BAB II
DASAR TEORI
2.1. Watermarking
Watermarking merupakan sebuah proses penambahan kode secara permanen ke dalam
citra digital. Penyisipan kode ini harus memiliki ketahanan (robustness) yang cukup
baik dari berbagai manipulasi, seperti pengubahan, transformasi, kompresi, maupun
enkripsi. Kode yang disisipkan juga tidak merusak citra digital sehingga citra digital
terlihat seperti aslinya. Watermarking dapat juga merupakan cara untuk menyisipkan
watermark kedalam media yang ingin dilindungi hak ciptanya. Watermarking
merupakan proses penanaman watermark. Digital Watermarking merupakan cara
yang digunakan untuk menyisipkan informasi atau watermark pada suatu dokumen
digital. Dari defenisi-definisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa watermarking
merupakan cara untuk menyisipkan watermark atau proses penambahan kode secara
permanen ke dalam citra digital yang ingin dilindungi hak ciptanya dengan tidak
merusak citra aslinya dan tahan terhadap serangan (Munir, 2006).
Watermark merupakan sebuah pola atau kode atau data tertentu yang
membawa informasi tertentu sesuai dengan tujuannya dan sengaja ditanamkan secara
permanen kedalam data media induknya. Watermark dalam citra digital tersebut tidak
dapat diketahui keberadaannya oleh pihak lain yang tidak mengetahui rahasia skema
penyisipan watermark. Watermark tersebut juga tidak dapat diidentifikasi dan
dihilangkan. Penggunaan watermarking sangat diperlukan untuk melindungi karya
intelektual digital seperti gambar, teks, musik, video, dan termasuk perangkat lunak.
Penggandaan atas produk digital yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab semakin merajalela tanpa ada ikatan hukum yang pasti sehingga
penyisipan watermark memiliki peran yang cukup signifikan untuk mencegah
terjadinya penggandaan terhadap produk digital.
Label watermark adalah sesuatu data atau informasi yang akan dimasukkan
kedalam data digital yang ingin dilakukan proses watermarking. Ada 2 jenis label
watermark yang dapat digunakan:
1. Teks biasa
Label watermark dari teks biasanya menggunakan nilai-nilai ASCII dari
masing-masing karakter dalam teks yang kemudian dipecahkan atas bit per bit. Kelemahan
dari label ini adalah kesalahan pada satu bit saja akan menghasilkan hasil yang
berbeda dari teks sebenarnya.
2. logo atau citra atau suara
Berbeda dengan teks, kesalahan pada beberapa bit masih dapat memberikan
persepsi yang sama dengan aslinya, baik oleh pendengaran maupun penglihatan
kita.
Oleh karena itu, penyisipan logo sebagai label watermark dirasakan lebih
efektif dibandingkan teks, citra, ataupun suara karena selain tidak sensitif terhadap
kesalahan bit, ukuran file juga tidak terlalu besar. Logo yang dipakai berupa logo
biner atau hitam putih karena komputasi yang dibutuhkan tidak terlalu rumit namun
tetap menjamin visualisasi yang cukup baik.
2.1.1. Digital Watermarking
Teknik watermarking digital memiliki prinsip yang sama dengan watermarking pada
media lainnya. Secara umum, watermarking terdiri dari dua tahapan, yaitu penyisipan
watermark dan ekstraksi/verifikasi atau pendeteksian watermark. Pengekstraksian dan
pendeteksian sebuah watermark sebenarnya tergantung pada algoritma yang
digunakan untuk watermarking. Pada beberapa algoritma watermarking, watermark
dapat diekstraksi dalam bentuk yang eksak, sedangkan pada algoritma yang lain,
Secara umum proses watermarking pada file citra ditunjukkan pada Gambar
2.1 dimana file citra disisipi dengan watermark menggunakan kunci sebagai sarana
kepemilikan untuk dapat membuka watermark yang disisipkan ke dalam citra digital.
Key K
Original Watermarked
Citra (I) Citra (Iw)
Watermark
sequence W
Gambar 2.1. Penyisipan Watermark (Sugiono et al, 2008)
Media ber-watermark yang dihasilkan dari proses watermarking tidak berbeda
jauh secara visual dengan aslinya. Hal ini disebabkan karena pengubahan dari citra
digital asli ke ber-watermark hanya berpengaruh sedikit terhadap perubahan warna.
Proses watermarking perlu didukung dengan proses ekstraksi watermark. Proses
ekstraksi/verifikasi ini bertujuan untuk mendapatkan kembali citra asli dan watermark
yang disisipkan dalam citra digital tersebut. Umumnya proses ekstraksi/verifikasi
melibatkan proses pembandingan citra asli dengan citra ber-watermark untuk
mendapatkan watermark yang disisipkan, seperti yang digambarkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Ekstraksi Watermark (Sugiono, 2008)
Pengkategorian watermarking berdasarkan proses ekstraksi/verifikasi
watermark terbagi 2 jenis, yaitu:
a. Blind Watermarking
Verifikasi watermark tanpa membutuhkan media yang asli.
b. Non-Blind Watermarking
Verifikasi watermark dengan membutuhkan media asli.
Sebuah teknik watermarking yang bagus harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1. Fidelity
Penyisipan suatu watermark pada media seharusnya tidak mempengaruhi nilai
media tersebut. Watermark pada media idealnya tidak dapat dipersepsi oleh indera
dan tidak dapat dibedakan dengan media yang asli.
2. Robustness
Watermark dalam media digital harus memiliki ketahanan yang cukup terhadap
pemrosesan digital yang umum.
3. Security
Watermarking memiliki daya tahan terhadap usaha sengaja untuk memindahkan
watermark dari suatu media ke media yang lain.
4. Imperceptibility
Keberadaan watermark tidak dapat dipersepsi secara langsung oleh penglihatan
manusia.
5. Key Uniqueness
Kunci yang digunakan pada proses dan penyisipan dan ekstraksi adalah sama dan
tidak ada kunci lain yang bisa digunakan untuk membukanya. Perbedaan kunci
seharusnya menghasilkan watermark yang berbeda pula.
6. Non-Invertibility
Proses untuk mendeteksi apakah media tersebut ber-watermark atau tidak akan
sangat sulit jika hanya diketahui media ber-watermark saja.
7. Image Dependency
2.1.2. Aplikasi Watermarking
Watermark telah diterapkan secara luas untuk mengatasi berbagai tindak kejahatan
yang berkaitan dengan dokumen digital. Fungsi penggunaan watermark tersebut
antara lain adalah sebagai:
1. Identifikasi kepemilikan
Sebagai identitas dari pemilik dokumen digital, identitas ini disisipkan dalam
dokumen digital dalam bentuk watermark. Biasanya identitas kepemilikan seperti
ini diterapkan melalui visible watermarking. Contohnya url halaman web tempat
suatu gambar di-download.
2. Bukti kepemilikan
Watermark merupakan suatu bukti yang sah yang dapat dipergunakan di
pengadilan. Banyak kasus pemalsuan foto yang akhirnya terungkap karena
penggunaan watermark ini.
3. Memeriksa keaslian isi karya digital
Watermark juga dapat digunakan sebagai teknik untuk mendeteksi keaslian dari
suatu karya. Suatu image yang telah disisipi watermark dapat dideteksi perubahan
yang dilakukan terhadapnya dengan memeriksa apakah watermark yang disisipkan
dalam image tersebut rusak atau tidak.
4. User authentication atau fingerprinting
Seperti halnya bukti kepemilikan, watermark juga dapat digunakan sebagai
pemeriksaan hak akses atau penanda (sidik jari) dari suatu media digital.
5. Transaction tracking
Fungsi transaction tracking ini dapat dilakukan pada image yang mengandung
watermark. Pengimplementasiannya dilakukan dengan memberikan watermark
yang berbeda pada sejumlah domain/kelompok pengguna. Sehingga bila image
tersebar diluar domain tersebut, dapat diketahui domain mana yang
6. Piracy protection/copy
Untuk dapat melakukan ini, perancang watermark harus bekerjasama tidak hanya
pada masalah software, tetapi juga dengan vendor yang membuat hardware.
Sehingga sebelum dilakukan peng-copy-an, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
apakah image tersebut boleh di-copy atau tidak.
7. Broadcast monitoring
Dalam dunia broadcasting/television news channel, watermark biasanya
disisipkan sebagai logo dari perusahaan broadcasting yang bersangkutan. Hal ini
dilakukan untuk menandai berita yang mereka siarkan. Sehingga bila pihak lain
merekam berita tersebut, maka watermark-nya akan otomatis terbawa.
2.1.3. Klasifikasi Watermarking
Klasifikasi terhadap watermarking dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori.
Kategori yang pertama berdasarkan kenampakan dari watermark.
1. Visible Watermarking
Pada visible watermarking ini, watermark yang disisipkan pada suatu media
terlihat dengan jelas. Watermark biasanya berbentuk logo atau teks baik
transparan atau tidak yang diletakkan tidak mengganggu atau menutupi media
asal. Jenis watermarking ini biasanya diterapkan pada media yang memang
dimaksudkan untuk disebar secara umum bersama dengan identitas pemilik asal
media tersebut.
2. Invisible Watermarking
Sesuai namanya, watermark pada invisible watermarking yang disisipkan pada
media tidak lagi dapat dipersepsi dengan indera. Namun, keberadaannya tetap
dapat dideteksi. Penerapan teknik invisible watermarking ini lebih sulit dari pada
teknik yang digunakan pada visible watermarking.
Selain itu, watermark juga dikategorikan berdasarkan kekuatan watermark
1. Fragile Image Watermarking
Fragile image watermarking merupakan jenis watermark yang ditujukan untuk
menyisipkan label kepemilikan media digital. Pada fragile watermarking ini,
watermark mudah sekali berubah atau bahkan hilang jika dilakukan perubahan
terhadap media digital. Dengan begitu, media digital sudah tidak lagi memiliki
watermark yang asli. Fragile image watermarking ini biasanya digunakan agar
dapat diketahui apakah suatu image sudah berubah atau masih sesuai aslinya. Jenis
watermark inilah yang banyak diterapkan pada suatu media digital.
2. Robust Image Watermarking
Robust image watermarking adalah teknik penggunaan watermark yang ditujukan
untuk menjaga integritas atau orisinalitas media digital. Watermark yang
disisipkan pada media akan sangat sulit sekali dihapuskan atau dibuang. Dengan
Robust Image, proses penggandaan media digital yang tidak memiliki izin dapat
dihalangi. Kebanyakan aplikasi dari robust watermarking ini bukan pada sebuah
media digital, melainkan pada sistem proteksi CD atau DVD.
2.2. Citra Digital
Citra terbentuk dari kumpulan intensitas cahaya yang tersusun dalam bidang dua
dimensi. Kumpulan intensitas cahaya tersebut dinyatakan dalam suatu fungsi kontinyu
f(x,y) dimana x dan y menyatakan koordinat ruang dan nilai intensitas cahaya tersebut
memberi informasi warna dan kecerahan citra (Putra, 2010).
Citra digital merupakan yang dihasilkan dari gambar analog dua dimensi yang
kontinu menjadi gambar diskrit melalui proses sampling. Gambar analog dibagi
menjadi N baris dan M kolom sehingga menjadi gambar diskrit. Persilangan antara
baris dan kolom tertentu disebut dengan pixel. Contohnya adalah gambar/titik diskrit
pada baris m dan kolom n disebut dengan pixel [m,n]. Sampling adalah proses untuk
menentukan warna pada pixel tertentu pada citra dari sebuah gambar yang kontinu.
Pada proses sampling biasanya dicari warna rata-rata dari gambar analog yang
kemudian dibulatkan (Rana, 2012). Proses sampling sering juga disebut proses
Gambar 2.3. Proses Sampling dan Kuantisasi (Sutoyo, 2009)
Sampling menyatakan banyaknya pixel (blok) untuk mendefinisikan suatu
gambar. Sedangkan kuantisasi meunjukkan banyaknya derajat nilai pada setiap pixel
(menunjukkan jumlah bit pada gambar digital, misal b/w dengan dua bit, grayscale
dengan delapan bit, true color dengan 24 bit).
Citra atau umumnya dikenal gambar merupakan kumpulan titik-titik penyusun
citra itu sendiri. Titik-titik tersebut dikenal dengan pixel. Banyaknya titik-titik
penyusun citra tersebut disebut resolusi. Jadi resolusi merupkan MxN pixel.
Masing-masing pixel yang menyusun suatu citra dapat memiliki warna yang berbeda-beda,
yang disebut dengan bit depth. Bit depth dinyatakan dengan angka yang bersatuan bit.
Sebagai contoh bit depth = 3, artinya terdapat 23 = 8 variasi yang mungkin untuk
setiap pixelnya. Semakin besar nilai bit depth, maka semakin besar pula ukuran fungsi
citra tersebut. Ada beberapa jenis mode warna seperti yang terlihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Jenis Mode Warna
Mode Warna Keterangan bit depth Variasi Warna
Dalam pengolahan citra warna dipresentasikan dengan nilai hexadesimal dari
0x00000000 sampai 0x00ffffff. Warna hitam adalah 0x00000000 dan warna putih
adalah 0x00ffffff. Variabel 0x00 menyatakan angka dibelakangnya adalah
hexadecimal. Nilai warna dalam hexadecimal dapat dilihat seperti pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Nilai Warna RGB Dalam Hexadecimal
2.2.1. Citra RGB
Citra RGB disebut juga citra truecolor. Citra RGB merupakan citra digital yang terdiri
dari tiga layer yang mengandung matriks data berukuran m x n x 3 yang
merepresentasikan warna merah, hijau, dan biru untuk setiap pixel-nya. Tiap layer
juga memiliki intensitas kecerahan warna yang nantinya saat ketiga layer digabungkan
akan membentuk suatu kombinasi warna baru tergantung besarnya tingkat kecerahan
warna yang disumbangkan tiap layer.
Tiap layer berukuran 8 bit, berarti memiliki tingkat kecerahan warna sampai
256 level. Artinya tiap layer warna dapat menyumbang tingkat kecerahan warnanya
dari rentang level 0 sampai level 255. Dimana 0 merepresentasikan warna hitam dan
255 merepresentasikan warna putih seperti pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5. Citra RGB (Angraini, 2007) 0x00 xx xx xx
2.2.2. Citra YcbCr
YcbCr merupakan standar internasional bagi pengkodean digital gambar televisi. Y
merupakan komponen luminance, Cb dan Cr adalah komponen chrominance. Pada
monitor monokrom nilai luminance digunakan untuk merepresentasikan warna RGB.
Chrominance merepresentasikan corak warna dan saturasi (saturation). Nilai
komponen ini juga mengindikasikan banyaknya komponen warna biru dan merah
pada warna seperti pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6. Dekomposisi Citra RGB ke Dalam Komponen Luminance dan Chrominance (Angraini, 2007)
2.2.3. Citra Biner
Citra biner adalah representasi citra dengan hanya dua intensitas warna pada tiap
pixel-nya yaitu 1 dan 0, dimana nilai 0 mewakili warna hitam dan nilai 1 warna putih.
Citra biner merupakan tingkat abu-abu terendah yang dicapai dalam pembentukan
citra. Alasan masih digunakannya citra biner dalam pengolahan citra digital karena
prosesnya lebih cepat karena jumlah bit untuk tiap pixel-nya lebih sedikit.
2.2.4. Citra Intensitas Keabuan
Citra Intensitas disebut juga citra grayscale. Citra grayscale merupakan citra digital
yang hanya terdiri dari satu layer saja dari layer yang dimiliki citra RGB. Citra ini
mempunyai kedalaman 8 bit dengan rentang dari 0 sampai 255 seperti pada Gambar
Gambar 2.7. Citra Grayscale (Angraini, 2007)
2.2.5. Citra Format PNG (Portable Network Graphics)
Citra format PNG (Portable Network Graphics) adalah salah satu format
penyimpanan citra yang menggunakan metode pemadatan yang tidak menghilangkan
bagian dari citra tersebut (lossless compression). Format PNG ini diperkenalkan untuk
menggantikan format penyimpanan citra GIF. Secara umum PNG dipakai untuk
Citra Web (Jejaring jagat Jembar - en:World Wide Web). Untuk Web, format PNG
mempunyai 3 keuntungan dibandingkan format GIF:
1. Channel Alpha (transparansi)
2. Gamma (pengaturan terang-gelapnya citra “brightness”)
3. Penayangan citra secara progresif (progressive display)
Selain itu, citra dengan format PNG mempunyai faktor kompresi yang lebih
baik dibandingkan dengan GIF (5%-25% lebih baik dibanding format GIF). Satu
fasilitas dari GIF yang tidak terdapat pada PNG format adalah dukungan terhadap
penyimpanan multi-citra untuk keperluan animasi. Untuk keperluan pengolahan citra,
meskipun format PNG bisa dijadikan alternatif selama proses pengolahan citra -
karena format ini selain tidak menghilangkan bagian dari citra yang sedang diolah
(sehingga penyimpanan berulang ulang dari citra tidak akan menurunkan kualitas
citra) namun format JPEG masih menjadi pilihan yang lebih baik. PNG (Format
berkas grafik yang didukung oleh beberapa web browser. PNG
mendukung transparansi gambar seperti GIF, berkas PNG bebas paten dan
PNG diciptakan untuk menggantikan keberadaan GIF karena masalah lisensi.
Format PNG lebih baik daripada GIF. Masalahnya ada pada kurangnya dukungan
yang dimampukan oleh web browser. Format ini dibuat sebagai alternatif lain dari
format GIF. Format ini digunakan untuk menyimpan berkas dengan kedalaman
24 bit serta memiliki kemampuan untuk menghasilkan background transparan dengan
pinggiran yang halus.
Format PNG menggunakan metode kompresi lossless untuk
menampilkan gambar 24-bit atau warna-warna solid pada media daring (online).
Format ini mendukung transparansi di dalam alpha channel. Format PNG sangat baik
digunakan pada dokumen daring (online), dan mempunyai dukungan warna yang
lebih baik saat dicetak daripada format GIF. Akan tetapi pada warna PNG akan
di-place pada dokumen InDesign sebagai gambar bitmap RGB, sehingga hanya dapat
dicetak sebagai gambar komposit bukan pada gambar separasi.
PNG (diucapkan “ping”) namun biasanya dieja apa adanya - untuk
menghindari kerancuan dengan istilah "ping" pada jaringan komputer. PNG adalah
merupakan standar terbuka format image raster yang
didukungoleh W3C dan IETF. Pada dasarnya, format PNG bukan merupakan format
baru karena telah dikembangkan pada tahun 1995 untuk mengganti format GIF dan
format TIFF. Format ini tidak digunakan lagi secara luas oleh browser dan perangkat
lunak aplikasi pengolah gambar, sehingga dukungan terhadap format tidak begitu
besar hingga tahun 2003, di mana format PNG semakin dikenal dan dipergunakan
untuk aplikasi manipulasi gambar.
Secara garis besar, format PNG mempunyai fitur sebagai berikut:
Sebagai pengganti format GIF dan TIFF.
Format terbuka atau open, efisien, gratis, dan kompresi jenis lossless.
Tiga mode warna, yaiut : paletted (8 bit), greyscale (16 bit), truecolour (hinga
48 bit)
Dukungan terhadap profile colour, gamma, dan metadata.
Mempunyai fitur transparansi serta dukungan penuh terhadap alpha channel.
Citra berformat PNG dikembangkan sebagai alternatif lain untuk GIF, yang
menggunakan paten dari LZW–algoritma kompresi. PNG adalah format citra yang
sangat baik untuk grafis internet, karena mendukung transparansi didalam perambah
(browser) dan memiliki keindahan tersendiri yang tidak bisa diberikan GIF atau
bahkan JPG. Format PNG menggunakan teknik kompresi Loseless dan mendukung
kedalaman warna 48 bit dengan tingkat ketelitian sampling: 1,2,4,8, dan 16 bit.
Format ini memiliki alpha channel untuk mengkontrol transparency (Sutoyo, 2009).
2.3. Metode LSB (Least Significant Bit)
Metode LSB merupakan metode penyembunyian informasi dengan memodifikasi LSB
file carrier/cover. Modifikasi LSB dilakukan dengan memodifikasi bit terakhir dalam
satu byte data dengan bit informasi yang akan disembunyikan (Utami, 2009).
2.3.1. Metode Penyisipan LSB (Least Significant Bit)
Metode penyisipan LSB adalah penyisipan data pada setiap bytecover image pada bit
yang paling kurang berarti (Least Significant Bit atau LSB) (Jajoo, 2011). Misalnya
pada byte 00011001, maka bit LSB-nya adalah 1. Untuk melakukan penyisipan pesan,
bit yang paling cocok untuk diganti dengan bit pesan adalah bit LSB, sebab
pengubahan bit tersebut hanya akan mengubah nilai byte-nya menjadi satu lebih tinggi
atau satu lebih rendah. Sebagai contoh, urutan bit berikut ini menggambarkan 3 pixel
pada cover image 24-bit (Krisnawati, 2008).
00100111 11101001 11001000 00100111 11001000 11101001 11001000 00100111 11101001
Pesan yang akan disisipkan adalah karakter “A”, yang nilai biner-nya adalah 01000001, maka akan dihasilkan watermarking image dengan urutan bit sebagai berikut:
00100110 11101001 11001000
00100110 11001000 11101000
Ada dua jenis teknik yang dapat digunakan pada metode LSB, yaitu penyisipan
pesan secara sekuensial dan secara acak. Sekuensial berarti pesan rahasia disisipkan
secara berurutan dari data titik pertama yang ditemukan pada file gambar, yaitu titik
pada sudut kanan bawah gambar. Sedangkan acak berarti penyisipan pesan rahasia
dilakukan secara acak pada gambar, dengan masukan kata kunci (Laskar, 2013).
2.3.2. Metode Ekstraksi LSB (Least Significant Bit)
Metode ekstraksi LSB adalah pengambilan data penyisip dari setiap byte
watermarking image pada bit LSB) (Jajoo, 2011). Misalnya pada byte 00011001, maka
bit LSB-nya adalah 1.
00100110 11101001 11001000
00100110 11001000 11101000
11001000 00100111 11101001
Hasil pengambilan bit LSB di atas adalah 01000001, dan selanjutnya setiap 8
bit (1 byte) dikonversikan ke dalam ASCII menjadi karakter “A”. Demikian
selanjutnya sampai seluruh byte citra habis diproses.
2.4. Metode LSB +1 (Least Significant Bit +1)
Metode LSB +1 merupakan metode penyembunyian informasi dengan memodifikasi
LSB +1 file carrier/cover. Modifikasi LSB +1 dilakukan dengan memodifikasi bit
satu sebelum terakhir dalam satu byte data dengan bit informasi yang akan
disembunyikan.
2.4.1. Metode Penyisipan LSB+1 (Least Significant Bit+1)
Metode penyisipan LSB+1 adalah menyisipkan data pada setiap byte cover pada bit
nomor 2 setelah bit terakhir atau bit nomor kedua paling kanan (Nath, 2011). Sebagai
00100111 11101001 11001000 00100111 11001000 11101001 11001000 00100111 11101001
Pesan yang akan disisipkan adalah karakter “A”, yang nilai biner-nya adalah 01000001, maka akan dihasilkan watermarking image dengan urutan bit sebagai berikut:
00100101 11101011 11001000 00100101 11001000 11101001 11001000 00100111 11101001
2.4.2. Metode Ekstraksi LSB+1 (Least Significant Bit +1)
Metode ekstraksi LSB+1 adalah pengambilan data penyisip dari setiap byte
watermarking image pada bit kedua paing akhir atau kedua paling kanan (Nath, 2011).
Misalnya pada byte 00011001, maka bit LSB+1-nya adalah 0.
00100101 11101011 11001000 00100101 11001000 11101001 11001000 00100111 11101001
Hasil pengambilan bit LSB+1 di atas adalah 01000001, dan selanjutnya setiap
8 bit (1 byte) dikonversikan ke dalam ASCII menjadi karakter “A”. Demikian
selanjutnya sampai seluruh byte citra habis diproses.
Pada penelitian Nath (2011), bit penyisip disisipkan pada Least Significant Bit
(LSB) dan LSB +1 bit file cover. Adapun langkah penyisipan pada penelitian tersebut:
a. Untuk menyembunyikan satu (1) byte pesan rahasia kita memilih 4 byte
berturut-turut dari file cover dan kemudian masukkan bit di LSB dan LSB + 1 posisi.
b. Untuk menanamkan 1 byte informasi yang kita butuhkan 4 byte dari file penutup.
Sebagai contoh suatu file cover yang berisi 4 byte: 00101111 00011101 11011101
10100110. Misalkan ingin menanamkan nomor 245 dalam pola bit di atas.
Representasi biner dari 245 adalah 11110101.
Sebagai contoh untuk menanamkan bit ini, pola di atas 4 byte digunakan untuk
menanamkan 11110101 dan dipilih LSB + 1 bit di atas 4 byte dari file penutup. Tabel
2.2 menunjukkan hasil bagaimana bit disisipkan (Nath et al, 2011).
Tabel 2.2. Perubahan LSB dan LSB + 1 Bit dengan Bit Pesan Rahasia File Sebelum Diganti Sesudah Diganti Bit Disisip Keterangan
00101111 00101111 1,1 No change in bit Pattern 00011101 000111111 1,1 Change in bit pattern(i) 11011101 110111010 0,1 Change in bit pattern(i)
2.5. Algoritma MLSB (Modified Least Significant Bit)
Modified Least Significant Bit (MLSB) atau modifikasi dari Algoritma LSB
digunakan untuk meng-encode sebuah identitas ke dalam citra asli. MLSB
menggunakan manipulasi beberapa tingkat bit-bit penyisip sebelum meng-encode
pesan tersebut (Zaher, 2011).
Modifikasi pesan dengan algoritma MLSB dimana bit pesan yang seharusnya
1 karakter memiliki nilai 8 bit ASCII code akan dimodifikasi menjadi 5 bit. Pada
algoritma ini karakter dan angka direpresentasikan dalam 5 bit yang akan disisipkan
ke dalam citra asli dengan teknik LSB. Penyisipan dilakukan dengan proses-proses :
1. Proses mengubah data penyisip dengan kode ASCII. Misalnya pesan “STEGO with 05 bits” yang jika diubah ke biner membutuhkan memori sebesar 18 x 8 bit = 144 bit. Pada algoritma MLSB pesan di atas diubah menjadi ASCII (hex) menjadi: 5316,
5416, 4516, 4716, 4F16, 2016, 7716, 6916, 7416, 6816, 2016, 3016, 3516, 2016, 6216, 6916,
7416,7316. Kemudian dilakukan normalisasi dengan tabel Control Symbol seperti
Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Control Symbol
Hex Representation Operation
1B16 Define Small Letter
1C16 Define Capital Letter
1D16 Define Space
1E16 Define Number
2. Baca data penyisip (ASCII) sampai tanda spasi (2016) yaitu 5316, 5416, 4516, 4716,
0516, 0716, 0F16 dimana 1C16 adalah Control Symbol untuk huruf besar (capital).
5. Data penyisip kelompok kedua adalah 7716, 6916,7416, 6816 dikurangi dengan nilai
puluhan terendah (6016) menjadi 7716 6016= 1716, 6916 6016= 0916, 7416
6016= 1416, 6816 6016= 0816.
6. Data kelompok ke dua ini digabung dengan kelompok pertama dan diberi nilai
Control Symbol 1D16 (spasi) dan 1B16 (huruf kecil) menjadi 1D16, 1B16, 1716, 0916,
1416, 0816.
7. Data kelompok ketiga adalah: 3016, 3516 dikurangi dengan nilai terendah menjadi:
3016 3016= 0, 3516 3016= 0516.
8. Data tersebut digabung dengan kelompok sebelumnya ditambah dengan Control
Symbol 1D16 (spasi), 1E16 (nomor) menjadi 1D16, 1E16, 0016, 0516.
9. Data kelompok keempat adalah: 6216, 6916,7416,7316 dikurangi dengan nilai
terendah menjadi: 6216 6016= 0216, 6916 6016= 0916, 7416 6016= 1416, 7316
6016= 1316.
10. Data tersebut digabung dengan kelompok sebelumnya ditambah dengan Control
Symbol 1B16 (huruf kecil), menjadi 1D16, 1B16, 0216, 0916, 1416, 1316 dan akhir
data (1F16).
Sehingga pesan menjadi:
1C16, 1316, 1416, 0516, 0716, 0F16, 1D16, 1B16, 1716, 0916, 1416, 0816, 1D16, 1E16, 0016,
0516, 1D16, 1B16, 0216, 0916, 1416, 1316, 1F16.
Pesan diatas membutuhkan 23 x 5 bit = 115 bit dan diubah menjadi biner menjadi:
11100, 10011, 10100, 00101, 00111, 01111, 11101, 11011, 10111, 01001, 10100,
01000, 11101, 11110, 00000, 00101, 11101, 11011, 00010, 01001, 10100, 10011,
11111.
52 49 46 46 28
Nilai piksel citra di atas dikonversikan ke dalam biner menjadi sebagai berikut:
01010010 01001001 01000110 01000110 00101000 00001000 00000000 00000000 01010111 01000001 01010110 01000101 01000100 00010101 00101111 00111101 00011101 00101010 00000000 01001101 00000001 01111100 00000001 00010010 01000101 01101000 00000000 00000001 00010001 00000101
Penyisipan dilakukan pada setiap byte pada nilai biner paling belakang dimana pesan
yang disisipkan adalah 11100, 10011, 10100, 00101, 00111, 01111 seperti yang
diperlihatkan sebagai berikut:
01010011 01001001 01000111 01000110 00101000 00001001 00000000 00000000 01010111 01000001 01010111 01000100 01000101 00010100 00101110 00111100 00011100 00101011 00000000 01001101 00000000 01111100 00000001 00010011 01000101 01101000 00000001 00000001 00010001 00000101
Setelah penyisipan, representasi nilai piksel citra ter-watermark (grayscale)
diperliahtkan sebagai berikut:
Pada proses ekstraksi dengan algoritma MLSB dilakukan dengan cara:
1. Input citra ter-watermarking.
3. Pisahkan 1 bit terakhir dari setiap byte piksel citra kemudian dikelompokkan
menjadi 5 bit per blok.
4. Konversikan setiap blok ke dalam ASCII (hexadecimal).
5. Blok pertama dibandingkan dengan Control Symbol untuk mendefenisikan jenis
karakter berikutnya:
- Jika Control Symbol 1B16 maka setiap blok berikutnya yang bukan Control
Symbol di-XOR-kan 60.
- Jika Control Symbol 1C16 maka setiap blok berikutnya yang bukan Control
Symbol di-XOR-kan 40.
- Jika Control Symbol 1E16 maka setiap blok berikutnya yang bukan Control
Symbol di-XOR-kan 30.
- Jika Control Symbol 1Dh maka menyatakan spasi.
6. Langkah ke 3 sampai ke 5 diulangi sampai ditemukannya Control Symbol end of
the text (1F16).
7. Rekonstruksikan setiap blok data sebagai pesan rahasia.
Berikut contoh dari proses extraction pada citra ter-watermarking:.
01010011 01001001 01000111 01000110 00101000 00001001 00000000 00000000 01010111 01000001 01010111 01000100 01000101 00010100 00101110 00111100 00011100 00101011 00000000 01001101 00000000 01111100 00000001 00010011 01000101 01101000 00000001 00000001 00010001 00000101
1. Pisahkan 1 bit terakhir dari setiap byte piksel citra kemudian dikelompokkan
menjadi 5 bit per blok yang diperlihatkan sebagai berikut:
11100 10011 10100 00101 00111 01111
2. Konversikan setiap blok ke dalam ASCII (hexadecimal) menjadi:
3. Blok pertama yaitu 1C16 dibandingkan dengan Control Symbol yang merupakan
menandakan huruf kapital maka setiap blok berikutnya yang bukan Control
Symbol di-ZOR-kan 40 menjadi : 5316, 5416, 4516, 4716, 4F16.
4. Data yang terakhir inilah kemudian direkonstruksi sebagai teks penyisip (embed)
menjadi : S T E G O.
2.6. Mean Squared Error (MSE)
Mean Squared Error (MSE) digunakan untuk mengukur kinerja dari algoritma
steganografi/watermaking pada citra (Sutoyo, 2009). Citra asli dibandingkan dengan
citra tersisip (stego image/ watermark image) dengan memeriksa selisih nilai.
Perhitungan nilai MSE dari citra digital berukuran N x M piksel, dilakukan sesuai
dengan rumus pada persamaan (1).
... (1)
f(i,j) : menyatakan nilai piksel citra yang asli. f’(i,j) : merupakan nilai piksel citra hasil penyisipan. N.M : dimensi citra (piksel)
Nilai MSE yang besar, menyatakan bahwa penyimpangan atau selisih antara citra
hasil penyisipan dengan citra aslinya cukup besar.
2.7. Pembangkit Bilangan Acak (Random Number Generator)
Pembangkit Bilangan Acak atau Random Number Generator (RNG) adalah suatu
peralatan komputasional yang dirancang untuk menghasilkan suatu urutan nilai yang
tidak dapat ditebak polanya dengan mudah, sehingga urutan nilai tersebut dapat
dianggap sebagai suatu keadaan acak (random). RNG ini tidak dapat diterapkan dalam
prakteknya. Bilangan acak yang dihasilkan oleh komputer sekalipun tidak benar-benar
acak dan kebanyakan bilangan acak yang diterapkan dalam kriptografi juga tidak
benar-benar acak, tetapi hanya berupa acak semu. Ini berarti bahwa bilangan acak
bilangan acak sering dibangkitkan dengan menggunakan pembangkit bilangan acak
semu atau Pseudo Random Number Generator (PRNG) (Haahr, 2009).
2.7.1. Pembangkit Bilangan Acak Semu
Pembangkit Bilangan Acak Semu atau Pseudo Random Number Generator (PRNG)
merupakan suatu algoritma yang menghasilkan suatu urutan nilai dimana
elemen-elemennya bergantung pada setiap nilai yang dihasilkan. Output dari PRNG tidak
betul-betul acak, tetapi hanya mirip dengan properti dari nilai acak. Hal inididukung
oleh penelitian sebelumnya. menyimpulkan dari beberapa algoritma untuk
membangkitkan bilangan acak semu, tidak ada yang benar-benar dapat menghasilkan
bilangan acak secara sempurna dalam arti benar-benar acak dan tanpa ada perulangan
selama pembangkit yang digunakan adalah komputer yang memiliki sifat
deterministik dan bilangan yang benar-benar acak hanya dapat dihasilkan oleh
perangkat keras (hardware). Menurut, pembangkit bilangan acak yang cocok untuk
kriptografi dinamakan Cryptographically Secure Pseudorandom Number Generator
(CSPRNG) (Dodis, 2010).
Persyaratan CSPRNG adalah:
1. Terlihat acak. Artinya mampu melewati uji statistik keacakan.
2. Tidak dapat diprediksi. Perhitungan secara komputasional tidak dapat
mempengaruhi prediksi bilangan acak selanjutnya yang telah diberikan algoritma
secara menyeluruh ataupun dari dibangkitkan dari mesin (komputer).
3. Tidak mampu diproduksi kembali. Jika pembangkit bilangan acak mampu
dibangkitkan dua kali dengan input yang sama akan memperoleh hasil acak yang
berbeda satu dengan lainnya.
Meskipun demikian, pada dasarnya bilangan acak yang diperoleh bukanlah
bilangan acak yang sesungguhnya, maka supaya lebih menyerupai bilangan acak,
mengatakan beberapa syarat penting yang harus dipenuhi olehbilangan acak adalah
1. Dapat diulang. Sekumpulan (barisan) bilangan yang sama harus bisa diperoleh
(diulang) dengan menggunakan seed yang sama, hal ini kadang-kadang diperlukan
untuk pemeriksaan dan penelusuran program (debugging).
2. Keacakan. Barisan bilangan harus memenuhi syarat keacakan secara seragam
(uniform) yang dapat diuji melalui uji statistika.
3. Periode panjang. Karena pada dasarnya bilangan acak itu merupakan barisan
berulang dengan berbagai periode, maka periode pengulangan harus sangat besar
atau lama melebihi banyaknya bilangan acak yang diperlukan. Tidak peka seed.
Sekalipun barisan bilangannya bergantung pada seed tetapi sifat keacakan dan
periodisasi sedapat mungkin tidak bergantung pada seed-nya.
Secara umum, sebuah PRNG didefinisikan sebagai algoritma kriptografi yang
digunakan untuk menghasilkan bilangan secara acak. Pengertian acak sendiri adalah
bilangan yang dihasilkan dalam setiap waktu tidaklah sama. Sebuah PRNG memiliki
sebuah kondisi awal K yang rahasia. Saat digunakan, PRNG harus membangkitkan
output acak yang tidak dapat diidentifikasi oleh kriptanalis yang tidak tahu dan tidak
dapat menebak kondisi awal K. Dalam hal ini, PRNG memiliki kesamaan dengan
cipher aliran. Akan tetapi, sebuah PRNG harus mampu mengubah kondisi awalnya
dengan memproses input sehingga tidak dapat diprediksi oleh kriptanalis.
Umumnya PRNG memiliki kondisi awal yang tidak sengaja dapat ditebak oleh
kriptanalis dan harus mengalami banyak proses sebelum kondisinya rahasia dan aman.
Patut dipahami bahwa sebuah input untuk PRNG memiliki informasi rahasia yang
tidak diketahui oleh kriptanalis. Input-input ini umumnya diperoleh dari proses-proses
fisik, interaksi user dengan mesin, atau proses eksternal lain yang sulit diprediksi.
Dalam desain dan implementasi harus dapat dipastikan bahwa input-input ini memiliki
cukup jaminan keamanan dan kerahasiaan.
Kebanyakan algoritma dari PRNG ditujukan untuk menghasilkan suatu sampel
yang secara seragam terdistribusi. PRNG ini sering digunakan dalam kriptografi pada
proses pembentukan kunci dari metode kriptografi. Tingkat kerumitan dari PRNG ini
digunakan maka semakin tinggi tingkat keamanan dari metoda kriptografi. Skema
Dasar PRNG dapat dilihat seperti pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8 Skema Dasar PRNG (Dodis, 2010)
Semua deretan bilangan acak yang dibangkitkan dari rumus matematika, serumit
apapun, dianggap sebagai deret acak semu, karena dapat diulang pembangkitannya.
Sementara itu, banyak produk software yang dinyatakan sebagai produk yang aman
karena menggunakan bilangan acak semacam OTP (One Time Pad). Namun karena
OTP ini dibangkitkan dari bilangan acak semu, maka keamanan yang diperoleh juga
semu. Pembangkit bilangan acak yang sering diimplementasikan adalah Linier
Congruential Generator (LCG) dan Linear Feedback Shift Register (LFSR).
2.7.2. Linear Congruential Generator (LCG)
Linear Congruential Generator (LCG) mewakili salah satu algoritma pseudo random
number yang tertua dan paling populer. Algoritma ini diciptakan oleh D. H. Lehmer
pada tahun 1951. Teori dari algoritma ini mudah dipahami dan dapat
diimplementasikan secara cepat, hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya. (Munir,
2011) yang menyimpulkan hasil analisis yang diperoleh bahwa dari segi kecepatan
LCG membutuhkan waktu yang paling pendek dalam menghasilkan bilangan acak
dibandingkan dengan metode lain. Keuntungan dari LCG adalah operasinya yang
sangat cepat. LCG dapat didefinisikan dengan rumusan berikut:
= (a. +1 + b) mod m PRNG
Dimana :
= bilangan acak ke-n dari deretnya −1 = bilangan acak sebelumnya a = faktor pengali
b = increment
m = modulus (batas maksimum bilangan acak)
(a,b, dan m semuanya konstanta LCG)
Penentuan nilai awal 0 atau −1 dan konstanta (a, b, dan m) akan
menentukan kualitas bilangan acak yang dihasilkan. Bilangan acak yang baik (pada
umumnya) apabila terjadinya perulangan atau munculnya bilangan acak yang sama,
dapat terjadi setelah sekian banyak pembangkitan bilangan acak (semakin banyak
akan semakin baik) serta tidak bisa diprediksi kapan terjadi perulangannya. Periode
dari LCG umumnya adalah sebesar nilai m. Masalah pada LCG adalah lower order bit
yang digenerasi mempunyai periode yang lebih pendek dari deretan secara
keseluruhan jika m di-set menjadi pangkat 2. Tanpa desain yang benar, dengan m
yang sangat besar, bisa jadi periode bilangan acak yang dihasilkan tidak akan
maksimal, bahkan mungkin jauh lebih pendek daripada periode maksimalnya.
Kunci pembangkit adalah 0 yang disebut umpan (seed). LCG mempunyai
periode tidak lebih besar dari m. Jika a, b, dan m dipilih secara tepat (misalnya b
seharusnya relatif prima terhadap m dan b < m ), maka LCG akan mempunyai periode
maksimal, yaitu m – 1. Sebagai contoh : Untuk membangkitkan bilangan acak
sebanyak 10 kali dengan a=13, b=7, m=11, dan 0 = 2. Dengan menggunakan rumus