya mengikat dan

tunduk pada aturan konvensi ini. Sehingga suatu berita acara penyidikan yang

akan berakibat dimungkinkan pembatalan.7

Sejak adanya Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, ada

kewajiban bagi advokat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. Dalam Pasal 22 ayat (1) disebutkan “Advokat wajib” memberikan bantuan hukum

secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.”

Pemberian bantuan hukum cuma-cuma menjadi bagian idealisme advokat,

seharusnya setiap advokat harus mau menjalankan profesi mulia (Officium

Nobile) dengan memberikan bantuan hukum cuma-cuma yang merupakan

amanat dari Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

B. Sistem Peradilan Pidana dan Perlindungan Hukum

Bantuan Hukum dalam pengertian yang luas diartikan sebagai upaya untuk

membantu golongan yang tidak mampu dalam bidang hukum,8 sedangkan dalam

KUHAP tidak merumuskan tentang arti bantuan hukum.

7 Loebby Loqman,

Kekuasaan Kehakiman, Tinjauan Dari Segi Hukum Acara Pidana, CV. Data

Co , Jakarta, 99 , hl .4. Lihat juga Luhut MP Pa garibua , Polisi da A ti Kekerasa , Suara Pembaharuan,11 Juni 1995, hlm. 4.

8

(24)

13

Bantuan Hukum dalam Pasal 1 angka 9 Undang-undang No. 18 Tahun

2003 tentang Advokat diartikan bahwa Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang

diberikan advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu”

Sedangkan arti jasa hukum disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) adalah jasa

hukum yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan

hukum, menjalankan kuasa, mewakili/ mendampingi, membela dan melakukan

tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.

Bantuan Hukum pada hakekatnya akan menyentuh pada persoalan

kewajiban pemerintah dan tanggung jawab negara. Pasal 71 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM menyebutkan, “Pemerintahan wajib dan bertanggung jawab

menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia”

sehingga menimbulkan kewajiban bagi negara menyediakan fasilitas bagi warga

negaranya untuk menghormati, melindungi dan menegakkan hak asasi

dimaksud.

Bantuan hukum merupakan penjabaran dari hak untuk diakui secara

pribadi di hadapan hukum dan subjek hukum, yang diklasifikasikan sebagai Hak

Non-derogable Right.

Indonesia sebagai suatu negara hukum, telah membuat pengaturan yang

jelas dalam UUD 1945, dimana Hak Asasi Manusia mutlak diperlukan. Sebagai

negara hukum diartikan bahwa Indonesia menyandarkan segala persoalannya

melalui jalur hukum.

Konsep negara hukum ternyata sangatlah erat kaitannya dengan masalah

HAM, sehingga dapat dikatakan bahwa negara hukum adalah sebagai wadah

dan HAM sebagai isi. Sangat penting dan relevan apabila penerapan dan

(25)

kemudian merupakan masalah yang harus dikaji berdasarkan konsep Hak Asasi

Manusia (HAM). Sebagai upaya perlindungan dan penghormatan Hak Asasi

Manusia dalam proses penanganan perkara pidana adalah diberikannya dan

dipenuhinya hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum.

Bantuan hukum diharapkan dapat mencegah perlakuan yang tidak adil dan

tidak manusiawi atas tersangka atau terdakwa yang tergolong miskin. Tersangka

atau terdakwa dilindungi haknya sebagai orang yang menghadapi tuntutan

hukum dan terdesak untuk diadili. Untuk itu diberlakukan asas praduga tak

bersalah. (Presumption of Innocence).9

Dalam konteks perlindungan harkat dan martabat manusia khususnya

tentang pemenuhan dan perlindungan HAM, penegakkan hukum tidak dapat dilepaskan dari proses peradilan pidana itu sendiri sebagai “desain prosedur”

dalam sistem peradilan pidana. Tujuan hukum acara pidana melaksanakan

proses hukum yang adil (due process of law). Due process of law menurut Mardjono diartikan sebagai “proses hukum yang adil” yang arti, makna dan

hakekatnya adalah :

“…Adanya hak atas kemerdekaan dari seseorang warga negara untuk

membela diri dan menuntut hak-haknya dengan pengakuan atas

kebersamaan kedudukan dalam hukum dan penghormatan kepada asas praduga tak bersalah”.

Unsur-unsur minimal dari proses hukum yang adil adalah : mendengar

keterangan tersangka dan terdakwa, penasehat hukum dalam pembelaan,

pembuktian dan pengadilan yang adil dan tidak memihak.

9

(26)

15

Fungsi dari suatu undang-undang hukum acara pidana adalah untuk

membatasi kekuasaan negara dalam bertindak terhadap warga negara

masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan pidana.10 Oleh karena itu

ketentuan-ketentuan dalam hukum acara pidana harus dapat melindungi para

tersangka dan terdakwa terhadap tindakan aparat penegak hukum dan

pengadilan yang melanggar hukum tersebut

1. Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Teoritis- Praktis.

Setiap negara mempunyai sistem hukum yang mencerminkan sejarah

dan pengalaman masyarakat negara tersebut dalam perkembangan struktur

ekonomi, politik, budaya dan tradisinya. Sistem hukum, apalagi Sistem

Peradilan Pidana, mencerminkan politik ketatanegaraan (apakah berbentuk

kesatuan, federal atau konfederasi) dan bentuk politik pemerintahannya

(apakah menjalankan bentuk pemerintahan demokrasi, sosialis atau

komunis).

Sistem hukum yang baik, berusaha untuk membatasi tindakan yang

merugikan masyarakat demi rasa aman masyarakat itu sendiri. Manakala

masyarakat merasa tidak aman, terjadilah tindakan-tindakan, masyarakat

main hakim sendiri atau “take the law into their own hands’.31)Tindakan main

hakim sendiri adalah perwujudan gagalnya pemerintahan dalam memberikan

10Mardjo o Reksodiputro “iste Peradila Pida a I do esia (Melihat Kepada Kejahata

dan penegakkan hukum dalam batas-batas tolera si Pidato Pengukuhan Penerimaan

(27)

perlindungan dan jaminan rasa aman kepada masyarakat, baik terhadap

keamanan jiwa maupun harta bendanya. Kondisi ini diakibatkan oleh:11

1. Pengabaian Hukum (disregarding the laws);

2. Ketidakhormatan pada hukum (disrespecting the law);

3. Ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law); serta

4. Penyalahgunaan hukum (misuse of the law).

Untuk mencegah tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat, tugas

menciptakan keamanan masyarakat itu diserahkan kepada negara melalui

Sistem Peradilan Pidana. Perkembangan Sistem Peradilan Pidana dapat dilihat

dari bentuk-bentuk hukuman, tambahan jenis hak untuk pelaku dan korban,

dan reformasi penegakkan hukum sejak zaman kuno. Perkembangan ini dapat

dilihat dari berubahnya kebiasaan, ide politik dan kondisi ekonomi. Sebelum

abad pertengahan, pembayaran ganti rugi kepada korban (atau keluarganya),

adalah bentuk hukuman lain yang dikenal pada saat itu. Bagi mereka yang tidak

mampu, barulah mereka dikenakan hukuman badan yang berat. Beberapa teori

peradilan pidana dan hubungannya dengan hak perorangan dan kontrol sosial12,

adalah :

1. Restorative justice, adalah teori yang menyatakan bahwa korban atau

keluarganya dapat kembali kepada keadaan semula seperti sebelum

tindak pidana terjadi.

2. Bazemore dan Walgrave mendefinisikan restorative justice sebagai

setiap tindakan untuk menegakkan keadilan dengan memperbaiki

11

Arief T. Surowidjojo, Pembaharuan Hukum, ILUNI-FHUI, Jakarta, 2004 hlm. 124.

12

(28)

17

kerusakan yang ditimbulkan akibat suatu tindak pidana. (“Restorative

justice is every action that is primarily oriented toward doing justice by

repairing the harm that has been caused by a crime”). Teori ini berasal

dari tradisi common law dan tort law yang mengharuskan semua yang

bersalah untuk dihukum. Hukuman menurut teori ini termasuk pelayanan

masyarakat, ganti rugi dan bentuk lain dari hukuman penjara yang

membiarkan terpidana untuk tetap aktif dalam masyarakat.

3. Restorative justice adalah teori yang menyatakan bahwa korban atau

keluarganya mempunyai hak untuk memperlakukan terpidana sama

seperti ia memperlakukan korban. Teori ini berpijak pada perbedaan yang

penting dalam retributivisme positif. Retributivisme negatif didefinisikan

oleh dua aturan: pertama, hanya yang salah dapat dihukum (only the

quilty can be punished); kedua, yang salah hanya dapat dihukum sebatas

ganjaran atas kesalahannya (the quilty can only be punished to the extent

of their desert). Prinsip yang mendasari kedua prinsip ini, menurut De

Keijser, adalah apa yang disebut “retribution in distribution”. Berdasarkan

prinsip retributivisme negatif, penghukuman merupakan suatu tanggapan

yang perlu atas kejahatan dan hukumannya. Menurut Howard Zehr,

dalam keadilan retributif kejahatan adalah pelanggaran terhadap negara

dan hukum, dan keadilan ditetapkan dengan cara mempermasalahkan

dan memberikan rasa sakit, dimana keadilan merupakan perseteruan

antara pelaku kejahatan dengan negara (crime is a violation of the state,

crime is defined as lawbreaking, justice determined blame and

(29)

4. Psychiatric imprisonment adalah teori yang menyatakan bahwa kejahatan

adalah penyakit sehingga harus disembuhkan dengan obat-obatan atau

teknik yang lain yang berhubungan dengan kedokteran Psychiatric

imprisonment dan involuntary commitment sendiri mengacu kepada

pemenjaraan seseorang dirumah sakit jiwa secara sah dan berdasarkan

hukum karena dianggap orang tersebut tidak waras atau sakit. Definisi

seseorang dikatakan tidak waras atau sakit dan dapat dimasukan ke

Psychiatric Imprisonment berbeda di tiap negara, ada negara-negara

yang melakukan perluasan terhadap definisi tersebut. Sebagai contoh:

homoseksualitas dan perzinahan di Uni Soviet dan perlawanan politik di

Cina dianggap sebagai kelainan jiwa yang membahayakan dan dapat

dikenakan Psychiatric imprisonment. Cara memasukan orang pada

lembaga ini juga berbeda-beda, ada negara-negara yang membutuhkan

penetapan pengadilan, seperti Amerika Serikat, dan ada yang tidak

memerlukan penetapan pengadilan, seperti Australia. Thomas Szasz

menyatakan bahwa praktik semacam ini merupakan alternatif dari

hukuman penjara dan juga sebagai cara untuk mendefinisikan

penyakit-penyakit jiwa. Teori Psychiatric imprisonment menyatakan bahwa

penyembuhan terhadap kejahatan jiwa dilakukan melalui terapi elektrik

menggunakan aliran listrik, obatan penghilang rasa sakit dan

obat-obatan keras lainnya.

Banyak perdebatan terjadi di antara para ahli, ada yang menyatakan

bahwa metode ini memang dapat menyembuhkan dan ada yang berpendapat

bahwa metode ini berbahaya dan dapat disalahgunakan oleh negara-negara

(30)

19

yang berkuasa. Thomas Scasz, Lawrence Stevens, dan Fred Foldvary adalah

orang-orang yang menentang adanya Psychiatric imprisonment. Walaupun

demikian, pada dasarnya hampir semua negara memiliki aturan mengenai hal ini.

PBB mengenai Resolusi Majelis Umum No 46/119 Tahun 1991 berusaha untuk

membuat satu standar di antara negara-negara mengenai Psychiatric

imprisonment. Resolusi tersebut berjudul Principles for the Protection of Persons

with Mental Illnes and the Improvement of Mental Healt Care.

Resolusi ini bersifat tidak mengikat, tetapi banyak negara yang

mengadopsi isi resolusi ini dalam hukum nasionalnya. Pendukung teori

Psychiatric imprisonment menyatakan bahwa cara ini efektif digunakan bagi

terpidana yang diduga memiliki kelainan jiwa karena dapat menyembuhkan

mereka dari penyakit yang dideritanya. Cara mendeteksi terpidana seperti ini

dinilai dari motifnya, biasanya mereka sulit dimengerti karena mereka melakukan

kejahatan tanpa motif ekonomi atau keuntungan apapun.

Transformative justice tidak membandingkan hidup korban atau terpidana

sebelum dan sesudah tindak pidana. Teori ini mengutamakan rasa percaya

masyarakat terhadap anggotanya, termasuk rasa percaya bahwa si pelaku tidak

akan melakukan kejahatan lagi, dan percaya bahwa si korban tidak akan

membalas dendam. Teori ini mengungkapkan strategi filosofis yang digunakan

untuk masalah menanggulangi masalah, terutama di bidang hukum lingkungan,

hukum perusahaan, hubungan industrial, kepailitan dan hukum keluarga.

Teori ini menggunakan pendekatan sistem untuk mencari sebab timbulnya

masalah dan mencoba untuk memperlakukan kejahatan tersebut sebagai sarana

(31)

terkena akibat dari perbuatan si pelaku. Bahkan, dalam teorinya model ini dapat

dicoba terhadap orang-orang yang sebelumnya tidak saling mengenal. Teori ini

tidak mendukung adanya hukuman bagi pelaku, tetapi lebih mengarahkan ke

perdamaian di antara para pihak. Walaupun demikian, biasanya korban tidak

menjadi bagian dari proses ini, tetapi bisa memilih untuk ikut berpartisipasi. Para

peserta dari usaha transformative justice ini bersama-sama berusaha untuk

menyetujui apa yang dapat mengurangi kesusakan yang telah dialami,

diantaranya dengan cara memisahkan si pelaku dari korban.

Menurut teori ini, permasalahannya ada pada masyarakat, apakah mereka

bersedia untuk mendukung korban dan pelaku dalam suatu bentuk hubungan.

Mereka menentang penjara sebagai bentuk hukuman karena penjara dianggap

merusak jiwa dan memberi pengaruh buruk bagi individu yang berada di

dalamnya maupun kepada masyarakat luas. Teori ini berasal dari hasil pemikiran

Samuel Tuke dan B.F Skinner yang dikembangkan oleh Ruth Morris dan

Giselle Dias dari Canadian Society of Friends13.

Istilah Sistem Peradilan Pidana menurut Andi Hamzah, bukan hanya

meliputi hukum, tetapi termasuk juga berbagai unsur non-hukum. Sistem

Peradilan Pidana dimulai dari pembentukan undang-undang Hukum Pidana di

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sampai kepada pembinaan narapidana hingga

keluar dari LP.14Sistem Peradilan Pidana mempunyai tujuan jangka pendek untuk

resosialisai, tujuan jangka menengah untuk pemberantasan kejahatan dan tujuan

jangka panjang untuk kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, Sistem

Peradilan Pidana menjadi harapan bagi upaya mengendalikan kejahatan.

13

Teori Permasalahan Pada Masyarakat, http:// www.revitalisasiparadigma.blogspot.com, di akses pada hari selasa, 4 Desember pukul 16.00 wib

14

(32)

21

Meskipun demikian, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, bukanlah

satu-satunya senjata ampuh untuk menghadapi tindak pidana, karena masih sangat

dipengaruhi oleh: (a) profesionalisme penegak hukum; dan (b) persepsi yang

sama di antara para penegak hukum tentang bagaimana model Sistem Peradilan

Pidana yang dilaksanakan bersama.

Sistem Peradilan Pidana tidak dapat lepas dari sistem hukum dalam suatu

negara secara keseluruhan, Khususnya sistem hukum pidana. Sebagaimana

telah dikemukakan di atas bahwa sistem Hukum Pidana menganut asas

persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law). Romli

Atmasasmita mengatakan bahwa unsur mutlak dalam hukum adalah asas dan

kaidah. Kekuatan jiwa hukum terletak pada dua unsur tersebut, bahwa unsur

atas hukum merupakan jantung pertahanan hidup hukum dalam masyarakat.

Semakin dipertahankan asas hukum, semakin kuat dan bermakna kehidupan

dan pelaksanaaan hukum dalam masyarakat.

Dalam proses peradilan pidana, ekspresi equality tersebut digambarkan

oleh M. Trapman sebagai berikut:

“Dalam peradilan pidana terdakwa mempunyai pertimbangan yang

subyektif dalam posisi yang subyektif; penasihat hukum mempunyai pertimbangan yang objektif dalam posisi yang subyektif; penuntut umum mempunyai pertimbangan yang subyektif dalam posisi yang objektif, sedangkan hakim mempunyai pertimbangan yang objektif

pula.”

Hukum Pidana yang dikodifikasi dalam KUHP digolongkan sebagai Hukum

Pidana materiel, sedangkan Hukum Acara Pidana (Strafprocesrecht) digolongkan

sebagai Hukum Pidana formal. Sampai sekarang tidak ada kesamaan pendapat

(33)

sistematika ilmu hukum, setidak-tidaknya fungsi dari hukum Acara Pidana

tersebut dapat diketahui.15

S.M. Amir mendefinisikan hukum acara sebagai kumpulan

ketentuan-ketentuan dengan tujuan memberikan pedoman dalam usaha mencari

kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan hukum

dalam hukum materiel. Dalam kata lain, hukum acara mengabdi kepada hukum

material.16

Sementara, Wirjono Prodjodikoro menyebutkan bahwa Hukum Acara

Pidana berhubungan erat dengan Hukum Pidana. Hukum Acara Pidana

merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana

badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan

pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan

Hukum Pidana.17

Hukum Acara Pidana merupakan ketentuan mengenai proses peradilan

pidana. Oleh karena itu, kewajiban untuk memberikan jaminan atas perlindungan

hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana selama menjadi proses peradilan

pidana sampai menjalani hukumannya, diatur juga dalam Hukum Acara Pidana.

Kewajiban tersebut harus dipenuhi oleh pemerintah dalam rangka melindungi

HAM.

Melalui sejumlah prosedur hukum itulah, hakim dapat tiba pada kesimpulan

apakah seseorang secara faktual dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak

15

Djisman Samosir, C. Hukum Acara Pidana dalam Perbandingan, Binacipta, Bandung, 1985, hlm. 6.

16

Amir, S.M. Hukum Acara Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976, hlm.6.

17

(34)

23

pidana yang telah ditentukan sebelumnya oleh undang-undang Hukum Pidana

materiel. Sementara hak untuk menuntut tanggung jawab pemerintah terhadap

pelanggaran atas hak asasi seorang tersangka, terdakwa maupun terpidana,

dijamin melalui lembaga seperti Habeas Corpus di Australia dan Inggris, lembaga

Praperadilan di Indonesia atau lembaga Rechter-commissaris di Belanda. Selain

itu, Sistem Peradilan Pidana juga merupakan sistem pengendalian kejahatan

yang dilakukan oleh berbagai lembaga penegakkan hukum seperti kepolisisan,

kejaksaan, pengadilan dan LP, yang bertujuan antara lain untuk mencegah

masyarakat untuk menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan

dan mengusahakan mantan narapidana tidak menjadi residivis.

Dari pengertian Sistem Peradilan Pidana tersebut, dapat dikatakan bahwa

sistem Peradilan Pidana erat kaitannya dengan hak tersangka dan terdakwa

yang harus dilindungi berkenaan dengan adanya perlakuan dari penegak hukum

dalam melakukan tindakan upaya paksa, mulai dari tahap pemeriksaan

pendahuluan (penyelidikan dan penyidikan), penuntutan, pemeriksaan di sidang

pengadilan, putusan hakim, upaya hukum, sampai adanya putusan pengadilan

yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pengambilan keputusan dalam Sistem Peradilan Pidana melibatkan lebih

dari sekadar pemahaman aturan dan aplikasi-aplikasinya.18 Keputusan diambil

berdasarkan diskresi, yaitu penggunaan pertimbangan pribadi untuk memilih

tindakan yang dapat diambil. Diskresi, atau mengambil keputusan, investigasi,

penggeledahan, pemeriksaan atau upaya paksa. Demikian juga jaksa dapat

18

(35)

menggunakan pertimbangan pribadi dalam memilih untuk menuntut seseorang

atau untuk melakukan penawaran (plea bargain). Hakim juga menggunakan

diskresi ketika mereka menetapkan jaminan (bail), menerima atau menolak ple

bargain, dan dalam pengambilan keputusan.

Sistem Peradilan Pidana Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sistem

hukum Indonesia yang merupakan cermin sistem hukum Belanda. Karena

berasal dari induk yang sama, Sistem Hukum Pidana dan Sistem Peradilan

Pidana Indonesia dan Belanda memiliki banyak persamaan.

Sistem Hukum Pidana Belanda berawal ketika Kekaisaran Perancis

menjajah Belanda dan Hukum Pidana untuk Kerajaan Belanda diganti dengan

(Code Penal), dan ketentuan peradilan pidana ditetapkan dalam Code

d’Instruction Criminelle (1838). Pada tahun 1881 Belanda menetapkan Wetboek

van Strafrecht (WvS) yang sampai sekarang telah mengalami perubahan untuk

menyesuaikan kondisi dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.

Sekalipun WvS sudah berlaku sejak tahun 1886, penyesuaian terhadap

Hukum Acara Pidana baru dilakukan pada Tahun 1926 saat ditetapkannya

Wetboek van Strafvordering (SV). Pembaharuan Hukum Acara Pidana tersebut

terjadi karena desakan-desakan untuk membatasi karakter inquisitor yang terlalu

kuat dalam hukum acara produk Perancis tersebut.

2. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Nasional

Bagir Manan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan HAM adalah: 19

19

(36)

25

1. Hak-hak asasi baik yang bersifat klasik maupun yang bersifat sosial.

Hak-hak yang bersifat klasik terdapat dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal

28, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Sementara hak yang bersifat sosial

dirumuskan dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 24

UUD 1945. Hak yang berkenaan dengan semua orang yang

berkedudukan sebagai penduduk tidak dirumuskan dengan hak

melainkan kemerdekaan. Contohnya rumusan Pasal 28 dan 29 ayat

(2) UUD 1945.

2. Hak yang berkenaan dengan warga negara Indonesia, Hal ini dapat

kita baca pada Pasal 27 ayat (2), Pasal 30 ayat (1) dan Pasal 31 ayat

(1). Hak asasi yang berlaku khusus pada warga negara ini dapat

dikategorikan ke dalam hak asasi yang timbul karena hukum (legal

rights).20

Kemerdekaan Indonesia terjadi pada masa-masa pemikiran dan

pergolakan kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia sedang terjadi. Para pendiri

negara Indonesia memahami makna HAM maupun penegakkan dan

perlindungannya melalui sistem hukum nasional. Namun, sejak awal

pembentukan konstitusi Indonesia, perdebatan mengenai apakah HAM dan

sistem perlindungannya sudah sesuai dengan budaya bangsa, telah terjadi.

Memasuki masa reformasi yang ditandai dengan mundurnya Presiden

Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, timbul kehendak berbagai elemen

masyarakat untuk mengubah UUD 1945, yang membawa perubahan mendasar

terhadap keberadaan dan diakuinya HAM serta upaya penegakkannya dalam

20 O.C. Kaligis,

(37)

kehidupan sehari-hari. Dalam amandemen Kedua yakni Bab XA. Pasal 28 UUD

1945 kemudian mengalami perubahan menjadi Pasal 28A, 28B, 28C, 28D, 28E,

28F, 28H, 28I.

(38)

27

BAB III

KEGIATAN KERJA PRAKTEK

A. Kegiatan Kerja Praktek

Kegiatan kerja praktek merupakan perkuliahan yang telah dilakukan

selama kurang lebih satu bulan terhitung dari pukul 08.00 – 16.00 WIB sejak

tanggal 23 Juli 2012 sampai dengan tanggal 10 Agustus 2012 Kegiatan kerja

bertempat di Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) yang berlokasi di Jl.

Terusan Jakarta No. 50 Antapani Bandung. Penulis telah melakukan berbagai

hal dengan mempelajari sistem kerja Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP)

Bandung, kegiatan yang telah dilakukan antara lain :

1. Mencari data dari setiap bidang di Badan Narkotika Nasional Provinsi

untuk memenuhi kebutuhan pembuatan laporan kerja praktek. Badan

Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) melaksanakan tugas, fungsi, dan

wewenang Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam wilayah Provinsi,

tugas dari berbagai bidang yang terdapat dalam Badan Narkotika

Nasional Provinsi adalah sebagai berikut :

a) Bagian Tata Usaha terdiri atas :

1) Subbagian Perencanaan : mempunyai tugas

melakukan penyiapan penyusunan rencana program

dan anggaran, bahan bantuan hukum dan kerjasama

(39)

2) Subbagian Logistik : mempunyai tugas melakukan

urusan tata persuratan, pengelolaan logistik dan

urusan rumah tangga BNNP.

3) Subbagian Administrasi : mempunyai tugas melakukan

urusan kepegawaian, keuangan, kearsipan,

dokumentasi dan hubungan masyarakat.

b) Bidang Pencegahan mempunyai tugas melaksanakan

kebijakan teknis P4GN di bidang pencegahan dalam wilayah

Provinsi. Bidang Pencegahan terdiri atas :

1) Seksi Desiminasi Informasi : mempunyai tugas

melakukan penyiapan desiminasi informasi P4GN di

bidang pencegahan dalam wilayah Provinsi dan

penyiapan bimbingan teknis desiminasi informasi

kepada Badan Narkotika Nasional Kabupaten/ Kota.

2) Seksi Advokasi : mempunyai tugas melakukan

penyiapan advokasi P4GN di bidang pencegahan

dalam wilayah Provinsi, dan penyiapan bimbingan

teknis advokasi kepada Badan Narkotika Nasional

Kabupaten/ Kota.

c) Bidang Pemberdayaan Masyarakat : mempunyai tugas

melaksanakan kebijakan teknis. P4GN di bidang

pemberdayaan masyarakat dan rehabilitasi dalam wilayah

Provinsi. Bidang Pemberdayaan Masyarakat terdiri atas :

1) Seksi Peran Serta Masyarakat : mempunyai tugas

(40)

29

bidang pemberdayaan masyarakat dan rehabilitasi

dalam wilayah Provinsi dan penyiapan bimbingan

teknis peran serta masyarakat kepada Badan

Narkotika Nasional Kabupaten/ Kota.

2) Seksi Pemberdayaan Alternatif : mempunyai tugas

melakukan penyiapan pemberdayaan alternatif P4GN

di bidang pemberdayaan masyarakat dalam wilayah

Provinsi, dan penyiapan bimbingan teknis advokasi

kepada Badan Narkotika Nasional Kabupaten/ Kota.

d) Bidang Pemberantasan : mempunyai tugas melaksanakan

P4GN di bidang pemberantasan dalam wilayah Provinsi.

Bidang Pemberantasan terdiri atas :

1) Seksi Intelijen : mempunyai tugas melakukan

penyiapan pelaksanaan kegiatan intelijen berbasis

teknologi dalam wilayah Provinsi dan penyiapan

bimbingan teknis kegiatan intelijen berbasis teknologi

kepada Badan Narkotika Nasional Kabupaten/ Kota.

2) Seksi Penyelidikan, Penindakan, dan Pengejaran

mempunyai tugas melakukan penyiapan pelaksanaan

penyidikan, penindakan dan pengejaran dalam rangka

pemutusan jaringan kejahatan terorganisasi

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika,

psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya

kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol

(41)

teknis kegiatan interdiksi kepada Badan Narkotika

Nasional Kabupaten/Kota.

3) Seksi Pengawasan Tahanan, Barang Bukti, dan Aset :

mempunyai tugas melakukan penyiapan pelaksanaan

pengawasan tahanan, barang bukti dan aset dalam

wilayah Provinsi.

2. Membaca dan mempelajari buku tentang bahaya dalam

penyalahgunaan narkotika yang ada di kantor Badan Narkotika

Nasional Provinsi.

3. Mencari bahan untuk menambah data – data laporan kerja praktek

berupa :

a) Laporan kegiatan Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat

bulan April 2012.

b) Sejarah Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat.

c) Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional tentang Organisasi

dan Tata Kerja (OTK) Badan Narkotika Nasional Provinsi dan

Badan Narkotika Nasional Kabupaten/ Kota.

d) Mempelajari Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika

4. Melakukan wawancara dengan staff dan ahli yang berada di bagian

pemberantasan narkotika, diantaranya :

a) Kepala Bidang Pencegahan : Drs. Wuryanto Sugiri

b) Kepala Bidang Pemberantasan : Deni Yus Danial. SIP.MH.

c) Subbagian Perencanaan : Cecep Suherman, S.sos

(42)

31

e) Seksi Penyidikan, Penindakan, dan Pengejaran : Chusnul Waton,

S.sos, S.H

5. Membuat rancangan laporan kerja praktek dengan Pembimbing Bapak

Deni Yus Danial. SIP. MH.

B. Struktur Organisasi

Struktur Organisasi Badan Narkotika Nasional Provinsi

Kepala : Anang Pratanto, Drs

Bagian Tata Usaha :

1. Subbagian Perencanaan : Cecep Suherman, S.sos

2. Subbagian Logistik : Eka Suryana, S.sos

3. Subbagian Administrasi : Yohanes Eko Arianto, A.pt,M.Si

Bidang Pencegahan :

1. Seksi Desiminasi Informasi : Tri Wahyu Astuti, S.E

Bidang Pemberdayaan Masyarakat : Anas Saefudin, Drs

Bidang Pemberantasan :

1. Seksi Intelijen :

2. Seksi Penyidikan, Penindakan, dan Pengejaran : Chusnul Waton,

S.sos, S.H

3. Seksi Pengawasan Tahanan, Barang Bukti, dan Aset : Deni

(43)

32

MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003

TENTANG ADVOKAT

A. Bantuan Hukum Wajib Diberikan Kepada TersangkaPenyalahgunaan

Narkoba Sebagai Perlindungan Hak Asasi Manusia

Pelanggaran-pelanggaran terhadap Hak Asasi tersangka dapat dibagi

dalam 3(tiga) bagian, yaitu :

1. Pelanggaran administratif dan prosedural penyelidikan dan

penyidikan;

2. Pelangaran terhadap diri pribadi (jiwa/raga dan harta)tersangka;

3. Pelanggaran HAM yang tidak diatur dalam KUHAP.

Bentuk-bentuk pelanggaran Hak Asasi tersangka dapat ditinjau dalam

berbagai bentuk sebagaimana disebut di atas, tetapi tidak tertutup

kemungkinan bahwa dalam suatu perkara Narkoba terjadi beberapa bentuk

pelanggaran, baik pelanggaran asdministratif, pelanggaran prosedural,

maupun pelanggaran terhadap diri pribadi tersangka penyalahgunaan

Narkoba.

Pelanggaran Administratif dan Prosedural dala Penyelidikan dan

penyidikan perkara penyalahgunaan Narkoba dapat terjadi dalam bentuk

yang sepertinya sudah lazim terjadi sampai kepada sesuatu yang terlupakan

(44)

33

antara lain : penyedik tidak memberitahukan hak tersangka untuk didampingi

penasihat hukum.

Substansi bantuan hukum di Indonesia menjadi pertanyaan paling

mendasar, yaitu apakah bantuan hukum itu bersifat wajib diberikan kepada

tersangka penyalahgunaan Narkoba dalam proses penyidikan atau baru

diwajibkan setelah beberapa syarat tertentu dipenuhi. Bantuan hukum

adalah instrumen penting dalam Sistem Peradilan Pidana karena merupakan

bagian dari perlindungan HAM, khususnya terhadap Hak Atas Kebebasan

dan Hak Atas Jiwa-Raga. Bantuan hukum merupakan pelaksanaan Pasal 1

ayat (1) KUHP yang lazim disebut sebagai asas legalitas. Asas legalitas

sendiri adalah asas umum Hukum Pidana yang berlaku universal. Meskipun

tidak secara nyata menyebut tentang bantuan hukum, tetapi Pasal 1 KUHP

ini mempunyai substansi dan tujuan yang sama, yaitu sebagai perlindungan

hukum atas hak kebebasan dan jiwa raga seorang tersangka. Sehingga

bantuan hukum dipandang sebagai wujud nyata atas asas legalitas.

Semua negara tanpa memandang orientasi politik dan

ketatanegaraannya, selalu mengakui asas legalitas dan bantuan hukum

dalam sistem Peradilan Pidana masing-masing. Bedanya terletak pada

sejauh mana bantuan hukum dijalankan sebagai kewajiban oleh seluruh

Lembaga Sistem Peradilan Pidana.

Berdasarkan Pasal 54 KUHAP bahwa prinsip Hak atas bantuan hukum

diakui, akan tetapi kenyataannya tidak termasuk ke dalam Hak yang bersifat “wajib”. Terdapat kondisi atau syarat tertentu yang harus dipenuhi sebelum

Hak atas bantuan hukum tersebut menjadi “wajib”. Syarat khusus tersebut

(45)

a) Kemapuan (finansial)

b) Ancaman hukuman bagi tindak pidana yang disangkakan

sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 Ayat (1) dan (2).

Ketentuan wajib tersebut apabila diabaikan akan menimbulkan akibat

tuntutan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima atau mengakibatkan

Penyidikan menjadi tidak sah.

Ketentuan Pasal 56 KUHAP bersifat imperatif yaitu hukum yang

memaksa (dwingend recht), bahkan dengan tegas mengharuskan adanya

Penasehat Hukum untuk mendampingi Tersangka dalam perkara Narkoba

pada semua tingkat pemeriksaan. Ketentuan ini dimaksudkan sebagai

implementasi dijunjung tinggi hak asasi tersangka penyalahgunaan Narkoba,

sebagaimana tujuan diundang-undangkannya KUHAP. Sehingga tidak

diharapkan adanya kesewenang-wenangan dalam pemeriksaan tersangka.

Kondisi dan syarat-syarat tersebut menimbulkan ketidakpastian,

khususnya mengenai dasar bagi penyidik untuk menilai apakah seorang

tersangka mampu secara finansial atau tidak untuk membayar jasa

penasihat hukum. Secara yuridis normatif bagi terdakwa yang tidak mampu

membayar penasihat hukum setelah pembacaan surat dakwaan,

pemeriksaan saksi hanya pembacaan Berita Acara Perkara (BAP) saksi,

kemudian dibacakan tuntutan pidana, kemudian putusan perkara dan Jaksa

Penuntut Umum menekan terdakwa untuk menerima putusan. Di dalam

praktek, tersangka berhadapan dengan penyidik yang memiliki hak diskresi

cenderung tidak terkendali, seperti penggunaan kekerasan yang eksesif

(46)

35

Diskresi yang tidak terkendali selalu menyebabkan pelanggaran Hak

Asasi Manusia (HAM), hak atas bantuan hukum seharusnya wajib diberikan

dalam setiap penyidikan terhadap tersangka penyalahgunaan narkoba,

karena penyalahgunaan narkoba merupakan perbuatan seseorang yang

menggunakan narkoba tanpa pengawasan dokter. Pengguna adalah

pecandu yang secara medis adalah orang-orang yang mempunyai nilai

kepribadian yang menyimpang, dan berhak untuk diperlakukan sebagai

orang yang membutuhkan pertolongan dan perawatan dalam pengawasan

dokter.

Pelaksanaan penegakkan hukum, hak-hak asasi yang melekat pada

diri tersangka tidak boleh dikurangi. Berdasarkan KUHAP, hak-hak asasi

utama tersangka yang harus dijunjung antara lain:

1) Persamaan hak dan kedudukan serta kewajiban di hadapan

hukum : Tersangka dan aparat Penegak hukum adalah

sama-sama warga negara yang mempunyai hak, kedudukan dan

kewajiban yang sama di hadapan hukum, kebenaran dan keadilan.

Oleh karena itu, siapapunharus diperlakukan sama tanpa

deskriminasi dalam perlakuan dan perlindungan hukum.

2) Praduga tak bersalah : Setiap orang harus dianggap tidak

bersalah sampai kesalahannya dibuktikan dalam sidang

Pengadilan yang bebas dan jujur di depan umum.

3) Penangkapan atau penahana harus didasarkan bukti permulaan

yang cukup : Wewenang aparat penegak hukum dalam melakukan

penangkapan dan penahanan harus dibatasi dan didasarkan pada

(47)

dapat didasarkan pada selera dan sikap masa bodoh aparat

penegak hukum.

4) Hak mempesiapkan pembelaan secara dini : KUHAP memberi

kebebasan kepada tersangka atau terdakwa untuk didampingi

penasihat hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan, mulai dari

tingkat penyidikan.

Bantuan hukum dalam proses peradilan pidana tidak dapat dilepaskan,

dihindarkan, dan ditiadakan sama sekali. Sebagai salah satu sub sistem dari

sistem peradilan pidana (criminal justice sistem) bantuan hukum dapat

memberikan kontribusi dalam mencapai proses hukum yang adil.

B. Fungsi Advokat menurut UU No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat

Dihubungkan dengan kewajiban Memberikan Bantuan Hukum.

Advokat merupakan bagian integrasi (integrated Justice System).

Sebagai salah satu pilar (sub system), maka kehadirannya sangat penting

dalam mewujudkan peradilan yang jujur, adil, bersih, menjamin kepastian

hukum dan kepastian keadilan, serta jaminan HAM untuk menciptakan

independensi kekuasaan kehakiman.

fungsi dan kewajiban seorang advokat, dapat dilihat dalam

Mukaddimah Aggaran Dasar Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) yang

menyatakan:

(48)

37

Advokat secara perseorangan maupun organisatoris, harus mampu

menjadi faktor pendorong (impetus majority) dalam perwujudan sistem

peradilan yang terintegrasi. Oleh karena itu secara posisional, kedudukan

advokat harusnya sejajar dengan kedudukan hakim, jaksa, polisi, dan

lembaga pemasyarakatan dengan segala hak kewajibannya dalam

mengawal perwujudan independensi kekuasaan kehakiman.

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang

Advokat menyebutkan advokat mempunyai kedudukan sebagai penegak

hukum yang dijamin kebebasan dan kemandiriannya oleh hukum. Peraturan

Pemerintah akan menjadi panduan operasional bagi setiap advokat dalam

memberikan bantuan hukum pro bono. Salah satu Pasal yang diatur dalam

rancangan peraturan pemerintah tersebut adalah pembentukan lembaga

bantuan hukum cuma-cuma (LBHCC) dimana lembaga ini berada dalam

ruang lingkup dan bertanggung jawab kepada organisasi advokat. Adanya

amanat dan tanggung jawab yang dibebankan kepada organisasi advokat

merupakan salah satu point krusial yang melekat pada undang-undang

advokat. Sebagai pemegang otoritas tertinggi, organisasi bertanggung jawab

penuh akan seluruh advokat yang dinaunginya. Mulai dari urusan magang,

ujian advokat, pendidikan khusus dan berkelanjutan sampai pada

pengawasan, perlindungan serta penindakan terhadap advokat termasuk

kewajiban memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada pencari keadilan

yang tidak mampu.

Pasal 22 ayat 1 Undang-undang No. 18 Tahun tidak efektif ketika

menghadapi para advokat yang mengabaikan kewajibannya untuk

(49)

karena tidak adanya prosedur yang jelas dalam pelaksanaannya di samping

itu juga tidak ada sanksi yang dapat dikenakan kepada advokat yang tidak

memenuhi kewajibannya untuk memberikan bantuan hukum, merupakan

penyebab terlambatnya pelaksanaan bantuan hukum bagi masyarakat yang

tidak mampu.

Undang-undang advokat perlu diperbarui mengenai pengawasannya,

otoritas pihak yang mengawasi dan lembaga kehormatan kode etik

menjatuhkan sanksi, optimalisasi fungsi organisatoris, pengaturan yang

tegas dan jelas mengenai hak dan kewajiban advokat di hadapan hukum,

moral dan etika, adanya pasal-pasal yang diskriminatif dan kontraproduktif,

sangat tidak adil khususnya pasal yang tidak memperkenankan dosen yang

di Biro Bantuan Hukum (BBH) perguruan tinggi berstatus Pegawai Negeri

Sipil (PNS), LBH dan para pembela umum tidak diperkenankan untuk

beracara di pengadilan.

Lembaga bantuan hukum dan biro-biro bantuan hukum universitas

dapat diberdayakan dalam pembelaan kepada orang-orang miskin dan

menciptakan kaderisasi advokat muda yang dibimbing dosen yang

berpengalaman semenjak dibangku kuliah karenanya Undang-undang

advokat patut disempurnakan.

Advokat harus mampu bertindak sebagai agent of law development

dan agen of law enculturation. Hal ini dimaksudkan untuk mencari kebenaran

dan menegakkan keadilan serta menjunjung tinggi supremasi hukum untuk

menjamin terselenggaranya negara hukum dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Advokat merupakan wujud moral force, kekuatan moral

(50)

39

kehidupan dan kesadaran masyarakat di berbagai bidang, khususnya di

bidang hukum. Jasa hukum melalui advokat dewasa ini berkembang menjadi

kekuatan Institusional.

Pasal 115 ayat (1), menyatakan kedudukan penasehat hukum

mengikuti jalannya pemeriksaan pada tingkat penyidikan, hanya sebagai “penonton”. Terbatas hanya “melihat serta mendengar” atau within sight and

within hearing. Selama kehadirannya mengikuti jalannya pemeriksaan, tidak

diperkenankan memberi nasehat. Seolah-olah kehadirannya berupa

persiapan menyusun pembelaan atau pemberian nasihat pada taraf

pemeriksaan selanjutnya.

Kehadiran penasihat hukum, membuat suasana pemeriksaan menjadi

lebih manusiawi, kecuali memang pemeriksa sendiri sudah lupa daratan

dimabuk kecongkakan kekuasaan, dan sudah berteman dengan emosi dan

telah kehilangan akal sehat. Demikian juga dari segi psikologis, kehadiran

penasihat hukum dalam pemeriksaan, mendorong tersangka lebih berani

mengemukakan kebenaran yang dimiliki dan diketahuinya, kecuali jika

tersangka benar-benar perihidupnya terlampau dalam ditelan budaya

(51)

40

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang dipaparkan, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan, yang antara lain sebagai berikut:

1. Bantuan Hukum wajib diberikan dalam rangka perlindungan HAM kepada

tersangka dalam perkara penyalahgunaan Narkoba karena merupakan

perintah langsung dari undang-undang yang bersifat secara imperatif.

Dan pemerintah wajib menjamin tersedianya bantuan hukum dalam

bentuk penyediaan sistem yang memastikan bantuan hukum dapat

bekerja efektif memberikan fasilitas maupun dukungan dana. Kemudian

proses peradilan pidana dan bantuan hukum tidak bisa dilepaskan dari

pembicaraan tentang hak asasi. Peradilan pidana dan bantuan hukum

adalah salah satu aspek dari perjuangan hak asasi manusia. Oleh karena

itu KUHAP telah menempatkan tersangka dalam posisi his entity and

dignity as a human being, yang harus diperlakukan sesuai dengan

nilai-nilai luhur kemanusiaan. Dalam pelaksanaan penegakkan hukum,

hak-hak asasi yang melekat pada diri tersangka tidak boleh dikurangi.

2. Fungsi advokat baik secara perorangan maupun organisasi menurut

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 dihubungkan dengan kewajiban

memberikan bantuan hukum terhadap tersangka dalam perkara

penyalahgunaan Narkoba adalah belum efektif karena dalam ketentuan

tersebut tidak ada sanksi yang tegas yang dapat dikenakan kepada

Advokat jika seorang advokat atau organisasi advokat menolak untuk

(52)

41

perkara penyalahgunaan Narkoba. Mengenai tanggung jawab Advokat

terhadap kewajiban dalam jasa pelayanan hukum yaitu mengenai

ketentuan tanggung jawab Advokat tentang pelayanan jasa hukum yang

diatur dalam Undang-Undang Advokat dan kode Etik Profesi Advokat

belum dapat mengantisipasi keutuhan praktik, karena tanggung jawab

yang di atur oleh Undang-Undang Advokat dan Kode Etik Profesi Advokat

hanya sebatas tanggung jawab dalam bentuk menjalankan

kewajiban-kewajiban selaku Advokat dan meninggalkan larangan-larangan

melakukan perbuatan tertentu bukan dalam bentuk tanggung jawab

dalam memberikan pelayanan jasa hukum. Untuk itu prinsip tanggung

jawab mutlak dapat diterapkan terhadap profesi Advokat.

B. Saran

Dari pembahasan-pembahasan serta kesimpulan yang telah diuraikan di

atas, maka saran-saran yang dapat penulis uraikan adalah sebagai berikut :

1. Mengingat pentingnya bantuan hukum bagi tersangka dalam perkara

penyalahgunaan Narkoba maka perlu kiranya dibuat segera

Undang-undang tentang bantuan hukum atau peraturan pemerintah yang

mengatur tentang tata cara pemberian bantuan hukum oleh advokat, agar

ada jaminan kepada tersangka dan terdakwa dalam mendapatkan

bantuan hukum dan prosedur yang jelas tentang tata cara pemberian

bantuan hukum oleh advokat secara individu maupun organisatoris serta

kepada pemerintah dituntut tanggungjawab yang besar dalam

pelaksanaaan bantuan hukum yang antara lain dalam bentuk penyediaan

(53)

maupun dukungan dana. Dimana harus mengalokasikan melalui

anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk bantuan hukum.

2. Perlu kiranya diajukan rekomendasi agar merevisi Undang-undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang KUHAP khususnya Pasal 56 dan 115 ayat (1) serta

Pasal 114 KUHAP yang mengatur tentang bantuan hukum dan peran

advokat dimana ditegaskan bahwa bantuan adalah hak dan dapat

dipergunakan dirubah atau ditambah beberapa Pasal menjadi bantuan

hukum wajib diberikan kepada tersangka. Dan juga merevisi

Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat serta diperlukan

Referensi

Dokumen terkait

disimpulkan bahwa: 1) Kemampuan translasi siswa dari bentuk verbal ke bentuk simbol termasuk dalam kategori kurang sekali. Kelompok atas lebih baik daripada kelompok tengah maupun

Menurut Sonny (2011: 2), pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode anggaran tertentu (UU.No 32 Tahun

Dimana kondisi ekonomi sempat hampir mengalami krisis karena melonjaknya dolar sehingga mempengaruhi tingka ekonomi masyarakat yaitu semua kebutuhan menjadi mahal yang

Untuk mengetahui efek pemberian ekstrak etanol daun kitolod (Laurentia longiflora) secara peroral dengan dosis 100mg, 300mg, dan 600mg/KgBB dapat menurunkan jumlah sel

6. Analisis Utilitas ... Error! Bookmark not defined... vi BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BUMI.. PERKEMAHAN KEPURUN KLATEN.. Error! Bookmark

Curry, Grothaus, dan McBride (1997) pun menemukan bahwa perokok yang berniat dengan alasan kesehatan dan telah mengalami masalah kesehatan yang berhubungan dengan rokok

Word of Mouth adalah suatu bentuk komunikasi secara pribadi yang mempunyai tujuan untuk memberi informasi atau mempengaruhi orang lain agar menggunakan produk

aktivnost putem koje utje č u na realni sektor.. Naravno, banke mogu imati i negativan utjecaj na gospodarstvo. kada one ne izvršavaju svoje funkcije na na č in koji