KONFLIK DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
PENDERITA HIV/AIDS DALAM MENGGUNAKAN OBAT
ARV
Oleh:
BACHTIAR SUGIARTO
9919016098
FAKUL TAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Skripsi
Diqiukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenu!ti
Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Pembimbing I
Oleh
BACHTIAR SUGIARTO
Nll'.1: 9919016098
Di Bawah Bimbingan
セヲ。WW⦅セセオR@
Pembimbing II
セ@
Ors. Sofiandy Zakaria, M.Psi.T
Dra. Fivi Nurwianti, M.Si
Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatl!Hah
Jakarta
dalam Sidang Munaqayah Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 September 2004. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.
Jakarta, 9 September 2004
Sidang Munaqasyah
Ketua mer 9gkap anggota
Ora. e artati M. Si ah M. Psi
nipNセ@ 0215938 38773
Anggota
Penguji I Penguji II
dイ。|ZセNウ[@
Ors. Sofiandy Zakaria, M. Psi.TNIP. 150215283
Pembimbing I Pembimbing II
セセ@
kesabaran, kekuatan, keyakinan, kesehatan dan rasa optimisme sehingga
penulis dapat meyelesaikan skripsi ini, meski prosesnya tak semudah dari
apa yang diperkirakan sebelumnya.
Shalawat dan salam kepada Baginda Rasulullah SAW, keluarga dan para
sahabatnya yang telah memberi warna dan cahaya dalam Islam sebagai
agama yang di Ridhoi-Nya.
Penyusunan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi persyaratan mencapai
gelar Sarjana Psikologi, selama penyusunan hingga selesainya skripsi ini
tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak.
Peneliti selaku penulis merasa tidaklah mudah untuk menyajikan sebuah
skripsi sebab sebagaimana yang penulis alami pada saat ini, penyusunan ini
banyak menemui kendala-kendala yang penulis hadapi.
Terlepas dari semua itu, penulis sadar bahwa tiada gading yang tak retak,
masih banyak kekurangan-kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karna itu
Dekanat dan Staf Tata Usaha Fakultas Psikologi yang telah membantu
penulis dalam proses akademik.
2. Dasen Pembimbing I. Bapak Ors. Sofiandy Zakaria, M.Psi.T, dan dosen
pembimbing II lbu Ora. Fivi Nurwianti , M. Si atas arahan, saran dan
bimbingannya yang tutus kepada penulis selama proses pembuatan
skripsi berlangsung.
3. Pihak YPI yang telah membantu proses perizinan dan mba juju, serta I
rekan -rekan yang bersedia untuk diwawancarai.
4. Ayahanda dan Bunda tercinta atas doa dan dukungannya kepada penulis
secara moril maupun materil. Semoga Allah mencintai kita semua dan
segenap pengorbanan selama ini menjadi amal shaleh kelak.
5. Kakakku Mas Pray yang sangat baik disaat kesulitan dan adik
perempuanku Prima Setiana Dewi . Be the best for your life.
6. Teman - teman angkatan 99 semoga tali ukhuwah diantara kita tetap
terjaga.
7. Iqbal, lpul, Nabil, Ila, Novi, Bowo, Ari, dan temen - temen kelas lainnya.
Serta berbagai pihak yang telah membantu proses penelitian hingga dapat
menjadi sebuah karya tulis; dan dapat bermanfaat bagi mahasiswa
khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Jakarta, 30 Agustus 2004
Kata Pengantar
Daftar lsi
Daftar Tabel
Daftar Grafik
BAB I
BAB II
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Pembatasan Masalah
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
D. Sistematika Penulisan
TINJAUAN TEORI
A. Konflik
1. Pengertian Konflik
2. Tipe-tipe Konflik
B. Pengambilan Keputusan
1. Pengertian Pengambilan Keputusan
2. Strategi Pengambilan Keputusan
3. Tahap - tahap Pengambilan Keputusan
C. HIV/AIDS
1. Pengertian HIV/AIDS
BAB Ill
BABIV
4.
Orang Dengan HIV/AIDS5.
VCT (Voluntary Counseling and Testing) danTes HIV/AIDS
D. Obat HIV/AIDS (ARV:Anti Retroviral)
E. Konflik dan Pengambilan Keputusan Penderita
HIV/AIDS untuk mulai menggunakan Obat ARV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi dan Subjek Penelitian
B. Teknik Pengumpulan Data
C. lnstrumen Pengumpulan Data
D. Analisis Data
E. Tahapan Penelitian
HASIL PENELITIAN
A.
B.
Gambaran Umum subjek
Penyajian dan Analisis Data
1. Kasus Fraz
2. Kasus Adi
3. Kasus Yos
C. Perbandingan antar kasus
1. Gambaran Umum Subjek Penelitian
BABV
Daftar Pustaka
Lampiran
3. Dinamika Konflik dan Pengambilan Keputusan
untuk mulai menggunakan Obat ARV 141
PENUTUP
A. Kesimpulan
148
B. Diskusi
151
1. Gambar kasus Franz
2. Gambar kasus Adi
3. Gambaran Kasus Yos
4. Tabel IV.1 Tabel latar belakang umum subjek
100
121
135
82
136
5. Tabel IV.2 Pengalaman subjek untuk menggunakan ARV 139
6. Tabel IV.3 Tabel Konflik Approach - Avoidance 142
7. Tabel IV.4 Tabel Pengambilan Keputusan: Tahapan -tahapan
Menggunakan Obat ARV
E) xi + 158 + lampiran
F) Hidup dengan kondisi terinfeksi HIV adalah tidak mudah. Kondisi ini
bertambah berat bila orang yang telah terinfeksi menjadi parah atau harus menggunakan obat ARV. Obat ARV dapat mencegah efek buruk dari virus HIVyaitu kematian, namun demikian obat ini memiliki keterbatasan
-keterbatasan. Obat ini memiliki efek positif sekaligus efek negatif. Hal inilah yag mendorong peneliti untuk mencari jawaban atas pertanyaan penelitian yang diajukan yaitu :
1. Bagaimanakah proses konflik terjadi pada penderita HIV/AIDS dalam pengambilan keputusan untuk memulai menggunakan obat ARV? 2. Mengapa sebagian penderita HIV/AIDS memutuskan untuk mulai
mengkonsumsi ARV padahal cukup banyak prosedur, efek samping dan resiko yang harus diterima?
Penelitian in menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu dengan studi kasus. Subjek dalam penelitian in berjumlah tiga orang, terdiri dari dua orang yang telah menggunakan ARV dan satu orang yang belum
menggunakan ARV. Penelitian ini menggunakan dua macam instrumen penelitian yaitu pedoman wawancara dan pedoman observasi. Dalam menganalisis data-data yang diperoleh peneliti menggunakan analisis pendekatan kualitatif.
Dari hasil penelitian ini diperoleh hasil bahwa alasan subjek menggunakan ARV adalah faktor kondisi yang telah mendesak dan agar terhindar dari resiko terburuk yaitu kematian. Sementara subjek yang belum
menggunakan ARV adalah karena belum disarankan dokter dan meyakini serta telah menjalani pengobatan altematif selain ARV. Setelah subjek terinfeksi menimbulkan efek sosial, ekonomi dan psikologis pada diri subjek. Setelah subjek disarankan atau diharuskan menggunakan ARV, subjek mengalami konflik karena kondisi dilematis. Subjek ingin hidup panjang tanpa ARV tapi dalam analisis dokter kecil kemungkinannya, sedangkan biila menggunakan ARV artinya siap dengan konsekuensi -konsekuensinya. Konflik ini dijelaskan berdasarkan teori Kurt Lewin yaitu konflik Appoarch-Avoidance atau mendekat - menjauh. Konflik ini
hasil yang paling diinginkan tanpa memperdulikan resiko yang nantinya diterima. Dua subjek memilih menggunakan ARV dan satu subjek tidak untuk mengatasi masalah atau mencapai keinginan. Subjek yang
menggunakan ARV tidak menyesal atas keputusannya bahkan bersyukur dengan kondisi kesehatannya sekarang. Di masa datang ke dua subjek ini akan terus menggunakan ARV dan membantu teman-temannya yang telah disarankan menggunakan ARV untuk mendapatkan ARV seperti mereka. Subjek lain yang belum menggunakan ARV menemukan cara lain selain ARV, ia senang dengan kondisi sekarang dan berharap kondisinya tidak berubah bahkan bertambah baik. Di masa datang ia akan terus dengan pengobatan alternatif seperi sholat tahajud, ruqyah, dzikir dan obat-obatan tradisional
A. Latar Belakang
Era globalisasi telah datang, itulah anggapan bagi banyak orang. Pada
kenyataannya bahkan sejak beberapa tahun lalu sebenarnya Indonesia telah
masuk ke dalam era globalisasi, hal ini bisa dicontohkan dengan Indonesia
sejak lama telah menggunakan tenaga kerja asing, produk-produk asing,
jasa-jasa asing dan budaya asing telah banyak mempengaruhi sebagian
masyarakat Indonesia. Selain itu telah banyak perusahaan - perusahaan
asing berdiri di Indonesia sejak lama. Era Globalisasi terutam_a globalisasi
informasi merupakan era keterbukaan segala macam bentuk akses hasil akal
budi manusia seperti teknologi, informasi, pendidikan, budaya, barang
-barang dan jasa-jasa. Globalisasi menyebabkan keseragaman antar bangsa,
sesuatu yang dianggap maju atau berguna akan diikuti atau ditiru oleh
bangsa lain.
Di era globalisasi ini segala yang bermunculan di belahan bumi manapun
dapat sangat singkat kita ketahui. Dunia tidak lagi terlihat jauh dan terpisah.
keadaan anggota keluarga lainnya. Dalam era globalisasi, jarak bukan
menjadi kendala lagi, karena produk teknologi dapat mengantarkan kita
kemanapun dan dapat memberikan informasi apapun yang kita inginkan
dalam waktu singkat.
lnformasi terkini tentang penyakit yang kian berkembang salah satunya
adalah penyakii AIDS dan penelitian ini berkenaan dengan penyakit AIDS
namun dari segi psikologis. Sejak lama kita telah mendengar tentang
informasi penyakit AIDS yang menjangkit negara lain dan belum ada di
Indonesia. Namun sekarang kita merasa penyakit ini sangat dekat berada di
sekeliling kita, bahkan AIDS merupakan ancaman yang sangat mungkin telah
\.
masuk ke dalam rumah kita.
Seiring berkembangnya dunia pengobatan, semakin banyak ditemukan pula
jenis- jenis penyakit atau jenis - jenis virus baru. Dahulu orang tidak
mengenal AIDS, flu burung, penyakit Lupus dan penyakit sapi gila. Sekarang
penyakit ini sangat dikenal masyarakat di negara manapun dan telah menjadi
masalah dunia. Wabah penyakit dapat menembus batas- batas negara
seiring dengan mobilisasi makhluk seperti manusia, hewan dan
tumbuh-tumbuhan sebagai agen penularan. Cukup banyak penyakit yang pada jaman
dahulu sangat mematikan namun kini telah ditemukan obatnya seperti TBC,
Dalam pandangan agama manusia diciptakan untuk diuji kesabaran dan
ketaatan kepada Allah AWT. Ujian pada manusia bermacam - macam, salah
satunya melalui penyakit yang dideritanya. Ujian ini untuk menilai tingkat
kesabaran dan keikhlasan kepada Allah SWT. Seperti dalam hadis
disebutkan:"Dan sesungguhnya bila Allah SWT mencintai suatu kaum,
dicobanya dengan berbagai cobaan. Siapa yang ridha menerimanya maka
dia akan menerima keridlaan Allah, dan barangsiapa yang murka {tidak
ridha), dia akan memperoleh kemurkaan Allah. {H.R. lbnu Majah dan
Tarmidzi) dan dalam al Quran dijelaskan," Berilah khabar gembira kepada
orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah
mereka mengucapkan:" sesungguhnya kami milik Allah,dan kepadanya-Nya
kami kembali". {Q.S. Al Baqarah 155-156)
Salah satu hikmah diturunkan penyakit pada diri seseorang adalah untuk
mengurangi dosa-dosa yang telah ia lakukan dan agar kembali ingat kepada
Allah. Hal ini seperti dijelaskan dalam hadis, 'Tidak ada suatu musibah yang
menimpa seorang mukmin walaupun hanya tertusuk duri bahkan lebih dari
itu, kecuall Allah tingkatkan derajatnya dan dihapuskan
dosanya".{H.R.Muslim). Setiap penyakit yang diturunkan Allah pasti disertai
obatnya, banyaknya orang menderita penyakit dan tidak kunjung sembuh
dikarenakan belum menemukan obatnya dan Allah belum mengangkat
"Berobatlah kamu, karena Allah Ta'ala tidak mendatangkan penyakit
melainkan telah mendatangkan pula obatnya. Hanya satu penyakit yang tidak
ada obatnya, yakni tua". (H.R.Ahmad) dan hadis,"Bagi tiap-tiap penyakit ada
obatnya, maka kalau bertemu penyakit dengan obatnya sembuhlah ia
dengan izin Allah". (H.R. Muslim)
Permasalahan berkembangnya suatu wabah penyakit di suatu negara dapat
mempengaruhi ketidakstabilan negara lain baik itu dalam hal ekonomi
maupun sosial politik. Hal ini menarik untuk dikaji artinya kita tidak bisa diam
I
saja melihat fenomena berkembangnya suatu penyakit atau virus pada suatu
negara tertentu karena dalam waktu sangat dekat penyakit atau virus
tersebut akan ada di negara kita. Globalisasi seharusnya menyebabkan kita
peduli dengan kondisi negara lain.
Salah satu hal yang sangat menarik adalah perkembangan penyakit
HIV/AIDS yang merupakan penyakit yang paling ditakuti penyebarannya.
Laju penyebaran HIV/AIDS sejalan dengan globalisasi, dengan mudahnya ia
masuk kesuatu negara dan berkembangbiak berlipat - lipat dalam tubuh
manusia. Virus HIV/AIDS ini jika telah masuk kedalam tubuh manusia maka
selamanya tubuh itu tak akan lepas dari virus tersebut dan hampir semua
orang yang telah terinfeksi HIV/AIDS berujung pada kematian yang
Cara kerja virus HIV/AIDS adalah dengan memakan sel darah putih
inangnya(manusia) dimana sel darah putih ini berfungsi sebagai zat anti bodi
pelindung tubuh dari benda benda asing yang masuk kedalam tubuh seperti
virus, bakteri dan penyebab penyakit lainnya. Se! darah putih akan melawan
dengan membunuh benda- benda asing tersebut sehingga organ vital pada
diri manusia terlindungi. Tentu bisa dibayangkan bila orang tanpa memiliki sel
darah putih tentu benda - benda asing (virus, kuman - kuman, bakteri) akan
merajalela merusak tubuh.
Sampai saat ini pendemi AIDS global tidak menunjukkan tanda - tanda
mereda, 5 juta orang terinfeksi HIV di seluruh dunia dan 3 juta Jainnya telah
meninggal dan ini merupakan angka tertinggi selama ini. Angka ini
dilaporkan dalam "AIDS Epidemic Update 2003", laporan yang lebih
mendalam pada global HIV/AIDS Epidemic oleh Joint United Programme on
HIV/AIDS (UNA/OS) dan World Health Organitation (WHO) dalam hari AIDS
sedunia baru-baru ini tanggal 1 Desember.(Support, 2003:34).
Menurut laporan terbaru, diperkirakan 40 (antara 34 dan 46) juta orang hidup
dengan HIV diseluruh dunia, termasuk 2,5 (antara 2, 1 dan 2,9) juta
anak-anak dibawah umur 15 tahun. Secara global, diperkirakan 5 (4,2- 5,8) juta
orang baru terinfeksi dan 3 (2,5 - 3,5) juta orang meninggal karena AIDS di
terhitung lebih 3 juta orang terinfeksi baru dan telah terjadi 2,3 juta kematian
karena AIDS. Setiap hari di tahun 2003 diperkirakan 14 ribu orang terinfeksi
oleh HIV. Lebih dari 95 % dari mereka berada dalam negara berpenghasilan
rendah dan menengah. (Support , 2003: 34).
Pendataan perkembangan AIDS di Indonesia yang belum begitu jelas ini
dikarenakan lokasi penyebaran yang sangat luas dan banyaknya kasus yang
tidak melapor. Atau kasus penderita HIV baru diketahui setelah penderita
mau dirawat karena gejala HIV/AIDS sudah demikian tampak namun dapat
diperkirakan saat ini terdapat 130.000 Odha di seluruh Indonesia (meskipun
jumlah yang dilaporkan hanya 3.492 Odha hingga September 2003.(Support,
2003).
Seiring jumlah penderita HIV/AIDS yang bertambah dengan pesatnya, telah
ditemukan obat HIV/AIDS yang disebut obat ARV (Antiretroviral). ARV adalah
obat yang berfungsi menghambat replikasi (penggandaan diri) HIV.
Terapi (ART) dengan mengkombinasikan beberapa obat ARV bertujuan
untuk mengurangi viral load uumlah virus dalam darah) agar menjadi sangat
イ・ョ、。セ@ atau dibawah tingkat yang dapat terdeteksi untuk jangka waktu yang
Mulai menggunakan ARV bukanlah hal yang mudah karena Obat ARV tidak
dijual bebas dan harus dengan izin dokter khusus dan bimbingan konselor.
Namun dalam dunia medis pengobatan terbaik dan termaju untuk menangani
virus HIV/AIDS adalah dengan terapi obat ARV ini. Di negara maju umumnya
telah menggunakan obat ARV untuk mengobati HIV/AIDS. Walaupun
demikian, pengobatan seperti vitamin - vitamin tertentu dan juga pengobatan
tradisional baik itu berupa ramu-ramuan, terapi pijat, akupuntur, tenaga
dalam dan segala bentuk cara pengobatan diluar standar medis tetap bisa
menjadikan pilihan bagi beberapa penderita terutama penderita yang tidak
memiliki biaya yang cukup atau yang tidak memiliki akses untuk
mendapatkan obat ini. Tidak sedikitjuga orang yang telah terinfeksi HIV/AIDS
pasrah dengan nasibnya sehingga ia enggan berobat apalagi mereka
mengetahui cepat atau lambat mereka akan meninggal juga .
Pengambilan k9putusan untuk mulai menggunakan ARV harus didiskusikan
dengan beberapa pihak antara lain pihak dokter, konselor atau pendamping,
dan pihak keluarga. Pengambilan keputusan tidak dapat langsung diputuskan
karena harus mendengarkan beberapa pendapat dari pihak tersebut, selain
itu juga banyak hal- hal yang dipertimbangkan seperti besarnya biaya, efek
samping dari penggunaan obat ARV yang terus menerus. Pengambilan
keputusan mulai menggunakan ARV juga harus mempertimbangkan
memberantas virus, jenis HIV yang resisten sering muncul terutama jika
kepatuhan pasien pada terapi tidak hampir sempuma (95 % atau lebih).
Kegagalan lebih mungkin terjadi pada tahap penyakit yang sudah lanjut.
Kepatuhan pada terapi jangka panjang adalah sulit; semakin lama kepatuhan
cenderung semakin menurun. Selain itu penularan HIV melalui perilaku yang
beresiko dapat terus terjadi dan efek samping jangka pendek sering terjadi.
(Depkes RI, 2003)
Penggunaan ARV atau terapi antiretroviral di negara maju menyebabkan
penurunan drastis morbiditas dan mortalitas akibat AIDS serta menimbulkan
pemulihan kembali sistem kekebalan tubuh. Peningkatan jumlah CD4
rata-rata 100 - 200 pada tahun pertama. Pasien dengan kemajuan seperti ini
dapat menghentikan profilaksis primer atau sekunder unruk beberapa infeksi
oportunistik.(Depkes RI , 2003).
Ada beberapa perbedaan antara negara kita dengan negara maju mengenai
akses obat ARV ini. Di negara maju produksi ARV telah sangat masa1 dan
harganya terjangkau sehingga akses terhadap obat ini mudah. Selain itu
sistem penanganan di rumah sakit telah terbangun dengan baik serta
partisipasi masyarakat sangat positif baik itu dalam hal upaya pencegahan
maupun kepedulian dalam berbagai bentuk terhadap penderita HIV/AIDS.
Of
terapi ARV adalah disiplin diri dalam masa terapi yang berlanjut terus
menerus seumur hidup. Sementara di negara kita baru pada tanggal 8
Desember 2003 obat ARV dapat di produksi sendiri yaitu oleh PT. Kimia
Farma. Obat ini semakin mudah didapat dan dengan harga yang lebih
terjangkau yaitu berkisar Rp.400.000 - Rp.600.000 untuk konsumsi sebulan.
Sebelumnya, sejak tahun 2001 Odha membeli obat ARV generik import dari
India seharga Rp. 650.000, melalui Pokdisus AIDS FKUl/RSCM Jakarta.
Beberapa tahun sebelumnya hanya sedikit Odha yang mampu membeli ARV
jenis paten karena harganya luar biasa mahal yaitu, 4 - 6 juta rupiah per
bulan. (Support, 2003). Namun demikian obat ARV masih berpusat di kota
-kota besar saja dan penanganan terapi harus dilakukan di rumah sakit besar
di kota atau klinik - klinik yang fokus untuk menangani kasus HIV/AIDS.
Dalam hal harga obat dan biaya terapi masih dirasakan sangat mahal bagi".
sebagian besar penderita HIV/AIDS di Indonesia apalagi bila ditambah
dengan biaya untuk obat - obatan penyakit oportunistik. Biasanya
pengobatan untuk penyakit - penyakit lainlah yang menyebabkan biaya
pengobatan behambah mahal.
Ketika seseorang diharuskan untuk mengikuti terapi ARV mungkin yang
pertama kali terlintas adalah mahalnya harga, sulitnya mendapatkan obat
ditambah lagi besamya biaya pengobatan untuk infeksi oportunistik dari HIV
dan juga efek samping dari ARV. ARV ini sebagai obat penekan jumlah virus
dalam tubuh jLlga mempunyai efek samping yang berbeda bagi setiap
individu penggunaanya seperti muntah-muntah, gatal-gatal dan sebagainya.
Untuk itu penggunaan ARV harus benar-benar dikontrol baik oleh pihak
keluarga maupun dokter, maka penggunaan obat ARV harus benar- benar
dari resep dokter dan tidak bisa menggunakan fotocopy resep hal ini karena
kerasnya efek samping obat ARV. (Support, 2003)
Pengguna obat ARV tidak hanya berdomisili di Jakarta saja atau di kota
besar saja, tapi juga di luar Jakarta atau di pedesaan. Penderita HIV/AIDS
yang berasal dari luar Jakarta karena keterbatasan tenaga medis harus
menebus resep ke dokter yang ada di Jakarta atau dokter yang ada di kota
besar. Kesemuanya itu selain memakan biaya yang besar juga check up
untuk terapi ARV harus terus menerus dan harus di bawah pengawasan
dokter yang ahli dalam bidang HIV/AIDS.
Terdeteksinya seseorang terinfeksi HIV/AIDS menimbulkan konflik yang
sangat besar dalam diri penderita bahkan sampai pada keadaan konflik
memilih antara terus menjalankan hidup ini atau berakhir disini saja (putus
asa yang dapat berujung pada tindakan bunuh diri). Hampir semua orang
mereka alami. Seakan - akan Tuhan telah berlaku tidak adil pada diri
mereka.Sering timbul pemberontakan dalam diri penderita HIV/AIDS seperti
mengasingkan diri, menutup diri dari pergaulan, tidak mau makan, tidak lagi
menjalankan usaha atau pekerjaan karena stress atas nasib yang
menimpanya .
Setelah penderita HIV/AIDS berusaha menerima dirinya kembali, timbul
upaya untuk menjalani pengobatan walau mereka tahu bahwa penyakit yang
mereka terima secara medis belum ada obatnya. Obat tercanggih saat ini
hanya berfungsi memperfambat perkembangan virus. Bagi sebagian
penderita HIV/AIDS lainnya meyakini bahwa segala penyakit pasti ada
obatnya dan mereka berusaha terus mencari obat atau orang yang memiliki
kemampuan mengobati.
Pengobatan dengan terapi ARV memiliki resiko mulai dari ringan hingga
berat, namun tidak menggunakan ARV pun penuh resiko, mencari cara
pengobatan lain yang belum jelas hasil risetnya atau pembuktiannya juga
jauh beresiko. Bahkan menjadi kekonyolan apalagi penderita HIV/AIDS tidak
berobat sama sekali, tidak berbuat apa-apa itu bisa dikatakan pasrah pada
nasib dan membiarkan tubuh berjuang sendiri dengan anti bodinya yang
pada kenyataannya antibodi tersebut habis sedikit demi sedikit dimakan oleh I
Pilihan menjalankan terapi ARV ini biasanya akan menimbulkan konflik.
Penderita HIV Positif harus terus mengkonsumsi ARV seumur hidup, terus
mengeluarkan biaya tidak hanya untuk obat ARV namun juga untuk tenaga
konselor, tenaga dokter dan pengobatan efek samping dari obat ARV dan
infeksi oportunistik akibat virus HIV. Proses pengobatan yang sepanjang I
hayat dapat menambah rasa bersalah kepada banyak pihak terutama kepada
keluarga karena harus terus menyiapkan dana untuk pengobatan seumur
hidup. Hal ini sangat terasa pada keluarga yang kurang mampu ataupun
keluarga ekonomi menengah.
Selain itu yang menjadi pertimbangan lagi adalah ketatnya proses terapi.
Terapi ini memerlukan tingkat kepatuhan yang tinggi, obat harus terus
diminum pada jangka waktu tertentu dan itu dilakukan seumur hidup.
Penderita HIV Positif harus terus berada dibawah bimbingan konselor dan
dokter artinya ia harus terus melapor secara berjangka. Kegiatan pelaporan
ini baik itu ke dokter atau ke konselor bisa menjadi rutinitas yang bisa saja
membosankan. Melihat tingginya resiko yang harus dipikul maka dalam
memulai terapi ARV sangat diperlukan dukungan dari keluarga dan
umumnya faktor keluarga merupakan faktor terbesar bagi penderita HIV
Positif untuk mau bangkit dan berdamai dengan penyakitnya dan berusaha
hidup positif serta produktif mengisi " sisa-sisa " hidupnya. Alangkah
anggota keluarga terdeteksi HIV Positif sudah tidak menghiraukan karena
alasan aib keluarga, membuat malu dan sebagainya.
Melihat besarnya manfaat dari obat ARV namun harus menerima
konsekuensi yang harus dipikul membuat penderita HIV/AIDS berada dalam
situasi konflik. Sangat mungkin konflik seputar penggunaan ARV akan terus
muncul sepanjang hidup karena konsumsi ARV terus menerus menyebabkan
masalah - masalah yang tidak sedikit seperti masalah ekonomi, masalah
kedisiplinan atau kebosanan dalam menjalankan terapi, masalah kelangkaan
keters·ediaan obat ARV di Indonesia, masalah resistensi virus dan masalah
penyakit oportunistik serta penyakit -penyakit lainnya. Manfaat dan
konsekuensi dari penggunaan ARV menyebabkan kondisi dilematis bagi
penderita HIV/AIDS. Kebutuhan ARV harus dibayar mahal dengan
konsekuensi - konsekuensi yang harus ditanggung oleh penderita HIV/AIDS.
Problem pada masing - masing subjek sangat mungkin berbeda-beda karena
latar belakang kondisi yang berbeda - beda. Misalkan saja penderita
HIV/AIDS di negara maju seperti di Amerika Serikat mungkin tidak begitu
mempermasalahkan ketersediaan obat ARV karena produksi ARV disana
sangat melimpah dan dari segi ekonomi dana untuk terapi ARV sangat
terbantu dengan intervensi pemerintah atau bahkan pemerintah memberikan
dalam rangka pengobatan dan menunjang kelangsungan kehidupan
penderita HIV/AIDS.
Kondisi penderita HIV/AIDS di Indonesia tentu sangat menarik karena
perbedaan serta keunikan latar belakang baik itu ekonomi, budaya, karakter
dan kebijakan - kebijakan pemerintah yang ada. Begitu banyaknya
permasalahan seputar terapi ARV menyebabkan peneliti tertarik meneliti hal
ini, yaitu mengenai bagaimana penderita HIV/AIDS mengatasi konflik dan I
mengambil keputusan untuk memulai menggunakan ARV sebagai pilihan
terapi untuk menemaninya sepanjang hidup.
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
1. Perumusan Masalah
Berdasar latar balakang tersebut di atas, perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah proses konflik terjadi pada penderita HIV/AIDS dalam
pengambilan keputusan untuk memulai menggunakan obat ARV? Untuk
menjawabnya pembahasan akan diarahkan untuk memahami dinamika
konflik dan pengambilan keputusan yang mengantarkan mereka pada
2. Mengapa sebagian penderita HIV/AIDS memutuskan untuk mulai
mengkonsumsi ARV padahal cukup banyak prosedur, efek samping dan
resiko yang harus diterima? Untuk menjawab pertanyaan ini,
pembahasan akan diarahkan untuk menemukan faktor- faktor yang
menyebabkan mereka melakukan tindakan tersebut.
2. Pembatasan Masalah
Agar jelas arah penelitian ini, maka peneliti memberikan batasan pada
masalah yang akan diteliti yaitu:
1. Konfiik yang dimaksud di sini adalah suatu keadaan dalam lapangan
kehidupan seseorang ketika ada daya - daya yang saling bertentangan
arah, tetapi dalam kadar kekuatan yang kira-kira sama. Konflik itu terjadi
ketika seseorang berada dibawah tekanan untuk merespon daya - daya
tersebut secara simultan.
2. Pengambilan keputusan yang dimaksud disini adalah pemilihan salah satu
diantara sejumlah alternatif pilihan dan memikul tanggung jawab atas
keputusannya itu. Dalam batasan ini, unsur pemilihan dan tanggung
jawab mendapat penekanan. Jika individu yang bersangkutan tidak
sampai terlibat dalam memikul tanggung jawab tersebut, maka ia tidak
ikut atau tidak perlu menanggung konsekuensi dari keputusannya , maka
3. AIDS yang dimaksud disini adalah sekumpulan gejala penyakit atau
sindrom yang disebabkan retrovirus yang menyerang sistem kekebalan
tubuh dan penderita HIV/AIDS disini adalah orang yang telah terinfeksi
HIV/AIDS positif melalui pengetesan laboratorium dan sekarang berada
pada tahap HIV positif.
4. ARV yang dimaksud disini adalah terapi obat - obatan retroviral (ART) .
ARV ini berupa obat-obatan penghambat replikasi (penggandaan diri)
virus HIV/AIDS sehingga jumlah virus HIV/AIDS dapat ditekan hingga
tidak terdeteksi dalam darah. namun demikian obat ini tidak dapat
membunuh virus HIV/AIDS secara total, virus masih tetap ada dan sangat
mungkin berkembang biak bila terjadi resistensi terhadap obat ARV ini. I
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian.
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui :
1. Dinamika Konflik dan proses pengambilan keputusan penderita HIV
Positif untuk mulai mengkonsumsi ARV.
2. Faktor - faktor yang menyebabkan penderita HIV Positif memutuskan
2. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang
cukup mendalam mengenai sikap seorang penderita HIV Positif dalam
mengambil keputusan dilematis atas kehadiran obat ARV yang dapat
meningkatkan kualitas hidupnya namun memiliki efek dan resiko yang harus
siap dihadapi. Sedangkan dari segi praktis penelitian ini diharapkan
bermanfaat bagi praktisi bidang penanganan orang dengan HIV/AIDS
seperti konselor HIV/AIDS pada instansi negeri, swasta maupun LSM - LSM
atau kita - kita sebagai individu yang peduli kepada peningkatan kualitas
hidup penderita HIV Positif. Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai
referensi untuk memahami kasus dalam konseling yang berkenaan dengan
pasien atau klien yang terkena HIV/AIDS. Penelitian ini diharapkan juga
dapat berguna bagi penentu kebijakan dan pihak terkait dalam memberikan
masukan tentang kondisi yang terjadi sebenarnya seputar penyediaan ARV
dan respon penderita HIV/AIDS terhadap ARV ini.
D. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri atas lima bab, yaitu:
Bab I Pendahuluan yang meliputi : latar belakang masalah; perumusahan
dan pembatasan masalah; tujuan dan manfat penelitian, serta sistematika
Bab II Tinjauan teori yang meliputi : konflik; pengertian konflik; tipe konflik
pengambilan keputusan; definisi pengambilan keputusan; strategi
pengambilan keputusan; tahap-tahap pengambilan keputusan; HIV/AIDS;
pengertian HIV/AIDS; fase-fase AIDS; pendemi AIDS; ODHA; VCT; obat
ARV; konflik dan pengambilan keputusan penderita HIV/AIDS untuk mulai
menggunakan obat ARV
BAB Ill. Metodologi Penelitian yang meliputi: subjek penelitian; teknik
pengumpulan data; instrumen pengumpulan data; analisis data; dan tahapan
penelitian.
Bab IV Hasil penelitian, penyajian dan analisis data dan perbandingan antar
kasus.
Bab V Bab ini menguraikan kesimpulan dari hasil penelitian, diskusi dan
Dalam bab ini akan dibahas teori-teori yang berkaitan dengan penelitian ini,
yaitu teori-teori konflik, pengambilan keputusan, obat AIDS (ARV), dinamika
konflik dan pengambilan keputusan pada penderita HIV/AIDS untuk mulai
menggunakan obat ARV.
A. Konflik
1. Pengertian Konflik
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori konflik yang dikembangkan
oleh Kurt Lewin. Teori Konflik Kurt Lewin dianggap lebih tepat dan lengkap
untuk menjelaskan dan menjabarkan konflik internal yang terjadi pada
individu dalam hal ini penderita HIV/AIDS. Ada beragam definisi - definisi
konflik dalam disiplin ilmu psikologi dan salah satu yang cukup populer
adalah definisi yang dikembangkan oleh Kurt Lewin. Dijelaskan olehnya
bahwa konflik adalah keadaan daya-daya yang saling bertentangan arah
tetapi dalam kadar kekuatan yang kira-kira sama. (Atkinson, 1964).
Dalam Ensiklopedi Psikologi dijelaskan, bahwa konfik adalah suatu keadaan
harus memilih satu atau beberapa pilihan tersebut. Lazarus (1976)
menjelaskan bahwa konflik dapat timbul sebagai akibat adanya kebutuhan
internal atau motif yang saling bertentangan, tuntutan eksternal yang tidak
sesuai, dan adanya pertentangan kebutuhan internal dengan tuntutan
eksternal. Ada dua kategori konflik, yang pertama bersifat internal dan yang
kedua bersifat interpersonal. Konflik internal menunjukkan adanya
pertentangan dalam individu yang disebabkan adanya dua tuntutan yang
saling bertentangan dalam pencapaiannya. Sementara konflik interpersonal
terjadi bila ada benturan antara tujuan yang ingin dicapai seseorang dengan
tujuan yang ingin dicapai oleh orang lain. (Myers, 1986)
Para ahli psikologi merumuskan konflik terjadi ketika seseorang berada di
bawah tekanan untuk merespons daya-daya secara simultan. Dalam ilmu
Psikologi biasanya digolongkan menurut positif atau negatif nilai-nilai pada
pilihan yang efektif (Atwater, 1983). Dalam situasi konflik yang terjadi akibat
daya-daya yang bertegangan inilah seseorang mengarahkan pilihan sebagai
solusi konflik bagi dirinya terlepas dari pendapat orang lain apakah tetap atau
tidak tapi konflikjyang diselesaikan menunjukan nilai-nilai dan kualitas diri
dalam mengatasi konflik. Lewin menambahkan bahwa konflik terjadi pada
lapangan kehidupan seseorang. Lapangan kehidupan seseorang terdiri dari
orang itu sendiri (person) dan lingkungan psikologisnya (psychological
2000). Dengan demikian dapat dibuat batasan bahwa pengertian konflik
adalah suatu ke.adaan dalam lapangan kehidupan seseorang karena ada I
daya-daya yang saling bertentangan arah tetapi dalam kadar kekuatan yang
kira-kira sama akibat adanya dorongan internal dan tuntutan eksternal yang
berbeda. Konflik itu sendiri terjadi ketika seseorang berada di bawah tekanan
untuk merespon daya-daya tersebut secara simulatan.
2. Tipe - Tipe Konflik
Lewin mendefinisikan konflik sebagai suatu keadaan dimana ada daya
-daya yang saling bertentangan arah, tetapi dalam kadar kekuatan yang
kira-kira sama. Berdasarkan jenis daya yang terfibat di dalamnya, konflik dibagi
menjadi beberapa tipe. Tipe - tipe tersebut adalah:1. Konflik antara
daya-daya yang menimbulkan pergerakan, 2. Konflik antara daya-daya yang
menimbulkan pergerakan dan daya yang menghambat, dan 3. Konflik antara
daya yang berasal dari kebutuhan sendiri dan daya yang berasal dari orang
lain. Ketiga tipe konflik ini akan diutarakan satu persatu. (Atkinson, 1964)
1) Konflik antara Daya-daya yang menimbulkan Pergerakan (Conflict
between Two or More Driving Forces)
Konflik tipe pertama ini adalah konflik antara dua atau lebih driving forces
valensi positif atau negatif yang masing - masing terpisahkan satu sama lain.
Pada tipe pertama ini, dapat terjadi empat kemungkinan situasi konflik, yaitu:
a. Konflik mendekat-mendekat (appoarch-approach conflict)
Dalam konflik ini, seseorang (P) berada diantara dua valensi positif
yang sama kuat. Contohnya, seorang penderita HIV/AIDS harus
memilih antara pergi dengan teman-temannya sesama penderita
HIV/AIDS ke psikolog yang dapat memberikan motivasi hidup atau
pergi menonton acara pagelaran budaya karya - karya penderita
HIV/AIDS. Konflik terjadi jika daya menuju pergi ke psikolog sama
kuatnya dengan daya menuju ke pagelaran budaya karya penderita
HIV/AIDS. Kekuatan salah satu daya akan meningkat jik.a valensi
wilayah yang dituju menguat dan jarak psikologis menuju wilayah itu
berkurang. Jika hal tersebut エ・セ。、ゥL@ maka konflik ini terselesaikan.
Dalam perilaku nyata, penyelesaian konflik di atas berlangsung dalam dua
bentuk, pertama: konflik diselesaikan dengan memuaskan/memenuhi tujuan
di satu wilayah terlebih dahulu baru kemudian ke wilayah Jain. Kedua, konflik
diselesaikan dengan memilih salah satu wilayah dan meninggalkan wilayah
yang lain. Dibandingkan dengan tipe konflik lainnya, konflik seperti ini
b. Konflik menjauh-menjauh (avoidance -avoidance conflict)
Dalam konflik ini, P berada di antara dua valensi negatif yang sama
kuat. Pada kasus penderita HIV/AIDS sangat mungkin sering terjadi.
P berada diantara 2 valensi negatif. P akan bertambah parah jika tidak
mengkon.sumsi obat-obatan yang mahal. Daya - daya dalam lapangan I
kehidupan P berupaya untuk tidak sakit parah dan tidak
mengkonsumsi obat-obatan. Namun jika P mengikuti daya pertama
yaitu berusaha tidak bertambah parah maka daya tersebut akan
berbenturan dengan daya kedua yang menghindari mengkonsumsi
obat-obat yang mahal. Demikian pula sebaliknya.
Dengan demikian P berada dalam konflik antara berusaha tidak parah
penyakitnya (dengan konsekuensi mengkonsumsi obat-obatan yang mahal)
atau tidak mengkonsumsi obat-obatan (dengan konsekuensi penyakitnya
bertambah parah). Konflik ini bisa bertahan lama jika ia tetap berada di
tengah-tengah antara mengerjakan tugas dan menghindari hukuman.
Keadaan semacam ini disebut keadaan keseimbangan yang semu (quasi
state of equilibrium). Dua bentuk perilaku dapat muncul sebagai akibat dari
keadaan ini. Bentuk pertama adalah kebimbangan perilaku dan pemikiran.
Artinya ada inkonsistensi pada apa yang dilakukan dan dipikirkan P ; P
terombang - ambing antara melakukan satu hal dengan hal yang lain.
begitu P bergerak mendekatinya. Ketika P mendekati salah satu wilayah
yang bervalensi negatif, P akan merasakan adanya peningkatan daya tolak
dan akibatnya ia bergerak menghindari wilayah itu, namun ketika ini
dilakukan, secara bersamaan P justru mendekati wilayah kedua yang juga
bervalensi negatif. Sebagai akibatnya, ia akan mengalami hal yang sama. Hal
ini membuat konflik menjadi stabil.
Kemungkinan bentuk kedua adalah tindakan meninggalkan wi!ayah
terjadinya konflik (leaving the field). Dalam kondisi ini, jumlah daya yang
dihasilkan justru menggerakkan P ke arah yang secara simultan
meninggalkan dua wilayah bervalensi negatif tersebut. Secara teoritis,
seseorang dapat menyelesaikan konflik menjauh-menjauh dengan cara
seperti ini. Namun seringkali tindakan ini justru memiliki konsekuensi yang
lebih buruk dari alternatif yang sudah ada. Terakhir dapat disebutkan bahwa
tindakan "leaving the field" menggambarkan keadaan di mana seseorang lari
dari kenyataan (night from reality) dan sering menjadi ciri dari perilaku
orang-orang yang terperangkap dalam konflik pelik semacam ini.
Banyak keadaan emosi yang intens dibangkitkan oleh konflik
menjauh-menjauh. Jika kedua wilayah yang bervalensi negatif memproduksi rasa takut
dan mengalami ketakutan. atau sebaliknya, ia mungkin menjadi marah dan
benci terhadap situasi yang memerangkapnya.
c. Konflik mendekat - menjauh (approach - avoidance conflict)
Dalam konflik ini P menghadapi valensi positif dan negatif yang sama,
contohnya seorang penderita HIV/AIDS (P) bekerja di sebuah salon,
sebagian daya mengarahkan P untuk bekerja di salon itu dengan giat
bahkan lembur namun daya lain menghambat P karena P tidak boleh
kerja terlalu berat, P harus menjaga kondisi tubuhnya agar tidak
terkena penyakit menular lainnya. P akan bekerja keras dan bila letih
atau sudah terasa lelah ia berhenti dan setelah beberapa waktu ia
bekerja keras lagi, ia akan mencoba bekerja terus dan kemudian
istirahat, hal ini membentuk keseimbangan (equilibrium) dan
menyebabkan konflik mendekat - menjauh menjadi konflik yang stabil.
Konflik ゥョセ@ merupakan konflik yang paling sulit untuk dipecahkan
penyebabnya, orang yang bersangkutan tertarik sekaligus menghindar
dari suatu wilayah yang sama karena wilayah tersebut bervalensi
positif, P mendekatnya tetapi begitu didekati, valensi negatif yang ada
diwilayah itu menjadi lebih kuat. Jika pada satu titik ketika mendekati
wilayah itu valensi negatif menjadi lebih kuat dari valensi positif, P
akan berhenti mencapai wilayah tersebut, karena wilayah yang
Seperti halnya konflik menjauh - menjauh, kebimbangan juga kerapkali
terjadi pada konflik mendekat-menjauh, artinya seseorang yang berada
dalam konflik akan berupaya mencapai wilayah yang dituju sampai saat
valensi negatifnya menjadi lebih kuat dan ia mundur. Namun demikian, sering
kali pada valensi negatif yang ada tidak cukup kuat untuk menolak upaya
mendekati wilayah tersebut. Dalam ha! ini orang tersebut dapat kewilayah
yang dituju, tetapi dengan lebih lambat dan ragu - ragu bila dibandingkan
wilayah tersebut tidak beNalensi negatif.
Perlu ditambahkan, bahwa ketika wilayah dituju akhirnya bisa dicapai,
kemungkinan frustasi tetap ada, bahkan pada beberapa waktu setelah tujuan
itu tercapai orang tersebut mungkin masih merasa tidak nyaman. Karena
valensi negatif yang ditetapkan telah ada kuat di wilayah itu baik seseorang
mengalami frustasi karena ia mencapai tujuan dengan lambat maupun
karena tidak mencapai tujuan sama sekali. Reaksi emosional seperti takut,
marah, dan benci, biasanya menyertai konflik mendekat - menjauh.
Sebelum masuk pada penjelasan tentang konflik mendekat-menjauh ganda,
perlu diperhatikan catatan Lewin berikut ini. Konflik menjauh-menjauh dan
mendekat - menjauh yang telah dijelaskan di atas, hanya dapat terjadi kalau
batas-batas (barrier) dalam kondisi kokoh pada lapangan kehidupan
Misalkan pada penderita HIV/AIDS yang bekerja keras untuk mendapatkan
uang namun dilarang untuk terlalu berlebih-lebihan dalam bekerja. Konflik
mendekat -menjauh terjadi sangat jelas bila batas - batas (banier) yang
kokoh pada lapangan kehidupannya seperti tidak ada lagi dana bantuan lain,
tidak ada kawan yang dapat membantu, sistem sosial yang tidak
mempermasalahkan seperti misalnya pelarangan bekerja bagi penderita
HIV/AIDS di tempat publik. Kestabilan sebetulnya akan lebih cepat
terpecahkan jika ada situasisituasi yang berubah seperti tunjangan negara
-negara atau jaminan pengobatan bagi penderita HIV/AIDS. Dengan
demikian, kestabilan konflik sebetulnya akan lebih cepat terpecahkan jika
terjadi beberapa perubahan situasi. Pertama, jika batas tidak kuat dan ada
wilayah lain yang bervalensi positif, maka daya akan berpindah ke wilayah I
yang terakhir ini. Terjadilah substitusi dan konflik pun berakhir. Kedua, salah
satu daya berkembang menjadi lebih dominan, sehingga pergerakan
(lokomosi) pun terjadi mengikuti arah daya tersebut.
d. Konflik mendekat - menjauh ganda (multiple approach - avoidance
conflict)
Konflik mendekat - menjauh ganda mengindikasikan seseorang yang
berada di antara dua wilayah, yang masing - masing memiliki valensi
positif dan negatif sekaligus. P menghadapi valensi positif dan negatif
pada jurusan yang lain. Banyak keputusan - keputusan yang besar
dalam hidup yang melibatkan konflik semacam ini. Sebagai contoh
seorang penderita HIV/AIDS memilih terapi ARV untuk kelangsungan I
kehidupannya. Penggunaan ARV ini memiliki valensi positif baginya
karena memberikan stabilitas dan rasa aman, karena ia mendapatkan
obat tercanggih untuk menangani AIDS, disamping ia juga tidak
mempermasalahkan dana. Dilain pihak, penggunaan obat ARV
bervalensi negatif karena dengan begitu ia harus menghentikan terapi
alternatif yang sangat disukainya dan cukup berkhasiat. Karena
memiliki keinginan untuk hidup lebih berkualitas dan sehat , ia tertarik
menggunakan obat ARV tetapi juga ia tidak ingin pengobatan
alternatifnya dihentikan karena sejauh ini cukup ada perubahan walau
tidak terlalu besar.
Menurut Atwater, setiap pilihan wilayah dalam konflik ini mengandung
konsekuensi positif dan negatif. Akibatnya, pengambilan keputusan menjadi
lebih sukar. Dampak buruk yang paling sering terjadi dari konflik ini adalah :
kebimbangan diantara alternatif - alternatif yang ada tanpa pernah mencapai
keputusan, memutuskan dengan terburu - buru tanpa dasar yang rasional;
atau membiarkan orang lain membuatkan keputusan untuk kita. (Atwater,
2) Konflik antara Daya yang Menggerakan dan Daya yang Menghambat
(Conflict between Driving Forces and Restraining Forces)
Tipe konflik yang kedua adalah konflik antara driving forces (daya yang
menggerakan) dan restraining forces (daya yang menghambat). Konflik ini
berbeda dengan konflik mendekat - menjauh yang telah dijelaskan
sebelumnya. Pada konflik mendekat - menjauh, dan konflik - konflik lainnya
yang berada dalam tipe pertama, semua daya yang terlibat merupakan
driving forces. Telah dijelaskan, driving forces adalah daya yang
mengarahkan pergerakan atau lokomosi ke wilayah tertentu. Sedangkan
restraining force.s adalah batas - batas (barrier) fisik atau sosial yang dapat I
menghambat pergerakan. Artinya, daya ini sama sekali tidak mengarahkan
pergerakan, namun berpengaruh terhadap driving forces.
Kadangkala, seseorang (P) terhalang oleh batas - batas (barrier) tertentu
dari upayanya untuk mendekati suatu goal bervalensi positif atau untuk
menghindari wilayah bervalensi negatif. Dalam situasi seperti ini, P akan
berulang kali mencoba mengitari dan kemudian melintasi barrier tersebut,
dengan kata lain "bernegosiasi", untuk mencapai (valensi positif) atau
meninggalkan (valensi negatif) wilayah yang bersangkutan. Jika upaya itu
gaga!, barrier itu sendiri lama kelamaan akan bervalensi negatif. Upaya P
untuk mendekati barrier cendrung makin berkurang dan perlahan - lahan ia
dan mencoba kembali, tetapi jika tetap saja gagal, ia akan secara permanen
meninggalkan wilayah tersebut. Lewin menambahkan, gagalnya negosiasi
untuk keluar dari barrier wilayah bervalensi negatif sering menghasilkan
keadaan ketegangan emosional yang tinggi. (Sarlito Wirawan,2000).
3) Konflik antara Daya yang Berasal dari Kebutuhan Sendiri dan Daya
yang Berasal dari Orang Lain (Conflict between Own Need Forces
and Induced Forces)
Tipe konflik pertama dan kedua di atas biasanya merupakan pertentangan
antara dua daya yang berasal dari kebutuhan orang yang bersangkutan
(forces corresponding to a person's own needs) atau dua daya yang berasal
dari orang lain (induced forces). Adapun tipe konflik yang ketiga, merupakan
pertentangan antara sebuah daya yang bersifat own need forces dan sebuah
daya lain yang bersifat induced forced. Sebagai contoh, keinginan seorang
anak/penderita HIV/AIDS (P) bertentangan dengan harapan orang tuanya
(0). Orang tua (0) memiliki kekuasaan yang lebih besar, oleh karenanya O
dapat menciptakan induced driving/restraining forces yang sesuai dengan
kehendak
0
sendiri. Si anak/penderita HIV/AIDS (P) dapat berupayamelawan atau meruntuhkan kekuasaan orang tuanya, setidaknya di dalam
area konflik tersebut. Namun jika upaya ini gagal, P mungkin akan
mengarahkan agresivitasnya pada orang atau obyek lain. Atau mungkin juga,
Konflik pada akhirnya menghadapkan seseorang pada situasi untuk memilih.
Dalam situasi itulah, pengambilan keputusan diperlukan. Pengambilan
keputusan merupakan bagian dari penyelesaian masalah yang merupakan
suatu tindakan memilih dari lebih satu alternatif kemungkinan pllihan. Jika
kadar konflik yang dialami makin meninggi, seorang penderita HIV Positif
akan dihadapkan pada beberapa pilihan. Secara umum penderita HIV Positif
memiliki dua pilihan pada kasus pemakaian ARV. Pertama, mengkonsumsi
ARV dan kedua tidak mengkonsumsi ARV. Disinilah harus mengambil
keputusan, dengan pertimbangan bahwa hal itu adalah bagian dari upaya
penyelesaian masalahnya.
B. Pengambilan Keputusan
1. Pengertian P·
1engambilan Keputusan
Beberapa ahli memberikan batasan mengenai pengambilan keputusan
(decision making). Di antaranya adalah :
1) Pengambilan keputusan adalah sejenis pemecahan masalah yang
menimbulkan beberapa alternatif pilihan, yang mengharuskan kita
untuk memilih diantara beberapa pilihan.
2) Pengambilan keputusan adalah bagian dari pemecahan masalah.
seseorang pada tindakan yang mengharuskan untuk memilih.(David L
Watson, 1984).
3) Pengambilan keputusan adalah proses yang berkembang pada
pemecahan masalah. Pengambilan keputusan dapat dilihat sebagai
tindakan untuk memilih di antara alternatif pilihan masalah. (Clifford
T.Morgan dkk, 1986).
Batasan - batasan di atas memperlihatkan bahwa pengambilan keputusan
merupakan suatu proses atau bagian dari pemecahan masalah. Secara
umum, masalah adalah setiap konflik atau pertentangan antara satu situasi
dengan situasi lain yang ingin dicapai yaitu yang menjadi goal atau tujuan
oleh seseorang atau sekelompok orang. Dengan demikian, proses yang
dilakukan dalam pemecahan masalah bersifat terarah pada tujuan dan
didorong oleh kebutuhan untuk mengurangi kesenjangan antara satu hal
dengan yang lain. (Morgan, 1986)
Keputusan yang diambil beraneka ragam. Tapi ada tanda- tanda umumnya:
1). keputusan merupakan hasil berpikir, hasil usaha intelektual; 2). keputusan
selalu rnelibatkan pilihan dari berbagai alternatif; 3). keputusan selalu
melibatkan tindakan nyata, walaupun pelaksanaannya boleh ditangguhkan
2. Strategi Pengambilan Keputusan
Atwater mengklasifikasikan strategi pengambilan keputusan berdasarkan
unsur resiko yang terlibat di dalamnya:
1) Wish Strategy. Memilih altematif pilihan yang dapat membawa pada
hasil yang paling diinginkan, tanpa memperhatikan resiko.
2) Escape Strategy. Memilih alternatif pilihan yang paling tinggi
kecenderungannya untuk dapat terhindar dari hasil yang buruk.
3) Safe Strategy. Memilih alternatif pilihan yang paling tinggi
kecenderungannya untuk mencapai keberhasilan.
4) Combination Strategy. Memilih alternatif pilihan yang tepat.
Mengkombinasikan kemungkinan untuk memperoleh hasil. Yang
paling diinginkan (high desireability) dengan probabilitas peluang
tertinggi (high probability). (Atwater, 1984)
Dapat dikatakan pengambilan keputusan seseorang ditentukan oleh strategi
yang digunakannya untuk mengambil keputusan. Setiap orang melakukan
strategi pengambilan keputusan yang berbeda-beda. Tiap orang pun memiliki
kemampuan yanig berbeda-beda dalam mengambil keputusan terhadap
berbagai sitasi yang dihadapi. Oleh karena itu, walaupun strategi
pengambilan keputusan tampaknya dapat diklasifikasikan oleh para ahli,
Atwater mengingatkan bahwa tujuan pengambilan keputusan adalah untuk
memperoleh ィセQウゥャ@ yang diinginkan dan menghindari hasil yang tidak
diinginkan. Dalam pengertian ini, " baik " atau " buruk" nya suatu keputusan
tergantung pada individu yang bersangkutan dan situasi yang dihadapi.
Gambaran pola pengambilan keputusan seseorang lebih merupakan
kombinasi unik dari strategi - strategi yang dilakukannya. Penelitian ini
berusaha menggali gambaran pengambilan keputusan secara individual,
dengan metode yang memungkinkan tergalinya keunikan individual. (Atwater,
1984)
Kadangkala seseorang melakukan strategi yang sama pada waktu, situasi,
atau lingkungan yang berbeda. Namun demikian strategi pengambilan
keputusan dapat berubah-ubah. Seseorang dapat melakukan strategi yang
berbeda-beda dalam berbagai situasi atau situasi yang sama di waktu yang
berbeda. Maka dapat dikatakan bahwa pola pengambilan keputusan
seseorang bersifat dinamis. Oleh karena itu, selain berusaha mendapatkan
gambaran pengambilan keputusan, penelitian ini juga berusaha
mendapatkan gambaran dinamika pengambilan keputusan masing-masing
3. Tahapan Pengambilan keputusan
Para ahli umumnya mengartikan pengambilan keputusan sebagai cara
memecahkan masalah dengan memilih alternatif terbaik dari sejumlah
alternatif yang ada (Du Brin, 1983: Morgan, King dan Robinson, 1984).
Adapun proses pengambilan keputusan adalah sebagai berikut: (Du Buin.
1980)
a. Tahap input.
Pada tahap ini individu menemukan atau diberi suatu persoalan.berpangkal
dari persoalan tersebut, diketahui adanya satu atau beberapa keputusan
yang harus diambil.
b. Tahap throughput (decision making stages).
Pada tahap ini masalah sudah dikenali, kemudian berlangsung rangkaian
proses pengambilan keputusan yang saling tumpang tindih, yaitu
menjernihkan persoalan menemukan berbagai alternatif-alternatif tersebut,
mengambil keputusan, mengevaluasi hasilnya.
c. Tahap out put.
Dari konflik keputusan yang diambil, subjek merasakan konsentrasinya
berupa hasil yang optimal, memuaskan, atau kurang memuaskan .
Janis dan Mann seperti dikutip dalam Atwater, merumuskan adanya lima
tahap pengambilan keputusan yang kerap dilakukan dalam membuat
keputusan kePjutusan sulit. Rumusan tahap ini mencakup keputusan
hingga keadaan darurat nasional. Lima tahap tersebut adalah (Atwater,
1983) :
1) Menilai masalah. Meliputi pengenalan terhadap masalah, tujuan dari
penyelesaian dan menjaga agar tidak terjadi asumsi yang salah atau
oversimplifikasi terhadap masalah yang kompleks. Pertanyaan kunci: I
"Resiko apakah yang mungkin timbul jika tidak berbuat apa - apa atau
jika tidak melakukan perubahan?"
2) MelihaUsurvey alternatif - alternatif pilihan yang ada. Hal yang paling
dibutuhkan dalam tahap ini adalah sikap keterbukaan dan fleksibilitas
dengan perhatian untuk mengumpulkan informasi mengenai seluruh
kemungkinan altenatif, baik yang telihat nyata maupun tidak.
Pertanyaan kunci: "Apakah seluruh alternatif yang ada telah
dipertimbangkan ?"
3) Menimbang alternatif. Seluruh pilihan dievaluasi berdasarkan
konsekuensi dan kemungkinan untuk dilakukan. Mengenai
konsekuensi, yang terutama dilihat adalah kemungkinan manfaat dan
pengorbanan yang harus diterima. Pertanyaan kunci : " Alternatif
manakah yang terbaik ?"
4) Membuat komitmen. Penumpukan ketegangan karena
mempertimbangkan banyaknya altenatif hanya bisa diselesaikan
dengan membuat komitmen. Namun demikian, masih ada
mengambil keputusan. Pertanyaaan kunci :" Kapankah saya dapat
mengimplementasikan alternatif terbaik yang telah diambil dan
membiarkan orang lain tahu keputusan saya ? "
5) Menerima umpan balik meskipun negatif. Setiap keputusan
mengandung resiko. Oleh karena itu, adalah penting untuk tidak
bereaksi berlebihan terhadap kritik atau kekecewaan yang mungkin
timbul. Reaksi tersebut memang dapat terjadi dalam berbagai bentuk,
misalnya dengan berubah pikiran atau sebaliknya membenarkan
pikiran sendiri atau mengabaikan kritik-kritik yang bermanfaat.
Pertanyaan kunci : "Apakah resiko yang ada demikian seriusnya jika
saya tidak berubah ? Apakah resiko itu menjadi lebih serius jika saya
tidak berubah ? "
Disamping tahapan - tahapan di atas Janis dan Mann mengeniukakan 7
kriteria untuk menguji efektifitas pengambilan keputusan :
1) Secara menyeluruh melihat alternatif tindakan yang mungkin dilakukan
2) Mempertimbangkan seluruh tujuan yang akan dicapai dan nilai - nilai
yang terkandung dalam setiap pemilihan
3) Secara hati - hati menimbang kerugian yang akan dihadapi,
memperkirakan resiko -resiko yang belum pasti, baik konsekuensi
4) Secara intensif mencari informasi baru yang relevan untuk. evaluasi
lanjut
5) Membuka diri memperhitungkan informasi baru walaupun informasi itu
tidak mendukung pilihan yang disukainya
6) Menilai kembali konsekuensi positif dan negatif setiap pilihan termasuk
pilihan yang semula tidak diterima sebelum mengambil keputusan
akhir
7) Membuar langkah - langkah tindakan dan rencana yang terperinci
dengan mempertimbangkan kemungkinan tindakan antisipatif. (Janis &
Mann,1979)
C. HIV/ AIDS
1. Pengertian HIV/AIDS
Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk golongan virus RNA yaitu virus
yang menggunakan RNA sebagai molekul pembawa informasi genetik. Virus
HIV pertama kali ditemukan pada Januari 1983 oleh Luc Montaigner di
Prancis pada seorang pasien limfadenopati, Oleh karena itu kemudian
dinamakan LAV (Lumph Adenopathy Virus). Kemudian pada bu Ian Maret
1984, Robert Gallo di Amerika Serikat menemukan virus serupa pada
penderita AIDS yang kemudian disebut HTLV-111. Pada bulan Mei 1986
Immunodeficiency Virus) yang sampai saat ini secara resmi digunakan.
(Depkes RI, 2003)
AIDS merupakan singkatan dari Acruired lmmuno Defficiency Syndrome,
yaitu sekumpulan gejala penyakit atau sindrom yang disebabkan oleh
retrovirus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Penyakit ini disebabkan
karena virus yang disebut HIV (Human lmunodeficiency Sydrome). Pada
orang yang sehat, terjadinya infeksi dapat dilawan oleh suatu sistem
pertahanan dalam tubuh yang disebut sebagai sistem kekebalan tubuh
(immune body system). Sistem kekebalan tubuh ini bekerja untuk mengenali
benda asing yang masuk (misalnya bakteri, virus dan lain-lain) dan
selanjutnya membentuk antibodi untuk melawan benda asing tersebut. Tiap
penyakit merangsang pembentukan antibodi yang spesifik terhadapnya.
(Depkes , 1989).
Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk golongan virus RNA yaitu virus
yang mengunakan RNA sebagai molekul pembawa informasi genetik.
(Depkes RI, 2003). Virus HIV menyerang sistem kekebalan tubuh manusia
dan merusak salah satu jenis dari sel - sel putih yang bertugas menangkal
infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk dalam kelompok limfosit yang
disebut sel T-4 atau sel T-penolong (T - helper), atau disebut juga sel CD-4
T-helper yang memiliki reseptor CD4 di permukaannya. Terdapat banyak fungsi
penting limfosit T - helper antara lain menghasilkan zat kimia yang berperan
sebagai perangsang pertumbuhan dan pembentukan sel-sel lain dalam
sistem imun dan pembentukan antibodi
Kemampuan HIV melumpuhkan dan membunuh sel-sel ini mengakibatkan
tidak berfungsinya seluruh sistem kekebalan tubuh manusia. Keadaan ini
menjadikan Odha sangat rentan terhadap infeksi yang mengenainya. lnfeksi
yang menyerang pada sistem kekebalan tubuh lemah disebut infeksi
oportunistik (opportunistic infections). Dengan kata lain, HIV bukan
merupakan penyebab langsung dari kematian, tetapi dengan kehadirannya I
yang melemahkan sistem kekebalan tubuh, menyebabkan penyakit - penyakit
lain mudah menyerang tubuh. (Schoub, Berry D, 1994)
Keunikan dari virus ini dibandingkan virus penyakit lain adalah adanya masa
laten (asymptomatic stage) sekitar 5 tahun. Pada masa ini Odha tidak
menyadari dirinya telah terinfeksi karena belum adanya kerusakan fisik nyata,
namun ia telah mampu menularkan virus ini kepada orang lain. Pada masa
laten ini (disebut tahap HIV positif) Odha tidak berbeda dengan orang lain
yang sehat, ia masih dapat melakukan aktifitas biasa sehari - hari. Melalui tes
laboratorium saja dapat diketahui adanya virus dalam tubuhnya.
akhirnya meningkatkan resiko penularan infeksi HIV ke orang lain. Setelah
masa tanpa gejala ini, barulah Odha masuk pada tahap AIDS dimana mulai
muncul gejala-gejala yang ditandai oleh beberapa penyakit sebagai akibat
makin melemahnya sistem kekebalan tubuh. (Schoub, Berry, 1994).
Dalam kondisi normal jumlah CD-4 dalam tubuh berjumlah sekitar 1000 ul.
Namun ketika virus HIV mulai masuk kedalam tubuh dan secara selektif
menyerang CD4 maka jumlahnya akan berkurang secara progresif. Pada
awal fase asymptomatic, jumlahnya CD-4 dalam tubuh adalah 500 ul. Jumlah
ini akan berkurang sampai dengan 200 ul pada fase AIDS. Pada jumlah ini
sistem kekebalan tubuh sudah sangat lemah, sehingga menyebabkan
penderitanya (Odha) menjadi sangat rentan terhadap berbagai macam
penyakit oportunistik, seperti Herpes Zoster, Sarcoma Karposi, TBC dll.
(Stewart, 1997).
Penularan HIV/AIDS tidak mudah dan terjadi begitu saja .Virus HIV hidup dan
berkembang di cairan - cairan dalam tubuh seperti darah, sperma, dan
cairan vagina. Berkaitan dengan media hidup HIV, maka penularannya pun
bersifat spesifik, yaitu HIV menular melalui a). hubungan seksual, baik homo
atau hetero dengan seseorang yang sudah terinfeksi HIV tanpa memakai
pelindung, b). melalui tranfusi darah yang telah tercemar HIV, c). melalui ibu
melalui alat suntik yang dipakai berulang-ulang dan telah tercemar HIV (Inter
Drug User). Virus ini tidak terbukti ditularkan melalui kontak sosial biasa
seperti; hidup serumah dengan pengidap HIV/AIDS, bersenggolan dan
bersentuhan dengan Odha, berjabatan tangan, berciuman, makan dan
minum dari tempat yang sama, melalui gigitan serangga dan berenang
bersama (Depkes RI, 1997).
Sebagai retrovirus, HIV memiliki sifat khas karena memiliki enzim reverse
transcriptase, yaitu enzim yang memungkinkan virus mengubah informasi
genetiknya yang berada dalam RNA keputusan dalam bentuk DNA yang
kemudian diinteraksikan keputusan dalam informasi genetik sel limfosit yang
diserang, dengan demikian HIV dapat memanfaatkan mekanisme sel limfosit
untuk menggandakan dirinya menjadi virus baru yang memiliki ciri - ciri HIV.
HIV dapat diteimukan dan diisolasikan dari sel limfosit T, limfost B, sel
makrofag (di otak dan paru) dan berbagai cairan tubuh. Akan tetapi sampai
saat ini hanya darah dan sperma yang jelas terbukti sebagai sumber
penularan serta ASI yang mampu menularkan HIV dari ibu ke bayinya.
(Depkes RI, 2003)
Sistem manusia adalah sangat kompleks dan memiliki kaitan yang rumit
antara berbagai jaringan dan sel dalam tubuh, kerusakan pada salah satu
terutama apabila komponen tersebut adalah komponen yang menentukan
fungsi-fungsi komponen sistem lainnya. Pada AIDS komponen yang diserang
adalah limfost T helper yang memiliki reseptor VD 4 di permukaannya.
Terdapat banyak fungsi penting limfosit T helper antara lain menghasilkan zat
kimia yang berperan sebagai perangsang pertumbuhan dan pembentukan
sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan antibodi. Oleh karena itu
pada pasien AIDS terdapat kelainan pada fungsi limfosit T, limfosit B,
monosit, makrofag dan sebagainya.
(Depkes RI, 2003)
2. Fase - fase perjalanan virus sampai dengan tahap AIDS
Perjalanan virus HIV sampai dengan tahapan AIDS terbagi menjadi beberapa
fase, yaitu :
lnfeksi awal HIV : Masa sebelum timbulnya respin antibodi
biasanya antara 6 -12 minggu yang sering disebut sebagai
periode jendela (window period). Pada masa ini seorang yang
diuji darahnya dapat menunjukan hasil yang negatif. Untuk itu
perlu dilakukan tes ulang. Biasanya selama 3-5 tahun setelah
terinfeksi, timbul pembengkakan kelenjar getah bening secara
menyeluruh yang tidak menimbulkan rasa nyeri.
Pembengkakan kelenjar getah bening ini dapat terus
sampai beberapa tahun. Pada masa ini, seorang pengidap
HIV sudah dapat menularkannya pada orang lain.
Gejala HIV atau disebut juga PGL (Persistent Generalized
Lymphadenopaty).
Yaitu gejala - gejala infeksi HIV yang timbul setelah masa
window period berlalu, antara lain pembengkakan kelenjar
getah bening di bagian leher, ketiak atau selangkangan,
demam atau influenza, berkeringat pada malarn hari, berat
badan turun tanpa sebab yang jelas serta diare.
Gejala AIDS atau ARC (AIDS Related Complex). Pada tahap
ini, virus sudah merusak sistem kekebalan tubuh. Gejala
infeksi lanjutan pada tahap ini antara lain; selalu merasa lelah,
mencret terus menerus lebih dari sebulan, demam dan
berkeringat di malam hari, berat badan turun lebih dari 10 %
berat normal, infeksi rongga mulut. Pembengkakan kelenjar
getah bening bisa terus berlanjut pada tahap ini.
Tahap AIDS (Full Blow). Merupakan akhir dari perjalanan
iiiifeksi HIV. Hal ini ditujukan dengan adanya satu atau
beberapa infeksi oportunistik, seperti; peneumonia diare
persisten, sarcoma karposi dan infeksi dari sistem saraf.
Sistem kekebalan tubuh sudah lumpuh sama sekali. lnfeksi
antara lain: radang/kanker paru-paru kanker kulit dan infeksi
セッョァァ。@ mulut, TBC serta Herpes .
AIDS Tahap Lanjutan atau AIDS Dimentia Complex.Pada
tahap ini HIV telah mencemari darah yang masuk ke otak dan
menghancurkan sel-sel otak. Hal ini menyebabkan
gejala-gejala antara lain, kebingungan, daya ingat penderita
melemah bahkan rusak sama sekali, proses daya pikir juga
rusak, perilaku menjadi kacau, perubahan pada kepribadian
menjadi pikun atau pelupa sebelum waktunya, dan tidak
mampu mengontrol (emosi) diri (Depkes RI, 1998).
3. Pendemi AIDS
Sejak tahun 1987 hingga akhir September 2003, Depkes melaporkan 2685
kasus HIV/ AIDS, namun sebenarnya diperkirakan sekitar 80.000-120.000
orang. Menurut laporan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (Mei 2003),
pada 3 tahun terakhir ini fase epidemik HIV/AIDS di Indonesia telah berubah
dari "low" menjadi "concentrated" karena terdapat prevalensi HIV di atas 5 %
di beberapa wilayah/kelompok masyarakat terdapat peningkatan
seroprevalensi HIV yang sangat pesat di kalangan pecandu narkoba, yaitu 48
% di OKI Jakarta dan 53 % di Bali. sebuah hasil tes HIV secara sukarela
(VCT) yang dijalankan Yayasan Pelita llmu di Jakarta bahkan menunjukkan
prevalensi HIV dikalangan pengguna narkoba bisa menimbulkan resiko
cukup besar terjadinya penularan HIV dari pasangan pengguna narkoba ke
bayi mereka. (Support, 2002). Penyebaran yang tinggi ini juga diperkuat dari
hasil pendataan oleh Depkes yaitu hingga Maret 2002 telah tercatat terdapat
2187 kasus HIV positif dan 689 kasus AIDS yang tersebar 24 provinsi di
Indonesia. Dengan demikian jumlah keseluruhan kasus HIV/AIDS adalah
2876 kasus. (Depkes Rl,2002).
Kasus penularan HIV/AIDS dikalangan pecandu narkoba suntik atau IOU
(Inter Drug User) meningkat sangat pesat. Hal ini dapat dilihat dari proporsi
keseluruhan jumlah kasus HIV/AIDS, dimana 668 kasus dianta.ranya berasal
dari faktor resiko penyalahgunaan narkoba suntik. Selanjutnya, hubungan
seks memberi kaitan lagi antara penyalahgunaan obat dan infeksi HIV.
Dalam suatu survey pernah dilakukan di 13 kota besar di Indonesia sebagian
besar pecandu narkoba suntik melaporkan tidak pernah memakai kondom
dengan pasangan tetapnya. Karena IOU tidak hanya melakukan hubungan
seks dengan IOU lain, maka mereka sering menjadi jembatan penting bagi
penyebaran HIV ke masyarakat umum (Depkes RI, 2002)
Sementara penyebaran pada ibu hamil dimana dalam studi prevalensi pada
ibu hamil di Pro1pinsi Riau pada tahun 1998/1999 menunjukkan bahwa 0,35
%