• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kombinasi Algoritma Watermarking Modified Least Significant Bit Dengan Least Significant Bit +1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Kombinasi Algoritma Watermarking Modified Least Significant Bit Dengan Least Significant Bit +1"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KOMBINASI ALGORITMA

WATERMARKING

MODIFIED LEAST SIGNIFICANT BIT

DENGAN

LEAST SIGNIFICANT BIT +1

TESIS

RIFKI RESPATI ASHARI LUBIS

117038009

PROGRAM STUDI S2 TEKNIK INFORMATIKA

FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISIS KOMBINASI ALGORITMA

WATERMARKING

MODIFIED LEAST SIGNIFICANT BIT

DENGAN

LEAST SIGNIFICANT BIT +1

TESIS

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat memperoleh ijazah Magister Teknik Informatika

RIFKI RESPATI ASHARI LUBIS

117038009

PROGRAM STUDI S2 TEKNIK INFORMATIKA

FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PERSETUJUAN

Judul : ANALISIS KOMBINASI ALGORITMA

WATERMARKING MODIFIED LEAST SIGNIFICANT BIT DENGAN LEAST SIGNIFICANT BIT +1

Nama : RIFKI RESPATI ASHARI LUBIS

Nomor Induk Mahasiswa : 117038009

Program Studi : MAGISTER TEKNIK INFORMATIKA

Fakultas : ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2, Pembimbing 1,

Dr. Zakarias Situmorang Prof. Dr. Muhammad Zarlis

Diketahui/disetujui oleh

Program Studi S2 Teknik Informatika Ketua,

(4)

PERNYATAAN

ANALISIS KOMBINASI ALGORITMA WATERMARKING MODIFIED LEAST

SIGNIFICANT BIT DENGAN LEAST SIGNIFICANT BIT +1

TESIS

Saya mengakui bahwa tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing telah disebutkan sumbernya.

Medan, 15 April 2015

Rifki Respati Ashari Lubis

(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN

AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertandatangan

dibawah ini:

Nama : Rifki Respati Ashari Lubis

NIM : 117038009

Program Studi : Teknik Informatika

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty

Free Right) atas tesis saya yang berjudul:

ANALISIS ALGORITMA WATERMARKING MODIFIED LEAST SIGNIFICANT BIT DENGAN LEAST SIGNIFICANT BIT +1

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Non-Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media,

memformat, mengelola dalam bentuk database, merawat dan mempublikasikan tesis

saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai

penulis dan sebagai pemegang dan/ atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, 15 April 2015

(6)

Telah diuji pada

Tanggal: 15 April 2015

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Zarlis

Anggota : 1. Dr. Zakarias Situmorang

2. Prof. Dr. Tulus

3. Dr. Syahril Efendi, S.Si., M.IT

(7)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama Lengkap : Rifki Respati Ashari Lubis, S.Kom

Tempat dan Tanggal Lahir : Medan, 2 Maret 1989

Alamat Rumah : Jl. Pimpinan No. 62 Medan

Telepon/ Faks/ HP : -/ -/ 0821681018308

E-mail : rifkiashari@gmail.com

Instansi Tempat Bekerja : PT. Bank Sumut

Alamat Kantor : Jl Imam Bonjol No. 18 Medan

DATA PENDIDIKAN

SD : SD Swasta Taman Harapan Medan TAMAT: 2000

SMP : SMP Negeri 13 Medan TAMAT: 2003

SMA : SMA Negeri 8 Medan TAMAT: 2006

S1 : Ilmu Komputer Universitas Sumatera Utara TAMAT: 2010

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Sang Khaliq Allah SWT yang melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan dengan baik.Dalam

menyelesaikan tesis ini, penulis banyak mendapati kesulitan dan kendala. Namun

berkat bantuan, dorongan dan nasehat dari berbagai pihak, maka kesulitan dan kendala

tersebut dapat diatasi dengan baik.

Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Zarlis, selaku Ketua Program Studi Pascasarjana

Teknik Informatika Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi Universitas

Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah bersedia memberikan

bimbingan dan panduan padat serta professional hingga selesainya penulisan tesis

ini.

2. Bapak Dr. Zakarias Situmorang, selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia

memberikan bimbingan dan pengarahan padat dan professional kepada penulis

hingga selesainya penulisan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Tulus, Bapak Dr. Syahril Efendi, S.Si, M.IT dan Ibu Dr. Erna

Budhiarti Nababan, M.IT, selaku Dosen Pembanding yang telah bersedia

memberikan pengarahan, saran dan koreksi hingga selesainya penulisan tesis ini.

4. Segenap sivitas akademika Program Studi Pascasarjana Teknik Informatika

Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi Universitas Sumatera Utara

yang telah bersedia memberikan ilmu pengetahuan yang menjadi dasar pemikiran

penulisan tesis ini.

5. Orang tua tercinta, Ayahanda dan Ibunda, Drs. H. Syafaruddin Lubis, M.Sp dan

Hj. Elfinda Lolosari Nasution, yang telah memberikan kasih sayangnya, doa yang

tak pernah putus serta dorongan moril maupun materil kepada penulis sehingga

dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.

6. Adik-adik tersayang, Adinda Meidina Lubis, S.Ikom dan Alya Fadillah Lubis

yang telah memberikan dukungan moril kepada penulis untuk dapat

(9)

7. Seluruh rekan kerja di Administrasi Kredit Bank Sumut Cabang Utama dan

Payment Center dan ATM Bank Sumut Kantor Pusat yang telah memberikan

dukungan moril dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan.

8. Kepada Khairina, yang telah memberikan dukungan moril serta membangkitkan

kembali semangat penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan tesis ini. Untuk itu

penulis mengharapkan koreksi dan saran dari pembaca demi kesempurnaan penelitian

selanjutnya. Akhir kata, penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat.

Medan, 15 April 2015

Penulis,

Rifki Respati Ashari Lubis

(10)

ABSTRAK

Untuk melindungi hak cipta seseorang pada media digital seperti citra digital dapat dilakukan dengan teknik watermarking, yaitu teknik menyisipkan tanda hak cipta kedalam media digital. Algoritma yang umum digunakan dalam melakukan penyisipan watermark adalah Least Significant Bit (LSB). Penyisipan watermark

dengan algoritma LSB bukanlah tidak memiliki kekurangan. Algoritma LSB membutuhkan satu byte pixel citra untuk menyisipkan satu bit watermark. Semakin banyak byte pixel yang disisipkan maka semakin tinggi perbedaan citra yang

ber-watermark dengan citra aslinya. Watermark yang disisipkan juga dapat dengan mudah diketahui dikarenakan diletakkan sudah pasti pada bit LSB dari pixel citra. Dari permasalahan tersebut, pada penelitian ini dilakukan analisa untuk mengkombinasikan algoritma Modified Least Significant Bit (MLSB) dengan algoritma Least Significant Bit +1 (LSB+1) dimana MLSB mempunyai keunggulan dalam memampatkan

watermark yang akan disisipkan dari delapan bit per karakter menjadi lima bit per karakter watermark. Algoritma LSB +1 akan menutupi kekurangan MLSB yang mudah diketahui letak bit watermark-nya, dengan menyisipkan bit watermark pada pixel yang acak. Hasil analisa ini diujikan dengan menggunakan lima sampel citra yang berbeda ukuran dan dimensi, disisipkan dengan lima sampel watermark dalam bentuk teks yang berbeda panjang teks untuk mencari tiga parameter perbandingan yaitu nilai Mean Squared Error (MSE), ukuran hasil dan waktu proses. Dari pengujian ini didapatkan kesimpulan bahwa terhadap ketiga parameter tersebut algoritma kombinasi MLSB-LSB+1 lebih baik dari algoritma LSB+1 tetapi sedikit lebih buruk dari algoritma MLSB. Hal ini terjadi dikarenakan algoritma kombinasi MLSB-LSB+1 selain mewarisi kelebihan masing-masing algoritma, juga mewarisi kekurangan dari algoritma LSB+1 dimana akibat dari penyisipan dilakukan pada satu bit sebelum bit teakhir dari pixel citra, maka perubahan nilai pixelnya lebih besar satu dibandingkan dengan penyisipan pada bit terakhir.

(11)

ANALYSIS OF COMBINED WATERMARKING ALGORITHM MODIFIED LEAST SIGNIFICANT BIT WITH LEAST SIGNIFICANT BIT +1

ABSTRACT

To protect someone's copyright on digital media such as digital image watermarking technique can be done, which is a technique to insert copyright marks into digital media. Algorithms commonly used in the watermark insertion is the Least Significant Bit (LSB).Insertion LSB algorithm is not no shortage. LSB algorithm requires one byte pixel image to insert a watermark bit. The more bytes pixels are inserted, the higher the difference watermarked image with the original image. Embedded watermark can also easily be known because it is definitely placed on the LSB bits of the pixel image. From these problems, in this research analysis algorithms to combine Modified Least Significant Bit (MLSB) algorithm +1 Least Significant Bit (LSB + 1) where MLSB have the advantage in placing the watermark to be inserted from eight bits per character into five bits per character watermark. +1 LSB algorithm will cover the shortfall MLSB easy-known location of the watermark bit, by inserting a watermark bits at random pixels. The results of this analysis of five samples tested by using different image sizes and dimensions, with five samples inserted watermark in the form of different text length to find three parameters comparison Mean Squared Error value (MSE), the size of the result and processing time. From this test it was concluded that the three parameters of the algorithm is a combination of MLSB-LSB + 1 better than the algorithm LSB + 1 but slightly worse than the algorithm MLSB. This happens due to a combination algorithm MLSB-LSB + 1 besides inheriting the advantages of each algorithm, also inherited deficiency of the algorithm LSB + 1 where the effect of the insertion is done at the bit before the last bit of the pixel image, the pixel value change is greater than the insertion of the last bit.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

PERSETUJUAN ii

PERNYATAAN ORISINALITAS iii

PERSETUJUAN PUBLIKASI iv

PANITIA PENGUJI v

2.1.3. KlasifikasiWatermarking 10

2.2. Citra Digital 11

2.2.1. Citra RGB 13

2.2.2 Citra YcbCr 14

(13)

2.2.4. Citra Intensitas Keabuan 14

2.7. Pembangkit Bilangan Acak (Random Number Generator) 24

2.7.1 Pembangkit Bilangan Acak Semu 25

2.7.2 Linier Congruential Generator (LCG) 27

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 30

3.1. Metodologi Penelitian 30

3.2. Algoritma Kombinasi MLSB-LSB+1 30

3.3. Melakukan Penentuan Pixel Penampung Watermark 35

3.4. Menghitung Nilai MSE Citra 36

3.5. Diagram Flowchart Penelitian 37

3.5.1. Flowchart Penyisipan Algoritma LSB +1 38

3.5.2. Flowchart Ekstraksi Algoritma LSB +1 39

3.5.3. Flowchart Penyisipan Algoritma MLSB 40

3.5.4. Flowchart Ekstraksi Algoritma MLSB 42

3.5.5. Flowchart Penyisipan Algoritma Kombinasi MLSB – LSB+1

4.1.1. Modul Watermarking Algoritma Least Significant Bit +1 (LSB+1)

(14)

4.1.3. Modul Watermarking Algoritma Kombinasi MLSB-LSB+1

57

4.2. Pembahasan dan Hasil Perbandingan 61

4.2.1. Hasil Perbandingan Nilai MSE 70

4.2.2. Hasil Perbandingan Waktu Proses 71

4.2.3. Hasil Perbandingan Ukuran File 71

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 73

5.1. Kesimpulan 73

5.2. Saran 74

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Penyisipan Watermark 7

Gambar 2.2. Ekstraksi Watermark 7

Gambar 2.3. Proses Sampling dan Kuantisasi 12

Gambar 2.4. Nilai Warna RGB Dalam Hexadesimal 13

Gambar 2.5. Citra RGB 13

Gambar 2.6. Dekomposisi Citra RGB ke Dalam Komponen Luminance dan Chrominance

14

Gambar 2.7. Citra Grayscale 15

Gambar 2.8. Skema Dasar PRNG 27

Gambar 3.1. Menghitung Selisih Nilai Piksel Citra 35

Gambar 3.2. Daftar Pixel Setelah Pengacakan 36

Gambar 3.3. Flowchart Penelitian 37

Gambar 3.4. Flowchart Penyisipan Algoritma LSB +1 38

Gambar 3.5. Flowchart Ekstraksi Algoritma LSB +1 39

Gambar 3.6. Flowchart Ekstraksi Algoritma LSB +1 (Lanjutan) 40

Gambar 3.7. Flowchart Penyisipan Algoritma MLSB 41

Gambar 3.8. Flowchart Ekstraksi Algoritma MLSB 42

Gambar 3.9. Flowchart Ekstraksi Algoritma MLSB (Lanjutan) 43

Gambar 3.10. Flowchart Penyisipan Algoritma Kombinasi MLSB dan LSB +1

45

Gambar 3.11. Flowchart Penyisipan Algoritma Kombinasi MLSB dan LSB +1 (Lanjutan)

46

Gambar 3.12. Flowchart Ekstraksi Algoritma MLSB dan LSB +1 47

Gambar 3.13. Flowchart Ekstraksi Algoritma MLSB dan LSB +1 (Lanjutan)

48

Gambar 4.1. Tampilan Menu Utama 51

Gambar 4.2. Tampilan Awal Modul Watermarking Algoritma LSB +1 53

Gambar 4.3. Tampilan Penyisipan Modul Watermarking Algoritma LSB +1

53

Gambar 4.4. Tampilan Ekstraksi Modul Watermarking Algoritma LSB +1 54

(16)

Gambar 4.7. Tampilan Ekstraksi ModulWatermarking Algoritma MLSB 57

Gambar 4.8. Tampilan Awal Modul Watermarking Algoritma MLSB-LSB+1

59

Gambar 4.9. Tampilan Penyisipan Modul Watermarking Algoritma MLSB-LSB+1

60

Gambar 4.10. Tampilan Ekstraksi Modul Watermarking Algoritma MLSB-LSB+1

60

Gambar 4.11. Grafik Perbandingan Algoritma untuk Watermark Pesan1.txt 65

Gambar 4.12. Grafik Perbandingan Algoritma untuk Watermark Pesan2.txt 66

Gambar 4.13. Grafik Perbandingan Algoritma untuk Watermark Pesan3.txt 67

Gambar 4.14. Grafik Perbandingan Algoritma untuk Watermark Pesan4.txt 68

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Jenis Mode Warna 12

Tabel 2.2. Perubahan LSB dan LSB + 1 Bit dengan Bit PesanRahasia File

20

Tabel2.4. Hasil Pembangkitan Bilangan Acak dengan Metode LCG 29

Tabel 3.1. Control Symbol MLSB-LSB+1 31

Tabel 4.1. Object Pada Modul Watermarking LSB+1 dan Kegunaannya 51

Tabel 4.2. Object Pada Modul Watermarking LSB+1 dan Kegunaannya (Lanjutan)

52

Tabel 4.3. Object pada Modul Watermarking MLSB dan Kegunaannya 55

Tabel 4.4. Object pada Modul Watermarking MLSB-LSB+1 dan Kegunaannya

58

Tabel 4.5. Hasil Penyisipan Watermark Algoritma LSB+1 61

Tabel 4.6. Hasil Penyisipan Watermark Algoritma LSB+1 (Lanjutan) 62

Tabel 4.7. Hasil Penyisipan Watermark Algoritma MLSB 62

Tabel 4.8. Hasil Penyisipan Watermark Algoritma Kombinasi MLSB-LSB+1

63

Tabel 4.9. Perbandingan pada Penyisipan Watermark dengan Watermark

Berbeda

(18)

ABSTRAK

Untuk melindungi hak cipta seseorang pada media digital seperti citra digital dapat dilakukan dengan teknik watermarking, yaitu teknik menyisipkan tanda hak cipta kedalam media digital. Algoritma yang umum digunakan dalam melakukan penyisipan watermark adalah Least Significant Bit (LSB). Penyisipan watermark

dengan algoritma LSB bukanlah tidak memiliki kekurangan. Algoritma LSB membutuhkan satu byte pixel citra untuk menyisipkan satu bit watermark. Semakin banyak byte pixel yang disisipkan maka semakin tinggi perbedaan citra yang

ber-watermark dengan citra aslinya. Watermark yang disisipkan juga dapat dengan mudah diketahui dikarenakan diletakkan sudah pasti pada bit LSB dari pixel citra. Dari permasalahan tersebut, pada penelitian ini dilakukan analisa untuk mengkombinasikan algoritma Modified Least Significant Bit (MLSB) dengan algoritma Least Significant Bit +1 (LSB+1) dimana MLSB mempunyai keunggulan dalam memampatkan

watermark yang akan disisipkan dari delapan bit per karakter menjadi lima bit per karakter watermark. Algoritma LSB +1 akan menutupi kekurangan MLSB yang mudah diketahui letak bit watermark-nya, dengan menyisipkan bit watermark pada pixel yang acak. Hasil analisa ini diujikan dengan menggunakan lima sampel citra yang berbeda ukuran dan dimensi, disisipkan dengan lima sampel watermark dalam bentuk teks yang berbeda panjang teks untuk mencari tiga parameter perbandingan yaitu nilai Mean Squared Error (MSE), ukuran hasil dan waktu proses. Dari pengujian ini didapatkan kesimpulan bahwa terhadap ketiga parameter tersebut algoritma kombinasi MLSB-LSB+1 lebih baik dari algoritma LSB+1 tetapi sedikit lebih buruk dari algoritma MLSB. Hal ini terjadi dikarenakan algoritma kombinasi MLSB-LSB+1 selain mewarisi kelebihan masing-masing algoritma, juga mewarisi kekurangan dari algoritma LSB+1 dimana akibat dari penyisipan dilakukan pada satu bit sebelum bit teakhir dari pixel citra, maka perubahan nilai pixelnya lebih besar satu dibandingkan dengan penyisipan pada bit terakhir.

(19)

ANALYSIS OF COMBINED WATERMARKING ALGORITHM MODIFIED LEAST SIGNIFICANT BIT WITH LEAST SIGNIFICANT BIT +1

ABSTRACT

To protect someone's copyright on digital media such as digital image watermarking technique can be done, which is a technique to insert copyright marks into digital media. Algorithms commonly used in the watermark insertion is the Least Significant Bit (LSB).Insertion LSB algorithm is not no shortage. LSB algorithm requires one byte pixel image to insert a watermark bit. The more bytes pixels are inserted, the higher the difference watermarked image with the original image. Embedded watermark can also easily be known because it is definitely placed on the LSB bits of the pixel image. From these problems, in this research analysis algorithms to combine Modified Least Significant Bit (MLSB) algorithm +1 Least Significant Bit (LSB + 1) where MLSB have the advantage in placing the watermark to be inserted from eight bits per character into five bits per character watermark. +1 LSB algorithm will cover the shortfall MLSB easy-known location of the watermark bit, by inserting a watermark bits at random pixels. The results of this analysis of five samples tested by using different image sizes and dimensions, with five samples inserted watermark in the form of different text length to find three parameters comparison Mean Squared Error value (MSE), the size of the result and processing time. From this test it was concluded that the three parameters of the algorithm is a combination of MLSB-LSB + 1 better than the algorithm LSB + 1 but slightly worse than the algorithm MLSB. This happens due to a combination algorithm MLSB-LSB + 1 besides inheriting the advantages of each algorithm, also inherited deficiency of the algorithm LSB + 1 where the effect of the insertion is done at the bit before the last bit of the pixel image, the pixel value change is greater than the insertion of the last bit.

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada era informasi dan teknologi saat ini, data dan informasi disajikan dalam format

digital, baik berupa teks, citra, audio maupun video. Produk digital ini mempunyai

beberapa karakteristik antara lain: mudah digandakan, mudah didistribusikan dan

perubahan tidak dapat dipersepsi oleh indera penglihatan. Masalah muncul ketika

produk digital ini merupakan karya yang dilindungi misalnya tulisan electronic book,

citra hasil seni fotografi, audio hasil seni musik, dan video peristiwa penting seseorang

(Munir, 2006).

Permasalahan diatas dapat diatasi dengan menggunakan metode watermarking.

Watermarking adalah teknik untuk menyisipkan informasi tertentu disebut watermark

ke dalam media digital. Penyisipan watermark dilakukan sedemikian rupa sehingga

watermark tidak merusak data digital yang dilindungi. Watermark yang disisipkan

tidak dapat dipersepsi oleh indera manusia, namun dapat dideteksi oleh komputer

dengan menggunakan kunci yang benar (Munir, 2006).

Algoritma yang umum digunakan dalam melakukan penyisipan watermark ke

dalam media digital adalah Least Significant Bit (LSB). Prinsip dasar metode ini

adalah dengan mengganti bit terakhir setiap data dengan bit-bit penyisip. Dengan kata

lain setiap satu bit pesan penyisip membutuhkan satu byte data cover media, sehingga

untuk setiap satu karakter teks penyisip membutuhkan delapan byte data cover media

karena satu byte penyisip terdiri dari delapan bit data (Seyyedi, 2013). Pesan yang

disembunyikan dengan algoritma ini juga dapat mudah diketahui, karena bit-bit pesan

(21)

Algoritma Modified Least Significant Bit (MLSB) merupakan modifikasi dari

algoritma LSB. Algoritma ini bekerja dengan mengganti bit-bit pesan teks yang

seharusnya 1 karakter memiliki nilai 8 bit kode ASCII (American Standard Code for

Information Interchange) akan dimodifikasi menjadi 5 bit. Modifikasi dilakukan

dengan mengkonversi bit-bit penyisip dengan nilai ASCII. Setelah bit-bit penyisip

dikode dengan ASCII, maka digabung dengan kode ASCII simbol kontrolnya

(Control Symbols). Selanjutnya dilakukan pengurangan semua bit penyisip dengan

nilai bit yang paling rendah. Sebelum disisipkan ke dalam citra, bit-bit penyisip di

konversi ke dalam biner yang menghasilkan 5 bit setiap nilai pesan. Algoritma MLSB

lebih efisien, karena jumlah bit karakter penyisip dimodifikasi menjadi lima bit saja,

sehingga untuk satu karakter penyisip hanya membutuhkan lima byte cover media

(Zaher, 2011). Tetapi metode MLSB pada penelitian tersebut, memiliki kekurangan

yaitu posisi bit yang disisipkan pada media cover mudah dibaca karena diletakkan

pada posisi bit terakhir dan tidak acak.

Untuk memperkuat teknik penyisipan watermark dengan MLSB, dapat

dilakukan dengan menyisipkan bit-bit penyisip ke bit nomor 2 terakhir. Metode ini

disebut dengan Least Significant Bit +1 (LSB +1) (Nath, 2011). Proses penyisipan

juga dapat dilakukan secara acak. Pada penelitian Saefullah (2012) misalnya, jika

terdapat 50 byte dan 6 bit data yang akan disembunyikan, maka byte yang diganti bit

LSB +1-nya dipilih secara acak, misalkan byte nomor 36, 5, 21, 10, 18, 49. Bilangan

acak ini dapat dibangkitkan dengan Pseudo-Random-Number-Generator (PRNG).

Penelitian Laskar (2013), penyisipan dilakukan secara acak ke pixel citra dengan

Random Number Generator. setelah ditentukan pixel yang akan disisipkan, bit pesan

akan disisipkan di byte RED pixel. Dengan menerapkan algoritma Least Significant

Bit +1 dan metode PRNG untuk menentukan byte yang akan disisip pada proses

watermarking, maka keberadaan penyisip sulit ditemukan karena bit-bit penyisip

diletakkan pada bit LSB nomor dua untuk setiap byte cover dan letaknya diacak.

(22)

Atas latar belakang tersebut, maka penulis berniat melakukan kombinasi dari

kedua algoritma dengan mengambil kelebihan dari masing-masing algoritma diatas

dan memberi judul penelitian tesis ini dengan Analisis Kombinasi Algoritma

WatermarkingModified Least Significant Bit (MLSB) dengan Least Significant Bit +1

(LSB +1).

1.2. Rumusan Masalah

Algoritma LSB memiliki kekurangan yaitu membutuhkan banyak piksel citra untuk

menampung watermark yang akan disisipkan. Sedangkan kekurangan algoritma

MLSB pesan yang disembunyikan dapat dengan mudah diketahui, dikarenakan bit

watermark diletakkan pada bit LSB setiap piksel citra cover secara terurut tetapi

memiliki kelebihan dimana hanya dibutuhkan sedikit piksel citra untuk menampung

watermark.

Berdasarkan hal tersebut, maka akan dilakukan analisa untuk melakukan

kombinasi algoritma yang memiliki keunggulan dari algoritma Modified Least

Significant Bit (MLSB) dengan diperkuat dengan konsep Algoritma Least Significant

Bit +1 (LSB+1). Untuk mengetahui kehandalan algoritma tersebut, maka akan

dilakukan perhitungan nilai Mean Squared Error (MSE), waktu proses serta besar file

yang diperoleh.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah melakukan analisis untuk mengkombinasikan algoritma

Modified Least Significant Bit (MLSB) dengan Least Significant Bit +1 (LSB +1)

sehingga diharapkan dapat menutupi kekurangan masing-masing algoritma jika berdiri

sendiri serta mendapatkan algoritma watermarking yang lebih mangkus dibandingkan

(23)

1.4. Batasan Masalah

Adapun batasan masalah pada tesis ini adalah:

1. File citra yang di-watermarking berformat *.png sedangkan data penyisip

berformat .txt.

2. Data penyisip berupa huruf besar dan kecil, tanda spasi serta angka antara 0

sampai 9.

3. Untuk mengetahui hasil dan performa algoritma kombinasi yang diukur adalah

nilai MSE, waktu proses dan ukuran file hasil.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang didapatkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apakah dengan mengkombinasi Modified Least Significant Bit

(MLSB) dengan Least Significant Bit +1 (LSB +1) dapat diperoleh metode

watermarking yang lebih mangkus dibandingkan tanpa dilakukannya kombinasi.

2. Diharapkan dapat menjadi metode baru dalam melakukan pengamanan media

digital.

3. Sumbangan pemikiran bagi berbagai pihak yang ingin melakukan penelitian lebih

(24)

BAB II

DASAR TEORI

2.1. Watermarking

Watermarking merupakan sebuah proses penambahan kode secara permanen ke dalam

citra digital. Penyisipan kode ini harus memiliki ketahanan (robustness) yang cukup

baik dari berbagai manipulasi, seperti pengubahan, transformasi, kompresi, maupun

enkripsi. Kode yang disisipkan juga tidak merusak citra digital sehingga citra digital

terlihat seperti aslinya. Watermarking dapat juga merupakan cara untuk menyisipkan

watermark kedalam media yang ingin dilindungi hak ciptanya. Watermarking

merupakan proses penanaman watermark. Digital Watermarking merupakan cara

yang digunakan untuk menyisipkan informasi atau watermark pada suatu dokumen

digital. Dari defenisi-definisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa watermarking

merupakan cara untuk menyisipkan watermark atau proses penambahan kode secara

permanen ke dalam citra digital yang ingin dilindungi hak ciptanya dengan tidak

merusak citra aslinya dan tahan terhadap serangan (Munir, 2006).

Watermark merupakan sebuah pola atau kode atau data tertentu yang

membawa informasi tertentu sesuai dengan tujuannya dan sengaja ditanamkan secara

permanen kedalam data media induknya. Watermark dalam citra digital tersebut tidak

dapat diketahui keberadaannya oleh pihak lain yang tidak mengetahui rahasia skema

penyisipan watermark. Watermark tersebut juga tidak dapat diidentifikasi dan

dihilangkan. Penggunaan watermarking sangat diperlukan untuk melindungi karya

intelektual digital seperti gambar, teks, musik, video, dan termasuk perangkat lunak.

Penggandaan atas produk digital yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak

bertanggung jawab semakin merajalela tanpa ada ikatan hukum yang pasti sehingga

(25)

penyisipan watermark memiliki peran yang cukup signifikan untuk mencegah

Label watermark dari teks biasanya menggunakan nilai-nilai ASCII dari

masing-masing karakter dalam teks yang kemudian dipecahkan atas bit per bit. Kelemahan

dari label ini adalah kesalahan pada satu bit saja akan menghasilkan hasil yang

berbeda dari teks sebenarnya.

2. logo atau citra atau suara

Berbeda dengan teks, kesalahan pada beberapa bit masih dapat memberikan

persepsi yang sama dengan aslinya, baik oleh pendengaran maupun penglihatan

kita.

Oleh karena itu, penyisipan logo sebagai label watermark dirasakan lebih

efektif dibandingkan teks, citra, ataupun suara karena selain tidak sensitif terhadap

kesalahan bit, ukuran file juga tidak terlalu besar. Logo yang dipakai berupa logo

biner atau hitam putih karena komputasi yang dibutuhkan tidak terlalu rumit namun

tetap menjamin visualisasi yang cukup baik.

2.1.1. Digital Watermarking

Teknik watermarking digital memiliki prinsip yang sama dengan watermarking pada

media lainnya. Secara umum, watermarking terdiri dari dua tahapan, yaitu penyisipan

watermark dan ekstraksi/verifikasi atau pendeteksian watermark. Pengekstraksian dan

pendeteksian sebuah watermark sebenarnya tergantung pada algoritma yang

digunakan untuk watermarking. Pada beberapa algoritma watermarking, watermark

dapat diekstraksi dalam bentuk yang eksak, sedangkan pada algoritma yang lain,

(26)

Secara umum proses watermarking pada file citra ditunjukkan pada Gambar

2.1 dimana file citra disisipi dengan watermark menggunakan kunci sebagai sarana

kepemilikan untuk dapat membuka watermark yang disisipkan ke dalam citra digital.

Key K

Original Watermarked

Citra (I) Citra (Iw)

Watermark

sequence W

Gambar 2.1. Penyisipan Watermark (Sugiono et al, 2008)

Media ber-watermark yang dihasilkan dari proses watermarking tidak berbeda

jauh secara visual dengan aslinya. Hal ini disebabkan karena pengubahan dari citra

digital asli ke ber-watermark hanya berpengaruh sedikit terhadap perubahan warna.

Proses watermarking perlu didukung dengan proses ekstraksi watermark. Proses

ekstraksi/verifikasi ini bertujuan untuk mendapatkan kembali citra asli dan watermark

yang disisipkan dalam citra digital tersebut. Umumnya proses ekstraksi/verifikasi

melibatkan proses pembandingan citra asli dengan citra ber-watermark untuk

mendapatkan watermark yang disisipkan, seperti yang digambarkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Ekstraksi Watermark(Sugiono, 2008)

(27)

Pengkategorian watermarking berdasarkan proses ekstraksi/verifikasi

watermark terbagi 2 jenis, yaitu:

a. Blind Watermarking

Verifikasi watermark tanpa membutuhkan media yang asli.

b. Non-Blind Watermarking

Verifikasi watermark dengan membutuhkan media asli.

Sebuah teknik watermarking yang bagus harus memenuhi persyaratan sebagai

berikut:

1. Fidelity

Penyisipan suatu watermark pada media seharusnya tidak mempengaruhi nilai

media tersebut. Watermark pada media idealnya tidak dapat dipersepsi oleh indera

dan tidak dapat dibedakan dengan media yang asli.

2. Robustness

Watermark dalam media digital harus memiliki ketahanan yang cukup terhadap

pemrosesan digital yang umum.

3. Security

Watermarking memiliki daya tahan terhadap usaha sengaja untuk memindahkan

watermark dari suatu media ke media yang lain.

4. Imperceptibility

Keberadaan watermark tidak dapat dipersepsi secara langsung oleh penglihatan

manusia.

5. Key Uniqueness

Kunci yang digunakan pada proses dan penyisipan dan ekstraksi adalah sama dan

tidak ada kunci lain yang bisa digunakan untuk membukanya. Perbedaan kunci

seharusnya menghasilkan watermark yang berbeda pula.

6. Non-Invertibility

Proses untuk mendeteksi apakah media tersebut ber-watermark atau tidak akan

sangat sulit jika hanya diketahui media ber-watermark saja.

7. Image Dependency

(28)

2.1.2. Aplikasi Watermarking

Watermark telah diterapkan secara luas untuk mengatasi berbagai tindak kejahatan

yang berkaitan dengan dokumen digital. Fungsi penggunaan watermark tersebut

antara lain adalah sebagai:

1. Identifikasi kepemilikan

Sebagai identitas dari pemilik dokumen digital, identitas ini disisipkan dalam

dokumen digital dalam bentuk watermark. Biasanya identitas kepemilikan seperti

ini diterapkan melalui visible watermarking. Contohnya url halaman web tempat

suatu gambar di-download.

2. Bukti kepemilikan

Watermark merupakan suatu bukti yang sah yang dapat dipergunakan di

pengadilan. Banyak kasus pemalsuan foto yang akhirnya terungkap karena

penggunaan watermark ini.

3. Memeriksa keaslian isi karya digital

Watermark juga dapat digunakan sebagai teknik untuk mendeteksi keaslian dari

suatu karya. Suatu image yang telah disisipi watermark dapat dideteksi perubahan

yang dilakukan terhadapnya dengan memeriksa apakah watermark yang disisipkan

dalam image tersebut rusak atau tidak.

4. User authentication atau fingerprinting

Seperti halnya bukti kepemilikan, watermark juga dapat digunakan sebagai

pemeriksaan hak akses atau penanda (sidik jari) dari suatu media digital.

5. Transaction tracking

Fungsi transaction tracking ini dapat dilakukan pada image yang mengandung

watermark. Pengimplementasiannya dilakukan dengan memberikan watermark

yang berbeda pada sejumlah domain/kelompok pengguna. Sehingga bila image

tersebar diluar domain tersebut, dapat diketahui domain mana yang

(29)

6. Piracy protection/copy

Untuk dapat melakukan ini, perancang watermark harus bekerjasama tidak hanya

pada masalah software, tetapi juga dengan vendor yang membuat hardware.

Sehingga sebelum dilakukan peng-copy-an, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan

apakah image tersebut boleh di-copy atau tidak.

7. Broadcast monitoring

Dalam dunia broadcasting/television news channel, watermark biasanya

disisipkan sebagai logo dari perusahaan broadcasting yang bersangkutan. Hal ini

dilakukan untuk menandai berita yang mereka siarkan. Sehingga bila pihak lain

merekam berita tersebut, maka watermark-nya akan otomatis terbawa.

2.1.3. Klasifikasi Watermarking

Klasifikasi terhadap watermarking dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori.

Kategori yang pertama berdasarkan kenampakan dari watermark.

1. Visible Watermarking

Pada visible watermarking ini, watermark yang disisipkan pada suatu media

terlihat dengan jelas. Watermark biasanya berbentuk logo atau teks baik

transparan atau tidak yang diletakkan tidak mengganggu atau menutupi media

asal. Jenis watermarking ini biasanya diterapkan pada media yang memang

dimaksudkan untuk disebar secara umum bersama dengan identitas pemilik asal

media tersebut.

2. Invisible Watermarking

Sesuai namanya, watermark pada invisible watermarking yang disisipkan pada

media tidak lagi dapat dipersepsi dengan indera. Namun, keberadaannya tetap

dapat dideteksi. Penerapan teknik invisible watermarking ini lebih sulit dari pada

teknik yang digunakan pada visible watermarking.

(30)

1. Fragile Image Watermarking

Fragile image watermarking merupakan jenis watermark yang ditujukan untuk

menyisipkan label kepemilikan media digital. Pada fragile watermarking ini,

watermark mudah sekali berubah atau bahkan hilang jika dilakukan perubahan

terhadap media digital. Dengan begitu, media digital sudah tidak lagi memiliki

watermark yang asli. Fragile image watermarking ini biasanya digunakan agar

dapat diketahui apakah suatu image sudah berubah atau masih sesuai aslinya. Jenis

watermark inilah yang banyak diterapkan pada suatu media digital.

2. Robust Image Watermarking

Robust image watermarking adalah teknik penggunaan watermark yang ditujukan

untuk menjaga integritas atau orisinalitas media digital. Watermark yang

disisipkan pada media akan sangat sulit sekali dihapuskan atau dibuang. Dengan

Robust Image, proses penggandaan media digital yang tidak memiliki izin dapat

dihalangi. Kebanyakan aplikasi dari robust watermarking ini bukan pada sebuah

media digital, melainkan pada sistem proteksi CD atau DVD.

2.2. Citra Digital

Citra terbentuk dari kumpulan intensitas cahaya yang tersusun dalam bidang dua

dimensi. Kumpulan intensitas cahaya tersebut dinyatakan dalam suatu fungsi kontinyu

f(x,y) dimana x dan y menyatakan koordinat ruang dan nilai intensitas cahaya tersebut

memberi informasi warna dan kecerahan citra (Putra, 2010).

Citra digital merupakan yang dihasilkan dari gambar analog dua dimensi yang

kontinu menjadi gambar diskrit melalui proses sampling. Gambar analog dibagi

menjadi N baris dan M kolom sehingga menjadi gambar diskrit. Persilangan antara

baris dan kolom tertentu disebut dengan pixel. Contohnya adalah gambar/titik diskrit

pada baris m dan kolom n disebut dengan pixel [m,n]. Sampling adalah proses untuk

menentukan warna pada pixel tertentu pada citra dari sebuah gambar yang kontinu.

Pada proses sampling biasanya dicari warna rata-rata dari gambar analog yang

kemudian dibulatkan (Rana, 2012). Proses sampling sering juga disebut proses

(31)

Gambar 2.3. Proses Sampling dan Kuantisasi (Sutoyo, 2009)

Sampling menyatakan banyaknya pixel (blok) untuk mendefinisikan suatu

gambar. Sedangkan kuantisasi meunjukkan banyaknya derajat nilai pada setiap pixel

(menunjukkan jumlah bit pada gambar digital, misal b/w dengan dua bit, grayscale

dengan delapan bit, true color dengan 24 bit).

Citra atau umumnya dikenal gambar merupakan kumpulan titik-titik penyusun

citra itu sendiri. Titik-titik tersebut dikenal dengan pixel. Banyaknya titik-titik

penyusun citra tersebut disebut resolusi. Jadi resolusi merupkan MxN pixel.

Masing-masing pixel yang menyusun suatu citra dapat memiliki warna yang berbeda-beda,

yang disebut dengan bit depth. Bit depth dinyatakan dengan angka yang bersatuan bit.

Sebagai contoh bit depth = 3, artinya terdapat 23 = 8 variasi yang mungkin untuk

setiap pixelnya. Semakin besar nilai bit depth, maka semakin besar pula ukuran fungsi

citra tersebut. Ada beberapa jenis mode warna seperti yang terlihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Jenis Mode Warna

Mode Warna Keterangan bit depth Variasi Warna

Grayscale Warna keabuan, disusun oleh warna dasar

Red, Green, Blue yang masing – masing

(32)

Dalam pengolahan citra warna dipresentasikan dengan nilai hexadesimal dari

0x00000000 sampai 0x00ffffff. Warna hitam adalah 0x00000000 dan warna putih

adalah 0x00ffffff. Variabel 0x00 menyatakan angka dibelakangnya adalah

hexadecimal. Nilai warna dalam hexadecimal dapat dilihat seperti pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Nilai Warna RGB Dalam Hexadecimal

2.2.1. Citra RGB

Citra RGB disebut juga citra truecolor. Citra RGB merupakan citra digital yang terdiri

dari tiga layer yang mengandung matriks data berukuran m x n x 3 yang

merepresentasikan warna merah, hijau, dan biru untuk setiap pixel-nya. Tiap layer

juga memiliki intensitas kecerahan warna yang nantinya saat ketiga layer digabungkan

akan membentuk suatu kombinasi warna baru tergantung besarnya tingkat kecerahan

warna yang disumbangkan tiap layer.

Tiap layer berukuran 8 bit, berarti memiliki tingkat kecerahan warna sampai

256 level. Artinya tiap layer warna dapat menyumbang tingkat kecerahan warnanya

dari rentang level 0 sampai level 255. Dimana 0 merepresentasikan warna hitam dan

255 merepresentasikan warna putih seperti pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5. Citra RGB (Angraini, 2007)

0x00 xx xx xx

(33)

2.2.2. Citra YcbCr

YcbCr merupakan standar internasional bagi pengkodean digital gambar televisi. Y

merupakan komponen luminance, Cb dan Cr adalah komponen chrominance. Pada

monitor monokrom nilai luminance digunakan untuk merepresentasikan warna RGB.

Chrominance merepresentasikan corak warna dan saturasi (saturation). Nilai

komponen ini juga mengindikasikan banyaknya komponen warna biru dan merah

pada warna seperti pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Dekomposisi Citra RGB ke Dalam Komponen Luminance dan Chrominance (Angraini, 2007)

2.2.3. Citra Biner

Citra biner adalah representasi citra dengan hanya dua intensitas warna pada tiap

pixel-nya yaitu 1 dan 0, dimana nilai 0 mewakili warna hitam dan nilai 1 warna putih.

Citra biner merupakan tingkat abu-abu terendah yang dicapai dalam pembentukan

citra. Alasan masih digunakannya citra biner dalam pengolahan citra digital karena

prosesnya lebih cepat karena jumlah bit untuk tiap pixel-nya lebih sedikit.

2.2.4. Citra Intensitas Keabuan

Citra Intensitas disebut juga citra grayscale. Citra grayscale merupakan citra digital

yang hanya terdiri dari satu layer saja dari layer yang dimiliki citra RGB. Citra ini

(34)

Gambar 2.7. Citra Grayscale (Angraini, 2007) 2.2.5. Citra Format PNG (Portable Network Graphics)

Citra format PNG (Portable Network Graphics) adalah salah satu format

penyimpanan citra yang menggunakan metode pemadatan yang tidak menghilangkan

bagian dari citra tersebut (lossless compression). Format PNG ini diperkenalkan untuk

menggantikan format penyimpanan citra GIF. Secara umum PNG dipakai untuk

Citra Web (Jejaring jagat Jembar - en:World Wide Web). Untuk Web, format PNG

mempunyai 3 keuntungan dibandingkan format GIF:

1. Channel Alpha (transparansi)

2. Gamma (pengaturan terang-gelapnya citra “brightness”)

3. Penayangan citra secara progresif (progressive display)

Selain itu, citra dengan format PNG mempunyai faktor kompresi yang lebih

baik dibandingkan dengan GIF (5%-25% lebih baik dibanding format GIF). Satu

fasilitas dari GIF yang tidak terdapat pada PNG format adalah dukungan terhadap

penyimpanan multi-citra untuk keperluan animasi. Untuk keperluan pengolahan citra,

meskipun format PNG bisa dijadikan alternatif selama proses pengolahan citra -

karena format ini selain tidak menghilangkan bagian dari citra yang sedang diolah

(sehingga penyimpanan berulang ulang dari citra tidak akan menurunkan kualitas

citra) namun format JPEG masih menjadi pilihan yang lebih baik. PNG (Format

berkas grafik yang didukung oleh beberapa web browser. PNG

mendukung transparansi gambar seperti GIF, berkas PNG bebas paten dan

(35)

PNG diciptakan untuk menggantikan keberadaan GIF karena masalah lisensi.

Format PNG lebih baik daripada GIF. Masalahnya ada pada kurangnya dukungan

yang dimampukan oleh web browser. Format ini dibuat sebagai alternatif lain dari

format GIF. Format ini digunakan untuk menyimpan berkas dengan kedalaman

24 bit serta memiliki kemampuan untuk menghasilkan background transparan dengan

pinggiran yang halus.

Format PNG menggunakan metode kompresi lossless untuk

menampilkan gambar 24-bit atau warna-warna solid pada media daring (online).

Format ini mendukung transparansi di dalam alpha channel. Format PNG sangat baik

digunakan pada dokumen daring (online), dan mempunyai dukungan warna yang

lebih baik saat dicetak daripada format GIF. Akan tetapi pada warna PNG akan

di-place pada dokumen InDesign sebagai gambar bitmap RGB, sehingga hanya dapat

dicetak sebagai gambar komposit bukan pada gambar separasi.

PNG (diucapkan “ping”) namun biasanya dieja apa adanya - untuk menghindari kerancuan dengan istilah "ping" pada jaringan komputer. PNG adalah

merupakan standar terbuka format image raster yang

didukungoleh W3C dan IETF. Pada dasarnya, format PNG bukan merupakan format

baru karena telah dikembangkan pada tahun 1995 untuk mengganti format GIF dan

format TIFF. Format ini tidak digunakan lagi secara luas oleh browser dan perangkat

lunak aplikasi pengolah gambar, sehingga dukungan terhadap format tidak begitu

besar hingga tahun 2003, di mana format PNG semakin dikenal dan dipergunakan

untuk aplikasi manipulasi gambar.

Secara garis besar, format PNG mempunyai fitur sebagai berikut:

 Sebagai pengganti format GIF dan TIFF.

 Format terbuka atau open, efisien, gratis, dan kompresi jenis lossless.

 Tiga mode warna, yaiut : paletted (8 bit), greyscale (16 bit), truecolour (hinga 48 bit)

(36)

Citra berformat PNG dikembangkan sebagai alternatif lain untuk GIF, yang

menggunakan paten dari LZW–algoritma kompresi. PNG adalah format citra yang

sangat baik untuk grafis internet, karena mendukung transparansi didalam perambah

(browser) dan memiliki keindahan tersendiri yang tidak bisa diberikan GIF atau

bahkan JPG. Format PNG menggunakan teknik kompresi Loseless dan mendukung

kedalaman warna 48 bit dengan tingkat ketelitian sampling: 1,2,4,8, dan 16 bit.

Format ini memiliki alpha channel untuk mengkontrol transparency (Sutoyo, 2009).

2.3. Metode LSB (Least Significant Bit)

Metode LSB merupakan metode penyembunyian informasi dengan memodifikasi LSB

file carrier/cover. Modifikasi LSB dilakukan dengan memodifikasi bit terakhir dalam

satu byte data dengan bit informasi yang akan disembunyikan (Utami, 2009).

2.3.1. Metode Penyisipan LSB (Least Significant Bit)

Metode penyisipan LSB adalah penyisipan data pada setiap bytecover image pada bit

yang paling kurang berarti (Least Significant Bit atau LSB) (Jajoo, 2011). Misalnya

pada byte 00011001, maka bit LSB-nya adalah 1. Untuk melakukan penyisipan pesan, bit yang paling cocok untuk diganti dengan bit pesan adalah bit LSB, sebab

pengubahan bit tersebut hanya akan mengubah nilai byte-nya menjadi satu lebih tinggi

atau satu lebih rendah. Sebagai contoh, urutan bit berikut ini menggambarkan 3 pixel

pada cover image 24-bit (Krisnawati, 2008).

00100111 11101001 11001000 00100111 11001000 11101001 11001000 00100111 11101001

Pesan yang akan disisipkan adalah karakter “A”, yang nilai biner-nya adalah

01000001, maka akan dihasilkan watermarking image dengan urutan bit sebagai berikut:

00100110 11101001 11001000

00100110 11001000 11101000

(37)

Ada dua jenis teknik yang dapat digunakan pada metode LSB, yaitu penyisipan

pesan secara sekuensial dan secara acak. Sekuensial berarti pesan rahasia disisipkan

secara berurutan dari data titik pertama yang ditemukan pada file gambar, yaitu titik

pada sudut kanan bawah gambar. Sedangkan acak berarti penyisipan pesan rahasia

dilakukan secara acak pada gambar, dengan masukan kata kunci (Laskar, 2013).

2.3.2. Metode Ekstraksi LSB (Least Significant Bit)

Metode ekstraksi LSB adalah pengambilan data penyisip dari setiap byte

watermarking image pada bit LSB) (Jajoo, 2011). Misalnya pada byte 00011001, maka

bit LSB-nya adalah 1.

00100110 11101001 11001000

00100110 11001000 11101000

11001000 00100111 11101001

Hasil pengambilan bit LSB di atas adalah 01000001, dan selanjutnya setiap 8 bit (1 byte) dikonversikan ke dalam ASCII menjadi karakter “A”. Demikian

selanjutnya sampai seluruh byte citra habis diproses.

2.4. Metode LSB +1 (Least Significant Bit +1)

Metode LSB +1 merupakan metode penyembunyian informasi dengan memodifikasi

LSB +1 file carrier/cover. Modifikasi LSB +1 dilakukan dengan memodifikasi bit

satu sebelum terakhir dalam satu byte data dengan bit informasi yang akan

disembunyikan.

2.4.1. Metode Penyisipan LSB+1 (Least Significant Bit+1)

Metode penyisipan LSB+1 adalah menyisipkan data pada setiap byte cover pada bit

nomor 2 setelah bit terakhir atau bit nomor kedua paling kanan (Nath, 2011). Sebagai

(38)

00100111 11101001 11001000 00100111 11001000 11101001 11001000 00100111 11101001

Pesan yang akan disisipkan adalah karakter “A”, yang nilai biner-nya adalah

01000001, maka akan dihasilkan watermarking image dengan urutan bit sebagai berikut:

00100101 11101011 11001000 00100101 11001000 11101001 11001000 00100111 11101001

2.4.2. Metode Ekstraksi LSB+1 (Least Significant Bit +1)

Metode ekstraksi LSB+1 adalah pengambilan data penyisip dari setiap byte

watermarking image pada bit kedua paing akhir atau kedua paling kanan (Nath, 2011).

Misalnya pada byte 00011001, maka bit LSB+1-nya adalah 0.

00100101 11101011 11001000 00100101 11001000 11101001 11001000 00100111 11101001

Hasil pengambilan bit LSB+1 di atas adalah 01000001, dan selanjutnya setiap 8 bit (1 byte) dikonversikan ke dalam ASCII menjadi karakter “A”. Demikian

selanjutnya sampai seluruh byte citra habis diproses.

Pada penelitian Nath (2011), bit penyisip disisipkan pada Least Significant Bit

(LSB) dan LSB +1 bit file cover. Adapun langkah penyisipan pada penelitian tersebut:

a. Untuk menyembunyikan satu (1) byte pesan rahasia kita memilih 4 byte

berturut-turut dari file cover dan kemudian masukkan bit di LSB dan LSB + 1 posisi.

b. Untuk menanamkan 1 byte informasi yang kita butuhkan 4 byte dari file penutup.

Sebagai contoh suatu file cover yang berisi 4 byte: 00101111 00011101 11011101

10100110. Misalkan ingin menanamkan nomor 245 dalam pola bit di atas.

Representasi biner dari 245 adalah 11110101.

(39)

Sebagai contoh untuk menanamkan bit ini, pola di atas 4 byte digunakan untuk

menanamkan 11110101 dan dipilih LSB + 1 bit di atas 4 byte dari file penutup. Tabel

2.2 menunjukkan hasil bagaimana bit disisipkan (Nath et al, 2011).

Tabel 2.2. Perubahan LSB dan LSB + 1 Bit dengan Bit Pesan Rahasia File Sebelum Diganti Sesudah Diganti Bit Disisip Keterangan

00101111 00101111 1,1 No change in bit Pattern

00011101 000111111 1,1 Change in bit pattern(i)

11011101 110111010 0,1 Change in bit pattern(i)

2.5. Algoritma MLSB (Modified Least Significant Bit)

Modified Least Significant Bit (MLSB) atau modifikasi dari Algoritma LSB

digunakan untuk meng-encode sebuah identitas ke dalam citra asli. MLSB

menggunakan manipulasi beberapa tingkat bit-bit penyisip sebelum meng-encode

pesan tersebut (Zaher, 2011).

Modifikasi pesan dengan algoritma MLSB dimana bit pesan yang seharusnya

1 karakter memiliki nilai 8 bit ASCII code akan dimodifikasi menjadi 5 bit. Pada

algoritma ini karakter dan angka direpresentasikan dalam 5 bit yang akan disisipkan

ke dalam citra asli dengan teknik LSB. Penyisipan dilakukan dengan proses-proses :

1. Proses mengubah data penyisip dengan kode ASCII. Misalnya pesan “STEGO with 05 bits” yang jika diubah ke biner membutuhkan memori sebesar 18 x 8 bit = 144 bit. Pada algoritma MLSB pesan di atas diubah menjadi ASCII (hex) menjadi: 5316,

(40)

2. Baca data penyisip (ASCII) sampai tanda spasi (2016) yaitu 5316, 5416, 4516, 4716,

5. Data penyisip kelompok kedua adalah 7716, 6916,7416, 6816 dikurangi dengan nilai

puluhan terendah (6016) menjadi 7716 6016= 1716, 6916 6016= 0916, 7416

6016= 1416, 6816 6016= 0816.

6. Data kelompok ke dua ini digabung dengan kelompok pertama dan diberi nilai

Control Symbol 1D16 (spasi) dan 1B16 (huruf kecil) menjadi 1D16, 1B16, 1716, 0916,

1416, 0816.

7. Data kelompok ketiga adalah: 3016, 3516 dikurangi dengan nilai terendah menjadi:

3016 3016= 0, 3516 3016= 0516.

8. Data tersebut digabung dengan kelompok sebelumnya ditambah dengan Control

Symbol 1D16 (spasi), 1E16 (nomor) menjadi 1D16, 1E16, 0016, 0516.

9. Data kelompok keempat adalah: 6216, 6916,7416,7316 dikurangi dengan nilai

terendah menjadi: 6216 6016= 0216, 6916 6016= 0916, 7416 6016= 1416, 7316

6016= 1316.

10. Data tersebut digabung dengan kelompok sebelumnya ditambah dengan Control

Symbol 1B16 (huruf kecil), menjadi 1D16, 1B16, 0216, 0916, 1416, 1316 dan akhir

data (1F16).

Sehingga pesan menjadi:

1C16, 1316, 1416, 0516, 0716, 0F16, 1D16, 1B16, 1716, 0916, 1416, 0816, 1D16, 1E16, 0016,

0516, 1D16, 1B16, 0216, 0916, 1416, 1316, 1F16.

Pesan diatas membutuhkan 23 x 5 bit = 115 bit dan diubah menjadi biner menjadi:

11100, 10011, 10100, 00101, 00111, 01111, 11101, 11011, 10111, 01001, 10100,

01000, 11101, 11110, 00000, 00101, 11101, 11011, 00010, 01001, 10100, 10011,

11111.

(41)

52 49 46 46 28

Nilai piksel citra di atas dikonversikan ke dalam biner menjadi sebagai berikut:

01010010 01001001 01000110 01000110 00101000 00001000 00000000 00000000 01010111 01000001 01010110 01000101 01000100 00010101 00101111 00111101 00011101 00101010 00000000 01001101 00000001 01111100 00000001 00010010 01000101 01101000 00000000 00000001 00010001 00000101

Penyisipan dilakukan pada setiap byte pada nilai biner paling belakang dimana pesan

yang disisipkan adalah 11100, 10011, 10100, 00101, 00111, 01111 seperti yang

diperlihatkan sebagai berikut:

01010011 01001001 01000111 01000110 00101000

00001001 00000000 00000000 01010111 01000001

01010111 01000100 01000101 00010100 00101110

00111100 00011100 00101011 00000000 01001101

00000000 01111100 00000001 00010011 01000101

01101000 00000001 00000001 00010001 00000101

Setelah penyisipan, representasi nilai piksel citra ter-watermark (grayscale)

diperliahtkan sebagai berikut:

Pada proses ekstraksi dengan algoritma MLSB dilakukan dengan cara:

(42)

3. Pisahkan 1 bit terakhir dari setiap byte piksel citra kemudian dikelompokkan

menjadi 5 bit per blok.

4. Konversikan setiap blok ke dalam ASCII (hexadecimal).

5. Blok pertama dibandingkan dengan Control Symbol untuk mendefenisikan jenis

karakter berikutnya:

- Jika Control Symbol 1Dh maka menyatakan spasi.

6. Langkah ke 3 sampai ke 5 diulangi sampai ditemukannya Control Symbol end of

the text (1F16).

7. Rekonstruksikan setiap blok data sebagai pesan rahasia.

Berikut contoh dari proses extraction pada citra ter-watermarking:.

01010011 01001001 01000111 01000110 00101000

00001001 00000000 00000000 01010111 01000001

01010111 01000100 01000101 00010100 00101110

00111100 00011100 00101011 00000000 01001101

00000000 01111100 00000001 00010011 01000101

01101000 00000001 00000001 00010001 00000101

1. Pisahkan 1 bit terakhir dari setiap byte piksel citra kemudian dikelompokkan

menjadi 5 bit per blok yang diperlihatkan sebagai berikut:

11100 10011 10100 00101 00111 01111

2. Konversikan setiap blok ke dalam ASCII (hexadecimal) menjadi:

(43)

3. Blok pertama yaitu 1C16 dibandingkan dengan Control Symbol yang merupakan

menandakan huruf kapital maka setiap blok berikutnya yang bukan Control

Symbol di-ZOR-kan 40 menjadi : 5316, 5416, 4516, 4716, 4F16.

4. Data yang terakhir inilah kemudian direkonstruksi sebagai teks penyisip (embed)

menjadi : S T E G O.

2.6. Mean Squared Error (MSE)

Mean Squared Error (MSE) digunakan untuk mengukur kinerja dari algoritma

steganografi/watermaking pada citra (Sutoyo, 2009). Citra asli dibandingkan dengan

citra tersisip (stego image/ watermark image) dengan memeriksa selisih nilai.

Perhitungan nilai MSE dari citra digital berukuran N x M piksel, dilakukan sesuai

dengan rumus pada persamaan (1).

... (1)

f(i,j) : menyatakan nilai piksel citra yang asli. f’(i,j) : merupakan nilai piksel citra hasil penyisipan. N.M : dimensi citra (piksel)

Nilai MSE yang besar, menyatakan bahwa penyimpangan atau selisih antara citra

hasil penyisipan dengan citra aslinya cukup besar.

2.7. Pembangkit Bilangan Acak (Random Number Generator)

Pembangkit Bilangan Acak atau Random Number Generator (RNG) adalah suatu

peralatan komputasional yang dirancang untuk menghasilkan suatu urutan nilai yang

tidak dapat ditebak polanya dengan mudah, sehingga urutan nilai tersebut dapat

dianggap sebagai suatu keadaan acak (random). RNG ini tidak dapat diterapkan dalam

prakteknya. Bilangan acak yang dihasilkan oleh komputer sekalipun tidak benar-benar

(44)

bilangan acak sering dibangkitkan dengan menggunakan pembangkit bilangan acak

semu atau Pseudo Random Number Generator (PRNG) (Haahr, 2009).

2.7.1. Pembangkit Bilangan Acak Semu

Pembangkit Bilangan Acak Semu atau Pseudo Random Number Generator (PRNG)

merupakan suatu algoritma yang menghasilkan suatu urutan nilai dimana

elemen-elemennya bergantung pada setiap nilai yang dihasilkan. Output dari PRNG tidak

betul-betul acak, tetapi hanya mirip dengan properti dari nilai acak. Hal inididukung

oleh penelitian sebelumnya. menyimpulkan dari beberapa algoritma untuk

membangkitkan bilangan acak semu, tidak ada yang benar-benar dapat menghasilkan

bilangan acak secara sempurna dalam arti benar-benar acak dan tanpa ada perulangan

selama pembangkit yang digunakan adalah komputer yang memiliki sifat

deterministik dan bilangan yang benar-benar acak hanya dapat dihasilkan oleh

perangkat keras (hardware). Menurut, pembangkit bilangan acak yang cocok untuk

kriptografi dinamakan Cryptographically Secure Pseudorandom Number Generator

(CSPRNG) (Dodis, 2010).

Persyaratan CSPRNG adalah:

1. Terlihat acak. Artinya mampu melewati uji statistik keacakan.

2. Tidak dapat diprediksi. Perhitungan secara komputasional tidak dapat

mempengaruhi prediksi bilangan acak selanjutnya yang telah diberikan algoritma

secara menyeluruh ataupun dari dibangkitkan dari mesin (komputer).

3. Tidak mampu diproduksi kembali. Jika pembangkit bilangan acak mampu

dibangkitkan dua kali dengan input yang sama akan memperoleh hasil acak yang

berbeda satu dengan lainnya.

Meskipun demikian, pada dasarnya bilangan acak yang diperoleh bukanlah

bilangan acak yang sesungguhnya, maka supaya lebih menyerupai bilangan acak,

mengatakan beberapa syarat penting yang harus dipenuhi olehbilangan acak adalah

(45)

1. Dapat diulang. Sekumpulan (barisan) bilangan yang sama harus bisa diperoleh

(diulang) dengan menggunakan seed yang sama, hal ini kadang-kadang diperlukan

untuk pemeriksaan dan penelusuran program (debugging).

2. Keacakan. Barisan bilangan harus memenuhi syarat keacakan secara seragam

(uniform) yang dapat diuji melalui uji statistika.

3. Periode panjang. Karena pada dasarnya bilangan acak itu merupakan barisan

berulang dengan berbagai periode, maka periode pengulangan harus sangat besar

atau lama melebihi banyaknya bilangan acak yang diperlukan. Tidak peka seed.

Sekalipun barisan bilangannya bergantung pada seed tetapi sifat keacakan dan

periodisasi sedapat mungkin tidak bergantung pada seed-nya.

Secara umum, sebuah PRNG didefinisikan sebagai algoritma kriptografi yang

digunakan untuk menghasilkan bilangan secara acak. Pengertian acak sendiri adalah

bilangan yang dihasilkan dalam setiap waktu tidaklah sama. Sebuah PRNG memiliki

sebuah kondisi awal K yang rahasia. Saat digunakan, PRNG harus membangkitkan

output acak yang tidak dapat diidentifikasi oleh kriptanalis yang tidak tahu dan tidak

dapat menebak kondisi awal K. Dalam hal ini, PRNG memiliki kesamaan dengan

cipher aliran. Akan tetapi, sebuah PRNG harus mampu mengubah kondisi awalnya

dengan memproses input sehingga tidak dapat diprediksi oleh kriptanalis.

Umumnya PRNG memiliki kondisi awal yang tidak sengaja dapat ditebak oleh

kriptanalis dan harus mengalami banyak proses sebelum kondisinya rahasia dan aman.

Patut dipahami bahwa sebuah input untuk PRNG memiliki informasi rahasia yang

tidak diketahui oleh kriptanalis. Input-input ini umumnya diperoleh dari proses-proses

fisik, interaksi user dengan mesin, atau proses eksternal lain yang sulit diprediksi.

Dalam desain dan implementasi harus dapat dipastikan bahwa input-input ini memiliki

cukup jaminan keamanan dan kerahasiaan.

Kebanyakan algoritma dari PRNG ditujukan untuk menghasilkan suatu sampel

yang secara seragam terdistribusi. PRNG ini sering digunakan dalam kriptografi pada

(46)

digunakan maka semakin tinggi tingkat keamanan dari metoda kriptografi. Skema

Dasar PRNG dapat dilihat seperti pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Skema Dasar PRNG (Dodis, 2010)

Semua deretan bilangan acak yang dibangkitkan dari rumus matematika, serumit

apapun, dianggap sebagai deret acak semu, karena dapat diulang pembangkitannya.

Sementara itu, banyak produk software yang dinyatakan sebagai produk yang aman

karena menggunakan bilangan acak semacam OTP (One Time Pad). Namun karena

OTP ini dibangkitkan dari bilangan acak semu, maka keamanan yang diperoleh juga

semu. Pembangkit bilangan acak yang sering diimplementasikan adalah Linier

Congruential Generator (LCG) dan Linear Feedback Shift Register (LFSR).

2.7.2. Linear Congruential Generator(LCG)

Linear Congruential Generator (LCG) mewakili salah satu algoritma pseudo random

number yang tertua dan paling populer. Algoritma ini diciptakan oleh D. H. Lehmer

pada tahun 1951. Teori dari algoritma ini mudah dipahami dan dapat

diimplementasikan secara cepat, hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya. (Munir,

2011) yang menyimpulkan hasil analisis yang diperoleh bahwa dari segi kecepatan

LCG membutuhkan waktu yang paling pendek dalam menghasilkan bilangan acak

dibandingkan dengan metode lain. Keuntungan dari LCG adalah operasinya yang

sangat cepat. LCG dapat didefinisikan dengan rumusan berikut:

= (a. +1 + b) mod m

PRNG

(47)

Dimana :

= bilangan acak ke-n dari deretnya −1 = bilangan acak sebelumnya a = faktor pengali

b = increment

m = modulus (batas maksimum bilangan acak)

(a,b, dan m semuanya konstanta LCG)

Penentuan nilai awal 0 atau −1 dan konstanta (a, b, dan m) akan

menentukan kualitas bilangan acak yang dihasilkan. Bilangan acak yang baik (pada

umumnya) apabila terjadinya perulangan atau munculnya bilangan acak yang sama,

dapat terjadi setelah sekian banyak pembangkitan bilangan acak (semakin banyak

akan semakin baik) serta tidak bisa diprediksi kapan terjadi perulangannya. Periode

dari LCG umumnya adalah sebesar nilai m. Masalah pada LCG adalah lower order bit

yang digenerasi mempunyai periode yang lebih pendek dari deretan secara

keseluruhan jika m di-set menjadi pangkat 2. Tanpa desain yang benar, dengan m

yang sangat besar, bisa jadi periode bilangan acak yang dihasilkan tidak akan

maksimal, bahkan mungkin jauh lebih pendek daripada periode maksimalnya.

Kunci pembangkit adalah 0 yang disebut umpan (seed). LCG mempunyai

periode tidak lebih besar dari m. Jika a, b, dan m dipilih secara tepat (misalnya b

seharusnya relatif prima terhadap m dan b < m ), maka LCG akan mempunyai periode

maksimal, yaitu m – 1. Sebagai contoh : Untuk membangkitkan bilangan acak

sebanyak 10 kali dengan a=13, b=7, m=11, dan 0 = 2. Dengan menggunakan rumus

(48)

Gambar

Gambar 2.8 Skema Dasar PRNG (Dodis, 2010)
Gambar 3.3 Flowchart Penelitian
Gambar 3.7 Flowchart Penyisipan Algoritma MLSB
Gambar 3.8 Flowchart Ekstraksi Algoritma MLSB
+7

Referensi

Dokumen terkait

lingkup; dan sistematika penulisan dalam Review Rencana Terpadu dan Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM) Bidang Cipta Karya, Kabupaten Kudus. Bab 2

Zakat adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin

manajemen dalam menjalankan tugasnya. salah satu alat yang dapat digunakan oleh manajemen dalam membantu menjalankan tugasnya, adalah akuntansi manajemen. Akuntansi

Berdasarkan hasil perhitungan nilai CVI, seluruh kriteria memperoleh nilai CVI sebesar 0.99, yang menunjukkan bahwa poster yang dibuat telah sesuai dengan kriteria

Berdasarkan hasil analisis data serta pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi siswa mengenai keterampilan guru dalam menciptakan iklim kelas kolaboratif

sesuai dengan planning yang diterima dari kepala pabrik. b) Mempersiapkan mesin-mesin yang akan digunakan untuk proses produksi. c) Mengevaluasi pelaksanaan pekerjaan di bagian

Dalam catur misalnya, pemain harus mencari segala kemungkinan langkah terbaik untuk memenangkan permainan. Namun jika kita menjajagi semua kemungkinan langkah dan akibatnya, tentu

Guru memberikan penguatan terhadap hasil diskusi peserta didik dan kemudian menjelaskan kembali sifat- sifat keteladan Ashabul Kahfi berdasarkan buku teks